BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu persyaratan pelaksanaan sistem demokrasi adalah keikutsertaan rakyat dalam proses pemerintahan. Masyarakat mempunyai akses ke sistem pemerintahan memberikan partisipasi dalam memilih siapa yang akan menjadi pemimpin mereka. Dalam sistem Negara dimana terbentuk Lembaga Perwakilan Rakyat, maka kemauan rakyat itu diwakilkan kepada mereka yang duduk dalam lembaga perwakilan rakyat. Diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia mempunyai tujuan untuk memberdayakan masyarakat lokal. Sebelumnya pemilhan kepala daerah seringkali turut dipengaruhi oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah provinsi untuk pemilihan kepala daerah kabupaten. Di era reformasi kewenangan untuk memilih seorang kepala daerah sepenuhnya dilakukan oleh rakyat. Pemilihan kandidat politik untuk bursa eksekutif dan legislative di zaman serba terbuka sekarang ini, tampaknya seperti sedang mengadopsi model atau event pasar produk bisnis komersial. Tiba-tiba dengan tempo singkat, menyeret sejumlah besar pelaku terlibat langsung dan tidak langsung dalam menanggapi event ini. Di antara mereka saling menjajaki satu sama lain, membuka penawaran, saling berpromosi, adu kompetisi, memobilisasi resources, negosiasi alot, menggandeng spekulan, serta memacu mobilitas dan popularitas. Pemilihan langsung telah mendekatkan antara kandidat dengan masyarakat. Seleksi pimpinan Nasional sampai kepemimpinan lokal
Universitas Sumatera Utara
dilaksanakan langsung. Pemilih akan menjatuhkan pilihannya kepada sang idola saat sudah berada di bilik suara. Pemilu 2004 menjadi pengalaman pertama rakyat menitipkan kepercayaannya langsung kepada tokoh pilihannya. Pemilihan DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden yang berlangsung dua tahap ternyata menjadi ajang pencitraan publik figur bagi para kontestan di atas panggung Nasional. Demikianlah kelak pemilihan kandidat politik di tingkat lokal. Rakyat memilih langsung siapa yang pantas sesuai menjadi Kepala Daerah di wilayahnya. Bupati, Walikota dan gubernur adalah jabatan-jabatan publik untuk siapa saja yang ingin maju tampil menjadi kontestan. Bursa pencalonan lebih terbuka, kompetitif dan partisipatif. Sementara siklus dan rotasi kepemimpinan di pastikan berjalan dinamis sambil memberi ruang-ruang kebebasan sepanjang proses transisi demokratik yang tak mungkin lagi terhindarkan. Sekarang siapa yang dapat menjadi kandidat politik? Kesempatan terbuka bagi siapapun yang ingin optimal meraihnya. 2 Permasalahan yang muncul adalah adanya berbagai macam tindak pidana yang dilakukan yang merebak diberbagai daerah dalam memilih seorang kepala daerah. Sampai sekarang pun ada kesulitan untuk mendapatkan bukti-bukti tertulis guna memprosesnya secara hukum. Padahal hukum di Indonesia senantiasa menuntut adanya bukti-bukti tertulis itu untuk dapat mengajukan seseorang ke pengadilan dengan tuduhan telah melakukan tindak pidana dalam pemilihan kepala daerah.
