1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia didasari bahwa keamanan suatu Negara merupakan syarat utama masyarakat madani yang adil dan makmur, sehingga keberadaan Kepolisan Negara Republik Indonesia sebagai alat Negara untuk melakukan pemeliharaan keamanan Negara melalui upaya penyelenggaraan Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu dalam undang-undang ini pula tegas disebutkan adanya pemisahan kelembagaan antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia karena kedua lembaga tersebut memiliki peran dan fungsi masing-masing yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.1 Salah satu peran polisi adalah sebagai penyidik dalam suatu perkara. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang berbunyi, “penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”2
1
Dasar Menimbang huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168). 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).
2
Polisi
Negara
Republik
Indonesia
khususnya
selaku
penyidik
dalam
melaksanakan peran dan fungsinya tentu saja tidak cukup hanya dengan tanda pengenal dan seragam Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai keabsahan dalam melaksanakan peran dan fungsinya, melainkan melaksanakannya harus berdasarkan norma hukum, norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu, keberadaan polisi Negara Republik Indonesia menjadi sangat penting dalam memberikan pelayanan dan kemanan terhadap masyarakat. Membahas mengenai peran dan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia tentu saja berkaitan dengan asas-asas yang harus dijunjung tinggi oleh anggota Polisi yaitu terdiri dari: 1. Asas legalitas; 2. Asas kewajiban; 3. Asas partisipasi; 4. Asas preventif; 5. Asas subsidiaritas; 6. Asas larangan penyalahgunaan wewenang; 7. Asas larangan bertindak sewenang-wenang; 8. Asas kepastian hukum; 9. Asas kepercayaan; 10. Asas persamaan; 11. Asas proporsionalitas; 12. Asas profesionalitas; 13. Asas kehati-hatian; 14. Asas pertimbangan yang layak; 15. Asas keterbukaan; 16. Asas kepentingan umum; 17. Asas akuntabilitas; 18. Asas tertib penyelenggaraan Negara; 19. Asas kebebasan menilai untuk bertindak atau diskresi (freisermersen).3
3
Sadjijono, 2008, Mengenal Hukum Kepolisian Perspektif Kedudukan dan Hubungannya dalam Hukum Administrasi, LAKSBANG MEDIATAMA, Surabaya, hlm 26-27.
3
Salah satu asas yaitu asas kebebasan untuk bertindak atau diskresi (freisermersen) dipertegas dengan yang disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia4 yang menyatakan bahwa, “untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.’
Menurut penjelasannya, yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum. Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat yang harus didahulukan.5 Kepentingan
umum
merupakan
kepentingan
yang
harus
didahulukan
dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Salah satu kepentingan umum yang harus diperhatikan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah lalu lintas. Hal ini dikarenakan dewasa ini, tingkat kebutuhan manusia akan kendaraan semakin tinggi karena tingkat mobilitas yang semakin tinggi pula. Khususnya di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dimana pengendara kendaraan begitu banyak, mengingat Kota Yogyakarta cukup padat oleh banyaknya pengguna jalan raya. Dengan banyaknya pengguna jalan raya maka semakin tinggi pula jumlah kendaraan yang ada di Kota Yogyakarta. Sayangnya, pertambahan kendaraan ini tidak didukung dengan adanya perluasan jalan sehingga sempitnya jalan sering menimbulkan kepadatan arus lalu lintas. Dengan demikian semakin menambah kompleksitas permasalahan yang ada di jalan raya terutama masalah kecelakaan lalu lintas yang dapat menimbulkan korban. 4
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168). 5 Hasan Alwi,,et all, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm 851.
