BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Remaja perempuan di kota-kota besar atau biasa disebut dengan
remaja perempuan modern selalu mempunyai cara untuk berpenampilan berbeda, meskipun tidak selalu “original” karena banyak mengadopsi gaya selebritis idolanya masing-masing. Dengan demikian remaja perempuan modern selalu berusaha untuk memperbaharui penampilannya sesuai “trend” yang sedang berlaku. Disebut penampilan bukan hanya apa yang melekat di tubuh semata, melainkan juga bagaimana keseluruhan potensi dalam diri memungkinkan mereka untuk menampilkan citra diri. Pesan verbal dan non verbal yang disampaikan media massa dianggap sebagai salah satu hal penting yang akan memberikan ciri khusus pada remaja perempuan modern. Cara berpakaian dan pilihan warna dalam berbusana ataupun dalam hal apa saja yang berkaitan dengan identitasnya sebagai remaja adalah salah satu daru usaha dari remaja untuk membentuk citra tertentu melalui penampilannya. Sebagian orang berpandangan bahwa pilihan seseorang atas busana mencerminkan kepribadiannya (Mulyana, 2005;347). Remaja perempuan kini sangat mudah terpengaruh dengan “trend”. Untuk memenuhi kebutuhan itu, mereka mencari informasi tersebut di media massa seperti majalah dan televisi. Dengan adanya gambaran seperti
ini di kota-kota metropolitan seperti pada umumnya, dikarenakan masuknya budaya luar ke Indonesia. Hal-hal yang dilakukan oleh selebritis luar negeri dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang diliput oleh media massa dan disebar-luaskan sehingga masuk ke Indonesia. Kita mengetahui bahwa pengaruh dunia barat dengan nilai-nilainya yang mempengaruhi nilai budaya kita. Hal tersebut akibat arus simbolik global yang nyata yaitu nilai-nilai luar yang dapat mudah masuk ke dalam kehidupan masyarakat melalui tranformasi teknologi komunikasi modern dan industru komersil. Kemasan media massa yang menarik dapat membuat khlayak tertarik untuk melihat atau membaca informasi tersebut, dan bagaimana media massa mengkontruksikan realitas kedalam sebuah kemasan medianya (Sobur, 2009;89). Penempatan remaja perempuan dalam media massa saat ini merupakan bagian dari hal yang penting, karena dunia remaja adalah dunia yang menarik untuk terus kita ketahui dan kita simak. Media massa hanya mempengaruhi serta menyibak gaya dan pola remaja saat ini. Pemenuhan kebutuhan informasi dari remaja perempuan yang membuat banyak media massa selalu berusaha memenuhi kebutuhannya tersebut. Penggambaran yang terdapat di sebuah media massa menimbulkan rasa tertarik khalayak untuk mengetahui lebih jauh tentang dunia remaja tersebut. Bagaimana media massa menampilkan sebuah gambar, warna, lambang, dan tandatanda yang ada sebagai konstruksi realita yang ada. Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa baik verbal dan
non verbal sebagai perangkatnya, sedangkan bahasa bukan saja alat mempresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikan (Mulyana, 2005;376). Kecepatan informasi untuk menjangkau penerima informasi tersebut terbawa oleh berbagai macam medium informasi yang sudah menjadi kebutuhan masyarakat modern, karena melalui berbagai media massa tersebut itulah nilai-nilai sosial dan budaya tersosialisasikan yang didalamnya terdapat tanda-tanda dan simbol-simbol. Teknologi informasi yang semakin modern membawa konsekuensi kebutuhan informasi tersebut kedalam relasi-relasi sosial dalam masyarakat dengan menghilangkan batasbatas sosial budaya juga sangat berperan aktif dalam menghilangkan fungsi ruang dan waktu. Dengan konsekuensi hilangnya batas-batas sosial budaya akibat hilangnya fungsi ruang dan waktu, arus informasi membawa, menawarkan, dan dapat mengubah wajah sosial dan budaya dengan perlahan, dan seringkali tanpa disadari (Weber;1864). Banyak variasi media pada akhirnya menuntut sebuah media untuk bersaing dalam meraih pasar (khalayak). Berbagai strategi pemasaran diupayakan untuk sekedardapat bertahan hidup, mulai dari pemilihan cover, gaya, penyajian, hingga pemilihan tema-tema pemberitaan atau informasi yang cenderung mengikuti selera pasar. Dalam hal ini, tema perempuan
kemudian menjadi dominan dan perkembangan media massa di tanah air, khususnya media cetak. Umumnya, media massa tersebut menyajikan informasi seputar dunia perempuan berupa artikel maupun berita dengan gaya bahasa yang lebih terbuka. Bahkan, beberapa media cetak (majalah dan tabloid) baik majalah-majalah kategori luar (franchise), seperti: Cosmopolitan, Lisa, Alette, Playboy, Harpers Bazaars dan sebagainya, dan tabloid-tabloid lokal (non-franchise) seperti: Liberty, Cantiq, Nyata, Cita cinta, dan lain sebagainya, yang sengaja menampilkan cover (foto) perempuan dengan pakaian yang minim dengan pose yang menantang sebagai nilai jual untuk mensiasati daya saing media. Majalah dan tabloid juga dapat diartikan media yang mempunyai sifat komunikasi non verbal yang merupakan fungsi presentasional sejauh kode tersebut dapat disajikan dalam pesan-pesan representasi. Teks tertulis bisa memiliki “nada suara“, foto pada halaman muka sebuah majalah bisa menunjukkan secara menyeluruh rasa senang atau suka cita. Foto pada halaman muka sebuah majalah adalah salah satu contoh kode representasi. Kode representasi adalah satu-satunya kode yang bisa menunjukkan fungsi referensi. Kode ini juga sangat efektif untuk fungsi konatif dan emosional. Representasi sendiri dapat diartikan sebagai sebuah fenomena yang dalam bentuk-bentuk yang berbeda (peristiwa mental, pernyataan verbal, gambar, suara, dll) memperlihatkan sebuah ciri simbolis yang menggantikan obyek itu sendiri, dan dimana obyek itu bisa berasal dari dunia materi, peristiwa,
manusia, sosial, ide, dan imajiner. Penyebutan representasi dalam ilmu-ilmu humaniora saat ini memiliki status yang lintas-ilmu dengan berbagai pemakaian. Maka representasi disini merupakan wujud simbol yang dapat menyampaikan komunikasi non verbal yang dilangsungkan melalui kodekode presentasional seperti gerak mata, gerak tubuh, dan sebagainya (dalam www.google.com/http://aingkries.blogspot.com/2007/12/representasimedia-visual-semiotik.html). Sejarah media menggambarkan dan merepresentasikan perempuan sejajar dengan sejarah penggambaran orang kulit berwarna. Perempuan dan kulit berwarna sering dimarjinalkan dalam semua bentuk media. Citra-citra stereotipe tentang perempuan yang menyolok mendominasi tahun-tahun awal media massa. Saat khalayak media dan industri media merasakan pengaruh gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, citra stereotipe ini meretas jalan ke arah keanekaragaman yang lebih luas dan peran bagi perempuan. Citra media tentang perempuan dan laki-laki merefleksikan dan mereproduksi seluruh rangkaian stereotipe di samping perubahan peran gender. Citra media bisa “mengajarkan” banyak hal. Berbagai media menyajikan model yang kuat dan ideal. Media dianggap sebagai agen sosialisasi gender yang penting dalam keluarga dan masyarakat. Media mengungkapkan kepada kita tentang peran perempuan dan laki-laki dari sudut pandang tertentu. Media menentukan dan mengukuhkan ideologi, “sistem kepercayaan”, atau “pandangan dunia” tertentu
Peningkatan akses perempuan pada media dipandang tak hanya akan menjadi tandingan untuk mengimbangi (counter balance) seleksi informasi oleh laki-laki yang diyakini pada kondisi terbaik, bukan untuk melayani kepentingan perempuan tetapi juga menghasilkan output media yang berbeda. Kualitas yang berbeda dipandang akan membawa pada perpekstif dan tafsir baru. Namun, akses perempuan dan partisipasi aktif perempuan dalam produksi pesan media dalam perkembangannya dianggap bukanlah satu-satunya cara untuk memperbaiki “nasib” perempuan dalam media dan ruang publik. Munculnya studi yang memandang “khalayak aktif” dalam menafsirkan pesan media, dianggap sebagai jalan untuk melakukan perlawanan atas mitos atau makna-makna dominan yang disebarkan lewat produk dan pesan media. Begitu pula representasi perempuan dalam media massa juga akan dipengaruhi bagaimana konstruksi sosial yang melingkupinya, termasuk di dalam majalah wanita. Oleh karena sebagai politik kapitalis, industri media sangat dipengaruhi berbagai hal, baik yang ada dalam organisasi media maupun ekstra media, sebagaimana dikemukakan. Ada lima tataran yang mempengaruhi isi media, yaitu tataran individual pekerja, tataran rutinitas media, tataran organisasai media, tataran ekstra media, dan faktor ideologi. Termasuk dalam tataran individual pekerja media adalah latar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan wartawan. Rutinitas media menyangkut kepentingan khalayak yang meliputi nilai berita, objektivitas, dan struktur
cerita. Organisasi media menyangkut gatekeeper, perspektif pemberitaan, serta sumber eksternal seperti interview, dan lain-lain. Objek penelitian ini adalah salah satu rubrik pada majalah CitaCinta. Pemilihan media tersebut berdasarkan banyaknya rubrik yang hanya memuat tentang masalah perempuan dari segi fisik seperti halnya artikel tentang solusi perawatan tubuh yang dominan di setiap edisinya. Majalah ini juga termasuk media yang sudah terkenal di Indonesia sebagai salah satu referensi perempuan untuk mencari informasi tentang perawatan tubuh hingga dunia fashion. Penelitian ini memfokuskan pada salah satu rubrik tentang perempuan, yaitu representasi perempuan yang digambarkan sebagai suatu investasi dan kebutuhan oleh setiap perempuan. Dalam hal ini, perempuan tidak lagi digambarkan sebagai objek yang pasif, melainkan kunci menuju kesuksesan dengan menonjolkan sisi fisik dan juga penampilan luar perempuan sebagai wujud ekspresi diri.
