BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam rangka melaksanakan pembangunan di Indonesia, maka beberapa puluh tahun yang lampau pemerintah Indonesia telah mengunakan pola Build Operate and Transfer (BOT) atau bangun, kelola dan serah . Penerapan pola BOT ini melibatkan pihak asing sebagai investor untuk membangun berbagai infrastruktur di Indonesia, kemudian mengelolanya selanjutnya menyerahkan kembali infrastruktur tersebut kepada pemerintah setelah masa akhir konsesi berakhir. Alasan pemerintah menggunakan pola BOT ini adalah karena keterbatasan sumber daya manusia
dan biaya. Pertimbangan lain pemerintah
menerapkan pola BOT tersebut, yaitu: (1) tidak membebani neraca pembayaran pemerintah, (2) mengurangi jumlah pinjaman pemerintah maupun sektor publik lainnya, (3) merupakan tambahan sumber pembiayaan bagi proyek-proyek yang diprioritaskan, (4) tambahan fasilitas baru, (5) mengalihkan resiko bagi konstruksi,
pembiayaan
dan
pengoperasian
kepada
pihak
swasta,
(6)
mengoptimalkan kemungkinan pemanfaatan perusahaan maupun teknologi asing, (7) mendorong proses alih teknologi, (8) diperolehnya fasilitas yang lengkap dan operasional setelah masa akhir konsesi. (Budi Santoso, 2008) Sejalan dengan perkembangan dunia bisnis di Indonesia yang semakin pesat, maka bukan saja pemerintah yang menerapkan pola BOT ini tetapi juga oleh perusahaan swasta. Alasannya adalah dengan pola BOT ini perusahaan swasta sebagai investor tetapi tidak memiliki dana yang cukup,
tidak perlu 1
membeli tanah/lahan untuk dijadikan sebagai tempat membangun proyeknya, tetapi cukup melakukan kerjasama dengan pemilik tanah. Dengan demikian perusahaan tidak perlu meminjam dana ke bank untuk membeli tanah tersebut, sehingga hutang lancar perusahaan tidak semakin bertambah. Hal ini tentu saja akan menjaga likuiditas perusahaan bersangkutan. Selain itu dengan pola BOT ini perusahaan akan mendapatkan tambahan pendapatan dari proyek yang dibangunnya, sehingga earnings (laba) perusahaan semakin bertambah. Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa penerapan pola BOT berkorelasi positif terhadap tingkat likuiditas dan earnings suatu perusahaan. Oleh karena itu, pola BOT ini sangat cocok diterapkan bagi perusahaan yang mempunyai dana yang terbatas untuk membangun suatu proyek, tetapi ingin menjaga likuiditas dan earnings. Dalam konteks tersebut di atas, penerapan pola BOT telah dilakukan oleh PT. Bumi Resources, Tbk yang didirikan pada tanggal 26 Juni 1973 merupakan salah satu perusahaan yang tergabung dalam PT Bakrie & Brothers yang telah bergeraka dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi kandungan batubara (termasuk pertambangan dan penjualan batubara) dan eksplorasi minya. Adapun visi PT. Buni Resources, Tbk adalah menjadi perusahaan operator bertaraf internasional dalam sektor energi dan pertambangan. Sedangkan misinya adalah menjaga kesinambungan usaha dan daya saing perseroan dalam menghadapi persaingan terbuka di masa mendatang, dengan tujuan untuk: (1) meningkatkan hasil optimal untuk pemegang saham, (2) meningkatkan kesejahteraan para karyawan, (3) meningkatkan kesejahteraan masyarakat di 2
daerah operasi pertambangan, (4) menjaga kelestrain lingkungan di seluruh areal operasi pertambangan. Sehubungan dengan uraian di atas, maka
peneliti ingin mengkaji
mengenai apakah terdapat korelasi antara Build Operate and Transfer (BOT) terhadap tingkat likuiditas dan earnings, sehingga penulis tertarik untuk memilih judul :” Studi Korelasi Penerapan Pola Build Operate and Transfer (BOT) terhadap tingkat likuiditas dan earnings pada PT. Bumi Resources, Tbk”
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah terdapat korelasi Build Operate and Transfer (BOT) terhadap tingkat likuiditas pada perusahaan PT. Bumi Resources, Tbk? 2. Apakah terdapat korelasi Build Operate and Transfer (BOT) dengan earnings pada PT. Bumi Resources, Tbk ?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini, antara lain : 1. Untuk mengetahui korelasi
Build Operate and Transfer (BOT) terhadap
tingkat likuiditas pada PT. Bumi Resources, Tbk 2. Untuk mengetahui
korelasi
Build Operate and Transfer (BOT) terhadap
earnings pada PT. Bumi Resources, Tbk
3
1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini, antara lain : 1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi perusahaan PT. Bumi Resources, Tbk mengenai korelasi penerapan pola Build Operate and Transfer (BOT) terhadap tingkat likuiditas dan earnings. 2. Sebagai penambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis mengenai korelasi Build Operate and Transfer (BOT) terhadap tingkat likuiditas dan earnings pada PT. Bumi Resources, Tbk 3. Dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya.