4
Kecelakaan lalu lintas ini bisa terjadi antara kendaraan bermotor roda dua, kendaraan bermotor roda empat, truk, bus, sepeda dan lain-lain seperti misalnya andong, becak, gerobak, dan pejalan kaki. Tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas ini juga dikarenakan semakin banyaknya kendaraan yang semakin bervariasi jenisnya. Kecelakaan lalu lintas merupakan suatu kejadian yang sangat dihindari oleh setiap pengendara karena dapat menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil serta dapat menimbukan korban jiwa. Keadaan ini harusnya menjadi perhatian oleh Pemerintah agar dapat memberikan kebijakan yang lebih baik untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas. Semakin hari semakin bertambah pula orang yang memiliki kendaraan pribadi baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Selain itu, adanya kecenderungan masyarakat yang enggan untuk menggunakan kendaraan umum karena dirasa tidak aman dan nyaman. Hal ini yang dapat memicu banyaknya kecelakaan lalu lintas yang tidak dapat dihindarkan. Mulai dari kecelakaan yang menimbulkan luka ringan hingga meninggal dunia. Banyak faktor yang dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas salah satunya adalah kualitas dan usia dari pengendara kendaraan tersebut, apakah pengendara tersebut sudah mampu mengontrol emosinya dalam mengendarai kendaraan karena dalam berkendara membutuhkan tingkat kedewasaan yang tinggi. Perkara kecelakaan lalu lintas dapat terjadi karena unsur kelalaian (kealpaan) sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.6 Dalam undang-undang ini pula jenis kecelakaan dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu, kecelakaan kriteria ringan, kecelakaan kriteria sedang, dan 6
Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025).
5
kecelakaan kriteria berat sampai kehilangan nyawa.7 Kesemua kriteria ini tentu menimbulkan pertanggungjawaban yang berbeda bagi pelakunya karena
akibat dari
perbuatannya pun berbeda pula. Banyak kasus kecelakaan lalu lintas terutama kecelakaan dengan kriteria sedang dan berat yang terkadang diselesaikan di Pengadilan. Apabila kasus ini diselesaikan hingga ke Pengadilan tentu harapannya kepentingan pelaku dan korban dapat terpenuhi sesuai dengan tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Namun, terkadang proses berperkara di Pengadilan hanya menitikberatkan pada kepentingan pelaku dan jarang memperhatikan kepentingan korban. Sehingga untuk kecelakaan lalu lintas dapat pula diselesaikan di luar Pengadilan. Dimana hal ini dirasa lebih mampu untuk memperhatikan kepentingan kedua belah pihak. Dalam hukum pidana, dalam menyikapi suatu kejahatan yang dianggap dapat direstorasi kembali, di kenal suatu paradigma penghukuman yang disebut keadilan restoratif, dimana pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya, dan juga masyarakat. Untuk itu, program utamanya adalah “a meeting place for people” guna menemukan solusi perbaikan hubungan dan kerusakan akibat kejahatan (peace).8 Menurut Tony F. Marshall yang dikutip dalam Joana Shapland, restorative justice adalah : “Restorative Justice is a process whereby parties with a stake in a specific offence collectively resolve how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future.”9 7
Ibid, Pasal 229. Kuat Puji Prayitno, Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia dalam Penelitian yang dibiayai oleh DIPA UNDIP No. 0160.0/023-04.2/XIII/2009 tanggal 18 Maret 2009 dan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian Program Doktor No. 124B/H7.2/KP/2009 tanggal 18 Maret 2009, Universitas Negeri Jenderal Soedirman, hlm 408. 9 Joana Shapland, Restorative Justice And Prisons, Presentation to the Commission on English Prisons Today, 7 November 2008, hlm. 1. 8
6
Sesuai dengan penjelasan tersebut diatas bahwa konsep keadilan restoratif merupakan suatu proses yang melibatkan semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana turut serta dalam memecahkan masalah tersebut dan implikasinya di masa yang akan datang. Hal ini jelas bahwa bukan hanya pihak pelaku yang harus diperhatikan melainkan segala pihak yang terlibat juga harus dilibatkan dalam menyelesaikan kasus tersebut. Sebagai salah satu sarana untuk menyelesaikan konflik khususnya dalam perkara kecelakaan lalu lintas, keadilan restoratif dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara tanpa harus melalui jalur Pengadilan. Namun menurut penulis hal ini dirasa masih sangat sulit untuk di terapkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai keadilan restoratif hanya ada pada sistem peradilan anak bukan perkara kecelakaan lalu lintas, selain itu kultur masyarakat yang selalu merasa dirinya paling benar dan merasa kepentingannya terusik dengan adanya perkara kecelakaan lalu lintas tersebut menyebabkan masih ada masyarakat yang enggan untuk menyelesaikan perkara kecelakaan lalu lintas dengan konsep keadilan restoratif. Keadilan restoratif ini merupakan konsep yang dapat diterapkan
oleh setiap
aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan tersebut. Salah satu aparat penegak hukum yang dapat menerapkan konsep ini adalah penyidik. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 Keputusan Kapolri Nomor Polisi: KEP/32/VII/2003 yang berbunyi: “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas menegakan hukum wajib memelihara perilaku terpercaya dengan : a. Menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah; b. Tidak memihak; c. Tidak melakukan pertemuan di luar ruang pemeriksaan dengan pihak-pihak yang terkait dengan perkara; d. Tidak mempublikasikan nama terang tersangka dan saksi; e. Tidak mempublikasikan tatacara, taktik dan teknik penyidikan;
7
f.
