1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Sastra merupakan salah satu produk ideologi (Ruthven, 1984:31). Di dalam karya sastra terkandung berbagai muatan ideologi. Ideologi yang terdapat di dalam karya sastra berkaitan erat dengan pandangan pengarang terhadap realitas sosial di sekelilingnya. Adanya pandangan pengarang yang termuat di dalam karya sastra menyebabkan adanya kandungan ideologi-ideologi tertentu di dalamnya. Oleh sebab itu, karya sastra dapat menjadi salah satu media refleksi realitas sosial yang dirasakan oleh pengarang. Salah satu realitas sosial yang kerap direfleksikan di dalam karya sastra ialah realitas yang berkaitan dengan kehidupan laki-laki dan perempuan. Pembahasan mengenai laki-laki dan perempuan akan berkaitan dengan pembahasan mengenai jenis kelamin dan gender. Jenis kelamin berbeda dengan gender. Jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu (Fakih, 2012:7 – 8). Gender ialah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2012:8). Gender merupakan sifat yang terberi (given), contohnya seperti laki-laki yang dilekati dengan sifat kuat, gagah, dan
2
irasional dan perempuan yang dilekati dengan sifat lemah, lembuh, dan emosional. Pada
praktik
kehidupan
sehari-hari,
pelekatan
sifat-sifat
terhadap
perempuan yang berdasarkan gender menimbulkan ketidakadilan dan kerugian bagi perempuan. Bias gender menyebabkan adanya perbedaan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki. Secara leksikal, perempuan berarti (1) orang (manusia) yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita, (2) istri; bini, dan (3) betina (khusus untuk hewan) (KBBI, 2012: 1054). Perempuan dioposisikan dengan laki-laki. Laki-laki memiliki arti leksikal (1) orang (manusia) yang mempunyai zakar, kalau dewasa mempunyai jakun dan adakalanya berkumis, (2) jantan (untuk hewan), dan (3) kiasan untuk orang yang mempunyai keberanian; pemberani (KBBI, 2012: 773). Dalam definisi leksikal di atas, perempuan tampak sudah mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan laki-laki. Perempuan dilekati dengan makna ‘istri’, yang seakan-akan menunjukkan bahwa perempuan pasti akan berperan sebagai seorang istri. Sementara itu, definisi laki-laki tidak diikuti dengan makna ‘suami’ yang menunjukkan tidak adanya tendensi bagi laki-laki untuk harus berperan sebagai suami. Selain itu, laki-laki bahkan dilekati dengan makna kiasan ‘orang yang mempunyai keberanian’. Hal tersebut menunjukkan bahwa laki-laki merupakan seseorang yang pemberani. Sifat kelaki-lakian adalah berani, sedangkan sifat keperempuanan adalah bukan berani. Dimulai dari definisi leksikal, perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki sudah berbeda. Pembedaan
3
tersebut juga terjadi pada ranah sosial dan kultural. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Budiman (2000:11) bahwa ke-“laki-laki”-an dan ke“perempuan”-an tidak semata-mata dipahami secara biologis, yakni semata-mata sebagai jenis kelamin (seks), tetapi sebagai sebuah konstruksi kultural atau gender. Adanya pembatasan-pembatasan terhadap perempuan yang dilandaskan pada gender juga menyebabkan ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan menjadi terbatasi dalam aktivitas di sektor publik dan dianggap lebih baik dan sesuai dalam aktivitas di sektor domestik, yaitu lingkup keluarga dan rumah tangga. Sekalipun mampu beraktivitas di sektor publik, sikap tidak adil masih rentan diterima oleh perempuan. Contohnya dalam bidang profesi, perempuan kerap mendapatkan perbedaan perlakuan dengan laki-laki. Ada profesi-profesi tertentu yang hanya dipercayakan pada laki-laki karena perempuan dianggap tidak mampu dan tidak cakap seperti layaknya laki-laki. Adanya berbagai anggapan yang menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak adil tersebut disebabkan oleh adanya sistem patriarki. Menurut Ruthven (1984:34) sistem patriarki berusaha menanamkan pandangan bahwa perempuan berposisi inferior di hadapan pria sehingga perempuan yang menjadi korban pun biasanya menjadi ‘sakit’. Sakitnya pun beragam, dari sekadar membenci diri sendiri (patologis) hingga bersikap setengah agresif terhadap kemajuan yang dicapai oleh perempuan-perempuan lain. Perempuan dipandang sebagai liyan berdasarkan jenis kelamin biologisnya, posisi gendernya dalam suatu budaya, serta berdasarkan latar belakang etnis, pendidikan, profesi, kelas
4
sosial, dan kemampuan serta ketidakmampuan fisik maupun psikologisnya (Cavallaro dalam Som, 2010: 9). Adanya berbagai konstruksi yang dianggap sebagai kontruksi alamiah ini membuat peran dan posisi perempuan menjadi sangat terbatas. Patriarki menciptakan perempuan sebagai pihak inferior dan melekatkan peran perempuan pada lingkup domestik. Dengan dilekati peran sebagai istri dan ibu, wilayah perempuan menjadi lebih dipusatkan pada seputar kehidupan rumah tangga. Berbagai anggapan dan tendensi terhadap perempuan ini dianggap oleh Budiman (2000:25) sebagai struktur pemikiran patriarkal yang hierarkis, yaitu pemikiran yang pada dasarnya memandang laki-laki sebagai subjek atau pusat dan perempuan sebagai objek atau pinggiran. Konstruksi patriarkal ini sudah melekat kuat pada masyarakat dan bahkan menjadi sebuah sistem, yaitu sistem patriarki. Sebagai sebuah sistem, patriarki ini melekat pada berbagai aspek kebudayaan. Salah satunya ialah karya sastra, baik sastra tradisional maupun sastra modern. Sastra tradisional ialah sastra yang diwariskan secara turuntemurun. Sastra tradisional umum dikenal dengan folklor. Folklor adalah kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun dan secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1984:2). Folklor berawal dari tradisi lisan, yaitu ketika sebuah cerita (sastra) disebarluaskan dengan cara bercerita dan menceritakan kembali dari mulut ke mulut. Seorang folkloris, Stith Thompson (Bunanta, 1998:1)
5
mendefinisikan cerita rakyat sebagai semua bentuk naratif, lisan, ataupun tulisan yang telah diturunkan secara turun-temurun. Sebagai sebuah bagian dari sastra tradisional, cerita rakyat banyak mencerminkan berbagai persepsi ataupun konstruksi kultural daerah tempat cerita rakyat tersebut berkembang. Pembacaan terhadap cerita rakyat bisa menjadi salah satu sarana untuk mengetahui kebudayaan atau konstruksi kultural suatu daerah. Bunanta (1998:54) bahkan menggolongkan cerita rakyat sebagai warisan kebudayaan suatu bangsa. Namun, tanpa banyak disadari, cerita rakyat banyak mengandung kontruksi budaya yang menganut sistem patriarki yang cukup kental. Budaya tersebut memang telah ada sejak dulu sehingga memungkinkan masuknya wacana patriarki dalam cerita rakyat. Konstruksi ini melekat pada banyak cerita rakyat, yaitu ada yang kehadirannya eksplisit dan ada pula yang kehadirannya implisit. Hingga kini, cerita rakyat masih kerap ditulis dan disajikan kembali dalam bentuk antologi atau buku. Hal tersebut disebabkan cerita rakyat diyakini banyak mengandung pesan moral dan kearifan lokal daerah setempat. Oleh karena itu, penulisan dan penyajian ulang cerita rakyat mayoritas ditujukan untuk suguhan kepada pembaca anak-anak. Pesan moral dan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya diyakini berguna bagi pengembangan karakter dan moral anak-anak. Selain untuk disuguhkan kembali bagi pembaca anak-anak, penulisan dan penyajian ulang cerita rakyat juga dilakukan untuk tujuan-tujuan khusus lainnya. Seperti yang dilakukan oleh Perrault (Bunanta, 1998:4) yang mengubah beberapa bagian dongeng Cinderella. Pengubahan yang dilakukan oleh Perrault bertujuan
6
untuk mengubah citra perempuan yang melekati tokoh utamanya, Cinderella, yang dinilai mengindikasikan adanya bias gender. Dengan pengubahan tertentu tanpa mengubah inti cerita, Perrault ingin menyuguhkan cerita rakyat yang bebas bias gender. Adanya bias gender dan stereotipe perempuan yang termuat di dalam cerita rakyat memang cukup menarik untuk dikaji. Kajian mengenai bias gender dan stereotipe perempuan dapat menggunakan teori feminis. Menurut Goodman (Sofia, 2009:21) sebuah kritik sastra feminis dapat membantu membangun studi gender yang direpresentasikan dalam karya sastra. Melalui kritik sastra feminis, perempuan yang kerap tersubordinasi, termarjinalkan, dan terobjektivikasi dalam karya sastra dapat diungkap. Terhadap cerita rakyat, sudah ada anggapan dari kaum feminis bahwa cerita rakyat bersifat seksis, yaitu mempunyai gambaran yang stereotipe pada para tokoh perempuannya (Norton dalam Buntana, 1998:53). Cerita rakyat tidak sepenuhnya bebas dari wacana bias gender dan bahkan tidak sedikit yang meletakkan tokoh perempuan hanya sebagai objek. Objektivikasi perempuan dalam cerita rakyat ini bisa dilihat dari bahasa ataupun fakta cerita yang terkandung di dalamnya. Tokoh perempuan tidak pernah hadir seorang diri dalam sebuah cerita rakyat. Selalu ada tokoh laki-laki yang menempati pusat cerita dalam cerita rakyat. Meskipun tokoh utama cerita rakyat adalah tokoh perempuan, dalam beberapa kasus cerita rakyat, yang justru mendominasi peran adalah tokoh laki-laki. Mulvey (Budiman, 2000:77) pernah mengatakan bahwa perempuan memang tidak dapat berbuat lain kecuali diposisikan sebagai objek bagi
7
pandangan mata laki-laki (male gaze). Dalam cerita rakyat, objektivikasi perempuan tidak hanya semata-mata untuk pandangan mata laki-laki, tetapi lebih dari itu. Perempuan seakan-akan tidak memiliki kapasitas sebagai subjek sehingga posisi yang sesuai bagi mereka memang hanyalah sebagai objek. Secara lengkap, Mulvey (Budiman, 2000:77) mengatakan bahwa di dalam sistem patriarki, perempuan hanya berlaku sebagai penanda untuk kehadiran laki-laki. Perempuan terikat oleh perintah-perintah simbolis tempat laki-laki hidup dengan berbagai fantasi dan obsesinya melalui perintah lingustik dengan memperdaya mereka dalam citra perempuan yang diam. Perempuan masih terikat pada tempatnya sebagai pembawa makna, bukan pembuat makna. Adanya sikap yang mengobjektivikasi perempuan, membuat wacana mengenai perempuan yang diobjektivikasi melalui budaya yang tercermin dalam cerita rakyat Indonesia menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji objektivikasi perempuan dalam berbagai cerita rakyat di Indonesia, yaitu bagaimana perempuan diposisikan bukan sebagai subjek melainkan objek dalam cerita. Relevansi antara penelitian ini dengan penelitian yang sudah ada sebelumnya ialah digunakannya kritik sastra feminis sebagai alat teori penelitian. Cerita rakyat yang digunakan dalam penelitian ini ialah cerita rakyat yang telah dituliskan kembali dalam buku kumpulan cerita dongeng 101 Dongeng Tradisional Indonesia (2012) yang disusun oleh Raditandra Moe. Hal tersebut dilakukan karena mempertimbangkan kemudahan aksesibilitas data. Selain itu, cerita rakyat yang dituliskan kembali dalam berbagai buku kumpulan cerita rakyat lebih dekat keberadaannya dengan masyarakat secara umum.
