BAB I PENDAHULUAN
Bab ini adalah titik berangkat penelitian disertasi ini, mengemukakan problem hubungan kebudayaan dari entitas sosial yang hidup dalam lingkup interaksi sosio-kultural. Subjek hubungan ini adalah masyarakat Mbawa (Dou Mbawa) di Bima, Nusa Tenggara Barat yang berhadapan dengan masyarakat dominan di luarnya. Hubungan itu menghasilkan relasi kuasa dan marjinalisasi, serta kontestasi yang berkepanjangan. Argumentasi yang menjadi basis penelitian ini adalah praktik budaya sebagai wahana penampung berbagai identitas dan kepentingan yang saling mengisi dan berkontradisksi. Penelitian ini mengambil fokus pada praktik budaya Raju, suatu agricultural ritual (ritual pertanian) menyambut musim tanam yang dilibati oleh Dou Mbawa tanpa sekat agama, Muslim dan Kristen. Sebagai representasi struktur sosial-budaya Dou Mbawa, praktik budaya Raju dapat menjadi pintu masuk kritik kebudayaan. 1.1 Latar Belakang Benturan peradaban bersumber dari faktor ideologi, ekonomi, dan identitas kultural. Dalam konfigurasi itu manusia terbagi ke dalam kotak-kotak peradaban dunia di mana agama menjadi basis utama identitas dan negara bangsa sebagai aktornya. Pada tataran makro, benturan peradaban berupa kompetisi kekuatan ekonomi dan militer demi bertarung atas kontrol lembaga internasional dan demi penyebaran nilai agama atau ideologi politik (Huntington, 1993: 26). Pada tataran mikro, kelompok-kelompok bertetangga bertarung memperebutkan kontrol atas
1
2
wilayah atas satu sama lain, bahkan lewat kekerasan. Pasca perang dingin, fenomena ini memicu tampilnya dendam dan identitas etnik non-Barat, terutama dari peradaban Konfusius dan Islam sebagai kekuatan potensial vis a vis Barat (Huntington, 1993: 29). Menurut Fox (2002: 433), benturan peradaban seperti digambarkan Huntington itu tidak sepenuhnya benar. Menurutnya, berdasarkan data Minorities at Risk, konflik etnis lebih banyak terjadi di dalam internal peradaban itu sendiri, disebabkan oleh faktor-faktor diskriminasi antara kelompok mayoritas dan minoritas dari peradaban yang berbeda dalam suatu negara. Benturan
peradaban
baik
secara
ideologi,
ekonomi,
dan
budaya
sebagaimana tesis Huntington maupun antaretnis karena persoalan diskriminasi oleh negara ala Fox di atas pada dasarnya telah mewarnai sejarah bangsa dan negara Indonesia. Indonesia yang multikultural dan multietnis serta multiagama sangat rentan dengan benturan peradaban dan menjadi tantangan bagi pemerintah sejak negara ini berdiri sampai sekarang. Pertarungan ideologi antara agama langit dan agama lokal, yang pada tataran tertentu menghasilkan benturan budaya dan bisa menjadi sumber konflik. Sejarah mencatat bagaimana negara Indonesia tidak menentu di bawah kendali Orde Lama (1957-1965), antara lain terjadi karena politik perbedaan dan aplikasi semboyan Bhinneka Tunggal Ika belum terformulasikan dengan baik. Selanjutnya Orde Baru muncul sebagai koreksi, dan tugasnya adalah memperbaiki institusi-institusi politik demi tercapainya kondisi stabilitas yang dibutuhkan oleh proyek modernisasi (Karim, 1999: 53). Dekade-dekade awal Orde Baru sejak
3
1966 ditandai dengan penataan ulang aspek-aspek kehidupan kebangsaan, meliputi politik, sosial, ekonomi, budaya, dan agama. Segera setelah itu terjadi dinamika sosial, termasuk konflik dan integrasi dalam semua tataran kehidupan masyarakat. Pemaknaan ulang terhadap ideologi negara Pancasila, sebagai refleksi dari peristiwa berdarah tahun 1965, melibatkan strukturisasi dan institusionalisasi kebijakan yang berorientasi kepada penyeragaman pemahaman dan tindakan berbangsa. Selain institusi negara, elemen civil society (masyarakat warga) terlibat dalam transformasi sosial ini melalui pendidikan, indoktrinasi, dan upaya-upaya kultural lainnya. Dalam kehidupan keagamaan juga terjadi penataan