BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia usaha di Indonesia semakin berkembang dan berdaya saing
ketat
sehingga
membuat
perusahaan-perusahaan
berusaha
untuk
meningkatkan kualitas kinerja usahanya secara efektif dan efisien. Perkembangan dan daya saing tersebut perusahaan berusaha untuk mencapai tujuan yaitu mendapatkan keuntungan dan memberikan pelayanan kepada stakeholders secara maksimal dengan biaya produksi yang rendah. Perusahaan dalam rangka mencapai tujuannya perlu mendapatkan dukungan dari berbagai faktor diantaranya adalah sumber daya manusia, moral, teknologi, serta keterampilan. Faktor yang memegang peran paling penting adalah faktor sumber daya manusia. Keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuannya sangat tergantung pada bagaimana perusahaan tersebut mengelola manajemen sumber daya manusia yang dimilikinya. Perusahaan dalam rangka mengelola manajemen sumber daya manusia perlu memperhatikan kebutuhan dan tuntutan pekerja. Kinerja pekerja akan meningkat apabila perusahaan dapat memenuhi kebutuhan pekerja dan melindungi serta menghormati hak dan kewajiban pekerja. Perusahaan akan cepat dalam mencapai tujuannya apabila perusahaan dengan pekerja dapat memahami hak dan kewajiban sesuai porsinya masing-masing.
Setiap perusahaan tentunya membutuhkan peran pekerja untuk membantu meningkatkan prospek perusahaan menjadi lebih baik. Perusahaan yang memiliki daya saing kuat adalah perusahaan yang memiliki standarisasi manajemen perusahaan yang baik. Sebagai contoh dalam rangka menentukan standarisasi perekrutan terhadap pekerja. Perekrutan pekerja dilakukan untuk mendapatkan pekerja yang dapat memberikan kontribusi dan keuntungan yang besar bagi perusahaan. Perusahaan dalam rangka menentukan standarisasi perekrutan terhadap pekerja kerap kali merugikan pekerja yang ingin bekerja. Perusahaan mempekerjakan pekerja dengan cara semaksimal mungkin, akan tetapi tingkat kesejahteraan serta perlindungan yang tidak maksimal. Suatu perusahaan terdapat hubungan hukum antara pengusaha atau pemberi kerja yang merupakan pemilik perusahaan dengan pekerja atau penerima kerja. Pengusaha dengan pekerja perlu membuat suatu perjanjian yang mengikat kedua belah pihak, agar tercapai suatu keseimbangan antara pengusaha dan pekerja. Hubungan hukum antara pengusaha dengan pekerja didalamnya memuat mengenai perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa aja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata Pasal 1601a “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak lain, si majikan untuk waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah”
Perjanjian kerja diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 14, yang disebutkan bahwa “Perjanjian Kerja adalah Perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.” Pengusaha sebagai pemberi kerja dan pekerja sebagai penerima kerja harus melaksanakan sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Apabila timbul suatu kerugian, maka para pihak dapat menuntut atas kerugian yang dideritanya sesuai dengan hak dan kewajibannya. Setiap hubungan kerja yang tercipta, baik formal maupun informal, pada dasarnya selalu didahului dengan adanya perjanjian kerja. Pekerjaan yang dalam sektor informal, merupakan perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja biasanya dilakukan dengan cara lisan saja, sedangkan untuk pekerjaan di sektor formal lazimnya dibuat secara tertulis. Perjanjian kerja untuk pekerjaan formal ini lazimnya dibuat secara tertulis, dikarenakan merupakan pekerjaan yang diatur dengan peraturan yang berlaku secara umum maupun khusus atau spesifik. Pekerjaan dalam sektor informal tidak ada peraturan yang mengatur atau peraturan yang bersifat memaksa, sehingga pekerja dapat bekerja dengan bebas sesuai keinginan dan kebutuhannya. Perjanjian kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, pada dasarnya merupakan perjanjian kerja yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat kedua belah pihak. Perjanjian kerja terbagi atas perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). PKWT didasarkan pada jangka waktu dan selesainya suatu pekerjaan tertentu. PKWTT dalam perjanjian kerjanya