1.5. Batasan Masalah Agar pembahasan penelitian tidak terlalu meluas dan sesuai dengan tujuan penelitian, maka pembahasan masalah dibatasi pada analisa Build Operate and Transfer (BOT) terhadap tingkat likuiditas dan earnings pada PT. Bumi Resources, Tbk
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Build, Operate and Transfer (BOT) Pola Build Operate and Transfer (BOT) atau bangun kelola serah merupakan kerjasama operasi antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Dalam hal ini ada beberapa pengertian Build Operate and Transfer (BOT) menurut beberapa pihak. Walker (Herawati, 2002) mengatakan definisi atau pengertian Build Operate and Transfer (BOT) sebagai berikut : “The grunting of a concession which empowers the right to operate and profit from the entity created by that concession. On expiry of the concession the entity transfer at no cost to those who granted the concession”. Tiong (Herawati, 2002) mengatakan pengertian atau definisi Build Operate and Transfer (BOT) sebagai berikut : “The BOT concept, which has actually been in use for centuries, requires the private sector to finance, design, build, operate and manage the facility and then transfer the asset free of charge to the government after a specified concession period”. Menurut SAK (Standar Akuntansi Keuangan) No. 39 tentang kerjasama operasi (Herawati, 2002) , pengertian atau definisi Build Operate and Transfer (BOT) sebagai berikut : “Perjanjian antara dua pihak atau lebih di mana masing-masing pihak sepakat untuk melakukan suatu usaha bersama dengan menggunakan
5
aktiva dan atau hak usaha yang dimiliki dan secara bersama menanggung resiko usaha tersebut”. Menurut perpajakan (Herawati, 2002) mengatakan pengertian atau definisi Build Operate and Transfer (BOT) sebagai berikut : “Build Operate Transfer (BOT) adalah bentuk perjanjian kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa bangun guna serah berakhir”. Menurut Majalah Teknik dan Transportasi (Herawati, 2002) mengatakan pengertian atau definisi Build Operate and Transfer (BOT) sebagai berikut : “Build Operate and Transfer (BOT) adalah bentuk kerjasama antara pemerintah dengan swasta, di mana pemerintah memberi kuasa kepada pihak swasta untuk membiayai pelaksanaan pembangunan, operasi, dan pemeliharaan serta menarik biaya dari pemakai bangunan tersebut selama kurun waktu yang disepakati, kemudian bangunan itu dikembalikan kepada pemerintah”. Berdasarkan pengertian atau definisi di atas,
dapat dijelaskan bahwa
konsep dasar dari BOT adalah suatu bentuk kerjasama antara pemilik tanah dengan investor untuk mengembangkan suatu proyek selama masa konsesi dan investor berkewajiban membangun, menyediakan dana, desain, konstruksi, memelihara dan mengelola proyek tersebut selama periode waktu tertentu, dan di akhir masa perjanjian proyek tersebut harus ditransfer kepada pemilik tanah. 2.1.2. Latar Belakang Build Operate and Transfer (BOT) Latar belakang terjadinya transaksi BOT bermula dari pemilik aktiva atau pemilik tanah mempunyai sebidang tanah dan pemilik ingin agar di atas tanah tersebut dibangun suatu bangunan atau gedung dan fasilitasnya. Akan tetapi 6