yang berorientasi penyeragaman, misalnya melalui kebijakan yang mengharuskan setiap warga negara memeluk salah satu dari agama resmi yang diakui negara. Tindakan ini pada dasarnya bermaksud mengurangi benturan karena banyaknya perbedaan, tetapi pada akhirnya memunculkan masalah lain yang juga pelik. Penyeragaman kepercayaan tersebut telah mereduksi kekayaan budaya bangsa menjadi sempit dan hanya menyediakan kategori agama resmi. Kepercayaan-kepercayaan lokal yang pernah hidup dan dianut oleh masyarakat tergerus dan sirna, atau terpaksa mentransformasi dirinya dalam bentuk baru yang bisa diterima oleh sistem sosial politik yang ada. Masyarakat tanpa kecuali, baik di perkotaan maupun di pedesaan, menerima ini sebagai tantangan baru bagi kehidupan mereka. Masyarakat Mbawa (selanjutnya disebut Dou Mbawa) di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, yang menganut kepercayaan Parafu, adalah salah satu contoh kasus masyarakat yang menerima tantangan untuk bisa menjadi bagian
4
dari sistem sosial-politik baru. Ketakutan tidak terserap dalam pergaulan warga bangsa, dan trama yang lebih hebat akibat pembantaian warga tidak beragama yang dituduh komunis pasca kegagalan G30S/PKI 1965, memaksa Dou Mbawa menanggalkan keyakinan lama dan menerima agama resmi yang diakui negara. Kristen dan Islamlah dua agama yang masuk ke Mbawa untuk menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Situasi ini memaksa Dou Mbawa yang semula monolitik menyandang ragam identitas dan menjadi masyarakat pluralistik. Kontestasi keagamaan pada akhirnya berlangsung di tengah kepentingan merawat tradisi dan menerima perubahan dari luar. Dalam pluralitas masyarakat, berlangsung revitalisasi tradisi sebagai identitas, dan Dou Mbawa berada pada ambiguitas dan dilema budaya, bahkan konflik. Ketegangan antarpemeluk agama sering terjadi bahkan melibatkan kekerasan dalam peristiwa-peristiwa tahun 1969, 1972, dan 2000. Berada dalam situasi keragaman dengan berbagai dinamikanya tidak serta merta menjadi malapetaka bagi Dou Mbawa, justru sebaliknya, bisa dipahami sebagai basis bagi penguatan kehidupan keagamaan di kalangan mereka. Jika argumentasi ini benar, maka dapat menjadi teropong dalam melihat gejala revitalisasi kehidupan agama dan budaya dalam kehidupan Dou Mbawa. Itulah mengapa praktik keagamaan di Mbawa dapat dilihat sebagai medan budaya di mana kontestasi dan perdebatan kebudayaan (mencakup sosial, agama, dan politik) berlangsung. Para aktor yang terlibat dalam dinamika kebudayaan di tingkat lokal itu tidak lain dari agen dan otoritas di kalangan kelompok keagamaan, termasuk pula dari kalangan mayoritas Muslim di kota dan wilayah lain di Bima.
5
Praktik budaya Raju ditengarai sebagai representasi pertarungan budaya itu dan menjadi locus hegemoni dan kontestasi antarkomunitas. Penelitian ini berusaha menyingkap dimensi makna sosial-politik dalam praktik budaya Raju dalam konteks relasi kebudayaan Dou Mbawa dengan outsider (orang luar), khususnya relasi kuasa keagamaan. Praktik budaya Raju sebagai sebuah ritual adalah akumulasi pengetahuan dan representasi struktur dan relasi sosial, karenanya mengandung dimensi kultural, yaitu identitas, gagasan, dan visi sosial, serta kepentingan. Itulah yang memungkinkan praktik budaya Raju adalah pintu masuk dalam menjelajahi relasi dan pertarungan dari entitas budaya (yang bermetamorfosa menjadi agama lokal) versus agama (universal), di mana yang satu terpinggirkan, sementara yang lain mendominanasi. Asumsi ini secara teoretik dapat mengarahkan kepada munculnya argumen bahwa dalam pertarungan ini tentu terdapat kepentingan dan ideologi yang terlibat dan beroperasi, termasuk kepentingan Dou Mbawa sendiri yang menggunakan ritual itu sebagai strategi komunikasi, manajemen konflik, menjaga kohesi, dan cara mengatasi hegemoni. Sejak menerima Kristen sebagai salah satu agama anutan penduduk, Dou Mbawa senjadi sasaran tudingan dan label budaya yang disematkan oleh kalangan masyarakat Bima yang lain, terutama dari mayoritas Muslim. Dalam konteks hubungan antaragama di wilayah Bima atau Nusa Tenggara Barat, Mbawa selalu menjadi subjek dalam semesta pembicaraan (diskursus). Jika terjadi keretakan hubungan bernuansa agama, maka eskalasi konfliknya selalu menyasar ke Mbawa, entah itu dalam bentuk kekerasan simbolik berupa tudingan-tudingan
