BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Prosedur kritik ideologi—Marxis klasik—cenderung bersifat symptomatic; suatu interpretasi terhadap symptom (gejala) yang menyembunyikan realitas sebenarnya di baliknya dan dari sana ideologi hadir sebagai kesadaran palsu. Ideologi seperti ini, dalam konteks sastra, kemudian dapat dipertentangkan melalui proses kepengarangan yang menunjukkan bahwa pengarang mengupayakan teks sebagai kritik terhadap ideologi dengan ideologi pengarang sendiri. Dengan kata lain, mempertemukan ideologi dengan ideologi justru mengimplikasikan bahwa tidak ada apa-apa di luar ideologi atau yang ilusi/palsu. Nahasnya, jika seorang pengarang menjadikan karya sastra sebagai sebuah kritik atas suatu kepalsuan namun dia masih melakukan kepalsuan tersebut, maka penulusuran permasalahan ini kemudian akan sampai pada level konsistensi dari realitas yang dilakukan oleh pengarang terkait karyanya tersebut dan dari sanalah permasalahan kritik ideologi tidak hanya berkutat pada domain symptomatic atau kesadaran palsu, melainkan fantasy atau kehadiran realitas itu sendiri yang dipalsukan dalam prosesnya sehingga meskipun subjek mengetahui kepalsuannya, mereka akan tetap melakukannya. Permasalahan mengenai ‗fantasi ideologis‘ tersebut terekam pada novel (sebagai kasus) The White Tiger1 karya Aravind Adiga2 yang secara pembacaan
1
Novel pemenang The Man Booker Prize di tahun 2008. Adiga adalah novelis India ke empat yang mendapatkan juara The Man Booker Prize. Tiga novelis sebelumnya yang kelahiran India adalah Salman Rushdie dengan novel Midnight’s Children (1981); Arundhati Roy dengan novel The God of Small Things (1997); dan Kiran Desai dengan The Inheritance of Loss (2006). The Man Booker Prize tahun 2008 juga memasukkan novel The Enchantress of Florence karya Salman Rushdie dan Sea of Poppies karya Amitav Ghosh sebagai 2
1
2 banal, novel ini ‗seolah-olah‘ menghadirkan suatu resistensi terhadap suatu ideologi yang hendak disasar. Berawal dari inilah, kemudian hadir suatu pertanyaan mengenai alasan seorang pengarang mengkritisi suatu realitias sosial dan jawabannya tentu sangat bervariasi, mulai dari sikap resisten, pembelaaan secara metaforis, dan lain sebagainya yang tentu saja menyembunyikan kebenarannya, namun kebenaran tersebut dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh pengarang dalam realitasnya. Dari semua jawaban tersebut, hal yang dapat menjadi diskursus utama di sini adalah melihat sesuatu yang bahkan tidak di sadari oleh pengarang yang juga dilakukan oleh pengarang. Lebih dari itu, sebagai sebuah latar belakang yang komprehensif, maka penjelasan dari pemilihan topik fantasi ideologis ini didasarkan pada fakta-fakta yang terurai dari novel ini dan juga pengarangnya, baik dari dugaan-dugaan yang disematkan ataupun asumsi-asumsi yang saling berseberangan seperti isu legitimasi pengarang, pola resisten yang ditawarkan, kritik pascakolonialisme, ekonomi sosial, kelas sosial, dan lain sebagainya. Dari fakta-fakta dan asumsi-asumsi tersebut, penelitian ini berangkat dan menegaskan perbedaannya dengan penelitian yang lain. Novel The White Tiger sendiri mungkin tidak setenar novel-novel India lainnya, terutama jika dibandingkan novel Midnight’s Children (1981) karya Salman Rushdie (meskipun sudah berganti warga negara Inggris). Akan tetapi, seperti kebanyakan novel-novel India lainnya, The White Tiger juga menguraikan kondisi India seperti identitas yang terkikis, Westerness, kemiskinan, kelas sosial, globalisasi dan kapitalisme, dan lain sebagainya. Terlebih lagi, gaya Aravind Adiga yang menarasikan India menjadi dua sisi, antara India yang gelap yang merepresentasikan bangsa India yang miskin dan India yang terang yang merepresentasikan bangsa
kandidat. Diakses dari http://www.themanbookerprize.com, pada tanggal 15 Agustus 2014 pukul 14.00.
3
India yang kaya, menstimulasikan sebuah fakta prematur bahwa Adiga seperti mereproduksi karya-karya novelis India sebelumnya yang juga memberi garis tebal antara kaum kelas atas dan kelas bawah di India, seperti Vikram Seth dengan novel A Suitable Boy (1994), Rohinton Mistry dengan novel A Fine Balance (1995), Vikram Chandra dengan novel Sacred Games (2006), dan Amitav Ghosh dengan The Glass Palace (2000) dan Sea of Poppies (2008), yang mengafirmasikan bahwa semua karya tersebut menggambarkan India dengan perspektif dualitas, mengenai India yang penuh kemiskinan dan India yang penuh kekayaan. Hal ini, tentu merupakan epifani dari kenyataan dunia kapitalisme yang melahirkan kelas atas dan kelas bawah. Sebenarnya, dengan menunjukkan dua sisi India yang cenderung menonjolkan sisi ‗gelap‘ dari India—sebagai negara (bangsa) yang merangkak untuk berkembang dalam proses modernisasi—justru menjadikan hal tersebut sebagai sebuah paradoks tersendiri. Hal negatif dari suatu bangsa (India) yang dipertontonkan, di satu sisi, akan menjadi sebuah rujukan mengenai bagian mana yang sebenarnya harus diperbaiki dalam perspektif normatifnya, namun hal negatif yang terurai pada novelnovel tersebut, di sisi lainnya, juga dapat menjadi komoditas tersendiri. Komoditas di sini mengacu pada objektifitas—dalam artian memberi citra buruk—bangsa sendiri sebagai bahan tulisan agar penulisnya mendapatkan legitimasi, pengakuan, penghargaan sebagai sastrawan internasional, atau memenangkan hadiah nobel dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan sifat otomatis dari ketertarikan ini; semakin parah semakin menarik perhatian, sebagaimana yang dicontohkan Rushdie dalam Midnight’s Children (1981) dan The Satanic Verses (1988) yang menunjukkan
4
bahwa keduanya merongrong pondasi-pondasi bangsa dunia ketiga seperti agama, negara, dan bangsa. Paradoks tersebut mengacu pada hubungan antara novel sebagai representasi realitas yang terjadi (tekstualitas) dan novel (yang dapat digunakan) sebagai alat legitimasi pengarang (kepengarangan). Sebagai sebuah representasi atau refleksi realitas sosial yang ada, novel-novel ini secara kumulatif mempunyai referensi yang terarah dan referensi tersebut selalu tergantung pada pengarang. Dia sendiri merupakan pelaku yang menangkap sekaligus menerjemahkan pengalaman yang dimiliki (baik secara empiris maupun analisis) pada tulisannya, yang tentunya selalu ada friksi-friksi berupa subjektifitas atau bahkan ideologi yang dijejalkan di dalamnya. Sedangkan alat legitimasi menjadi sebuah lansekap yang sebenarnya akan selalu dikejar, pengakuan dunia Internasional dan penghargaan, yang secara potensial mampu membutakan rasa nasionalis serta pesan utama dari apa yang ditulis. Sifat ini jika dilihat secara psikologis, terutama melalui perspektif Lacanian, maka akan dapat dipertegas dengan suatu asumsi bahwa hasrat seorang subjek adalah hasrat the Other atau sosial sehingga legitimasi hanya akan menjadi suatu ketiadaan tanpa pengakuan dari the Other. Terlebih, Adiga adalah salah satu penulis termuda (33 tahun) bersama beberapa penulis lainnya seperti Eleanor Catton yang menjadi pemenang termuda di The Man Booker Prize3 tahun 2013, saat dia berusia 28. Sebelumnya, Ben Okri juga memenangkan penghargaan ini di tahun 1991 saat berusia 32, Salman Rushdie berusia 34 tahun ketika Midnight’s Children-nya memenangkan penghargaan ini di 3
The Man Booker Prize adalah sebuah ajang untuk menentukan novel terbaik dari negara-negara Commonwealth (Persemakmuran) yang tentunya novel tersebut harus menggunakan bahasa Inggris. Akan tetapi, di tahun 2013, persyaratan untuk mengikuti ajang ini tidak diharuskan dari negara-negara Persemakmuran saja, seluruh negara diperbolehkan mengikuti namun novel yang disertakan harus berbahasa Inggris, bukan terjemahan.
5
tahun 1981, kemudian Kiran Desai juga menjadi perempuan termuda pertama yang memenangkan penghargaan ini di tahun 2006 saat dia berusia 35.4 Oleh karena itu, di tahun 2008, dapat dikatakan bahwa Adiga sudah mampu menjungkalkan penulispenulis senior seperti Sebastian Barry dan Amitav Ghosh melalui karyanya dalam balapan penghargaan ini, terlebih karena Adiga juga merupakan salah satu dari empat penulis yang memenangkan penghargaan ini dengan karya debut, seperti Keri Hulme di tahun 1985, Arundhati Roy di tahun 1997, dan D. B. C Pierre di tahun 2003.5 Dengan melihat fakta tersebut, secara psikologis-sosial, muncul pertanyaan mengenai apa yang diharapkan oleh penulis muda, baik secara sadar ataupun tidak sadar, ketika mereka mampu mengalahkan karya-karya penulis senior dan hal tersebut meruncing pada perjumpaan karya sastra sebagai suatu pendongkrak legitimasi sosial sastrawan di ‗arena‘ (meminjam istilah Bourdieu) sastra itu sendiri. Hubungan antara Adiga, sebagai seorang penulis muda yang memenangkan penghargaan Internasional dan narasi yang dia artikulasikan dalam karyanya, kemudian menjadi sebuah proposisi yang paradoksal, baik sebagai alat pengkritisi sosial dan alat legitimasi personal. Maka hal yang dapat dikemukakan adalah bahwa sebuah novel dapat menjadi sebuah hal yang paradoksal antara tekstualitas dan mitos kepengarangan, antara cita-cita (kritik pengarang terhadap realitias sosial) dan sisi psikologis pengarang untuk mencapai legitimasi personal, atau bahkan bukan keduaduanya. Paradoks yang terjadi dalam novel The White Tiger tidak hadir begitu saja, melainkan hadir secara simultan mengenai isi teks dan pengarang. Jika dilihat secara tekstual, Adiga ditengarai sudah memperburuk citra bangsa India. Penggambaran 4
Diakses dari http://www.themanbookerprize.com/facts-figures, pada tanggal 24 Juni 2014 pukul 16.00. 5 Diakses dari http://www.sanhati.com/excerpted/5143/, pada tanggal 24 Juni 2014 pukul 16.30.
6
citra buruk (bangsa) India tersebut merupakan sajian dalam novelnya dan yang pasti menjadi pertimbangan juri dalam penilaiannya sebelum memutuskan Adiga sebagai pemenang di The Man Booker Prize di tahun 2008 dengan mengalahkan rekan senegaranya Amitav Ghosh dengan Sea of Poppies (shortlist) dan Salman Rushdie dengan The Enchantress of Florence (longlist). Akan tetapi, jika dilihat secara historis pengarang, maka sosok Balram (tokoh utama dalam novel, yang melarat dan hidup penuh dengan keterbatasan) tidak akan ditemukan dalam diri Adiga. Seperti diketahui, Aravind Adiga lahir di Mangalore pada tahun 1974 dan pindah ke Australia saat masih remaja. Dia kuliah sastra Inggris di Columbia University, Amerika Serikat dan juga belajar di Oxford University, Inggris. Ayahnya adalah dokter, kakeknya adalah K. Suryanarayana Adiga yang merupakan mantan pimpinan Bank Karnataka dan sementara ibu kakek buyutnya, U. Rama Rao, adalah seorang praktisi medis yang populer dan seorang anggota politisi Kongres dari Madras. Selain itu, Adiga juga pernah bekerja sebagai jurnalis di Financial Times, majalah Money, dan TIME.6 Dengan kata lain, Adiga adalah orang dari kalangan menegahatas dan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan latar kehidupan Balram. Balram sendiri berasal dari kasta Halwai (sweet-maker) namun ayahya bekerja sebagai penarik gerobak dan meninggal dikarenakan penyakit tuberkulosis yang parah. Mereka tinggal di Laxmangarh, sebuah wilayah melarat dan sepeninggal ayahnya, nenek Balram menuntut Balram untuk bekerja dan berhenti bersekolah. Kemudian dia putus sekolah dan bekerja di sebuah kedai teh, setelah itu dia bekerja sebagai pemecah batu bara, dan pada akhirnya dia menjadi sopir dari Ashok, seorang majikan yang baik hati. Kebaikan Ashok ini yang membuat Balram terbelenggu
6
Diakses dari http://www.sanhati.com/excerpted/5143/, pada tanggal 24 Juni 2014 pukul 17.00.
7
secara paradoks, karena, kebaikan Ashok justru mempertebal jeruji belenggunya terhadap kebebasan yang dia kejar yang sekaligus membuatnya merasa terlepas dari kehidupan masa lalunya yang menyedihkan. Ashok, pada akhirnya, menjadi sebuah elegi yang ironi setelah Balram menebas leher Ashok. Dengan begitu, latar belakang Adiga dan latar belakang Balram menjadi dua hal yang berseberangan, sehingga pertanyaan yang mendesak keluar adalah mengenai siapa sosok Balram dalam novel Aravind Adiga. Jika Balram dalam novel adalah sosok yang melarat dengan sudut pandang bahwa India dilihat sebagai bangsa yang terpisah oleh kelas yang dikarenakan faktor ekonomi, maka dia adalah seorang subjek yang melihat dunianya (dalam novel) sebagai lautan yang harus dia arungi; lautan kapitalisme. Akan tetapi, jika Balram dilihat sebagai Adiga (sebuah subjektifitas), maka Balram adalah sosok utopis yang dijadikan Adiga sebagai pemicu kritiknya terhadap kesenjangan kelas sosial. Akan tetapi, kepentingan apa yang melandasi Adiga untuk mengkritisi problematika kelas sosial sementara dia tidak pernah mengalaminya (seperti yang Balram alami)? Asumsi terbaik untuk diunggahkan adalah bahwa Adiga melakukan pengamatan terhadap realitas sebagai bahan kritiknya, seperti yang dia sampaikan, ―I spend a lot of my time loitering about train stations, or bus stands, or servants' quarters and slums, and I listen and talk to the people around me. There's a kind of continuous murmur or growl beneath middle-class life in India, and this noise never gets recorded.‖7 […] ―I spend a lot of time out on the street, walking, observing things.‖8 […] ―I‘m a complete misfit in India. I don‘t do anything right. I don‘t live the good life that a middle-class person returned from America should. I don‘t own a car, though I could; I don‘t keep servants, though I should. Through sheer incompetence and ineptitude, I‘ve discovered what life is like for the majority of Indians. I take public transportation, which I shouldn‘t; I eat by the roadside, which is dangerous; I 7
Diakses dari http://www.bookbrowse.com/author_interviews/full/index.cfm/author_number/ 1552/aravind-adiga, pada tanggal 25 Juni 2014 pukul 19.00. 8 Das, Srijana Mitra. 2011. They Mocked Me Because I didn’t Know who Lionel Richie was, ditulis pada 26 Juni 2011, diakses dari http://timesofindia.indiatimes.com/home/sunday-times/They-mockedme-because-I-didnt-know-who-Lionel-Richie-was/articleshow/8995173.cms, pada tanggal 26 Juni 2014 pukul 17.00.
8
talk to prostitutes and pimps. My stories follow from my experiences–they are the stories of a fallen and alienated middle-class boy.‖9
Sementara itu, apa yang ingin Adiga sampaikan adalah suatu gambaran sosial mengenai India yang seharusnya, ―I want to challenge this idea that India is the world‘s greatest democracy. It may be so in an objective sense, but on the ground, the poor have such little power.‖10 Demokrasi, secara politik, adalah suatu pencapaian yang hendak disasar oleh Adiga dan ini menjadi suatu lansekap dasar dari gambaran kaum kelas bawah yang bagi Adiga memiliki kekuatan untuk mendobrak tradisi yang salah, yakni tradisi untuk terus diinjak-injak dalam ketidakadilan serta kemiskinan. Dari sini, jawaban yang dapat diajukan tentu menjurus pada suatu proposisi bahwa Adiga hendak membela kaum kelas bawah dengan kritiknya melalui novel The White Tiger meskipun dia memiliki kelas yang berbeda dengan kelas yang dia bela. Memang, hal ini bukan menjadi suatu permasalahan yang cukup kompleks untuk dipertentangkan, namun jika hal ini dilihat dari hal yang paling sentimental atau hal psikologis yang mencoba untuk menelisik lebih dalam mengenai kernel yang paling inti dari alasan Adiga membela kaum kelas bawah, maka hal ini kemudian akan menyasar pada gambaran utopis yang ideologis dari seorang pengarang. Terlebih, jika Adiga yang memiliki sisi historis yang kontradiktif dengan Balram dipersatukan dengan alasan fleksibilitas sikap ‗heroik‘ yang Adiga cita-citakan melalui karya sastra, pertanyaannya adalah, apakah Adiga masih akan menulis jika tidak ada pembaca? Apresiasi adalah kuncinya dan hal inilah yang menjelaskan mengenai suatu proses mengenai alasan 9
Thomas, Lee. 2009. Interview with Aravind Adiga, The White Tiger, ditulis pada 15 April 2009, diakses dari http://www.fictionwritersreview.com/interview/interiew-with-aravind-adiga-the-whitetiger/, pada tanggal 26 Juni 2014 pukul 17.50. 10 Sawhney, Hirsh. 2008. India: A View from Below Aravind Adiga with Hirsh Sawhney, ditulis pada 12 September 2008, diakses dari http://www.brooklynrail.org/2008/09/express/india-a-viewfrom-below, pada tanggal 26 Juni 2014 pukul 19.00.
9
seorang sastrawan menulis dan hal ini yang menjelaskan suatu dilematika mengenai sisi psikologis seorang subjek mengenai apa yang dia selalu sembunyikan (symptomatic) dan apa yang dia tunjukkan namun dia mengelaknya (fantasy). Dengan begitu, pertanyaan mengenai sosok Balram dan latar kehidupan Adiga adalah hal yang lain, bukan hanya dua hal yang kontradiktif, namun juga paralel. Pertanyaan tersebut adalah pemicu kecil dari permasalahan subjek yang akan dikaji dalam penelitian ini karena subjek tersebut yang secara tidak sadar berperan dalam penciptaan karya ini. Dengan kata lain, subjek dalam permasalahan kesusastraan ini adalah tokoh (tekstual) sebagai subjek dan pengarang sebagai subjek, yang keduanya akan diperjumpakan. Fakta-fakta serta kontradiksi dari novel ini juga menguraikan pusaran paradoksal ini jauh lebih ke dalam; di satu sisi, sebagai sebuah novel, The White Tiger (dianggap) menyuguhkan sebuah hiburan Internasional, seperti yang diungkapkan oleh para juri saat itu, mantan Menteri Kabinet Inggris dan Anggota Parlemen Konservatif, Michael Portillo, bahwa karya ini merupakan ―an intensely original book about an India that is new to many of us. […] in many ways perfect […] knocked socks off.‖11 Hiburan di sini mengacu pada frasa ‗knocked socks off‘ yang merupakan reaksi atas sebuah kekonyolan yang dapat menjungkalkan pembacanya12 dan hal ini jelas merefleksikan bagaimana Balram—tokoh utama novel tersebut—menceritakan kisah kehidupan melaratnya dengan satir yang
11
Wagner, Erica. 2008. Aravind Adiga Wins Man Booker Prize with The White Tiger, The Times, 15 Oktober 2008, diakses dari http://www.entertainment.timesonline.co.uk/tol/arts_and_ entertainment/books/article4944850.ece, pada tanggal 25 Juni 2014 pukul 19.00. 12 Selain Portillo, komentar yang senada mengenai novel ini datang dari USA Today, sebuah Koran harian terkemuka di Amerika, dengan mengatakan bahwa ―No Hyperbole. This debut novel hit me like a kick to the head [...].‖ Komentar ini dapat dilihat pada bagian depan sampul buku terbitan Free Press, A Division of Simon & Schuster, Inc. New York. ISBN-13: 978-1-4391-3769-7, 2008.