B.
Rumusan masalah
Bagaimana perempuan bergaya maskulin direpresentasikan dalam majalah “Cita Cinta”?
C.
Tujuan penelitian Untuk mengetahui representasi perempuan bergaya maskulin dalam
majalah Cita Cinta :
a) Untuk men getahui penggunaan teori konsumerisme dalam karya jurnalistik (Cita Cinta), melalui teori Jean Baudillard yaitu konsumer skizofrenik. b) Untuk membongkar makna ideologis (mitos) dibalik simbolsimbol dalam produk jurnalistik (Cita Cinta), melalui konsep signifikasi dua tahap (semiotik konotasi) Roland Barthes.
D. Kegunaan penelitian 1. Kegunaan Akademis Secara akademis penelitian ini diharapkan menambah dan melengkapi bahan referensi untuk jurusan Ilmu komunikasi khususnya
konsentrasi
jurnalistik
yang
akan
melakukan
penelitian serta menambah wacana representasi perempuan. 2. Kegunaan Praktis Secara praktis, penelitian ini dapat untuk memberikan gambaran dan pengetahuan terhadap fenomena yang ada di masyarakat. Bagaimana media mengemas fenomena tersebut ke dalam sebuah majalah, yang menarik dan membuat khalayak ingin mengetahui lebih jauh dan memberi pandangan tentang fenomena tersebut.
E. Tinjauan Pustaka E.1. Media Industri Budaya Media Industri adalah dimana media dijadikan komoditas untuk kegiatan ekonomi yang mengolah pesan dan informasi menjadi suatu hal yang bisa dikonsumsi dengan nilai yang lebih. Media massa dan industri menciptakan kebutuhan remaja perempuan demi kepentingan pasar, yang disuarakan sebagai cara bagi remaja perempuan untuk keluar dari identitas yang diinginkan oleh orang tua. Akhirnya budaya remaja perempuan sangat identik dengan penampilan sebagai representasi identitas. Tentunya remaja perempuan di kota-kota besar adalah kelompok yang memiliki akses paling terbuka ke sumber informasi yang dibutuhkan. Mereka memungut informasi dari mana saja, dari televisi, majalah, radio, bahkan sobekan poster di pinggir jalan. Mereka punya kesempatan untuk memanfaatkan waktu luang di pusat perbelanjaan, tempat hiburan, dan ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka untuk melakukan interaksi dan pertukaran informasi. (Prawito, 2009;91). Kata kebudayaan berasal dari kata Sansakerta yaitu Buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi atau akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Tetapi ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi daya yang berarti daya dari budi. Karena itu mereka membedakan budaya dari kebudayaan (Soekanto, 1990;173).
Menurut E. B. Tylor, kebudayaan adalah kompleks yang menyangkut pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kajian budaya dan pemikiran postmodern, yang berusaha menolak paksaan (determinasi) budaya dan narasi sejarah besar perkembangan kapitalis dan modernitas di mana konsepkonsep determinasi tersebut bersandar, dan mendominasi kajian media dan budaya, pada saat ketika teori tentang sebuah masyarakat informasi yang menempatkan pengembangan informasi dan komunikasi sebagai jantung perkembangan dan restrukturisasi kapitalis. Untuk menggambarkan media sebagai industri budaya adalah untuk menunjuk kepada realitas yang dapat didemonstrasikan bahwa bentuk-bentuk simbolik secara umum diproduksi, disebarkan dan dikonsumsi dalam bentuk komoditi dan di bawah kondisi persaingan
pasar
kapitalis
dan
pertukaran
kapitalis
(dalam
www.google.com/http://setabasri01.blogspot.com/2010/01/teori-sistembudaya-indonesia.html). Media juga berfungsi sebagai media budaya. Media budaya merupakan media yang berada dalam budaya masyarakat dan sebenarnya menjembatani kepentingan salah satu pihak, yaitu pihak budaya masyarakat industri dengan budaya masyarakat pengguna. Pengguna media budaya adalah individu-individu yang menikmati bentuk-bentuk media budaya, seperti majalah, surat kabar, atau tayangan yang muncul di televisi. Individu dan masyarakat pengguna diperkenalkan dengan semboyan atau slogan
yang menjanjikan. Dan kebudayaan yang masuk ditiru oleh kaum metropolis khususnya para remaja perempuan metropolitan. Mereka umumnya berasal dari kalangan menengah-keatas dan termasuk kategori A dalam strata sosial ekonomi. Pergeseran nilai dan budaya itu terjadi karena sikap dari respon remaja metropolitan yang menerima pengaruh dari luar dan mereka merasa pas atau cocok dengan kehidupan remaja metropolitan. Dominic Strinati menjelaskan bahwa popular culture merupakan lawan dari High Culture yang elitis. Peluang komersialisasi High Culture adalah lebih kecil tinimbang popular culture. Sebab itu kaum bisnisindustrialis lebih melirik komersialisasi popular culture karena pendukung dan penikmat budaya ini jauh lebih besar dan luas melintasi segala sekat sosial
(dalam
www.google.com/http://setabasri01.blogspot.com//teori-
sistem-budaya-indonesia.html). E.2. Gaya Hidup dan Kebudayaan Konsumen pada Perempuan Gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam aktivitas, minat dan opini khususnya yang berkaitan dengan citra diri untuk merefleksikan status sosialnya. Gaya hidup merupakan frame of reference yang dipakai sesorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu. Terutama bagaimana dia ingin dipersepsikan oleh orang lain, sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image di mata orang lain, berkaitan dengan status sosial yang disandangnya. Untuk merefleksikan image inilah, dibutuhkan
simbol-simbol status tertentu, yang sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsinya. Selayaknya status sosial merupakan penghargaan masyarakat atas prestasi yang dicapai oleh seseorang. Jika seseorang telah mencapai suatu prestasi tertentu, ia layak di tempatkan pada lapisan tertentu dalam masyarakatnya. Semua orang diharapkan mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih prestasi, dan melahirkan kompetisi untuk meraihnya. Membicarakan gaya hidup ini juga berkaitan dengan perempuan yang modern, feminim, dan selalu “up to date”. Perilaku ini yang kadang menciptakan seorang manusia dalam hal ini perempuan, selalu dikaitkan dengan sikap konsumtive yang berlebihan. Sering kita mendengar bahwa kata shopping, diskon, dan sejenisnya, merupakan milik perempuan pada umumnya. Berbelanja kebutuhan rumah tangga merupakan “hak milik” dari setiap perempuan. Oleh karena itu, perempuan merupakan alat komoditi paling handal untuk urusan berbelanja. Gaya hidup modern selalu berkaitan erat dengan sifat konsumtif yang dimiliki perempuan. Banyak sekali industri membidik pangsa perempuan untuk dijadikan sasaran utama untuk penjualan produk mereka. Demikian pula dengan majalah yang banyak sekali majalah yang bersifat perempuan dan tak lupa memanfaatkan sifat alamiah perempuan yaitu sifat konsumtifnya. Tak lepas dari itu ada teori Barbie Culture yang menyebutkan barbie merupakan ikon budaya konsumtif, terutama
perempuan cantik yang digambarkan sempurna oleh barbie (Roger, 2003;128). Dalam hal berbelanja perempuan adalah seorang yang sangat dipercaya, namun juga tidak demikian. Banyak perempuan yang menghabiskan waktu dan uangnya ditempat perbelanjaan hanya dengan membeli barang-barang yang tidak diperlukan. Selain itu, perempuanjuga sangat menyukai tempat-tempat yang bersifat memanjakan diri seperti salon atau spa. Ditempat-tempat yang berbau feminisme, perempuan sering menghabiskan waktunya untuk hanya sekedar melepas kepenatan dan kebosanan akan kesehariannya. Bisa saja ini disebut “budaya” berdasarkan fenomena yang terjadi pada masyarakat saat ini. Masyarakat Konsumen berputar di sekitar simbol dan tanda. Dick Hebdige, melihat kemungkinan untuk mengategorikan gayagaya yang dikembangkan oleh subkultur-subkultur sebagai satu bentuk subversi budaya, kalau tidak dapat dikatakan subversi politis. Melalui kajiannya pada gaya-gaya subkultur, ditemukan empat konsep gaya pada subkultur. 1. Gaya sebagai suatu praktek pertandaan. Gaya digunakan untuk membaca pakaian kelompok subkultur sebagai satu bahasa tanda yang mengandung makna-makna semiotika tertentu. 2. Gaya sebagai resistensi, penggunaan gaya pakaian atau musik subkultur yang bersifat ironis merupakan satu bentuk resistensi simbolis terhadap kebudayaan yang mapan.