6
tertentu berlabel agama atau kekerasan fisik berupa pengerusakan fasilitas ibadah atau milik pribadi anggota masyarakat, tetapi di satu sisi, Mbawa menjadi contoh hidup dinamisnya hubungan antaragama dan hidup harmoni dalam masyarakat pluralistik. Konfigurasi sosial yang dilibati oleh Dou Mbawa sebagaimana digambarkan berikut dapat menjadi acuan dalam melihat Mbawa sebagai sebuah tempat kecil, tetapi menjadi isu/pelajaran besar. Mbawa adalah nama dari gugusan kampung di dataran tinggi pegunungan Donggo, sebelah barat selat Bima, bagian dari wilayah Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis terpencil, jauh dari pusat kota. Dari Kota Bima, Mbawa terlihat kecil di bawah pangkuan puncak Doro Leme (gunung runcing) yang menjulang tinggi. Sebelum modernisasi merambah ke wilayah itu, masyarakat yang mendiaminya termasuk masyarakat terasing di Indonesia (Koentjaraningrat, 1993). Setelah infrastruktur jalan, listrik, air bersih, dan fasilitas pendidikan masuk, Dou Mbawa mulai berubah wajah dan menjadi lebih dinamis dari sebelumnya. Jika dahulu hanya orang-orang tertentu yang bisa menembus wilayah Mbawa, maka sekarang siapa pun leluasa masuk karena jalan yang membelah hutan, bukit berbatu, lembah, dan ngarai sudah beraspal. Orang luar pun mulai masuk ke Mbawa dengan berbagai kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Meskipun tidak menyamai laju pembangunan wilayah lain di Kabupaten Bima, infrastruktur yang sudah tersedia cukup menjadikan Dou Mbawa merasa sebagai bagian integral dari masyarakat Bima, tetapi hal itu belum cukup mengantarkan Dou Mbawa sejajar secara sosio-kultural dengan masyarakat lain. mereka masih saja
7
dianggap sebagai the others (orang lain) karena menganut budaya tertentu dengan kepercayaan yang tidak sama dengan kepercayaan mayoritas. Dou Mbawa, di mata masyarakat Bima, tipikal dengan citra tertentu yang dilekatkan kepada mereka. Meskipun pembangunan sudah menghampiri, tetap saja mereka diidentifikasi sebagai orang gunung yang terbelakang, tradisional, dan masih harus dimodernisasi. Dalam hubungan sosial mereka masih diperlakukan sebagai orang dari budaya lain. Dalam hal agama mereka masih dianggap “kafir” karena kepenganutan mereka yang masih teguh pada sistem religi lama yang disebut Parafu. Parafu adalah keyakinan dan praktik yang dianggap syirik (menyekutukan Tuhan), bertentangan dengan agama-agama modern, terutama Islam yang menjadi anutan mayoritas masyarakat Bima. Serangkaian intervensi kemudian diperkenalkan kepada Dou Mbawa oleh berbagai pihak demi mengubah wajah gunung dan tradisional mereka menjadi maju, beradab, dan sejajar (dalam pengertian seragam) dengan yang lain. Pemerintah (negara) dan masyarakat sipil dari kalangan Islam dan Kristen melakukan intervensi dengan cara dan modus masing-masing. Usaha-usaha kalangan
Kristen
dalam
lapangan
sosial-keagamaan
tampaknya
lebih
mendapatkan tempat di hati Dou Mbawa. Meskipun periode Kristenisasi berlangsung belakangan dari Islamisasi yang sudah berlangsung sejak masa kesultanan, Dou Mbawa menjadi lebih dikenal sebagai masyarakat penganut Kristen dibanding predikat lamanya sebagai penganut Parafu. Lebih dari itu, Mbawa dikenal sebagai basis utama Kristen dan Kristenisasi di wilayah Bima yang mayoritas Islam.
