BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pemerintah
Indonesia
telah
mencanangkan
reformasi
birokrasi
termasuk di bidang keuangan negara. Semangat reformasi keuangan ini telah menjadi sebuah kewajiban dalam menjalankan tata kelola keuangan di Indonesia. Semangat ini muncul sebagai sebuah keharusan untuk menciptakan sistem keuangan yang transparan dan akuntabel. Pada sistem pemerintahan, usaha untuk mencapai tujuan tersebut didukung dengan pemberian otonomi daerah seluas-luasnya kepada pemerintah daerah (Warisno, 2009:1). Pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan
sistem
keuangan
pemerintah
daerah.
Implementasi
perundang-undangan ini kemudian dikeluarkan aturan pelaksana dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri dalam negeri (permendagri). Paket peraturan perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengawal pengelolaan keuangan daerah yang banyak mengalami perubahan dan perbaikan seiring semangat reformasi manajemen keuangan pemerintah (Warisno, 2009:2). Undang-undang
Republik
Indonesia
nomor
32
tahun
2004
mendefinisikan otonomi daerah sebagai hak, kewenangan, kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Otonomi daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah berkaitan dengan pengelolaan sumber daya
1
2 yang dimiliki sesuai kepentingan, prioritas dan potensi daerah tersebut (Warisno, 2009:1). Pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab yang tersirat dalam perundangan tersebut adalah pencerminan proses demokratisasi dalam pelaksanaan otonomi daerah (Thesaurianto, 2007:18). Ia menambahkan bahwa otonomi fiskal daerah merupakan salah satu aspek penting dari otonomi daerah secara keseluruhan. Salah satu asas otonomi daerah adalah asas desentralisasi. Asas desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintah dari pusat atau dari pemerintah daerah tingkat yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah yang lebih rendah sehingga menjadi urusan daerah. Desentralisasi mengisyaratkan adanya penyerahan kekuasaan, kewenangan, sumber daya, keuangan dan tanggung jawab baik pada bidang politik, administratif dan keuangan (Eko, 2007:1). Ia menambahkan bahwa secara teoretis, tujuan desentralisasi adalah menciptakan pemerintahan yang efektif, efisien, good governance dan membangun demokrasi lokal yang tujuan akhirnya adalah menciptakan kesejahteraan rakyat. Desentralisasi juga berarti membawa negara lebih dekat pada rakyat (Hadenius dalam Eko, 2007:1). Perwujudan sistem manajemen keuangan pemerintah yang transparan dan akuntabel sangat perlu didukung oleh penyelenggaraan yang merata sampai pada
tingkat
pemerintahan
terendah.
Sesuai
dengan
pengertian
asas
desentralisasi, pemerintah desa sebagai pemerintahan tingkat terendah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahannya. Pada sistem tata pemerintahan di Indonesia, menurut UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 1 ayat 1 dan 2, pemerintah terdiri dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah (gubernur, bupati atau walikota,
3 dan perangkat daerah). Selanjutnya pada Pasal 200 ayat 1 berbunyi: “dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari
pemerintah
desa
dan
badan
permusyawaratan
desa”.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa pemerintahan tingkat desa bukanlah merupakan bagian/perangkat
dari
pemerintahan
daerah
kabupaten/kota,
melainkan
pemerintah desa memiliki otonomi tersendiri untuk mengelola pemerintahannya. Undang-undang ini mengakui adanya otonomi yang dimiliki oleh desa. Otonomi desa memberikan kesempatan kepada desa untuk tumbuh dan berkembang di mana desa merupakan unit terdepan dalam pelayanan kepada masyarakat. Day (1904 dalam Nurcholis, 2011:19) menjelaskan bahwa desa mempunyai otonomi di bidang bisnis, peradilan penduduk, kepolisian dan tawar menawar masalah pajak dengan penguasa diatasnya. Ndhara (1991 dalam Nurcholis, 2011:21) menjelaskan bahwa desa yang otonom adalah desa yang merupakan subjek hukum, artinya dapat melakukan tindakan-tindakan hukum. Desa merupakan istitusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri (Widjaja, 2003:4). Istilah desa sering kali identik dengan masyarakatnya yang miskin, tradisionalis dan kolot (Furqani, 2010:1). Secara administratif pemerintahan desa lebih diposisikan sebagai objek kekuasaan. Secara sistem pemerintahan negara Indonesia, pemerintahan desa merupakan subsistem yang terlemah. Secara politis selama ini desa hanya dijadikan tempat pengumpulan suara pada waktu pemilu, setelah itu dilupakan. Sedangkan secara ekonomis, desa dipandang sebagai sumber bahan baku dan tenaga kerja yang murah (Wasistiono, 2009). Keberadaan desa dalam yuridiksi formal diakui dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini, definisi desa
4 yaitu “desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Berdasarkan pengertian di atas, negara mengakui desa sebagai suatu organisasi pemerintahan yang memiliki kewenangan tertentu untuk mengurus dan mengatur masyarakatnya. Desa adalah pelopor sistem demokrasi yang otonom dan berdaulat penuh (Furqani, 2010:1). Desa berfungsi sebagai pelindung tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal, yang pada masa sekarang semakin diniscayakan oleh gagasan-gagasan pemerintahan modern dengan citra glamour pembangunan yang bernuansa kapitalistik dan hedonistik (Tjanra, 2007). Data jumlah desa di Indonesia adalah 65.189 desa (Ditjen Administrasi dan Kependudukan Depdagri, 2007). Artinya bahwa wilayah NKRI sekitar 80% berupa pemerintahan desa. Kedudukan desa sangat penting baik sebagai alat untuk mencapai pembangunan nasional ataupun sebagai lembaga yang memperkuat struktur pemerintahan negara Indonesia (Nurcholis, 2011:2). Desa menjadi garda terdepan dalam menggapai keberhasilan dari segala urusan dan program dari pemerintah (Wisakti, 2008:1). Pemerintah desa juga memiliki hak otonomi dalam mengelola keuangannya sendiri. Adanya hak otonomi desa dalam pengelolaan keuangan desa tersebut menjadi pedoman sebuah desa dapat mengelola keuangannya secara mandiri. Akan tetapi, pada kenyataannya masih sedikit desa yang menyadari keistimewaan dan memanfaatkan otonomi keuangan sebaik-baiknya (Furqani, 2010:3). Banyak desa yang masih tergantung pada pendanaan pusat maupun daerah. Ketergantungan pemerintahan desa kepada pemerintah
5 kabupaten yang demikian mengakar membentuk suatu budaya ketergantungan struktural (Maryunani, 2006). Dalam pelaksanaan dan penatausahaan keuangan desa, administrasi desa belum terselenggara dengan baik, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan desa juga belum dilakukan dengan baik (PKKOD, 2009). Maryunani
(2006)
menggambarkan
berbagai
kendala
dan
permasalahan desentralisasi dan otonomi daerah pada tataran pemerintahan desa, antara lain: (a) terbatasnya ketersediaan sumberdaya manusia yang baik dan profesional; (b) terbatasnya sumber-sumber pembiayaan yang memadai, baik yang berasal dari kemampuan desa itu sendiri (internal) maupun sumber dana dari luar (eksternal); (c) belum tersusunnya kelembagaan sosial-ekonomi yang mampu berperan secara efektif; (d) belum terbangunnya sistem dan regulasi yang jelas dan tegas; dan (e) kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat secara lebih kritis dan rasional. Wisakti (2008:2) menjelaskan bahwa sebagai konsekuensi logis adanya kewenangan dan tuntutan dari pelaksanaan otonomi desa adalah tersedianya dana yang cukup. Wasistiono (dalam Wisakti, 2008:2) menyatakan bahwa pembiayaan atau keuangan merupakan faktor essensial dalam mendukung penyelenggaraan otonomi desa, sebagaimana juga pada penyelenggaraan otonomi daerah. Sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa autonomy indentik dengan auto money, maka untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri desa membutuhkan dana atau biaya yang memadai sebagai dukungan pelaksanaan kewenangan yang dimilikinya. Kewenangan pemerintah desa untuk mengurus, mengatur dan menyelenggarakan rumah tangganya sendiri menambah beban tanggung jawab dan kewajiban desa namun demikian penyelenggaraan pemerintahan tersebut tetap harus dipertanggungjawabkan (Subroto, 2009:2).