3. Gaya sebagai bricolage, secara sederhana berarti mengambil satu cuplikan kecil dari satu tempat dan menempatkannya pada tempat lain untuk menciptakan satu makna baru. Inilah yang dilakukan anak-anak punk, mereka menggunakan lambang Swastika pada jaket atau atribut mereka lainnya, bukan untuk menghormati fasisme, akan tetapi untuk menentang orde yang mapan. 4. Gaya sebagai homologi. Istilah homologi digunakan untuk menjelaskan kesesuaian antara nilai-nilai dan gaya yang digunakan oleh satu kelompok. Bahkan pada kelompok konsumer mereka tidak dapat di samakan dengan kelompok sosial lainnya. (Piliang, 2003;249 ). Di dalam masyarakat konsumer, media massa dan komoditi adalah wahana di mana seseorang dapat menemukan makna eksistensinya. Pembelokkan perhatian dan kesadaran masyarakat luas melalui gaya-gaya yang ditawarkan menjadi ciri dari kebudayaan masyarakat konsumer. Penciptaan gaya adalah satu proses penciptaan citraan-citraan melalui komoditi secara total untuk dpercayai dan diikuti oleh masyarakat luas. Menurut Baudrillard,
kita hidup dalam era di mana masyarakat
tidak lagi didasarkan pada pertukaran barang materi yang berdaya guna (seperti model Marxisme), melainkan pada komoditas sebagai tanda dan simbol yang signifikansinya sewenang-wenang (arbitrer) dan tergantung kesepakatan (conventional) dalam apa yang disebutnya “kode”.
Dalam era konsumsi, gejala sosial yang signifikan adalah makin umum dan meluasnya penataan ulang (reorganisasi) aneka macam kebutuhan dari levelnya yang mendasar menjadi sebuah sistem tanda. Sistem tanda ini telah menjadi cara atau moda yang spesifik dalam transisi dari alam ke budaya di era ini. Masyarakat konsumen adalah masyarakat yang di mana orang-orang berusaha mengkonfirmasi, meneguhkan identitas dan perbedaannya, serta mengalami kenikmatan melalui tindakan membeli dan mengkonsumsi sistem tanda bersama. Konsumsi adalah aturan berbagai signifikasi seperti sistem bahasa atau pertemanan dalam masyarakat primitif. Masyarakat konsumen berputar di sekitar simbol dan tanda. Tak heran jika media massa, kenikmatan, dan seksualitas-sensualitas merupakan kata-kata kunci dalam segala jenis analisis sosial budaya masa kini. Media massa menjadi mukjizat dalam liturgi objek kenikmatan dipahami sebagai “penjelmaan kebebasan”, dan tubuh manusia adalah objek konsumen yang utama. Dalam consumer society, Baudillard menganalogikan konsumsi pada masyarakat masa kini dengan bahasa dan sistem tanda dalam masyarakat primitif. Manusia sepanjang masa membutuhkan suatu simbol yang dipuja dan disembah. Jika dahulu ada pohon, patung, masyarakat masa kini pun punya kultur-kultur sendiri seperti terhadap kemasan benda-benda, citra, televisi, serta terhadap konsep kemajuan dan pertumbuhan.
Kita menganggap dalam kondisi yang paling dasar pakaian berfungsi sebagai penutup tubuh untuk melindungi dari panas, dingin, debu dan banyak keuntungan fisikal lainnya. Selanjutnya kita mengenakan pakaian untuk memperoleh kenyamanan fisik dan psikis. Pada tingkatan tertinggi pakaian bisa menjadi jembatan aktualisasi diri dan identitas kelompok. Istilah fashion pertama kali dinisbahkan pada pola berbusana yang bertujuan untuk fungsi aktualisasi diri. Kata fashion masuk dalam lingkup perbusanaan dalam era yang menjadikannya sebagai komoditi yang diperdagangkan. Sebagai sebuah komoditas ekonomi, strategi pemasaran yang cermat dan jitu akan mempengaruhi kauntitas penjualan. Ajang promosi
diciptakan dengan pergelaran fashion-fashion show.
Pada
akhirnya fashion hanyalah penampakan luar dari sebuah gaya yang tidak tetap. Pergantian fashion setiap musim dan tahun bertujuan menjaga kebaruan relatif dan mencegah kejemuan masyarakat konsumen. Mitosmitos tentang suatu produk tertentu sengaja diciptakan produsen dengan memanfaatkan layanan iklan dan promosi. Selera pasar yang dimaksud adalah Konsumer Skizofrenik. Di dalam model komoditi total masyarakat konsumer, terjadi perubahan dalam hubungan antara manusia dengan objek. Dalam hal seperti ini, kita tidak lagi mengontrol objek-objek, akan tetapi, sebaliknya dikontrol oleh sistem objek-objek. Kita hidup sesuai iramanya, sesuai dengan siklusnya yang tak putus-putusnya. Kita hidup di dalam ekstasi konsumsi, dan konsumsi ini, menurut Baudrillard dikendalikan oleh apa yang disebutnya logika hawa
nafsu. Gilles Deleuze dan Felix Guattari di dalam Anti-Oedipus: Capitalism and Schizoprenia, mengungkapkan bahwa hawa nafsu di dalam masyarakat kapitalisme diproduksi oleh apa yang disebutnya mesin hawa nafsu dalam arti psikoanalisis yang digunakarmya untuk menjelaskan mekanisme produksi ketidak cukupan di dalam diri. Kita menginginkan objek-objek bukan disebabkan ketidak cukupan alamiah, melainkan ketidak cukupan yang kita produksi dan reproduksi sendiri (Baudilard, dalam Sutrisno, 2005;261). Masyarakat konsumer dilingkupi oleh tanda-tanda dalam wujud komoditi dan tontonan, yang muncul dan menghilang dalam kecepatan tinggi. Di hadapan hutan rimba tanda-tanda ini, menurut Deleuze dan Guattari, konsumer skizofrenik mengambil posisi bagaikan sebuah jaring laba-laba. Ia menjaring apa pun (tanda, produk, citra, atau gaya) yang lewat, tanpa mampu memahami keterkaitan maknanya. Dalam konteks arsitektur, memunculkan semacam ekstetika elemen-elemen arsitektur dulu maupun sekarang. Semacam gejala yang ditiru oleh Mangun Wijaya, “recuorse cataloque of the past” arsitektur sehingga, seperti apa yang dikatakan Jameson, mereka hidup selamanya dalam apa yang disebutnya chronos (ini-lalu-ini-lalu-ini-lalu), tanpa mampu lagi masuk ke dalam siklus kairos (kehidupan yang bermakna siklus, ideologis, dan mitos).
E.3. Perempuan sebagai komoditi dalam media Seorang Baudillard memandang bahwa komoditi bukanlah tentang nilai tukar (penanda palsu), yang berseberangan dengan nilai guna (petanda) yang benar, akan tetapi teralienasi. Nilai guna (petanda) dan kebutuhan (referensi) saling silang dan melebur satu sama lain. Kombinasi antara nilai guna plus kebutuhan dan petanda dan referensi (Piliang, 2003:106). Banyak yang berpendapat bahwa citra perempuan dalam dunia fashion, iklan, media populer dan majalah gosip ikut mempengaruhi para wanita dan perempuan dalam meyakini sejumlah mitos tentang tubuh yang ideal, tubuh yang didamba, tubuh yang sempurna tetapi tetap cantik dan alami, dan bagaimana perilaku para model dalam dunia fashion dan bintang yang menghiasi sampul majalah gadis dan wanita. Kontruksi aura dan citra tubuh dalam teks-teks budaya populer ikut mengubah dan membentuk cita rasa budaya anak muda tentang tubuh yang ideal secara budaya populer. Dengan cara demikian pula, kita bisa memahami bahwa teks budaya populer tentang tubuh dan citra diri hampir tak bisa dilepaskan bila kita berbicara tentang penampilan perempuan dan laki-laki yang diidealkan di pentas budaya populer yang terkomersialkan. “Wanita-wanita itu sendiri memang sensual karena mereka memiliki kecantikan yang istimewa. Mereka memperlihatkan kecantikan mereka sehingga tubuh mereka yang indah dapat diperhatikan dan dihargai.” (Helen Gurley Brown, 1997).