8
Kalangan Muslim masuk kembali secara lebih gencar dan intens untuk mengimbangi usaha Kristen dan menebus upaya dakwah masa silam yang lamban. Terjadilah reislamisasi di kalangan Dou Mbawa, dan ini merupakan kelanjutan dari Islamisasi yang sudah berlangsung sejak masa keemasan Kesultanan Bima awal abad ke-19. Sampai sekarang, upaya-upaya Kristenisasi dan Islamisasi itu masih terus bergulir, membentuk konfigurasi Dou Mbawa yang pluralistik, dinamis, penuh nuansa dan pergulatan. Mbawa akhirnya menjadi locus eksistensi dan pertarungan berbagai budaya dan kepentingan, khususnya dalam konteks hubungan agama. Kondisi pluralistik ini menjadikan Dou Mbawa tempat hidup dan berkembangnya berbagai budaya – terutama budaya yang berbasis agama-agama – secara koeksistensial tanpa satu sama lain saling meniadakan. Itulah yang membuat Mbawa menjadi unik sebagai contoh masyarakat majemuk dengan tradisi yang kental. Unik karena ciri pluralistik biasanya khas masyarakat perkotaan (Nasikun 2004: 49), sementara Mbawa adalah pedesaan yang monolitik dalam segi tertentu, terutama asal usul dan cara hidup. Sebagai masyarakat agraris dengan pola pertanian berladang, Dou Mbawa tentu bersahaja, sederhana, tidak kompleks, dan mekanistik. Tetapi karena agama-agama besar Islam dan Kristen serta agama lokal Parafu, hidup dengan membawa tradisi dan praktik keagamaan berbeda, mereka juga masyarakat desa yang terpolarisasi, part-societies (masyarakat terbelah) sebagaimana dikatakan Redfield (1965: II, 23). Secara lugas dapat dikatakan, Mbawa adalah sebuah desa kecil, tetapi mengandung kompleksitas. Sebuah desa kecil dengan isu besar, yaitu isu penyebaran agama
9
yang sensitif dan bisa memicu kekerasan dengan skala luas. Dinamika hubungan agama dan budaya di Mbawa menjadikan Dou Mbawa tersegmentasi atas kelompok-kelompok keagamaan, yaitu Islam, Kristen, dan Parafu. Mereka hidup dengan identitas dan budaya yang melekat pada masingmasing agama anutan. Masyarakat hidup berdampingan secara damai, karena mereka pada dasarnya berasal dari satu leluhur (Kadri, dkk, 2009). Pluralitas agama dan identitas ini bahkan berlangsung dalam satuan sosial keluarga, di mana ayah bisa berbeda agama dengan anak, istri, atau saudara kandung. Kepemelukan agama bagi Dou Mbawa adalah pilihan yang bebas di tengah kondisi masyarakat yang penuh toleran. Masyarakat pluralistik Mbawa merayakan perbedaan itu dengan caranya sendiri. Mereka menyelenggarakan berbagai perhelatan sosial dan budaya untuk mewadahi kebersamaan di antara mereka. Dalam perbedaan dan keragaman itu, mereka meretas ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka dapat mempertebal solidaritas dan memperkecil perbedaan-perbedaan (Kadri, dkk, 2009). Jika terjadi konflik di antara mereka selalu ditemukan cara menyelesaikan atau meminimalisasinya agar tidak melebar, misalnya melalui bekerjanya moralitas komunal yang terbangun sejak lama dalam komunitas (Just, 2001). Namun, nuansa kehidupan yang dinamis, penuh kontestasi, dan ketegangan tidak berarti nihil konflik. Konflik bernuansa agama pernah muncul di kalangan Dou Mbawa. Pada tahun 1969 terjadi pengerusakan gereja yang dilakukan oleh kalangan Muslim dari Desa O’o, sebuah desa tetangga. Peristiwa ini dipicu oleh kemarahan orang Muslim yang tidak terima warganya dituduh mencuri sandal dan
10
dipukul oleh seorang pengurus gereja. Warga Muslim terutama yang datang dari desa tetangga yang Muslim membalas dengan membakar gereja. Tiga tahun setelah itu, 1972, terjadi lagi peristiwa kekerasan yang dikenal sebagai Peristiwa Donggo. Peristiwa ini sebetulnya tidak terkait dengan masalah agama di Mbawa, tetapi murni persoalan kemarahan warga Kecamatan Donggo kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bima yang dianggap mengabaikan pembangunan masyarakat Donggo. Peristiwa yang dipelopori para tokoh agama Islam kharismatik dari Desa O’o ini menggunakan sentimen dan retorika keagamaan untuk mobilisasi massa yang mengakibatkan munculnya rasa takut dan trauma bagi Dou Mbawa, terutama penganut Kristen dan Parafu. Pada gilirannya, peristiwa ini memunculkan rasa