10
sungguh-sungguh menghibur baik bagi pembaca, tidak terkecuali orang India sendiri maupun orang Barat. Tidak hanya itu, Portillo juga menambahkan bahwa, ―Class is a boring topic to write about. Big divides are not what people are interested in. But it's the most pressing concern—because other things spring out of it, like terrorism and instability, […] The book has done very well in India - and there is a need for books like this. […] Something extraordinary is happening between the rich and the poor. Once, there was at least a common culture between rich and poor, but that has been eroded, and people have noted that.‖13
Portillo menyadari bahwa karya yang menyuguhkan kisah perjuangan kelas adalah kisah yang menjemukkan, membosankan, dan sudah banyak ditulis, namun kisah ini menjadi sesuatu yang kembali menarik ketika diurai lagi oleh Adiga melalui novel ini. Dengan kata lain, kisah perjuangan kelas yang disebabkan oleh faktor finansial yang sekiranya masih menghantui India serta dunia ketiga lainnya (yang dianggap masih berkembang), dianggap menjadi sesuatu yang harus dibicarakan lagi dan lagi seolah-olah menjadi objek yang sisi menariknya tidak pernah terkikis habis untuk diurai, disetubuhi, dinikmati, dan dieksploitasi secara berlebihan. Sampai-sampai Portillo harus membandingkan perjuangan Balram yang membunuh majikannya demi perjuangan kehidupan ekonomi dan sosialnya dengan mahakarya Shakespeare, Macbeth; ―It is about ambition realised through murder, […] but with a delicious twist. Whereas Lady Macbeth and Macbeth are driven mad by their crime, the hero of this book is only driven mad by the fact that he hesitated and might not have committed his crime.‖14 Jika dalam drama tragedi Macbeth ambisi pada tahta dan kekuasaan menjadi dasar atas kriminalitas yang dilakukan, maka dalam diri Balram, kriminalitas yang dilakukan adalah atas dasar kepolosan serta naluri alamiah untuk menunjukkan sebuah kekuatan tersembunyi dari kaum kelas bawah. Dengan demikian, ada 13 14
Op. cit., Wagner, 2008. Ibid.
11
semacam resistensi atau perlawanan yang ditunjukkan Balram sebagai subjek, dan seolah-olah memberi contoh pada subjek lainnya untuk dapat keluar dari jeratan kesengsaraan, terutama kemiskinan. Bagaimanapun juga, kekhawatiran akan selalu hadir mengingat yang menjadi objek referensi karya ini adalah kemelaratan India yang tentunya akan menjadi bahan tawa dan hiburan bagi seluruh pembaca karena proses eksekusinya dinarasikan dengan satir sinis yang lugu dan humoris. Secara singkat, jika kisah perjuangan kelas adalah kisah yang sudah umum dan membosankan, lantas apa yang membuat Adiga menulis kisah serupa meski dengan gaya humor? Hal ini kemudian akan kembali pada kecurigaan bahwa suatu sikap resistensi justru dapat menjadi sebuah legitimasi dan strategi pengarang daripada dorongan sadar untuk mengkritisi kecacatan-kecacatan India modern karena modal dapat diakuisisi melalui sikap ‗heroisme‘ tersebut. Akan tetapi, hal tersebut sangat bernuansa sosial karena langsung menyasar kaitan antara pengarang dengan semesta masyarakat sementara hal yang sangat menarik untuk disimak adalah dengan melihat kasus tersebut sebagai sebuah masalah sosial yang dilihat dari segi psikis personal; ketika Adiga berhasrat untuk melakukan resistensi, berhasrat untuk melawan kapitalisme, dan berhasrat untuk menggerogoti borok masyarakat material ‗vandalisme‘, maka hal tersebut cenderung untuk menunjukkan bahwa ada konstitusi yang sudah merancang hasrat Adiga dibalik itu, seperti melawan suatu ideologi dengan ideologi yang lain (ideologi yang ada dalam diri pengarang baik disadari ataupun tidak disadari) dan hal inilah yang menjelaskan bagaimana fantasi (Lacanian) yang bersifat ideologis bekerja. Hal ini semakin terungkap jika dilihat dari sisi yang lainnya, dengan mengolokolok India, Adiga mungkin tidak menyadari akan pentingnya legitimasi sebagai
12
penulis. Terlebih, hadiah yang ditawarkan cukuplah besar, berkisar pada angka £50.00015 (1.00 GBP = 97.6961 INR, pendapatan India per kapita di tahun 2008 sebesar $1,042)16, yang tentunya bukanlah angka yang kecil bagi sebagian besar pendapatan penduduk India (terlebih India juga mengalami krisis finansial di tahun 2008 meskipun beberapa sektor mengalami peningkatan sedikit)17, apalagi bagi penulis muda dengan sebuah novel debut. Dengan kata lain, jika latar belakang Adiga adalah middle-class India, maka wacana ini juga akan semakin memperkuat dugaan bahwa hadiah uang yang ditawarkan tidaklah kecil. Memang hal ini nampak terlalu tergesa-gesa untuk mengklarifikasikan bahwa uang adalah dasar dari penciptaan novel ini karena penghargaan serta uang adalah apresiasi dari sikap resisten Adiga melalui karya, dan hal yang cukup menggelitik adalah bahwa jika setiap sikap resistensi melalui novel selalu harus mendapatkan apresiasi, bukankah kebenaran mengenai pola resistensi tersebut adalah penghargaan tersebut sehingga karya sastra hanya menjadi media untuk menutupi kebenaran dari realitas yang diketahui oleh sastrawan akan penghargaan yang memang menggiurkan tersebut; ―The award has changed very little in my day-to-day life in Mumbai. It has made my life as a writer easier in many ways—certainly it‘s easier now to get published.‖18 Hal inilah yang menopang dugaan bahwa kebenaran mengenai penghargaan tersebut ‗berada di sana‘ dan tujuan dasar atau sikap resistensi melalui karya sastra adalah pengaburan kebenaran dari ‗bisnis‘ kesusastraan tersebut.
15
―The Booker Prize initially awarded £5,000 to its winners. The prize money doubled in 1978 to £10,000, and today the winner receives £50,000. Each of the shortlisted authors receives £2,500 […],‖ diakses dari http://www.themanbookerprize.com/facts-figures, pada tanggal 24 Juni 2014 pukul 16.00. 16 Diakses dari http://www.data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.CD?page=1, pada tanggal 25 Juni 2014 pukul 21.00. 17 Diakses dari http://www.outlookindia.com/news/article/Indian-Economy-Up-67-in-200809/ 660545, pada tanggal tanggal 24 Juni 2014 pukul 22.00. 18 Op.cit., Thomas, 2009.
13
Hal ini ditopang oleh fakta mengenai pendapatan kelas menengah-atas di India, seperti yang diungkapkan oleh Homi Kharas dalam jurnalnya yang terkenal yang berjudul ―The Emerging Middle Class in Developing Countries‖ yang memuat perbandingan kelas menengah-atas orang Amerika dan orang India. Kharas mencatat bahwa ―it would make no sense to compare Indians earning USD 2 per day with Americans earning USD 50 per day and claim that both are comparable in terms of purchasing power, and as drivers of global growth, because both are middle class.‖19 Perbandingan pendapatan orang India dan orang Amerika yang sama-sama dari kelas menengah-atas tersebut sangatlah timpang dan hal ini langsung menjelaskan bahwa nilai sebesar £50.000 adalah angka yang cukup fantastis mengingat GBP memiliki nilai kurs yang lebih tinggi dibandingkan USD. Fakta tersebut kemudian dipertemukan dengan argumen ‗pedas‘ yang dilontarkan oleh Ghoshal. Ghoshal melihat fenomena penulis India yang menulis kebobrokan India sebagai ajang untuk meraih keuntungan personal dan tenggelam pada kelupaan akan rasa nasionalisnya dan hal ini dilontarkan oleh Somak Ghoshal dengan melontarkan kritik pedas mengenai apa yang ditulis Adiga, bahwa; ―[It] turns out to be the ideal rough guide to Dark India: a series of extensive footnotes for the benefit of Western readers‖. ―As Adiga shows, […] the best bet for all those closeted novelists lurking in this country of a billion, is to write about the Darkness, the rural hinterland that lies stashed far away from the dazzling India of the big cities.‖20
Bagi Ghoshal, dengan mempertontonkan kebobrokan bangsa sendiri, Adiga sudah membuka jalan bagi orang-orang Barat utamanya, untuk masuk lebih jauh ke sisi gelap India yang tentunya merugikan (bangsa) India dan menguntungkan (bangsa) 19
Kharas, Homi. 2010. The Emerging Middle Class in Developing Countries. OECD Development Centre, Working Paper No. 285., hlm. 12. 20 Ghoshal, Somak. 2008. Booker for the Billion, The Telegraph (online), 23 Oktober 2008, diakses dari http://www.epaper.telegraphindia.com/TT/TT/2008/10/23/ArticleHtmls/23_10_2008_ 008_019.shtml, pada tanggal 25 Juni 2014 pukul 20.40.
14
Barat secara perseptual dan ideologis. Penggambaran India yang jauh dari kata makmur, kegelapan, serta daerah pinggiran yang penuh dengan kaum miskin, selalu menjadi topik yang tidak pernah kunjung usai dibicarakan dan diunggah secara reguler oleh penulis-penulis India, terutama jika hal tersebut terkait dengan menjelek-jelekkan kearifan atau otentisitas yang dimiliki India. Sebut saja Arundhati Roy dengan novel The God of Small Things (pemenang the Man Booker Prize di tahun 1998) yang memunculkan penggambaran dua kasta yang bermadukan asmara, yang jelas-jelas seperti sebuah pemberontakan terhadap sistem kasta yang konservatif. Dua kasta yang dimaksud adalah penggambaran orisinil mengenai kasta yang juga melibatkan ketimpangan kondisi ekonomi sedangkan Kiran Desai dengan novel The Inheritance of Loss (pemenang the Man Booker Prize di tahun 2006) mengisahkan bagaimana seorang Hakim India (Jemubhai) yang tidak sudih menggunakan setitik identitas India dalam dirinya. Stereotip India yang melekat pada dirinya, membuat dia membenci dirinya sendiri. Dengan pernyataan tegas seperti itu, pembukaan pintu dikotomis antara Barat dan Timur, Penjajah dan (pernah) Terjajah terbuka lebar, dan saat itulah proposisi ini masuk sebagai penilaian terhadap novelnovel India ini, terutama The White Tiger. Konsepsi mengenai India sebagai bekas jajahan Inggris, dengan konstelasi novel yang mencitrakan bagaimana India menghadapi masalah, baik secara mental dan fisik, juga menjerumuskan novel-novel India jauh ke dalam sebuah wacana pascakolonialisme. Tidak ada yang perlu dipertentangkan, fakta ini memang jelas tergambar, paling tidak pada permasalahan lokalitas serta identitas India yang terurai secara menyayat dalam novel-novel tersebut. Dalam The White Tiger, Balram mengidentifikasikan bahwa,
15 ―‘White men will be finished in my lifetime,‘ […] ‗In 20 years times, it will just be us brown and yellow men at the top of the pyramid, and we'll rule the world.‘ He‘s talking about the phenomenon at the heart of this dazzling narrative: the emergence of that much-heralded economic powerhouse, the ‗new India.‘‖21
Hal ini jelas mengindikasikan adanya suatu ‗efek kejut‘; sebuah upaya resistensi dari Timur kepada Barat, meski melalui penggambaran India dan kegelapannya seperti yang sudah diutarakan sebelumnya. Pembelaan ini juga kemudian menjadikan novel ini sebagai sebuah bentuk perlawanan ideologis melalui tokoh Balram. Balram tentu tidak turun dari langit seperti mitos, melainkan hasil ciptaan Adiga, atau sang penulis yang pada akhirnya juga menjadi mitos dalam karyanya. Dengan kata lain, Balram seperti mediator atas apa yang hendak ditawarkan oleh Adiga, semacam manifestasi akan apa yang dicita-citakan oleh Adiga melalui Balram mengenai kebebasan Timur. Akan tetapi, jika penulis tidak memiliki elemen historis dalam dirinya seperti yang di alami oleh para tokoh ciptaannya, maka hal ini akan menjadi pertanyaan yang menggerus akan siapa sebenarnya siapa, subjek-subjek yang ada menjadi subjeksubjek yang kontradiktif, antara tokoh dalam karya sebagai subjek dan pengarang sebagai subjek. Upaya resistensi tersebut kemudian menguap dan menjadi sebuah belenggu baru yang mengidentifikasi secara otoritatif mengenai efek tangen pascakolonial terhadapnya. Akan tetapi, ada juga fakta yang melihat dari segi yang lebih netral, dengan menempatkan resistensi Balram sebagai upaya pencarian kebebasan untuk terlepas dari kemiskinan; permasalahan ekonomi. Masalah finansial atau perekonomian memang menjadi faktor dari sebuah negara ataupun bangsa dalam kiprahnya di dunia modern, kapitalisme, serta globalisasi. 21
Mattin, David. 2008. The White Tiger, by Aravind Adiga: A Chatty Murderer Exposes the Underbelly of India's Tiger Economy in This Thrilling Debut Novel, The Independent, 11 Mei 2008, diakses dari http://www.independent.co.uk/arts-entertainment/books/reviews/the-white-tiger-byaravind-adiga-823472.html, pada tanggal 25 Juni 2014 pukul 21.30.
16
Adiga, melalui Balram, menggambarkan sebuah motif terbuka (teknik penulisan atau narasi novel The White Tiger) mengenai keputusannya mengirim surat kepada perdana menteri Cina pada saat itu, Wen Jiabao, atas sebuah tantangan baru dari dunia Timur terhadap dunia Barat yang mengusai modernisasi. Keputusan pengiriman tersebut, secara banal, jelas bukan hanya sebuah trik atau strategi penulisan Adiga untuk membuat narasinya menjadi unik, melainkan sebuah fakta yang menjelaskan bahwa dunia industri Asia—terlepas dari kemajuan Jepang dan Korea—sudah menempatkan Cina dan India sebagai bangsa revolusioner terhadapnya, seperti yang dikatakan oleh panitia The Man Booker Prize, ―The book gains from dealing with pressing social issues and significant global developments with astonishing humour. In fact, 80% of the world‘s software comes from India and so too do many of the world‘s richest entrepreneurs.‖22 Dengan kata lain, faktor ekonomi juga menjadi kamuflase yang mengalihkan perhatian novel ini ke arah fakta-fakta yang terhubung terhadapnya. Akan tetapi, sekali lagi, efek dari era kolonialisasi menjadi sebuah momok yang tak disadari meski sudah memasuki babak baru, yaitu kapitalisme yang disetir oleh Barat. Apa yang menjadi runtutan di sini adalah bahwa kemiskinan yang terpotret dalam novel ini merupakan penggambaran persaingan bangsa di dunia modern yang kapitalis (miskin/kaya, Proletar/Borjuis, dan berbagai oposisi dikotomis lainnya yang melibatkan kelas). Oleh sebab itu, yang menjadi pandangan selalu antara Barat dan Timur, Dunia Pertama dan Ketiga, yang semuanya menjelaskan mengenai ―colonialism (capitalism) left through the front door, and came back through a side
22
Singer, Wendy. 2009. Review of Aravind Adiga’s The White Tiger, diakses dari http://www. kenyonreview.org/kr-online-issue/2009-winter/selections/review-of-aravind-adigas-the-white-tiger/, pada tanggal 26 Juni 2014 pukul 21.45.
17 window.‖23 Metafora tersebut menggambarkan bahwa kolonialisme pergi dan kembali dengan kapitalisme yang menunjukkan bahwa Barat masih menjadi yang dominan (dapat dilihat dari berbagai sumber bagaimana produk Barat mampu menyenggamai pangsa masyarakat Dunia Ketiga). Dengan begitu, ada semacam ‗rekonsiliasi‘ antara India dan China, terlebih jika melibatkan kemajuannya untuk melihat fenomena penguasaan Barat terhadap masyarakat Asia, terutama Dunia Ketiga. Jika dilihat sekilas, perlawanan terhadap kapitalisme (sebagai sebuah ideologi) juga dilawan dengan ideologi yang lain (pengarang) meskipun pengarang menolak untuk menawarkan ideologi tertentu. Masalah kemiskinan yang diangkat di novel ini juga menjadi domain fokus tersendiri. Novel, sebagai representasi masyarakat, merupakan sebuah pemaparan mengenai realitas sosial. Kemiskinan di India, seperti yang diketahui berdasarkan statistik, menunjukkan peningkatan yang signifikan. Empat dari sepuluh anak-anak India menderita kekurangan gizi, berdasarkan data PBB. Terlebih, India menempati peringkat ke-66 dari 88 negara dalam indeks Kelaparan Global tahun 2008, lebih dari 200 juta menderita kelaparan. Kesimpulannya, dapat dikatakan bahwa sepertiga orang miskin dunia tinggal di India. Bank Dunia merilis berdasarkan batas kategori kemiskinan—$ 1, 25/hari— bahwa jumlah orang miskin di India sudah naik dari 421 juta jiwa pada 1981 menjadi 456 juta jiwa pada tahun 2005. Juga, India menempati urutan ke-128 dari 177 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia PBB. Dengan kata lain, novel Aravind Adiga yang mengisahkan seorang bocah yang terlahir di ‗Kegelapan‘ menuju ‗Cahaya‘ India di Gurgaon perkotaan, mengingatkan pada fakta-fakta keras di balik fiksi 23
Shaxson, Nicholas. 2011. Treasure Islands: Tax Havens and the Men Who Stole the World. London: Bodley Head., hlm. 1. Shaxon melihat bahwa ‗Capital flight‘ mengungkapkan fenomena kolonialisme dengan cara baru dan masuk dengan cara baru juga.
18 tersebut, sebuah representasi mengenai kritik sosial,24 dan Balram adalah subjek instrumental yang mengelaborasikan bagaimana seharusnya kaum kelas bawah berjuang. Eksploitasi terhadap novel The White Tiger juga sampai dipucuk hidung wacana mengenai eksotisme India. Hal ini mungkin masih terkait dengan pandangan orientalisme, namun yang terpenting adalah bagaimana judul The White Tiger menjadi asumsi dasar atas wacana tersebut. White Tiger atau Harimau Putih merupakan harimau yang sudah hampir punah yang tinggal diperbukitan kaki pegunungan Himalaya. Dengan habitat yang sudah langkah, tentu hal ini diharapkan mampu dipertahankan serta dikembang-biakkan. Akan tetapi hal ini mendapatkan kecaman seperti yang diungkapkan oleh Graham Huggan dengan mengatakan bahwa eksotisme yang dipertontonkan justru menjadi sebuah komoditas baru bagi dunia global yang tidak disadari; ini merupakan ‗the postcolonial exoticism‘ yang menjelaskan bahwa komodifikasi global terhadap perbedaan budaya digunakan sebagai sebuah mekanika umum dari representasi/konsumsi para eksotisis di dalam sebuah budaya industri global yang sedang meningkat. Dalam alteritas industri ini, satu dari beberapa agen terlibat dalam sebuah mediasi nilai estetis perbedaan budaya, yang dapat dikatakan sebagai pasar kesusastraan.25 Dengan kata lain, eksotisme yang ada hanya menjadi sebuah komoditas tersendiri yang keterlibatannya menjadi semacam objektifitas yang sangat menarik dalam proses penerapan, penggarapan,
24
Raaj, Neelam. 2008. Any Tears for the Aam Aadmi?, Sunday Times of India, 19 Oktober 2008, diakses dari http://www.timesofindia.indiatimes.com/home/stoi/deep-focus/Any-tears-for-the-AamAadmi/articleshow/3613518.cms, pada tanggal 28 Juni 2014 pukul 22.20. 25 Huggan, Graham. 2001. The Post-Colonial Exotic: Marketing the Margins. London & New York: Routledge., hlm., vii, hlm. x, hlm. 13. Bdk. Brouillette, Sarah. 2007. Postcolonial Writers in the Global Literary Marketplace. New York: Palgrave., hlm. 15—43. Sarah Brouillette menyebut fenomena ini sebagai ‗industri pascakolonialitas‘.