g. h. i.
Tidak menimbulkan penderitaan akibat penyalahgunaan wewenang dan sengaja menimbulkan rasa kecemasan, kebimbangan dan ketergantungan pada pihakpihak yang terkait dengan perkara; Menunjukkan penghargaan terhadap semua benda-benda yang berada dalam penguasaannya karena terkait dengan penyelesaian perkara; Menunjukkan penghargaan dan kerja sama dengan sesama pejabat Negara dalam sistem peradilan pidana; Dengan sikap ikhlas dan ramah menjawab pertanyaan tentang perkembangan penanganan perkara yang ditanganinya kepada semua pihak yang terkait dengan perkara pidana yang dimaksud, sehingga diperoleh kejelasan tentang penyelesaiannya.”10 Dalam perkara kecelakaan lalu lintas, penyidik harus dapat menentukan manakah
pihak yang menjadi pelaku dan korban tanpa memihak. Penyidik dalam hal ini juga dapat ikut membantu para pihak untuk menyelesaikan perkara ini. Kewenangan ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 ayat 1 huruf I Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia11 menyebutkan, bahwa wewenang Kepolisian untuk “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab” memiliki hubungan yang signifikan dengan diskresi kepolisian, karena tindakan diskresi tidak memiliki rumusan yang jelas dan tegas dan dijalankan berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang dimana tindakan tersebut harus mampu dipertanggungjawabkan secara hukum. Tindakan diskresi oleh anggota polisi ini dapat dilakukan dengan syarat: 1. 2. 3. 4. 5.
Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; Pertimbangan yang layak berdasar keadaan yang memaksa; dan Menghormati hak asasi manusia (HAM)12 Sebagai pelindung masyarakat, penyidik dalam perkara kecelakaan lalu lintas
memiliki peran yang penting karena hal ini berkaitan dengan keberanian anggota penyidik 10
Keputusan Kapolri Nomor Polisi: KEP/32/VII/2003. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168). 12 Sadjijono, 2008, POLRI dalam Perkembangan Hukum Indonesia, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hlm 93. 11
8
melaksanakan asas diskresi untuk menyelesaikan perkara tersebut menggunakan konsep keadilan restoratif. Apabila suatu perkara kecelakaan diselesaikan menggunakan tersebut berarti perkara tersebut diselesaikan secara musyawarah yang melibatkan pelaku, korban, keluarga masing-masing pihak serta wakil dari masayarakat. Dalam pelaksanaannya anggota penyidik juga ikut dalam musyawarah tersebut. Hal ini dilaksanakan untuk menemukan jalan keluar yang disepakati bersama oleh para pihak. Lantas bagaimanakah peran penyidik dalam menerapkan konsep keadilan restoratif pada perkara kecelakaan yang sekarang marak terjadi di Indonesia, khususnya di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Apakah
penyidik
tersebut menjadi pihak
ketiga bagi para pihak dalam menyelesaikan perkara kecelakaan lalu lintas yang menggunakan konsep keadilan restoratif? Apakah penyidik menjadi pendamping para pihak yang sedang menyelesaikan perkara kecelakaan lalu lintas menggunakan konsep keadilan restoratif? Apakah penyidik yang berhak menyelesaikan dan memutuskan bagaimana perkara kecelakaan lalu lintas tersebut diselesaikan menggunakan konsep keadilan restoratif?