“Tubuh muncul sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk menjual komoditi dan jasa sekaligus sebagai suatu objek yang dengan sendirinya dikonsumsi. Agar bisa digunakan sebagai objek untuk menjual berbagai hal, tubuh harus ‘direka ulang’ oleh ‘pemiliknya’ dan dilihat secara marsistik ketimbang secara fungsional” (Jean Baudrillard, 1998). Keberadaan media iklan, baik media massa ataupun media elektronik (televisi, internet) merupakan element yang penting bagi sarana promosi komoditi suatu produk dari industri. Dalam perjalanannya, ternyata keberadaan media yang lebih banyak dikemudikan oleh “mesin kapitalis” telah memberikan andil yang sangat besar terhadap proses dehumanisasi dan penindasan terhadap kaum perempuan. Memang tidak dinafikkan juga bahwa eksistensi media, disisi yang lain juga telah memblow up dan memberikan kontribusi bagi dekonstruksi wacana perempuan selama ini. Atau dengan kata lain, adanya media memberikan wacana kepada publik, bahwa saat ini telah terjadi pergeseran yang cukup tajam akan peran perempuan. Yakni dari ranah domestik ke ranah publik. Ini berarti bahwa keberadaan perempuan dalam dunia publik sudah harus menjadi sesuatu yang diperhitungkan. Dalam perkembangannya, keberadaan perempuan dalam dunia publik, dalam konteks ini adalah media iklan (massa, elektronik). Relevansinya dengan proses humanisasi dalam kerangka menuju pemberdayaan perempuan di era kapitalis ini, maka keberadaan akan cara pandang yang sensitive gender menjadi sebuah keniscayaan. Sayangnya,
kesadaran seperti ini belum dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Tidak sedikit warga masyarakat yang bersikap menerima apa adanya, bahkan sebagian tanpa
sadar
justru
ikut
beranggapan seolah paradigma
pembangunan yang diterapkan misalnya sudah benar dan karena itu harus didukung. Hal yang sama berlaku atas nilai-nilai yang dianut masyarakat tentang keberadaan kaum perempuan. Karena itu muncul pemikiran bahwa kepekaan setiap lapisan masayarakat agar dapat menangkap fenomena sosial yang
tengah berkembang melalui perspektif
gender
perlu
untuk
ditumbuhkan. Dengan kata lain, ada upaya untuk mendesak berbagai komponen dalam masyarakat untuk menggunakan perspektif gender dalam melihat masalah sosial. Langkah ini sekaligus dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya demokratisasi kehidupan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik serta terbebas dari struktur yang hegemonik (Fakih, 1996;79) Adanya pemahaman atas perspektif gender diharapkan tidak saja mengubah cara pandang warga masyarakat dalam menghadapi keberadaan kaum perempuan termasuk perlakuan negatif yang dihadapi oleh kaum perempuan khususnya dan kelompok yang mengalamai marginalisasi umumnya. Lebih dari itu, masyarakat diharapkan memiliki pemahaman dan cara pandang baru terhadap dinamika kehidupan yang ada. Perbedaan gender masih dianggap layk dipertanyakan karena secara umum masih banyak masalah yang menyangkut persoalan gender. Komoditas sangat erat hubungannya dengan kekuasaan yang tidak mungkin dipisahkan dengan
relasi antar gender, terutama bila kesetaraan adalah tujuannya sehingga pembebasan perempuan harus mempertimbangkan faktor kekuasaan (Evans, 1995). Dalam relasi kekuasaan antar gender, kekuasaaan menjelaskan kenestapaan perempuan sebagai korban asli supremasi kemahakuasaan lakilaki, tanpa harapan, dan tanpa pertolongan dalam hukum-hukum kekuasaan yang semestinya. Kekuasaan dikaitkan dengan dominasi, pengekangan, kontrol bahkan kekerasan (Clare, 1987 dalam Fakih, 1996;81). Sejarah media menggambarkan dan merepresentasikan perempuan sejajar dengan sejarah penggambaran orang kulit berwarna. Perempuan dan kulit berwarna sering dimarjinalkan dalam semua bentuk media. Citra-citra stereotipe tentang perempuan yang menyolok mendominasi tahun-tahun awal media massa. Saat khalayak media dan industri media merasakan pengaruh gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, citra stereotipe ini meretas jalan ke arah keanekaragaman yang lebih luas dan peran bagi perempuan. Citra media tentang perempuan dan laki-laki merefleksikan dan mereproduksi seluruh rangkaian stereotipe di samping perubahan peran gender. Citra media bisa “mengajarkan” banyak hal. Berbagai media menyajikan model yang kuat dan ideal. Media dianggap sebagai agen sosialisasi gender yang penting dalam keluarga dan masyarakat. Media mengungkapkan kepada kita tentang peran perempuan dan laki-laki dari sudut pandang tertentu. Media menentukan dan mengukuhkan ideologi, “sistem kepercayaan”, atau “pandangan dunia” tertentu. Media juga
menanamkan kesadaran dan mitos dan sekaligus sarana pengukuhan mitos dan sekaligus sarana pengukuhan mitos tertentu tentang gender, perempuan, dan laki-laki. Berbagai mitos yang mendistorsi lewat penggambaran dan citra perempuan yang selama ini hidup dalam teks-teks budaya pop sudah lama memperoleh perhatian pengkaji gerakan wanita, terutama kaum feminis. Kaum feminis telah mengevaluasi kaum perempuan dan memperhatikan perlunya sesuatu yang sebelumnya dianggap tak berharga. Mereka mencoba mengerti bagaimana kaum perempuan membaca dan memahami berbagai teks budaya pop, juga mencari titik-titik perlawanan kaum perempuan terhadap makna-makna yang dominan (Rakow, 1991 dalam Ibrahim, 2007;58). Peningkatan akses perempuan pada media dipandang tak hanya akan menjadi tandingan untuk mengimbangi (counter balance) seleksi informasi oleh laki-laki yang diyakini pada kondisi terbaik, bukan untuk melayani kepentingan perempuan tetapi juga menghasilkan output media yang berbeda. Kualitas yang berbeda dipandang akan membawa pada perpekstif dan tafsir baru. Namun, akses perempuan dan partisipasi aktif perempuan dalam produksi pesan media dalam perkembangannya dianggap bukanlah satu-satunya cara untuk memperbaiki “nasib” perempuan dalam media dan ruang publik. Munculnya studi yang memandang “khalayak aktif” dalam menafsirkan pesan media, dianggap sebagai jalan untuk melakukan
perlawanan atas mitos atau makna-makna dominan yang disebarkan lewat produk dan pesan media.
E.4. Mitos Perempuan Indonesia Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas alam. Mitos merupakan cara berfikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk memahami sesuatu. Seperti halnya perempuan lain di seluruh dunia, posisi perempuan Indonesia masih berada dalam posisi di bawah. Proses sejarah lah yang membuat perempuan telah dikontruksikan oleh berbagai macam mitos (Barthes, 1973). Dalam buku Muniarti, mitos perempuan dibagi menjadi tiga yaitu, Pertama, mitos penciptaan telah menganggap perempuan adalah pembantu laki-laki. Mitos ini dinyatakan dalam pernyataan politik pemerintah yang memposisikan lelaki selalu sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai pembantu lelaki (misalnya dalam Darma Wanita) (Muniarti, 2004;128). Kedua, mitos kecantikan, merupakan satu dari mitos terhadap steoreotip perempuan. Perusahaan kosmetik mendukung mitos ini, tentu saja untuk keuntungannya sendiri. Dalam mitos ini, perempuan harus punya keinginan untuk mewujudkannya, dan lelaki harus mendapatkan wujud dari keinginan itu untuk memiliki perempuan yang serba cantik dan sempurna. Perwujudan itu merupakan imperatif bagi perempuan, bukan untuk laki-laki. Situasinya merupakan keharusan dan alamiah, karena situasinya merupakan
hal yang biologis seksual dan evolusioner. Laki-laki yang perkasa bertempur bagi perempuan yang cantik dan perempuan cantik dijamin secara produktif lebih berhasil. Perempuan cantik harus berkolerasi dengan kesuburan mereka. Ketiga, adalah mitos yang lebih besar yaitu mitos perempuan sebagai ibu bangsa. Mitos ini megajarkan tentang tanggung jawab ibu, peran, atau beban ganda perempuan dalam keluarga. Mitos-mitos ini, hingga sekarang masih merupakan hasil asuhan dan dimanupulasi secara politis. Pengaruh dari ideologi gender masih solid. Dampaknya sebagai berikut : a) Perempuan sebagai objek pola konsumsi Pekerjaan domestik bagi perempuan menyebaban perempuan memiliki kebijakan dalam menentukan pola konsumsi keluarga. Ia merupakan aktor pelaku dari konsumsi keluarga. Ia harus memilih, membeli, menentukan jenis barang untuk keluarganya. Posisi perempuan ini sangat strategis untuk diterobos oleh para produsen melalui berbagai promosi barang-barang baru. b) Perempuan sebagai buruh murah. Banyak barang-barang industri perlu dikerjakan secara teratur. Stereotip terhadap perempuan mengatakan bahwa perempuan harus mengerjakan hal tertentu, tetapi oleh pihak lain perempuan dipandang sebagai buruh yang tidak produktif. Berdasarkan cara berfikir demikian, timbul
justifikasi bila perusahaan apa pun memberikan upah lebih rendah kepada kaum perempuan pekerja adalah wajar atau biasa. c) Pekerja migran perempuan. Kehidupan yang keras di pedesaan mendorong perempuan, khususnya
yang berusia muda untuk pergi mencari
pekerjaan. Pekerja perempuan merupakan salah satu pilihan karena terdapat banyak promosi dari pemerintah. Mereka tidak memliki alternatif lain, karena tidak memiliki ketrampilan, kecakapan, dan modal. d) Tubuh perempuan sebagai mekanisme komoditi seksual. Ide-ide tentang kecantikan (perempuan), telah melibatkan setahap demi setahap ide tentang uang. Sebelum perempuan secara massal memasuki lapangan kerja sebagai buruh, terdapat kelas tertentu yang secara eksplisit membayar kecantikan
mereka.
Para
perempuan
pekerja
yang
mempunyai profesi dalam dunia hiburan, siap menemani kesenangan para konsumennya di mana saja, kapan saja, dan siapa saja. Semua bentuk komoditi ini secara cepat merasuk pada pasar internasional yang terbuka dengan segala implikasinya. Komoditi seksual, hanyalah salah satu contoh, bagaimana perempuan berada dalam posisi sebagai objek semata. Bahkan, berdasarkan mitos-mitos ideologi tubuh
perempuan. Mereka mencari pekerjaan karena problem ekonomi mereka. Mereka datang di kota besar masih polos dan percaya kepada sistem penerimaan pegawai, namun pada kenyataannya mereka ditipu mentah-mentah, karena mereka adalah bagian dari komoditi yang dijual itu.