8
Dari buku 101 Dongeng Tradisional Indonesia, dipilih cerita rakyat “Putri yang Berubah Menjadi Ular” (“PBMU”) yang berasal dari Sumatera Utara, “Putri Mambang Linau” (“PML”) yang berasal dari Riau, “Putri Tujuh” (“PT”) yang berasal dari Riau, “Ning Rangda” (“NR”) yang berasal dari Kalimantan Selatan, dan “Dewi Luing Indung Bunga” (“DLIB”) yang berasal dari Kalimantan Selatan. Kelima cerita rakyat tersebut dipilih karena di dalam kelima cerita rakyat tersebut terdapat unsur pemosisian perempuan yang diduga diobjektivikasi dan kehadirannya cukup dominan. Oleh sebab itu, kelima cerita rakyat tersebut dianggap cukup representatif untuk diteliti. Adapun alasan pemilihan topik objektivikasi cerita rakyat untuk dikaji menggunakan kritik sastra feminis adalah sebagai berikut. Pertama, diduga terdapat wacana objektivikasi perempuan dalam lima cerita rakyat Indonesia yang akan dianalisis. Di dalam kelima cerita rakyat Indonesia tersebut perempuan diposisikan sebagai makhluk lemah yang kehadirannya diobjektivikasi dan belum banyak masyarakat yang menyadari hal tersebut. Kedua, berdasarkan hasil pencarian penulis terhadap berbagai penelitian, belum pernah ada penelitian yang membongkar objektivikasi perempuan dalam cerita rakyat. Penelitian terhadap cerita rakyat yang ada hanya membahas bias gender ataupun citra perempuan dalam cerita rakyat. Oleh karena itu, ada unsur kebaruan dalam penelitian ini. Ketiga, penelitian ini layak dilakukan untuk mengetahui bagaimana sistem patriarki meletakkan perempuan sebagai objek dan mewariskannya secara turuntemurun melalui cerita rakyat.
9
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, identifikasi tokoh yang bersikap profeminis dan kontrafeminis, baik tokoh laki-laki maupun tokoh perempuan yang ada di dalam lima cerita rakyat Indonesia. Kedua, aspek kebahasaan yang menunjukkan adanya objektivikasi perempuan dalam lima cerita rakyat Indonesia. Ketiga, objektivikasi perempuan dalam lima cerita rakyat Indonesia.
1.3 Tujuan Penelitian Terdapat tujuan teoretis dan tujuan praktis dalam penelitian ini. Tujuan teoretis penelitian ini adalah mengetahui identifikasi tokoh yang bersikap profeminis dan kontrafeminis, baik tokoh laki-laki maupun tokoh perempuan; mengetahui bentuk-bentuk kebahasaan yang menunjukkan adanya objektivikasi perempuan dalam lima cerita rakyat Indonesia; dan mengetahui objektivikasi perempuan. Adapun tujuan praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, meningkatkan pengetahuan para peminat dan penikmat cerita rakyat Indonesia dari sudut pandang teori kritik sastra feminis. Kedua, membuka wacana pembaca mengenai objektivikasi perempuan dalam cerita rakyat Indonesia. Ketiga, memberikan persepsi yang lebih luas kepada pembaca mengenai objektivikasi perempuan dalam cerita rakyat Indonesia. Keempat, memberikan sumbangan apresiasi karya sastra kepada lembaga pendidikan, kalangan akademis, masyarakat pecinta sastra, dan masyarakat luas dalam bentuk penelitian terhadap
10
cerita rakyat dengan sudut pandang kritik sastra feminis. Kelima, penelitian ini diharapkan dapat menambah kuantitas dan kualitas praktik kritik sastra feminis.
1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap karya sastra dengan menggunakan kritik sastra feminis sudah cukup banyak dilakukan. Berbagai objek pernah diteliti dengan menggunakan kritik sastra feminis, diantaranya ialah kumpulan puisi, teks drama, cerpen, novel, hingga lirik lagu. Penelitian terhadap kumpulan puisi dengan menggunakan kritik sastra feminis telah dilakukan oleh Sukendro (2006) dalam bentuk skripsi di UGM dengan judul “Sisi Pemberontakan Perempuan dalam Kumpulan Puisi “Para Pembunuh Waktu” Karya Dorothea Rosa Herliany (Analisis Kritik Sastra Feminis)”. Dalam skripsinya, Sukendro membahas stereotipe pada perempuan, subordinasi terhadap perempuan, marginalisasi perempuan, beban ganda terhadap perempuan, dan kekerasan terhadap perempuan. Selain menggunakan kajian kritik sastra feminis, Sukendro juga menggunakan pembacaan semiotik untuk mendapatkan pemaknaan yang lengkap terhadap puisi yang dianalisisnya. Kajian kritik sastra feminis terhadap cerpen terdapat dalam skripsi UGM milik Handayani (2007) dengan judul “Cerpen "Menyusu Ayah" Karya Djenar Maesa Ayu: Analisis Kritik Sastra Feminis”. Skripsi tersebut mengulas presentasi isu-isu seksualitas perempuan dan ide-ide feminis yang terdapat di dalam cerpen “Menyusu Ayah”. Dalam cerpen tersebut ditemukan beberapa isu, yaitu isu
11
subordinasi perempuan, isu penyimpangan seksual, isu perempuan sebagai objek kekerasan seksual, dan isu pornografi. Teks drama yang dianalisis menggunakan kritik sastra feminis sudah pernah dilakukan oleh Handyastuti (2008) dalam skripsinya di UGM yang berjudul “Subordinasi Perempuan dalam Teks Drama "Tjitra" Karya Usmar Ismail: Analisis Kritik Sastra Feminis”. Handyastuti membahas subordinasi terhadap permpuan dan bias gender yang direpresentasikan melalui aspek kebahasaan drama “Tjitra”. Dalam drama “Tjitra” ditemukan pelabelan terhadap perempuan yang dianggap sebagai warga kelas dua dan ditempatkan pada posisi di bawah dominasi sistem patriarki. Wibowo (2009) mengangkat novel sebagai objek kritik sastra feminis dalam skripsi UGM. Skripsinya yang berjudul “Novel Belenggu Karya Armijn Pane: Analisis Kritik Sasrta Feminis Ruthven” mengkaji citra perempun dan ideologi seksual, stereotipe negatif pada perempuan, dan ide-ide feminis yang terdapat di dalam novel Belenggu dengan menggunakan konsep image as a woman milik Ruthven. Kajian kritik sastra feminis terhadap lirik lagu dilakukan oleh Etriany (2012) melalui skripsi di UGM berjudul “Citra Ibu pada Lirik Lagu “Ibu”, “Bunda”, dan “Siapa Bilang? (Disko Mama)”: Analisis Kritik Feminis”. Skripsi tersebut membahas representasi citra ibu dan ide-ide feminis yang terdapat di dalam ketiga lirik lagu tersebut. Metode yang digunakan ialah reading as a woman dan berhasil menemukan citra ibu dalam lingkup domestik, yang meliputi merawat dan mendidik anak, menjadi partner bagi suami, dan memelihara rumah,
12
serta citra ibu dalam ranah publik, yang meliputi citra perempuan yang aktif, berwawasan luas, dan mampu mandiri secara ekonomi. Berdasarkan data di atas, penelitian dengan kajian kritik sastra feminis sudah cukup banyak dilakukan. Namun, mayoritas penelitian yang ada berkaitan dengan bias gender, stereotipe, citra perempuan, dan ide-ide feminis dalam berbagai objek kajian. Adapun penelitian terhadap cerita rakyat juga sudah banyak yang dilakukan. Penelitian terhadap cerita rakyat pernah dilakukan oleh Bunanta (1998) dalam disertasinya di UI, yang kemudian diterbitkan dalam buku Problematika: Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak di Indonesia. Disertasi yang ditulisnya pada tahun 1997 tersebut membahas 22 versi cerita rakyat Bawang Merah dan Bawang Putih, yaitu membahas perbedaan dan persamaan versi-versi tersebut, pembentukan versi kebudayaan yang ada akibat adanya persamaan-persamaan tersebut, dan dampak penyajian terhadap makna cerita. Penelitian terhadap cerita rakyat yang dikaji dengan kritik sastra feminis juga sudah pernah dilakukan sebelumnya, baik dalam bentuk skripsi maupun dalam bentuk tesis. Lutfiani (2011) mengkaji tiga cerita rakyat dalam skripsinya di UGM yang berjudul “Bentuk Perlawanan Perempuan terhadap Bias Gender dalam Tiga Cerita Rakyat Indonesia untuk Anak: Analisis Kritik Sastra Feminis”. Dalam skripsi tersebut Lutfiani membahas bias gender yang ada di dalam tiga cerita rakyat yang dianalisisnya dan mencari bentuk-bentuk perlawanan perempuan dalam ide-ide feminis.