tidak dibatasi oleh jangka waktu atau sudah merupakan pekerja tetap di suatu perusahaan. Kedudukan para pihak perlu diperhatikan dalam suatu perjanjian, yakni pihak yang satu kedudukannya diatas (pengusaha) pihak yang memerintah, sedangkan pihak lain kedudukannya di bawah (pekerja) pihak yang diperintah.1 Kedudukan yang tidak seimbang ternyata membawa konsekuensi khususnya pada perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT). Kedudukan pengusaha lebih kuat daripada pekerjanya, sehingga pekerja berada dalam kategori yang merupakan golongan lemah. Pengusaha yang menerapkan sistem PKWT akan menekan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memenuhi kebutuhan pekerja, karena perusahaan tidak harus memiliki pekerja dalam jumlah banyak. Sebagaimana diketahui apabila perusahaan memiliki pekerja yang banyak, maka perusahaan harus memberikan berbagai tunjangan untuk kesejahteraan para pekerja. Perusahaan dalam hal ini memiliki kewenangan untuk membuat peraturan perusahaan (PP). Peraturan perusahaan itu dibuat secara sepihak oleh pengusaha secara tertulis yang memuat ketentuan tentang syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Perusahaan boleh mencantumkan kewajiban pekerja semaksimal mungkin, asal peraturan perusahaan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan tidak melanggar ketertiban umum, dan tata kesusilaan.2 Pihak pengusaha kerap kali mencantumkan kewajiban pekerja untuk menyerahkan Ijazah Asli Pendidikan sebagai salah satu syarat wajib untuk mendaftar perusahaan. Perusahaan memiliki hak penuh untuk meminta dan 1
Djumialdji, 2006, Perjanjian Kerja, Cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 8. Asikin, dkk. 2008, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja Grafindo, Jakarta, Hlm. 78.
2
menahan ijazah asli pelamar karena pengusaha memiliki kududukan yang lebih kuat dari pekerja. Pengusaha menerapkan syarat wajib berupa penyerahan Ijazah asli pendidikan ini dengan maksud agar pekerja terikat dengan aturan perusahaan. Pekerja yang terikat oleh aturan perusahaan tidak memiliki kebebasan untuk keluar dari perusahaan untuk melamar kerja di perusahaan lain. Hal ini dilakukan juga oleh perusahaan dikarenakan perusahaan tidak ingin pekerja yang sudah bekerja melarikan diri begitu saja tanpa ada alasan yang kuat. Perusahaan dalam hal ini sama halnya menahan ijazah pekerja sampai dengan jangka waktu yang ditentukan dalam klausul perjanjian. Pekerja wajib untuk membayar ganti kerugian kepada perusahaan dengan membayar sebesar upah selama jangka waktu PKWT yang tersisa apabila pekerja telah mengundurkan diri dari perusahaan sebelum jangka waktu itu selesai. Perusahaan akan mendapatkan sisi keamanan dan keuntungan yang lebih besar apabila perusahaan melakukan penahanan ijazah terhadap pekerjanya. Perusahaan tidak ingin mendapatkan kerugian ketika pekerja yang sudah menyetujui isi dari perjanjian tidak lagi melaksanakannya. Penahanan ijazah pekerja merupakan salah satu bentuk pengikat untuk pekerja terhadap perusahaan. Pekerja dalam hal ini tidak akan dengan mudahnya untuk keluar atau mengundurkan diri dari perusahaan sebelum jangka waktu yang diperjanjikan selesai. Apabila pekerja yang keluar atau mengundurkan diri sebelum jangka waktu berakhir, maka perusahaan tidak akan mengembalikan ijazah milik pekerja.