6 Pertanggungjawaban yang dimaksud diantaranya adalah pertanggungjawaban dalam pengelolaan anggaran desa. Pengelolaan
keuangan
desa
secara
umum
mengacu
pada
Permendagri Nomor 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Menurut peraturan ini, keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban desa tersebut. Keuangan desa dikelola berdasarkan azasazas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Ketentuan UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, PP nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, dan permendagri nomor 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa mengamanatkan kepada pemerintah
daerah
kabupaten/kota
untuk
memberikan
otonomi
kepada
pemerintah desa untuk menyelenggarakan pemerintahannya terutama dalam hal pengelolaan keuangan desa. Kaitannya dengan pemerintahan desa, dalam hal ini pengelolaan keuangan desa di Kabupaten Sinjai, pemerintah kabupaten telah menerbitkan peraturan daerah (perda) dan peraturan bupati (perbup) sebagai petunjuk teknis pelaksanaan. Adapun peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan desa adalah Perda nomor 5 tahun 2007 tentang Alokasi Dana Desa, Perda nomor 8 tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa, Perda nomor 9 tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, Perda nomor 10 tahun 2007 tentang Sumber Kekayaan dan Pendapatan Desa dan Perbup nomor 9 tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan dan Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) Kab. Sinjai. Pada Perbup nomor 9
7 tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan dan Pengelolaan Alokasi Dana Desa menjelaskan bahwa dalam rangka penguatan otonomi desa guna mendukung pelaksanaan otonomi desa, desa memerlukan anggaran guna membiayai kegiatannya. Akan tetapi, situasi dan kondisi keuangan yang dimiliki oleh pemerintah desa sebagian besar belum memungkinkan untuk membiayai kebutuhannya sendiri. Pada umumnya, 66 desa yang ada di wilayah Kabupaten Sinjai masih sangat memerlukan bantuan keuangan guna menunjang dan memperlancar penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan desa. Bantuan keuangan yang merupakan dana perimbangan dari pemerintah daerah ini diharapkan membantu keuangan pemerintah desa disamping mengandalkan pendapatan asli desa (PADesa) masing-masing desa. Pada tahun anggaran 2011 Kabupaten Sinjai mengalokasikan dana desa sebesar Rp2.814.155.000, sedangkan untuk tahun anggaran 2012 jumlah alokasi dana desa sebesar Rp7.749.355.000 yang digunakan oleh pemerintah desa untuk meningkatkan pelayanan dan upaya pemberdayaan masyarakat desa. Adanya alokasi dana dari kabupaten menimbulkan kewajiban bagi pemerintah desa di Kabupaten Sinjai untuk melaporkan pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut. Pertanggungjawaban penggunaan alokasi dana desa (ADD) terintegrasi dengan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDesa) dilaporkan oleh pemerintah desa secara berkala. Bentuk pertanggungjawabannya adalah pertanggungjawaban APBDesa. Monitoring pelaksanaan APBDesa mewajibkan kepada pemerintah desa/kepala desa untuk melakukan pencatatan dan melaporkannya secara berkala (setiap bulan) dan setiap akhir periode dalam laporan realisasi APBDesa (Permendagri 37/2007, pasal 23 ayat 1 dan 2).
8 Kewajiban
untuk
melaporkan
pertanggungjawaban
pengelolaan
keuangan desa ini menuntut kepala desa dan perangkat desa untuk mampu menginterpretasikan
peraturan-peraturan
yang
mengikat
dalam
proses
pertanggungjawaban tersebut. Salah seorang staff subbagian pemerintah desa pada Kantor Daerah Kabupaten Sinjai mengatakan “sebagian besar pemerintah desa masih kurang memahami proses pertanggungjawaban ini. Hal ini ditandai dengan masih adanya beberapa desa yang masih terkendala pada penyajian laporan dan waktu pelaporan”. Dampaknya, perencanaan pemerintahan desa terhambat karena tidak bisa dipungkiri bahwa seluruh pelaksanaan kegiatan memerlukan pendanaan. Kepala desa sebagai pemegang kekuasaan pengelola keuangan desa memiliki kewenangan menetapkan bendahara desa untuk melaksanakan penatausahaan keuangan desa. Bendahara adalah perangkat desa yang ditunjuk oleh kepala desa untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, membayarkan, dan mempertanggungjawabkan keuangan desa dalam rangka pelaksanaan APBDesa (Permendagri 37/2007, pasal 3). Penelitian terdahulu berkaitan dengan pengelolaan dana desa yaitu Subroto (2009) menyatakan dalam hasil penelitiannya mengenai akuntabilitas pengelolaan
dana
desa
menunjukkan
bahwa
untuk
perencanaan
dan
pelaksanaan kegiatan alokasi dana desa, sudah menampakkan adanya pengelolaan
yang
akuntabel
dan
transparan.