19
atau teknik narasi dari sebuah karya sastra. Dengan memanfaatkan eksotisme yang tersedia, maka sebuah karya akan mampu meraih perhatian. Dalam kasus The White Tiger, tokoh Balram mencontohkan dirinya sebagai The White Tiger (Harimau Putih—hewan) secara analogis dan metaforis. Manusia dari kaum kelas bawah, yang hanya ada segelintir saja yang berhasrat untuk keluar dari kehidupan ‗Kegelapan‘ yang ada. Kelangkaan The White Tiger dianalogikan sebagai kelangkaan manusia yang ingin lepas dari jerat kemiskinan dan kebanyakan manusia hanya ingin hidup dalam zona nyaman mereka dengan segala keterbatasan mereka, sementara Balram adalah salah satu dari yang langka tersebut. Secara tekstual, hal yang dapat diamati adalah, bahwa Balram tentu mempunyai dorongan untuk menggerakkan dirinya keluar dari kesengsaraan kemiskinan yang membelenggunya untuk mencapai apa yang dia harapkan. Oleh karena itu, secara psikologis, ada semacam dorongan yang tidak terbantahkan yang hendak diledak-ledakkan. Akan tetapi, psikologis semacam ini, yang didorong oleh faktor ekonomi, secara historis, jika direfleksikan pada diri Aravind Adiga sebagai pengarang, maka akan terlibat perseteruan kotradiktif karena Adiga tidak memiliki sisi historis sebagai subjek yang terantai dan terjerat dalam dunia kemelaratan. Hal ini kemudian menjadi masalah berantai yang cukup diskursif untuk diulas; dari Capitalism, ideology, desire ... and out. Alih-alih menyelaraskan latar belakangnya untuk memperdebatkan masalah ini, Adiga lebih cenderung untuk menegaskan bahwa Harimau Putih yang langkah ini-lah yang hendak ditawarkan oleh Adiga bahwa kelas bawah yang berjuang, seperti Balram—bagi Adiga—sudah sangat langkah. Apa yang langkah bagi Adiga adalah jiwa atau semangat untuk lepas dari jurang penyiksaan batin akan kemiskinan
20
serta perbudakan tiada henti terhadap kebebasan individu. Dengan kata lain, Balram adalah cita-cita yang hendak disampaikan oleh Adiga, bukan refleksi kehidupan historisnya yang jelas paradoksal. Adiga juga ingin meniru apa yang sudah dilakukan beberapa novelis di era-era sebelumnya seperti Flaubert, Balzac, ataupun Dickens yang ingin menuangkan kritik terhadap kesenjangan kelas di masyarakat akibat masalah ekonomi yang tentu saja merongrong moralitas untuk bertahan atau melawan meskipun harus dengan cara yang radikal. Hal ini terungkap dalam ulasan Stuart Jeffries saat mewawancarai Adiga. ―‘At a time when India is going through great changes and, with China, is likely to inherit the world from the west, it is important that writers like me try to highlight the brutal injustices of society. That‘s what writers like Flaubert, Balzac and Dickens did in the 19th century and, as a result, England and France are better societies. That's what I‘m trying to do—it‘s not an attack on the country, it‘s about the greater process of self-examination.‘ […] Adiga only knows of the Hegelian master-slave dialectic from reading Nietzsche's Genealogy of Morals. But that dialectic is the spine of his novel: the servant kills his master to achieve his freedom.‖26
Dalam kasus Balram, dia membunuh majikannya yang begitu baik terhadapnya, agar dia mampu lepas dari ‗status‘ budak dan mencapai kebebasan yang dikehendaki, tanpa diperintah dan mampu memutuskan segala macam hasratnya. Dengan demikian, hal ini terdengar sangat ironi; di satu sisi, majikannya, Tuan Ashok, adalah sosok yang begitu baik yang memperlakukan Balram layaknya manusia namun disisi lainnya, kebaikan ini justru bagi Balram adalah belenggu yang semakin kuat, sehingga Balram wajib membunuh Tuan Ashok sebagai sebuah tindakan untuk lepas dari ikatan simbolik Majikan-Budak yang terkategori sebagai tindakan radikal. Akan tetapi, bagi Adiga, tindakan radikal ini lebih pada tindakan atas dasar sebuah kemarahan personal, ―Balram's anger is not an anger that the reader should participate in entirely—it can seem at times like the rage you might feel if you 26
Jeffries, Stuart. 2008. Roars of Anger, The Guardian (online), 16 Oktober 2008, diakses dari http://www.theguardian.com/books/2008/oct/16/booker-prize, pada tanggal 26 Juni 2014 pukul 22.40.
21
were in Balram's place—but at other times you should feel troubled by it, certainly.‖27 Penegasan ini—terutama kemarahan—bukan berarti adalah apa yang dirasakan oleh pembaca, pembaca tidak perlu menyibukkan diri untuk terlibat dalam kemarahan ini, melainkan pembaca hanya perlu merasakan bagaimana rasanya berada dalam diri yang terpenjara dalam sebuah jurang kegelapan tanpa cahaya dan satu-satunya cara yang harus dia lakukan adalah dengan sebuah tindakan, bukan hanya dengan pengetahuan atau wacana mengenai kebebasannya. Dari semua fakta yang diurai mengenai novel tersebut—mulai dari kritik terhadap fakta sosial, dugaan strategi pengarang untuk mendapatkan legitimasi, pola resistensi terhadap globalisasi-kapitalisme, ideologi pengarang serta cita-cita pengarang, tindakan pengarang dengan menulis, pascakolonialisme, eksploitasi eksotisme, dan lain sebagainya—maka terselip sesuatu yang tidak pernah dilihat, bahwa pada dasarnya, ada semacam kritik ideologi dari pengarang terkait fakta-fakta yang sudah diurai, namun hal ini masih ‗abu-abu‘ karena koordinat pengarang berada pada persimpangan antara resistensi atau reproduksi ideologi yang membawa kecurigaan bahwa pengarang menggunakan kritik tersebut sebagai strategi, alat legitimasi, dan lain sebagainya yang terkait relasinya dengan sosial. Dengan begitu, apa yang dapat dipertegas di sini adalah bahwa posisi pengarang dalam subjektifitasnya melalui novel serta utilitas tindakan radikal sebagai titik sentral kritiknya menjadi suatu diskursus yang lebih menarik untuk dilihat; bahwa ‗kritik ideologi‘ yang dilontarkan pengarang justru tidak dibuka secara total (terlihat dari sikap pengarang diluar konteks kesusastraannya), melainkan ada yang ditutup-tutupi seolah-olah pengarang tidak berani untuk melihat atau menjalani 27
DiMartino, Nick. 2008. Interview with Aravind Adiga, 6 Oktober 2008, diakses dari http://www. blog1.bookstore.washington.edu/2008/10/06/nick-interviews-aravind-adiga/, pada tanggal 28 Juni 2014 pukul 23.00.
22 ‗realitas‘ yang dia kritisi sebelumnya. Hal inilah yang kemudian akan menjelaskan suatu dugaan bahwa kritik tersebut hanya menjadi suatu kritik atau kenikmatan dalam mengkritisi, tanpa harus melakukan tindakan yang sebenarnya pada realitasnya dan tanpa simbolisasi. Oleh karena itu, secara tidak langsung, penelitian ini berawal dari pertanyaan-pertanyaan serta pernyataan-pernyataan terkait hal-hal yang bernuansa ideologis yang diseret dalam ranah psikologis sehingga penelitian ini bertolak dari perspetif psikoanalisis dan Marxisme (ideologi) dalam suatu perjumpaan yang menjelaskan mengenai fantasi ideologis yang bekerja dalam diri pengarang/sastrawan pada proses kepengarangannya.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, maka rumusan masalah yang dapat ditawarkan adalah mengenai; (1) bagaimana tindakan radikal tokoh yang tergambarkan dalam novel The White Tiger karya Aravind Adiga, (2) bagaimana subjektifitas pengarang melalui novel The White Tiger serta hasilnya, dan (3) bagaimana fantasi ideologis dihasilkan dari perjumpaan kedua subjek sastra tersebut dalam novel The White Tiger.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penilitian Bagian ini akan menguraikan tujuan dan manfaat penelitian ini sebagai signifikansi yang memberikan dampak untuk kedepannya terutama pada pengkajian sastra yang secara tidak langsung menjadi sinkronisasi dari jawaban atas perumusan masalah yang telah diajukan sebelumnya. Adapun pembagiannya akan dipetakan menjadi dua sub-bagian, antara tujuan dan manfaat yang dapat ditawarkan, yang mana pembedaan ini terpetakan berdasarkan fungsi dan maksud dari penelitian ini.
23
1.3.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang sudah diajukan di atas, maka penelitian dapat dikatakan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan masalah yang sudah dirumuskan. Jika diuraikan lebih terperinci, maka tesis ini akan mengelaborasikan; 1.
Subjek tokoh dalam novel (Balram) yang melakukan tindakan radikal dalam novel The White Tiger sejauh novel tersebut sebagai representasi realitas sosial. Hal ini juga merupakan kritik Žižek terhadap kritik ideologi masyarakat saat ini, terutama kapitalisme-globalisasi yang terepresentasikan dalam novel ini yang sekaligus menggambarkan bagaimana kecacatannya menyebabkan jurang kelas sosial terbentang dan subjek menjadi sosok yang dikorbankan.
2.
Subjektifitas pengarang dalam dimensi simboliknya melalui karya sastra yang mengklarifikasikan bahwa posisi pengarang dapat diidentifikasi terkait permasalahan ideologi saat ini yang cenderung sinis. Dua poin di atas adalah tujuan yang bersifat analitis dan proses, sehingga perlu
ditekankan lagi bahwa tesis ini mempunyai tujuan yang paling utama dan terfokus, yaitu mempertemukan/memberi ruang perjumpaan subjek sastra—tokoh dalam karya dan pengarangnya—dalam novel The White Tiger untuk menjadi sesuatu yang diskursif dan menjadi pembaharuan dalam diskursus sastra. Dengan begitu, akan ditemukan titik perjumpaan yang nantinya secara potensial dapat merumuskan subjek sastra dalam konteks yang baru, karya sastra sebagai fantasi ideologis.
1.3.2 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terpisah menjadi dua, tujuan secara teoritis dan tujuan praktis. Adapun tujuan praktis dapat diuraikan sebagai berikut;
24
1.
Tesis ini diharapkan mampu memberikan donasi superfisial bagi studi-studi kesusastraan kontemporer dalam menganalisa subjek (karya) sastra dengan tidak mendiskreditkan asumsi dasar dari terbentuknya sebuah teori mengenai subjek, terlebih melalui sejarah filosofisnya.
2.
Tesis ini diharapkan mampu menjadi persimpangan studi sastra yang menawarkan analisis subjek (karya) sastra yang menunjukkan bahwa perjumpaan subjek-subjek sastra tidak hanya berkutat pada wilayah penokohan atau kepengarangan saja, namun bisa keduanya.
3.
Tesis ini diharapkan telah merumuskan subjek Žižek dengan akurat dan aplikatif, terutama sebagai perangkat teoretis dan metodologis, dalam menganalisis karya sastra.
4.
Tesis ini juga membuka ruang potensial bagi kajian sastra Inggris untuk tidak hanya terpenjara pada pandangan bahwa sastra Inggris hanya berkutat pada karya yang diciptakan dan berasal dari (bangsa dan negara) Inggris, Amerika, Australia, Kanada, dan Selandia Baru. Bagi akademisi Timur, terutama Indonesia, yang tidak memiliki kedekatan historis maupun kultural dengan Inggris, maka akan menjadi sebuah kehampaan untuk mempelajari sastra Inggris dengan perspektif Inggris. Oleh karena itu, tesis ini menggunakan objek materi novel India yang jelas mempunyai kedekatan dengan Inggris, baik secara historis, kultural, sosial, dan kepengarangan. Dengan kata lain, novel India menjadi semacam replika/duplikat sastra Inggris dengan perspektif Timur. Dengan kata lain, kedekatan Indonesia dan India sebagai bangsa Timur memberi dimensi dan nuansa baru dalam kajian sastra Inggris, terutama untuk akademisi Indonesia. Juga, novel yang dapat menjadi objek sastra Inggris juga
25
dapat dilihat dari segi bahasanya karena novel yang merupakan sastra Inggris adalah novel yang ditulis pertama kali dengan menggunakan bahasa Inggris tanpa melihat siapa pengarangnya atau dari mana pengarang itu berasal. Hal ini juga semakin menarik ketika melihat fakta terbaru bahwa The Man Booker Prize membuang atribut prasyarat mengenai kandidat yang boleh mengikuti yang harus berasal dari negara-negara persemakmuran. Sejak tahun 2013, kandidat boleh berasal dari seluruh bangsa di bumi, tanpa pengecualian, namun novel harus ditulis dengan bahasa Inggris, bukan terjemahan. Dengan kata lain, objek sastra Inggris akan meluas tak terbatas dan akan menjadi kajian yang menarik untuk kedepannya. Manfaat teoritis tersebut sangat erat kaitannya pada sumbangan akademis secara kognitif sehingga signifikansinya menjadi terarah. Adapun tujuan praktis dapat diuraikan sebagai berikut; 1.
Tesis ini diharapkan bermanfaat untuk akademisi (mahasiswa, dosen, dan institusi).
2.
Tesis ini diharapkan memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan kajian, teori, dan kritik sastra serta aplikasinya terhadap karya sastra, baik klasik, modern, maupun kontemporer.
1.4 Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan diuraikan beberapa pustaka yang terkait dengan penelitian ini, mulai dari penelitian mengenai novel ini sampai pada pemilihan subjek Žižek sebagai landasan teori. Sejauh penulurusan penulis, terdapat banyak penelitian mengenai novel The White Tiger karya Aravind Adiga namun belum ada yang mengaplikasikan teori subjek dan bahkan kritik ideologi Žižekian dalam novel ini.
26
Penelitian pertama yang dijadikan pustaka banding adalah penelitian berjudul Aravind Adiga’s The White Tiger: A Search for Identity yang ditulis oleh Prashant Jadhav. Penelitian ini merupakan upaya untuk mempelajari dan menganalisa novel The White Tiger karya Aravind Adiga mengenai krisis identitas, diskriminasi budaya, korupsi politik dan inferioritas kompleks di wilayah sosio-ekonomi dan budaya. Bagi penetian ini, The White Tiger menggambarkan perkembangan positif dan negatif di India. Hal ini juga menekankan pada bagaimana korupsi merusak pikiran orangorang biasa—warga sipil lokal sehingga identitas adalah perhatian utama dalam novel ini karena Adiga menyoroti sebagian besar kejahatan di masyarakat India. Tidak hanya budaya, masyarakat dan ekonomi, tetapi juga kelahiran yang merupakan masalah kemasyarakatan.28 Penelitian berikutnya berjudul Offshore Cosmopolitanism: Reading The Nation in Rana Dasgupta’s Tokyo Cancelled, Lawrence Chua‘s Gold By The Inch and Aravind Adiga’s The White Tiger yang ditulis oleh Liam Connell. Connell memahami fitur utama dari Offshore sebagai bifurkasi atau percabangan dari negara bangsa: negara membagi dirinya dalam dua dengan terus memerintah daerah-daerah yang tetap mudah untuk mengatur sementara mereka menyerah kepada dunia internasional, sehingga Connell melihatnya sebagai bentuk kosmopolitanisme, dengan penekanan khusus pada sebuah cara untuk mengakomodasi perusahaan asing, modal asing dan bahkan warga negara asing. Akan tetapi, seperti yang Connell tunjukkan, janji kosmopolitan ini menyembunyikan sifat ganda dari negara-negara yang berfungsi baik sebagai simpul untuk pembentukan komunitas diskursif dan, secara bersamaan, sebagai penutup untuk menghindari dari segala tanggung jawab 28
Diunduh dari jurnal New Man International Journal of Multidisciplinary Studies, ISSN: 23481390, pada tanggal 28 Juni 2014 pukul 23.10.
27
komunal. Cornell melihat fenomena ini pada beberapa karya dan salah satunya The White Tiger karya Aravind Adiga yang membuka perspektif baru pada kapitalisme global dengan fokus pada hubungan diferensial untuk negara. Penelitian ini juga membandingkan novel The White Tiger dengan karya lain, Tokyo Cancelled dan Gold by The Inch.29 Penelitian berikutnya berjudul Poor-Rich Divide in Aravind Adiga’s The White Tiger yang ditulis oleh A. J. Sebastian, Ph.D. Sebastian menggambarkan bagaimana kesenjangan sosial yang tergambarkan dalam novel The White Tiger dapat menyebabkan sesuatu yang berbahaya seperti yang direpresentasikan oleh Balram.30 Permasalahan ini, secara tidak sengaja juga terhubung dengan permasalahan modernisasi yang ada di India seperti yang dikemukakan oleh Shashikala Walmiki dalam penelitiannya yang berjudul Aravind Adiga’s The White Tiger: A Portrait of Modern India dengan penggambaran modernisasi secara bersamaan menciptakan jurang perbedaan antara yang miskin dan kaya di India.31 Dengan kata lain, penelitian ini melihat hal yang dapat dikaji lebih jauh adalah permasalahan ekonomi yang mengakibatkan tumbuhnya kesenjangan antara kelas atas dan kelas bawah yang direpresentasikan dalam novel The White Tiger. Selain mempermasalahkan India sebagai problematika kesejahteraan bangsa, peneliti juga menemukan penelitian yang menilik lebih jauh sosok Balram sebagai individu dalam kaitannya menyelesaikan permasalahan tersebut seperti yang ditulis oleh R. Renuka Narasiman & Prof. Vinita Singh Chawdhry dengan judul penelitian 29
Diunduh dari jurnal Open Arts Journal, Issue 1, hlm. 60—8, Summer 2013, ISSN 2050-3679 diakses dari http://www.openartsjournal.org, pada tanggal 29 Juni 2014 pukul 05.00. 30 Diunduh dari jurnal Journal of Alternative Perspectives in the Social Sciences, 2009, Vol 1, No 2, 229-245. ISSN (Cetak): 1944-1088, ISSN (Elektronik): 1944-1096, pada tanggal 29 Juni 2014 pukul 07.00. 31 Diunduh dari jurnal Asian Journal of Multidisciplinary Studies, Volume 2, Issue 3, Maret 2014, ISSN: 2321-8819, diakses dari http://www.ajms.co.in, pada tanggal 29 Juni 2014 pukul 08.10.
28 Balram’s Quest for Freedom in Adiga’s The White Tiger. Penelitian ini memperbincangkan bagaimana tindakan Balram merepresentasikan kebebasan, namun yang dapat dinegasikan dalam penelitian Narasiman dan Chawdhry ini adalah bagaimana afirmasinya terhadap kebebasan yang hanya melihat dari segi materi atau ekonomi.32 Singkatnya, dengan membunuh tuannya, Tuan Ashok, serta mengambil uang tuannya tersebut, Balram terepresentasikan sebagai subjek yang bebas. Permasalahan hak kemudian muncul dan ini dikemukakan oleh Lena Khor dalam penelitiannya yang berjudul Can the Subaltern Right Wrongs?: Human Rights and Development in Aravind Adiga’s The White Tiger. Lena Khor menyisipkan gagasan Spivak mengenai hak asasi bahwa; ―(1) human rights mean having or claiming and dispensing rights; (2) the stronger must right the wrongs of the weaker.‖ Lebih jauh lagi, apa yang diperbincangkan adalah masalah ‗Hak‘ yang terdengar seperti entitas yang melayang-layang sehingga membutuhkan entitas lain untuk ditempeli, semisal ‗Hak‘ untuk makan, ‗Hak‘ untuk hidup, ‗Hak‘ untuk sejahtera, dan lain sebagainya. Sifat ‗Hak‘ yang abstrak ini juga nantinya menjadi celah dalam penelitian yang ditulis oleh Khor. Permasalahan ini sebenarnya sudah merangsang pada tataran psikoanalisis, namun sekonyong-konyong penelitian ini terurai, penelitian malah lebih ‗terjerumus‘ untuk menyelesaikan masalah hak. Terlebih, penelitian Khor ini hanya menjangkau fokus utamanya yang merupakan masalah etika, moral, dan nilai dari sikap.33 Lebih jauh lagi, permasalahan hak ini sampai pada tatanan yang lebih ‗serius‘ yang merujuk pada permasalahan politis dengan demokrasi yang menjadi wadah bagi 32
Diunduh dari jurnal The Criterion: An International Journal in English, ISSN 0976-8165, Oktober 2013 vol. 4 Issue-V, pada tanggal 29 Juni 2014 pukul 08.30. 33 Diunduh dari jurnal South Central Review, Volume 29, Number 1 & 2, Spring & Summer, 2012, hlm. 41—67 (Artikel), dipublikasikan oleh The Johns Hopkins University Press. DOI: 10.1353/scr. 2012.0006, pada tanggal 29 Juni 2014 pukul 08.50.
