11
HUKUM DAN KEADILAN oleh : J.E. SAHETAPY
Walaupun telah cukup lama diperbincangkan, masalah Hukum dan Keadilan hingga dewasa ini lak henti-hentinya diperbincangkan kembali bahkan perlu suatu pengkajian yang mendalam sifatnya. Oleh karena kedua makna kala tersebut merupakan hal sangat terkait, saling isi mengisi, bahkan nilai yang terkandung di dalamnya amat diperlukan bagi umat manusia dalam suatu masyarakat alaupun negara. Dalam tulisan berikut, penulis mencoba memaparkan babwa permasalahan "Hukum dan Keadilan" itu sebaiknya harus ditelaab dengao sebaik-baiknya, karena sangat relatif, relasional, dan kontekstual sifatnya.
Masalah hukum dan keadilan sudah menjadi persoaian yang hangat sejak jaman dahulu kala dan tampak seolah·<>lah tidak akan habis dipermasalahkan sepanjang masa. Mengapa hal yang demikian sampai harus terjadi ? Jawaban bertalian dengan permasalahan di atas telah dipikirkan dan diperdebatkan oleh pelbagai ahli, mulai dari para ahli agama, para filosof dan entah para ahli yang mana lagi. Dewasa ini hal tersebut masih terus saja dipermasalahkan oleh, antara lain, para sarjana hukum dan tentu tidak boleh dilupakan oleh para sosiolog. Mereka yang terakhir ini eukup genear mengkaji pelbagai permasalahan hukum, terutama dalam perspektif hukum dalam geraknya dan memberi kesan seolah-olah merekalah yang paling mengetahui persoalan hukum dan keadilan. Namun, apakah mereka juga memiliki jawaban iiu, sepanjang yang diketahui , belum ada. Seringkali orang mengira bahwa kalau orang berbicara tentang hukum, berarti orang seeara implisit berbieaia pula ten tang keadilan. Memang harus diakui bahwa hukum dan keadilan begitu erat berkaitan, sehingga rasanya seolah-olah tidak mas uk akal kalau orang berbieara tentang hukum lepas dari konteks keadilan. Jadi tidaklah mengherankan kalau aeapkali hukum dijumbuhkan dengan keadilan . Penjumbuhan yang demikian akan sangat berbabaya, sebab hukum dengan sendirinya tidak selalu harus adi!. Masalah ini bertambah ruwet kalau diperhatikan dengan seksama penerapan hukum dan penegakan keadilan. Orang awam yang kurang faham tentang permainan patgulipat hukum, aeapkali hanya bisa menepuk dada dalam kedukaan sambil bertanya setengah berdoa, "sampai berapa lama lagi dan hendak kemana ?!" Lagipula, kalau orang mernbaea hukum, katakanlah dalam hal ini suatu peraturan atau suatu ketentuan undangundang, maka di situ dalam substansinya tidak akan terlihat adanya keadilan . Keadilan di situ dalam hal ini memang tidak tampak. Ia seolah-olah Februari 1991
12
Hukum dan Pel1lballgwwn
hanya tercermin at au memang tidak ada tetapi dikatakan ada, tidak terlihat tetapi dikatakan terlihat. la bagaikan sesuatu yang abstrak, namun dalam kenyataannya ia harus terasa atau berwujud secara konkrit; bagaikan angin ia tidak tampak tetapi terasa. Kalau Anda membaca, misalnya, pasal pencurian yang terdapat dalam pasal 362 KUHP, maka di dalam pasal itu dicantumkan : "Barangsiapa mengambil barang sesuatu yang selurllhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karen a pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun at au dengan pidana denda paling banyak enam puluh rupiah ". !tu suatu perumllsan yang berasal dari zaman Pemerintahan Hindia Belanda. Apakah perumusan itu akan diubah, terutama mengenai ancaman pidananya, itu suatu persoalan lain lagi. Perurnusan yang dipandang cukllp baik ini ternyata dalam menghadapi tantangan zaman, terutama dalam bidang teknologi, dalam hal ini bertalian dengan pencurian listrik, membutuhkan suatu kajian ulang dalam hal penafsiran: apakah aliran "listrik " itu "barang". Bagi orang awam tentu akan dipertanyakan : di manakah letak atau tampak keadilan itu ? Jawaban seorang sarjana hukum tentu dimulai dengan suatu uraian yuridis