Perusahaan yang menerapkan klausul perjanjian mengenai penahanan ijazah ini semakin menguatkan posisi perusahaan dalam mencapai tujuannya, akan tetapi apabila perusahaan tidak dikontrol dan diawasi maka akan berakibat bagi pekerja. Dari sisi pekerja, pekerja akan mendapatkan kerugian akibat dari penahanan ijazah yang dilakukan oleh perusahaan. Ijazah merupakan dokumen berharga milik pekerja sebagai bukti bahwa seseorang telah menempuh jenjang pendidikan. Pekerja menggunakan ijazah itu sebagai syarat utama untuk melamar pekerjaan, sehingga pekerja yang ijazahnya ditahan oleh perusahaan akan membuat pekerja terhambat untuk mencari pekerjaan lain. Pekerja dalam hal ini tidak memiliki kebebasan untuk mencari penghidupan dan pekerjaan yang lebih layak dengan adanya penahanan ijazah tersebut. Permasalahan semacam ini pernah terjadi di Apotek K. 24 Indonesia. Pekerja tersebut pada awal perjanjian, pekerja diwajibkan untuk menitipkan ijazahnya kepada perusahaan dengan masa kontrak 4 Tahun. Masa percobaan dalam perjanjian yakni sekitar 9 bulan, akan tetapi sampai bulan ke 12 pekerja masih dalam status masa percobaan. Pekerja dalam hal ini dirugikan perusahaan Apotek K. 24 Indonesia. Perusahaan tidak lagi menjalankan sesuai dengan isi dari perjanjian tersebut. Pekerja yang dirugikan oleh perusahaan lebih memilih mengundurkan
diri
sebelum
masa
perjanjian
berakhir.
Pekerja
yang
mengundurkan diri tersebut diharuskan untuk membayar biaya ganti rugi atau biaya pinalty sebesar Rp. 20.000.000,00 kepada Apotek K. 24 Indonesia karena mengundurkan diri sebelum masa kontrak 4 tahun itu selesai. Akibatnya pekerja tidak akan mendapatkan ijazahnya apabila biaya tersebut tidak atau belum
dibayarkan kepada perusahaan dan ijazahnya akan tetap ditahan oleh perusahaan sampai pekerja sanggup untuk membayar biaya pinalty tersebut.3 Penahanan ijazah menurut J. Satrio diperbolehkan, sepanjang memang menjadi kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Kesepakatan antara pekerja dan pengusaha biasa dituangkan dalam perjanjian kerja yang mengikat pekerja dan pengusaha dalam hubungan kerja.4 Penahanan ijazah yang dilakukan oleh pengusaha diperbolehkan sepanjang pekerja menyepakatinya dan pekerja masih terikat dalam hubungan kerja. Seharusnya dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak tetap didasarkan pada asas-asas perjanjian. Penerapan asas semacam ini dilakukan dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak.5 Asas-asas perjanjian sebagaimana dalam Pasal 1338 KUHPerdata yakni, (1) Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. (2) Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. (3) Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas-asas perjanjian yang dikandung dalam KUHPerdata Pasal 1338 di atas adalah sebagai berikut;
3
Siti Umi Akhirokh, Workshop mengenai kasus ketenagakerjaan di LOS DIY Periode 3 Tahun 2012 s/d 2014, pada Tanggal 11 November 2014. 4 Diana Kusumasari, 30 Juni 2011, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5979/hukummenahan- surat-berharga-milik-karyawan-yang-sudah-berhenti-bekerja, diakses pada tanggal 30 November 2014. 5 Muljadi dan Widjaja, 2006, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm. 14.