13
Muslimat (2005) juga membahas cerita rakyat dalam perspektif feminis, yaitu dalam tesisnya di UGM yang berjudul “Citra Wanita dalam Cerita Rakyat Makassar: Suatu Tinjauan Kritik Sastra Feminis”. Dalam tesisnya, Muslimat membahas citra perempuan dalam cerita rakyat Makassar dan menemukan adanya fenomena penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan, serta adanya keinginan masyarakat untuk lepas dari berbagai bentuk ketidakadilan gender. Iswary (2010) meneliti folklor dalam disertasinya di Universitas Hasanuddin. Disertasi tersebut, yang telah dibukukan dengan judul Perempuan Makassar: Relasi Gender dalam Folklor, membahas representasi bentuk-bentuk gender, relasi gender berdasarkan identitas sosial dan peran gender dalam folklor, dan nilai-nilai sosial budaya Makassar tentang gender yang terdapat di dalam foklor. Folklor yang digunakan Iswary adalah empat cerita rakyat Makassar yang ditulis dengan bahasa daerah Makassar, yaitu I Saribulang Dg. Macora, St. Naharirah, Basse Panawa-nawa ri Galesong, dan I Marabintang. Dalam penelitiannya, Iswary menemukan bahwa peggunaan bahasa dalam folklor dapat mencerminkan relasi gender dan realitas sosial budaya masyarakat tempat folklor itu ada dan berkembang. Berdasarkan data-data yang ada, dapat dilihat bahwa penelitian yang ada, baik penelitian dalam perspektif feminis maupun penelitian terhadap cerita rakyat, belum pernah ada yang membahas permasalahan objektivikasi perempuan. Penelitian terhadap cerita rakyat dengan kritik sastra feminis yang ada hanya membahas relasi gender dan citra perempuan. Selain karena adanya unsur kebaruan dalam penelitian ini, cerita rakyat dipilih karena adanya dugaan
14
peletakan perempuan sebagai objek dalam cerita rakyat. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas objektivikasi perempuan dalam lima cerita rakyat Indonesia.
1.5 Landasan Teori Manusia kerap mendefinisikan sesuatu dengan menjadikan sesuatu yang lain sebagai oposisi terhadap sesuatu tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Beauvoir
(Thornham,
2010:50)
bahwa
budaya
manusia
ditandai
oleh
pembentukan oposisi-oposisi biner, dengan istilah mendapatkan makna hanya dengan merujuk ke lawan katanya. Beauvoir menganggap bahwa subjek manusia hanya dapat membentuk pemahaman dirinya dalam oposisi terhadap pemahaman diri atas yang liyan (other). Salah satu contoh konstruksi oposisi biner ialah pembagian manusia menjadi dua jenis berdasarkan jenis kelaminnya (seks), yaitu perempuan dan laki-laki. Konstruksi oposisi biner tersebut meletakkan laki-laki sebagai oposisi perempuan, atau sebaliknya, baik secara biologis maupun secara sosial-kultural. Identitas seksual kerap dianggap sebagai sesuatu yang terberi (given), seperti identitas seksual perempuan yang lemah, lembut, dan emosional, dan identitas seksual laki-laki yang kuat, gagah, dan rasional. Mitos-mitos gender tersebut pada umumnya berupa perangkat-perangkat ciri psikologis dan sosial yang berstruktur biner dan hierarkis, yaitu yang disebut oleh Cixous (Budiman, 2000:29) sebagai pemikiran biner patriarkal (patriarchal binary thought).
15
1.5.1 Sistem Patriarki Pemikiran biner patriarkal menempatkan laki-laki dan perempuan dalam sebuah oposisi, seperti laki-laki rasional, sedangkan perempuan intuitif, laki-laki aktif sedangkan perempuan pasif, dan laki-laki mencari nafkah, sedangkan perempuan merawat anak di rumah. Selain itu, terdapat pula kepercayaan umum yang menempatkan lokus kepuasan hidup laki-laki pada pekerjaan atau kariernya, sedangkan lokus kebahagiaan perempuan ada di keluarga dan lingkungan rumah tangganya (Budiman, 2000:30). Perspektif kultural ini bahkan telah ada sejak dulu, sebagaimana pendapat Aristoteles (Budiman, 2000:13) yang menganggap bahwa perempuan adalah laki-laki-yang-tak-lengkap. Pendapat Aristoteles ini mengindikasikan bahwa laki-laki adalah individu yang lengkap dan perempuan adalah individu yang tidak lengkap. Beauvoir (Selden dalam Som, 2010: 6 – 7) menyatakan bahwa posisi perempuan dalam masyarakat patriarki adalah sebagai sosok yang lain atau liyan (the other), yaitu sebagai manusia kelas dua (deuxième sexe) yang lebih rendah menurut kodrat. Secara umum, menurut Bhasin (Adji, Meilinawati, dan Banita, 2010:18) kata patriarki digunakan untuk menyebut kekuasaan laki-laki, khususnya hubungan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan yang di dalamnya berlangsung dominasi laki-laki atas perempuan yang direalisasikan melalui bermacam-macam media dan cara. Dominasi laki-laki terhadap perempuan terjadi di hampir seluruh bidang kehidupan, seperti sosial, pendidikan, politik, ekonomi, dan lain-lain. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Siswanti (2003:22) bahwa sistem patriarki bersifat paternalistis. Hal tersebut berarti bahwa sistem kekuasaan yang ada
16
bercirikan laki-laki memiliki otoritas untuk menguasai dan mendominasi kehidupan perempuan di segala bidang, baik politik dan ekonomi, maupun agama dan sosial. Tatanan dunia patriarki yang ada merupakan sebuah sistem yang sarat dengan stereotipe yang dikonstruksi secara sosial dan kultural (Siswanti, 2003:26). Lelaki memiliki code of conduct atau tata perilaku yang harus diikuti jika ingin menjadi bagian dari manhood, seperti penguasa di ranah publik, dan selalu diidentikkan dengan sifat sukses, mandiri, rasional, pejuang, agresif, macho (kuat), dan lain-lain, sedangkan perempuan dilekati dengan keidentikkan yang berbalik dari semua itu. Perempuan diidentikkan sebagai ratu rumah tangga dan objek seks saja. Oleh sebab itu, perempuan harus ditampilkan dengan citra menarik, seksi, dan dilekatkan dengan sifat keibuan (motherhood) sebagai kodratnya. Berkaitan dengan istilah-istilah yang ada dalam kritik sastra feminisme, patriark (patriarch), patriarkal (patriarchal), patriarki (patriarchy), dan patriarkat (patriarchate) merupakan istilah-istilah dengan arti yang berbeda. Patriark berarti (1) bapak dari kepala keluarga, datuk; (2) pendiri sesuatu; (3) orang yang sudah tua yang sangat dihargai atau dihormati, sesepuh; dan (4) ulama tertinggi gereja Kristen Ortodoks; Uskup Agung; Mahauskup (Sugihastuti dan Sastriyani, 2007:178). Di dalam Webster’s Third New International Dictionary (1981:1656) patriarkal diartikan sebagai hubungan di antara patriark; ditentukan oleh subjek atau patriark; di antara alam atau peringkat dalam patriark.