permusuhan di antara sesama warga Mbawa terutama antara yang Muslim dan non-Muslim. Tahun 2000, pembakaran gereja dan pengerusakan rumah pemuka Kristiani kembali terjadi di Dusun Jango, Mbawa. Peristiwa ini sebenarnya tidak murni muncul dari konflik internal Dou Mbawa, tetapi konflik kiriman dari “Peristiwa 171” - sebutan media atas pengerusakan gereja dan fasilitas milik kaum Kristen di Mataram Lombok yang terjadi pada 17 Januari 2000. Efek berita dari peristiwa itu yang meluas dengan cepat, warga Muslim yang berasal dari luar, terutama dari Sila, naik ke atas (Mbawa) dan melakukan penyerbuan dan pengerusakan. Sejak berlangsungnya proses Kristenisasi dan Islamisasi di wilayah itu, polarisasi, keretakan, dan ketegangan hubungan antarkelompok masyarakat selalu saja muncul. Meskipun telah mengalami beberapa konflik bernuansa agama, namun selalu saja ditemukan cara penyelesaian, salah satunya dengan bekerjanya kearifan lokal yang mereka miliki. Kearifan lokal itu tercermin dalam budaya
11
yang dipraktikkan oleh Dou Mbawa dalam bentuk tradisi-tradisi atau kiat dan cara hidup sehari-hari. Hal ini karena praktik budaya bagi masyarakat memiliki fungsi keagamaan sekaligus fungsi sosial yang diramu sedemikian rupa sehingga mampu menjadi media bagi berlangsungnya hubungan vertikal (ketuhanan) dan horizontal (kemasyarakatan) yang selaras. Dalam konteks perbedaan yang penuh warna itulah, Dou Mbawa terus menghidupkan, mewariskan, dan mengembangkan pranata budaya lokal yang dapat menampung berbagai kegelisahan dan kepentingan dalam menghadapi ancaman kehidupan internal dan eksternal. Mereka mengembangkan kohesi dan solidaritas sesama orang Mbawa lewat praktik-praktik budaya yang notabene bersifat lokal namun memiliki unsur universal yang mengikat berbagai perbedaan di antara mereka. Praktik budaya Raju adalah ritual utama dan besat bagi Dou Mbawa. Mereka yang berbeda agama melaksanakan praktik itu secara bersama-sama dan periodik (setiap menjelang musim tanam), tanpa dilandasi dan dikendalai oleh perbedaan ajaran agama yang mereka anut. Hal ini dimungkinkan karena Dou Mbawa pendukung praktik budaya Raju yang berbeda agama itu diikat oleh prinsip Mori Sama (hidup bersama) dan satu spiritualitas lokal yang masih hidup bersumber dari kepercayaan Parafu. Praktik budaya Raju memainkan peranan penting dalam dinamika masyarakat. Prosesi ini berlangsung selama 3 sampai 9 hari yang dimulai dari persiapan (pengkondisian) sampai kepada puncak ritual, mengambil tempat di ketinggian di mana Uma Ncuhi (rumah adat) terletak. Dalam prosesinya, Sando
12
(tetua adat) memimpin dengan pembacaan mantra-mantra yang diiringi tariantarian khas seperti Mpisi dan Kalero, sesajian, Kasaro (doa-doa), pujian kesyukuran, dan perbincangan-perbincangan. Praktik dan kreasi budaya ini bersumber dari kepercayaan leluhur, bergulir dan membentuk jalinan dalam perpaduan unik tradisi dan agama. Dalam jalinan itu terkandung sistem kepercayaan, pandangan dunia, visi sosial atau cita-cita hidup, serta gambaran mengenai kesejahteraan dan kedamaian. Tradisi dan praktik ini, karena berakar dari mitologi dan kepercayaan Parafu, dinilai sebagai bentuk animisme-dinamisme, syirik, bid'ah, dan khurafat yang bertentangan dengan keyakinan Islam mainstream (arus utama) yang dianut oleh mayoritas penduduk Bima (Kabupaten Bima dan Kota Bima). Dengan intensifnya praktik-praktik tradisi tersebut, pemerintah sebagai sumber otoritas modernisasi menganggap Dou Mbawa sebagai masyarakat tradisional yang harus dimodernisasi dengan berbagai intervensi, termasuk dalam bentuk dakwah Islam yang didesakkan melalui lembaga-lembaga keagamaan formal dan informal. Pemerintah bekerja sama dengan kelompok ‘Islam Sholeh’ (murni dan benar) terutama direpresentasikan oleh kaum ulama dan pekerja agama (Islam) yang memang sejak awal menentang keyakinan dan praktik keagamaan semacam ini. Para ulama pemilik otoritas keagamaan mainstream, terutama dari Sila, wilayah terdekat dan salah satu pusat Islam di Bima, dengan atau tanpa sokongan pemerintah, secara swadaya atau dalam kapasitasnya sebagai penyampai ajaran agama (dai/muballigh), juga gencar melakukan Islamisasi kepada Dou Mbawa. Dengan modal pengetahuan dan strategi-strategi permainan wacana dan makna,
