BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Komunikasi merupakan kebutuhan yang hakiki bagi umat manusia, dikatakan kebutuhan yang hakiki karena dalam kehidupan manusia menjadi alat yang membantu dalam segala kegiatan yang ada. Hampir 70 persen waktu kehidupan manusia dalam sehari digunakan untuk berkomunikasi, sejak bangun tidur, hingga menjelang tidur, sehingga tidak heran jika komunikasi merupakan kebutuhan yang vital dalam kehidupan. Media massa memiliki peran yang besar dalam membentuk pola pikir dan hubungan sosial di masyarakat, memberikan ilustrasi dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya, yang semua itu dikonstruksikan melalui media berita maupun media hiburan. Dalam konteks komunikasi massa, film dapat menjadi salah satu alat atau media atau saluran penyampaian pesan. Film dibuat dengan suatu tujuan tertentu yang kemudian hasilnya akan diproyeksikan ke sebuah layar lebar ataupun ditayangkan melalui media televisi sehingga dapat ditonton oleh publik. Sebagai suatu bentuk komunikasi massa, film memiliki kekuatan yang kompleks. Cara berkomunikasi dalam film adalah cara bertutur. Ada tema, tokoh, cerita, secara audio visual, yang pada akhirnya mengkomunikasikan suatu pesan eksplisit maupun implisit secara dramatik. Film sebagai salah satu bentuk media masa dipandang mampu memenuhi permintaan dan selera masyarakat akan hiburan dikala penat menghadapi aktifitas hidup sehari-hari. Dalam pandangan Denis McQuail (Sumarno, 1996: 13), film
1
berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, humor dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Kehadiran film sebagian merupakan respon terhadap “penemuan” waktu luang diluar jam kerja dan jawaban terhadap kebutuhan menikmati waktu senggang secara hemat dan sehat bagi seluruh anggota keluarga. Film disini merupakan perwujudan dari seluruh realitas kehidupan dunia yang luas dalam masyarakat, oleh karena itu film mampu menumbuhkan imajinasi, ketegangan, ketakutan, dan benturan emosional khalayak penonton, seolah mereka ikut merasakan dan menjadi bagian dari cerita film tersebut. Film juga menggambarkan realita yang berlaku di masyarakat, termasuk halnya mengenai dominasi laki-laki. Di dunia yang sebagian besar terdapat dominasi laki-laki, muncul budaya patriarkal atau sentris terhadap laki-laki. Dalam budaya patriarkal ini, laki-laki adalah kelas utama dan dapat dikatakan sebagai sosok yang mendominasi atas perempuan. Sedangkan perempuan hanya dianggap sebagai second class yang eksistensinya adalah tergantung pada laki-laki. Ini menimbulkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan,
diantaranya
marginalisasi
(proses
pemiskinan
ekonomi),
subordinasi (anggapan tidak penting dalam keputusan politik), stereotipe dan diskriminasi (pelabelan negatif), violence (kekerasan), beban kerja lebih banyak atau lebih panjang, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih, 2008:13). Hal tersebut juga merupakan akar yang memicu adanya perdagangan perempuan
2
atau yang populer dengan istilah trafficking. Perempuan disini dijual sebagai suatu komoditas. Hal tersebut seolah sah adanya karena sebagian besar masyarakat masih menganut budaya patriarkal yang sangat berpusat pada eksistensi laki-laki. Apa yang diinginkan laki-laki seolah adalah suara mayoritas, demikian juga halnya dalam komersialisasi perempuan. Kesemua itu untuk memenuhi kebutuhan dasar dari pria dari perspektif gender. Seperti halnya yang ingin digambarkan dalam film Taken karya Pierre Morrel. Dimana dalam dunia yang didominasi laki-laki, direpresentasikan karakter-karakter yang memiliki ciri khas masing-masing, seperti misalnya kelompok pedagang perempuan yang mewakili tipikal pria umum yang menunjukkan dominasinya atas perempuan, juga sosok ayah penyayang yang dengan segala cara berupaya menolong putrinya dari cengkeraman sindikat trafficking internasional yang mungkin tipikal dari minoritas laki-laki yang memiliki rasa hormat dan cinta kasih terhadap perempuan. Secara keseluruhan, film ini menceritakan Bryan Mills (Liam Neeson) adalah seorang mantan anggota intelijen AS. Panggilan tugas membuat rumah tangganya berantakan. Istrinya Lenore (Famke Janssen) menikah lagi dan membawa satu-satunya putri mereka Kim (Maggie Grace) yang sangat disayanginya. Ketika Kim sedang berlibur di Paris bersama temannya, dia diculik oleh sindikat Albania yang menjalani perdagangan wanita. Kim sempat menghubunginya sebelum diculik. Berpacu dengan waktu, Bryan langsung bekerja dengan lugas. Dimulai dari apartemen, bandara, dan sarang komunitas
3
Albania dan sampai akhirnya pada organisasi pelacuran dan perdagangan wanita tingkat tinggi. Dari gambaran film yang diungkap tersebut dapat diketahui bahwa film ini sekaligus memberikan pesan kepada audiens-nya, yaitu mengenai dominasi lakilaki yang diwujudkan dalam bentuk ’penguasaan’ terhadap perempuan. Perempuan dalam film ini digambarkan sebagai komoditi yang dapat dijual, dimanfaatkan, dan dipergunakan baik sebagai alat komersial maupun dengan tujuan seksual. Film ini memberikan gambaran mengenai bagaimana bentuk trafficking (perdagangan wanita) yang mana merupakan salah satu fenomena dunia global saat ini serta dominasi laki-laki atas perempuan dalam budaya patriarkal. Hal ini menarik untuk dianalisis, karena secara umum dunia didominasi oleh budaya patriarki yang meletakkan laki-laki sebagai sosok sentral dan berpengaruh dalam perjalanan dunia secara umum. Sekaligus juga dalam film ini terdapat kritik terhadap maskulinitas laki-laki yang tergambar melalui berbagai karakter negatif dalam film yang mana cenderung menunjukkan dominasi dan menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan dan dunia secara umum. Dalam film ini utamanya juga digambarkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Ini merupakan gambaran realistis keadaan dunia dimana perempuan seringkali menjadi obyek kekerasan yang didukung oleh adanya budaya patriarki yang berpihak pada laki-laki. Penulis disini tertarik untuk menganalisis adanya muatan tindak kekerasan laki-laki dalam film ”Taken” karya Pierre Morel ini dan membahasnya dalam skripsi
4
berjudul: Muatan Tindak Kekerasan Laki-Laki terhadap Perempuan dalam Film (Analisis Isi Film ”Taken” Karya Pierre Morel)
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah seberapa banyak muatan tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan dalam film dalam “Taken” karya Pierre Morel?
C. Tujuan Penelitian Mengetahui dan menganalisis seberapa banyak kandungan muatan tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan dalam film “Taken” karya Pierre Morel.