karena pemilik aktiva tidak mempunyai dana yang cukup untuk pembangunannya, maka pemilik tanah menawarkan kepada investor agar mendirikan bangunan dan fasilitas di atas tanah tersebut. Pembangunan yang dilakukan oleh investor tidak hanya diperuntukkan kepada pemilik aktiva, melainkan juga bermanfaat bagi pihak lain. Hasil pembangunan inilah yang hak pengelolaannya beserta aset BOT diserahkan kepada investor dalam jangka waktu tertentu, dan nantinya aset dan pengelolaannya wajib diserahkan kembali pada pemilik tanah oleh investor atau setelah masa pengelolaan berakhir. Pada dasarnya dalam pembiayaan secara BOT investor sepenuhnya membiayai pengadaan atau pembangunan aktiva tetap dengan hak untuk mengoperasikan aktiva tetap tersebut, termasuk menikmati hasil-hasilnya untuk jangka waktu tertentu dan kemudian menyerahkan kepada pemilik (pemegang hak atas tanah) setelah masa perjanjian berakhir. Pendapatan yang diperoleh selama masa konsesi oleh pihak investor digunakan untuk menutup seluruh biaya investasi dan biaya operasi serta mendapatkan keuntungan yang wajar. Sebaliknya kalau pengembalian tidak dapat dipenuhi sampai berakhirnya masa konsesi, hal ini merupakan tanggung jawab pihak investor. Pada sistem BOT ini pihak yang terlibat adalah pemilik tanah, investor, penyandang dana (bank), perusahaan asuransi, maupun pengguna dari proyek BOT. Angelique (Herawati, 2002) mengatakan bahwa penyedia dana untuk pembangunan aktiva BOT dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu : 7
1. Orang yang mempunyai minat langsung terhadap proyek (investor) dengan modalnya dalarn hal ini termasuk kontraktor, pengoperasi proyek dan pemerintah. 2. Orang yang semata-mata terlibat sebagai investor bermodal seperti pemegang saham, bank, dan lembaga lain seperti dana asuransi. Tiong (Herawati, 2002) mengatakan bahwa di Indonesia sendiri model kontrak konsesi sudah diterapkan sekitar 15 – 20 tahun yang lalu untuk rumah tinggal yang mirip dengan pola BOT, di mana pemilik modal bekerja sama dengan pemilik tanah untuk membangun rumah yang kemudian disewakan dan dikembalikan setelah lima tahun, tetapi sekarang pola BOT diterapkan untuk proyek yang jauh lebih kompleks karena menyangkut skala budget yang lebih besar dan periode konsesi yang lebih panjang. Umumnya masa konsesi pola BOT 5-30 tahun. 2.1.3. Ciri-Ciri Pokok Transaksi Build Operate and Transfer (BOT) Makarim (Herawati, 2002), mengatakan bahwa ciri-ciri pokok dari suatu transaksi BOT antara lain : 1. Hak milik aset tetap pada pemilik aset, sedang yang dipindahkan adalah hak pengelolaan atas bangunan tersebut kepada investor. 2. Jangka waktu pengelolaan antara 20-60 tahun sejak bangunan selesai dibangun. 3. Pemilik dapat menuntut diberikannya jaminan, akan tetapi jaminan itu hanya menyangkut bagian dari bangunan dan fasilitas yang khusus diperuntukkan bagi pemilik.
8
4. Kepada pemilik diberi beberapa fasilitas atau pembayaran royalti selama masa transaksi. Menurut Direktorat Jendral Pajak (Herawati, 2002) mengatakan bahwa kerjasama dalam bentuk Build Operate and Transfer (BOT) pada kenyataannya sangat bervariasi, khususnya jika ditinjau dari sudut pemberian imbalan meski pada dasarnya diperlakukan sama, antara lain: 1. Pemilik tanah tidak memperoleh imbalan selama periode Build Operate and Transfer (BOT). 2. Pemilik tanah memperoleh hak menggunakan atas beberapa ruangan dari bangunan atau fasilitas yang didirikan. 3. Pemilik tanah memperoleh sekian persen dari revenue pengoperasian bangunan atau fasilitasnya. 4. Pemilik tanah pada saat penandatanganan kontrak menerima sebagian imbalan secara tunai dan masih memperoleh sekian persen dari revenue. Dapat dijelaskan bahwa aktiva tetap yang dibiayai secara Build Operate and Transfer (BOT) memiliki karakteristik yang unik, karena aktiva tetap tersebut bukanlah milik investor maupun pengelola, melainkan milik dari pemegang hak atas tanah, meskipun semua biaya pembangunannya atau pengadaan atas aktiva Build Operate and Transfer (BOT) tersebut menjadi tanggung jawab investor atau pengelola. Sebagai kompensasi atas seluruh biaya yang sudah dikeluarkan, maka pihak investor maupun pengelola diberi hak untuk mengoperasikan aktiva tetap tersebut termasuk menikmati hasilnya sampai akhir masa perjanjian.