29
permasalahan hak. Penelitian yang berkaitan dengan masalah hak ini ditulis oleh A. J. Sebastian, Ph.D dan Nigamananda Das, Ph.D., dengan penelitian berjudul Drawbacks of Indian Democracy in Homen Borgohain’s Pita Putra and Aravind Adiga’s The White Tiger and Between The Assassinations: A Comparative Study. Dengan membandingkan The White Tiger dengan kumpulan cerpen Adiga, Between Assasinations, Sebastian dan kolega mulai masuk dalam permasalahan yang lebih pelik dari sebelumnya yang menjadikan demokrasi sebagai acuan tindakan Balram dan beberapa tokoh dalam kumpulan cerpen The Assasinations.34 Sebagai tokoh, bukankah Balram merupakan subjek, namun Sebastian dan kolega tidak melibatkan hal tersebut dan menjadikan demokrasi sebagai tolok ukur apa yang dicita-citakan Balram meskipun cita-cita ‗Demokrasi‘ terdengar seperti the Big Other. Lebih jauh lagi, peneliti juga menemukan penelitian yang mengaitkan novel ini dengan salah satu permasalahan India sebagai negara bekas jajahan, yaitu wacana mengenai subaltern dengan judul Representing the Postcolonial Subaltern: A study of Aravind Adiga’s The White Tiger. Permasalahan ini sekaligus melengkapi kajian pustaka yang sebenarnya masih banyak yang perlu ditinjau. Permasalahan yang diungkap oleh Ram Bhawan Yadav terkait dengan pribumi India, terutama yang tinggal di daerah pinggiran, adalah penggambaran mengenai kehidupan orang India tidak teretaskan dari berbagai macam permasalahan terutama terkait dengan masalah budaya dan identitas.35 Hal ini juga mempertegas proposisi mengenai novel India yang memiliki kecenderungan bernuansa resistensi sehingga terlingkup dalam diskursus poskolonialisme.
34
Diunduh dari jurnal Journal of Alternative Perspectives in the Social Sciences, 2009, Vol 1, No 3, 635-644, pada tanggal 29 Juni 2014 pukul 09.00. 35 Diunduh dari jurnal The Criterion: An International Journal in English, Vol. II. Issue. III. September 2011, ISSN 0976-8165, pada tanggal 29 Juni 2014 pukul 09.10.
30
Membandingkan dengan tinjauan pustaka yang ditemukan peneliti dari berbagai penelitian, maka dapat dikatakan bahwa keseluruhan penelitian merujuk pada masalah sosial, ekonomi, budaya, dan identitas yang representatif dari novel The White Tiger. Permasalahan ekonomi yang sekaligus menyeret permasalahan sosial dengan adanya ngarai yang memisahkan tebing kemiskinan dan tebing para borjuis, sedangkan Balram dengan confession without borders-nya menguraikannya dengan sayatan-sayatan satir kritis. Permasalahan budaya juga sekaligus menyeret permasalahan identitas pribumi India yang tergerus oleh modernisasi kemajuan ekonomi bangsa tersebut, sehingga Balram memberi contoh bahwa India harus bebas dari kemiskinan. Kaitan antara permasalahan psikis dan sosial inilah yang nampak diacuhkan, menempatkan Balram sebagai subjek dari representasi sosial dan mengaitkannya dengann kritik ideologi pengarang, akan menjadi permasalahan diskursif, antara tindakan radikal Balram dengan fantasi ideologis Adiga, terlebih dengan menggunakan gagasan-gagasan dari Slavoj Žižek. Sebagai catatan, sejauh penelusuran peneliti, peneliti hanya menemukan satu penelitian dengan menggunakan subjek Žižek dalam karya sastra—terutama di Indonesia—sebagai objek materi analisanya atas nama Ramayda Akmal dengan judul penelitian Subjektivitas Pramoedya Ananta Toer dengan Novel Perburuan: Pendekatan Psikoanalisis-Historis Slavoj Žižek. Ramayda menggunakan teori mengenai subjek Slavoj Žižek untuk menjelaskan pengarang sebagai subjek bukan tokoh dalam karya sebagai subjek. Di dalam latar belakang penelitian yang telah diuraikan oleh Ramayda Akmal ini terungkap bahwa peneliti berangkat dari latar belakang Pramoedya—pengarang novel—untuk menguraikan permasalahan yang hendak dipecahkan. Dalam kasus
31
penelitian ini, pengarang dijadikan sebagai subjek yang hendak dilacak dan dieksekusi. Pengarang menjadi cair dan lebur dalam karyanya dengan cara mencelupkan konsep sudut pandang Todorov yang sekaligus sebagai cara kerja analisa pengarang sebagai subjek dan tokoh dalam karyanya. Dengan begitu, peneliti menyelesaikan permasalahannya antara pengarang sebagai subjek yang ada dalam karya. Dengan latar belakang pengarang yang begitu pelik, peneliti kemudian menarik garis sambung dengan menjadikan tokoh Hardo—dalam karya—sebagai sosok representatif Pramoedya. Jika dikaitkan dengan subjek Žižek, maka kerasnya latar belakang kehidupan pengarang, juga dengan pelarangan peredaran karya yang ditulis pengarang, membuat peneliti mengasumsikan bahwa pengarang melakukan tindakan radikal dengan tetap menulis meski sering dicekal dan bahkan membuatnya dipenjara. Pemberontakan pengarang dilakukan dengan cara menulis karya karena karya terkadang dianggap sebagai sesuatu yang mempengaruhi serta berlawanan dengan sistem kekuasaan yang ada sehingga suatu karya menjadi haram untuk diciptakan. Dengan begitu, pengarang—dari sudut pandang peneliti—melakukan tindakan radikal melalui Subjektifikasi dengan novel Perburuan. Penelitian ini bukan berarti tidak menimbulkan permasalahan baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis ada beberpa hal yang dapat dicatat dan menjadi bahan pertimbangan untuk kajian ulang mengenai pandangan subjek Žižek. Hal yang paling mengejutkan adalah premis mengenai pengarang sebagai subjek, bukan dalam arti yang leksikal, melainkan pada keterangan yang diselipkan di dalamnya. Ramayda Akmal menegaskan bahwa, Yang Riil dalam diri sastrawan tercermin dalam keinginannya atau harapannya untuk bebas dan melepaskan diri bahkan dalam penolakannya terhadap berbagai ideologi atau aturan Yang Simbolik. Misalnya, Pram menolak feodalisme dengan menawarkan
32
sosialisme atau humanisme, untuk kemudian meninggalkan dan menawarkan hal lain lagi.36
Žižek mencatat (dari Lacan), bahwa yang Riil (the Real) itu bersifat anti-Simbolik dalam artian, sejauh subjek berhasrat—sementara hasrat subjek bersumber dari panggilan abadi the Big Other/yang Simbolik, maka subjek tidak akan pernah berada pada tatanan Real, kehadirannya hanya menjadi object petit a (object cause of desire) karena melalui tatanan Simbolik yang mengartikan bahwa tindakan yang nyata tidak pernah utuh atau selalu parsial simbolis. Dengan kata lain, kontradiksi pengarang/sastrawan melakukan tindakan radikal (keluar dari yang Simbolik dengan menulis) menjadi sebuah ironi karena tulisan hanya object petit a, atau kontradiksi dengan tindakan radikal dalam perspektif Žižek. Lebih jauh lagi, Akmal melihat bahwa Pram, sebagai pengarang, menolak atau menegasikan
dirinya
dengan
berbagai
macam
ideologi
yang
mencoba
menenggelamkannya. Yang terjadi adalah bahwa pengarang, Pram, mempunyai hasrat (secara sadar—menulis novel hampir dipastikan secara sadar) untuk keluar dari domain ideologi-ideologi tersebut, untuk tidak terjebak dalam suatu ideologi tertentu sehingga terus bergerak. Penolakannya terhadap feodalisme membawanya untuk melihat bahwa ada sosialisme atau humanisme atau sesuatu yang lain yang dia ingin tolak tapi dia tulis melalui novelnya; pertanyaannya adalah, bukankah itu semua ideologi juga? Apa yang ditawarkan ideologi-ideologi tersebut? Bukankah subjek terkastrasi pada yang Simbolik (dalam istilah Lacan) atau terinterpelasi pada ideologi (dalam istilah Althusser) ketika dia menjadi subjek? Dari sini, Žižek melihat bahwa satu-satunya cara untuk keluar dari yang Simbolik adalah dengan melakukan tindakan radikal, suatu tindakan tanpa pengaruh 36
Akmal, Ramayda. 2012. Subjektivitas Pramoedya Ananta Toer dengan Novel Perburuan: Pendekatan Psikoanalisis-historis Slavoj Žižek. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada., hlm. 30.
33
eksterioritas dan tanpa tujuan (maksud). Apa yang dapat dipertegas adalah paradoks mengenai karya sastra—yang jelas berupa tulisan atau bahasa—yang dianggap sebagai sebuah tindakan radikal sementara karya sastra adalah yang Simbolik, mimpi manifest, dan bermaksud. Hal ini mungkin yang sudah didisidentifikasi dalam penelitian ini, bahwa tokoh Hardo sebenarnya adalah subjek menjadi paralaks, dia Pram sekaligus bukan Pram (melalui gagasan Žižek, yang juga dari Lacan, mengenai Gaze). Sebagai catatan kecil, Žižek tidak melihat ideologi sebagai sesuatu yang besar, tidak terlihat, melayang-layang, atau sejenisnya. Terlebih, bagi Žižek, ideologi tidak hanya berkutat pada abstraksi pemikiran atau gagasan ide yang agung seperti Komunisme, Demokrasi, Feodalisme, dan lain-lain, melainkan hal-hal sederhana yang dilakukan subjek juga merupakan ideologi karena ideologi seperti penjahitan penanda dari the Big Other yang abstrak dan fana. Dengan melihat bahwa ada ideologi seperti Kapitalisme, Komunisme, Sosialisme, subjek sebenarnya terjebak dalam fantasi ideologisnya karena apa yang mereka maksud dengan ideologiideologi tersebut (secara) sebenarnya adalah cara agar subjek agar tidak tersesat dalam pencarian abadi the Big Other dan pencarian abadi tersebut akan menggiring subjek pada kondisi trauma neurosis. Melihat hal tersebut, maka hal yang perlu diperhatikan dari pengambilan tesis ini sebagai tinjauan pustaka adalah tematisasi yang ditawarkan mengenai sastra sebagai tindakan, yang tentunya sangat korelatif dengan penelitian ini yang juga menunggangi subjek Žižek. Selain itu, tinjauan mengenai subjek pengarang dalam sastra juga sangat erat dengan penelitian ini. Tinjauan pustaka berikutnya diambil dari sebuah disertasi yang ditulis oleh Matthew Flisfeder di tahun 2010 dengan judul Between The Symbolic and The
34 Sublime: Slavoj Žižek In Film Studies… And Out.37 Disertasi ini mencoba untuk meneliti kontribusi teori film pada teori ideologi Marxisme. Flisfeder berpendapat bahwa teori film, dalam perkembangannya, memberikan dampak yang lebih signifikan pada studi dan kritik ideologi. Dengan kata lain, hubungan antara (studi) film dengan penikmatnya dapat menambah pengetahuan mengenai ideologi dan Subjektivitas yang terdapat di dalamnya. Dengan begitu, hipotesa tersebut relevan untuk dikaitkan dengan teori dari Slavoj Žižek mengenai subjek, terutama untuk kajian film kontemporer. Bagi Flisfeder, perdebatan Slavoj Žižek dengan kritikus film yang terkenal, yang juga seorang teoritikus film asal Amerika, David Bordwell, menjadi dasar pemikirannya untuk mengkaji studi ini lebih jauh. Karena bagi Žižek, post-Theory yang ditawarkan Bordwell adalah efek ideologis perjuangan kelas. Lebih jauh lagi, setelah mengeksploitasi permasalahn Žižek dalam kajian film, peneliti memeriksa relevansi interpretasi Žižek untuk kritik ideologi. Žižek dikenal sering menggunakan contoh-contoh dari film, namun juga karya sastra, sebagai alat penafsiran untuk interpretasi subjek Lacanian-nya serta sebagai alat tafsir untuk menggugah fungsifungsi ideologis. Mengacu pada Žižek, Flisfeder juga mencoba untuk menentang teori awal mengenai film yang berpikir pada kemungkinan proses interpelasi pada Subjektivitas politik melalui bioskop-bioskop alternatif atau avant-garde. Adapun sintesa dari Flisfeder di sini adalah untuk melihat bahwa film tidak menciptakan posisi subjek, seperti yang diurai teori-teori film sebelumnya; sebaliknya, film mereproduksi apa yang sudah ada pada diri subjek sebagai subjek yang berposisi dari keadaannya yang 37
Flisfeder, Matthew. 2010. Between The Symbolic and The Sublime: Slavoj Žižek In Film Studies… And Out. Toronto: Ryerson University & York University.
35 seolah-olah melihat ―cermin‖ dari dirinya, sehingga ―pleasure‖ atau ―desire‖ tereproduksi dari proses interpelasi tersebut Apa yang ditawarkan oleh disertasi tersebut adalah kemungkinan keterbukaan antara subjek dengan film sebagai sebuah proses interpelasi serta alat reproduksi hasrat. Bertolak dari disertasi ini, maka yang dapat ditinjau adalah subjek yang berhasrat melalui the Other, subjek yang lain, yang seolah-olah menyerap, menggerayangi hasrat subjek untuk mengungkapkan apa yang diinginkan the Other dari dirinya. Oleh karena itu, hal ini sangat terkait untuk menunjang penelitian ini yang bertujuan untuk mengkalrifikasikan mengenai karya dan pengarang dengan bertumpu pada asumsi mengenai karya sebagai fantasi ideologis.
1.5 Landasan Teori Dalam bagian ini akan dijelaskan secara ringkas mengenai konsep subjek dalam perspektif Žižek. Kemudian, subjek ini yang nantinya akan dihubungkan dalam konteks sastra sehingga menjadi landasan teori yang kuat untuk menopang jawaban terhadap rumusan masalah yang sudah dirumuskan. 1.5.1 Tentang Subjek dalam Perspektif Žižek Ljubljana, 21 Maret 1949, lahir seorang filsuf Slovenia yang National Review sebut sebagai filsuf politik paling berbahaya di Barat, sedangkan New York Times menyebutnya sebagai Elvis-nya Teori Budaya; dia adalah Slavoj Žižek.38 Titik krusial dari pemikiran Žižek adalah cara dia mengkritisi teori-teori mengenai subjek
38
Lihat juga Žižek, Slavoj & John Milbank. 2009. The Monstrosity of Christ Paradox or Dialectic? (ed. Creston Davis). Cambridge & London: The MIT Press., hlm. 7. Dalam kata pengantar yang ditulis oleh Creston Davis, mengenai perdebatan antara Žižek dan Milbank, dijelaskan bahwa ―Žižek is a full-blooded militant atheist who represents the critical- materialist stance against religion‘s illusions beginning with Hegel, Marx, and Feuerbach up to the French structuralist tradition that reaches its apex in the thought of Louis Althusser and Jacques Lacan.‖
36 serta ‗trik‘ ideologi yang bekerja saat ini, meleburkannya dalam kondisi sosial saat ini, dan mengkritisinya habis-habisan. Gagasan subjek Žižek bermuara pada ‗trinitas‘ konsep; Hegel-Marx-Lacan. Permasalahan Hegel dikaitkan dengan diskursus mengenai dialektika (substansi) dan, subjek sosial, sedangkan permasalahan Marx dikaitkan dengan diskursus mengenai ideologi, dan permasalahan Lacan digunakan sebagai formulasi konsep subjek. Dari ketiganya, subjek radikal dalam perspektif Žižek terakomodasi dan kritik terhdap ideologi saat ini terformulasikan. Žižek juga menekankan kembali pentingnya konsep Cogito milik Descartes dan idealisme-nya Kant dalam melihat kembali proses-proses radikalisasi subjek. Hal yang dapat diuraikan secara singkat di sini mungkin dapat diawali dengan konsepsi Hegel terhadap subjek serta substansi dalam lingkaran sosial. Bagi Žižek ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam kaitannya untuk melibatkan subjek dengan sosial melaui substansi-substansi; (1) mentransposisikan dan mentranslasikan hubungan absolut antara subjek melalui realitas—kepada relasi dari subjek individual, kemudian kepada substansi dari relasi sosial antara individual yang trans-substansial—dan mengubah relasi individual kepada sosial melalui substansi, (2) mengubah tatanan urutan relasi dari ‗subjek individual kepada substansi‘ untuk masuk ke dalam relasi ‗substansi kepada dirinya sendiri‘, sehingga substansialisasi menjadi semacam ekspresi struktur dasar dari relasi soisal antar subjek individual yang aktif dan aktual.39 Dalam permasalahan ini, bagi Hegel, untuk menciptakan suatu keadaan yang absolut dan ideal, subjek seharusnya menyerahkan substansi kepada sosial agar subjek dapat diterima. Substansi sendiri adalah ekstasi 39
Lihat Žižek, Slavoj. 1993. Tarrying with the Negative: Kant, Hegel and the Critique of Ideology. Durham: Duke University Press., hlm. 20.
37
yang akan mereduksi kekosongan, kebolongan, atau kehampaan subjek yang berada dalam bentuk kosong melalui proses self-relating negativity (dialektika), hubungan dengan yang lain, dan ‗kastrasi‘ dalam sosial. Dengan begitu, yang Absolut dapat direngkuh oleh subjek melalui substansi yang Hegel rumuskan menjadi ‗the Absolute qua substance‘ yang menjelaskan bahwa subjek yang self-relating negativity-nya atau proses exchange-nya menciptakan suatu rekonsiliasi pada posisi yang hirarkis yang lebih tinggi mengenai yang Absolut. Dari sini, Žižek mengkritisi bahwa pada proses exchange selalu tidak pernah seimbang, seperti dicontohkan pada kasus Bildung (budaya-pendidikan)40, sementara noble-consciousness adalah salah satu kasus kecilnya. Dalam kasus nobleconsciousness dapat dilihat bahwa rakyat adalah subjek dan the State (Negara) adalah substansi; subjek mengalienasi/mengasingkan dirinya untuk
sebuah
pertukaran (exchange) substansi (seperti energi, kesetiaan, materi, dll) dengan the State, sebagai gantinya, subjek mendapatkan pengganti dari apa yang dia korbankan seperti kehormatan, kebangsawanan, dan lain sebagainya. Tahap ini menandakan proses pertama dari subjektifitas, yaitu mengubah the State yang realitasnya tak dapat diraih, kemudian secara abstrak beroposisi dengan subjek menjadi ‗kekayaan‘ melalui kandungan substansi pada saat pembuangannya. Di sisi lainnya, substansi (the State) tidak hanya direndahkan/disubordinasikan pada subjektifitas kesadaran diri melalui transformasinya yang menjadi ‗kekayaan‘ karena dalam pertukaran subordinasi ini, hal yang diperoleh oleh substansi adalah bentuk subjektifitas impersonal the State yang digantikan oleh kekuasaan mutlak Monarki. Dengan kata lain, absolute freedom yang dituju subjek—pertukaran antara Kehendak partikular
40
Lihat Ibid.