E.5. Perempuan dalam Media Massa (Cetak) sebagai Realitas Simbol Menurut Sobur, realitas berasal dari bahasa lati, res, yang artinya benda, yang kemudian menjadi kata realis yang berarti sesuatu yang membenda, aktual, dan atau mempunyai wujud. Sedangkan simbol, secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani, sym-ballein, yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide, atau symbolos, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada orang lain. Dalam konsep Peirce, simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu diluar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda), bersifat konvensional. Dalam hal ini, kata salah satu bentuk simbol, karena hubungan kata dengan dunia acuannya ditentukan berdasarkan kaidah kebahasaannya,
yang
ditentukan
berdasarkan
konvensi
masyarakat
pemakainya. Dengn demikian, realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas empiris dalam berbagai bentuk. Sobur mengatakan bahwa simbol memiliki bentuk dan makna. Berbeda dengan tanda, simbol memiliki keterkaitan dengan penafsiran
pemakai, kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya, serta kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakai dalam hal ini, simbol telah menjadi bentuk simbolik. Mulyana mengemukakan bahwa simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari manusia, dan respon manusia terhadap simbol dalam pengertian maknanya dan nilainya ketimbang dalam pengertian stimulasi fisik dan alat-alat inderanya. Keindahan yang terdapat pada tubuh perempuan berbeda dengan keindahan pada tubuh laki-laki. Keindahan yang khas dari tubuh perempuan memuat cita rasa estetis yang unik. Seringkali apa yang dikenakan perempuan dikaitkan dengan keindahan. Sama halnya dengan inspirasi seorang penulis. Dari perempuanlah tercipta banyak sekali karya sastra yang pada akhirnya begitu melegenda. Perempuan seakan tak pernah kehilangan kisah-kisah untuk diceritakan. Dalam kehidupannya, perempuan sering dihadapkan pada permasalahan betapa sulitnya menjadi seorang perempuan. Begitu banyak masalah yang harus ia hadapi, sampai kemudian ia dapat mencapai
kebijaksanaan
sebagai
perempuan.
Untuk
mencapai
kebijaksaannya, perempuan dihadapkan pada proses pencarian jati diri, mencintai, dicintai, terluka, menangis, bahagia, dan masih banyak lagi. Semua itu merupakan bagian yang selalu menarik untuk dikuak dan diceritakan. Tubuh perempuan dinilai indah secara anatomi, simbolik, modal atau otoritas, semiotika, dan juga fotografi. Oleh karenanya, tubuh dapat
dimaknai beragam.
Ditinjau
dari segi anatomi tubuh merupakan
kompleksitas biologis yang mengagumkan, rumit, dan signifikan bagi kelangsungan hidup manusia. Keindahan tubuh diagungkan dalam kegiatan ritual manusia dan dimaknai keindahannya secara simbolik lewat karya seni (lukisan, hasil foto dan lain-lain). Bagi perempuan pemilik tubuhnya, ia menjadikan tubuh miliknya tiu sebagai modal untuk menciptakan dan membentuk manusia baru atau untuk berekspresi. Pemilik tubuh perempuan adalah dirinya sendiri. Dengan mengenali tubuh, perempuan tahu bagaimana ia memperlakukannya. Kesadaran akan tubuhnya menjadi modal dasar bagi perempuan untuk melakukan kontrol diri. Sebagai pemilik sekaligus penentu, perempuan akan membentengi diri dari segala bentu kekerasan yang ditujukan kepadanya, karena sadar tubuh indah adanya dan berharga.
E.6. Semiotik sebagai Alat Analisis Tanda Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda atau sign dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. semiotik Dalam istilah yang dipakai Stuart Hall untuk menyatakan hal ini, fungsi
bahasa
adalah
sebagai
tanda.
Tanda
mengartikan
atau
merepresentasikan (menyimbolkan) konsep-konsep, gagasan atau perasaan sedemikian rupa yang memungkinkan seseorang membaca, men-decode atau menginterpretasikan maknanya. Persoalan tanda ini secara lebih serius terangkum dalam satu disiplin yang disebut sebagai semiologi atau semiotik. Terobosan penting pada disiplin ini adalah diterimanya linguistik sebagai model beserta penerapan konsep-konsepnya dalam fenomena lain yang bukan hanya bahasa, dan dalam pendekatan ini lantas disebut sebagai teks. Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang pemberi makna melalui bahasa. Analisis kritis media berupaya mempertautkan hubungan antara media massa dan keberadaan struktur sosial. Analisis kritis menguji kandungan-kandungan pesan media, bagaimana teks atau bahasa media dikaji, dan bagaimana makna yang dapat dimunculkan dari teks. Bagian berikut akan sedikit mengetengahkan gagasan-gagasan semiotis yang dikemukakan oleh seorang penganut Saussure dari Perancis, Roland Barthes. Gagasan-gagasannya memberi gambaran yang luas mengenai media kontemporer. Boleh jadi Barthes merupakan orang terpenting kedua dalam tradisi semiotika Eropa setelah Saussure. Melalui sejumlah karyanya ia tidak hanya melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, pemikirannya justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari bahasa yang ia ketengahkan sebagai mitos (Fiske, 1990:12).
Ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak atau lay out, rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut fenomena ini, membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu sebagai penciptaan mitos. Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya ceritacerita tradisional, melainkan sebuah cara pemaknaan dalam bahasa Barthes, tipe wicara. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos, satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tandatanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain. Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tak berdosa, netral, melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Kendati demikian, kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah (mitos diperlawankan dengan kebenaran) cukuplah dikatakan bahwa praktik penandaan seringkali memproduksi mitos. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem
makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain. Pemikiran Barthes tentang mitos nampaknya masih melanjutkan apa yang diandaikan Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dan petanda. Tetapi yang dilakukan Barthes sesungguhnya melampaui apa yang lakukan Saussure. Bagi Barthes, mitos bermain pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Sauusure mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, Barthes menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu (Sobur, 2009;129). Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Sausure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, "pembaca" teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif. Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator, terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Beberapa tanda boleh jadi secara berkelompok membentuk
sebuah konotator tunggal, asalkan yang disebut terakhir tadi memiliki sebuah petanda konotator tunggal. Dengan kata lain, satuan-satuan dari sistem terkonotasi tidak mesti memiliki ukuran yang sama dengan sistem yang tertandakan fragmen-fragmen besar dari diskursus yang bersangkutan dapat membentuk sebuah satuan sistem terkonotasi tunggal. Sebagai contoh, misalnya, dengan melihat suatu teks, yang tersusun dari sejumlah banyak kata, namun makna umum dari itu merujuk pada sebuah petanda tunggal). Bagaimanapun caranya ia dapat menutup pesan yang ditunjukkan, konotasi tidak menghabiskannya, selalu saja tertinggal "sesuatu yang tertunjukkan" (jika tidak diskursus menjadi tidak mungkin sama sekali) dan konotator-konotator selalu berada dalam analisa tandatanda yang diskontinyu dan tercerai-berai, dinaturalisasi oleh bahasa yang membawanya. Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Berbagai petanda ini memiliki suatu komunikasi yang amat dekat dengan budaya, pengetahuan, sejarah, dan melalui merekalah, demikian dikatakan, dunia yang melingkunginya menginvasi sistem tersebut. Kita dapat katakan bahwa ideologi adalah suatu form penanda-penanda konotasi, sementara gaya bahasa, majas atau metafora adalah elemen bentuk (form) dari konotator-konotator. Singkatnya, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Penggunaan tanda satu persatu dapat mengurangi kecenderungan "anarkis" penciptaan makna yang tak berkesudahan. Di sisi lain, keanekaragaman budaya dan perubahan
terus-menerus membentuk wilayah petanda konotatif yang bersifat global dan tersebar. Ideologi, secara semiotis, adalah penggunaan makna-makna konotasi tersebut di masyarakat alias makna pada makna tingkat ketiga (www.google.com/http://aingkries.blogspot.com/2007/12/representasimedia-visual-semiotik.html). Teori Barthes tentang mitos atau ideologi memungkinkan seoarng pembaca atau analis untuk mengkaji ideologi secara sinkronik maupun diakronik. Secara sinkronik, makna terantuk pada suatu titik sejarah dan seolah berhenti di situ, oleh karenanya penggalian pola-pola tersembunyi yang menyertai teks menjadi lebih mungkin dilakukan. Pola tersembunyi ini boleh jadi berupa pola oposisi, atau semacam skema pikir pelaku bahasa dalam
representasi.
Sementara
secara
diakronik
analisis
Barthes
memungkinkan untuk melihat kapan, di mana dan dalam lingkungan apa sebuah sistem mitis digunakan. Media seringkali berperilaku seperti itu, mereka merepresentasikan, kalau bukan malah menciptakan mitos-mitos baru yang kini hadir di tengah masyarakat. Untuk yang terakhir ini, penulis berkecenderungan untuk mengatakan bahwa media melakukan proses "mitologisasi", dunia kita sehari-hari digambarkan dalam cara yang penuh makna dan dibuat sebuah pemahaman yang generik bahwa memang begitulah seharusnya dunia. Iklan, berita, fesyen, pertunjukan selebritas adalah dunia kecil yang akrab kita jumpai dan menjadi ikon dari dunia besar: mitos dan ideologi di baliknya (Sutrisno, 2005;119).
Pemikiran Barthes tentang ideologi seringkali bersinggungan dengan pemikiran Althusser, dan keduanya memang terlihat saling melengkapi. Rupanya Barthes adalah salah seorang mahasiswa Althusser. Kedua orang yang berbeda generasi itu mempunyai minat yang sama ideologi. Baik Althusser maupun Barthes sepakat bahwa ideologi menjadi tempat di mana orang mengalami subyektivitasnya. Hanya saja, Barthes telah menerapkan teori subyektivitas yang berada di luar jangkauan analisis Althusser. Barthes dapat menjangkau teori subyektivitas melalui konsepnya tentang sistem mitis, di mana dia dapat menjelaskan konsepnya secara lebih skematik. Dan boleh jadi Barthes akan menjadi lebih akrab dengan kita karena apa yang diambilnya seringkali berasal dari dunia yang amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Ideologi menjadi persoalan konsumsi, secara tidak sadar kita melahapnya dalam persoalan keseharian, dan konsumsi pun menjadi bermakna ideologis (Sobur, 2006;63). Sebagai sebuah teori dan alat analisis berbagai tanda (sign) dan pemaknaan (signification), semiotik bermanfaat untuk mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu tang bertalian dengan tanda. Dengan kata lain, semiotik dapat diterapkan dalam semua bidang kehidupan, asalkan memenuhi prasyarat, yaitu: ada arti yang diberikan, ada pemaknaan, dan interpretasi. Berbicara tentang kegunaan semiotik, maka yang sebenarnya sedang dibahas adalah kegunaan pragmatik, yaitu mengetahui apa yang dilakukan tanda, dan apa saja reaksi manusia ketika berhadapan dengan tanda. Dengan kata lain, masalahnya adalah produksi dan konsumsi tanda.