Atau bahkan penyidik hanya memiliki peran yang sedikit dalam
menyelesaikan perkara kecelakaan lalu lintas tersebut. Berdasarkan dari pertanyaan tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna penulisan hukum yang berjudul “PERAN PENYIDIK DALAM PENERAPAN KONSEP KEADILAN RESTORATIF PADA PERKARA KECELAKAAN LALU LINTAS DI KOTA YOGYAKARTA”.
B. Rumusan Masalah
9
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas tersebut, maka penulis perlu untuk merumuskan permasalahan yang dibahas dalam penulisan hukum ini. Masalah yang dibahas dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah peran penyidik dalam penerapan konsep keadilan restoratif pada perkara kecelakaan lalu lintas di Kota Yogyakarta?
2.
Apakah yang menjadi hambatan bagi penyidik dalam melaksanakan konsep keadilan restoratif pada perkara kecelakaan lalu lintas di Kota Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu tujuan objektif dan tujuan subjektif yaitu sebagai berikut: a. Tujuan Subjektif 1. Penelitian ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis terutama mengenai teori-teori yang diperoleh oleh Penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang objek yang diteliti sekaligus guna memenuhi persyaratan dalam menempuh mata kuliah Penulisan Hukum untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 3. Penelitian ini bertujuan untuk untuk menyusun Penulisan Hukum yang lebih baik dengan berpikir secara ilmiah dan logis sehingga penelitian ini dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu hukum.
10
b. Tujuan Objektif 1. Untuk mengetahui gambaran yang sebenarnya mengenai peran penyidik dalam penerapan konsep keadilan restoratif pada perkara kecelakaan lalu lintas khususnya di Kota Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui hambatan apa saja yang dihadapi oleh penyidik dalam melaksanakan konsep keadilan restoratif pada perkara kecelakaan lalu lintas khususnya di Kota Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penulisan hukum yang telah diketahui, maka manfaat penulisan hukum antara lain: 1. Bagi Penulis Penelitian yang dilakukan akan memiliki manfaat bagi penulis sendiri, yaitu menambah pengetahuan khususnya penulis terutama dalam bidang hukum pidana terkait dengan peran penyidik dalam penerapan konsep keadilan restoratif pada perkara kecelakaan lalu lintas di Kota Yogyakarta. 2. Bagi Ilmu Pengetahuan Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran yang bermanfaat dalam perkembangan hukum secara umum dan khususnya bagi pelaksanaan konsep keadilan restoratif pada perkara kecelakaan lalu lintas khususnya di Kota Yogyakarta. 3. Bagi Masyarakat
11
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat bagi masyarakat untuk dapat lebih mengetahui mengenai peran penyidik dalam penerapan konsep keadilan restoratif pada perkara kecelakaan lalu lintas di Kota Yogyakarta, sehingga dapat pula memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai konsep keadilan restoratif dalam suatu perkara kecelakaan lalu lintas. 4. Bagi Aparat Penegak Hukum Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat dan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi aparat penegak hukum dalam membuat kebijakan selanjutnya khususnya di Kota Yogyakarta,
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
dalam
rangka
mengatur
dan
memberdayakan penyidik agar dapat membuat hidup masyarakatnya sejahtera dan makmur.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan sepengetahuan penulis, penulisan dengan tema dan latar belakang konsep keadilan restoratif telah ada 3 (tiga) judul yang yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Pertama penulisan hukum yang dibuat oleh Mohamad Yogi Hidayat pada tahun 2012 dengan judul “PELAKSANAAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA”.13 Dalam penelitian tersebut rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
13
Penulisan Hukum Mohamad Yogi Hidayat dengan judul “Pelaksanaan Restorative Justice Dalam Proses Peradilan Pidana Anak di Indonesia”, Program Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2012, hlm 9 dan 89.