38
dan universal—adalah omong kosong besar karena subjek tidak mendapatkan apaapa, dia hanya melintasi ruang kosong, pengasingan dirinya menjadi negasi abstrak yang tidak menawarkan kandungan yang positif dan determinan. Žižek lantas mengkalkulasikan keadaan subjek yang serba merugi ini dalam pernyataan; ―[…] self-consciousness has only to become aware of how this Nothingness which appears to a particular Will as an abstract, opposed, external threat coincides with its own force of negativity; it has to internalize this force of negativity and recognize in it its own essence, the very kernel of its own being. ―Subject‖ emerges at this very point of utterly meaningless voidance brought about by a negativity which explodes the frame of balanced exchange. That is to say, what is ―subject‖ if not the infinite power of absolute negativity/mediation: in contrast to a mere biological life, selfconsciousness contains in itself its own negation, it maintains itself by way of negative self-relating. This way, we pass from absolute freedom (of the revolutionary citoyen) into ―the Spirit certain of itself‖ epitomized by the Kantian moral subject: the external negativity of the revolutionary Terror is internalized into the power of moral Law, into the pure Knowledge and Will qua Universality, which is not something externally opposed to the subject but something which constitutes the very axis of his selfcertainty; ―Free Will‖ is a Will that acts in accordance with the universal moral Law, not in accordance with particular (―pathological‖) motivations which enslave it to the world of objects. […] All these determinations have vanished in the loss suffered by the self in absolute freedom; its negation is the death that is without meaning, the sheer terror of the negative that contains nothing positive, nothing that fills it with a content.‖41
Dari apa yang diuraikan Žižek dari pembacaannya terhadap dialektika Hegel, subjek lantas tidak melulu menjadi subjek yang tergerus oleh keadannya, melainkan adanya kesadaran akan ‗ketiadaan‘ dirinya sehingga mendorongnyanya untuk menginternalisasi dorongan negatifitasnya sampai menemukan esensi subjek itu sendiri. Kehampaan subjek justru dapat meledakkan ‗equivalent exchange‘ yang sebenarnya merugikan dirinya dan dengan begitu subjek hadir, tidak sebagai absolute freedom melainkan sebagai ‗the Spirit certain of itself‘. ‗Moralitas‘ ini juga menegaskan bahwa adanya ‗Teror Negatifitas‘ dari sisi eksternal diri yang dibenamkan secara internal sehingga menjadi kekuatan moral hukum dan menjadi pengetahuan murni serta kehendak melalui universalitas yang tidak berlawanan
41
Ibid., hlm. 22—3.
39
dengan subjek melainkan sesuatu yang mengkonstitusi serta membentuk poros diri yang menentu, tidak berantakan, tercecer, dan tersebar sehingga mudah untuk dihancurkan seperti objek-objek di dunia. Hal ini dikarenakan tidak ada substansi pengganti yang dapat menggantikan substansi yang dikorbankan, sehingga tidak ada sintesa yang logis yang mampu menyelesaikan atau menawarkan rekonsiliasi akhir, ―[…] ‗reconciliation‘ does not designate the moment when ‗substance becomes subject‘, when absolute subjectivity is elevated into the productive ground of all entities, but rather the acknowledgment that the dimension of subjectivity is inscribed into the very core of Substance in the guise of an irreducible lack which forever prevents it from achieving full self-identity. ‗Substance as subject‘ ultimately means that a kind of ontological ‗crack‘ forever denounces as a semblance every ‗worldview‘, every notion of the universe qua totality of the ‗great chain of being‘. […] at this very point at which negation ceases to be ‗determinate‘ and becomes ‗absolute‘, the subject encounters itself, since the subject qua cogito is this very negativity prior to every act of exchange.‖42
Subjek tidak perlu menyerahkan substansinya karena dia tidak akan mendapatkan apa yang tidak sebenarnya (secara tidak sadar) dia inginkan (the Big Other), dan oleh karena itu, subjek dapat lepas dari tatanan sosial—yang dalam istilah Lacan disebut sebagai yang Simbolik. Dari sini—kaitan antara subjek, substansi, dan eksterioritas (seperti ideologi, negara, dan lain sebagainya) menggring pemikiran Žižek masuk ke ranah Marxisme. Bagi sebagian Marxis—mungkin hampir semuanya, terutama Marxis klasik—memandang ideologi sebagai kesadaran palsu (false consciousness). Apa yang tampak pada realita adalah sebuah ilusi yang menipu subjek, seperti yang dijelaskan Marx secara singkat mengenai ―sie wissen das nicht, aber sie tun es (they do not know it, but they are doing it).‖43 Karl Marx menyebut ideologi sebagai False Consciuosness atau kesadaran palsu karena kesadaran ini adalah kesadaran yang tidak menjangkau pada ‗realitas‘ yang
42
Ibid., hlm. 26—7. Lihat Žižek, Slavoj. 1989 (2009). The Sublime Object of Ideology. London & New York: Verso., hlm. 24. 43
40
sebenarnya, masyarakat terjangkit oleh ilusi yang begitu tebal dan mengaburkan kenyataan di baliknya. Akan tetapi, di era saat ini, (hampir) semua elemen masarakat sinis, mereka semua mengetahui realitas yang sebenarnya, namun mereka justru menutupi pengetahuan terhadap realitas tersebut dengan masih melakukannya, sehingga implementasi ideologi sekarang justru menampilkan ‗realitas‘ yang ada dibaliknya menuju permukaan, dan ironisnya, subjek bertingkah biasa saja seolah-olah mereka tidak mengetahui padahal mereka mengetahuinya. Mereka tetap saja diam meskipun ditindas, mereka tetap saja mengorbankan sisa hidup mereka untuk bekerja (materialisme) meskipun mereka mengatakan diri mereka sebagai anti-kapitalisme, dan lain sebagainya. Mereka mengetahui, tapi mereka tetap saja melakukannya; ini merupakan pergeseran dari premis ‗mereka tidak mengetahui, tapi melakukannya‘, menjadi ‗mereka mengetahui (namun) tapi mereka tetap saja melakukannya‘ sehingga permasalahan di sini bukan terletak pada ‗apa yang mereka lakukan‘, melainkan terletak pada ‗apa yang mereka ketahui (kesadaran)‘. Dari sini Žižek melihat bagaimana ideologi bekerja dalam keadaan sinisme masyarakat seperti ini; jadi seperti ada semacam kekuatan tidak sadar yang dipostulasikan Sohn-Rethel sebagai kekuatan ‗seolah-olah‘ atau as if (als ob)44 yang menjadi objek fetis subjek agar subjek tetap tunduk dan patuh pada ilusi mereka yang sebenarnya menunjukkan adanya suatu ideologi yang bekerja dengan cara yang lain. Ini adalah bagian terpenting untuk melihat ‗sublime object of ideology‘ yang sebenarnya tidak ada tapi menghantui subjek saat ini.
44
Lihat Ibid., hlm. 11—2.
41 ‗Kepatuhan‘ ini kemudian disenggamakan Žižek dengan konsep-konsep psikoanalisis Lacan yang langsung menyasar subjek-subjek tersebut, utamanya mengenai tradisi Lacanian; the Imaginary (yang Imajiner), the Symbolic (yang Simbolik), dan the Real (yang Nyata), serta Graph of Desire. Tahap Imajiner dapat dikatakan sebagai tahap cermin (dapat berarti cermin nyata ataupun cermin metaforis) yang mengindikasikan bahwa subjek (masih seorang individu/ego) belum dapat mengidentifikasikan/membedakan antara dirinya dengan the Other. Tahap ini juga menjelaskan bagaimana diri (ego/self) masih belum ditundukkan, dan oleh sebab itu diri belum menjadi subjek (sub = dibawah, kedua, minor, dan jectus = ditundukkan) yang berarti ditundukkan oleh eksterioritas yang bukan dari dirinya (yang Simbolik, bahasa, budaya, agama, dan lain sebagainya). Proses menjadi subjek ada pada tatanan Simbolik ketika diri bernegosiasi dengan bahasa (rantai penanda) sehingga identifikasi imajinernya ditundukkan oleh identifikasi Simbolik. Tahap/tatanan Simbolik menjelaskan bagaimana bahasa (rantai penanda) menjahit subjek melalui point de capiton/master of signifier (Kebebasan, Toleransi, Keadilan, dan lain sebagainya yang bersifat abstrak dan agung) yang menyebabkan subjek (S) terkutuk menjadi subjek yang terbelah, hampa, dan selalu berkekurangan ($) karena yang Simbolik ada sebelum subjek dan menundukkan subjek. Hal inilah yang sangat korelatif dengan proses interpelasi ideologi-nya Althusser. ―[…] we are dealing with the process of interpellation of individuals (this presymbolic, mythical entity—with Althusser, too, the ‗individual‘ which is interpellated into subject is not conceptually defined, it is s imply a hypothetical X which must be presupposed) into subjects. The point de capiton is the point through which the subject is ‗sewn‘ to the signifier, and at the same time the point which interpellates individual into subject by addressing it with the call of a certain master-signifier […] in a word, it is the point of the subjectivation of the signifier‘s chain.‖45 45
Ibid., hlm. 112.
42
Dalam interpelasi ini, Lacan menyebutnya dengan proses kastrasi (castration) yang memungkinkan subjek untuk menjadi subjek dan masuk ke tatanan Simbolik dengan meninggalkan tatanan Imajiner. Ditundukkannya identifikasi imajiner oleh identifikasi simbolik kemudian menempatkan subjek pada kondisi yang terbelah, di satu sisi dia harus memenuhi panggilan the Big Other (struktur simbolik yang anonim) dan di sisi lainnya dia harus menjadi apa yang the Other inginkan agar subjek dapat masuk dalam tatanan Simbolik (ini adalah gambaran mengenai hasrat subjek). Permasalahannya adalah bahwa the Other sama seperti subjek yang lack (lack in the Other—Ø menunjukkan bahwa The Big Other tidak (pernah) ada dan subjek terjebak dalam penandaan yang tidak utuh terhadapnya) yang menyebabkan proses pemenuhan ini tidak pernah selesai,46 ada semacam tumpang tindih antara hasrat untuk memilikinya dan hasrat untuk menjadi seperti apa yang the Other inginkan. Dengan kata lain, hasrat subjek adalah Che Vuoi?—what do You want from me?, yang mengindikasikan ada panggilan the Big Other yang menarik subjek untuk terserap kepadanya sementara jaringannya merantai tatanan simbolik yang lebih luas seperti the Other dan subjek-subjek yang lainnya. Subjek secara otomatis akan dialihkan pada apa yang Lacan sebut sebagai enjoyment/jouissance; sebuah kenikmatan yang menyakitkan (pleasure in pain) 46
Lihat Ibid., hlm. 137. ―[…] the Lacanian subject is divided, crossedout, identical to a lack in a signifying chain. However, the most radical dimension of Lacanian theory lies not in recognizing this fact but in realizing that the big Other, the symbolic order itself, is also barré, crossed out, by a fundamental impossibility, structured around an impossible/traumatic kernel, around a central lack. Without this lack in the Other, the Other would be a closed structure and the only possibility open to the subject would be his radical alienation in the Other. So it is precisely this lack in the Other which enables the subject to achieve a kind of ‗dealienation‘ called by Lacan separation: not in the sense that the subject experiences that now he is separated for ever from the object by the barrier of language, but that the object is separated from the Other itself, that the Other itself ‗hasn‘t got it‘, hasn't got the final answer—that is to say, is in itself blocked, desiring; that there is also a desire of the Other. This lack in the Other gives the subject—so to speak—a breathing space, it enables him to avoid the total alienation in the signifier not by filling out his lack but by allowing him to identify himself, his own lack, with the lack in the Other.‖
43
sebagai hasil penyembunyian kehilangan traumatis atas kegagalan memenuhi hasrat akan the Big Other. Kegagalan ini sebenarnya juga disebabkan oleh the Big Other yang tak pernah hadir sepenuhnya, hanya hadir melalui semblance; sebuah kemiripan akan objek yang menyebabkan subjek berhasrat padanya dan hal inilah yang Lacan sebut sebagai object (petit) a/object cause of desire. Objek ini juga yang menunjukkan adanya kegagalan untuk mencapai tatanan yang Nyata (the Real); sebuah tatanan yang tak terbahasakan, mendahului bahasa, yang menjamin subjek untuk kembali kepada tatanan Imajiner. Bagi Žižek, the Real sebenarnya adalah sebuah tatanan yang tidak termediasi oleh yang Simbolik, ironisnya, subjek terjahit oleh the Big Other (yang Simbolik) yang selalu ingin dicapai oleh setiap subjek sehingga pemenuhan atas the Big Other (selalu ada lack dalam the Other karena the Other sendiri juga terjebak dalam the Big Other yang anonim dan abstrak, sehingga subjek selalu gagal untuk memenuhi the Big Other) selalu melibatkan sebuah konstitusi yang menyembunyikan kehilangan traumatis yang Lacan sebut sebagai fantasi ($◊a); sebuah jawaban atas Che Vuoi?, sebuah skenario yang menyediakan koordinat hasrat subjek yang juga sekaligus mengkonstitusi hasrat subjek, namun tidak memenuhinya. ―Fantasy appears, then, as an answer to Che Vuoi?, to the unbearable enigma of the desire of the Other, of the lack in the Other, but it is at the same time fantasy itself which, so to speak, provides the co-ordinates of our desire—which constructs the frame enabling us to desire something. The usual definition of fantasy (‗an imagined scenario representing the realization of desire‘) is therefore somewhat misleading, or at least ambiguous: in the fantasy—scene the desire is not fulfilled, ‗satisfied‘, but constituted (given its o bjects, and so on)—through fontasy, we learn ‘how to desire’. […] it is the frame co-ordinating our desire, but at the same time a defence against Che Vuoi?, a screen concealing the gap, the abyss of the desire of the Other. […] we could say that desire itself is a difence against desire: the desire structured through fantasy is a defence against the desire of the Other, against this ‗pure‘, transphantasmic desire (i.e. the ‗death drive‘ in its pure form).‖47
47
Ibid., hlm. 132.
44
Dari sini, subjek harus dihadapkan kembali pada persimpangan antara enjoyment/jouissance dengan bahasa (rantai penanda) yang menghadirkan formula of drive ($◊D—D merupakan erogenous zone, symbolical demand) sebagai suatu proses evakuasi sisa-sisa pemecahan tubuh melalui bahasa (yang Simbolik) yang tidak terakomodasi, tidak pernah selesai, selalu tersebar pada the Other yang simbolis. Hal inilah yang bagi Žižek, secara retroaktif, analog dengan formula Lacan mengenai sinthome; ―a particular signifying formation which is immediately permeated with enjoyment that is, the impossible junction of enjoyment with the signifier.‖48 Dengan kata lain, fantasi tidak dapat diinterpretasikan, melainkan hanya untuk dilintasi (going-through-the-fantasy/traversing the fantasy/la traversée du fantasme) sebagai sebuah proses untuk mendeteksi sinthome atau getaran drive (Lacan melihat bahwa setiap drive selalu death drive karena drive selalu mendorong subjek pada kehampaan—mendorong subjek pada titik traumatis—sementara fantasi menyediakan jalan agar menghindarkan subjek dari kehampaannya sehingga fantasi seperti mendamaikan antara hasrat dan drive).49 Hal inilah yang juga membuat Žižek melihat bahwa enjoyment as political factor bekerja, ‗seolah-olah‘ mereka meyakini bahwa ada the Big Other melalui sublime object-nya ideologi, kalaupun mereka sinis terhadap suatu realitas, meskipun mereka mengetahui bahwa ada ideologi yang sedang merasuki dan menguasai mereka, mereka tetap saja mengabaikannya ‗seolah-olah‘ mereka tidak mengetahui; inilah cara kerja fantasi ideologis, menutupi pengetahuan subjek karena yang Real yang mereka ketahui terlalu ‗cabul‘ untuk dihadapi sehingga subjek melakukan sesuatu yang parsial dari yang Real dalam artian mereka tidak menistakan yang Real 48 49
Ibid., hlm. 138. Lihat Homer, Sean. 2005. Jacques Lacan. London & New York: Routledge., hlm. 76.
45
namun juga mereka tidak dapat secara telanjang jujur atas yang Real yang mereka ketahui. Itulah fungsi ideologi, ketika subjek berada pada tatanan Simbolik atau berada pada bayang-bayang the Big Other, maka subjek akan secara otomatis akan terhindar dari kehilangan traumatis padahal kehilangan traumatis inilah yang menjelaskan bahwa subjek berada pada tatanan yang Real. Dari trinitas tersebut, Žižek melihat bahwa subjek pernah mendiami kondisi ex nihilo, yang secara tidak langsung menjelaskan mengenai tidak adanya suatu ideologi yang mempengaruhinya, mendorongnya, atau bahkan menenggelamkannya. Momen inilah yang menjelaskan bagaimana suatu keadaan murni subjek tanpa menyerahkan substansi yang dimilikinya, serta keadaan/momen kekosongan yang membuat subjek hidup, bebas, tanpa eksterioritas yang mengekor. Dari sini, subjek radikal Žižek dapat dirumuskan ketika subjek melepaskan yang Simbolik untuk menuju yang Nyata (the Real—berakhir pada tatanan Simbolik yang baru) sehingga radikalisasi ini bersifat aktif (action) bukan hanya melakukan (doing) yang berarti rantai simbolik, apalagi pasif dan hanya menerima. Žižek juga melihat bahwa penting untuk mempertimbangkan kembali Cogito-nya Descartes dengan cara yang berbeda, memisahkan kesadaran dan pikiran karena kesadaran (sering) menipu (berkaitan dengan ideologi), juga berbagai gagasan dari idealisme Jerman seperti Kant dan Schelling (berhubungan dengan poin-poin berikutnya).
1.5.2 Tindakan Radikal Momentum. Hal yang harus ditekankan di sini adalah bahwa tindakan radikal subjek (seharusnya) bersifat momentum, bukan proses karena proses melibatkan rencana, maksud, tujuan, kesengajaan, dan lain sebagainya. Momentum di sini bersifat kehadiran dari sebuah ledakan ex nihilo yang tak terduga dan tanpa tujuan (goal)
46 namun bukan berarti menyasar tanpa arah, dan oleh karena itu Žižek melihat tindakan ini sebagai sebuah arah (aim) tanpa tujuan tertentu/ditentukan (goal). Tindakan di sini, terkategorisasi menjadi radikal dikarenakan kontingensi yang menstimulasikan aktifasi tindakan tersebut berada melampaui yang Simbolik, tatanan sosial, tatanan ‗ideologis‘, dan lain sebagainya, sehingga hal ini seperti melepaskan diri dari segala moralitas yang konstruktif dan oleh karena itu tindakan ini lebih korelatif dengan etika. Dari sini, Žižek mulai memasuki ranah Kant, mengenai moral dan nilai-nilai otentisnya. Bagi Žižek, Kant memisahkan tindakan menjadi dua prioritas, (1) tindakan in accordance with duty; tindakan ini dilakukan atas dasar korporasi dengan entitas lain seperti kepentingan, kebanggaan, maksud lain, dan lain sebagainya, dan (2) tindakan from duty; tindakan yang dilakukan atas dasar tindakan itu sendiri yang berarti ‗a purposeless act‘, ‗essentially a by-product of itself‘, dan tindakan ‗in-itself‘.50 ―An act done from duty derives its moral worth, not from the purpose which is to be attained by it, but from the maxim by which it is determined. Therefore the act does not depend on the realization of its objective, but merely on the principle of volition by which the act has taken place, without regard to any object of desire. It is clear from what precedes that the purposes which we may have in view for our acts, or their effects as regarded as ends and impulsions of the will, cannot give to actions any unconditional or moral worth.‖51
Korelasi antara tindakan from duty dengan tindakan radikal terletak pada kekuatan kernel dasar dari subjek yang tidak memiliki maksud (purpose/goal) yang mengimplikasikan bahwa subjek berada dalam momen kosong tanpa pengaruh dan tanpa tujuan mempengaruhi. Kekosongan inilah yang bagi Žižek merupakan keadaan ex nihilo subjek, tidak ada ideologi yang ada dibaliknya, tidak ada yang Simbolik di
50
Lihat Žižek, Slavoj. 1992b. Everything You Always Wanted to Know about Lacan (But Were Afraid to Ask Hitchcock). London & New York: Verso., hlm. 90—1. 51 Carl J. Friedrich (ed.). 1949. Metaphysical Foundation of Morals, dalam Immanuel Kant's Moral and Political Writings. New York: Random House., hlm. 147.