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Praktis
Memberikan interpretasi tersendiri terhadap film untuk masyarakat luas sehingga menyumbangkan pemikiran kritis untuk kehidupan masyarakat berkaitan dengan representasi tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan dalam film. 2. Kegunaan Akademis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan terhadap perkembangan dan pendalaman studi yang mengunakan pendekatan analisis isi. Selain itu juga agar dapat dijadikan referensi serta komparasi untuk penelitian sejenis dimasa yang akan datang.
5
E. Tinjauan Pustaka 1. Film sebagai Medium Komunikasi Massa Medium atau media adalah sarana yang dipergunakan oleh komunikator sebagai saluran untuk menyampaikan suatu pesan kepada komunikan, apabila komunikan jauh tempatnya, banyak jumlahnya atau kedua-duanya. Sebagai alat untuk menyampaikan pesan kepada manusia lain media merupakan bagian dari kehidupan. Selain itu juga menjadi sumber dominan untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial bagi individu, kelompok dan masyarakat. Ketergantungan manusia terhadap media begitu besar di dunia modern. Dalam menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita, opini, cerita pendek, kartun, film dan lain-lain. Komunikasi massa merupakan salah satu bentuk didalam ilmu komunikasi. Jadi jelas bahwa komunikasi massa merupakan salah satu bidang kajian dari sekian banyak bidang yang dipelajari dan diteliti oleh ilmu komunikasi. Komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan media massa baik cetak (surat kabar, majalah), atau elektronik (radio, televisi, film) yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditunjukkan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat,
anonim dan
heterogen. Pesan-pesannya bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak dan selintas (Mulyana, 2005:75). Film diperkenalkan pertama kali oleh Lumiere bersaudara yaitu Auguste Lumiere dan Louis Lumiere. Seperti kita ketahui bersama bahwa film merupakan sebuah alat untuk menyampaikan pesan yang efektif dalam mepengaruhi khalayak dengan pesan-pesan yang disampaikannya. Film selalu mempengaruhi
6
dan membentuk masyarakat melalui muatan pesan-pesannya (message) (Sobur, 2006:127). Film sebagai salah satu media massa, mempunyai kekuatan dan kemampuan dalam menjangkau banyak segmen sosial, karena film dipandang mampu memenuhi permintaan dan selera masyarakat akan hiburan. Selain sifat film itu sendiri adalah sebagai medium komunikasi massa yang dapat memproduksi secara massif dalam tempat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Oleh karenanya, film sebagai medium komunikasi massa bisa menjadi medium yang dapat melampaui batas teoritis dan batas sosial tertentu, sehingga dapat menjangkau dan menyentuh kesadaran pada setiap aspek masyarakat. Dalam perspektif komunikasi massa, film dimaknai sebagai sebagai penyampai pesan yang dalam prosesnya akan menimbulkan berbagai efek bagi penikmat film, antara lain efek kognitif yang menyebabkan perubahan pada tingkat pengetahuan, efek afektif yang menyebabkan perubahan pada emosi atau sikap, dan efek konatif yang menyebabkan perubahan pada kebiasaan berprilaku dan efek perubahan sosial. Menikmati cerita dari film berbeda dengan buku. Cerita dari buku disajikan dengan perantaraan huruf-huruf yang berderet secara mati. Huruf-huruf itu merupakan tanda. Dan tanda-tanda ini akan mempunyai arti hanya didalam alam sadar. Sebaliknya film memberikan tanggapan terhadap yang menjadi pelaku dalam cerita yang dipertunjukkan itu dengan jelas tingkah lakunya, dan dapat mendengarkan suara para pelaku itu beserta suara-suara lainnya yang bersangkutan dengan cerita yang dihidangkan. Apa yang dilihatnya di bioskop
7
seolah-olah kejadian yang nyata, yang terjadi dihadapan matanya. Berbeda dengan membaca buku yang memerlukan daya pikir yang aktif, film tidak demikian. Film sebagai suatu bentuk medium komunikasi massa juga dikelola menjadi suatu komoditi. Didalamnya teramat kompleks, dari produser, sutradara, pemain, dan seperangkat pendukung kesenian lainnya seperti musik, seni rupa, teater, seni suara, dll. Semua unsur tersebut terkumpul menjadi komunikator dan bertindak sebagai agen tranformasi budaya. Film dapat memproduksi pesan yang akan dikomunikasikan lewat pemanfaatan teknologi kamera, warna, dialog, sudut pengambilan gambar, musik dan suara menjadi tampilan audio dan visual yang terekspresikan menjadi sebuah karya seni dan sastra yaitu bagaimana adegan satu dengan adegan yang lain dirangkai membentuk cerita film sehingga isi pesan dalam film yang disampaikan mudah dipahami oleh penikmat film. Melihat keberadaan film yang memiliki daya tarik kemasan gambar bergerak, warna, bentuk dan suara dengan aspek alur cerita, pemeran dan setting, film mendapat tempat tersendiri. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikan ke atas layar. Dewasa ini terdapat berbagai jenis film, meskipun cara pendekatannya berbeda-beda, semua film dapat dikatakan mempunyai satu sasaran, yaitu menarik perhatian orang terhadap muatan masalah-masalah yang dikandung. Pada dasarnya film dapat dikelompokan kedalam dua pembagian besar, yaitu kategori film cerita dan non cerita. Namun dalam perkembangannya film cerita
8
dan non cerita saling mempengaruhi dan melahirkan berbagai jenis film yang memiliki ciri , gaya, dan corak masing- masing, diantaranya adalah: 1. Film Cerita Film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya film cerita bersifat komersial, artinya dipertunjukan di bioskop dengan harga karcis tertentu atau diputar di televisi dengan dukungan sponsor iklan tertentu. Contoh: film drama, film horror, film fiksi, ilmiah, komedi, laga, musical dan lain- lain. 2. Film Non Cerita Film non cerita merupakan kategori film yang mengambil kenyataan sebagai subjeknya. Jadi merekam kenyataan daripada fiksi tentang kenyataan. Pada mulanya hanya ada dua tipe film non cerita ini yakni yang termasuk diantaranya adalah: a. Film Faktual: pada umumnya hanya menampilkan fakta, kamera sekedar merekam peristiwa. Biasa hadir dalam bentuk sebagai film cerita dan film dokumentasi. b. Film Dokumenter: wahana yang tepat untuk mengungkapkan realitas, menstimuli perubahan. Jadi, yang terpenting menunjukan realitas kepada masyarakat secara normal.