2
Agung wibawanto, Memenangkan Hati dan Pikiran Rakyat, PEMBARUAN, Yogyakarta, 2005, hal.6
Universitas Sumatera Utara
Saat ini di berbagai daerah setelah pilkada marak dengan aksi protes atas hasil pilkada, di mana protes-protes yang ada, terkadang menjurus ke penggunaan kekuatan fisik. Tuntutan keberatan atas hasil pilkada banyak dilakukan oleh pasangan calon yang kalah, yang pada umumnya bermuara pada kehendak untuk membatalkan hasil pilkada dan dilakukan pilkada ulang.Tuntutan atau gugatan dilakukan dengan cara mengajukan permohonan keberatan atas hasil pilkada ataupun tuntutan penyelesaian segera dugaan tindak pidanayang terkait dengan pelaksanaan pilkada. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar, namun ironis dan sangat memprihatinkan, karena dengan banyaknya gugatan pasangan calon yang kalah, justru membuktikan bahwa masyarakat negeri ini kebanyakan belum memiliki kedewasaan dalam berpolitik dan berdemokrasi. 3 Sulit memang menerima kekalahan dengan lapang dada, karena pada dasarnya setiap diri manusia selalu menginginkan kemenangan, bukan kekalahan. Sayangnya, mereka hanya berfikir kemenangan, sehingga hanya siap menang tetapi tidak siap kalah. Ketika kalah, emosi lebih dikedepankan. Kemarahan, kebencian, dan ketidakpuasan meledak, serta tindakan perlawanan atas kemenangan orang lain dilakukannya. Secara psikologis, hal itu pasti diliputi suasana permusuhan, labil, dan mudah terprovokasi. Mengutip apa yang dikatakan Edward Stevens dalam bukunya yang berjudul "The Morals Game" (1974) 4 . Dalam
"penjara sosial", terkadang
seseorang termakan oleh ideologi kelompok yang begitu kuatnya, sehingga tidak dapat membedakan antara sesuatu yang benar dengan propaganda.Sebenarnya, tuntut 3 4
Ibid.,hal7 Edward Stevens, The Morals Game, 1974
Universitas Sumatera Utara
menuntut atau gugat menggugat tidak perlu terjadi, apabila kita semua dapat mengendalikan emosi ataupun ambisi pribadi, serta mau mawas diri. Pengajuan tuntutan atau gugatan itu sesuatu hal yang wajar, karena pada hakekatnya hal tersebut merupakan hak pribadi. Namun demikian, hak tersebut perlu juga diperhatikan, serta yang terpenting harus mendasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Jangan sampai kita menuntut hak, tetapi justru melanggar hak orang lain, bahkan melanggar hukum. Maraknya gugatan keberatan hasil pilkada yang ada saat ini, pada umumnya diajukan tanpa terkait dengan kesalahan hasil perhitungan suara, tetapi lebih banyak mengarah pada mekanisme dalam pelaksanaan pilkada khususnya terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan KPUD. Gugatan dengan objek surat edaran KPUD ataupun keputusan-keputusan KPUD lainnya yang berisi petunjuk teknis pelaksanaan pilkada tentunya tidak tepat, karena KPUD selaku Panitia Pelaksana pilkada punya kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menetapkan peraturan teknis yang menyangkut mekanisme atau tata cara atau proses pelaksanaan pilkada itu sendiri, dan UU juga telah tegas membatasi bahwa kompetensi atau kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa pilkada ditentukan hanya sebatas penetapan hasil pilkada oleh KPUD saja, serta keputusan yang dikeluarkan oleh KPUD terkait dengan petunjuk teknis pelaksanaan pilkada, tidak termasuk objek keberatan. Karena itu, jika yang diajukan penggugat/pemohon tidak terkait dengan petunjuk teknis pelaksanaan pilkadan atau mengenai masalah di luar hasil penghitungan suara, secara juridis, gugatan tersebut tidak memenuhi persyaratan
Universitas Sumatera Utara