12
1. Apakah yang menjadi ide dasar penggunaan restorative justice dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia? 2. Hambatan yuridis apakah yang mempengaruhi penggunaan restorative justice dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia? Kesimpulan: 1. Ide dasar penggunaan keadilan restoratif adalah anak melakukan tindak pidana bukan karena kehendak sendiri, pemidanaan anak menimbulkan stigma negatif, pengaturan perundang-undangan yang ada kurang melindungi hak-hak anak, proses pidana yang harus dilalui anak yang berkonflik dengan hukum panjang dan lama, dan konsep keadilan restoratif (restorative justice) dapat melibatkan pihak lain. 2. Hambatan yuridis yang menghambat pelaksanaan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia adalah undang-undang yang ada sekarang belum melindungi hak-hak anak, belum ada payung hukum untuk menerapkan konsep keadilan restoratif dan penggunaan diskresi oleh penyidik dipandang sebagai penyimpangan. Perbedaan penulisan hukum yang pertama ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah bahwa penulisan yang dibuat oleh Mohamad Yogi Hidayat menitikberatkan pada ide dasar penggunaan restorative justice dalam sistem peradilan anak di Indonesia beserta hambatan yuridis yang mempengaruhi penggunaan restorative justice tersebut. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis menitikberatkan kepada peran penyidik dalam penerapan konsep keadilan restoratif pada perkara kecelakaan lalu lintas beserta dengan kendala yang menghambat pelaksanaan peran penyidik dalam melaksanakan konsep keadilan restoratif tersebut.
13
Penulisan hukum yang kedua dibuat oleh Fani Phisca Purbayani pada tahun 2012
dengan
judul
“PERAN
APARAT
PENEGAK
HUKUM
DALAM
PENERAPAN KONSEP RESTORATIVE JUSTICE PADA PERKARA PIDANA ANAK DI KABUPATEN PURBALINGGA DAN KOTA YOGYAKARTA”.14 Dalam penelitian tersebut rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana penerapan konsep restorative justice dalam proses penegakan hukum pada perkara pidana anak di Kabupaten Purbalingga dan Kota Yogyakarta? 2. Apakah yang menjadi hambatan aparat penegak hukum dalam menerapkan konsep restorative justice pada perkara pidana anak di Kabupaten Purbalingga dan Kota Yogyakarta? Kesimpulan: 1. Peran aparat penegak hukum dalam menerapkan konsep restorative justice pada perkara pidana anak. a. Kabupaten Purbalingga Aparat penegak hukum di Kabupaten Purbalingga dalam hal ini Hakim dan Jaksa belum dapat menerapkan konsep restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana anak. Jaksa dan Hakim dalam menyelesaikan perkara pidana anak masih mendasarkan diri pada aturan hukum yang berlaku (legalistic formal). Jaksa dan Hakim yang menerima perkara pidana anak cenderung menyelesaikan perkara pidana melalui jalur formal hukum pidana. Sebaliknya penyidik polri di Kepolisian Resor Purbalingga telah menerapkan konsep restorative justice pada 14
Penulisan Hukum Fani Phisca Purbayani dengan judul ”Peran Aparat Penegak Hukum Dalam Penerapan Konsep Restorative Justice Pada Perkara Pidana Anak Di Kabupaten Purbalingga Dan Kota Yogyakarta”, Program Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2012, hlm 8 dan 130-132.
14
perkara pidana anak yang terjadi di wilayah Purbalingga melalui kewenangan diskresi yang dimilikinya. Penyelesaian perkara pidana anak melalui konsep restorative justice hanya dilakukan 1 (satu) kali pada 1 (satu) perkara pidana anak dari 14 (empat belas) perkara pidana anak yang ditangani penyidik Polres Purbalingga. Penerapan konsep restorative justice tersebut dilakukan atas inisiatif dari pihak korban, namun meski begitu penyidik telah berperan dengan menjadi fasilitator pelaksanaan konsep restorative justice. Sejauh ini hanyalah pihak Kepolisian selaku penyidik yang benar-benar telah menerapkan konsep restorative justice murni, artinya telah mengusahakan menghindarkan proses peradilan pidana formal kepada anak pelaku tindak pidana, meskipun tentu hal tersebut tidak diterapkan pada setiap perkara pidana anak, namun setidaknya penyidik Polri di Kepolisian Resor Purbalingga telah mengusahakan