2. Film sebagai Industri Industri secara umum adalah kelompok bisnis tertentu yang memiliki teknik dan metode yang sama dalam menghasilkan keuntungan. Film sebagai industri atau yang disebut dengan perfilman adalah seluruh kegiatan yang
9
berhubungan dengan pembuatan, jasa, teknik, pengeksporan, pengimporan, pengedaran, pertunjukan, dan/atau penayangan film (Pandjaitan & Aryani, 2001). Industri film meliputi aspek teknologi dan komersial pembuatan film, misalnya studio film, sinematografi, produksi film, penulisan naskah, pra produksi, pasca produksi, festival film, distribusi, aktor, sutradara film, dan personilnya (www.wikipedia.com). Industri merupakan suatu kegiatan pemrosesan barang/jasa hingga menuju ke arah barang/jasa tersebut siap untuk didistribusikan, sehingga film dapat dikatakan sebuah industri apabila film tersebut mengakomodasikan aspek ekonomi, aspek sosial dan politik. Ketiga aspek tersebut sebagai penunjang bagi film untuk menjadi sebuah industri yang besar. Aspek ekonomi dapat dilihat dari biaya produksi, sponsor, dll. Sedangkan aspek sosial dan politik didapat dari isi dan tujuan film tersebut, apakah film ditujukan sebagai media kritis atau hiburan dan apakah film tersebut hanya untuk konsumsi lokal maupun konsumsi internasional. Dalam hal ini film dimaksudkan untuk memperoleh income baik bagi pemain, kru, produser, sponsor, negara, dan bagi khalayak. Pembuatan film adalah suatu industri. Dari pengertian di atas, sebuah film dapat menjadi industri yang besar, jika aspek ekonomi, sosial, dan politik yang terwujud dapat mengakomodasi tuntutan profesional orang-orang yang terlibat di dalamnya. Gambarannya, film sebagai sebuah industri tentunya tidak hanya menjadi komoditi lokal, tapi juga harus diprediksikan sebagai komoditi ekspor. Film sebagai industri, sehingga dalam konteksnya film dapat dikatakan sebagai barang atau jasa yang melalui proses industri dan untuk kemudian dijual sebagai barang dagangan sehingga film berpijak pada dua hal, yaitu:
10
a. Bagaimana menghasilkan sebuah film sebagai barang dagangan yang dapat diterima oleh masyarakat. b. Bagaimana menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya dari film Industri film raksasa Amerika yang telah menguasai pasar film dunia, tidak lain adalah adalah Hollywood. Bidang bisnis ini dibangun dengan basis kapitalistik yang kuat dan sempat mengalami pasang surut. Film yang diibaratkan sebagai barang dagangan tentunya harus dapat diterima oleh masyarakat agar mempunyai nilai jual. Hal ini perlu diperhatikan karena film yang bagus belum tentu memiliki nilai jual di masyarakat. Karena tentunya masyarakat pula yang menikmati film atau masyarakat sebagai konsumen dari film. Nilai jual yang tinggi terhadap suatu film dapat menghasilkan keuntungan yang tinggi pula. Keberlanjutan film sebagai industri tidak hanya berhenti sampai pada bagaimana film tersebut dapat diterima masyarakat dan dapat menghasilkan keuntungan tetapi bagaimana konteks film itu sendiri sebagai bagian dari kehidupan modern. Film yang berarti sebagai seni dapat memberikan pengaruh yang kuat dalam memperkaya pengalaman hidup seseorang melalui pencitraan dalam segi-segi kehidupan. Tidak hanya segi positif yang dimunculkan dari film, negatifnya dalah film dapat menjadi media destruktif potensial yang dapat memberikan efek pengaruh buruk yang mungkin dapat ditimbulkannya, seperti gaya hidup konsumerisme dan bermewah-mewahan. Argumen-argumen yang seperti ini muncul sebagai akibat media (film) dan perfilman sudah menjadi kepentingan, bukan kebutuhan yang mem-’budaya’ dan kompleks dalam memainkan peranannya untuk mengkonstruksi rasa kita akan realitas sosial maupun rasa kita sebagai bagian dari realitas ini. Terkait dengan
11
hal ini, kondisi post modern menjadi lebih sulit untuk memilah antara ekonomi dengan budaya popular. Dengan kata lain masyarakat post modern (masa kini) melihat film dan perfilman sebagai sebuah kebutuhan (ekonomi) yang harus ataupun tidak harus terpenuhi. Namun melihat sudut pandang yang lain, film dan perfilman bisa dikatakan ’trend’ atau budaya yang pada akhirnya mengarah pada sifat konsumtif. Sifat konsumtif dalam hal ini adalah kebutuhan akan film itu sendiri ataupun kebutuhan yang didasarkan pada konstruksi realitas yang ada dalam film itu sendiri.
3. Tindak Kekerasan terhadap Perempuan Kekerasan dimaksudkan sebagai tindakan yang langsung bertentangan dengan kodrat manusia. Secara konkret, kekerasan menyentuh realitas kehadiran manusia dalam keseluruhannya. Tidak hanya kehadiran fisik tubuhnya, melainkan keseluruhan yang menjadi pemenuhan kehadirannya. Misalnya, menghancurkan rumah, toko, mobil, dan semacamnya. (Mulkan, 2002:4). Kekerasan dekat dengan agresi. Fenomena agresi ini dapat ditinjau dari teori instingtif. Freud memberikan fase teoritik baru dalam rumusan berikut: ”Bermula dari spekulasi tentang asal muasal kehidupan dan dari persamaanpersamaan biologis, saya menarik simpulan bahwa selain dari insting untuk mempertahankan substansi hidup, mestinya ada insting lain, yakni insting yang berupaya mengurai unit-unit tadi dan menempatkannya kembali dalam kondisi awal inorganik. Singkatnya, disamping adanya Eros, ada pula insting kematian” (Freud 1930 dalam Fromm, 2001:6)
12
Tindakan kekerasan atau kejahatan bisa dilakukan secara sadar, dipikirkan, direncanakan dan diarahkan pada maksud tertentu secara sadar benar. Namun bisa juga dilakukan secara setengah sadar, misalnya karena di dorong oleh paksaan yang sangat kuat dan bisa juga secara tidak sadar, misalnya karena secara terpaksa untuk mempertahankan hidupnya, seseorang harus melawan dan akhirnya terjadi peristiwa pembunuhan, itulah tiga konsep yang mendasari orang melakukan tindakan kekerasan atau kriminalitas Secara yuridis formal tindak kekerasan merupakan suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoral), merugikan masyarakat a-sosial dan melanggar hukum serta undang-undang pidana Dalam tinjauan sosiologis tindakan kekerasan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosialpsikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat. Tingkah laku atau tindak kekerasan yang im-moral dan anti-sosial itu banyak menimbulkan reaksi kejengkelan dan kemarahan di kalangan masyarakat dan jelasnya sangat merugikan umum. Perempuan sering di analisis dalam hubungannya dengan kedudukan atau juga dengan kekuasaan yang ada dalam masyarakat, yaitu fungsi mereka dalam keluarga. Menurut Aguste Comte, perempuan secara konstitusional bersifat inferiror, dimana mereka cenderung sedikit memperoleh pengakuan kedudukan didalam keluaraga maupun dalam masyarakat yang luas. Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena sosial yang telah berlangsung lama dari masyarakat yang masih primitif sampai pada masyarakat modern sekarang ini, berbagai tindak kekerasan telah di alami oleh perempuan dari waktu-kewaktu