materiil dan formal, dan permohonan harus dinyatakan tidak diterima. Dengan sendirinya berarti gugatan selayaknya harus ditolak. Banyak kalangan yang meyakini bahwa pemilihan kepala daerah memiliki potensi memicu konflik dimasyarakat. Sumber potensi konflik terkait dengan dua hal, pertama berasal dari karakteristik politik lokal dan tingkah laku rata-rata elit atau pemilih yang belum sepenuhnya kondusif bagi sebuah penyelenggaraan pemilihan langsung. Kedua Sumber rawan konflik berikutnya yaitu terdapatnya kelemahan pada beberapa ketentuan didalam peraturan perundang-undangan tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), baik UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah maupun Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 mengenai Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Kelemahan dimaksud terdeteksi pada seluruh siklus Pilkada mulai dari tahap persiapan hingga setelah Pilkada. Dengan kata lain, ketentuan-ketentuan Pilkada belum dapat berfungsi sebagai aturan main guna membatasi tingkah laku pemilih, pendukung dan kandidat pilkada. Konsekuensinya, ketentuan perundang-undangan berpotensi besar untuk gagal berfungsi sebagai mekanisme penegakan hukum dalam proses Penyelenggaraan Pilkada. 5
5
Donni Edwin, Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Partnership dan Pusat Kajian Ilmu Politik, Jakarta,2004, hal. 79
Universitas Sumatera Utara
B. Permasalahan 1. Tindak Pidana apa saja yang terdapat dalam Pemilihan Kepala Daerah? 2. Bagaimanakah Pertanggungjawaban pelaku yang melakukan Tindak Pidana dalam Pemilihan Kepala Daerah? 3. Bagaimana peran Lembaga Peradilan dalam menyelesaikan Sengketa dalam Pemilihan Kepala Daerah? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pelaku yang melakukan Tindak Pidana dalam Pemilihan Kepala Daerah 2. Untuk mengetahui bagaimana Peran Lembaga Peradilan dalam menyelesaikan sengketa dalam pemilihan Kepala Daerah 3. Untuk mengetahui tentang Tindak Pidana apa saja yang terdapat dalam Pemilihan Kepala Daerah Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah : 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sekedar sumbangan pemikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan
Universitas Sumatera Utara
Hukum Pidana dan khususnya mengenai Tindak Pidana yang terdapat dalam Pemilihan Kepala Daerah. b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pembuat undang-undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut sebagai upaya untuk memberikan pertanggungjawaban yang sesuai dengan perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dalam Pemilihan Kepala Daerah. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada penegak hukum dan lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Konstitusi dan lembaga-lembaga lainnya dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah sesuai dengan undangundang yang berlaku. D. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan dan hasil penelitian di Perpustakaan, skripsi yang berjudul Analisis terhadap tindak pidana yang terdapat dalam pemilihan Kepala Daerah ini belum ada yang memiliki atau membahas baik dalam bentuk disertasi, makalah, majalah, artikel, bahan-bahan diskusi, seminar dan lokakarya. Oleh karena itu maka dapat dianggap penulisan skripsi ini memiliki keaslian. Apabila ditemukan ada skripsi yang berjudul dengan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggungjawab sepenuhnya.
Universitas Sumatera Utara
E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Tindak Pidana. Banyak sekali terdapat diantara sarjana-sarjana dalam bidang Hukum Pidana yang menggunakan istilah yyang berbeda-beda untuk menunjuk kepada Tindak Pidana. Moeljatno, memakai istilah “ Perbuatan Pidana”. Beliau tidak menggunakan istilah Tindak Pidana. Perbuatan pidana menurut beliau dirumuskan sebagai berikut : “Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.” 6 Sedangkan Utrecht menggunakan istilah “Peristiwa Pidana”. Demikian juga penggunaan istilah yang berbeda untuk menunjuk kepada tindak pidana diberikan oleh Mr. M. H. Tirtaamidjaja, beliau menggunakan istilah “Pelanggaran Pidana” Namun diantara keanekaragaman penggunaan istilah tersebut pada dasarnya adalah menunjuk kepada pengertian yang sama, yakni yang berasal dari strafbaar feit. Strafbar Feit adalah diambil dari bahasa belanda yang apabila diterjemahkan secara harafiah berarti peristiwa pidana. Menurut Simons, bahwa strafbar feit ialah perbutan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (shculd) seseorang yang mampu bertanggungjawab.