9
2.1.4. Mekanisme Build Operate and Transfer (BOT) menurut Akuntansi Dalam PSAK No.39 paragraf 17 yang terlampir dalam Media Akuntansi (Herawati, 2002) dijelaskan bahwa aktiva diakui dan mulai dikelola oleh investor pada saat bangunan selesai dibangun, dan investor mempunyai kendali yang signifikan atas pengelolaan aset kerjasama operasi tersebut hingga masa perjanjian berakhir. Apabila investor merasa yakin akan adanya manfaat ekonomi di masa mendatang, maka harus dicatat sebagai aset kejasama operasi (KSO)/BOT. Di sini yang dimaksud dengan aset KSO adalah aktiva tetap yang dibangun atau yang digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan KSO. Biaya perolehan atas aset Build Operate and Transfer (BOT) tersebut adalah sebesar biaya pembangunannya atau sebesar nilai wajar apabila pemilik aktiva tidak tahu berapa besarnya biaya pembangunannya atau bisa juga menggunakan biaya pembangunan yang telah disepakati dalam perjanjian Build Operate and Transfer (BOT). Seluruh biaya yang telah dikeluarkan investor selama masa kontruksi harus dikapitalisasikan dan akan dihapus begitu pembangunan selesai dan siap untuk dioperasikan. Pihak investor atau pengelola dari aktiva tetap yang dibangunnya, boleh mengakui atas aktiva tetap tersebut dan akan dicatat sebagai aset Build Operate and Transfer (BOT) karena investor bertanggung jawab sepenuhnya terhadap aktiva hingga masa konsesi Build Operate and Transfer (BOT) berakhir. Terdapat dua tipe pengendali atas aktiva Build Operate and Transfer (BOT) dan pengoperasiannya, yaitu pengendalian bersama di mana masingmasing pihak memiliki kendali yang signifikan atas operasi atau aktiva Build 10
Operate and Transfer (BOT) dan pengendalian satu pihak yaitu hanya satu pihak saja yang mempunyai kendali atas aktiva atau operasi Build Operate and Transfer (BOT). Di akhir masa perjanjian, investor mencatat penyerahan aktiva kepada pemilik aktiva dengan menghapus seluruh account yang timbul berkaitan dengan perjanjian tersebut, yaitu dengan mendebet akumulasi penyusutan dan mengkredit aktiva Build Operate and Transfer (BOT).. Di sisi lain, pemilik tanah mencatat penyerahan tersebut sebagai aktiva dengan mengakui adanya penghasilan Build Operate and Transfer (BOT) apabila memiliki kepastian tentang adanya manfaat ekonomi dari aktiva tersebut atau mengakui penghasilan tangguhan (deffeered income) apabila tidak memiliki kepastian yang cukup tentang manfaat ekonomis. Selain kewajiban-kewajiban di atas, aktiva Build Operate and Transfer (BOT) harus disusutkan secara sistematis oleh pengelola aktiva selama umur ekonominya. Dalam hal ini investorlah yang wajib mencatat penyusutan atas aktiva selama masa perjanjian kerjasama operasi dan tidak boleh melebihi dari masa konsesi. Hak pengelolaan atau pengoperasian aktiva BOT adalah sesuai dengan jangka waktu kontrak dengan pihak pemilik. Harga perolehan untuk aktiva BOT adalah sebesar biaya pembangunannya atau sebesar biaya yang telah dikeluarkan yang berkaitan dengan pengadaan aktiva tersebut, seperti yang sudah dijelaskan pada halaman sebelumnya yaitu harga perolehan untuk gedung yang dibangun sendiri terdiri dari: 1. Harga kontrak dengan kontraktor 11
2. Biaya pengawasan 3. Biaya arsitek atau jasa profesional 4. Biaya bunga selama periode konstruksi apabila gedung dibiayai dari pinjaman. 2.1.5. Mekanisme Build Operate and Transfer (BOT) menurut Perpajakan Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak No.19 tahun 1995 (Herawati, 2002) dijelaskan bahwa biaya yang telah dikeluarkan oleh investor selama mendirikan bangunan merupakan nilai perolehan investor untuk mendapatkan hak menggunakan atau mengusahakan bangunan tersebut. Aktiva tetap yang dibangun oleh investor atau pengelola tetap menjadi milik pemerintah atau pemilik hak atas tanah, yang kemudian oleh investor atau pengelola aktiva tetap tersebut dapat diusahakan atau disewakan kepada pihak lain. Tetapi implikasi dari operasi aktiva tetap yang dibiayai secara Build Operate and Transfer (BOT) oleh fiskal