13
seperti pelabelan tertentu terhadap Dou Mbawa, mereka masuk dan menancapkan pengaruh kultural ke dalam masyarakat. Akibat upaya dakwah tersebut, terjadi perubahan dalam diri Dou Mbawa dengan munculnya identitas-identitas dan tradisi-tradisi serta nuansa kehidupan baru yang berdimensi keagamaan (Islam). Tiadanya penentangan terbuka terhadap dakwah Islam dan bertahannya praktik budaya Raju di kalangan semua agama menunjukkan ambiguitas antara menerima atau menentang, atau menerima dan menentang dengan setengah hati atau diam-diam terhadap budaya luar. Terdapat tanda berlangsungnya dominasi atau hegemoni budaya di sini dengan bekerjanya ideologi dan aparatusnya, baik itu gagasan dari luar yang bersifat ekspansif maupun gagasan internal Dou Mbawa yang bersifat defensif. Pertarungan antara satu entitas budaya dan masyarakat pendukungnya dengan entitas dan pendukung budaya lain yang dominan tampaknya tengah berlangsung di Mbawa. Pertarungan itu dalam rangka memperebutkan makna, mempertahankan atau menegakkan identitas, dan merebut kuasa/dominasi atas kelompok lain. Pergulatan menjadi kompleks dan menarik dengan adanya keterlibatan warga Kristiani dalam praktik tradisi lebih intensif dibanding dari kalangan Muslim. Muncul kecurigaan dari elite Muslim terhadap kaum Kristiani bahwa mereka sengaja menopang pelestarian tradisi ‘jahiliyah’ ini di kalangan Dou Mbawa untuk memperlemah posisi Islam dalam masyarakat. Ada juga tuduhan bahwa orang Mbawa yang Muslim telah ‘berselingkuh’ dengan penganut agama lain untuk menentang dominasi “Mbojo Awa” (pusat kekuasaan) atas tanah dan kebudayaan leluhur mereka.
14
Wacana kontestasi itu muncul di sini dan bergerak kian kemari menyasar kepada aspek-aspek keagamaan yang lain seperti pembangunan gereja dan masjid, dan sedikit banyak mewarnai perdebatan dalam isu hubungan antaragama di tingkat lokal dan regional. Kontestasi ini bertambah gaduh oleh perdebatan internal di kalangan Muslim. Para ulama dari Bima tampaknya mendapatkan tantangan internal dari umat Muslim Mbawa dengan sikap ketaatan mereka terhadap tradisi leluhur atau toleransi mereka terhadap penganut agama lain. Sementara itu, di kalangan Dou Mbawa sendiri juga terdapat kontestasi internal memperebutkan dominasi atau kontrol terhadap hak-hak warisan leluhur, misalnya, dalam hal siapa yang paling berhak memberi warna dan kontrol atas situs Uma Ncuhi dan bukit kecil di tengah kampung, tempat pelaksanaan upacaraupacara adat termasuk praktik budaya Raju. Semua pihak merasa berkepentingan dengan penguasaan atas Uma Ncuhi sebagai pusat kosmologi mereka, sehingga muncul corak lain dari konflik, yaitu kontestasi internal pendukung tradisi. Dalam
konfigurasi
dan
pusaran
pertarungan
ini,
praktik
budaya
mendapatkan pemaknaan berbeda dan khas dari penganutnya. Tentu saja pemaknaan itu bersandar kepada kepentingan dan tantangan kehidupan komunal. Jika praktik budaya merupakan representasi struktur objektif dan visi sosioreligius masyarakat setempat, maka eksistensi, kebertahanan dan perubahanperubahannya dari waktu ke waktu, mencerminkan dinamika struktur/sistem sosial dan pandangan masyarakat mengenai aspek-aspek kehidupan serta religiusitas mereka. Dengan demikian, dinamika kontestasi dan pertarungan internal dan eksternal dan bagaimana relasi kuasa terjadi di kalangan Dou Mbawa
15
dapat ditelusuri dan dijelaskan dalam diskursus mengenai praktik budaya Raju. Kontestasi dan pertautan ideologi dan identitas itu terlihat seperti berlangsung secara alamiah, terpatri dalam jagat ritual dan wacana serta simbolisme dalam praktik budaya Raju. Hal menarik untuk dikaji adalah kenyataan ambiguitas dan masih bertahannya budaya Raju sebagai praktik yang dilakukan oleh Dou Mbawa tanpa dikendalai oleh agama anutan mereka, yaitu Islam dan Kristen yang pada dasarnya sama-sama bersifat puritan. Dalam kacamata cultural studies, fenomena ini bisa dan harus dilihat sebagai “ada apaapa” dalam diri Dou Mbawa dengan praktik