6
Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,1983. hal.1
Universitas Sumatera Utara
Kesalahan dalam pengertian ini termasuk juga kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpalate(alpa dan lalai). 7 Van Hamel menjelaskan bahwa strafbar feit sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh Undang-undang, melawan hukum, patut atau bernilai unutuk dipidana (strafwaardig), dan dapat dicela karena kesalahan. 8 Sedangkan sarjana Pompe menguraikan dua macam definisi tentang strafbaar feit ini 9 , yakni : a. Defenisi yang bersifat teoritis Maksudnya ialah berupa pelanggaran terhadap norma (kaidah/tata hukum), yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus dijatuhkan pidana untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Defenisi
ini
sekaligus
merujuk
kepada
tujuan
hukum
pidana
yaitu
mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum yang sesuai dengan UUD 1945. b. Defenisi yang bersifat hukum positif memberikan pengertian bahwa starbaar feit ialah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan (handeling) dan pengabaian (nelaten), tidak berbuat/berbuat pasif, biasanya dilakukan dalam beberapa
7
A. Zainal Abidin.,Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 224 Ibid., hal.225 9 Ibid., hal. 225 8
Universitas Sumatera Utara
keadaan, merupakan bagian dari suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan ikut serta itulah yang disebut uraian delik. Lain lagi defenisi yang diberikan oleh sarjana Vos. Beliau memberikan pengertian yang singkat bagi strfbaar feit, yaitu kelakuan atau tingkah laku manusia, yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana. 10 Demikianlah beberapa rumusan-rumusan tentang Tindak Pidana (Strafbaar Feit) yang diberikan oleh para sarjana ahli dalam hukum pidana. Pada umumnya tindak pidana disinonimkan dengan “delik” yang berasal dari bahasa latin yakni kata delictum. Sedangkan pengertian delik itu sendiri dalam bahasa indonesia adalah : “Delik: perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang Tindak Pidana.” 11 Dapat disimpulkan bahwa batasan terhadap delik pada umumnya adalah sebagai berikut : “suatu perbuatan aktif atau pasif, yang untuk delik materil disyaratkan terjadinya akibat yang mempunyai hubungan yang kausal dengan perbuatan, yang melawan hukum formil dan materil, dan tidak ada dasar yang membenarkan perbuatan itu.” Sedangkan apabila dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maka pengrtian delik itu sendiri tidak dapa ditemukan. Tiap-tiap Pasal dari KUHP
10
Ibid., hal. 225
11
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka.
Universitas Sumatera Utara
hanya menguraikan unsur-unsur delik yang berbeda-beda, sesuai dengan jenis perbuatan yang diaturnya. 2. Unsur-unsur Tindak Pidana Yang dimaksudkan disini adalah untuk mengetahui unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Untuk itu harus terlebih dahulu mengetahui pengertian dari unsur. Unsur adalah semua syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suatu perbuatan untuk dapat dikategorikan sebagai perbuatan/tindakan yang melawan/melanggar hukum. Unsur-unsur dari tindak pidana menurut Van Hamel meliputi : a. Perbuatan, b. perbuatan itu ditentukan oleh hukum pidana tertulis(asa legalitas) merupakan perbuatan melawan hukum, c. bernilai atau patut dipidana. Sedangkan menurut Van Bemelen Unsur-unsur dari suatu tindak pidana diantaranya ialah adanyan unsur-unsur kesalahan, kemampuan bertanggungjawab dan sifat melawan hukum dariperbuatan tersebut. Lain lagi unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang diberikan oleh Prof. Simons. Menurut Beliau tindak pidana memuat beberapa unsur, yakni : 12 1. suatu perbuatan manusia 12
Leden Marpaung,, Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta 1997, hal.9
Universitas Sumatera Utara
2. perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang 3. perbuatan itu dilakkan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan unsur-unsur dari tindak pidana adalah jelas berbeda-beda, tergantung dari bentuk tindak pidananya. Walaupun unsur-unsur setiap delik/tindak pidana berbeda-beda namun pada dasarnya mempunyai unsur-unsur yang sama, yakni : 13 a. perbuatan aktif/positif atau pasif/negative b. akibat yang terjadi c. melawan hukum formil yang berkaitan dengan asas legalitas, dan melawan hukum materil, dan d. tidak adanya alasan pembenar Di dalam Pasal-Pasal KUHP ada unsur-unsur delik yang disebutkan secara tegas (expressis verbis) di dalam Pasal itu sendiri. Namun disamping itu ada juga unsurunsur dari delik yang tidak disebutkan dalam Pasal-Pasal KUHP tersebut, walaupun demikian retap diakui sebagai unsur-unsur dari delik/tindak pidana. Misalnya unsur melawan hukum dan tidak adanya alasan pembenar. Unsur-unsur yang tidak dicantumkan secara tegas di dalam Pasal-Pasal KUHP tersebut dinamakan unsur diam-diam, dan diterima sebagai asumsi. Adapun cara-cara yang digunakan untuk menguraikan unsur-unsur dari delik ada tiga cara, yaitu : 13