diperlakukan seperti leasing yaitu hak yang diterima oleh investor maupun pengelola untuk mengoperasikan aktiva tetap tersebut dan hak ini dalam perpajakan diakui sebagai aktiva tak berwujud. Jumlah biaya yang dikeluarkan oleh investor diamortisasi dalam jumlah yang sama besar setiap tahun selama masa Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) dan dimulai pada tahun bangunan tersebut digunakan atau dioperasikan. Hak pengelolaan atas aktiva Build Operate and Transfer (BOT) yang diperoleh investor adalah selama masa perjanjian atau kontrak dengan pemilik tanah. Apabila masa perjanjian lebih diperpendek dari masa yang telah ditentukan sebelumnya, maka sisa biaya pembangunan yang belum diamortisasi, diamortisasi sekaligus oleh investor pada akhir tahun tersebut. Bila investor 12
menerima penggantian atau imbalan, maka penggantian tersebut akan diakui sebagai penghasilan. Atas penggantian atau imbalan tersebut tidak harus dinilai sebesar biaya yang belum diamortisasi. Akan tetapi apabila perjanjian diperpanjang karena adanya penambahan bangunan, maka biaya penambahan bangunan tersebut ditambahkan terhadap sisa biaya yang belum diamortisasi oleh investor dan jumlah tersebut diamortisasi hingga masa perjanjian yang telah diperpanjang tersebut. Apabila pembangunan tersebut meliputi masa yang lebih dari satu tahun sebelum dapat digunakan atau diusahakan, maka biaya yang telah dikeluarkan harus dikapitalisasi. Harga perolehan aktiva Build Operate and Transfer (BOT) adalah sebesar biaya pembangunannya yang terdiri dari biaya kontrak dengan kontraktor, biaya arsitek atau jasa profesional, jika pihak investor memberikan imbalan tunai pada saat penandatanganan kontrak maka atas biaya ini menjadi bagian dari harga perolehan aktiva, dan biaya bunga pinjaman selama masa konstruksi. Sesuai dengan SE-20/PJ.42/1994 bahwa pengeluaran bunga pinjaman selama masa konstruksi merupakan komponen dan biaya yang menjadi bagian dari pembentukan harga pokok atau harga perolehan aktiva seperti rumah dan gedung, oleh karena itu pengeluaran bunga pinjaman sampai dengan rumah dan gedung selesai dan siap atau dipasarkan harus dikapitalisir menjadi komponen harga pokok atau harga perolehan. Berikut ini adalah contoh atas penjelasan tersebut di atas dan angka yang tercantum hanyalah suatu rekayasa. Contoh: 13
PT. NY (investor), mendirikan bangunan gedung perkantoran 12 lantai atas tanah milik PT. LA berdasarkan perjanjian BOT dengan biaya Rp 30.000.000,00 untuk masa 15 tahun. Amortisasi yang dilakukan oleh PT. NY setiap tahun adalah sebesar Rp 2.000.000,00 (Rp. 30.000.000,00 : 15) Berdasarkan contoh di atas, PT. NY pada akhir tahun ke dua belas (12) menyerahkan bangunan kepada PT. LA, dengan diperpendeknya masa perjanjian tersebut PT. NY diberikan imbalan oleh PT. LA sebesar Rp.6.000.000,00 diakhir tahun ke dua belas [Rp.30.000.000,00 - (12 x Rp.2.000.000,00)] Apabila PT. NY pada tahun ke sebelas menambah bangunan dengan biaya Rp.20.000.000,00 dan masa perjanjian diperpanjang 5 tahun sehingga menjadi 20 tahun. Perhitungan amortisasi PT. NY mulai tahun ke sebelas adalah : Nilai sisa yang belum diamortisasi pada awal tahun ke sebelas Rp. 10.000.000,00 nilai perolehan hak atas penambahan bangunan pada tahun ke sebelas Rp.20.000.000,00 maka dasar amortisasi yang baru adalah Rp.30.000.000,00 sehingga masa amortisasi menjadi 10 tahun (20 tahun - 10 tahun) amortisasi setiap tahun mulai tahun ke sebelas adalah (Rp.30.000.000,00 : 10) = Rp.3.000.000,00. Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah setelah masa perjanjian berakhir, merupakan penghasilan yang terhutang PPh bagi pemegang hak atas tanah sebesar 5% dari jumlah bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan NiIai Jual Obyek Pajak (NJOP) bangunan, dan harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa perjanjian berakhir. Pembayaran PPh tersebut bagi orang pribadi bersifat final dan bagi Wajib Pajak badan merupakan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25. Penghasilan lain yang 14