dogmatis. la barangkali akan mulai dengan berbicara tentang apa yang dinamakan lI unsur" atau "element " dan kemudian tentang "bagian" (yang sangat penting dari suatu pasal) atau "bestanddeel " dan ia akan terus mengoceh temang doktrin ajaran melawan hukum yang materiil dan formil dan emah apa lagi. Tentu membosankan dan membingungkan bagi orang awam. Lalu bagaimana, misalnya, temang keadilan dalam Undang Undang Subversi. Itu temu lebih gawat lagi, sebab bertalian dengan "politik " . Dalam komeks ini barangkali sang sarjana hukum itu akan mengikuti pola ABS atau budaya bisu at au budaya cari selamat. la mungkin lalu akan berbicara dengan bahasa politik tentang undang-undang ini ya ng berasal dari jaman Orde Lama, tetapi ia lupa bahwa KUHP berasal dari jaman kolonial. la akan berbicara, barangkali tentang undang-undang ini tidak sah, padahal Mahkaman Agung Republik Indonesia (MARl) berdalih bahwa undang undang tersebut sah sebagaimana dituangkan dalam putusan MARl tanggal 15 Desember 1976 dalam kasus Paturusi bin Mappesangka. Sang sarjana hukllm itu mungkin kurang cermat mengamati dalam analisisnya bahwa "raison d'etre" dari Undang Undang Subversi sudah direkayasa menjadi "raison d'Etat " melalui pelbagai pertimbangan putusan MARl. Dalam kasus Eddy Lukman (putusan MARl tanggal 19 Agustus 1985) dan dalam kasus Mohanlal Kanchand (putusan MARl tanggal 26 Januari 1984) Mahkamah Agung merumuskan politik yaitu " ..... bukan semata-mata sebagai practical politics atau panai politik, melainkan sebagai kebijaksanaan negara baik dalam bidang ekonomi (politik ekonomi), bidang sosial (politik sosial) maupun dalam bidang kebudayaan (politik kebudayaan)". Jadi setiap warganegara dalam cara berpikir melalui mulut dan perbuatannya,
Hukum
/3
pendeknya: dalam satu nafas, ia bisa terjebak dalam "politik". Tampaknya dilupakan, bahwa dengan perumusan yang demikian luas, setiap warganegara tiap bari terlibat dan dilibatkan dalam "politik ". Menyeramkan dan menegangkan. Tetapi begituiah ! Lalu di ,mana ada keadilan ? Salomo adalah seorang raja yang dianggap paling bijaksana. Begitulah dapat dibaca dalam Kitab Suci bahwa ada dua orang perempuan sundal yang hendak memperebutkan seorang bayi yang hidup. Bayi lain yang mati karena ditiduri oleh ibunya sendiri, tidak hendak diakui sebagai bayinya sendiri. Singkat cerita : bayi yang masih hid up itu hendak dipenggal dua oleh Raja Salomo; tiap bagian untuk tiap wanita yang hendak memperebutkan bayi yang hidup. Namun, ibu yang sejati bersedia mengalah dan tidak ingin bayinya sendiri dipenggal dua. Ibu lain yang jahat itu ternyata bersedia menerima bagian dari penggalan bayi itu. Raja Salomo memutus : Berikanlah bayi itu kepada wanita yang bersedia mengalah demi bayi itu hidup . Itulah hikmat dan bijaksananya Raja Salomo. Ituiah keadilan, sebab hikmat daripada Allah ada dalam hati Raja Salomo. Memang Raja Salomo adalah orang yang takut dan selia kepada Allah. Raja Salomo tidak seperti para penguasa dewasa ini yang merindukan kekayaan, kekuasaan, dan umur panjang agar bisa terus berkuasa, Tidak! Ia justru protolipe yang berbeda dengan para penguasa di masa kini. Kepada Tuhan yang disembah, Raja Salomo berdoa agar diberikan kepada hambaMu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umatMu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umatMu yang sangat besar ini. Meskipun Raja Salomo dipandang adil, sebagai manusia ia tegelincir seperti para penguasa dalam skandal seks dengan wanita, sebab ia mencintai banyak perempuan (asing). Mengapa sampai ban yak orang melanggar hukum kendatipun hukum itu, misalnya, dikatakan adil ? lawaban untuk itu sederhana saja; karen a ketegaran hati manusia. Manusia yang begitu angkuh dan berdalih bahwa ia memiliki Tuhan dan menyembah