A. Zainal Abidin Farid, op.cit., hal.221-222
Universitas Sumatera Utara
1. Dengan menerangkan atau menguraikannya, contohnya rumusan delik menurut Pasal 279,281,286 KUHP. Dari keterangan atau uraian dalam Pasal-Pasal tersebutdapatlah diketahui unsur-unsurnya 2. Dari rumusan delik yang terdapat dalam Pasal-Pasal tersebut, lalu ditambah dengan kualifikasi atau sifat dan gelar dari delik itu sendiri. Contohnya pencurian (Pasal 362 KUHP), Penggelapan (Pasal 372 KUHP), Penipuan (Pasal 378 KUHP) 3. Apabila Pasal-Pasal hanya menyebutkan kualifikasi (sifat,gelar) tanpa uraian unsur-unsur perbuatan lebih lanjut, maka uraian unsur-unsur dari delik itu diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrin. Contohnya penganiayaan (Pasal 351 KUHP). Pasal ini tidak menjelaskan arti perbuatan tersebut. Menurut teori dan yurisprudensi, penganiayaan diartikan sebagai “menimbulkan nestapa atau derita atau rasa sakit pada orang lain” Selain daripada itu ada juga beberapa Pasal dari KUHP yang hanya merumuskan perbuatan yang melawan hukum saja, sedangkan akibat dari perbuatan itu tidak disyaratkan adanya untuk dapat menjatuhkan pidana bagi orang yang mewujudkan perbuatan tersebut. Hal ini disebutkan dengan delik formil atau delik yang dirumuskan secara formil. 14 Adapula delik materil atau delik yang dirumuskan secara materil. Materil diartikan dengan substantif, yang menjadi syarat untuk dipidananya si pembuat delik
14
M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu, Remadja Karya, Bandung, 1984,
hal.5.
Universitas Sumatera Utara
yaitu dengan terwujudnya akibat. Misalnya Pasal 338 KUHP, mensyaratkan si korban harus mati. 15 Selain itu terdapat pula delik yang memerlukan syarat tambahan untuk dapat dipidananya pembuat delik. Misaalnya untuk delik-delik mengenai kepailitan (Pasal 396 KUHP), pembuat delik barulah dapat dipidana kalau diikuti oleh keadaan pailit. Untuk jenis-jenis tindak pidana/delik itu sendiri, sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia mengenal pembagian delik dibedakan atas pelanggaran dan kejahatan. Perbedaan mendasar antara kedua jenis ini antara lain terletak pada sanksi yang dijatuhkan. Kalau pada kejahatan maka sanksi yang diancamkan jauh lebih berat daripada pelanggaran. 16 3. Pengertian Pilkada Pemilihan Kepala daerah adalah Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil. Pasangan calon diajukan Partai Politik atau gabungan Partai Politik. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang bertanggungjawab kepada DPRD. Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada DPRD.
15
Ibid, hal.5. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Eresco, BandungJakarta, 1996, hal.26. 16
Universitas Sumatera Utara
Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinngi, pers dan tokoh masyarakat. Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat: a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah; c.
berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan Tingkat Atas dan/atau sederajat;
d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tigapuluh) tahun; e. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter; f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
Universitas Sumatera Utara
h. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya; i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan; j.
tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara;
k.
tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
l.
tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak; n. menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri; o. belum pernah menjabat sebagai kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan p. tidak dalam status sebagai pejabat kepala daerah. 4. Pengertian Tindak Pidana Pilkada Yang dimaksud dengan tindak pidana pilkada adalah serangkaian tindak pidana yang diatur secara khusus dalam perundang undangan yang mengatur tentang pilkada.