dilaksanakannya konsep restorative justice. b. Kota Yogyakarta Aparat penegak hukum dari pihak penyidik anak di Kepolisian Resor Kota Yogyakarta dan Jaksa anak pada Kejaksaan Negeri Yogyakarta sama sekali belum dapat berperan dalam menerapkan konsep restorative justice pada perkara pidana anak yang ditanganinya. Sedangkan pihak aparat di Pengadilan Negeri Yogyakarta yakni Hakim-Hakim anak, meskipun belum dapat turut berperan menerapkan konsep restorative justice dalam bentuk diversi pada perkara pidana anak di wilayah Kota Yogyakarta, namun telah mengupayakan terwujudnya pemulihan sebagai nilai dasar konsep restorative justice dalam menjatuhkan sanksi tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana. Hakim pada
15
Pengadilan Negeri Yogyakarta setidaknya telah menunjukkan adanya kepedulian dan perhatian terhadap kepentingan anak. 2. Hambatan aparat penegak hukum dalam menerapkan konsep restorative justice pada perkara pidana anak di Kabupaten Purbalingga dan Kota Yogyakarta. Hambatan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam penerapan konsep restorative justice pada perkara pidana anak di Kabupaten Purbalingga dan Kota Yogyakarta hampir sama, yakni ketiadaan payung hukum. Ketiadaan payung hukum dalam penerapan konsep restorative justice adalah kendala terbesar yang dihadapi oleh aparat penegak hukum, selain kendala-kendala lainnya. Ketiadaan payung hukum telah membuat aparat terutama pihak Kejaksaan dan Pengadilan tidak memiliki pilihan lain selain menerapkan sistem peradilan pidana untuk menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Kesulitan lain yang dihadapi oleh Jaksa Penuntut Umum dan Hakim anak dalam mengusahakan terwujudnya pemulihan sebagai nilai dasar konsep restorative justice dalam bentuk penuntutan atau penjatuhan pidana yang tidak bersifat punitif adalah perbuatan pelaku pidana anak yang dinilai sudah menyebabkan kerugian besar pada masyarakat, pelaku anak telah melakukan pengulangan perbuatan pidana dan aspek keadilan korban. Alasan-alasan tersebut membuat Jaksa dan Hakim kemudian merasa hukuman yang berupa tindakan saja tidak cukup diberikan kepada pelaku tindak pidana anak. Perbedaan penulisan hukum yang kedua ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah bahwa penulisan yang dibuat oleh Fani Phisca Purbayani menitikberatkan pada penerapan konsep restorative justice dalam proses penegakan hukum pada perkara
16
anak di Kabupaten Purbalingga dan Kota Yogyakarta beserta hambatan bagi aparat penegak hukum dalam menerapkan konsep restorative justice pada perkara anak di Kabupaten Purbalingga dan Kota Yogyakarta tersebut. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis menitikberatkan kepada peran penyidik dalam penerapan konsep keadilan restoratif pada perkara kecelakaan lalu lintas beserta dengan kendala yang menghambat pelaksanaan peran penyidik dalam melaksanakan konsep keadilan restoratif tersebut. Ketiga yaitu tesis yang ditulis oleh Zahru Arqom pada tahun 2011 yang berjudul “PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP DELINKUEN ANAK DALAM PERKARA ANAK NAKAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR:
3
TAHUN
1997
TENTANG
PENGADILAN
ANAK
DI
KOTA
YOGYAKARTA DAN PENGEMBANGAN KONSEP KEADILAN RESTORATIF DENGAN
CARA
DIVERSI
DALAM
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
PENGADILAN ANAK DI INDONESIA”.15 Dalam penelitian tersebut rumusan masalahnya adalah: 1. Bagaimana penegakan hukum bagi delinkuen anak dalam Perkara Anak Nakal berdasarkan Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di Kota Yogyakarta? 2. Apakah dalam Putusan Perkara Anak Nakal Tahun 2010 di Kota Yogyakarta pendekatan keadilan restoratif bagi delinkuen anak dapat tercermin?
15
Tesis Zahru Arqom dengan judul “Pelaksanaan Penegakan Hukum Terhadap Delinkuen Anak Dalam Perkara Anak Nakal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Di Kota Yogyakarta Dan Pengembangan Keadilan Restoratif Dengan Cara Diversi Dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak Di Indonesia”, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011, hlm 23 dan 149-153.