Saat ini, semiotika telh berkembang menjadi sebuah model atau paradigma bagi berbagai bidang keilmuan yang sangat luas, yang menciptakan cabangcabang semiotika khusus, antara lain: semiotik binatang (zoo semiotic), semiotika kedokteran (medical semiotic), semiotik arsitektur, semiotika seni, semiotika fashion, semiotika film, semotika sastra, semiotika televisi, termasuk semiotika desain (Sobur, 2009;115).
E.7. Tinjauan Semiotik Fashion Gejala semiotik pada fashion secara lugas dibahas oleh Dick Hebdige di dalam Subculture: The Meaning of Style, memuat satu kajian semiotik, tentang fenomena fashion pada subcultur. la mengemukakan bahwa fashion yang dikembangkan oleh subkultur (hippies, Teddy Boys, punk, dan sebagainya) merupakan satu bentuk penggunaan tanda-tanda secara subversif dan ironik, yaitu melalui pencurian citraan yang sudah mapan. Sebagai tanda, fashion pada subkultur mempunyai dua fungsi semiotik, yaitu sebagai upaya diferensi atau membangun identitas diri, dan sebagai satu bentuk daur ulang citra-citra.
Fashion subkultur, menurut
Hebdiger, merupakan satu upaya menentang alam, dan mengganggu sesuatu yang normal. Roland Barthes adalah salah seorang pelopor fashion, melalui sebuah buku fashion system tahun 1983 dalam bahasa Prancis. Dalam buku tersebut Barthes mengkategorikan fashion dari segi busana, yaitu : 1) Image clothing adalah busana yang ditampilkan sebagai fotografi atau gambar. 2)
Written clothing adalah busana yang dideskripsikan ke dalam bahasa. 3) Real clothing adalah busana aktual yang dapat dikenakan pada tubuh manusia. Merujuk kepada teori fashion system dari Roland Barthes (1990), fashion adalah sebuah sistem tanda (signs). Di mana cara berpakaian tidak dilihat sebagai cara untuk menutup tubuh dengan pakaian guna menghindari udara dingin atau dari terik matahari. Cara kita berpakaian adalah sebuah tanda untuk menunjukkan siapa diri kita, nilai budaya apa yang kita anut. Maka cara berpakaian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang netral dan sesuatu yang lumrah (Barthes, 1990;14). Fashion dapat dikatakan sebagai suatu wacana sosial, dimana status sosial seseorang dapat kita lihat hanya dengan memaknai barang-barang yang melekat ditubuhnya. Barthes tidak berurusan di sini dengan fashion nyata, tapi dengan mode seperti yang dijelaskan dalam majalah. Garmen ini benar-benar dikonversi ke dalam bahasa, sehingga perkembangannya sangat cepat dan tidak terkontrol lagi. Bahkan gambar hanya digunakan untuk dapat dialihkan ke kata-kata. Maka fashion merupakan objek. Melalui pendekatan semiotik ini, ada harapan untuk lebih dapat memahami bagaimana busana menjadi pengaruh sosial, baik sebagai image clothing, written clothing, ataupun real clothing, dapat berfungsi sebagai tanda-tanda di dalam proses produksi dan konstruksi makna, dan bagaimana maknamakna dapat diproduksi didalamnya. Pelajaran Barthes yang dengan demikian melampaui semiologi yang sebenarnya, adalah fashion yang hanya ada melalui teknologi aparat, dan
sistem komunikasi yang membangun maknanya. Konteks pasca-modern membuat jelas bahwa seluruh rangkaian wacana sosial dari film musik, media baru dan iklan, adalah tempat di mana fashion ada sebagai suatu sistem, sinkretis intertekstual, sebagai referensi retikuler antara tanda-tanda tubuh berpakaian dan sebagai konstruksi konstan dan dekonstruksi dari mata pelajaran yang bernegosiasi, menafsirkan atau menerima maknanya. Konsep fashion sendiri, menurut Baudrillard tidak dapat dipisahkan dari konsep daur ulang. Sistem fashion pada kenyataannya tidak mengikuti hukum kemajuan. Sebagaimana yang dikemukakannya dalam Mass Media Culture, istilah daur ulang menerangkan tentang siklus fashion. Setiap orang merasa perlu memperbarui diri mereka setiap tahun, setiap bulan atau setiap musim lewat pakaian, barang barang dan mobil mereka. Bila mereka tidak melakukan ini, mereka merasa tidak dapat menjadi anggota sejati masyarakat konsumer. Akan tetapi, dalam hal ini
fashion tidak bisa
diartikan sebagai kemajuan, karena ia bersifat berulang-ulang dan fashion mendaur ulang tanda-tanda dan simbol-simbol tanpa ada akhirnya. Di dalam masyarakat konsumer, model semiotik fashion ini merupakan paradigma dalam produksi tanda-tanda, dan produksi komoditi sebagai tanda. Estetika posmodernisme adalah estetika yang dibangun mengikuti paradigma fashion ini. Prinsip semiotika posmodernisme adalah bahwa semua pertandaan dapat didaur ulang. Bagaimana fashion system mengkonstruksikan nilai-nilai budaya juga dapat kita lihat dalam fenomena Harajuku. Nama Harajuku sendiri
diambil dari nama wilayah yang terletak di Distrik Shibuya, Tokyo yang menjadi pusat berekspresi kaum urban Jepang. Fenomena Harajuku di Indonesia misalnya dapat kita lihat dari maraknya festival ‘jepang-jepangan’ di berbagai kesempatan. Cultural studies melihat fenomena harajuku atau cosplay macam ini sebagaimana budaya Punk, pada dasarnya terkonstruksikan terutama oleh fashion system. Mereka mengidentifikasikan budaya yang mereka anut melalui bagaimana cara mereka berpakaian. Dilihat dari perspektif semiotika, jika kita memaknai fashion anak Punk dan Harajuku secara denotatif mungkin akan muncul makna yang simplisistik. Punk itu kotor, jorok, tidak rapih, pemberontak. Harajuku itu aneh, norak, kenakankanakan. Sebuah contoh sederhana, misalnya kerah kemeja. Apabila dikenakan terbuka dan tanpa dasi, kerah kemeja merupakan sebuah penanda yang mengacu kepada ”informalitas” atau “ke-kasual-an” sebagai makna atau petandanya. Kerah kemeja yang yang sama, apabila dikancing rapat dan berdasi, dapat dianalisis sebagai sebuah penanda. Kerah kemeja jika digunakan oleh seseorang kini akan
mempresentasikan “formalitas”,
misalnya, sebagai makna dan petandanya (Barnard, 1996;79). Dengan bertumpu pada teori Barthes, maka dapat terlihat bahwa semiotik memberikan tempat yang sentral pada tanda. Sebagai ilmu yang mengkaji tanda, semiotik juga melihat tanda sebagai gejala budaya. Menurut Danesi dan Perron semiotik melihat kebudayaan sebagai suatu
“sistem pemaknaan”. Bahkan Eco mengatakan bahwa makna tanda adalah hasil suatu konvensi, suatu prinsip dalam kehidupan berkebudayaan. Dengan kata lain, pendekatan semiotik mengaitkan tanda dengan kebudayaan, tetapi memberikan tempat yang sentral kepada tanda. Dalam hal ini, teks dilihat sebagai tanda. Dengan demikian, apabila tanda mengalami proses pemaknaan, maka manusia dan lingkungan kulturalnya tidak secara khusus ditonjolkan dalam analisis semiotik. Disamping pendekatan semiotik Barthes, juga mengemukakan pandangannya mengenai bahasa dan fenomena budaya. Bedanya, dalam pendekatan semiotik sosial, bahasa tidak lagi dilihat sebagai suatu identitas yang secara atomistis dirujuk sebagai hubungan antara yang ditandai dan yang menandai. Akan tetapi, pendekatan ini lebih melihat bahasa sebagai suatu realitas, realitas sosial, dan sekaligus sebagai realitas semiotik termasuk dalam semiotik busana atau semiotik fashion.
E.8. Representasi Perempuan dalam Media Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika orangorang yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-
kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasa yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang mengembangkan studi tanda dalam semiotika maka lengkaplah studi budaya untuk membaca baik bahasa logis atau pun bahasa tanda dalam semiotika. Semiotika sendiri oleh Saussure dipapar sebagai studi atau kajian mengenai sistem tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja di masyarakat. Studi tentang tanda semiotika ini melaju pesat di tangan Roland Barthes untuk mengkaji cara berpakaian, gaya hidup, cara komunikasi, cara sosialisasi yang kesemuanya mau mengomunikasikan diri kita dalam tanda-tanda yang disusun, yang disebut sebagai "kode". Baudrillard menerima konsekuensi kode dalam masa modern akhir. Kode ini jelas terkait dengan komputerisasi dan digitalisasi, juga cukup mendasar dalam fisika, biologi, dan ilmu-ilmu alam lainnya. Di mana ia memberi kesempatan berlangsungnya reproduksi sempurna dari suatu objek atau situasi, inilah sebabnya kode bisa melalui sesuatu yang real dan membuka kesempatan bagi munculnya realitas yang disebut Baudrillard sebagai hyperreality. (Lechte, 2001, hal. 352). Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu berbaur masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Dengan cara pandang seperti itu, dapat membagi sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representasi dan bahasa.