17
Dalam A Feminist Dictionary (1985:323), patriarki merupakan sebuah istilah penting yang digunakan dalam berbagai cara untuk menggambarkan sebuah struktur penetapan sosial yang di dalamnya terdapat opresi terhadap perempuan. Sheila Rowbotham dalam A Feminist Dictionary (1985:323), memberikan definisi lain dari patriarki, yaitu sebuah ideologi yang membangun kekuatan laki-laki untuk menukar perempuan di antara hubungan kekeluargaan; sebagai sebuah simbol dari prinsip laki-laki; sebagai kekuatan dari ayah; untuk menunjukkan penguasaan laki-laki atas seksualitas dan fertilitas perempuan; untuk mendeskripsikan struktur institusional dari dominasi laki-laki. Berbeda dengan ketiga istilah di atas, di dalam Webster’s Third New International Dictionary (1981:1656) patriarkat diartikan sebagai (1) kantor, martabat, pengadilan, bidang wewenang, atau keuskupan dari patriark; tempat tinggal atau bisnis dari patriark; atau (2) patriarki. Pengertian patriarkat lebih mengacu pada pelaku atau instansi yang mempraktikkan patriarki. Dalam penelitian ini, istilah yang digunakan ialah patriarki karena patriarki merupakan istilah untuk menggambarkan sebuah sistem dominasi terhadap perempuan yang mengakibatkan perempuan mendapatkan berbagai perlakuan yang tidak adil hingga kekerasan. Selain itu, ada yang mengartikan patriarki sebagai sebuah sistem, ideologi, ataupun budaya. Hal tersebut dapat terjadi karena tiap-tiap ahli feminis memiliki dasar pemikiran yang berbeda-beda dalam mengartikan patriarki. Yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah patriarki sebagai sebuah sistem karena mengacu pada beberapa pendapat ahli feminis yang mengartikan patriarki sebagai
18
sebuah sistem. Salah satunya ialah pendapat Catherine A. MacKinnon dalam A Feminist Dictionary (1985:323) yang mengartikan patriarki sebagai sebuah sistem yang mengatur di dalam rumah tangga yang di dalamnya terdapat dominasi bapak, sebuah struktur yang tereproduksi melalui masyarakat dalam hubungan gender. Selain itu, feminis radikal menggunakan patriarki untuk menyebut sebuah sistem sosial yang dicirikan oleh adanya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Gamble (2010:381) juga mengartikan patriarki sebagai sebuah sistem, yaitu sebuah sistem yang diatur oleh laki-laki, yang kekuasaannya dijalankan melalui institusi sosial, politik, ekonomi, dan agama. Oleh sebab itu, selanjutnya dalam penelitian ini patriarki akan dianggap sebagai sebuah sistem.
1.5.2 Kritik Sastra Feminis Persoalan sistem patriarki menjadi fokus dan kajian utama dalam teori feminisme. Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme, yang berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial (Ratna, 2012:184). Menurut SoenarjatiDjajanegara (1995:16), feminisme adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang-bidang politik, ekonomi, dan sosial atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak serta kepentingan perempuan. Ramazanoglu (Hollows, 2010:4) mendefinisikan feminisme sebagai macammacam teori sosial yang menjabarkan hubungan antarjenis kelamin dalam masyarakat, dan perbedaan antara pengalaman-pengalaman yang dialami oleh lelaki dan perempuan. Teori feminis juga dianggap sebagai praktik politik.
19
Berawal sebagai sebuah gerakan, feminisme berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta adanya usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut (Fakih, 2012:99). Penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan tersebut termasuk dalam ketimpangan gender. Selain adanya ketimpangan gender, perempuan juga kerap mengalami diskriminasi, baik dalam segi ekonomi, kultural, maupun sosial. Diskriminasi ini dilandasi dengan adanya asumsi bahwa perempuan bersifat lemah bila dibandingkan dengan laki-laki, dan perempuan tidak mampu menjadi seperti lakilaki. Perempuan diletakkan pada posisi yang subordinat, sebagai pihak kedua yang menjadi pelengkap laki-laki. Pada umumnya para analis feminisme berpendapat bahwa inferioritas ini disebabkan tradisi kuat yang dipegang baik gereja, pemerintah, maupun masyarakat luas (Soenarjati-Djajanegara, 1995:39) Adanya berbagai ketimpangan dan sikap yang merendahkan perempuan menyebabkan gerakan feminis semakin berkembang. Berbagai kritik dalam perspektif feminis pun bermunculan. Kritik-kritik yang dilakukan menyangkut kritik terhadap berbagai produk budaya yang dihasilkan oleh sistem patriarki, seperti stereotipe terhadap perempuan, wacana iklan, film, budaya populer, hingga karya sastra yang menjadi cermin budaya. Kritik sastra feminis terhadap suatu karya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sugihastuti (2011: 136), bertujuan untuk menunjukkan citra perempuan dalam berbagai karya sastra yang menampilkan perempuan sebagai mahkluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh sistem patriarki yang dominan.
20
Kritik sastra feminis merupakan sebuah pendekatan akademik pada studi sastra yang mengaplikasikan pemikiran feminis untuk menganalisis teks sastra dan konteks produksi dan resepsi (Goodman dalam Sofia, 2009:20). Kritik sastra feminis mempermasalahkan asumsi tentang perempuan yang berdasarkan paham tertentu selalu dikaitkan dengan kodrat perempuan yang kemudian menimbulkan isu tertentu tentang perempuan. Selain itu, kritik ini berusaha mengidentifikasi suatu pengalaman manusia dalam sastra. Hal ini dimaksudkan untuk mengubah pemahaman terhadap karya sastra sekaligus terhadap signifikansi berbagai kode gender yang ditampilkan teks berdasarkan hipotesis yang disusun (Schowalter dalam Culler, 1983:50). Namun, kritik feminis tidak terlepas dari kehadiran tokoh laki-laki. Feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat sistem patriarki dan menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki (Som, 2010:6). Lenz (Culler, 1983:46) menyatakan bahwa kritik sastra feminis merupakan pengimbang terhadap bias gender dalam tradisi kritik yang selalu menekankan pada
karakter,
tema,
dan
fantasi-fantasi
laki-laki
yang
kerap
dalam
representasinya memberikan gambaran jati diri yang berkebalikan dari kompleksitas karakter dan porsi perempuan sesungguhnya. Salah satu pendekatan yang bisa digunakan dalam kritik sastra feminis ialah konsep reading as a woman yang dicetuskan oleh Jonathan Culler. Reading as a woman ialah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. Pembacaan dalam reading as a woman digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki (Culler,
21
1983:43–44). Dengan pendekatan reading as woman dalam kritik sastra feminis, pembaca akan bisa menempatkan dirinya sebagai pembaca perempuan yang selama ini karakteristiknya dibatasi oleh kepentingan-kepentingan laki-laki. Salah satu strategi dalam pendekatan reading as a woman diajukan oleh Millet (Culler, 1983:47), yaitu dengan cara mengambil ide-ide pengarang dalam karya sastra dan mengonfrontasi mereka secara langsung.