17
3. Bagaimanakah penerapan konsep keadilan restoratif dengan cara diversi menurut Rancangan Undang-Undang Pengadilan Pidana Anak? Kesimpulan: 1. Keadilan Restoratif Berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak a. Bahwa Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah memberikan upaya konkret tentang perlindungan terhadap pelaku tindak pidana yang masih berstatus sebagai anak meski masih bernuansa menganut model keadilan retributif (penal system). b. Perangkat Pengadilan pidana pun (hakim, penuntut umum dan penasihat hukum) tidak menggunakan toga atau seragam, melainkan dengan pakaian umum dan pantas saja. Ruang sidangnya pun khusus dan tidak menonjolkan kelengkapan persidangan misalnya meja hijau besar, kursi besar, ketukan palu, lambanglambang atau bendera. Kesemuanya agar tidak menimbulkan dampak traumatik bagi si anak. c.
BAPAS selaku lembaga konseling akan meneliti latar belakang anak dan memantau perkembangannya. Dalam penjatuhan hukuman pun, BAPAS akan memberikan laporan secara tertulis yang berisi pula rekomendasi kepada Hakim tentang bentuk hukuman yang tepat bagi terdakwa.
d.
Konsep diversi dan diskresi hanya bagi anak yang belum berumur 8 tahun dan putusan berupa tindakan dibatasi untuk anak berumur 12 tahun. Selebihnya diversi dan diskresi belum memiliki payung hukum sehingga keadilan restoratif yang
18
mengedepankan perlindungan dan rehabilitasi tetap masuk dalam jalur peradilan pidana (penal system) berada pada kebijakan hakim untuk menentukannya. e.
Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak masih sangat sedikit dan terbatas apabila dibandingkan dengan jumlah anak yang berhadapan dengan hukum dan belum memiliki struktur dan infrasuktur (sistem dan fasilitas) yang memadai.
f.
Hambatan dalam pelaksanaan perlindungan anak adalah faktor sumber daya manusia dan infrastuktur sebagai sarana pendukungnya yang amat minim. Sejak proses penyidikan Polri belum memiliki divisi khusus yang bertugas menangani permasalahan hukum yang subjeknya adalah anak, selebihnya Jaksa Penuntut Umum khusus anak juga belum secara struktural dibentuk oleh kejaksaan dan seringnya mengajukan tuntutan pidana penjara padahal terdapat opsi pidana tindakan.
g. Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, baik karena pengaruh berbagai instrumen hukum internasional, hukum nasional (hukum positif), pengaruh perkembangan metode
dalam
meujudkan
prinsip
keadilan,
maupun
karena
pengaruh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan segala implikasinya dalam kehidupan anak yang dapat mempengaruhi perkembangan pertumbuhan jiwa raga anak sehingga perlu untuk direvisi. 2. Praktik Penegakan Hukum Dalam Perkara Anak Nakal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di Kota Yogyakarta a. Berdasarkan hasil penelitian maka keadilan restoratif yang menekankan pada pemulihkan kerugian yang disebabkan atau ditimbulkan oleh perbuatan pidana
19
dengan melibatkan korban dan pelaku beserta keluarga masing-masing, ditambah wakil masyarakat yang diharapkan dapat mewakili lingkungan dimana tindak pidana dilakukan dengan pelaku anak tersebut sama sekali tidak tercipta. b. Harapan untuk menghasilkan putusan yang tidak bersifat punitif, namun tetap mengedepankan kepentingan dan tanggung jawab dari anak pelaku tindak pidana, korban dan masyarakat tidak tercapai. Satu dan lain bahwa pendekatan proses peradilan pidana yang merupakan pendekatan keadilan model retributif akan berujung pada putusan yang bersifat punitif. c. Bahwa dalam penyelesaian perkara anak nakal di Kota Yogyakarta berdasarkan hukum positif Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak meskipun membuka peluang untuk menjatuhkan putusan non punitif berupa tindakan sebagai implementasi keadilan restoratif namun dalam praktiknya ternyata tidak terlaksana. Artinya Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak menjamin pelaksanaan atau terciptanya keadilan restoratif sebagai suatu bentuk perlindungan kepentingan dan masa depan anak yang berkonflik dengan hukum. d. Bahwa pembentukan hukum peradilan anak yang baru yang berorientasi pada perlindungan dan rehabilitasi anak yang berkonflik dengan hukum dengan mengedepankan keadilan restoratif menjadi sangat urgen dan mendesak. Masa depan anak-anak kita harus segera diselamatkan dan hal ini adalah tanggungjawab segenap komponen bangsa. 3. Keadilan Restoratif Dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Pidana Anak
20
a.
Dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Pidana Anak ini telah disebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, baik karena pengaruh berbagai instrumen hukum internasional, hukum nasional (hukum positif), pengaruh perkembangan metode dalam mewujudkan prinsip keadilan, maupun karena pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan segala implikasinya dalam kehidupan anak yang dapat mempengaruhi perkembangan pertumbuhan jiwa raga anak.
b.
Bahwa Rancangan Undang-Undang Pengadilan Pidana Anak telah mengadopsi prinsip The Beijing Rules yang dahulunya belum ada dan/atau belum lengkap dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yakni ketentuan tentang Diversi dan hak-hak delinkuen anak.
c.
Rancangan Undang-Uundang Pengadilan Pidana Anak telah mengubah landasan filosofi pengadilan anak menjadi ke arah perlindungan dan rehabilitasi;
d.
Rancangan Undang-Undang Pengadilan Pidana Anak telah memperhatikan ketentuan hukum yang telah ada dan berlaku sebelumnya seperti UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Ratifikasi Konvensi Hak Anak (Keppres Nomor 36 Tahun 1990). Perbedaan penulisan hukum yang ketiga ini dengan penelitian yang penulis
lakukan adalah bahwa penulisan yang dibuat oleh Zahru Arqom menitikberatkan pada penegakan hukum bagi delinkuen anak dalam Perkara Anak Nakal berdasarkan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di Kota Yogyakarta, selain itu
21
pula membahas mengenai Putusan Perkara Anak Nakal Tahun 2010 di Kota Yogyakarta melalui pendekatan keadilan restoratif bagi delinkuen anak, dan membahas penerapan konsep keadilan restoratif
dengan menggunakan cara diversi menurut Rancangan
Undang-Undang Pengadilan Pidana Anak. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis menitikberatkan kepada penyidik dalam penerapan konsep keadilan restoratif pada perkara kecelakaan lalu lintas beserta dengan kendala yang menghambat pelaksanaan peran penyidik dalam melaksanakan konsep keadilan restoratif tersebut. Perlu diingat bahwa dengan tema pokok yang sama yaitu tentang penerapan konsep keadilan restoratif, tidaklah menjadi karya ilmiah yang ditulis belakangan menjadi semacam plagiasi dari yang telah dibuat sebelumnya. Jika ternyata ada suatu penelitian lainnya yang sama dan yang telah dilakukan sebelum adanya penelitian ini, maka tanpa suatu itikad buruk, penulis berharap penelitian dan penulisan hukum yang penulis lakukan dapat menjadi pelengkap bagi karya ilmiah tersebut. Dengan tidak ditemukannya penulisan hukum lain yang sama dengan yang penulis lakukan, maka penulis menyatakan bahwa karya ilmiah ini adalah asli.
F. Sistematika Penulisan Penulisan Hukum ini disusun dalam rangkaian bab yang terdiri dari 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut: Bab I terdiri dari Pendahuluan, bab ini terdiri dari 6 (enam) sub bab, yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian dan sistematika penulisan hukum.
22
Bab II berisi Tinjauan Pustaka mengenai hukum kepolisian dan penegakan hukum pidana serta tinjauan mengenai konsep keadilan restoratif dan kecelakaan lalu linta . Bab ini terdiri dari 6 (enam) sub bab yaitu teori hukum kepolisian, teori sistem peradilan pidana, sistem penegakan hukum, konsep keadilan restoratif, tinjauan umum tentang kecelakaan lalu lintas dan keamanan dan keselamatan lalu lintas dalam persfektif Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bab III berisi Metode Penelitian yang terdiri dari 4 (empat) bab yang terdiri dari sifat penelitian, jenis penelitian, alat penelitian serta analisis data. Bab IV berisi Hasil Penelitian dan Pembahasan mengenai peran penyidik pada penerapan konsep keadilan restoratif pada perkara kecelakaan lalu lintas di Kota Yogyakarta serta hambatan-hambatannya. Bab V berisi Penutup, bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab, yaitu kesimpulan dan saran.