13
Platform For Action and Beijing Declaration dalam Kholek 2010 (http://blog.unsri.ac.id/revolusi_Jalanan/artikel-sosial-budaya/potret-kekerasanterhadap-perempuan/mrdetail/6619/) menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan kekerasan berdasarkan gender, termasuk ancaman, pemaksaan atau perampasan hak-hak kebebasan, yang terjadi baik didalam rumah tangga atau keluarga (privat life), maupun di dalam masyarakat (public life) yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan bagi wanita baik secara fisik, seksual maupun fsikologis (United Nations Depertement of Public Relation 1986) Berdasarkan uraian mengenai tindak kekerasan diatas, maka tindak kekerasan terhadap perempuan, merupakan salah satu dari banyak pelanggaran terhadap aturan atau norma dalam masyarakat, kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu permasalahan yang tidak pernah habis-habisnya dari masa tradisional sampai pada kehidupan modern sekarang ini, kekerasan terhadap perempuan semakin hari semakin meningkat, mungkin karena dosa turunan dari budaya patriarki, atau karena belum seriusnya dan belum intensifnya penggulangan yang dilakukan oleh berbagai pihak, walaupun banyak pihak yang di rugikan oleh fenomena tersebut Kekerasan terhadap perempuan mencakup kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, dan kekerasan sosial budaya (Mulkan, 2002:165). Secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut: a. Kekerasan Fisik Kekerasan fisik ialah kontak fisik yang diberikan pada seseorang yang menyakiti dan bersifat kepada pengerusakan fisik. Biasanya
14
kekerasan fisik merupakan pelampiasanemosi atau amarah dari pelaku. Mungkin disebabkan korban yang berbuat salah sehingga menyebabkan pelaku menjadi marah, namun salah disini sangat relatif. Bergantung pada penilaian pelaku, menganggap apa yang dilakukan korban salah atau tidak. Tetapi tak jarang korban hanya sebagai pelampiasan amarah pelaku terhadap
sesuatu,
dan
kekerasan
fisik
ini
merupakan
bentuk
ketakberdayaan pelaku menempatkan emosinya. Dalam hal ini korban merupakan orang yang tak berdaya atau pelaku mempunyai kuasa yang lebih tinggi dari pelaku, sehingga pelaku menjadi objek kekerasan fisik. Kekerasan fisik terhadap perempuan merupakan perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, seperti pemukulan, penamparan, dan penendangan anggota tubuh perempuan, baik yang dilakukan secara kolektif atau individu-individu. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan terkadang ada yang menggunakan alat bantu dan ada yang menggunakan tangan kosong (Mulkan, 2002:166).
b. Kekerasan Psikis Kekerasan psikis merupakan tindak kekerasan yang mempengaruhi psikologis perempuan. Kekerasan jenis ini tidak mudah dikenali, akibat yang dirasakan oleh korban tidak menampakkan bekas nyata bagi orang lain. Dampak dari kekerasan jenis ini berpengaruh pada situasi perasaan tidak aman, menurunnya harga diri dan martabat korban. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
15
penderitaan psikis berat pada seseorang seperti wujud kongkrit dari kekerasan ini adalah penggunaan kata-kata kasar, mempermalukan di depan orang lain, melontarkan kata-kata ancaman dan sebagainya. Kekerasan psikologis berimplikasi pada penderitaan mental atau emosi. Ketika seseorang berperilaku yang mana menyebabkan ketakutan, derita mental atau menyakiti emosi atau distress kepada orang lain, tingkah laku tersebut bisa dipandang sebagai penganiayaan. Penganiayaan psikologis dapat berupa intimidasi, ancaman, diteror. Yang termasuk kekerasan psikologis lainnya adalah pengabaian atau isolasi korban dari keluarga, teman dan aktivitas umumnya – baik dengan kekuasaan, ancaman atau melalui manipulasi.
c. Kekerasan Seksual Seksualitas didefinisikan secara luas sebagai suatu keinginan untuk menjalin kontak, kehangatan, kemesraan, atau mencintai. Respons seksual meliputi memandang dan berbicara, berpegangan tangan, berciuman, atau memuaskan diri sendiri, dan sama-sama
menimbulkan orgasme.
Seksualitas merupakan bagian dari perasaan terhadap diri yang ada pada individu secara menyeluruh. Para ahli dalam bidang seksualitas setuju tentang jenis perilaku seksual normal. Adalah mungkin untuk meninjau ekspresi seksualitas dalam suatu rentang yang berkisar dari adaptif hingga maladaptif. Respons seksual yang paling adaptif terlihat perilaku yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
16
1. Antara dua orang dewasa 2. Saling memuaskan individu yang terlibat 3. Secara fisik dan psikologis tidak berbahaya bagi kedua pihak 4. Tidak terdapat paksaan atau kekerasan 5. Dilakukan di tempat tertutup Akan tetapi terkadang terdapat penolakan dari pasangan karena suatu alasan sehingga membuat pasangan yang lain merasa tertolak dan tidak terima dan berakibat pada pemaksaan yang cenderung berujung pada kekerasan seksual. Kekerasan seksual, adalah kekerasan yang bernuansa seksual termasuk berbagai perilaku yang tak diinginkan dan mempunyai makna seksual dan berbagai bentuk pemaksaan hubungan seks yang tidak dikehendaki salah satu pihak, seperti, diperkosa, dicabuli, dilecehkan.
d. Kekerasan Ekonomi Status sosial merupakan pandangan mangenai kehormatan atau pristise seseorang dapat di berikan oleh keluarga, aktivitas pekerjaan, dan pola konsumsi. Aristoteles seorang ahli filsfat yunani kuno pernah menyatakan bahwa di dalam setiap masyarkat selalu terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang sangat kaya, mereka yang melarat, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya. Konsep ini menunjukkan bahwa masyarakat pada saat itu sudah mengakui adanya lapisan-lapisan dalam masyarakat atau yang sering di sebut dengan strata sosial. Menurut para sosiolog, sistem yang berupa lapisan-lapisan sosial itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur.