1.5.3 Konsep Objektivikasi Berkaitan dengan konsep oposisi biner yang disampaikan oleh Beauvoir, penempatan perempuan pada posisi objek beroposisi dengan penempatan laki-laki pada posisi subjek. Bagi Ruthven (1984: 41—42) oposisi biner perempuan dan laki-laki menjadi tidak seimbang karena perempuan kemudian diletakkan pada posisi subordinat dan pelengkap. Sebagai pelengkap, perempuan menjadi objek laki-laki dan berakibat perempuan menyerahkan tubuh dan keputusan-keputusan untuk hidupnya kepada laki-laki. Konstruksi sosial dan kultural dalam sistem patriarki menempatkan perempuan pada posisi yang lemah dan laki-laki pada posisi yang kuat. Perempuan seakan tidak memiliki kekuasaan, bahkan untuk dirinya sendiri, karena kekuasaan sepenuhnya berada di tangan laki-laki. Selain itu, perempuan kerap ditempatkan sebagai sosok yang lain atau liyan (the other). Peliyanan terhadap perempuan menyebabkan perempuan semakin tersingkirkan dan tidak diakui eksistensinya. Meminjam istilah Beauvoir (Siswanti, 2003:21), perempuan
22
diposisikan sebagai the second sex atau being for others yang berarti ada untuk orang lain. Menurut Beauvoir (Adji, Meilinawati, dan Banita, 2010:39), perempuan kemudian ditempatkan sebagai liyan karena laki-laki menyatakan dirinya sebagai subjek dan ada yang bebas. Oleh sebab itu, gagasan tentang objek dan liyan pun muncul. Perempuan kemudian menjadi segala sesuatu yang bukan laki-laki karena keduanya ditempatkan dalam sebuah oposisi biner. Laki-laki adalah bebas, yaitu makhluk yang menentukan dirinya sendiri dan yang mendefinisi makna eksistensinya. Perempuan adalah liyan, yairu objek yang tidak menentukan makna eksistensinya sendiri (Tong, 1998:9). Keliyanan perempuan tersebut berujung pada tindakan opresi terhadap perempuan. Pada akhirnya, keseluruhan tubuh perempuan digambarkan dan diberi identitas oleh sistem patriarki sehingga perempuan tidak bisa memberikan identitas terhadap dirinya sendiri. Selain itu, identitas perempuan selalu berhubungan dengan identitas laki-laki. Keberadaan perempuan ditentukan dalam hubungannya dengan laki-laki, bukan karena mereka memiliki identitas sendiri. Laki-laki menjadi ukuran dan standar untuk mendefinisikan dan menentukan kodrat perempuan, bukan perempuan yang diukur atas kualitas yang dimilikinya sendiri (Adji, Meilinawati, dan Banita, 2010:10). Selain pandangan Beauvoir tentang keliyanan perempuan, ada juga pandangan dikotomik Descartes yang menempatkan perempuan pada posisi yang lemah. Descartes (Adji, Meilinawati, dan Banita, 2010:31) mengkaitkan hubungan antara perempuan dan laki-laki dengan alam dan manusia. Perempuan
23
diasosiasikan sebagai alam, sedangkan laki-laki diasosiasikan sebagai manusia. Namun, asosiasi tersebut berdampak pada peletakan laki-laki pada posisi subjek dan perempuan pada posisi objek. Sebagai subjek, laki-laki memiliki legitimasi untuk menguasai dan mendominasi perempuan yang merupakan objek untuk dikuasai. Secara historis, Jackson dan Jones (2009:1) menyatakan bahwa perempuan memang hidup dalam masyarakat yang didominasi laki-laki. Perempuan lebih sering dijadikan sasaran dibandingkan pelaku, objek dibandingkan subjek, dan pasif dibandingkan aktif. Dominasi juga menyebabkan perempuan menjadi terbatasi dalam melakukan berbagai aktivitas di dalam hidupnya. Frazer (2009:94) mengatakan bahwa perempuan tidak dipandang sebagai individu yang sepenuhnya mandiri dan memiliki status warga yang dewasa. Perempuan tidak sepenuhnya bebas dalam menentukan hidupnya. Ia terikat oleh berbagai aturan dan kekuasaan yang mengekang dan mendominasi perempuan. Perempuan dianggap tidak bisa menentukan dan memilih hal yang terbaik untuknya. Oleh sebab itu, perempuan kerap sulit, bahkan tidak bisa, mengikuti keinginan dirinya sendiri. Menurut Bubeck dan Dietz (Frazer, 2009:94–95) ada pandangan bahwa perempuan harus dikunci pada serangkaian peran sosial yang telah dipaksakan kepada mereka dalam masyarakat, dan dalam masyarakat tersebut laki-laki dan perempuan memiliki kekuasaan yang tidak imbang. Secara eksklusif, laki-laki telah mengklaim kategori diri atau subjek untuk diri mereka sendiri dan menurunkan status perempuan sebagai liyan selamanya. Kategori perempuan
24
tidak memiliki substansi apapun, melainkan hanya sebagai gambaran dari fantasi laki-laki, yaitu mitos tentang femininitas yang abadi dan ketakutan. Perempuan diharuskan menerima keberadaan dirinya sebagai liyan, sebagai objek dan meninggalkan otonominya sendiri (Thornham, 2010:41). Sebagai objek, perempuan dipandang layaknya benda mati. Karena tidak lagi memiliki kekuasaan untuk menentukan otonomi dirinya sendiri, perempuan dipandang hanya sebagai wujudnya yang tampak dan yang pertama dilihat dari perempuan adalah tubuhnya. Menurut Clark (Carson, 2010:151), tubuh perempuan disusun dan disempurnakan ke dalam sebuah bentuk yang diidealkan, yang berfungsi sebagai simbol dari kecantikan perempuan yang dijadikan objek. Berbagai konsep kecantikan yang ideal dibuat dan dilekatkan pada tubuh perempuan. Konsep-konsep tersebut kemudian mengatur dan mengikat tubuh perempuan. Tubuh perempuan menjadi terbatasi dengan berbagai aturan dan idealisasi. Sebagai sebuah bidang kajian ilmu, feminisme sangat memperhatikan bagaimana tubuh-tubuh perempuan dikontrol dalam sistem patriarki. Sistem patriarki mengatur akses-akses perempuan pada berbagai layanan sosial, seperti kontrasepsi dan aborsi, sedangkan pada saat yang sama bentuk-bentuk tubuh mereka yang diidealkan kemudian diobjektivikasi dengan bermacam cara untuk konsumsi laki-laki dan hiburan seksual (Carson, 2010:147). Kritik feminis sering berupa usaha untuk keluar dari stereotipe perempuan dan menggunakannya sebagai sarana untuk mengidentifikasi bagaimana representasi-representasi kultural yang terbatas ini mendukung penindasan
25
terhadap perempuan. Misalnya, dengan direpresentasikan sebagai objek seksual dan bukan sebagai subjek-subjek yang secara politik kuat, perempuan selalu menerima sebuah versi femininitas dan keperempuanan yang terbatas dan kemudian membatasi (LeBihan, 2010:164). Keterbatasan perempuan hadir dengan adanya penguasaan terhadap mereka oleh laki-laki dan sistem patriarki. John Berger (Carson, 2010:152) menyatakan bahwa kehadiran seorang laki-laki merupakan janji atas kekuasaan, sedangkan kehadiran perempuan mengimplikasikan penunjukan diri secara sadar. Keberartian diri perempuan terbelah antara pengamat dan yang diamati. Laki-laki bertindak dan perempuan tampak, atau dengan kata lain perempuan melihat dirinya sendiri menjadi objek untuk dilihat. Beberapa poin penting dalam permasalahan feminisme adalah kedudukan perempuan yang pasif dan objektivikasi perempuan. Objektivikasi berasal dari kata objectification. Di dalam The Oxford English Dictionary (1993:16) terdapat definisi mengenai objectification, yaitu aksi atau sikap mengobjekkan, atau kondisi diperlakukan seperti benda atau dibendakan. Secara leksikal, di dalam Webster’s Third New International Dictionary (1981:1555), objectification juga diartikan sebagai (1) sikap, hal, atau proses membuat objektif; (2) keadaan diobjekkan, sesuatu yang diobjekkan. Dalam A Feminist Dictionary, Kramarae dan Treichler (1985:310) mendefinisikan objectification sebagai sebuah proses primer dari subjection terhadap perempuan. Subjection ialah nomina dari membawa atau membuat sesuatu menjadi di bawah kendali atau dominasi.
26
Selanjutnya, di dalam bahasa Indonesia, objectification diserap menjadi objektivikasi. Hal tersebut disesuaikan dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan & Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Dalam penyesuaian ejaan sufiks (2012:79), dijelaskan mengenai beberapa penyesuaian ejaan yang berasal dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Salah satunya, terdapat penyesuaian sufiks -ficatie dalam bahasa Belanda atau sufiks -fication dalam bahasa Inggris menjadi sufiks –fikasi dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, fonem f di dalam objektivikasi diubah menjadi fonem v karena di dalam bahasa Indonesia, kata yang memiliki fonem akhir f akan berubah menjadi fonem v apabila mendapatkan tambahan morfem. Contohnya ialah seperti produktif yang berubah menjadi produktivitas, aktif yang berubah menjadi aktivasi, dan begitu pula pada objektif yang berubah menjadi objektivikasi. Kelompok perempuan New York Penentang Pornografi (Gamble, 2010:373) mendefinisikan objektivikasi sebagai sebuah proses kelompok yang berkuasa menetapkan dan mempertahankan dominasi atas kelompok yang memiliki sedikit kekuasaan dengan mengajarkan bahwa kelompok subordinat bukanlah manusia utuh, atau bagaikan sebuah objek. Hal ini menghalangi kelompok yang memiliki sedikit kekuasaan. Bagi para peserta kampanye antipornografi, masalah pornografii bukanlah menyangkut moral sebagaimana kecenderungannya untuk memperlakukan perempuan sebagai objek atau untuk digunakan demi kesenangan laki-laki. Akan tetapi, pornografi hanya manifestasi paling ekstrim dari sebuah proses objektivikasi yang menyatukan budaya representasi pada tiap-tiap tingkatan. Konvensi asrtistik mengenai telanjang