Sedangkan,
dalam
pertanggungjawaban dilihat secara hasil fisik sudah menunjukkan pelaksanaan yang akuntabel dan transparan, namun dari sisi administrasi masih diperlukan adanya pembinaan lebih lanjut, karena belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan.
9 Furqani (2010) menyatakan dalam hasil penelitiannya tentang pengelolaan keuangan desa dalam mewujudkan good governance bahwa dari penelitian pengelolaan keuangan di Desa Kalimo’ok Kabupaten Sumenep, transparansi terjadi hanya jika direncanakan sendiri. Tidak semua proses pengelolaan keuangan dipertanggungjawabkan, karena ada beberapa proses yang tidak sesuai permendagri nomor 37 tahun 2007. Akutabilitas sangat rendah karena tidak adanya keterlibatan antara masyarakat dan BPD (Badan Permusyarawatan Desa). Penelitian ini juga membahas mengenai pengelolaan dana desa dan penyajian laporan pertanggungjawaban keuangan desa. Tetapi, penelitian ini memfokuskan pada peran bendahara pada pengelolaan keuangan desa. Interpretasi bendahara terhadap penatausahaan keuangan menjadi fokus penelitian ini. Pada tahap inilah bendahara desa berperan langsung dalam pengelolaan keuangan desa. Besarnya peran bendahara dalam penatausahaan keuangan desa menuntutnya untuk memiliki keahlian dan kemampuan dalam melaksanakan pengelolaan keuangan pemerintahan. Bendahara desa wajib menyelenggarakan pembukuan terhadap seluruh penerimaan dan pengeluaran desa, dengan menggunakan sistem akuntansi yang berterima umum sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) (Subroto, 2009:13). Semua proses penerimaan dan pengeluaran uang wajib
dipertanggungjawabkan
oleh
bendahara
desa
melalui
laporan
pertanggungjawaban keuangan desa. Dari siklus pengelolaan keuangan desa inilah bendahara desa menjadi bagian yang cukup penting, terutama pada tahap penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban (Sejati, 2012). Bendahara
sebagai
penanggungjawab
dalam
seluruh
proses
penatausahaan keuangan di pemerintahan desa sampai pada penyusunan
10 laporan pertanggungjawaban keuangan dihadapkan pada keharusan untuk memiliki pengetahuan yang memadai di bidang keuangan desa. Interpretasi bendahara terhadap aturan yang menjadi pedoman dalam melaksanakan tugasnya berpengaruh pada hasil laporan pertanggungjawabannya. Laporan keuangan pemerintah merupakan bentuk akuntabilitas dan transparansi
pengelolaan
keuangan
di
mana
dibutuhkan
tenaga-tenaga
akuntansi terampil pada pemerintah daerah (Tanjung, 2007). Berhasil tidaknya pelaksanaan suatu sistem pengelolaan keuangan daerah sangat tergantung dari kompetensi para pengelolanya (Warisno, 2009:3). Suatu pemerintahan desa yang baik diperlukan sistem pengelolaan keuangan desa yang baik, transparan, akuntabel dan berkeadilan (Maryunani, 2006:6). Pengelolaan keuangan desa yang baik tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan ekonomi desa yang kuat dan mandiri, serta sinergi dengan pembangunan dalam arti luas. Berdasarkan uraian di atas, untuk mengetahui bagaimana bendahara menginterpretasikan penatausahaan keuangan di tingkat pemerintahan desa maka peneliti mengambil judul penelitian “Interpretasi Bendahara Desa terhadap Penatausahaan Keuangan dan Implikasinya pada Penyajian Laporan Pertanggungjawaban Penatausahaan Keuangan Desa di Kab. Sinjai” 1.2
Fokus Penelitian Fokus penelitian ini adalah mengenai interpretasi bendahara terhadap
penatausahaan keuangan yang dilaksanakannya. Interpretasi bendahara ini dikhususkan
pada
tahap
pelaksanaan
penatausahaan
penerimaan
dan
penatausahaan pengeluaran kemudian akan dibahas implikasi interpretasi bendahara
tersebut
pada
penatausahaan keuangannya.