17
Ekonomi juga menjadi faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan biasanya di lakukan oleh lapisan sosial yang rendah, dimana mereka melakukan tindakan itu berdalihkan pada kebutuhan ekonomi yang mendesak mereka untuk melakukan perbuatan kekerasan terhadap perempuan, benar atau tidaknya. Alasan yang diungkapkan oleh sebagian besar pelaku kejahatan itu, menandakan bahwa peran serta sistem perekonomian juga terlibat dalam fenomena sosial tindak kekerasan terhadap perempuan, hal ini bisa menjadi landasan paradigma bahwa pemerataan pembangunan dalam bidang ekonomi akan bisa mengurangi fenomena sosial yang merugikan masyarakat tersebut. Tindak kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dari lapisan bawah tetapi, banyak juga kasus yang terjadi tindakan tersebut dilakukan oleh individu dari kalangan atas, fenomena seperti ini memperlihatkan adanya pola ketergantungan ekonomi, sebagai contoh yang mendukung pendapat ini yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh majikan terhadap perempuan sebagai pembantu rumah tangga, tidak menjadi rahasia lagi bahwa keududukan ekonomi telah melahirkan penindasan terhadap perempuan dari lapisan rendah, ketergantungan yang terjadi di sini yaitu dimana kedudukan pembantu sebagai pelayan yang mendapat upah dari majikan tetapi yang terjadi kekuasaan ekonomi atau kekayaan telah membuat orang bertindak arogan dan seenaknya sendiri tanpa memandang moral dan norma yang ada dalam masyarakat
18
Kekerasan ekonomi paling banyak dialami kaum perempuan. Simbol-simbol kemiskinan di perkotaan dan di pedesaan tetap berwajah perempuan. Bahkan para pengamat melihat adanya fenomena feminisasi kemiskinan (feminization of poverty) yaitu sistem perekonomian kita mempersulit perempuan untuk mengakses bidang-bidang produksi yang strategis, dengan alasan fungsi reproduksi. Fenomena neopatriarki yang tetap mempertahankan pembagian kerja secara seksual selalu mengkaitkan dengan fungsi reproduksi tadi. Laki-laki diasumsikan sebagai mahluk produktif dan perempuan sebagai mahluk reproduksi.
e. Kekerasan Sosial Budaya Manusia merupakan mahluk individual sekaligus sebagai mahluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari individu yang lain, manusia selalu melakukan interaksi dengan individu lain dalam keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan yang lebih luas lagi. Masyarakat diatur oleh norma, atau nilai, adat istiadat yang telah di sepakati bersama oleh masyarakat. Kendatipun demikian tidak berarti kehidupan sosial masyarakat akan selalu lancar stabil dan terintegrasi dengan baik, dan ternyata banyak sekali celah-celah yang mengakibatkan terjadi kesemerautan dalam masyarakat, salah satunya yaitu tindakan kekerasan terhadap perempuan, ini adalah suatu fenomena yang tak kunjung terselesaikan. Fenomena ini di sebabkan oleh banyak faktor, salah satunya yaitu faktor sosial. Faktor sosial marupakan faktor eksternal munculnya tindak
19
kekerasan, ia disebut sebagai faktor eksternal karena faktor itu berada di luar individu seperti budaya disekelilingnya. Kebudayaan
menurut
E.B
Taylor
dalam
Kholek
2010
(http://blog.unsri.ac.id/revolusi_Jalanan/artikel-sosial-budaya/potretkekerasan-terhadap-perempuan/mrdetail/6619/), dalam bukunya primitive culture merumuskan definisi secara sistematis dan ilmiah, sebagai berikut kebudayaan adalah komplikasi (jalinan) dalam keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keagamaan, hukum, adat istiadat, kepribadian dan kebiasaan-kebiasaan yang di lakukan manusia sebagia anggota masyarakat. Budaya patriarki telah menjadi unsur utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Budaya patriarki merupakan budaya dominan yang mendomisasi kebudayaan nasional, yang memperlihatkan pembedaan yang jelas antara laki-laki dengan perempuan terutama mengenai kekuasaan. Kekuasaan dominan yang di miliki oleh laki-laki dianggap merupakan sesuatu yang tidak dapat diubah, dan mutlak serta baku. Dimana laki-laki menempati posisi sebagai pimimpin, dan penguasa, sedangkan perempuan sebagai pekerja yang harus melayani kaum lakilaki. Pola budaya seperti inilah yang secara tidak langsung telah melegalkan kekerasan dan penindasan terhadap perempuan, perempuan telah di sandera, di penjarakan dan di pasung oleh belenggu patriarki.
20
4. Media Massa dalam Relasi Gender Media massa sebagai salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi gender dalam masyarakat, di samping itu media massa juga memiliki karakteristik dengan jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang efektif dalam menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat. Menurut Nugroho (2008:2) istilah ‘gender’ pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Sumber lainnya menyebutkan bahwa gender dipahami sebagai jenis kelamin sosial, artinya adanya pembedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dihasilkan dari konstruksi sosial budaya dan dapat berbuah sesuai dengan perkembangan zaman (Mufidah Ch, 2008:3). Misalnya dalam keluarga, peran perempuan hanya dalam lingkup domestik, yaitu sebagai ibu rumah tangga (memasak, membersihkan rumah, mengasuh anak, dan melayani suami). Sedangkan peran suami lebih banyak di luar rumah, karena sebagai pencari nafkah untuk istri dan anak. hal tersebut yang mengakibatkan kebanyakan laki-laki lebih banyak terjun dalam lingkup publik daripada kaum perempuan. Sedangkan konsep gender lainnya sebagaimana yang diungkapkan oleh Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial (2008 : 8) adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Hal itu bukanlah ketentuan kodrat Tuhan melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah yang panjang. Pembagian
21
peran, sifat maupun watak perempuan dan laki-laki dapat dipertukarkan, berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas lainnya. Gender memang bukan kodrat atau ketentuan Tuhan, melainkan buatan manusia, buatan masyarakat atau konstruksi sosial. Dengan demikian, perilaku manusia yang baik dan buruk, pola pikir, sikap dan perilaku yang seharusnya atau sepantasnya dilakukan oleh perempuan dan laki-laki atau perbedaan gender tidak datang secara tiba-tiba atau dibawa sejak lahir, tetapi terbentuk melalui proses belajar yang sangat panjang di dalam keluarga, masyarakat dan Negara melalui berbagai media seperti sekolah, media massa, pendidikan, keluarga, adat-istiadat seperti interaksi langsung antar individu, belajar di sekolah, buku dan lain-lain. Keterlibatan berbagai media massa dalam mensosialisasikan keyakinan gender itu telah mengakar kuat di benak setiap orang, yang kemudian mempengaruhi tindakan setiap pribadi, keluarga, kelompok, masyarakat, maupun Negara. Akibatnya sosialisasi keyakinan gender tersebut, secara tidak langsung, secara turun menurun diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, dan akhirnya lama kelamaan keyakinan gender tersebut dianggap sebagai keharusan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga banyak dijumpai ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan maupun laki-laki (Handayani, dkk, 2008: 10).
Agar lebih memahami, kita terlebih dahulu mengetahui
perbedaan pengertian gender dan seks (jenis kelamin). Berikut ini tabel perbedaan seks dan gender :
22
Tabel 1.1 Perbedaan Seks dan Gender No.