Universitas Sumatera Utara
Tindak Pidana yang diatur dalam perundang-undangan pilkada tidak selalu berupa tindak pidana baru yang belum pernah diatur dalam perundang-undangan lain. Beberapa tindak pidana pilkada merupakan tindak pidana yang sebelumnya sudah diatur dalam KUHP, seperti memalsukan surat (Pasal 263), money politic (Pasal 149), dan sebagainya. Di luar tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan yang mengatur tentang pilkada masih terdapat berbagai tindak pidana yang dapat terjadi di dalam atau yang berhubungan dengan penyelenggaraan pilkada. Tindak pidana tersebut bisa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya atau oleh peserta pemilu atau oleh penyelenggara pemilu 5. Perkembangan Peraturan Perundang-undangan Yang Berkaitan Dengan Pilkada
Sejak kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, maka secara konseptual telah terjadi pergeseran pelaksana kedaulatan yang sebelumnya dilaksanakan secara tidak langsung oleh DPRD, maka sekarang dilakukan sendiri oleh rakyat. Dalam perjalanannya, Pilkada menimbulkan problem, baik berupa implikasi politik, sosial ekonomi, baik yang menguntungkan maupun konflik-konflik horizontal yang merugikan. Keberadaan peraturan perundang-undang dalam kondisi demikian, secara sinistik, selalu selangkah di belakangnya. 17 Karena keberadaan hukum yang seharusnya menjadi pagar bagi kemungkinan terjadi problem-problem politik, sosial dan ekonomi, ternyata tidak dapat 17
Topo Santoso, Analisis Dan Evaluasi Hukum Tentang Peran Lembaga Peradilan Dalam Sengketa Pilkada, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta,2005, hal. 35
Universitas Sumatera Utara
memberikan solusi. Justru peraturan perundang-undangan yang sudah dirancang sedemikian rupa, jugatidak luput dari dampak dinamika pelaksanaan Pilkada itu sendiri. Inkonsistensi penerapan hukum, diajukannya Judicial review terhadap UU, tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan yang ada, membuktikan peraturan perundang-undangan
yang
ada
mash
belum
memberi
rambu-rambu
yang
komprehensif. Hal ini menunjukkan ketidaksinkronan serta kurang matangnya konsep Pilkada yang dituangkan dalam peraturan peundang-undangan. 18 Dalam mengatasi kekurangan itu, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pilkada terus mengalami perubahan dan diperbaiki untuk menutupi celah dan kekosongan
hukum.
Diundangkannya
UU
No.
22
Tahun
2007
tentang
Penyelenggaraan Pemilu dan dikabulkannya permohonan uji materil UU No. 32 Tahun 2004 Yang terkait calon Independen bagi peserta Pilkada adalah beberapa cntoh upaya perbaikan itu. UU dan Putusan MK tersebut diprediksikan akan membawa implikasi yang lebih luas terhadap paradigma dikemudian hari. 19 Lahirnya UU No. 22 Tahun 2007 ini membawa angin perubahan yang signifikan. Pasal 1 ayat (4) mendefinisikan Pilkada termasuk dalam rezim Pemilu, dan oleh karenanya Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebelumnya Pilkada masuk dalam rezim Pemda, dan oleh karenanya Pilkada diselenggarakan oleh KPUD, yang merupakan lembaga bentukan DPRD dan bertanggungjawab kepada DPRD. Dengan dialihkannya penyelenggara Pilkada dari KPUD ke KPU, maka keberadaan KPUD menjadi bagian integral dari KPU. Dalam 18 19
Ibid.,hal.36 Ibid.,hal.36
Universitas Sumatera Utara