budaya Raju itu, yaitu dekonstruksi atas bangunan keyakinan keagamaan yang bersifat tunggal dan mutlak. Mencermati paparan di atas dapat dikatakan bahwa Dou Mbawa adalah sebuah fenomena kebudayaan yang representasi masyarakat tradsional yang plural. Sebagai sebuah fenomena Dou Mbawa menyimpan sesuatu yang tak terlihat di balik ‘gunung es’ praktik budaya yang mereka ekspresikan. Fakta Dou Mbawa satu-satunya masyarakat di Bima yang masih merawat kepercayaan lama dan praktik tradisi sementara di belahan lain tergerus, jelas memunculkan keingintahuan. Uniknya, alih-alih tergerus, mereka bahkan bisa ‘mengatasi’ kekuatan-kekuatan besar yang hegemonik itu dalam satu pusaran tradisi yang bernama praktik budaya Raju, warisan adat bersumber dari kepercayaan lama. Jelas ada ideologi yang menopang kebertahannnya, dan itu adalah ideologi kebudayaan atau gagasan mengenai pelestarian tradisi. Permasalahannya, ideologi lokal itu berhadapan dengan ideologi keagamaan universal dalam satu sisi, dan tumpang tindih di sisi yang lain. Ideologi keagamaan dimaksud adalah ideologi puritanisme dalam agama Islam dan Kristen
16
yang menjadi anutan resmi masyarakat. Praktik budaya di Mbawa, karenanya, tidak dilihat sebagai praktik keseharian atau sekedar ritual agama, tetapi sebagai representasi pertarungan makna dan kekuasaan, selain sebagai penggema suara hati masyarakat pendukungnya yang terpinggirkan. Reproduksi praktik budaya Raju sebagai wujud sinkretisme agama memicu kegelisahan kalangan ‘agama langit’ dari perkotaan, terutama masyarakat Muslim mayoritas di Bima. Hal ini menjadikan masyarakat kecil Mbawa sebagai isu sensitif dan besar dalam jagat hubungan sosial-keagamaan masyarakat secara umum. Uraian di atas menggambarkan bahwa penataan ulang kehidupan keagamaan, terutama selama rezim Orde Baru sejak 1966, yang mengharuskan penduduk memeluk salah satu dari agama resmi, telah menciptakan ketegangan bagi kepercayaan lokal, Parafu, dalam masyarakat Mbawa. Kehadiran Islam dan Kristen sebagai agama baru dan resmi menjadikan mereka sebagai masyarakat yang pluralistik yang memicu budaya kompetisi dan konflik dalam masyarakat. Islam, Kristen, dan Parafu memiliki ideologi dan identitas, karenanya perebutan hegemoni di antara mereka tidak bisa dihindarkan. Konteks ini menghasilkan kegelisahan sekaligus kearifan komunal yang berujung pada reproduksi praktik budaya Raju. Praktik budaya Raju akhirnya menjadi medan budaya bagi pertarungan dan relasi kuasa. Dalam konteks ini, menjadi tugas kajian budaya untuk memproduksi pemahaman yang lebih baik tentang geliat masyarakat kecil yang terpinggirkan, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman berkepanjangan yang berlanjut pada peminggiran lebih tepi terhadap mereka. Jika dirawat, kesalahpahaman
17
demikian tidak saja berakibat peminggiran lanjut, tetapi juga perlawanan dan konflik berkepanjangan yang menguras energi sosial. Penelitian ini didorong oleh keingintahuan untuk menelusuri aspek-aspek relasi kuasa dalam diri Dou Mbawa dan kearifan mereka meresponsnya. Subjek penelitian ini adalah praktik budaya Raju dalam konteks relasi masyarakat pluralistik Mbawa dan dalam hal mereka mendayagunakan praktik itu sebagai wahana merespons hegemoni dan mengkomunikasikan ideologi mereka di hadapan ideologi agama-agama besar. Dengan demikian, muara penelitian ini adalah menjelaskan cara masyarakat pluralistik Mbawa menciptakan relasi multikultural dan harmoni sosial di tengah hegemoni yang mengepung. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian ini mengenai hubungan budaya dan agama, serta hubungan antara budaya/agama lokal dengan budaya/agama dominan dari luar. Praktik budaya Raju sebagai pintu masuk dalam menjelajahi relasi dan pertarungan dari entitas budaya (yang bermetamorfosa menjadi agama lokal) versus agama (universal), di mana yang satu terpinggirkan sementara yang lain dominan. Secara umum, penelitian ini memperbincangkan praktik budaya Raju yang dimaknai secara kreatif berdasarkan konteks pluralitas Dou Mbawa. Secara khusus, permasalahan penelitian berpusat pada keberadaan praktik budaya tradisional masih di tengah kecenderungan pengikisan little tradition (tradisi kecil), yaitu praktik Parafu, oleh great tradition (tradisi besar), dalam hal ini Islam, melalui dakwah yang digencarkan oleh outsider dari kaum puritan kota. Penelitian ini pada gilirannya melihat dinamika kehidupan sosial-keagamaan masyarakat seiring dengan