27
(nude), sebagai contoh, dengan cara yang sama mengonstruksi perempuan sebagai penerima pasif dari tatapan laki-laki. Gonda (2009:205) mendefinisikan objektivikasi sebagai pandangan atau sikap yang memperlakukan perempuan sebagai objek seksual. Dalam kaitannya dengan seksualitas, perempuan diposisikan sebagai penerima pasif berbagai perlakuan-perlakuan seksual, sedangkan laki-laki merupakan pelaku aktif. Dengan kata lain, perempuan diobjektivikasi dengan cara dijadikan sebagai penerima pasif. Objektivikasi berbeda dengan opresi, inferioritas, marginalitas, ataupun subordinasi. Opresi merupakan istilah yang sering digunakan dalam berbagai tulisan feminis untuk menyatakan kondisi dan pengalaman subordinasi dan ketidakadilan terhadap perempuan (Kramarae dan Treichler, 1985:314). Menurut Kennedy (Kramarae dan Treichler, 1985:314) opresi memiliki empat dimensi, yaitu dimensi personal atau psikologis, dimensi privat, dimensi publik, dan dimensi budaya. Dalam kamus Webster’s New Collegiate Dictionary (1949:429), inferioritas diartikan sebagai (1) situasi direndahkan; (2) berada di tingkat atau mutu yang rendah dalam berbagai skala; (3) tidak atau kurang penting, berharga, atau bermanfaat. Inferioritas terhadap perempuan berarti meletakkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dan menganggap perempuan tidak atau kurang penting, berharga, atau bermanfaat dibandingkan laki-laki. Sementara itu di dalam Webster’s New Collegiate Dictionary (1949:514), marginalitas diartikan sebagai asimilasi yang tidak lengkap dan penolakan secara
28
menyeluruh dari penerimaan sosial dan partisipasi oleh kelompok yang dominan karena rasisme ataupun budaya. Marginalitas juga dapat diartikan sebagai (1) semakin miskin dan tersingkirnya kaum perempuan karena tidak mendapatkan sesuatu, misalnya pekerjaan, dan hal ini juga dapat terjadi dalam lingkup rumah tangga, masyarakat, kultur dan negara, serta tafsir keagamaan; (2) kecenderungan meminggirkan perempuan dalam sektor-sektor kehidupan (Sugihastuti dan Sastriyani, 2007:146). Fakih (2012:12) mengartikan marginalitas sebagai proses pemiskinan secara ekonomi. Jadi, secara umum dapat disimpulkan bahwa marginalitas adalah proses meletakkan perempuan pada posisi terpinggirkan dalam sektor-sektor kehidupan, khususnya dalam bidang ekonomi, sehingga mengakibatkan perempuan berada pada posisi yang lemah secara ekonomi. Bentuk marginalitas terhadap perempuan yang paling umum dapat dilihat dalam sektor publik, yaitu bidang profesi. Perempuan dianggap tidak sesuai atau tidak mampu menjalani beberapa profesi tertentu di ruang publik. Bahkan, ada pula yang beranggapan bahwa perempuan tidak seharusnya bekerja, melainkan hanya boleh bekerja di lingkup rumah tangga untuk mengurusi keluarga. Subordinasi ialah (1) dibatasinya perempuan hanya pada aktivitas tertentu dan dibatasinya mereka dengan orang lain yang lebih rendah diletakkan pada tugas serta posisi sosial mereka; (2) angapan-anggapan yang muncul dalam masyarakat, misalnya anggapan bahwa wanita itu irrasional, emosional, sehingga tidak dapat memimpin dan berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting; dan (3) dibatasinya perempuan dalam
29
aktivitas tertentu dan dinilai rendah (Sugihastuti dan Sastriyani, 2007:225). Fakih (2012:12) mengartikan subordinasi sebagai penganggapan tidak penting dalam keputusan politik. Jadi, subordinasi adalah anggapan yang dilekatkan pada perempuan bahwa perempuan tidak penting, tidak mampu, dan tidak cakap sehingga perempuan menjadi terbatasi dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan bentuk-bentuk ketidakadilan terhadap perempuan yang telah dijabarkan di atas, objektivikasi lebih mengarah pada peletakan perempuan sebagai objek atau sasaran dari berbagai tindakan yang dikenakan atas diri perempuan. Objektivikasi menempatkan perempuan sebagai penerima pasif dari suatu tindakan aktif. Objektivikasi juga dapat berupa pembungkaman atas diri perempuan, sehingga perempuan tidak bisa menentukan keinginan dirinya sendiri. Dalam buku yang berjudul Teori Feminis dan Cultural Studies: Tentang Relasi yang Belum Terselesaikan, Thornham (2010) menjelaskan mengenai konsep objektivikasi terhadap perempuan. Thornham (2010:23) menyatakan bahwa perempuan diposisikan sebagai spesies manusia yang lain, sebagai objektivikasi untuk tatapan laki-laki dan terlibat dalam objektivikasi itu. Selain itu, perempuan juga diperlakukan sebagai yang diperbudak di dalam objektivikasi. Perempuan diobjektivikasi, dididik untuk memuaskan mata yang tdak mudah puas, dan didesak untuk berpartisipasi dalam objektivikasi mereka sendiri. Keterlibatan perempuan dalam objektivikasi terhadap diri mereka sendiri dapat berbentuk kepasrahan diri dalam menerima berbagai tindakan dan ketentuan yang dikenakan pada mereka. Pada tingkat yang sederhana, kepasrahan perempuan terhadap objektivikasi ialah berupa penerimaan diri mereka untuk
30
dijadikan sebagai sasaran hasrat laki-laki. Menurut Roesseau (Thornham, 2010:23) perilaku dan sikap perempuan dibentuk sedemikian rupa untuk menjadikan mereka objek hasrat yang tidak penting. Pada kenyataannya, banyak perempuan yang menerima hal tersebut, bahkan membuka persaingan dengan sesama perempuan untuk menjadi objek hasrat laki-laki. Pembentukan perempuan menjadi objek hasrat menghadirkan peluang bagi perempuan untuk menjadi sasaran godaan laki-laki. Di dalam tindakan penggodaan perempuan yang dilakukan oleh laki-laki tersebut, menurut Rachel Bowlby (Thornham, 2010:189), terdapat sebuah paradigma ideologi yang menempatkan perempuan sebagai objek yang menghasilkan (yielding object) bagi subjek laki-laki berkuasa, yang membentuk dan memengaruhi mereka dengan hasrat-hasrat mereka. Penempatan perempuan dalam posisi objek yang dilakukan oleh laki-laki bersumber dari adanya kuasa dan sistem patriarki. Salah satu tokoh feminis yang mempunyai kontribusi besar bagi pembongkaran terhadap kuasa patriarki yang membuat laki-laki mengobjektivikasi atas diri perempuan adalah Simone de Beauvoir. Dalam buku The Second Sex, Beauvoir (Adji, Meilinawati, dan Banita, 2010:48) mengkritik kecenderungan cara pandang laki-laki untuk menjadikan dirinya sebagai subjek. Peletakan diri laki-laki menjadi subjek membuat perempuan kemudian ditempatkan sebagai objek. Perempuan dibentuk sebagai sosok yang pasif, menunggu, dan menjadi objek dari tindakan aktif laki-laki. Selanjutnya, pada gerakan feminis gelombang kedua tahun 1970-an, objektivikasi menjadi salah satu isu yang cukup penting (Carson, 2010:148).
31
Tema tentang perempuan yang direpresentasikan secara negatif sebagai stereotipe dan objek-objek dari pandangan laki-laki dalam berbagai konvensi visual, baik dalam seni serius maupun dalam budaya populer, hangat diperbincangkan. Selain itu, terdapat juga wacana mengenai perempuan yang ditempatkan dalam posisi ketidakhadiran. Claire Johnston (Thornham, 2010:222) menyatakan bahwa dalam ideologi seksis dan sinema yang didominasi oleh laki-laki, perempuan dipresentasikan sebagai apa yang ia representasikan bagi laki-laki dan sebagian besar perempuan dianggap tidak hadir (absent). Ketidakhadiran perempuan merupakan akibat adanya representasi terhadap dirinya. Menurut Lury (Thornham, 2010:254), perempuan selalu diposisikan pada sisi representasi untuk dipandang. Representasi yang menganggap perempuan hanyalah sebagai objek untuk dipandang menyebabkan perempuan tidak mampu memiliki otonomi atas dirinya sendiri dan kemudian memaksa perempuan berada pada ketidakhadiran. Pemosisian perempuan dalam sisi representasi untuk dipandang merupakan
salah satu
bentuk
objektivikasi
yang kemudian
dinaturalisasi dan dianggap sebagai sebuah konstruksi yang sudah semestinya terjadi. Teori-teori tentang objektivikasi tubuh perempuan berkembang pesat semenjak Mulvey (Carson, 2010:152) menulis esainya yang berjudul “Visual Pleasure and Narrative Cinema”. Di dalam esainya, Mulvey menganalisis representasi bintang-bintang perempuan dalam hal objektivikasi mereka oleh pandangan laki-laki dalam sinema naratif Hollywood. Dengan menerapkan teori psikoanalisis
dan
strukturalis,
Mulvey berpendapat
bahwa
kesenangan-
32
kesenangan sinematik yang diperoleh dari melihat sebenarnya merupakan fantasifantasi laki-laki. Kesenangan-kesenangan voyeuristik atas fantasi sinematik membentuk karakter perempuan dan bintang-bintang perempuan sebagai objekobjek pujaan dari pandangan maskulin, apapun gender penonton. Istilah visual pleasure, atau kenikmatan visual, terhubung tanpa mampu diubah dengan Laura Mulvey dan artikelnya. Mulvey mengemukakan bahwa sinema naratif dikaitkan dengan male gaze, atau tatapan laki-laki, yaitu sebuah pandangan pengontrol dan penentu yang memperbaiki citra perempuan sebagai sosok yang pasif, yaitu sebagai objek tatapan laki-laki yang aktif, melalui kesenangan-kesenangan dari scopophilia. Scopophilia adalah kesenangan dalam melihat pada orang lain sebagai sebuah objek yang erotis (Gamble, 2010:434). Objektivikasi perempuan memiliki beragam bentuk, baik yang secara implisit maupun yang eksplisit terlihat. Berbagai macam bentuk objektivikasi tersebut tidak selalu disadari kehadirannya. Salah satu contoh bentuk objektivikasi terhadap perempuan terdapat di dalam film. Dalam jurnal Women and Film (Thornham, 2010:117), pada editorial pertama dijelaskan bahwa perempuan ditindas dalam industri film. Di dalam film, perempuan biasa berperan menjadi resepsionis, sekretaris, gadis dengan pekerjaan sambilan, gadis-gadis yang disokong, dan lain-lain. Dalam peran tersebut, perempuan ditindas dengan diperankan sebagai citra-citra objek seks, korban, ataupun perempuan penggoda laki-laki. Mulvey (Thornham, 2010:122) juga menganggap bahwa perempuan ditampilkan sebagai objek pandangan di dalam film. Perempuan ditampilkan