penerapan penyelenggaraan Pilkada oleh KPU, maka KPU harus memegang peranan penting dalam memberikan bimbingan teknis dalam Pilkada. Maka campur tangan pemerintah, dalam hal ini Depdagri, dalam pelaksanaan Pilkada menjadi tidak signifikan. Karena pemerintah tidak bisa diposisikan sebagai nonpartisan. Penyelenggaraan pemilu (dan juga Pilkada ) yang dilaksanakan oleh lembaga yang mandiri dari pemerintah ini dijamin oleh UUD 1945 pada Pasal 22 E ayat (5). 20 Namun demikian UU ini masih belum merubah lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil Pilkada. Artinya bahwa politik hukum yang dapat dilihat dari UU ini masih memilih MA sebagai lembaga yang berwenang. Walaupun secara integral tidak menunjukkan konsistensinya, Karena dalam UUD 1945 Pasal 24 C ayat (1) ditentukan bahwa muara dari penyelesaian sengketa pemilu adalah MK. Oleh karena Pilkada adalah pemilu, maka seharusnya secara konsekuen sengketa pilkada juga menjadi ranah MK. 21 Politik hukum yang masih setengah hati sebenarnya dapat dilihat dari UUD 1945. dalam UUD 1945 pemisahan antara rezim pemilu dengan rezim pemerintah belum sempurna betul. Hal ini tampak dari penempatan pengaturan Pemilu Presiden berada dalam Bab Kekuasaan Peerintahan. Hal inilah yang menyebabkan, secara mutatis mutandis, pengaturan Pilkada diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 22 yang dirubah dalam UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 20
Pasal 22 E ayat (5): “Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. 21 Topo Santoso,op. Cit.,hal.37 22 Ibid .,hal.37
Universitas Sumatera Utara
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif (juridis normatif), yaitu Penelitian Hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, berupa hukum positif dan bagaimana penerapannya dalam praktik di Indonesia. 2. Data dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari : 1. Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia maupun peraturan yang diterbitkan oleh Negara lain dan badan-badan internasional. 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan huku primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer. 3. Bahan Hukum tertier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder.
Universitas Sumatera Utara
3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research) untuk memperoleh berbagai literatur dan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi. 4. Analisis Data Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif. Dengan demikian akan merupakan analisis data tanpa mempergunakan rumus atau statistic. G. Sistematika Penulisan Bab
I
Pendahuluan Pada bab ini, akan diuraikan tentang latar belakang; permasalahan; tujuan dan manfaat penulisan; tinjauan pustaka yang terdiri dari pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, pengertian tindak pidana Pemilihan kepala daerah; pengaturan tindak pidana pemilihan kepala daerah.
Bab II
Tindak Pidana yang terdapat dalam Pemilihan Kepala Daerah Pada bab ini akan diuraikan tentang tindak pidana yang berkenaan dengan penetapan pemilih dan pemenuhan persyaratan peserta pemilu, tindak pidana yang berkenaan dengan kampanye, dan tindak pidana
Universitas Sumatera Utara
yang berkenaan dengan pemungutan suara dan hasil pemungutan suara. Bab III
Pertanggungjawaban pelaku yang melakukan tindak pidana dalam Pemilihan Kepala Daerah Pada bab ini akan diuraikan tentang pengertian dan bentuk-bentuk pertanggungjawaban
pidana,
subjek
dan
unsur-unsur
pertanggungjawaban pidana, dan pertangungjawaban pelaku tindak pidana dalam pemilihan kepala daerah menurut Peraturan Hukum yang ada di Indonesia. Bab IV
Peran Lembaga Peradilan Dalam sengketa Pemilihan Kepala daerah Pada bab ini akan diuraikan tentang sengketa Pilkada, permasalah Hukum yang terjadi dalam Pilkada, Peran Lembaga Peradilan dalam Sengketa Hasil Pilkada, Kewenangan Lembaga Peradilan Dalam Menyelesaikan Sengketa Pilkada, dan Proses penyelesaian Sengketa Pilkada
Bab V
Kesimpulan dan Saran Bab ini merupakan penutup dari rangkaian uraian yang berada dalam penulisan ini yang berupa kesimpulan dan penulis mencoba memberikan saran yang berkaitan dengan permasalahan yang terdapat dalam penulisan ini.
Universitas Sumatera Utara