18
pergeseran makna dan perubahan bentuk praktik budaya dari waktu ke waktu. Berdasarkan perbincangan di atas, masalah yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apa basis sosial dan modal yang memicu produksi dan reproduksi praktik budaya Raju dalam pluralitas Dou Mbawa? 2. Bagaimana respons terhadap hegemoni berlangsung pada praktik budaya Raju dalam pluralitas Dou Mbawa? 3. Bagaimana makna tindakan komunikasi pada praktik budaya Raju dalam pluralitas Dou Mbawa? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan membongkar berbagai faktor dan motif kepentingan yang melilit praktik budaya Raju dalam masyarakat pluralistik Mbawa di Bima. Selain itu penelitian ini juga melihat posisi strategis praktik budaya Raju yang telah dimaknai sedemikian rupa oleh pendukungnya yang melampaui fungsi dasarnya sebagai ekspresi ritual, terutama fungsinya sebagai wahana ekspresi visi sosial masyarakatnya dan “ruang publik” tempat bertemu, bertarung, bernegosiasi, dan berkomprominya berbagai kepentingan dalam masyarakat pluralistik Mbawa. Dalam konteks ‘ideologi’ kajian budaya, penelitian bukan sekedar menghasilkan penjelasan ilmiah mengenai fenomena masyarakat Mbawa, tetapi juga sebagai sarana ‘keberpihakan’ dan posisi emansipatoris peneliti dalam perjuangan identitas Dou Mbawa yang terhimpit dalam lilitan hegemoni
19
keagamaan universal. 1.3.2 Tujuan Khusus Dengan membaca ‘teks-teks’ yang terpampang dalam pluralitas Dou Mbawa dan membongkar relasi dan aspirasi di sekitar praktik budaya Raju, penelitian ini memiliki beberapa tujuan yang khusus. Pertama, mengurai basis sosial dan modal dalam pluralitas Dou Mbawa yang menjadi prakondisi bagi reproduksi praktik budaya Raju. Kedua, membongkar relasi kuasa-hegemoni antara Dou Mbawa dengan outsider, terutama dengan para penganjur cara hidup Islami dari mayoritas Muslim di Bima, dan mengurai cara Dou Mbawa meresponsnya melalui praktik budaya Raju. Ketiga, merekonstruksi wacana dan praktik komunikasi yang menghasilkan doktrin bagi relasi harmoni yang menjadi imajinasi sosial yang sebagiannya telah dipraktikkan oleh Dou Mbawa, menggantikan relasi hegemonik. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretik-akademik, penelitian ini diharapkan bisa memiliki dua manfaat. Pertama, memberi sumbangan bagi pengayaan perspektif dan pengetahuan mengenai fenomena budaya, terutama menyangkut basis pandangan yang mendasari dan menyertai produksi budaya serta pertarungan makna dan kekuasaan yang berlangsung di sekitarnya. Kedua, menyediakan bahan rujukan ilmiah-akademik dalam menjelaskan dinamika hubungan antara mayoritas dan minoritas, agama dan tradisi, great tradition dan little tradition, serta hubungan
20
hegemonik antara umat dengan elite agama. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara sosial-praktis, penelitian ini memiliki beberapa manfaat. Pertama, bagi Dou Mbawa pemilik praktik budaya Raju, diharapkan dapat memberi pandangan mengenai seluk-beluk tradisi untuk menjadi landasan pemertahanan, pewarisan, dan perubahan terutama dalam konteks hubungan antarpemeluk agama. Kedua, bagi pemerintah dan pihak pengembang masyarakat, dapat menjadi acuan dalam perencanaan, pengembangan, dan penerapan kebijakankebijakan intervensi dan sosialisasi pembangunan dan keagamaan yang ramah dan berpihak pada tradisi, atau bahkan pendayagunaannya sebagai modal dan wahana pemberdayaan, penyejahteraan, dan penciptaan suasana damai dalam komunitas majemuk. Ketiga, bagi para pekerja agama, penggiat cultural studies, atau intelektual organik, dapat menjadi landasan bagi kerja-kerja lapangan dan praksis emansipatoris dalam rangka penguatan kapasitas kultural masyarakat pinggiran, khususnya masyarakat berkarakter tradisi, tetapi majemuk seperti Dou Mbawa.