47
dalamnya. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, bahwa internalisasi ideologi terjadi secara bersamaan ketika subjek masuk pada tatatan Simbolik, interpelasi ini kemudian menaturalisasi dalam diri subjek, sehingga pada dasarnya subjek selalu memiliki abstraksi terhadap sesuatu yang menunjukkan bahwa abstraksi tersebut sangatlah ideologis, terutama jika dikaitkan dengan nilai-nilai atau moralitas. Moral selalu identik dengan nilai suatu sikap; baik (good) dan buruk (evil). Pada domain ini, Žižek melihat sifat paradoksal dari nilai antara good dan evil karena kecenderungan tindakan radikal selalu diasosiasikan dengan tindakan kejahatan (dari sini Žižek menyisipkan gagasan Kant dan Schelling mengenai moralitas ini). Žižek menekankan paradoks ini pada persimpangan antara kebebasan dengan kejahatan (evil); pada dasarnya, moral adalah nilai simbolis, suatu nilai yang dijahitkan pada subjek sebelum subjek menyadari signifikansi dari moral tersebut. Sebelum menjadi subjek, subjek secara genealogis adalah ego atau individu, yang berarti sendiri, kemudian tatanan sosial, bahasa, dan lain sebagainya menundukkan ego yang bebas tersebut dengan tujuan agar individu menjadi subjek hanya agar individu masuk ke dalam tatanan sosial atau yang Simbolik. Penundukan ini bersifat tumpang tindih, antara siapa yang membutuhkan siapa (Che Vuoi?). Dengan begitu, moralitas di sini sebenarnya berkaitan dengan tatanan Simbolik yang menundukkan ego subjek (pre-symbolical) yang secara otentis memiliki kebebasan, namun kebebasan ini dianggap sebagai sesuatu yang buruk atau kejahatan, seperti seorang bocah yang tumbuh dewasa namun masih ingin menyusu kepada ibunya (sebagai catatan, ego selalu terkait dengan pleasure principle) dan dia akan mendapatkan semacam ‗tanggung jawab‘ akan kesalahan karena ingin menyusu ke ibunya. Dengan kata lain, ―Evil is always experienced as something pertaining to
48 a free choice, to a decision for which the subject has to assume all responsibility.‖52 Kebebasan di sini yang kemudian diasosiakan dengan kejahatan brutal, ‗ngawur‘, anarkis, dan amoral, padahal nilai good dan evil tersebut terletak pada pilihan yang bersifat tidak sadar (unconscious choice) sehingga subjek harus mengikis kebebasannya hanya untuk masuk dalam tatanan Simbolik. Dari sini, Žižek menubuhkan gagasan Kant tersebut dengan sintesa Schelling dalam bukunya yang berjudul Treatise on Human Freedom (1809), bahwa; ―Freedom is posited as the cause of Evil—that is, Evil results from a free choice of the subject, from his decision for it. If, however, freedom is the cause of Evil, […] The only possible solution is to presuppose some fundamental choice preceding our conscious choices and decisions—in other words, some unconscious choice. […] sometimes we feel responsible for a thing without any conscious decision on our part; we feel sinful without having effectively sinned; we feel guilty without accomplishing the act. This sentiment is, of course, the so-called sentiment of ‗irrational‘, unfounded guilt, well known in psychoanalysis: the ‗excessive‘, ‗inexplicable‘ guilt which masks the psychic reality of an unconscious desire.‖53
Kebebasan subjek diendapkan dalam kaitannya terhadap tindakan-tindakan yang melampaui moralitas simbolik dan oleh karena itu selalu ‗diposisikan‘ (dalam artian ‗dianggap‘) sebagai suatu kejahatan (evil), menumbuhkan semacam sentimen pada diri subjek sehingga subjek merasa bersalah, bertanggung jawab atas ‗dosa‘ yang sebenarnya hanya simbolisasi, tidak rasional, dan mengada-ada (seperti perasaan bersalah meskipun tidak merasa telah melakukan kesalahan atau perasaan berdosa meskipun tidak merasa melakukan dosa, dan lain sebagainya). Dari sini, Schelling melihat bahwa subjek seharusnya menekankan kembali pada pilihan dasar (fundamental choice/unconscious choice) yang mendahului pilihan serta keputusan yang berada dalam naungan kesadaran. Dengan kata lain, subjek keluar dari Simbolik menuju the Real yang menggaransinya untuk berada
52 53
Op.cit., Žižek, 1989 (2009)., hlm. 189. Ibid., hlm. 188—9.
49
pada momentum imajiner dan disebut sebagai subjek psychotic, idiosyncrasy, atau bahkan misanthropic karena ‗dianggap‘ keluar dari tatanan ‗normalisasi‘ simbolik yang diasosiasikan oleh Laclau & Mouffe sebagai ‗antagonisme‘54 dan yang Giorgio Agamben sebut sebagai Homo Sacer (The Sacred Man)55 serta yang Alain Badiou sebut sebagai Event56. Asumsi dasar tindakan radikal dapat dilihat dari bagaimana pemisahan subjek dengan eksterioritas yang ada di sekitarnya, sehingga momen ini dapat dikatakan sebagai momen kekosongan. Tindakan radikal bukan negatifitas yang membawa kesadaran sendiri, melainkan kekosongan aktif untuk keluar dari interpelasi eksterioritas bahkan kesadarannya, karena itu penting untuk melihat kembali Cogito (memisahkan kesadaran dengan berpikir) dengan cara yang berbeda, 54
―[…] antagonisms are not objective relations, but relations which reveal the limits of all objectivity. Society is constituted around these limits, and they are antagonistic limits. And the notion of antagonistic limit has to be conceived literally - that is to say, there is no 'cunning of reason' which would realize itself through antagonistic relations. Nor is there any kind of supergame that would submit antagonisms to its system of rules. This is why we conceive of the political not as a superstructure but as having the status of an ontology of the social.‖ Laclau, Ernesto & Chantal Mouffe. 2001 (1985). Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics (edisi ke-2). London & New York: Verso., hlm. xiv. Bdk. Op.cit., Žižek, 1989 (2009)., hlm. 181—5, ‗Antagonism as Real‘ dan hlm. 202—6, ‗Subject as an ‗answer of the Real‘. 55 Seseorang yang dapat dibunuh, namun tidak dapat dikorbankan (‗Life that cannot be sacrificed and yet may be killed is sacred Life‘). Agamben, Giorgio. 1998. Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life (Terj. Daniel Heller-Roazen). Stanford: Stanford University Press., hlm. 82. Maksud dari kata ‗dikorbankan‘ di sini mengacu pada hukum (tatanan) penguasa yang merupakan ―[…] the sphere in which it is permitted to kill without committing homicide and without celebrating a sacrifice, and sacred life—that is, life that may be killed but not sacrificed—is the life that has been captured in this sphere.‖ Ibid., hlm. 83. ‗Hak‘ istimewa ini, yang dimiliki homo sacer ini, diambil dari mitos Romawi kuno, yang ditulis oleh Pompeius Festus dalam risalahnya yang berjudul ‗On the Significance of Words‘, pasca penentuan ‗Sacred Mount‘ yang dipersembahkan pada Jove (Jupiter), bahwa ―The sacred man is the one whom the people have judged on account of a crime. It is not permitted to sacrifice this man, yet he who kills him will not be condemned for homicide; in the first tribunitian law, in fact, it is noted that ‗if someone kills the one who is sacred according to the plebiscite, it will not be considered homicide‘. This is why it is customary for a bad or impure man to be called sacred.‖ Ibid., hlm. 71. Bdk. Murray, Alex & Jessica Whyte. 2011. The Agamben Dictionary. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd., hlm. 94—6. 56 Bagi Badiou, pengertian mengenai ‗pure Event‘ tidak berada pada kondisi ‗ilmiahnya‘, melainkan pada kondisi ‗artistiknya‘ yang kehadirannya berasal dari kekosongan dan ledakan ekspresi. Hal ini yang Badiou anlogikan dengan puisi ‗Throw of the Dice‘ karya Mallarmé yang menunjukkan bahwa Event tidak hadir melalui sesuatu yang dipikirkan, melainkan sesuatu yang dilemparkan, atau Event itu sendiri; ―the event in question [...] is that of the production of an absolute symbol of the event,‖ the stakes of the eponymous dice throw being precisely that of ―making an event out of the thought of an event.‖ Badiou, Alain. 2005. Being and Event (Terj. Oliver Feltham). London: Continuum., hlm. 193. Dari event ini, sebuah kebenaran terungkap, ―The origin of a truth is of the order of the event.‖ Lihat Badiou, Alain. 1999. Manifesto for Philosophy (Terj. Norman Madarasz). Albany: State University of New York Press., hlm. 36.
50 ―The point, of course, is not to return to the cogito in the guise in which this notion has dominated modern thought (the self transparent thinking subject) , but to bring to light its forgotten obverse, the excessive, unacknowledged kernel of the cogito, which is far from the pacifying image of the transparent Self.‖57
Dengan melihat kembali subjek dengan lebih ‗esensial‘ serta membuat subjek berani untuk menghadapi terror horor dari ketakutannya akan kehilangan traumatis serta kenistaan The Big Other, maka hal tersebut justru membuat subjek berada dalam tatanan the Real secara momentum. Hal ini juga yang menghindarkan subjek dari trik ideologi saat ini yaitu mengenai ‗realitas‘ yang disembunyikan yang justru hadir, namun subjek menutupinya seolah-olah tidak (ingin) mengetahui ‗realitas‘ tersebut, dan inilah apa yang dinamakan sebagai cynicism.
1.5.3 Naïve Consciousness & Cynicism Frase terkenal mengenai definisi dari ideologi dalam tradisi Marxis adalah ―sie wissen das nicht, aber sie tun es (they do not know it, but they are doing it)‖58 yang menjelaskan
bagaimana
kesadaran
palsu
terbentuk
dan
hal
inilah
yang
mengimplikasikan adanya ‗constitutive naiveté‘. ‗Mereka tidak mengetahui, tetapi mereka melakukannya‘ merupakan sebuah kondisi yang menggambarakan bahwa realitas yang sebenarnya mengalami pendistorsian, pengaburan serta mistifikasi sehingga yang disadari adalah sebuah ilusi, kesadaran yang ilusif dan palsu. Oleh karena itu, Žižek melihat bahwa ‗naïve consciousness‘ dapat dilihat sebagai suatu prosedur kritik atas ideologi yang symptomatic. Pada momen ini, permasalahan mengenai pemalsuan kesadaran terletak pada tahap abstraksi subjek terhadap apa yang dia ketahui (knowing), sehingga yang ilusi
57
Žižek, Slavoj. 1999. The Ticklish Subject: The Absent Center of Political Ontology. London: Verso., hlm. 2. 58 Op. cit., Žižek, 1989 (2009)., hlm. 24 dan Žižek, Slavoj (ed.). 1994a. Mapping Ideology. London & New York: Verso., hlm. 312.
51
terisolasikan pada apa yang diketahui subjek yang berasal dari kesadaran terhadap realitas yang tidak dia ketahui. Kesadaran inilah yang kemudian menyembunyikan realitas yang tidak nampak dan inilah cara kerja ideologi (Marxis) bekerja bahwa yang sebenarnya adalah apa yang dibaliknya, bukan apa yang nampak, sehingga untuk mendeteksi atau melakukan kritik terhadap ideologi adalah dengan menelusuri gejala-gejalanya. ―[…] the ‗symptom‘ is, strictly speaking, a particular element which subverts its own universal foundation, a species subverting its own genus. In this sense, […] the elementary Marxian procedure of ‗criticism of ideology‘ is already ‗symptomatic‘: it consists in detecting a point of breakdown heterogenous to a given ideological field and at the same time necessary for that field to achieve its closure, its accomplished form. […] every ideological Universal—for example freedom, equality—is ‗false‘ in so far as it necessarily includes a specific case which breaks its unity, lays open its falsity.‖59
Hal yang mungkin penting untuk dileburkan di sini adalah bahwa, Marx menolak untuk mengkategorikan ‗commodity fetishism‘ sebagai ideologi karena bagi Marx, ideologi selalu mengenai penguasa (State) dan Engels menambahkan bahwa penguasalah (State) yang merupakan pusat dari serangan ideologi yang paling awal, sedangkan Althusser menambahkan bahwa materialisasi ideologi tersebut dilakukan melalui Ideology State Apparatus (ISA) yang eksistensinya juga tumbuh sejauh masyarakat diregulasi oleh penguasa (State).60 Hal yang dapat dilihat sebagai titik tolak di sini adalah bahwa subjek tidak menyadari bahwa mereka di hidup di bawah sebuah kepentingan, sebuah sistem yang besar, dan sebuah ‗organisme raksasa‘ yang menggerogoti diri mereka, untuk itulah class struggle dihadirkan oleh Marx sebagai upaya untuk menyadarkan kembali dari hipnotis ideologi penguasa. Hal yang menarik adalah bahwa Althusser-lah yang mulai ‗melukai‘ atau melubangi class struggle ini. Seperti yang diketahui, Žižek melihat bahwa 59 60
Ibid. Žižek, 1989 (2009)., hlm. 16. Lihat Žižek (ed.), 1994a., hlm. 19.
52
materialisasi ideologi, interpelasi terhadap subjek, adalah ketika subjek memasuki tatanan Simbolik, sehingga apa yang selalu dilakukan subjek selalu ideologis. Jika, perjuangan kelas (class struggle) dianggap sebagai yang Real, yang lepas dari yang Simbolik, maka perjuangan kelas adalah tindakan yang mustahil karena yang Real tidak pernah dapat dipenuhi, bahkan tidak (benar-benar) ada, dalam artian dihadirkan dengan suatu tujuan simbolis. Dengan kata lain, perjuangan kelas adalah tatanan Simbolik sejauh perlawanan terhadap ideologi (Borjuis, Kapitalisme, dll) dihadirkan dengan atau melalui ideologi (sosialisme, komunisme, dll); ―ideology is always, by definition, ideology of ideology.‖61 Apa yang dianggap Marx sebagai kebenaran dari perjuangan kelas melalui prinsip yang ‗mentotalisasi‘ masyarakat (realitas yang disembunyikan) sebenarnya merupakan realitas yang tidak ada atau realitas yang tidak pernah hadir in-itself, ―[…] it is always-already symbolized, constituted, structured by symbolic mechanism—and the problem resides in the fact that symbolization ultimately always fails, that it never succeeds in fully ‗covering‘ the real, that it always involves some unsettled, unredeemed symbolic debt. This real (the part of reality that remains nonsymbolized) returns in the guise of spectral apparations. […] reality is never directly ‗itself‘, it presents itself only via incomplete-failed symbolization, and spectral 62 apparitions emerge in the very gap that forever separates reality from the real […]. ‖
Melihat hal tersebut, maka perjuangan kelas hanya hadir sebagai yang Simbolik menjadi semacam partisi dari yang Real yang disimbolisasi. Sederhananya, perjuangan kelas sebenarnya adalah yang Real, suatu ranah yang abstrak dan tidak 61
Ibid., hlm. 19. Žižek juga menambahkan bahwa ―there is no ideology that does not assert itself by means of deliminating itself from another ‗mere ideology‘. An individual subjected to ideology can never say for himself ‗I am in ideology, he always requires another corpus of doxa in order to distinguish his own ‗true‘ position from it.‖ Hlm. 19—20. Doxa sendiri adalah ―a set of fundamental beliefs which does not even need to be asserted in the form of an explicit, self-conscious dogma.‖ Bourdieu, Pierre. 2000 (1997). Pascalian Meditations (Terj. R. Nice). Cambridge: Polity., hlm. 16. Dengan kata lain, Doxa merupakan kepercayaan yang menghasilkan kebiasaan serta gagasan umum yang tidak memiliki kebenaran yang pasti dan tertentu, dan hanya disandarkan pada indrawi yang berubah. Oleh karena itu, Doxa justru cenderung mendukung suatu pengaturan sosial, melegitimasikan pihak yang dominan, dan menganggap kekuatan yang dominan tersebut sebagai sesuatu yang terbukti dengan sendirinya (self-evident) sehingga lebih disukai secara universal (universally favorable). 62 Op.cit., Žižek (ed.), 1994a., hlm. 19.
53
terjelaskan, namun kehadirannya hanya disimbolisasikan (dorongan dari eksternal dan mempunyai tujuan tertentu) yang menandakan terpisahnya ‗realitas‘ tersebut dengan ‗realitas dari yang Real.63 Dari sini dapat dilihat, bagaimana ‗trik‘ ideologi bekerja, tidak hanya mendistorsi atau memistifikasikan antara ilusi dan yang ‗realitas‘, namun justru menghadirkan ‗realitas‘ itu sendiri sebagai yang ilusi sehingga abstraksi subjek terhadap realitas sendiri sebenarnya sudah ilusif pada pola berpikir mereka terhadap/bahkan pada ‗realitas‘ itu sendiri sejauh realitas itu dihadirkan secara sadar (ilusif). Dengan kata lain, ‗realitas‘ (dalam Marxis) yang dimistifikasikan, sekarang justru hadir secara telanjang dan subjek justru ‗sinis‘ terhadap ketelanjangan ‗realitas‘ tersebut. Dalam bukunya yang berjudul Critique of Cynical Reason, Peter Sloterdijk, memformulasikan bahwa ideologi saat ini bekerja dengan cara sinisme; subjek yang sinis (cynical subject) adalah subjek yang sadar akan jarak yang memisahkan antara topeng ideologi dan realitas sosial, namun dia tetap saja ‗bersembunyi‘ dibalik topeng tersebut. Dengan kata lain, premis mengenai ‗they do not know, (but) what they are doing‘ bergeser menjadi ‗they know very well what they are doing, but still, they are doing it,‘64 yang berarti bahwa mereka mengetahui ada realitas yang tersembunyi, namun mereka mengacuhkannya ‗seolah-olah‘ tidak mengetahuinya. Dengan kata lain, permasalahannya terletak pada apa yang dilakukan (doing) yang mengindikasikan bahwa subjek melakukan sesuatu yang berlawanan dengan apa
63
Bandingkan ketika Žižek mencontohkannya dengan kasus Revolusi Perancis di akhir abad XVIII sebagai ex nihilo, yang tak terhitung, dan tak terprediksikan, diledakkan atas dasar ‗kemuakan‘ dan tanpa terencana, tanpa mempengaruhi dan dipengaruhi. Inilah perjuangan kelas sebagai Real yang menunjukkan adanya momen kekosongan dalam diri subjek, semacam ‗kemarahan‘ atas yang Simbolik yang mencengkram subjek. Lihat op.cit., Žižek, 1999., hlm. 130. 64 Ibid., Žižek (ed.), 1994a., hlm. 25.