Tuhan, pad a dasarnya Tuhan itu disembah dan dipuja secara ritual belaka. Secara hakiki dan asasi ia tidak mengasihi Tuhan dengan segenap hatinya, dengan segenap jiwanya dan dengan segenap akal budinya. Ia tidak lagi mengasihi sesamanya manusia apalagi kalau itu seperti mengasihi dirinya sendiri. Kasihnya itu ibarat gineu di bibir; merah dan pemanis, sekedar sedap dipandang dan dipuja manusia. Ia terkenal pandai berargumentasi, ayat-ayat Kitab Suci mengalir bagaikan sedang berdakwah, nyamuk ditapiskan dari dalam minumannya, tetapi unta yang didalamnya ditelannya dengan lahap. Apakah untuk hal yang demikian, mungkin, kalau ia seorang penegak hukum! Beranikah ia ber: dalih dengan menegakkan keadilan atas nama Tuhan? Sudahkah ia periksa hati nuraninya bahwa ia tidak pernah memeras si tersangka, tertuduh, atau terdakwa? Kalaupun ia menyangkal dan memang sulit untuk dibuktikan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, beranikah ia di dalam lubuk hatinya yang paling dalam berdialog terhadap Tuhan yang disembahnya dengan berFebruuri 1991
14
Hukul1l dan Pembangunan
kata bahwa hatinya putih bersih seperti salju? Jujurnya ia, kalau ia berkata bahwa gaji pgpnnya itu cukup untuk membeli satu mobil mewah saja, mendirikan istana kedl yang mungil,memiliki modal ibarat' konglomerat kedl dan sebagainya itu. Siapakahyang berani seperti nabi Samuel yang menantang dengan mengatakan ini dadaku, buktikan kalau aku ini korupsi, memeras atau hid up tak jujur di hadapan Tuhan. Lalu: apakah Anda iri kalau aku kaya? Selama ia belum berani berdalih demikian, apakah mungkin ia berbicara atas nama keadilan. Secara sekuler,selama ia terlibat dalam hal-hal demikian, adalah lebih baik bila ia menutup mulutnya saja. Tetapi apakah itu mungkin! Bukankah itu ' hanya untuk para alim ulama yang katanya hidup bersih di hadapan Tuhan? Biarlah mereka menjawab sendiri. Tetapi, lalu bagaimana dengan hukum dan keadila. Dalam pasal I Undang-Undang kekuasaan kehakiman,dan demikian juga dalam pasal-pasal 27 dan 37, dengan jelas dicantumkan bahwa peradilan diselenggarakan " .... guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila .... " Dari perumusan yang entah disadari atau tidak ketika dirumuskan, implikasi dan konsekuensinya cukup jelas, juga dalam perspektif akademis bilamana diajarkan Pengantar Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum. Hukum di Indonesia, berbeda dengan konsep di Barat, tidak jumbuh dengan keadilan. Perumusan seperti itu sungguh baik sekali, sebab dengan perantaraan para penegak hukum yang diharapkan bermental Salomo dan Samuel, tidak saja hukum harus dihormati, juga keadilan wajib ditegakkan . Biarlah hukum dicampakkan, asal keadilan ditegakkan. Dalam hubungan ini patut dikemukakan bahwa Panitia Penyusunan KUHP Baru berpendapat : bila kepastian hukum dan.keadilan tidak dapat dipertemukan, maka yang harus diutamakan adalah keadilan. Tetapi apakah hukum itu. Lalu apakah pula keadilan itu . Hukum dalam kacamata sosiologi sungguh menampakkan wajah dan dimensi yang banyak dan beraneka ragam. Contoh sederhana: orang awam melihat polisi menindak seseorang dipandang sebagai hukum. Pengamatan yang demikian tidaklah salah, tetapi juga terlalu menyederhanakan persoalan. Mengapa dikatakan demikian? Bagaimana kalau petugas penegak hukum berdasarkan "diskresi" yang ada padanya tidak melakukan sesuatu atau bertindak. Apakah dengan demikian lalu dikatakan tidak ada hukum? Dari segi legalistik-positivistik dapatlah dikatakan bahwa hukum itu ibarat dua sisi dari satu mata uang. Pad a satu sisi ia memberikan at au mendeskripsikan norma-norma untuk ditaati oleh mereka yang harus patuh kepadanya dan pada sisi yang lain ia memberikan atau mendeskripsikan ketentuan-ketentuan dengan cara bagaimana norma-norma itu akan dipaksakan atau ditaati pemberlakuannya. Sesungguhnya ada banyak cara pendekatan untuk memahami apakah hukum itu. Ia bisa didekati selain dengan cara legalistik-positivistik seperti yang sudah disebut di atas, namun ia bisa juga didekati secara fungsional. Dalam cara pendekatan yang kedua ini akan banyak berperan ilmu atau disiplin sosiallainnya dan pada akhir-