33
bukan sebagai subjek, melainkan objek melalui tubuh mereka yang dierotiskan dan sering dipisahkan. Menurut Mulvey, pemisahan antara laki-laki yang aktif dan perempuan yang pasif juga membentuk narasi film. Pahlawan filmlah yang menguasai cerita dan menjadi inti dari keseluruhan cerita, dan yang menempati posisi sebagai pahlawan cerita adalah laki-laki. Selain itu, pahlawan film juga yang mengatur kejadian-kejadian, perempuan, dan pandangan erotis. Sebaliknya, perempuan berfungsi sebagai tontonan erotis dan lebih bersifat selingan daripada penguasa narasi. Meskipun dalam beberapa film tokoh perempuan menempati tokoh utama, tetapi peran aktif tokoh perempuan tidak bertahan lama. Menurut Thornham (2010:123) peran protagonis perempuan dalam film-film dimulai sebagai agen aktif yang kemudian menjadi agen pasif dan penonton diminta untuk mengakrabi objektivikasi tersebut serta penghinaan yang mengikutinya. Film ataupun sinema selalu mengkonstruksikan feminin sebagai objek tatapan sehingga menyangkal subjek perempuan sebagai sebuah pandangan yang objektif tentang diri (Gamble, 2010:352). Unsur feminin dan maskulin selalu dihadirkan di dalam sebuah film melalui representasi tokoh laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, feminin berada pada posisi sebagai objek dan maskulin berada pada posisi oposisinya, yaitu sebagai subjek. Menurut John Berger (Gamble, 2010:308) dalam Ways of Seeing (1972), perempuan terbiasa untuk menjadi objek tatapan laki-laki, namun perempuan tidak mengembalikan tatapan tersebut dengan tujuan menjadikan laki-laki sebagai objek-objek hasrat mereka. Laura Mulvey (Gamble, 2010:308) menganalisis cara
34
film-film memosisikan penonton laki-laki dan perempuan secara berbeda. Menurut Mulvey, perempuan dikontrol dalam film dengan harus berperan sebagai pemandangan seksual bagi laki-laki dan melalui tatapan yang diasumsikan seorang pemeran laki-laki dan sutradara laki-laki. Dengan kata lain, tatapan yang direproduksi dalam film merupakan voyeuristik yang membuat subjek perempuan menjadi objek dan hasrat laki-laki. Selain terdapat di dalam film, objektivikasi perempuan juga banyak ditemukan di dalam karya sastra yang bermediakan bahasa. Dalam karya sastra, bahasa menjadi salah satu sarana objektivikasi terhadap perempuan. Kajian teoretis feminisme mempertanyakan isu-isu pembungkaman dan pembisuan karena cara subjek perempuan telah dipaksa untuk menyuarakan kedirian dalam kaitannya dengan sang penindas (Gamble, 2010:387 – 388). Melalui bahasa yang menyusun karya sastra, bentuk-bentuk objektivikasi terhadap perempuan dapat dibongkar. Salah satu contohnya ialah dengan memperhatikan penggunaan awalan. Menurut Adji, Meilinawati, dan Banita (2010:68) penggunaan awalan dipada predikat selalu berpretensi untuk menjadikan subjek dalam kalimat sebagai objek. Hal tersebut berarti menjadikan subjek perempuan dalam kalimat tersebut terbatasi dalam kekuasaan orang lain, dan dalam hal ini kekuasaan laki-laki. Selain dari aspek bahasa, objektivikasi perempuan dalam karya sastra juga dapat dilihat dari pemosisian perempuan dalam narasi. Karakter yang dilekatkan pada perempuan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada perempuan dapat menunjukkan posisi perempuan yang diobjektivikasi. Pembongkaran terhadap aspek penokohan, alur, dan latar pada karya sastra bisa menjadi sarana untuk
35
menemukan objektivikasi terhadap perempuan, seperti pembongkaran terhadap posisi perempuan berdasarkan aspek penokohan di dalam narasi. Menurut Thornham (2010:262 – 263), di dalam suatu narasi perempuan tidak dapat menjadi tokoh perempuan. Pernyataannya tersebut berarti bahwa perempuan tidak dapat menjadi seorang subjek perempuan yang utuh dan mandiri di dalam narasi. Laki-laki selalu ditempatkan sebagai subjek di dalam narasi. Perempuan mungkin akan mendapat kedudukan yang baik di dalam narasi, seperti berakhir dengan menikahi seorang pangeran atau raja. Akan tetapi, tokoh perempuan tidak akan pernah menjadi pusat dari kisahnya sendiri. Selain di dalam sebuah narasi karya sastra, objektivikasi terhadap perempuan juga dapat terkandung dalam media lain, yaitu majalah. Di dalam majalah pun perempuan kerap diobjektivikasi melalui proses pembentukan ataupun idealisasi tubuh perempuan. Menurut Gamble (2010:251), majalahmajalah tentang pembentukan tubuh telah dikecam lantaran pengekangan yang berpotensi mengganggu pembentukan tubuh perempuan yang memilih untuk merepresentasikan mereka sebagai objek-objek yang diobjektivikasi dari hasrat laki-laki. Secara umum, perempuan dalam hal citra dan cerminan di media memang menjadi objek tatapan dan bukan subjek (Thornham, 2009:372). Di dalam citra-citra ideal perempuan yang dipresentasikan di dalam majalah, terdapat pemosisian perempuan sebagai objek. Winship (Thornham, 2010:89 – 90) memberikan penjelasan tentang implikasi dari adanya citra ideal perempuan yang termuat di dalam majalah, yaitu perempuan tidak semata-mata digambarkan sebagai perempuan yang ideal tetapi juga berdampak pada
36
pemosisian bukan-perempun. Perempuan diposisikan bukan sebagai orang yang hidup, fluktuatif, dan misterius, tetapi ia diposisikan sebagai benda, dibentuk dari berbagai komoditas, seperti tata rias dan busana. Selain itu, perempuan juga menjadi komoditas yang dikonsumsi di dalam majalah tersebut. Para feminis mengamati bahwa kebiasaan pengobjektivikasian perempuan dalam film, seni, dan sastra mempunyai pengaruh bagi perempuan dalam situasisituasi yang nyata. Perempuan dibungkam, baik secara terbuka melalui pembatasan terhadap konteks dan peran maupun secara terselubung melalui berbagai praktik sosial yang tidak terlalu formal, yang secara efektif melarang perempuan
dalam
banyak
konteks
keseharian
(Cameron,
2009:264).
Pembungkaman perempuan menyebabkan perempuan berada dalam status pembisuan sehingga ia tidak bisa menyuarakan identitasnya secara utuh. Identitas perempuan lebih banyak ditentukan dan diatur oleh sesuatu yang berada di luar dirinya. Menurut Bourdieu (Thornham, 2010:174), perempuan kerap dijadikan benda yang dipertukarkan, diinvestasikan, dibentuk, dan dikonsumsi, baik oleh laki-laki maupun sistem patriarki yang berlaku. Perempuan kehilangan kuasanya, bahkan untuk menentukan identitasnya sendiri. Perempuan tidak lagi menjadi subjek, tetapi menjadi objek. Menurut Thornham (2010:192), tidak ada pembedaan yang jelas antara identitas perempuan sebagai subjek dan posisi perempuan sebagai objek karena identitas perempuan secara umum telah dikomodifikasikan dan dipertukarkan. Identitas perempuan merupakan hasil konstruksi dari komoditas-komoditas yang mengidentifikasi
diri
perempuan.
Berawal
dari
objektivikasi
terhadap
37
identitasnya, objektivikasi kemudian berlanjut pada tubuh perempuan. Dalam sistem patriarki, tubuh perempuan telah menjadi objek pertukaran terkomodifikasi (Thornham, 2010:203). Berdasarkan definisi mengenai objektivikasi yang telah diambil dari beberapa ahli feminis di atas, pengertian objektivikasi yang digunakan di dalam penelitian ini mengacu pada peletakan perempuan pada posisi layaknya benda mati atau objek yang diam, bungkam, dan pasif menerima berbagai ketentuan dan tindakan aktif yang dikenakan atas dirinya. Selain menempatkan perempuan sebagai sasaran, objektivikasi perempuan juga dapat berupa penggambaran perempuan yang bergantung pada kehadiran oposisinya, yaitu laki-laki. Kebergantungan perempuan terhadap tokoh laki-laki membuat perempuan berada pada posisi objek yang hanya akan hadir jika posisi subjek telah terisi. Dalam sistem patriarki, Budiman (2000:25) mengartikan subjek sebagai pusat yang ditempati oleh laki-laki dan objek sebagai pinggiran yang ditempati oleh perempuan. Objektivikasi muncul karena adanya sistem patriarki. Sistem patriarki selama ini telah mengkonstruksi relasi laki-laki dan perempuan sehingga perempuan menjadi objek dan karena itu sistem patriarki merasa lebih berhak atas tubuh perempuan sehingga baik atau buruknya ditentukan oleh sistem tersebut (Adji, Meilinawati, dan Banita, 2010:53). Beauvoir (Adji, Meilinawati, dan Banita, 2010:38–39) menyatakan bahwa faktor kesadaran menjadi faktor penting bagi keleluasaan dan kekuasaaan sistem patriarki dalam mengobjektivikasi perempuan.