1. Mental representational individual atau disebut juga dengan representasi mental. Masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan diantara semua itu. Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. 2. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna, tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Istilah umum yang seringkali digunakan untuk kata, suara, atau kesan yang membawa makna adalah tanda (sign). Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, kita bisa memakai tiga teori representasi yaitu, dari mana suatu makna berasal, bagaimana kita membedakan antara makna yang sebenarnya dari sesuatu atau suatu image dari sesuatu. Teori pertama adalah pendekatan reflektif. Di sini bahasa berfungsi sebagai cermin yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan
intensional,
dimana
kita
menggunakan
bahasa
untuk
mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis. Dalam pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai. Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan
sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara sesuatu, peta konseptual, dan bahasa simbol atau adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang kita namakan representasi (Sobur, 2006;271). Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. Intinya adalah makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu. Representasi perempuan dalam sebuah media, perempuan diartikan sebagai simbol dari sekian banyak perempuan dengan berbagai golongan dan perbedaannya. Perempuan diwakilkan dengan satu perempuan yang mengartikan semua perempuan yang diwakilkan adalah sama. Namun dengan bahasa yang berbeda-beda sesuai dengan individualnya yang dapat menyimpulkan makna yang berbeda-beda pula. Disini, representasi perempuan
mengacu
(Muniarti;2004).
terhadap
mitos
perempuan
yang
telah
ada
Dalam buku Rosemarie Putnam Tong, hiperealitas sangat berkaitan dengan kaum feminis yang memiliki eksistensialisme (Beauvoir:1989). Dengan mengatakan bahwa perempuan adalah ada untuk dirinya sebagaimana ia juga ada dalam dirinya, ada alasan tertentu diluar hal-hal yang diarahkan oleh biologi dan fisiologi perempuan, untuk menjelaskan mengapa perempuan untuk menjalankan peran. (Tong;264 dalam Sutrisno, 2005;313). Peningkatan akses perempuan pada media dipandang tak hanya akan menjadi tandingan untuk mengimbangi (counter balance) seleksi informasi oleh laki-laki yang diyakini pada kondisi terbaik, bukan untuk melayani kepentingan perempuan tetapi juga menghasilkan output media yang berbeda. Kualitas yang berbeda dipandang akan membawa pada perpekstif dan tafsir baru. Namun, akses perempuan dan partisipasi aktif perempuan dalam produksi pesan media dalam perkembangannya dianggap bukanlah satu-satunya cara untuk memperbaiki “nasib” perempuan dalam media dan ruang publik. Munculnya studi yang memandang “khalayak aktif” dalam menafsirkan pesan media, dianggap sebagai jalan untuk melakukan perlawanan atas mitos atau makna-makna dominan yang disebarkan lewat produk dan pesan media. Selayaknya terbangun hubungan yang ekual antara laki-laki dan perempuan dalam setiap aspek kehidupan termasuk dalam berkesenian, disini diambil contoh kehidupan adalah sebuah teater yang setiap manusia mempunyai peranannya sendiri-sendiri. Termasuk juga setiap perempuan
yang juga mempunyai peranan disetiap kemunculannya di teater. Kebudayaan manusia itulah yang hendaknya dijiwai hubungan manusiawi. Itulah yang diperjuangkan setiap gerakan penyadarannya termasuk dalam lingkup teater. Dahulu teater masih didominasi oleh kaum laki-laki, berbahasa seni dengan persepsi laki-laki. Memang tidak bisa disalahkan situasi teater yang seperti ini karena secara praktis, membangun kreatifitas dalam teater identik dengan karya seni yang berkembang. Seni merupakan wujud dari ekspresi kultural tertentu, yang notabennya masih dikuasai oleh laki-laki mulai darei sutradara, pemain, penulis naskah, stage manager, hingga penata artistik. Fenomena ini yang menyebabkan perempuan senantiasa dijadikan obyek seks karena dianggap lemah. Seperti tearter yang bercerita tentang Putri Salju, Rapunzel, atau cerita putri-putri yang selalu tertindas dan hidup bahagia diakhir cerita dikarenakan diselamatkan oleh Pangeran. Laki-laki yang dicerita jaman dahulu selalu dicitrakan sebagai penolong bagi seorang perempuan dan perempuan sendiri selalu dicitrakan sebagai manusia yang lemah hingga saat ini. Di Barat, teater sudah berkembang sejak tiga abad yang lalu, baru belakangan ini diwarnai nuansa estetik perempuan. Perempuan telah mengalami banyak perubahan secara bertahap. Bahkan media sering sekali menggambarkan perempuan dengan berbagai cara. Bahkan banyak sekali media yang memuat teks yang berisi seksualitas perempuan, dapat membantu perempuan untuk membuka kesadaran seksualitas dirinya yaitu kesadaran perempuan untuk membebaskan diri dari
pemahaman tradisi patriarkal. Tentu hal ini akan mengangkat perempuan sebagai
subjek
sekaligus
objek
tulisan,
dan
bisa
menyelesaikan
persoalannya sendiri, termasuk perasaan tentang tubuhnya. Kedekatan perempuan dengan tubuhnya dapat menjadi suatu wacana baru dalam perkembangan media. Maka, kebebasan perempuan dimunculkan dalam bentuk baru yang revolusioner. Kehadiran revolusioner tersebut telah terbukti dengan banyaknya media-media khusus perempuan yang isi dan pembuatnya adalah perempuan. Perempuan sekarang lebih dikategorikan sama dengan atau sejajar dengan laki-laki. Terbukti dalam pemunculannya di media porsinya hampir sama dan juga image lemah tidak juga melekat pada perempuan saja. Dalam media juga mengenal kesetaraan gender, jika kita menelaah sejenak ada media yang dikhususkan pada perempuan atau laki-laki saja sebagai sasaran konsumennya. Jika kita sering melihat perempuan setengah telanjang dalam majalah maka sekarang kita pun dapat melihat laki-laki yang juga setengah telanjang tampil sebagai model dalam majalah. Inilah yang sering disebut kesetaraan gender. Tidak hanya perempuan yang sering dianggap objek atau simbol seks namun, laki-laki juga sama. Dikarenakan perempuan kemunculannya di majalah
sering
dijadikan patokan oleh pembacanya, maka tiap media mempunyai pandangan
tersendiri
terhadap
seorang
perempuan.
Ada
yang
menggambarkan perempuan sebagai simbol seks maka perempuan digambarkan dengan ciri busana minim, bahasa tubuh yang menggoda dan
sebagainya. Ada juga yang memang digambarkan perempuan sebagai penggerak emansipasi maka, digambarkan dengan busana yang elegan namun terlihat sangat berpendidikan. Banyak sekali media-media yang memrepresentasikan perempuan berbeda-beda, ini dikarenakan media tersebut menginginkan pesan-pesannya sampai sesuai dengan segmentasi yang mereka telah tetapkan.
F. Definisi Konseptual Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika orangorang yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kodekode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasa yang sama, dan saling berbagi
konsep-konsep
yang
sama
(dalam
www.google.com/http://aingkries.blogspot.com/2007/12/representasimedia-visual-semiotik.html). Konsep Semiotik yang digunakan yaitu, Konsep Konotasi milik Roland Barthes, konsep ini mendenotasikan sesuatu hal yang dinyatakan sebagai mitos, dan
mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi
tertentu. Tanda – tanda konotasi terdapat pada teks yang tercantum pada artikel sebuah majalah atau tabloid. Maka tanda konotasi inilah yang akan
membantu pembaca untuk memahami penggunaan gaya bahasa kiasan. Penanda-penanda konotasi tersebut, dapat disebut sebagai konotator. Secara khusus penelitian ini menggunakan konsep Semiotika Fashion yaitu model semiotik fashion yang merupakan paradigma dalam produksi tanda-tanda, dan produksi komoditi sebagai tanda. Estetika posmodernisme adalah estetika yang dibangun mengikuti paradigma fashion ini. Prinsip semiotika posmodernisme adalah bahwa semua pertandaan dapat didaur ulang.
Fashion pada subkultur mempunyai dua fungsi
semiotik, yaitu sebagai upaya diferensi atau membangun identitas diri, dan sebagai satu bentuk daur ulang citra-citra. Selanjutnya, Konsep Metafora, konsep ini melanjutkan konsep diatas. Dimana tanda – tanda konotasi tersebut mempunyai teks yang berisi gaya bahasa atau kiasan. Maka metafora disini merupakan elemen dasar dari konotator – konotator yang signifikan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori tentang kebudayaan. Peneliti menggunakan dua pemikir yaitu Jean Baudillard dan Rosemarie Tong. Jean Baudillard menggarisbawahi peristiwa atau kejadian atau wahana yang ada sekarang sebagai tiruan (replika atau mimikri) dari mitos purba, fantasi, kenyataan buatan. Dengan demikian kita mengalami satu sama lain sebagai semata-mata para pemain dalam lapangan tandatanda, dan secara pasif kita mengalami kejutan-kejutan dan pengilon (simulacra) yang merefleksikan satu sama lain.
G. Metode Penelitian G.1. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian teoritis kualitatif representatif, yaitu cara untuk menemukan makna atau pemahaman mengenai berbagai tanda atau realitas. Dalam hal ini peneliti akan mengasumsikan mengenai objek yang telah terbentuk berdasarkan konstruksi sosial dalam kehidupan sosial. Sehingga menggunakan metode analisis struktural semiotik Fashion yang mengacu pada teori Roland Barthes dan konsumerisme Jean Baudillard. Dimana fashion merupakan satu bentuk penggunaan tanda-tanda secara visual dan mempunyai arti komunikasi non verbal.