1. Asas konsensualisme; 2. Asas pacta sunt servanda; 3. Asas kebebasan berkontrak; dan 4. Asas itikad baik. Keempat asas di atas harus sebagai dasar dalam membuat suatu perjanjian. Penerapan keempat asas tersebut, agar terjadi keseimbangan antara kedua belah pihak dan tidak terjadi kerugian oleh salah satu pihak. Pengusaha dalam membuat perjanjian kepada pekerjanya harus tetap memperhatikan asas-asas tersebut. Pengusaha yang dalam hal membuat suatu perjanjian kepada pekerjanya kerap kali tidak melaksanakan dengan itikad baik atau dengan kata lain pengusaha mengabaikan asas itikad baik. Padahal sudah terlihat jelas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yaitu “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Suatu perjanjian baik secara tertulis maupun lisan tetap harus didasari dengan asas itikad baik antar kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. Pihak pengusaha diharapkan selain memperhatikan asas itikad baik dalam membuat suatu klausul perjanjian tetapi harus pula mendasarkan pada norma kepatutan dan keadilan, agar tidak merugikan pekerjanya. Penelitian ini dikhususkan terhadap Perusahaan Toko Laris yang berlokasi di Jalan KHA Dahlan Kabupaten Purworejo. Perusahaan tersebut pada awalnya mensyaratkan pada semua pelamar untuk membawa dan bersedia untuk menyerahkan ijazahnya sebagai syarat wajib administrasi. Pelamar bersedia untuk menyerahkan ijazah ini berarti pelamar sudah sepakat dengan syarat yang diterapkan oleh pengusaha. Ijazah asli pelamar ini nantinya akan ditahan oleh
pengusaha sampai jangka waktu yang tidak ditentukan. Adanya kasus di perusahaan Toko Laris bermula dari pekerja pada awal melamar telah bersedia untuk menyerahkan ijazahnya ke perusahaan. Pekerja pada awalnya ditempatkan pada posisi kerja sebagai pegawai Stock Opname (SO). SO merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan keluar masuknya barang dagangan dalam bentuk pelaporan tertulis yang akan dilaporkan diakhir tahun. Pekerja yang sudah bekerja sebagai pegawai SO ini selama kurang lebih 3 (tiga) bulan berkeinginan untuk mengundurkan diri dari perusahaan Toko Laris. Hal ini disebabkan karena selama pekerja bekerja di Perusahaan Toko Laris kurang mendapatkan tingkat kesejahteraan yang layak dan upah yang kurang dari upah minimum. Pekerja berkeinginan untuk mengundurkan diri dari perusahaan dan ingin mencari pekerjaan di perusahaan lain yang lebih layak. Pekerja tersebut mengalami hambatan dalam pengunduran dirinya karena ijazahnya tidak dapat dikeluarkan oleh perusahaan begitu saja. Perusahaan tidak ingin mengalami kerugian karena pengunduran diri yang dilakukan pekerja, sehingga perusahaan tidak dengan mudahnya mengeluarkan dan mengembalikan ijazah milik pekerja tersebut. Pekerja tersebut mendapat penolakan pengambilan ijazah dari perusahaan dengan alasan masih ada pekerjaan yang belum diselesaikan oleh pekerja sampai akhir tahun, sehingga proses pemasaran akan terhambat. Pekerja melaporkan tindakan perusahaan kepada pemerintah yang berwenang dalam hal ini Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purworejo (Dinsosnakertrans). Pelaporan ini mendapatkan sikap dan tindakan yang serius oleh pihak dinas. Pihak dinas langsung memproses pelaporan ini dari tahap pengaduan pelapor hingga
pada pemanggilan para pihak. Setelah para pihak hadir di dinas dengan adanya surat pemanggilan pihak, kemudian dari pihak dinas mengadakan musyawarah mufakat melalui lembaga mediasi yang ditengahi oleh mediator. Dalam mediasi tersebut diperoleh kesepakatan para pihak yang berujung pada dibuatnya perjanjian bersama. Permasalahan penahanan ijazah ini perlu disikapi dengan serius oleh pihak pemerintah. Pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk andil dalam menyelesaikan dan mencegah permasalahan yang dihadapi antara pengusaha dengan pekerja. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kerugian antar pihak. Pemerintah dituntut untuk lebih melihat dari berbagai sisi yang berperan sebagai pihak yang netral tanpa memihak salah satu pihak. Perlu kiranya para pihak baik pengusaha dan pekerja juga mendapat perlindungan hukum yang tegas dari pemerintah. Pekerja yang bekerja di perusahaan tidak dirugikan akibat penahanan ijazah yang dilakukan oleh perusahaan dan perusahaan tidak dirugikan juga akibat dari menahan ijazah sebagai bentuk pengikat pekerja selama bekerja di perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang
berjudul
“PERLINDUNGAN
HUKUM
BAGI
PEKERJA
YANG
DITAHAN IJAZAHNYA OLEH PERUSAHAAN (Studi Kasus pada Perusahaan Toko Laris di Jalan KHA Dahlan Kabupaten Purworejo)”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut : 1. Apakah pencantuman klausula penahanan ijazah pekerja yang dibuat oleh perusahaan bertentangan dengan asas itikad baik? 2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purworejo terhadap pekerja yang mengalami kerugian akibat ijazahnya ditahan oleh perusahaan?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1.