54
yang diketahui. Apa yang diketahui justru ditutupi sehingga subjek tidak mengetahui apa yang diketahui dengan tetap melakukannya. Penalaran sinisme tidak lagi naïf, melainkan paradoks yang mengimplikasikan adanya reproduksi ilusi yang dilakukan yang juga menunjukkan bahwa subjek sebenarnya tidak memiliki kesiapan untuk melihat realitas yang telanjang, sehingga subjek menutupinya seolah-olah mereka tidak mengetahuinya; ―Most people are terrified when they encounter freedom, like when they encounter magic, anything inexplicable, especially the world of spirits.‖65 Hal ini secara otomatis ditutup karena yang Real tidak akan hadir dalam keadaan utuh, hanya simbolisasinya saja yang dapat ditangkap dan ketidakhadiran yang Real ini dikarenakan subjek masih bernostalgia dengan pencarian abadi the Big Other. Dengan begitu, ambil contoh ‗Freedom‘, dia (sebagai the Big Other) tidak pernah ada karena ‗Freedom‘ selalu dijahit oleh penanda lain, diperangkap oleh kuasa penanda, yang mengakibatkan reduksi anonimusnya. Jika ‗Freedom‘ (sebagai the Real) menampakkan diri sementara subjek berada pada tatanan Simbolik (penjahitan the Big Other), maka hal ini akan menjadi sebuah momen yang mengerikan untuk dijumpai bagi subjek sehingga subjek menutupinya dan mengabaikannya seolah-olah mereka tidak mengetahuinya. Žižek menegaskan bahwa cynicism harus dibedakan dengan kynicism karena kynicism mewakili budaya populer, penolakan kampungan melalui ironi dan sarkasme. Kynical klasik melakukan prosesnya dengan cara melawan ideologi yang berkuasa—hadir dalam frasa-frasa menyedikan—dengan nada serius, serta banalitas dan ejekan. Dengan kata lain, kynicism mengekspos sifat egoisme dari kaum kelas 65
Schelling, F. W. J. 1956—61. Clara dalam Samtliche Werke IX. Stuttgart: Cotta., hlm. 39 melaui op.cit., Žižek (ed.), 1994a., hlm. 27.
55
atas, baik kekerasan yang dilakukan ataupun kebrutalan kekuasaan yang diendapkan, dengan cara menghajar balik melalui ‗kepentingannya‘ sendiri. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa kynicism lebih bersifat pragmatis daripada argumentatif. Sifat pragmatis di sini lebih mengacu pada ‗doing‘ daripada ‗action‘ karena sebuah prosedur yang direncanakan dan dicanangkan tujuannya sedangkan ‗action‘ bersifat ‗purposeless‘. Dari sini, cynicism hadir jawaban dari budaya penguasa ‗versi‘ kynical yang subversif ini. Cynicism mengakui, memperhitungkan, serta melihat bahwa ada suatu kepentingan tertentu di balik universalitas ideologis yang tersebar dalam semesta realitas ini, mampu menekan titik perpisahan atau jarak antara topeng ideologis (ilusi) dan ‗realitas‘ (sosial), namun tetap saja, Cynicism masih menemukan alasan untuk mempertahankan suatu topeng, seolah-olah hal tersebut bukan hal yang serius untuk direspon atau diserang. Jika dilihat dari posisinya, dengan menegasikan diri, Cynicism
seolah-olah
nampak
‗amoral‘
(seperti
tindakan
radikal)
namun
kenyataannya, Cynicism justru lebih seperti moralitas itu sendiri yang dijejalkan ke dalam domain amoralitas. Pola yang digunakan oleh Cynicism ini sebenarnya adalah dengan hadir (seolah-olah) sebagai suatu kejujuran tanpa indikasi yang menjelaskan suatu integritas murni atau semacam kekuatan oposisi yang otentis atas ketidakjujuran dan moral yang korup dengan menggunakan kebenaran sebagai bentuk kebohongan yang paling efektif. Subjek-subjek yang seperti inilah yang bagi Žižek disebut sebagai Homo Sucker; ―Homo sucker […] tries to exploit and manipulate others, he ends up being the ultimate sucker himself. When we think we are making fun of the ruling
56 ideology, we are merely strengthening its hold over us.‖66 Dengan kata lain, Cynicism ini adalah semacam ‗negasi dari negasi‘ yang sesat terhadap ideologi karena mereka menyembunyikan topeng ideologinya sendiri atau dengan istilah yang lebih sederhana; sikap apatis yang bertopeng dengan menjilat pada penguasa yang disuarakan sebagai oposisi. ―Cynicism is the answer of the ruling culture to this kynical subversion: it recognizes, it takes into account, the particular interest behind the ideological universality, the distance between the ideological mask and the reality, but it still finds reasons to retain the mask. This cynicism is not a direct position of immorality, it is more like morality itself put in the service of immorality - the model of cynical wisdom is to conceive probity, integrity, as a supreme form of dishonesty, and morals as a supreme form of profligacy, the truth as the most effective form of a lie. This cynicism is therefore a 67 kind of perverted 'negation of the negation' of the official ideology.‖
Sumber informasi yang tersebar bebas, berterbangan di mana-mana dan lantas membuat ‗realitas‘ semakin terbuka, telanjang, serta tanpa ‗ilusi‘ namun justru inilah ‗trik‘ dari ideologi saat ini, memalsukan realitas dan dengan begitu mendistorsi jarak antara yang ilusi dan nyata, sehingga subjek sinis terhadap ‗realitas‘ yang hadir tersebut. Analoginya, ketika seorang laki-laki diberi tahu temannya bahwa istrinya sedang berselingkuh, maka laki-laki tersebut berkilah bahwa dia seorang toleran, demokrasi, dan lain sebagainya. Dia mengabaikannya meskipun dia mengetahuinya. Akan tetapi, ketika temannya datang lagi dan membawa video serta foto istrinya sedang (maaf) bersenggama dengan laki-laki lain, maka laki-laki tersebut kemudian meledak-meledak.68 Anekdot tersebut mungkin hanya sedikit dari gambaran bagaimana apa yang diketahui, justru diabaikan (saya mengetahui akan ada katastropi, saya mengetahui pemerintah itu korup, saya mengetahui demokrasi itu utopis … tapi tetap saja …) 66
Žižek, Slavoj. 2002. Welcome to the Desert of the Real! Five Essays on September 11 and Related Dates. London & New York: Verso., hlm. 71. 67 Op.cit. Žižek, 1989 (2009)., hlm. 26. 68 Bdk. Žižek, Slavoj. 1997b (2008). The Plague of Fantasies. London & New York: Verso., hlm. xxiii.
57
seolah-olah itu bukan hal yang serius atau sebagainya. Subjek sebenarnya tidak mendapatkan pengetahuan baru, pengetahuan mengenai ‗realitas‘ (istri yang sedang bercinta dengan laki-laki lain) sudah ada dalam abstraksi pikiran subjek, namun didistorsi seiring kegagalan subjek untuk ‗menerima‘ kehadiran yang Real (ketika istrinya melakukan pertukaran cairan dengan laki-laki lain). Dari sini, dapat dikatakan dengan singkat, bahwa Cynicism dapat dianggap sebagai proses pendistorsian ‗realitas‘ yang hadir dan menghanyutkannya dalam ‗ilusi‘, dan inilah cara ideologi bergerak pada saat ini; dengan menelanjangi apa yang ideologi sembunyikan dan menutupinya seolah-olah itu bukan hal yang serius. Permasalahan kemudian bergeser, dari ‗apa yang (tidak) diketahui‘ menuju ‗(mengapa) masih saja melakukannya‘/‘apa yang dilakukan‘, sehingga prosedur kritik terhadap ideologi tidak lagi symptomatic (melihat gejala-gejala), melaikan melintasi fantasi (traversing the fantasy) sebagai penelusuran hasrat cynical subject. 1.5.4 Fantasi Ideologis Kaitan antara psikoanalisis dengan kritik sosial Marxis sebenarnya sudah mengakar sedari awal karena Marx memang ‗setia‘ dengan sisi Freudian-nya untuk mengkorosi masalah-masalah sosial. Seperti yang sudah disinggung, pergeseran dari proposisi kesadaran naïf mengenai ‗mereka tidak mengetahui, apa yang mereka lakukan‘ menjadi
kesadaran
sinis
mengenai
‗mereka
mengetahui,
tapi
tetap
saja
melakukannya‘ mengindikasikan bahwa permasalahan subjek saat ini bukan hanya ada pada apa domain ‗mengetahui‘ namun juga ada pada domain ‗melakukan‘. Hal ini dikarenakan ‗realitas‘ yang mereka ketahui merupakan yang Real yang kehadirannya justru dialihkan oleh subjek agar subjek tidak terjerembab pada
58 ‗kehilangan traumatis‘ ketika subjek tidak dapat mengisi Che Vuoi?/panggilan the Big Other atau berhenti memenuhi panggilan the Big Other. Apa yang dapat dikatakan di sini adalah bahwa, ada semacam formasi yang membuat subjek untuk mengikuti arus the Big Other yang juga berfungsi membuat subjek tidak tersesat dan membuat subjek tetap berhasrat meskipun tidak dapat memenuhi the Big Other. Formasi inilah yang menjelaskan bagaimana fantasi bekerja; fantasi adalah penyedia jawaban atas Che Vuoi? atau semacam usaha untuk memangkas jarak antara pertanyaan ‗the (Big) Other‘ dengan jawabannya agar ‗the (Big) Other‘ tidak lagi anonimus dan yang Real tidak benar-benar hadir/terbuka. ―[…] fantasy is an answer to this ‗che vuoi?‘; it is an attempt to fill out the gap of the question with an answer. […] fantasy functions as a construction, as an imaginary scenario filling out the void, the opening of the desire of the Other. By giving us a definite answer to the question ‗What does the Other want?‘, it enables us to evade the unbearable deadlock in which the Other wants something from us, but we are at the same time incapable of translating this desire of the Other into a positive interpellation, into a mandate with which to identify.‖69
Pemangkasan jarak di sini tidak dapat dikatakan sebagai pemangkasan dari segi totalitasnya, melainkan sebagai penyokong agar subjek menghindari pembukaan hasrat the Other (the Other di sini mengacu pada lack in the Other). Oleh karena itu, fantasi adalah semacam skema atau ‗strategi‘ agar subjek tidak terpeleset jatuh ke dalam ngarai tak berdasar the Big Other; fantasi ―is not the object of desire, but its setting‖70—mise-en-scène—yang
mengkonstitusi
ruang
pada
saat
momen
kekosongan atas kegagalan untuk memenuhi the Big Other, sementara ruang tersebut berfungsi sebagai ―an empty surface, as a kind of screen for the projection of desires‖.71 Fantasi selalu berkaitan dengan momen awal kebangkitan suatu hasrat, 69
Op. cit., Žižek, 1989 (2009)., hlm. 128. Laplanche, J. & Pontalis, J. B. 1968 (1986). Fantasy and the Origins of Sexuality dalam Formations of Fantasy (Diedit oleh V. Burgin, J. Donald & C. Kaplan). London: Routledge., hlm. 26. 71 Žižek, Slavoj. 1991b. Looking Awry: An Introduction to Jacques Lacan through Popular Culture. Cambridge: The MIT Press., hlm. 8. 70
59
sedangkan hasrat tidak memiliki objek dalam artian objek tidak berada pada hasrat karena hasrat selalu hasrat akan sesuatu yang hilang dan karenanya dia selalu terlibat dalam pencarian konstan pada objek yang hilang tersebut dan objek itu berada dalam ngarai misterius antara the Big Other dan the Other. Obyek tersebut kemudian hadir melalui semblance, yang Simbolik, atau apa yang disebut sebagai object (petit) a yang merupakan sisa-sisa dari proses konstitusi sebuah objek, sisa-sisa yang mencoba untuk menghindari cengkraman simbolisasi; ―Object (a) is the leftover of that process of constituting an object; the scrap that evades the grasp of symbolization.‖72 Hal yang sangat penting untuk dipenetrasi di sini adalah bahwa object (petit) a/object cause of desire juga bukanlah objek itu sendiri melainkan fungsi dari penutupan lack in the Other.73 Melihat sifat otomatis ini, maka kehadiran the Big Other melalui point de capiton menjelaskan bagaimana proses menuju tatanan Real akan selalu dihindari dan subjek akan selalu menemukan jawaban atas kegagalan untuk menjumpai the Big Other yang sebenarnya mereka hasrati. Dengan kata lain, permasalahan ideologi pada saat ini adalah mengenai subjek yang mengetahui ‗realitas‘ yang sebenarnya namun tidak mempedulikannya dan hal ini sebenarnya menggambarkan cara ‗fantasi ideologis‘ yang membuat subjek dapat menjawab pertanyaan dari Che Vuoi? dengan bertingkah ‗seolah-olah‘ tidak mengetahui ‗realitas‘ yang secara telanjang dengan tetap melakukannya. Sekali lagi, apa yang mereka ketahui saat ini adalah ‗realitas‘
72
Fink, Bruce. 1995. The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance. Princeton: Princeton University Press., hlm. 94. 73 Adams, Parveen. 1996. Operation Orlan dalam The Emptiness of the Image: Psychoanalysis and Sexual Differences. London & New York: Routledge., hlm. 151. ―(T)he object is not part of the signifying chain; it is a ‗hole‘ in that chain. It is a hole in the field of representation, but it does not simply ruin representation. It mends it as it ruins it. It both produces a hole and is what comes to the place of lack to cover it over.‖
60 yang sebenarnya namun ‗realitas‘ tersebut dimistifikasikan seolah-olah ‗realitas‘ itulah yang ilusif, dengan begitu subjek masih ‗setia‘ untuk melakukannya. ―[…] the illusion is not on the side of knowledge, it is already on the side of reality itself, of what the people are doing. What they do not know is that their social reality itself, their activity, is guided by an illusion, by a fetishistic inversion. What they overlook, what they misrecognize, is not the reality but the illusion which is structuring their reality, their real social activity. They know very well how things really are, but still they are doing it as if they did not know. The illusion is therefore double: it consists in overlooking the illusion which is structuring our real, effective relationship to reality. And this overlooked, unconscious illusion is what may be 74 called the ideological fantasy.‖
Melihat hal ini, nampak bahwa ‗fantasi ideologis‘ menyelamatkan subjek (sosial) dari ‗trauma‘ sosial75 dan di sanalah letak ideologi sinisme bersemayam sementara ‗realitas‘ yang hadir itu harus selalu diisolasi, ditudungi, dan disembunyikan
(kembali).
Jarak
antara
‗realitas‘
dan
‗ilusi‘
dikaburkan,
menampilkan ‗realitas‘ yang sebenarnya dalam keadaan telanjang namun justru telanjangnya ‗realitas‘ inilah yang dihindari oleh subjek/sosial karena akan membawa mereka (subjek/sosial) pada traumatis-traumatis sebagai dampak dari hangusnya the Big Other yang membawa mereka pada tatanan Real yang tidak terbahasakan (tidak dapat dimengerti). Dengan kata lain, yang ideologis (saat ini) justru adalah ‗realitas‘ sosial itu sendiri, serta kehadirannya yang mengimplikasikan ‗ketidaktahuan‘ dari subjek itu sendiri akan esensi mereka76 yang sebenarnya adalah momen kebiadaban, keliaran, barbarisme, konflik, kekacauan, atau bahkan permusuhan/antagonisme, namun itu semua direpresi agar sebuah masyarakat, semisal, dapat diklaim sebagai sebuah ‗Negara‘ (sebagai the Real—yang tentu saja 74
Op. cit., Žižek, 1989 (2009)., hlm. 29—30. Lihat op.cit., Homer, 2005., hlm. 113. ―The function of the social-ideological fantasy is to mask the trauma that society itself is constituted by this inherent lack. […] Žižek identifies this traumatic moment as the fundamental antagonism at the root of all societies.‖ Fungsi ideologi ini juga ―is not to offer us a point of escape from our reality but to offer us the social reality itself as an escape from some traumatic, real kernel‖. Op. cit., Žižek, 1989 (2009)., hlm. 45. 76 Bagi Žižek, yang ideologis saat ini adalah ―a social reality whose very existence implies the non-knowledge of its participants as to its essence‖. Ibid., Žižek, 1989 (2009)., hlm. 21. 75
61
konstruksi imajiner dari yang Simbolik) yang natural, bebas, berkembang, makmur, adil, toleran, demokrasi, damai, dan lain sebagainya padahal itu semua berangkat dari the Big Other yang berarti tidak ada dan yang tersisa hanyalah ilusi. Fantasi, pada akhirnya, mengatur dan mengkonstitusi hasrat sebagai respon jawaban atas the Big Other yang sekaligus merupakan penutupan atas yang Real atau ‗realitas‘ yang sebenarnya. Fantasi, dengan begitu mengajarkan subjek bagaimana untuk berhasrat karena perburuan akan apa yang mereka kejar hanya akan berakhir pada kehampaan. Berangkat dari poin tersebut, pengarang sebagai subjek, mengkonstitusi hasratnya sebagai upaya resistensi terhadap ideologi dan juga sebagai upaya ‗penelanjangan‘ realitas, serta menghadirkan yang Real yang dia simbolisasi (yang Simbolik), semakin yang Real itu teruraikan, semakin dalam pula yang Real tersebut terpendam dalam untuk digali sehingga membuat subjek semakin ‗curiga‘ untuk menggalinya yang tentu saja berakhir pada kenikmatan. Jika dilihat dalam perspektif yang lebih positif, maka simbolisasi tersebut justru memperlihatkan bagaimana pelintasan fantasi dapat menguraikan makna yang terlihat yang justru mengacaukan tatanan pemaknannya sehingga hal tersebut menjelaskan bahwa ―the text (bahasa) is clean, while, at another level, it bombards the spectator with the superego injunction, ‗Enjoy!‘ give way to your dirty imagination.‖77 Dengan melihat gejala-gejala serta bagaimana subjek terus terjebak dalam tatanan Simbolik, hal ini menjelaskan suatu kondisi ironis dan apa yang dapat disingkap adalah bahwa subjek itu tidak ada melainkan kegagalan dari proses representasi simboliknya (―the subject is nothing but the failure point of the process
77
Lihat Žižek, Slavoj. 2000c. The Art of The Ridiculous Sublime on David Lynch’s Lost Highway. Seattle: University of Washington Press., hlm. 10.
62 of his symbolic representation‖).78 Hal ini juga aplikatif dengan seorang pengarang yang merupakan struktur dari tatanan Simbolik yang dia uraikan dalam representasi simboliknya melalui karya; jika pengarang adalah subjek yang simbolik, maka untuk menjadikannya subjek yang otentis adalah dengan menguras seluruh representasi simbolisnya menjadi sebuah kekosongan. 1.5.5 Žižek dan Sastra: Tentang Gaze dalam Subjektifitas Žižek seringkali mengaplikasikan teorinya mengenai tindakan radikal dan cara kerja ideologi melalui film, seperti yang pernah dia sebutkan bahwa film menjadi daya tarik tersendiri baginya dan yang kedua adalah filsafat.79 Žižek mencontohkan aplikasi subjek radikalnya dalam dua film, General Della Rovere (mengisahkan tokoh Bertone yang menjadi orang lain, Jenderal Della Rovere) dan Year Zero (mengisahkan anak berumur sepuluh tahun, Edmund, yang membunuh ayahnya karena ayahnya tidak memiliki keinginan untuk hidup, setelah itu Edmund dialienasi oleh masyarakat dan dia bunuh diri).80 Akan tetapi, bukan berarti Žižek juga tak melirik sama sekali mengenai sastra. Dia sering kali menyebutkan problematisasi mengenai fiksi, atau bahkan langsung mengambil tokoh atau kisah dari novel-novel sebagai aplikasi gagasan-gagasannya, seperti dalam buku The Sublime Object of Ideology, Žižek, mengutip beberapa poin sebagai analisa seperti dalam novel The Name of the Rose karya Umberto Eco (hlm. 23), The Tum of the Screw karya Henry James (hlm. 23), atau dalam buku The Plague of Fantasies, Žižek mempraktikkan dialektika Kebenaran-nya Hegel dalam Pride and Prejudice karya Jane Austen (hlm,
78
Op. cit., Žižek, 1989 (2009)., hlm. 195. Ketertarikan Žižek sebenarnya ada pada film, dan filsafat adalah hal kedua terbaik bagi Žižek. Lihat Žižek, Slavoj & Glyn Dlyn. 2004. Conversation with Žižek. Cambridge: Polity Press., hlm. 23. 80 Lihat Žižek, Slavoj. 1992a. Enjoy Your Symptom! Jacques Lacan in Hollywood and Out. New York: Routledge., hlm. 33—6. 79
63
66—7), hasrat pada Hamlet karya William Shakespeare (hlm, 196), Wide Sargasso karya Jean Rhyse yang menceritakan ulang Jane Eyre karya Charlotte Bronte (hlm, 196), juga Antigone karya Sophocles (hlm, 130—31), dan masih banyak lagi. Dari sini dapat dilihat bahwa permasalahan antara sastra dan film seharusnya tidak lagi bersifat prosedural seperti perbedaan gambar dan kata, perbedaan visual dan verbal, atau sebagainya, melainkan harus ditekankan kembali pada aspek yang lebih utama, yaitu keduanya memiliki narasi dan narasi tersebut (terutama novel dan cerpen) selalu terikat pada kekuatan tokoh, ―In literature and film it is most important that the characters, the actions they perform, and the setting in which they perform the actions be truly believable within the scope created by the author.‖81 Sastra dan film selalu melibatkan karakter sementara karakter-karakter yang diciptakan melakukan suatu tindakan. Akan tetapi, karakter tersebut, bahkan tindakannya, akan selalu berada dalam lingkup pengarang. Jangkauan pengarang, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik fakta empirik maupun analisa spekulatif, selalu menghantui keberadaan tokoh, oleh karena itu, terkadang pengarang justru dapat menjadi objek penelitian dalam karya sastra dalam perspektif tertentu. Hal ini dipertegas dalam penelitian ini, bahwa pengarang selalu menata, mengatur, dan memperlihatkan bagaimana dia dan tokoh (dirinya yang bukan dirinya) sadar akan posisinya. ―[…] when I reconstruct my life in a narrative, I always do it within a certain intersubjective context, answering the Other‘s call-injunction, addressing the Other in a certain way. This background, including the (unconscious) motivations and libidinal investments of my narrative, cannot ever be rendered fully transparent within the narrative. To fully account for oneself in a symbolic narrative is a priori impossible; the Socratic injunction, ―know thyself,‖ is impossible to fulfill for a priori structural reasons. My very status as a subject depends on its links to the substantial Other: not 81
Ferrell, William K. 2000. Literature and Film as Modern Mythology. Santa Barbara: Greenwood Publishing Group., hlm. 32.