G.2. Dasar Penelitian Penelitian ini menggunakan dua pendekatan dalam semiotik teks, yaitu semiotik konotasi Roland Barthes dan semiotik sosial Jean Baudillard. Pemilihan kedua pendekatan tersebut dikarenakan, model semiotik Barthes merupakan pendekatan semiotik yang dalam proses analisisnya tidak hanya memberikan tempat yang sentral kepada tanda, melainkan
juga tetap
mempertimbangkan aspek sosial dan kulturalnya. Dengan demikian, peneliti tidak terperangkap pada interpretasi yang sempit dan kaku. Dalam hal ini, Barthes melihat teks sebagai tanda dengan relasi antara penanda dan petanda melalui dua tahap pemaknaan yang memiliki segi ekspresi (penanda) dan isi (petanda). Dengan demikian, sebuah teks
dilihat,
pertama, sebagai suatu wujud (entity) yang mengandung unsur
kebahasaan. Kedua, sebagai suatu wujud yang untuk memahaminya harus bertumpu pada kaidah-kaidah dalam bahasa teks tersebut. Ketiga, sebagai bagian dari kebudayaan. Oleh karena itu, teks tidak terlepas dari konteks sosiohistoriokulturalnya,yaitu konteks dimana kondisi sosial yang menitik beratkan pada kultur masa lampau ataupun mitos yang ada di suatu daerah. Menurutnya, ada titik temu atau konvergensi antara linguistik (ilmu-ilmu bahasa) dan penelitian budaya yang pada gilirannya akan memperkaya penelitian semiologi (yaitu ilmu tentang praktek penandaan atau signifying atau analisis penetapan makna dalam budaya) yang ia kembangkan. Dalam bukunya, Barthes berusaha menarik pelajaran dari fakta-fakta yang ada dan mencoba menempatkannya dalam bingkai politis-filosofis. Menurutnya, kita perlu menghubungkan studi abstrak tentang tanda-tanda (semiotik) dengan penalaran sosiologis mengenai bagaimana bentuk-bentuk konkret dan fungsi tanda-tanda abstrak tersebut. Hanya dengan sejarah umum guna menjelaskan bagaimana hal itu berdampak bagi kepentingan sebuah masyarakat tertentu (misalnya: masyarakat kapitalis). Menurut Barthes,
mitos
itu
“bourgeoisie”
dan
biasanya
berfungsi
untuk
menaturalisasikan tatanan sosial yang ada. Sedangkan, mengenai ciri-ciri kebudayaan dan masyarakat “posmo” inilah Baudillard dengan teori konsumer skizofrrenik banyak bicara tentang kebudayaan di era saat ini. Dimana, masyarakat lebih menjadi konsumtif terhadap kebutuhan yang bisa dibilang bukan kebutuhan primer. Dalam
penelitian ini sangat pas sekali terhadap pola belanja perempuan yang cenderung membeli atau mengkonsumsi barang atau jasa yang berlebihan. Tampaknya ini berhubungan dengan kebutuhan manusia akan sesuatu di luar dirinya yang tidak atau belum teraih. Dewa-dewi masyarakat konsumen dewasa ini adalah para selebritis yang tinggal dirumah mewah dan menghabiskan uang berjuta-juta hanya untuk membeli peralatan make-up kecantikan.
Peta Tanda Roland Barthes 1. PENANDA
2.PETANDA
3.TANDA DENOTATIF 4.PENANDA KONOTATIF
5.PETANDA KONOTATIF
6.TANDA KONOTATIF
Dalam Element of Semiology, Barthes mengemukakan istilah denotasi (penandaan primer) dan konotasi (penandaan sekunder), yaitu: sistem pertama (denotasi) menjadi tempat ekspresi atau penandaan sistem kedua (konotasi). Dalam hal ini, penanda konotasi membuat tanda (penanda dan petanda disatukan) dalam sistem denotasi. Pada tingkat penandaan kedua (konotasi) inilah mitos (ideologi) diciptakan dan digunakan.
G.3. Ruang Lingkup dan Fokus Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah majalah Cita Cinta. Karena tipe penelitian ini bukan kuantitatif, maka tidak semua edisi majalah Cita Cinta diteliti, yang diteliti adalah majalah yang pada edisi tertentu yaitu pada Edisi no.16 (04 - 18 Agustus 2010) yang memuat halaman yang dibutuhkan untuk menjadi fokus penelitian. Sebagaimana telah dikemukakan dalam latar belakang penelitian, penelitian ini memfokuskan pada salah satu wacana tentang representasi perempuan dalam berpakaian dan dalam mengkategorikan perempuan bergaya atau modern. Dalam rubrik tersebut gaya berpenampilan dianggap sesuatu yang wajib, oleh karena itu rubrik ini adalah salah satu rubrik yang tetap ada disetiap pemunculan majalah Cita Cinta. Adapun rubrik yang akan diteliti, yaitu rubrik “Gaya & Cantik” (Cita Cinta edisi no.16 tanggal 04 - 18 Agustus 2010) dengan judul, “Girls Like Boys”. Rubrik ini berisi tentang panduan berbusana ala laki-laki namun tetap perempuan. Dengan busana-busana yang dikenakan model-model dunia yang memberikan image laki-laki pada diri perempuan melalui busana. Dengan ini pula dapat menunjukkan sisi maskulinitas seorang perempuan dalam menggunakan busana.
G.4. Unit Analisis Penelitian Unit analisis dalam penelitian ini adalah seluruh gambar dan teks (tanda), yang meliputi keseluruhan gambar, judul (head), dan teras (lead). Dengan demikian, gambar dalam struktur rubrik ini merupakan tanda yang
bersifat sentral dari pemilihan warna pakaian, warna kulit tubuh, bahasa tubuh serta mimik muka bersifat sentral (dominan) dalam penelitian ini, sedangkan ilustrasi-ilustrasi dalam gambar yang berupa teks verbal hanya bersifat periferal (melengkapi).
G.5. Sumber dan Cara Memperoleh Data Penelitian ini menggunakan sumber informasi non manusia, yaitu dokumen. Dalam buku Moleong, Guba dan Lincoln mendefinisikan dokumen sebagai setiap bahan tertulis ataupun film. Secara umumnya dokumen ialah semua jenis rekaman atau catatan sekunder, seperti suratsurat, memo atau nota, pidato-pidato, buku harian, foto-foto, kliping berita koran, hasil-hasil penelitian, agenda kegiatan. Sebagai sumber data, dokumen dimanfaatkan untuk menguji , menafsirkan, bahkan untuk meramalkan (Moleong, 2006;56). Dalam penelitian ini, terdapat dua jenis data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara mengkliping artikel yang telah dipilih sesuai dengan ruang lingkup penelitian, kemudian menulis ulang naskah (rewriting) sesuai naskah (artikel) aslinyta, tanpa melakukan proses penyuntingan naskah (editing) baik secara redaksional maupun secara subtansial. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui riset kepustakaan (studi literatur), yaitu teknik pengumpulan data dengan mencari bahanbahan referensi lain yang sesuai dengan konteks permasalahan penelitian
melalui berbagai literatur: buku, majalah, koran, jurnal, makalah, dan internet.
G.6. Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah mengartikan setiap data dengan konsep interpretasi (signifikasi dua tahap) Roland Barthes yang di padukan dengan teori milik Jean Baudillard tentang konsep pascamodern. Proses interpretasi teks (tanda) tersebut merujuk pada model pemaknaan (signifikasi) dua tahap Barthes, yaitu tahap pertama yang disebut sebagai sistem primer (denotasi) dan tahap kedua disebut sebagai sistem sekunder (konotasi). Denotasi merupakan makna paling nyata dari tanda. Dalam pengertian umum, menurut Sobur, denotasi biasa dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya, yaitu makna yang mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap atau tertulis. Sedangkan konotasi merupakan proses pengembangan makna dari sistem primer yaitu makna yang bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Konotasi berhubungan dengan isi, tanda yang bekerja melalui mitos, yaitu bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Dengan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat dalam teks, maka peneliti dapat menemukan ideologi dalam teks tersebut. Hal ini berkaitan dengan konsep pascamodern Jean Baudillard yang mengatakan bahwa sekarang kita tinggal dalam masyarakat yang tidak lagi
berdasarkan pada pertukaran barang material dengan nilai guna (ala Marxisme), namun lebih pada komoditas sebagai tanda dan simbol yang pembentukannya juga penggunaannya sepenuhnya bersifat sewenangwenang dan mempunyai signifikasi sejauh berada di dalam “kode”. Kode inilah yang kemudian menjadi sedemikian dominan sehingga kita terdorong untuk mempertanyakan sejumlah konsep-konsep pembeda yang selama ini kita terima begitu saja, seperti “budaya” dan “realitas”. Fashion yang merupakan salah satu wujud dari budaya ataupun relaitas yang telah ada di tengah masyarakat sekarang ini memberikan contoh proses pengembangan makna dari beberapa pemikiran.
G7. Teknik Keabsahan Data Teknik pemeriksaan keabsahan data adalah suatu cara yang ditempuh oleh peneliti unutk meningkatkan derajat kepercayaan mengenai data yang telah dikumpulkan. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dari data itu (Moleong, 2006;330). Maka peneliti melakukan tindakan untuk mengatasi kesalahan pada saat pengumpulan data. Mencari sebanyak-banyaknya sumber data yang terpercaya demi mendukung teori yang ada.