Tujuan Objektif Penelitian ini secara objektif bertujuan: a.
Untuk mengetahui dan menganalisis ada tidaknya pertentangan antara pencantuman klausula penahanan ijazah pekerja yang dibuat oleh perusahaan dengan asas itikad baik.
b.
Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purworejo terhadap pekerja yang mengalami kerugian akibat ijazahnya yang ditahan oleh perusahaan.
2. Tujuan Subjektif Penelitian ini secara subjektif bertujuan untuk memenuhi syarat kelulusan dan syarat akademis untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum, di Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Klaster Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian Ada beberapa manfaat yang ingin dicapai melalui penelitian ini, antara lain sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Dalam lingkup teoritis atau akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, sumbangan pemikiran bagi pengembangan dan pengkajian Ilmu Hukum, khususnya dalam bidang Hukum Keperdataan yang berkaitan dengan permasalahan mengenai perlindungan hukum bagi pekerja yang ijazahnya ditahan oleh perusahaan. 2. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan, membantu, dan memberikan acuan bagi pengusaha dan pekerja, para penegak hukum, peneliti, dan segala pihak yang terlibat dengan perjanjian kerja, yaitu untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi pekerja yang ijazahnya ditahan oleh perusahaan.
E. Keaslian Penelitian Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti terlebih dahulu melakukan penelusuran kepustakaan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (Pasca FH UII), serta sudah melakukan penelusuran dokumen di dalam internet yakni google.com, etd.ugm.ac.id, perpustakaan.jogjakarta.go.id. Penelitian mengenai PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA YANG DITAHAN IJAZAHNYA OLEH PERUSAHAAN (Studi Kasus pada Perusahaan Toko Laris di Jalan KHA Dahlan Kabupaten Purworejo) belum pernah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain, namun peneliti menemukan adanya penelitian yang dapat digunakan sebagai pembanding maupun yang hampir menyerupai dengan penelitian yang peneliti lakukan yaitu penelitian yang berjudul : Pertama, tesis yang berjudul PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA DI PERUSAHAAN OUTSOURCING, PASCA PUTUSAN MK NO. 27/PUU-IX/2011.6 Penelitian ini ditulis oleh Hans Benardi, Program Magister Hukum Universitas Gadjah Mada, 2013, dengan rumusan masalah: 1) Bagaimana perlindungan hukum dan dampak bagi tenaga kerja outsourcing setelah keluarnya putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012? 6
Hans Benardi, 2013, “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Pekerja di Perusahaan Outsourcing, pasca putusan MK NO. 27/PUU-IX/2011 Tanggal 17 Januari 2012”,Tesis, Sekolah Pasca Sarjana Program Magister Hukum FH UGM. Yogyakarta.
2) Bagaimana kesesuaian aturan hukum bagi perusahaan outsourcing, dikaitkan dengan standar penghargaan terhadap tenaga kerja yang diatur oleh International Labour Organization pada Equal Remuneration Convention No. 100 Tahun 1951 (Undang-undang No. 80 Tahun 1957) ? Dari tesis tersebut adalah persoalan ketenagakerjaan pada umumnya dan alih daya pada khususnya menjadi permasalahan rumit yang tak kunjung menemukan titik temunya. Diperlukan itikad baik dan tulus dari para pemangku kekuasaan untuk mengimplementasikan peraturan perundangan mengenai Ketenagakerjaan dengan tepat dan tegas. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan tenaga kerja alih daya tak kurang banyak. Hal ini bisa dilihat dengan adanya sejumlah aturan seperti : Undang-Undang
No.
13
Tahun
2013
Tentang
Ketenagakerjaan,
Kepmenakertrans No. KEP.101/MEN/VI/2004 Tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan
Penyedia
KEP.220/MEN/X/2004
Jasa Tentang
Pekerja/Buruh, Syarat-Syarat
Kepmenakertrans Penyerahan
No.
Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, Permenakertrans No. 19 Tahun 2012, dan Putusan Mahkamah Konstitusi sendiri mengenai pasal-pasal pemborongan pekerjaan melalui alih daya. Semua peraturan perundangan serta turunannya itu sudah cukup untuk menjamin adanya perlindungan hukum bagi tenaga kerja terlebih khususnya pekerja alih daya (outsourcing). Perlunya mengadopsi regulasi internasional ke dalam hukum positif tanpa menghilangkan aspek nasionalnya. Beberapa instrumen International Labour
Organization (ILO) yang dapat diselaraskan dengan kebijakan perburuhan nasional adalah Rekomendasi ILO No. 198 Tentang Rekomendasi Mengenai Hubungan Kerja, Konvensi ILO No. 100 Tentang Upah yang Setara Bagi Pekerja Laki-laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang sama nilainya, Konvensi ILO No. 111 Tentang Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan. Dengan mengimplementasikan masukan-masukan instrumen di atas dapat lebih maksmimal lagi upaya melindungi pekerja dari kesewenang-wenangan pengusaha. Kedua, jurnal ilmiah yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA OUTSOURCING PADA PERUSAHAAN PT. GARUDA INDONESIA (Persero), Tbk.7 Jurnal ilmiah ini ditulis oleh Eka Wijaya, 2013, dengan rumusan masalah: 1)
Bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja dengan sistem outsourcing pada PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ?
2)
Apakah dalam perjanjian kerja dengan sistem outsourcing terdapat keseimbangan hak dan kewajiban bagi pekerja PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk ?
3)
Bagaimana penyelesaian yang ditempuh oleh serikat pekerja apabila terjadi PHK pada pekerja sistem outsourcing?
Dari tesis tersebut perusahaan pemberi kerja, yakni PT.Garuda Indonesia (Persero), Tbk dan penyedia jasa PT. Dwi Lestari, dapat memahami 7
http://fh.unram.ac.id/wp-content/uploads/2014/05/PERLINDUNGAN-HUKUM-BAGIPEKERJAOUTSOURCING.pdf, diakses pada tanggal 21 Januari 2015.
kewajiban serta tanggung jawab sesuai ketentuan Pasal 65 Ayat (1), dan (4) Undang-Undang No.13 Tahun 2003, dan Pasal 5 Keputusan Menteri No. 220/Men/ X/ 2004, bahwa penyerahan sebagian pekerjaan melalui perjanjian pemborongan dibuat secara tertulis, serta wajib memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja, seperti pengaturan mengenai perlindungan kerja, kesejahteraan, jaminan sosial, serta perlindungan dan sistem pengupahan. Penyelesaian perselisihan yang di tempuh oleh serikat buruh apabila terjadi masalah pada pekerja sistem outsourcing pada PT. Garuda Indonesia (Persero),Tbk. kota Mataram berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni : penyelesaian melalui Bipartit, Konsiliasi, Mediasi, PHI (pengadilan hubungan industrial). Permasalahan PERLINDUNGAN
di
atas
yaitu
HUKUM
BAGI
mengenai PEKERJA
PELAKSANAAN DI
PERUSAHAAN
OUTSOURCING, PASCA PUTUSAN MK NO. 27/PUU-IX/2011 dan PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA OUTSOURCING PADA PERUSAHAAN PT. GARUDA INDONESIA (Persero), Tbk. Permasalahan yang diangkat oleh peneliti dalam penelitian ini adalah mengenai, PERLINDUNGAN
HUKUM
BAGI
PEKERJA
YANG
DITAHAN
IJAZAHNYA OLEH PERUSAHAAN (Studi Kasus pada Perusahaan Toko Laris di Jalan KHA Dahlan Kabupaten Purworejo). Peneliti meyakini bahwa penelitian yang dilakukan bukan merupakan hasil plagiasi dan memenuhi kaedah keaslian penelitian. Apabila kemudian hari diketemukan penelitian
dengan permasalahan yang serupa, untuk itu diharapkan penelitian yang diangkat oleh peneliti dapat melengkapinya.