KARAKTERISTIK
1 Sumber
SEKS
GENDER
Tuhan
Manusia ( masyarakat)
2 Visi, Misi
Kesetaraan
Kebiasaan
3 Unsur Pembeda
Biologis(alat reproduksi)
Kebudayaan (tingkah laku)
4 Sifat
Kodrat, tertentu, tidak dapat dipertukarkan
Harkat, martabat dapat dipertukarkan
5 Dampak
Tercipta nilai-nilai :
Terciptanya normanorma/ketentuan tentang “pantas” atau “tidak pantas” laki-laki pantas menjadi pemimpin, Perempuan“pantas”dipimpin , dll.
Pembeda
Kesempurnaan, Kenikmatan, kedamaian, dll. Sehingga menguntungkan Kedua belah pihak
Sering merugikan salah satu pihak, kebetulan adalah perempuan.
6 Ke-berlaku-an
Sepanjang masa, dimana saja, tidak mengenal pembedaan kelas
Dapat berubah, musiman dan berbeda antar kelas
Sumber: Handayani dan Sugiarti (2008:6) Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Namun timbul persoalan dimana perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, walaupun laki-laki tidak menutup kemungkinan akan menjadi korban ketidakadilan gender tetapi perempuan masih tetap menduduki posisi tertinggi sebagai korban ketidakadilan gender (Fakih, 2008:12).
23
Lebih
lanjut
termanifestasikan
menurut
dalam
Mansour
berbagai
Fakih,
bentuk
ketidakadilan
ketidakadilan,
gender
diantaranya
marginalisasi (proses pemiskinan ekonomi), subordinasi (anggapan tidak penting dalam keputusan politik), stereotipe dan diskriminasi (pelabelan negatif), violence (kekerasan), beban kerja lebih banyak atau lebih panjang, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih, 2008:13). Ketidakadilan inilah yang digugat ideologi feminisme yang berangkat dari suatu kesadaran akan suatu penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, apakah itu ditempat kerja ataupun dalam konteks makro, serta tindakan sadar baik oleh perempuan atau laki-laki dalam mengubah keadaan tersebut. Kaum feminisme dalam gerakannya banyak mengkritik media massa ikut memelihara dan mengukuhkan pandangan bahwa wanita merupakan warga kelas kedua setelah laki-laki. Mereka melihat bahwa dalam memberitakan suatu peristiwa, apalagi yang bersangkutan dengan perempuan, media cenderung mengeksploitasi perempuan. Seperti dalam pengisahan berita (news stories) yang berisikan pengalaman wanita, kultur wanita, hingga kehidupan wanita digeneralisasikan dan didefinisikan dalam perbandingan dengan norma yang dikonstruksi secara sosial, yang digenderkan dan tentu saja di hadapan kaum pria. Dalam hal ini media massa juga ikut andil dalam melanggengkan budaya patriarki dalam masyarakat.
5. Laki-laki dalam Media Massa Tidak dapat dipungkiri lagi bahwasanya laki-laki telah menjadi salah satu elemen penting di dalam realitas sosial. Harus diakui pula perempuan tidak bisa
24
hidup tanpa laki-laki. Laki-laki dalam media massa memiliki karakter sebagai mahluk rasional, asertif, agresif, suka mendominasi, dan sifat lainnya yang menjadikan laki-laki selalu terdepan. Menurut Wood (1996) media massa telah membangun makna tentang pria dan perempuan serta hubungan antara pria dan perempuan. Wood berdasarkan hasil risetnya secara gamblang menguraikan bahwa stereotif yang berkembang yaitu; secara umum pria dalam media ditampilkan sebagai aktif, petualang, kuat, agresif secara seksual, dan sebagian besar tidak tampil dalam hubungan yang bersifat manusiawi. Sementara itu, makna tentang perempuan yang didasarkan pada pandangan budaya secara konsisten, digambarkan sebagai objek seks yang selalu langsing, cantik, pasif, tergantung (dependen), dan sering tidak kompeten, serta dungu. Selaras dengan ungkapan Wood, Doyle menyimpulkan dari hasil pengamatannya, bahwa citra yang dibentuk oleh media mengenai laki-laki adalah sebagai mahluk yang agresif, dominan dan ditempatkan dalam aktivitas yang menggairahkan, di mana dari citra yang terbentuk itu mereka menerima ganjaran dari orang lain untuk prestasi yang didapatkan dari kemaskulinitasannya (http://webcache.googleusercontent.com/search:atwarbajari.wordpress.com). Laki-laki memiliki “Selling Point” yang sangat tinggi di dunia media, baik itu dari iklan dalam rangka mempromosikan suatu produk, dalam film atau billboard yang terpasang di setiap sudut kota. Dan juga laki-laki sering digambarkan bahwa sebagian besar sifat laki-laki menyangkut karakter seperti agresif, kompetitif, non-emosional, dan sebagainya. Disebutkan juga bahwa lakilaki mulai bereaksi secara kritis atas sifat maskulinitas yang selama ini dilekatkan di masyarakat, yaitu yang melibatkan hal-hal semacam rasa takut, cemas, dan
25
sakit yang ada pada laki-laki saat mereka diharuskan mengikuti ideologi maskulinitas masyarakat. Di sisi lain, seperti yang banyak ditampilkan media, berbagai jenis olahraga juga sering diasosiasikan dengan sifat-sifat maskulin: kuat, memiliki jiwa bertempur, kasar, percaya diri, agresif, kompetitif, serta memiliki perhatian tinggi atas bentuk tubuh yang kekar dan berotot. Tidak hanya dunia olahraga, tetapi kehidupan militer juga menawarkan hal yang sama. Sifat-sifat militer di media diidentikkan dengan sesuatu yang berbau maskulin: macho, kuat, sadis, kejam, kasar, tidak memiliki emosi, pantang menyerah, setia, keras kepala, patriotik, dan banyak lainnya. Ini membentuk citra tersendiri terhadap diri laki-laki yang kemudian turut serta mempengaruhi pola pikir laki-laki secara umum terhadap konsep maskulinitas. Di media film ada dua wacana maskulinitas yang biasanya ditampilkan yaitu: wacana pemujaan tubuh dan wacana machoisme atau wacana kejantanan. Dua wacana inilah yang dianggap mewakili nilai-nilai maskulinitas atau ideologi secara umum dalam sistem kebudayaan kita. Wacana pemujaan tubuh misalnya, jika pada perempuan terdapat stereotipe bahwa bentuk tubuh ideal yang harus dikejar adalah kurus, tinggi, langsing, lengkap dengan rambut lurus panjang, maka pada diri seorang laki-laki pun sebenarnya juga terdapat stereotipe bentuk tubuh tertentu yang berlaku. Laki-laki sebaiknya harus mempunyai bentuk tubuh yang berotot, kuat dan sehat jika ingin dianggap jantan, maskulin atau macho. Laki-laki yang kurus, lemah, dan tidak berotot dianggap meragukan untuk bisa melindungi perempuan. Sementara dalam wacana machoisme, seperti sifat-sifat pemberani,
26
tidak boleh cengeng, tidak boleh menangis, tidak boleh bersifat pengecut, merupakan nilai-nilai dan kode-kode sifat kejantanan yang identik dengan lakilaki. Maka tampaknya tabu bagi laki-laki jika menangis atau bersikap halus. Karena
hal-hal
tersebut
“bukan”
sifat
dari
laki-laki
(http://situskunci.tripod.com/teks/08hai.html). Dan seperti juga yang digambarkan oleh Jallaludin Rahmat dalam bukunya psikologi komunikasi, pria digambarkan sebagai sosok yang kuat, rasional, dominasi, pandai dan berkuasa (Rahmat, 1996:254). Representasi laki-laki di media cenderung mengarah pada karakter seperti: kuat (baik secara fisik maupun intelektual), berkuasa, menarik secara seksual, fisik serta independen. Karakter laki-laki sering digambarkan sangat mandiri, hingga tidak membutuhkan atau bergantung pada orang lain. Karakter laki-laki semacam ini dapat dilihat secara jelas melalui gambaran tokoh film di era 19801990an, seperti: John Matrix (dalam Commando), John Mclane (dalam Die Hard), Rambo dan Rocky Balboa (www.mediaknowall.com/gender.html). Dalam media, potret seorang laki-laki cenderung lebih beragam dari pada perempuan. Peran yang biasanya dilekatkan pada karakter laki-laki adalah atlet, pegawai negeri, profesi bidang hukum dan kesehatan, juru bicara, pengusaha, aktivis, politisi dan lain sebagainya.