64
only the regulative-symbolic Other of the tradition in which I am embedded, but also the bodily-desiring substance of the Other, the fact that, in the core of my being, I am 82 irreducibly vulnerable, exposed to the Other(s).‖
Ketika subjek, sebagai pengarang, merekonstruksi kehidupannya dalam sebuah narasi, maka dia hanya akan dapat melakukannya dalam suatu konteks intersubjektif, dengan menjawab panggilan-perintah dari the Other, serta mengatasi the Other dengan cara tertentu yang tentunya tidak dapat dia totalisasikan seperti halnya ‗realitas‘ itu sendiri karena akan selalu bersentuhan dengan motivasi (tidak sadar) serta investasi narasi libidinal subjek. Oleh sebab itu, ‗realitas in-itself‘ tidak akan pernah terberikan sepenuhnya secara transparan dalam sebuah narasi. Hal yang penting adalah bahwa diri dalam suatu narasi simbolik adalah sebuah a priori yang mustahil untuk difiksasikan dan dipenuhi secara utuh. Dengan begitu, status pengarang sebagai subjek tergantung pada hubungannya dengan/dan/untuk the Other yang substansial, bukan hanya status regulatif-simbolis the Other dari tradisi dan hal ini juga yang menunjukkan bahwa subjek tidak hanya tertanam dan terkonstruksi, melainkan status substansi tubuh yang berusaha memenuhi hasrat the Other. Hal ini membuka tabir fakta yang tersembunyi, bahwa dalam inti (kernel) dari keberadaan subjek yang sangat esensial, subjek merupakan entitas yang tidak tereduksi, namun juga rentan hancur karena ketelanjangannya dan hanya tersingkap pada diri the Other(s). The Other yang merupakan konstruksi simbolik selalu membuat subjek terantai di dalam relasinya, subjek harus menjawab serta mengisi jarak kekosongan dirinya atas the Other sementara the Other juga selalu lack karena ‗jebakan‘ the Big Other sehingga split inilah yang menjadi ngarai yang misterius, yang tak akan dapat disimbolisasikan oleh apapun, antara siapa memenuhi siapa. Diri 82
Žižek, Slavoj & dkk. 2006. The Neighbor: Three Inquiries in Political Theology (ed. Mark C. Taylor and Thomas A. Carlson). Chicago & London: The University of Chicago Press., hlm. 138.
65
subjek yang dinarasikan membuat seperti subjek melihat apa yang hilang dalam dirinya dan yang justru ada pada diri the Other, subjek terserap pada narasinya seolah dia adalah apa yang dia tulis sekaligus yang bukan dia tulis seperti yang Žižek analogikan dengan melihat lukisan, ―I myself am included in the picture constituted by me […] myself as standing both outside and inside my picture.‖83 Ketersambungan inilah yang dijelaskan Žižek dengan konsep ‗Pandangan/Tatapan (Gaze)‘, yang dalam istilah familiarnya disebut ‗Sudut Pandang‘. Sebelum masuk dalam apa yang Žižek catat sebagai Gaze, patut untuk melihat garis merah yang menyamakan antara Gaze dalam film maupun sastra. Gaze terletak bukan pada subjek, melainkan pada the Other, sehingga arti dari tatapan adalah subjek yang ditatap secara konstan oleh the Other atau yang bukan dirinya, sehingga hal tersebut menjelaskan bagaimana the Other lebih dulu ada sebelum subjek. Dengan kata lain, kaitan antara Gaze dan sudut pandang adalah bahwa keduanya merupakan sudut yang memandang. Dalam konteks sastra, dapat dikenali bahwa sudut pandang adalah bagaimana subjektifitas pengarang hadir dalam narasinya yang mengindikasikan bahwa narasi tersebut berada dalam kuasa sudut pandang pengarang tersebut, namun dalam konteks Gaze ini, sudut dari bagaimana pengarang mendapatkan pandangannya adalah dari bagaimana pengarang menjawab panggilan dari Gaze yang ada pada ranah eksternal dirinya, dan hal inilah yang menjadi paradoksnya. Ketika panggilan Gaze dipenuhi oleh subjek, subjektifitas yang dihadirkan akan menjadi subjektifitas yang Simbolik, akan tetapi jika panggilan Gaze ini menjadi suatu panggilan yang imperatif (otentis), maka subjektifitas akan hadir sebagai yang Real.
83
Žižek, Slavoj. 2006. The Parallax View. Cambridge & London: The MIT Press., hlm. 17.
66 Lebih jauh lagi, Seymour Chatman menjelaskan bahwa ―point of view is the physical place or ideological situation or practical life orientation to which narrative events stand in relation,‖84 hal tersebut menjelaskan makna teks sastra terletak di antara nilai-nilai kepengarangan dan pembaca, produksi dan konsumsi, serta konstruksi dan interpretasi. Dalam konteks yang lebih sempit, dalam hubungan antara pengarang dan pembaca melalui sudut pandang, sudut pandang mencakup dua fenomena yang sangat berbeda: di satu sisi, mengamati, dan di sisi lain, berpikir dan mengetahui.85 Mengamati memiliki apropriasi dengan sudut pandang orang pertama yang menjelaskan bagaimana pembaca terserap dan ‗seolah-olah‘ menjadi subjek dalam narasi yang diciptakan pengarang. Dualitas yang dapat dikatakan adalah bahwa sudut pandang pertama dapat dikatakan sebagai sudut pandang pengarang dan sudut pandang pembaca melalui kacamata pengarang sementara yang dicapai adalah peleburan subjek pada apa yang dia amati. Di sisi lainnya, berpikir dan mengetahui memiliki apropriasi dengan sudut pandang orang ketiga, atau ‗God‘s View‘ yang menandai bahwa pengarang memberikan sebuah pemaparan dan mengajak pembaca untuk berpikir mengenai fenomena yang diuraikan, dengan begitu, pembaca mengetahui apa yang tidak diketahui tokoh sekaligus mengetahui maksud pengarang. Dari sini, permasalahan akan lebih diarahkan pada konteks fantasi ideologis pengarang yang terkait secara tidak langsung dengan subjek lainnya (pembaca) melalui proses transferensi yang diaplikasikan secara langsung pada analisis mengenai karya sastra sebagai subjektifitas yang dikontruksi oleh fantasi ideologis. Penjelasan tersebut mencakup hubungan eksternal teks terhadap pembaca, namun, jika dilihat dalam hubungan internal antara pengarang dan tokoh dalam karya 84
Chatman, Seymour. 1978. Story and Discourse. New York: Cornell., 153. Stam, Robert & Alessandra Raengo (ed.). 2004. A Companion Literature and Film. Oxford: Blackwell Publishing., hlm. 72. 85
67
tersebut, maka yang terjadi adalah terbelitnya pengarang dalam proses materialisasi dirinya ke dalam tulisan atau ke dalam bahasa, sementara tokoh yang ia ciptakan berasal dari Gaze yang menginternalisasi dalam diri pengarang. Dengan kata lain, hal ini seperti menciptakan dirinya yang sebenarnya bukan dirinya, karena subjek, sekali lagi, berasal dari ditundukkannya individu oleh tatanan Simbolik atau the (big) Other. Adapun gagasan Žižek mengenai ‗Pandangan/Tatapan (Gaze)‘, yang juga dari Lacan, juga sangat korelatif dengan uraian yang dijelaskan diatas. Memang, Lacan lebih cenderung mengaplikasikannya dengan film, terutama mengenai shot, namun sekali lagi, hal ini bukan hal yang dapat diproblematisasikan lagi (dalam konteks ini) karena ketika shot mengambil gambar, itu sama seperti ketika kata-kata mengambil realitas. Gagasan utama mengenai Gaze dalam perspektif Lacanian adalah bahwa Gaze melibatkan pembalikan suatu hubungan antara subjek dan objek, seperti yang Lacan sisipkan dalam Seminar XI, bahwa ada semacam antinomy (kontradiksi atau oposisi dari satu hukum) antara mata dan Gaze. Gaze berada di sisi objek atau yang lebih akrab disebut dengan istilah ‗blind spot‘ dalam suatu ruang yang dapat dilihat. Dengan kata lain, objek yang merupakan lokus di mana realitas itu berada, justru memotret penonton yang menyaksikan.86 Dengan kata lain, Gaze seolah-olah memisahkan mata dengan objek yang dilihatnya, memberi ruang yang tidak dapat direduksi, hanya Gaze yang dapat mentransmisikan proksimitas antara subjek dan objek, serta menjelaskan bagaimana objek juga meruntuhkan subjek sebagai yang memandang. Hal ini sangat metaforis dengan analogi ‗ketika yang dipandang, balik 86
Lihat Žižek, Slavoj. 2001b. The Fright of Real Tears: Krzysztof Kieslowski between Theory and Post-Theory. London: British Film Institute Publishing., hlm. 34. Lihat juga Bab IX dalam Lacan, Jacques. 1979. The Four Fundamental Concepts of Psycho-Analysis. New York: Norton.
68 memandang‘ atau ‗ketika mata melihat mata yang bukan matanya‘. Seperti yang Lacan analogikan; ―I can feel myself under the gaze of someone whose eyes I do not see, not even discern. All that is necessary is for something to signify to me that there may be others there. This window, if it gets a bit dark, and if I have reasons for thinking that there is someone behind it, is straight-away a gaze.‖87
Subjek dapat merasakan dirinya berada di bawah tatapan mata seseorang yang tidak dilihatnya, oleh realitas yang eksternal dari dirinya, semacam kamera pengintai, yang ada sebelum dia melihatnya. Oleh karena itu, semua yang diperlukan adalah sesuatu untuk menandai diri subjek, posisi dan situasi subjek berada, dan dengan begitu subjek mengakui bahwa ada entitas lain di sana yang sedang mengamati subjek. Dengan kata lain, hal ini menjadi semacam jendela yang ketidakjelasannya justru membuat subjek merasa bahwa ada seseorang di baliknya dengan tatapan langsung. Gaze selalu menghilang, statusnya menjadi murni fantasmatic. Seperti sebuah kaca yang transparan, memberi jarak sekaligus fantasmatik, tidak memberikan dimensi lain selain proyeksi realitas dalam kebeningannya. Dengan begitu, tidak ada kemungkinan bagi subjek, di dalam ruang realitas diegetik, yang dapat menempati shot sudut pandang (point-of-view) suatu gambar (realitas objek),88 karena pada dasarnya selalu ada jarak yang menghentikan langkah subjek untuk masuk menjadi objek yang dipandang, meskipun apa yang dia lihat ‗seolah-olah‘ dirinya. Dari sini semakin jelas, bahwa ‗sudut pandang‘, terutama dalam novel (karena novel selalu menguraikan melalui sudut pandang yang terurai dengan kata-kata yang jauh lebih misterius dan mengindikasikan adanya the Other yang dipaksakan dalam
87
Ibid. Lihat juga Lacan, Jacques. 1988. The Seminar, Book I: Freud's Papers on Technique. New York: Norton., hlm. 215. 88 Lihat Ibid., hlm. 35—6. ―Gaze effectively is missing, its status being purely fantasmatic. […] there is no possible subject within the space of diegetic reality who can occupy the point of view of this shot.‖
69
representasi) membenturkan subjek-subjek sastra, antara tokoh dan pengarang (yang juga tidak menutup kemungkinan hadirnya subjek pembaca). ―We thought we were seeing through their eyes and, within the same shot, we find ourselves seeing them across the shaft from a considerable distance. The uncanny poetic effect of these shots resides in the fact that it appears as if the subject somehow enters his/her own picture - as Lacan put it, not only is the picture in my eye, but I am also in the picture.‖89
Subjek dan objek selalu dalam dimensi yang berbeda, dan sensasi menjadi the Other-lah yang ditawarkan oleh sastra, film, dan bahkan lukisan. Subjek tidak hanya saling memandang, namun juga menjadi dia yang benar-benar lain dari dirinya dan juga objek itu sendiri. Dari perjumpaan inilah, kekosongan terisi melalui fantasi yang menciptakan hasrat subjek pengarang untuk menarasikan apa yang sebenarnya tidak dapat diraih, dan inilah yang mengindikasikan adanya simbolisasi the Other melalui hasrat yang berasal dari fantasi sehingga hal ini yang menjelaskan bagaimana yang Real tidak dapat hadirkan dan hanya dapat direpresentasikan. Pada bagian ini pula menjelaskan subjektifitas pengarang melalui novelnya dan menariknya adalah bahwa dengan terbenturnya yang Real ini melalui simbolisasi, justru melibatkan subjek yang lain untuk terus mencurigai misteri dibalik narasi tersebut, dengan begitu fantasi-lah yang mengajarkan subjek-subjek untuk berhasrat dan menjawab hasrat the Other atau tantangan yang Real dari ‗realitas‘ yang tidak terjembatani.
1.6 Metode Penelitian Dalam bagian ini akan diuraikan bagaimana proses menentukan dan mendapatkan data untuk penelitian serta klasifikasinya sehingga data-data tersebut dapat dianalisa dan disajikan. Sebagai informasi penting, objek materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel The White Tiger karya Aravind Adiga, dicetak dalam 276 89
Lihat Ibid., hlm. 39. Lihat juga op.cit., Lacan, 1979., hlm. 63.
70
halaman serta 12 halaman tambahan yang meliputi biografi singkat pengarang, panduan kelompok diskusi, serta sebuah wawancara dengan pengarang, yang diterbitkan dengan nomor seri ISBN-13: 978-1-4391-3769-7 oleh penerbit Free Press, cabang Simon & Schuster, Inc., yang beralamat di 1230 Avenue of the Americas, New York, dengan kode pos NY 10020. Desain novel ini sendiri diciptakan oleh Ellen R. Sasahara cetakan Amerika Serikat dengan latar warna ungu serta sebuah klaim dari USA Today. Novel ini merupakan novel debut Adiga yang memenangkan penghargaan internasional The Man Booker Prize di tahun 2008. Adapun objek formalnya adalah fantasi ideologis yang terurai dalam novel (sebagai kasus) tersebut yang meliputi tokoh Balram dan pengarang, sementara sumber data yang dapat dielaborasikan di sini adalah; 1.
Sumber data mengenai tindakan radikal tokoh dalam novel diambil secara tekstual dari teks novel.
2.
Sumber data mengenai subjektifitas pengarang melalui novel diambil dari teks novel, wawancara, koran, serta dokumen-dokumen yang terkait fakta historis pengarang baik secara online maupun offline.
3.
Sumber data mengenai perjumpaan subjek tokoh dalam novel dengan subjektifitas pengarang melalui novel diambil dari teks novel dan teks-teks mengenai fakta sosial yang terkait. Dari sumber data yang diambil, kemudian data-data tersebut dikumpulkan dan
diklasifikasikan sesuai kebutuhan dan keterkaitan dengan masalah yang dibahas. Adapun pengumpulan data dari semuanya dikumpulkan dalam bentuk kutipan yang dapat berupa paragraf, kalimat, klausa, frase, serta percakapan sementara klasifikasi data dapat diurai sebagai berikut;
71
1.
Data mengenai tindakan radikal tokoh diklasifikasikan berdasarkan kutipan mengenai latar belakang, momen kekosongan, dan tindakan radikal tokoh dalam novel.
2.
Data mengenai subjektifitas pengarang melalui novel diklasifikasikan berdasarkan kutipan mengenai fakta historis pengarang, kritik pengarang dalam novel, dan ideologi pengarang dalam novel (cita-cita pengarang).
3.
Data mengenai perjumpaan antara subjek tokoh dalam novel dan subjektifitas pengarang melalui novel klasifikasikan berdasarkan kutipan mengenai korelasi dan paradoks yang ada dari perjumpaan kedua subjek tersebut. Dari sumber data yang sudah dikumpulkan dan diklasifikasikan tersebut, maka
proses analisis data dapat dijelaskan sebagai berikut; 1.
Proses yang pertama adalah analisis secara tekstual terhadap novel kepada subjek tokoh di dalamnya, namun tidak menutup kemungkinan untuk menjalinnya dengan semesta teks yang lain (intertekstual) yang terkait dan menyokong argumen yang hendak ditawarkan, yaitu mengenai momen kekosongan dan tindakan radikal.
2.
Selanjutnya, subjek pengarang melalui tokoh yang merefleksikan dirinya (subjektifitas) terutama melalui tokoh Balram dalam karyanya akan dilihat melalui konsep Žižek mengenai sudut pandang atau Gaze (tatapan) yang menjelaskan bagaimana pengarang menciptakan dirinya yang bukan dirinya melalui karya sastra dan dari sini dapat dilihat kaitan antara fakta historis pengarang, kritik pengarang, dan ideologi pengarang melalui novel.
72
3.
Kemudian proses berikutnya adalah membentur-benturkan argumen mengenai tindakan radikal yang terepresentasikan dalam novel dengan subjektifitas pengarang untuk mencari jawaban mengenai fantasi ideologis pengarang.
1.7 Sistematika Penyajian Tesis ini terdiri dari empat bab; (1) Bab I adalah Pendahuluan, yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian, (2) Bab II berjudul Tindakan Radikal dalam Novel The White Tiger, yang mengkaji tindakan radikal yang dilakukan oleh tokoh dalam novel (analisis tekstual), (3) Bab III berjudul Paradoks Subjektifitas Adiga dalam Novel The White Tiger, yang menguraikan analisis mengenai bagaimana kritik ideologi—terlihat melalui tindakan radikal tokoh—dari pengarang yang justru menjadi sinisme dan menguraikan cara kerja fantasi ideologis pengarang, sehingga secara implisit pengarang dapat dikategorikan sebagai seorang Homo Sacer atau Homo Sucker. Bab ini sekaligus menjembatani bagaimana perjumpaan kedua subjek—tokoh dalam novel dan pengarang—menjadi menghadirkan isu utama dalam penelitian ini; fantasi ideologis. Adapun catatan serta komentar akhir untuk penegasan penelitian ini, terkait sastra dengan kajian teoritis Žižek, juga diuraikan pada bagian akhir bab ini, sedangkan (4) Bab IV adalah kesimpulan.