penyajian
laporan
pertanggungjawaban
11 Pertanyaan penelitian yang terkait fokus tersebut adalah bagaimana interpretasi bendahara desa terhadap penatausahaan keuangan desa? 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui interpretasi bendahara
desa terhadap penatausahaan keuangan dan implikasinya pada penyajian laporan pertanggungjawaban penatausahaan keuangan desa. 1.4
Kegunaan Penelitian
1.4.1
Kegunaan Praktis Kegunaan praktis bagi peneliti, penelitian ini menjadi media untuk
mengaplikasikan berbagai teori yang dipelajari. Selain itu, dengan melakukan penelitian ini maka peneliti mendapatkan tambahan pengetahuan dan wawasan keilmuan mengenai sistem pengelolaan keuangan pemerintah khususnya keuangan pemerintahan desa yang dilaksanakan oleh bendahara desa. Kegunaan bagi instansi adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan atau bahan pertimbangan dalam penerapan peraturan yang berkaitan dengan penatausahaan keuangan di pemerintahan desa. Selain itu, sebagai bahan pertimbangan dalam upaya peningkatan sumber daya manusia di pemerintahan desa khususnya bendahara desa agar bisa mewujudkan pelaksanaan penatausahaan keuangan desa yang lebih baik. 1.4.2
Kegunaan Teoretis Kegunaan teoretis penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pengetahuan dan referensi dalam penelitian-penelitian selanjutnya disamping sebagai sarana untuk menambah wawasan mengenai pelaksanaan pengelolaan keuangan pemerintahan desa.
12 1.5
Definisi Istilah Definisi istilah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1.5.1
Penatausahaan Keuangan Desa Penatausahaan keuangan desa adalah seluruh kegiatan keuangan
yang dilakukan oleh pemerintahan desa terdiri dari penatausahaan penerimaan dan penatausahaan pengeluaran serta pelaporan pertanggungjawabannya kepada pihak yang berkepentingan. Kepala desa memegang kuasa tertinggi dalam pengelolaan keuangan desa karena jabatannya sebagai kepala pemerintahan di tingkat desa. Dalam pelaksanaannya, kepala desa dibantu oleh pelaksana teknis pengelolaan keuangan desa (PPTKD) yang merupakan perangkat desa yang ditunjuk kepala desa. 1.5.2
Laporan Pertanggungjawaban Penatausahaan Keuangan Desa Sumber keuangan desa berasal dari pendapatan asli desa (PADesa)
dan alokasi dana desa (ADD) yang merupakan dana perimbangan dari kabupaten/kota. Adanya penggunaan anggaran mewajibkan pemerintah desa untuk melaporkan sumber daya ekonomi dan penggunaan anggarannya kepada pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat. Laporan ini berupa laporan pertanggungjawaban berkala yang dibuat sekali sebulan dan laporan tiap tahapan pencairan ADD. 1.5.3
Bendahara Desa Bendahara desa adalah perangkat desa yang ditetapkan oleh kepala
desa melalui peraturan desa untuk melakukan tugas penatausahaan keuangan, baik
penatausahaan
membuat
penerimaan,
pertanggungjawaban
penatausahaan
keuangan
desa.
pengeluaran Pemahaman
maupun mengenai
peraturan menjadi indikasi pada hasil laporan bendahara desa dalam melaksanakan pengelolaan keuangan pada pemerintahan desa.
13 1.6
Sistematika Pembahasan
BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi istilah dan sistematika pembahasan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini berisi tentang tinjauan teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian yaitu teori interpretasi, konsep sistem pengelolaan keuangan desa, konsep pertanggungjawaban keuangan desa, tinjauan empirik serta kerangka pemikiran. BAB III METODE PENELITIAN Pada bab ini menjelaskan metode penelitian, mencakup rancangan penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data, teknik sampling, teknik pengumpulan data, teknik analisis, pengecekan validitas data dan tahaptahap yang dilakukan dalam penelitian. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini menjelaskan mengenai deskripsi wilayah penelitian dan analisis penyajian data. BAB V PENUTUP Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran mengenai penelitian yang dilaksanakan.