6. Analisis Isi Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi. Alasan menggunakan analisis isi karena akan memperoleh suatu hasil atau pemahaman terhadap berbagai isi pesan komunikasi yang disampaikan oleh media massa atau
27
sumber informasi yang lain secara objektif dan sistematis. Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui tentang representasi tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan dalam film”Taken” karya Phillip Morel. Analisis isi bisa diartikan sebagai metode untuk menganalisis semua bentuk komunikasi : Surat kabar, buku puisi, lagu, cerita rakyat, lukisan, pidato, surat, undang-undang, musik, teater, dan sebagainya (Rakhmat,2002:89). Stone dalam Klaus krippendorf (1991:17) mengemukakan analisis isi adalah
sebuah
teknik
penelitian
untuk
membuat
inferensi
dengan
mengidentifikasikan secara sistematik dan objektif, karakteristik khusus dalam sebuah teks selanjutnya meyakini karakter inferensial pengkodean unit-unit teks.
F. Definisi Konseptual 1. Muatan Tindak Kekerasan Muatan tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan adalah banyaknya tindakan yang dilakukan laki-laki dengan sengaja kepada perempuan yang bertentangan dengan kodrat manusia. 2. Film Film adalah media audio visual yang mampu memberikan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, humor. Sedangkan film sebagai medium komunikasi massa mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya untuk menyampaikan ide/ keinginan pembuat film kepada khalayak umum, dengan cara menghibur dan mampu menumbuhkan imajinasi dari penonton.
28
G. Struktur Kategori Struktur kategori ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari definisi konsep yang dalam suatu penelitian sering kali disebut dengan istilah definisi operasional. Batasan dalam penelitian ini adalah sebuah tayangan dalam film pada adegan-adegan yang berhubungan langsung dengan representasi tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Berdasarkan aspek-aspek tersebut peneliti menentukan struktur kategori sebagai berikut:
a. Kekerasan Fisik Dalam film yang termasuk kategorisasi kekerasan fisik ini adalah tindakan laki-laki yang melakukan kekerasan fisik mencakup pemukulan, penamparan, dan penendangan anggota tubuh perempuan, baik yang dilakukan secara kolektif atau individu-individu. Indikator-indikatornya adalah sebagai berikut: 1) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan pemukulan terhadap perempuan 2) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan menendang tokoh perempuan. 3) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan menjambak rambut perempuan 4) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan menyerang perempuan.
29
5) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan melukai perempuan. 6) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan menampar perempuan. 7) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan membenturkan kepala perempuan. 8) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan mendorong perempuan.
b. Kekerasan Psikis Dalam film, wujud kekerasan psikis adalah penggunaan kata-kata kasar, mempermalukan di depan orang lain, melontarkan kata-kata ancaman dan sebagainya. Indikator-indikatornya adalah sebagai berikut: 1) Adegan dimana tokoh laki-laki mengucapkan kata-kata kasar terhadap perempuan 2) Adegan dimana tokoh laki-laki menunjukkan tindakan mengancam terhadap perempuan. 3) Adegan dimana tokoh laki-laki mempermalukan perempuan di muka umum dengan menjadikannya tontonan atau bahan ejekan.
c. Kekerasan Seksual Dalam film kekerasan seksual digambarkan dalam adegan yang bersifat agresi seksual. Indikator kategorisasi ini adalah:
30
1) Adegan yang menunjukkan tokoh laki-laki melakukan tindak perkosaan terhadap perempuan yaitu memaksa perempuan untuk melakukan hubungan seksual disertai ancaman atau upaya menyakiti perempuan. 2) Adegan yang menunjukkan tokoh laki-laki melakukan pelecehan seksual yang meliputi tindakan meraba, menyentuh, atau memeluk dengan tujuan melakukan agresivitas seksual.
d. Kekerasan Ekonomi Kekerasan ekonomi menunjukkan pengabaian perempuan secara ekonomi yang menjadikan perempuan menjadi kesulitan secara ekonomi. Ini termasuk tindakan menjual dan memperdagangkan perempuan. Dalam film hal ini ditunjukkan oleh indikator tokoh laki-laki memperjual belikan perempuan dengan imbalan yang menguntungkan baginya.
e. Kekerasan Sosial Budaya Kekerasan sosial budaya ditunjukkan melalui aktivitas yang menggambarkan
laki-laki melemahkan posisi perempuan dengan
menggunakan konsep-konsep patriarkal dimana laki-laki adalah penguasa sedang perempuan lebih memiliki kedudukan di bawah laki-laki. Dalam film, indikator dari kategorisasi ini adalah: 1) Tokoh laki-laki mengungkapkan konsep bahwa perempuan lebih rendah kedudukannya di bawah laki-laki.
31
2) Tokoh laki-laki melemahkan posisi perempuan dengan menganggap perempuan merupakan sosok yang tidak berharga.
H. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi yang bersifat kuantitatif, dengan menggunakan perangkat statistik sebagai analisis, hal ini dapat mempermudah penelitian membuat kesimpulan secara ringkas dan obyektif. Tujuan dari analisis isi adalah merepresentasikan kerangka pesan secara akurat. Untuk itu, kuantifikasi menjadi penting dalam upaya memperoleh obyektifitas yang dimaksud. Kuantifikasi juga mempermudah peneliti untuk membuat kesimpulan dan laporan secara lebih ringkas dan menarik. Stone dalam Klaus krippendorf (1991:17) mengemukakan analisis isi adalah
sebuah
teknik
penelitian
untuk
membuat
inferensi
dengan
mengidentifikasikan secara sistematik dan objektif, karakteristik khusus dalam sebuah teks selanjutnya meyakini karakter inferensial pengkodean unit-unit teks.
1. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini adalah deskriptif, yakni metode yang meneliti suatu kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomenan yang diselidiki. (Nasir, 2009:54).
32
2. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah film “Taken“ yang tersaji dalam bentuk audio visual, yang berupa rekaman data VCD dengan durasi 89 menit yang difokuskan pada adegan-adegan yang bertemakan kekerasan berdasarkan kategorisasi yang ada.
3. Unit Analisis dan Satuan Ukur Unit analisis film adalah pembahasan per-scene terhadap keseluruhan film untuk mengetahui jumlah kemunculan tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan dalam film ”Taken”. Satuan ukur dalam penelitian ini adalah durasi per detik setiap scene yang mengandung unsur muatan tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan dalam film ”Taken” karya Pierre Morel.
4. Sumber Data Sumber data dari penelitian ini adalah film ”Taken” versi VCD yang diproduksi oleh EuropaCorp. EuropaCorp adalah studio film Perancis. Peneliti memilih untuk mempergunakan sumber data berupa VCD karena versi VCD dapat memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian. Dan kemudian untuk penelitian ini dilakukan dengan cara melihat langsung dan mengamati film versi VCD yang diedarkan di Indonesia oleh PT Jive Collection yang telah melalui badan sensor film, dan dinyatakan telah lulus sensor pada tanggal 2 Juni 2009, dengan nomor seri lulus sensor (No. SLS.) : 101/VCD/D.SDP/PA/3.2018/2009 untuk kategori dewasa.
33
5. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Untuk langkah pertama yang dilakukan adalah melihat dan mengamati dari film Taken tersebut dan untuk memperoleh data muatan kekerasan yang terdapat dalam tiap scene. Kemudian data dimasukkan ke dalam kategorisasi kekerasan
yang
telah
ditetapkan.
Selanjutnya
untuk
mempermudah
pengkategorisasian, maka dibuat lembar koding seperti contoh berikut: Tabel 1.2 Contoh Lembar Koding Kategorisasi
Scene Fisik
1
2
3
4
5
Psikis
6
7
8
1
2
Seksual
3
1
2
Ekonomi
1
Sosial Budaya
1
2
Jumlah Durasi
Sebagai contoh dalam satu scene terdapat indikasi adanya kekerasan, maka peneliti akan mendistribusikan data tersebut dengan mengisi jumlah durasi per detik pada masing-masing tabel. Kemudian data dimasukkan ke dalam tabel distribusi frekuensi tindak kekerasan per kategori untuk mempermudah penghitungan guna mengetahui banyaknya durasi kemunculan dari masing indikator. Adapun tabel distribusi frekuensi yang digunakan adalah sebagai berikut:
34
Tabel 1.3 Contoh tabel distribusi frekuensi Muatan kekerasan terhadap perempuan dalam film ”Taken” (Semua Kategori) Kategorisasi Durasi ∑ Persentase Kekerasan fisik 1 2 3 4 5 6 7 8 Kekerasan psikis 1 2 3 Kekerasan seksual 1 2 Kekerasan ekonomi 1 Kekerasan sosial 1 budaya 2 Jumlah
Keterangan Muatan kekerasan terhadap perempuan dalam film ”Taken” (Semua Kategori): Kategori Kekerasan Fisik: 1) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan pemukulan terhadap perempuan 2) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan menendang tokoh perempuan. 3) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan menjambak rambut perempuan 4) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan menyerang perempuan. 5) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan melukai perempuan. 6) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan menampar perempuan. 7) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan membenturkan kepala perempuan. 8) Adegan dimana tokoh laki-laki melakukan tindakan mendorong perempuan. Kategori Kekerasan Psikis: 1) Adegan dimana tokoh laki-laki mengucapkan kata-kata kasar terhadap perempuan 2) Adegan dimana tokoh laki-laki menunjukkan tindakan mengancam terhadap perempuan.
35
3) Adegan dimana tokoh laki-laki mempermalukan perempuan di muka umum dengan menjadikannya tontonan atau bahan ejekan. Kategori Kekerasan Seksual: 1) Adegan yang menunjukkan tokoh laki-laki melakukan tindak perkosaan terhadap perempuan yaitu memaksa perempuan untuk melakukan hubungan seksual disertai ancaman atau upaya menyakiti perempuan. 2) Adegan yang menunjukkan tokoh laki-laki melakukan pelecehan seksual yang meliputi tindakan meraba, menyentuh, atau memeluk dengan tujuan melakukan agresivitas seksual. Kategori Kekerasan Ekonomi: 1) Tokoh laki-laki memperjual belikan perempuan dengan imbalan yang menguntungkan baginya. Kategori Kekerasan Sosial Budaya: 1) Tokoh laki-laki mengungkapkan konsep bahwa perempuan lebih rendah kedudukannya di bawah laki-laki. 2) Melalui tindakan verbal dan non-verbal, tokoh laki-laki melemahkan posisi perempuan dengan menganggap perempuan merupakan sosok yang tidak berharga.
6. Uji Validitas dan Reliabilitas Agar data yang di dapat valid maka penelitian ini dibantu oleh dua orang coder (orang yang melakukan pengkodingan) dalam pengkodingan data. Pada dua orang koder yang telah dipilih diberikan definisi struktur kategori, unit analisis, bahan yang akan dikoding (film “Taken”) dan tabel kerja koding. Berdasarkan definisi struktur kategori atau indikator dan unit analisis yang telah ditetapkan, koder diminta menilai bahan dan memberikan tanda (kode) pada tabel koding. Hasil pengkodingan dari dua orang koder dalam tabel kerja koding dikumpulkan dan dihitung menggunakan rumus Holsty sebagai berikut:
36
Coefisien Reliability =
2M N1 N 2
M
= jumlah kesepakatan antara peneliti dan koder
N1
= total jumlah coding dari peneliti.
N2
= total jumlah coding dari koder. Hasil selanjutnya kemudian menurut Scott dikembangkan dalam
‘Index of Reliability” yang bukan hanya mengoreksi dalam suatu kelompok kategori, tetapi juga kemungkinan frekuensi yang timbul. Rumus Scott adalah sebagai berikut: Pi = Pi
%ObservedAgreement % ExpectedAgreement 1 % ExpectedAgreement : Nilai keterhandalan.
Observed Agreement: Jumlah persetujuan nyata antar pengkode yaitu CR. Expected Agreement: Jumlah persetujuan yang diharapkan karena peluang. Dari uji statistik tersebut, dapat diketahui kesepakatan para juri. Nilai kesepakatan yang dianggap reliabel menurut Lasswell (Bungin, 2001) menyebutkan kesepakatan antar juri 70 % - 80 % sudah cukup handal.
37