38
Objektivikasi perempuan terepresentasi dalam berbagai wacana dan praktik kehidupan sehari-hari, salah satunya ialah di dalam karya sastra yang bermedia bahasa. Melalui bahasa dapat dilihat representasi sistem patriarki dalam memperlakukan perempuan. Iswary (2010:vii) mengatakan bahwa penggunaan bahasa dalam sebuah masyarakat mencerminkan realitas sosial budaya masyarakat yang bersangkutan pada zamannya. Bahasa, dengan berbagai aspeknya, dapat berfungsi mengungkap representasi bentuk-bentuk gender dalam budaya yang terkemas melalui ungkapan atau simbolisasi yang terakomodasi dalam teks karya sastra. Dalam karya sastra, perempuan kerap digambarkan bukan sebagai individu yang mandiri sebagai subjek melainkan sebagai individu yang bergantung pada subjek. Objektivikasi perempuan dalam karya sastra menyebabkan tokoh perempuan dihadirkan secara terbatas. Kehadiran tokoh perempuan akan selalu berkaitan dengan keberadaan tokoh laki-laki dan bahkan, secara implisit, tokoh perempuan diperlakukan layaknya benda mati.
1.6 Metode Penelitian Metode adalah cara yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian (Nawawi, 2007:65). Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode kualitatif. Bogdan dan Taylor (Moloeng, 2001:3) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
39
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode penelitian deskriptif analisis, yaitu metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta dan kemudian disusul dengan analisis. Analisis yang dilakukan tidak semata-mata menguraikan, tetapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya (Ratna, 2012:53). Secara keseluruhan, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menentukan kumpulan cerita rakyat Indonesia yang diambil dari buku 101 Dongeng Tradisional Indonesia (2012) karya Raditandara Moe. 2. Menyeleksi populasi dan menentukan sampel cerita rakyat Indonesia yang mengindikasikan adanya objektivikasi perempuan. 3. Menemukan data dan menganalisis identitas tokoh, baik tokoh lakilaki maupun tokoh perempuan, untuk menentukan tokoh yang bersikap profeminis dan kontrafeminis dalam data lima cerita rakyat Indonesia. 4. Menemukan dan menganalisis objektivikasi perempuan melalui aspek bahasa pengarang dalam lima cerita rakyat Indonesia. 5. Menemukan dan menganalisis adanya objektivikasi perempuan dalam lima cerita rakyat Indonesia. 6. Menyimpulkan hasil penelitian. Pada bagian menemukan data dan menganalisis data, penelitian yang dilakukan berpijak pada konsep reading as a woman yang dicetuskan oleh Jonathan Culler. Seperti yang tercantum dalam bukunya, On Deconstruction Theory and Criticism after Structuralism (1983: 44–51), konsep reading as a woman memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
40
a. Pengalaman perempuan yang berarti bahwa pembaca perempuan harus memperhatikan pengalaman perempuan dengan melihat sebagai “seorang perempuan” yang selalu dibatasi kepentingannya. b. Konsep pembaca perempuan mengarah kepada pernyataan kontinuitas di antara pengalaman perempuan secara sosial, struktur familial, dan pengalaman mereka sebagai pembaca. Kontinuitas dilakukan dengan menganggap penting situasi dan psikologi karakter perempuan dalam menyelidiki imaji atau gambaran perempuan dalam karya pengarang, genre, dan periode sastra. c. Dalam
kritik
sastra
feminis,
pembaca
perempuan
harus
mengidentifikasi karakter perempuan, kemudian mengidentifikasi karakter laki-laki yang telah menentang kepentingan mereka sebagai perempuan. d. Melakukan proses pembacaan secara keseluruhan untuk mengungkap ideologi yang terdapat dalam karya sastra.
1.7 Populasi, Sampel, dan Data Populasi adalah keseluruhan objek penelitian sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian (Nawawi, 2007:150). Dalam penelitian ini, populasi yang digunakan ialah buku 101 Dongeng Tradisional Indonesia yang ditulis oleh Raditandra Moe dan diterbitkan oleh Pustaka Rama tahun 2012. Buku ini dipilih karena memuat cerita rakyat yang bervariatif, yaitu cerita rakyat dari berbagai daerah. Cerita rakyat Aceh hingga
41
cerita rakyat Papua termuat dalam populasi yang dipilih. Selain itu, dipilihnya buku tersebut sebagai populasi adalah karena buku tersebut diterbitkan tidak hanya khusus untuk pembaca anak-anak, tetapi juga ditujukan kepada pembaca dewasa. Karena ditujukan untuk pembaca secara umum, yaitu dari anak-anak hingga dewasa, cerita rakyat yang menjadi populasi tersebut lebih bersifat netral dan dibuat sesuai dengan cerita rakyat yang ada tanpa perlu diubah ataupun disisipi narasi yang bersifat pedagogis. Sampel adalah sebagian dari populasi yang dianggap mewakili seluruh populasi dan merupakan sumber data yang sebenarnya (Nawawi, 2007:153). Dalam penelitian ini, sampel yang dipilih ialah lima cerita rakyat dari berbagai daerah berbeda yang judulnya diambil dari nama tokoh perempuan di dalam cerita. Kriteria tersebut diambil karena pemberian judul yang diambil dari nama tokoh perempuan mengindikasikan bahwa di dalam cerita rakyat tersebut terdapat tokoh perempuan yang kehadirannya dianggap cukup dominan sehingga namanya pun dipilih sebagai judul cerita. Selain itu, sampel juga dipilih berdasarkan kerepresentatifan cerita terhadap penelitian yang dilakukan. Cerita rakyat Indonesia yang dipilih sebagai sampel ialah “Putri yang Berubah Menjadi Ular” (Cerita Rakyat Sumatera Utara), “Putri Mambang Linau” (Cerita Rakyat Riau), “Putri Tujuh” (Cerita Rakyat Riau), “Ning Rangda” (Cerita Rakyat Kalimantan Selatan), dan “Dewi Luing Indung Bunga” (Cerita Rakyat Kalimantan Selatan). Data adalah keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian (KBBI, 2012:297). Data dalam penelitian ini merupakan data kualitatif, yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk kalimat atau uraian (Nawawi, 2007:103). Data
42
yang digunakan dalam penelitian ini ialah teks yang berupa diksi, kalimat, paragraf, ataupun wacana yang menunjukkan adanya objektivikasi perempuan dalam cerita rakyat Indonesia yang telah dipilih sebagai sampel. Data-data tersebut merupakan data yang akan dianalisis dalam penelitian ini untuk mencari identifikasi tokoh yang bersikap profeminis dan kontrafeminis dalam cerita rakyat Indonesia, aspek kebahasaan yang menunjukkan adanya objektivikasi perempuan, dan objektivikasi perempuan dalam cerita rakyat Indonesia.
1.8 Sistematika Laporan Penelitian Penelitian ini terbagi ke dalam lima bab. Bab I ialah pendahuluan yang terdiri atas latar belakang penelitian; rumusan masalah penelitian; tujuan penelitian; tinjauan pustaka; landasan teori; metode penelitian; populasi, sampel, dan data; dan sistematika penyajian. Bab II ialah identifikasi tokoh profeminis dan kontrafeminis yang terdiri atas identifikasi tokoh profeminis dan kontrafeminis dalam cerita rakyat Sumatera Utara: “Putri yang Berubah Menjadi Ular”; identifikasi tokoh profeminis dan kontrafeminis dalam cerita rakyat Riau: “Putri Mambang Linau”; identifikasi tokoh profeminis dan kontrafeminis dalam cerita rakyat Riau: “Putri Tujuh”; identifikasi tokoh profeminis dan kontrafeminis dalam cerita rakyat Kalimantan Selatan: “Ning Rangda”; dan identifikasi tokoh profeminis dan kontrafeminis dalam cerita rakyat Kalimantan Selatan: “Dewi Luing Indung Bunga”. Bab III ialah analisis kebahasaan yang terdiri dari pilihan kata atau diksi dan gaya bahasa.
43
Bab IV ialah objektivikasi perempuan dalam cerita rakyat Indonesia yang terdiri atas objektivikasi perempuan dalam cerita rakyat Sumatera Utara: “Putri yang Berubah Menjadi Ular”; objektivikasi perempuan dalam cerita rakyat Riau: “Putri Mambang Linau”; objektivikasi perempuan dalam cerita rakyat Riau: “Putri Tujuh”; objektivikasi perempuan dalam cerita rakyat Kalimantan Selatan: “Ning Rangda”; dan objektivikasi perempuan dalam cerita rakyat Kalimantan Selatan: “Dewi Luing Indung Bunga”. Bab V adalah kesimpulan.