BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena film horor telah sangat membooming di indonesia, salah satunya yang baru-baru ini beredar adalah “Terowongan Casablanca” yang diperani oleh Ray Sahetapy, Jupiter, Asya Shara, Ardina Rasti, dan Ki Joko Bodo. Film besutan Indika Entertainment dan produser oleh Shanker RS. Ini bahkan launchingnya tidak tanggung-tanggung. Menghindari cara-cara konvensional, mereka melakukan gala premier bukan di hotel berbintang atau bioskop. Tapi langsung di terowongan casablancanya, menarik sekali bukan..? Dari minggu sore, satu sisi jalan di terowongan tersebut sudah di blokir. Ini tentu saja menghambat arus lalu lintas. Dan ketika film di putar, kedua jalur di blokir, dan terowongan disulap menjadi bioskop dadakan. Seorang crew di make over menjadi kuntilanak merah, karakter utama film ini. Meskipun shanker, sang produser harus menguras koceknya lebih dalam demi film ini, namun shanker tidak keberatan karena dianggap beda. Film ini ditenggarai bedasarkan mitos masyarakat sekitar. Konon si kuntilanak adalah penjelmaan seorang gadis SMA yang sudah di kubur puluhan tahun lalu (1970an), korban gagal aborsi yang kemudian dikuburkan sang pacar di daerah casablanca, (saat itu daerah ini masih tanah kosong dan semak belukar).
1
Hanya yang patut disayangkan film ini cukup banyak adegan syur nya, melarang melakukan seks bebas tetapi malah mencontohkan. Bahkan koran warta kota pernah mengulas hal ini dan mempertanyakan peran LSF (lembaga sensor film). Namun shanker sang produser bilang film ini sudah lulus sensor. Film ini untuk konsumsi dewasa bukan remaja. Terkesan menjebak, karena mayoritas penggemar film horor adalah para remaja. Pemeran utamanya pun adalah aktris atau aktor yang digemari remaja. Kabarnya para produser sengaja kompak membuat film horror dalam waktu yang hampir bersamaan supaya para remaja penasaran dan ingin nonton semuanya. Mereka pun sengaja menargetkan generasi muda sebagai target market. Selain jumlahnya banyak, para remaja menonton film sebagai aktivitas social, bukan menikmati film yang ditayangkan. Dan yang di khawatirkan adalah rusaknya aqidah para remaja akibat film horror itu. Seperti pengertian salah kaprah tentang arwah penasaran dan solusi dari gangguan ghoib dengan mendatangi untuk lebih percaya paranormal dan dukun, ketimbang tuhannya yang menciptakan. Meski si tokoh film digambarkan terpelajar dan orang kota. Para pembuat film tidak ingin dalam pembuatan film mereka terlihat seperti menonjolkan satu agama saja (agamais), karena mereka ingin penonton yang menonton film horror mereka beranggapan film horror tersebut untuk semua agama dan semua kepercayaan.
2
Menurut Purnama Suwardi dalam bukunya Seputar Bisnis dan Produksi Siaran Televisi, “sebuah program televise memberikan pengaruh terhadap pemirsanya dalam hal Read, Watch, Hear (Baca, Lihat, Dengar)1. Hal ini sesuai dengan sifat televisi yang audio visual, dimana pengaruh yang didapat lebih besar dari pada pengaruh audio saja atau visual saja. Pengaruh Audio visual ini akan dihubungkan dengan persepsi dan kemudian dihubungkan juga dengan sikap. Sikap dalam penelitian ini adalah sikap orang-orang mengenai sesuatu, dimana mereka merupakan anggota dari sebuah masyarakat yang sama, sikap disini dapat diartikan sebagai opini public. Siaran televisi harus dapat memperluas wawasan dan mencerdaskan penonton. Tayangan yang bersifat membodohi masyarakat, misalnya : agar orang percaya kepada takhayul, setan, roh, dan sebagainya agar dihindari dan dicermati waktu penayangannya.2 Apabila ikatan agama masa kini lebih lemah ketimbang penganutnya, ketakhayulanpun semakin kuat. Sebab kadang-kadang bioskop menyajikan film yang kasar dan palsu, seperti sihir dan cerita yang dibuat-buat, sebanyak mungkin dan banyak ragamnya3 oleh karena itu, pemanfaatan film dalam pendidikan sangatlah penting. Karena pemanfaatan film dalam pendidikan sebagian didasari oleh 1 suwardi, purnama, seputar bisnis dan produksi Siaran televise,TVRI Sumbar, 2006, Hal 28
2 Khalida, Laura blogs, multiply.com. 25-07-2010 3 Morissan “jurnalistik Televisi Mutakhir”, Ramdina prakarsa, Jakarta 2005, Hal 296 4 Kustadi Suhandang,”Pengantar Jurnalistik”, Bandung 2004 Hal 185-186
3
pertimbangan bahwa film memiliki kemampuan untuk menarik
perhatian
orang dan sebagian lagi didasari oleh alasan bahwa film memiliki kemampuan mengantar pesan secara unik. Film pada dasarnya mudah dipengaruhi tujuannya memanipulatif, karena film memerlukan penanganan sungguh-sungguh. Film mudah dipengaruhi maka film harus menerima banyak campur tangan ditambah film memerlukan banyak modal.4
1.2 Rumusan Masalah Bedasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Sejauhmana persepsi warga blok BB BSD terhadap film horor di TRANS TV.? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui persepsi warga BSD terhadap film horor di TRANS TV.
5 Denis Mc Quail,”Teori Komunikasi Massa”, Jakarta 1987, Hal 14
4
1.4 Signifikasi dan Manfaat Penelitian Dalam penelitian terdapat dua macam signifikasi penelitian, yaitu : 1.4.1 Akademis Penelitian yang membahas tentang persepsi khalayak ini diharapkan dapat menjelaskan keberlakuan teori-teori tentang dampak media massa terhadap khalayak. 1.4.2 Praktis Penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi TRANS TV agar dalam menayangkan film atau program, lebih memperhatikan aspek elekasi informasi dan hiburan yang sehat.
5