15
HIJkum
nya ia bisa 'dipahami dari eara pendekatan dalam gerakannya. Disinipun i1mu atau disiplin lainnya akan turut berperan dalam pemahaman. Pendekatan yang kedua dan yang ketiga pada umurnnya dilakukan dengan menggunakan "pendekatan helikopter", karena terbatas dalam ketinggian pengamatannya, sehingga tinjauannya dengan sendirinya masih terbatas. Pendekatan seeara menyeluruh, terutama untuk eara pendekatan yang pertama, di mana akan turut dikaji masalah-masalah yang seeara asasi melekat pada fitrah manusia seeara universil, harus dilakukan dengan menggunakan "pendekatan satelit ", karen a tidak terbatas dalam ketinggian pengamatannya, sehingga tinjauannya mencakup seluruh ruang lingkup yang tidak hanya terbatas pada satu daerah atau negara tertentu. Keadilan tentu dapat juga ditinjau dengan cara menggunakan pendekatan satetit. Bahkan ada banyak pakar yang senang melihat seeara historis-filosofis dengan merenungkan kembali seeara kritis apa yang pernah dikemukakan oleh para filsuf Yunani yang sangat tersohor itu. Namun keadilan bukanlah barang abstrak semata-mata. Ia sekaligus abstrak konhit dan harus realistik. Seperti sudah diutarakan di atas, keadilan ibarat angin : tidak terlihat wujudnya, tetapi terasa tiupannya, bahkan tiupannya itu tampak nyata ketika dihembusinya pepohonan. Terutama untuk masa kini, di mana keadilan merupakan suatu komoditi yang sungguh.langka, maka ia harus ditangani seeara konkrit realistis. Sebagai suatu eontoh yang sangat "frapant" dan "dilematis", ada baiknya dikemukakan masalah keadilan bertalian dengan Undang Undang Subversi. Di bawah ini akan digambarkan seeara skematis permasalahan keadilan dalam konteks Undang-Undang Subversi. 1963 1965 1969 Demi Keadilan Penpres Nomor II Tahun 1963 • demi Paneasila • derni Manipol-Usdek • demi Pembangunan Semesta
UU No. II/PNPS 11963
• demi Pancasila • demi Undang Undang Dasar 1945 • demi Repelita • demi lain-lain.
Berencana
X kini bukan lagi.• terdakwa (peng khianat), melainkan "pahlawan bangsa "
Y "pahlawa.!l nasional " berbintang Maha Putera
Y kini buron atau almarhum dan merupakan -pengkhianat Nusa dan Bangsa
Terdakwa X
pengkhianat
=
Raison d'Etre
,
=
Raison d'Etat Fe/)ruari } 99 }
16
Hukum dan Pembangunan
Dari skema di atas akan tampak dengan jelas sekali betapa sangat relatif, relasional dan selalu kontekstual perrnasalahan keadilan ini. Dengan perkataan lain, hakim y.ang sarna dalam dua kurun waktu yang berbeda bisa berbicara tentang keadilan yang dalam relasi ·dan konteks ini ibarat menjadi buah simalakarna. Dalam kaitan permasalahan yang demikian, uraian ini belum berakhir. Namun tempat tidak mengijinkan untuk berpanjang lebar. Yang ingin dikemukakan dalarn segenggam di sini yaitu : keadilan selalu bersifat relasional dan kontekstual dalam suatu "setting" atau kambi tertentu. likalau hal ini dapat difahami dan diterima, maka kedudukan dan fungsi hakim haruslah berupa suatu "autonomie in homonomie".
HUIUM PEMBANGUNAN 4..
Salah satu bacaan utama sa,;ana dan mahasiswa hulc.um Indonesia.
Kilangan-karangan Hukum YUfi.cprudensi dan Komentar
Timbangan Buku Berita Kepustakaan
Fak.. Hulc.um Dalarn berita Wawancara
Parlementaria Kronik
Pc:raturan per·undang2-an KomenCar &:. pendapat.
ft
majalah hukum terkemuka masa kini HUBUNGILAH TOKO BUKU TERDEKAT ATAU LANGSUNG TATA USAHA .. "HUKUM dan PEM8ANGUSA~" JI. Cirebon ~o. 5 - Jakuta
Tclepon : JJS4J2