BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masa Taman Kanak-Kanak merupakan awal dari pengenalan anak dengan suatu lingkungan sosial yang ada di masyarakat umum di luar rumah. Seorang anak TK sedang mengalami masa tumbuh kembang yang relatif pesat. Pada saat ini proses perubahan fisik, emosi dan sosial anak berlangsung dengan cepat. Proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor dari diri anak sendiri dan lingkungan. Pada usia ini anak masih merupakan golongan konsumen pasif, yaitu belum dapat mengambil dan memilih makanan sendiri sesuai dengan kebutuhan sehingga pada usia ini anak sangat rentan terhadap berbagai masalah kesehatan apabila kondisinya kurang gizi (Santoso, 2004). Berbagai masalah kesehatan dijumpai di kalangan anak Taman Kanak-Kanak di antaranya adalah kurangnya pertumbuhan fisik secara optimal. Salah satu faktor yang sangat menentukan adalah factor gizi. Kurang gizi pada masa ini akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan badan, kecerdasan dan mudah terserang penyakit infeksi. Di samping kurang gizi ditemukan juga masalah kesehatan pada anak yang disebabkan gizi lebih yang dapat menyebabkan kegemukan dan anak berisiko menderita penyakit degenaratif seperti penyakit hipertensi, penyakit jantung dan lain sebagainya (Santoso, 2004). Seorang anak yang sehat dan normal akan tumbuh sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Tetapi pertumbuhan ini juga akan dipengaruhi oleh intake zat gizi yang dikonsumsi dalam bentuk makanan. Kekurangan atau kelebihan zat gizi akan
Universitas Sumatera Utara
dimanisfestasikan dalam bentuk pertumbuhan yang menyimpang dari pola standar (Khomsan, 2003). Krisis ekonomi yang terjadi di Indosesia telah menimbulkan lost generation yaitu suatu generasi dengan jutaan anak kekurangan zat gizi sehingga tingkat kecerdasan (IQ) lebih rendah. Menurut Baliwati (2004), anak yang mengalami kurang energi protein mempunyai IQ lebih rendah 10-13 skor dibandingkan dengan anak yang tidak Kurang Energi Protein (KEP). Hasil penelitian yang dilakukan di Jakarta menunjukkan pada anak Taman Kanak-Kanak (usia 4-6 tahun), didapatkan prevalensi kesulitan makan sebesar 33,6%. Sebagian besar 79,2% telah berlangsung tiga bulan, tentunya hal ini akan berdampak kepada kondisi status gizi anak (Judarwan, 2007). Menurut Berg (1986) seperti yang dikutip oleh Gunanti (2006), anak dengan status gizi yang baik merupakan perwujudan dan terpenuhinya konsumsi pangan sesuai dengan kebutuhan sepanjang masa pertumbuhan dan perkembangan. Agar terpenihinya kebutuhan gizi anak, maka anak harus mengonsumsi makanan dalam yang memadai dan dengan mutu gizi yang baik. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2004) menunjukkan hasil yang positif antara konsumsi makanan dengan status gizi anak (p< 0,001). Anak yang diberi makanan lengkap status gizinya lebih baik dari pada anak yang diberi makanan tidak lengkap. Makanan yang lengkap untuk gizi yang baik yaitu makanan yang mengandung karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan secara nasional sebanyak 18,4% anak balita berstatus gizi buruk dan kurang, 13,6% anak balita kurus (wasting). Sementara itu menurut Riskesdas tahun 2010, gizi kurang tidak mengalami perubahan dan gizi buruk mengalami peningkatan prevalensi yaitu
Universitas Sumatera Utara
5,9%. Sedangkan prevalensi gizi kurus menjadi 13,3% (Depkes, 2010). Hasil Riskesdas Provinsi Aceh tahun 2007 menunjukkan prevalensi gizi kurus dan sangat kurus di Provinsi Aceh sebesar 13,2% dan meningkat menjadi 15% pada tahun 2010. Sedangkan prevalensi gizi kurang 12,6%
dan meningkat menjadi 14,2% pada tahun 2010).
Indonesia adalah negara agraris, tapi lebih dari 37% anak Indonesia usia 0-5 tahun (balita) kekurangan gizi yang ditandai dengan bentuk fisik stunted atau tinggi badan tidak sesuai dengan umur. Berdasarkan data dari Puskesmas Kecamatan Darul Aman menunjukkan bahwa terdapat balita gizi buruk sekitar 3,35% balita, dengan gizi kurang 17,09%, balita dengan kondisi gizi baik 78,93% dan balita dengan kondisi gizi lebih 0,64%. Kebiasaan makan yang baik adalah yang dapat menjamin tercukupinya kebutuhan gizi, sedangkan kebiasaan makan yang buruk yaitu kebiasaan yang dapat menghambat terpenuhinya kecukupan gizi. Kebiasaan makan yang salah dan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama akan berimplikasi pada rendahnya status gizi masyarakat. Masalah perbaikan gizi memang berhubungan atau berkaitan dengan banyak hal, salah satunya adalah persoalan pola makan yang baik. French et al (2001) menyatakan bahwa, masalah gizi kurang sangat erat hubungannya dengan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi, di mana faktor yang menentukan kualitas makan adalah tingkat pendapatan. Namun demikian, peningkatan pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pada konsumsi pangan, karena meningkatnya pengeluaran pangan atau pendapatan belum tentu diikuti dengan peningkatan kualitas makanan. Hal ini karena peningkatan pengeluaran belum tentu digunakan untuk pangan. Selain tingkat
Universitas Sumatera Utara
pendapatan, faktor sosial budaya termasuk kebiasaan makan yang buruk yang secara tidak langsung dapat menyebabkan timbulnya masalah gizi kurang. Menurut Santoso (2004), kurang gizi pada anak TK umumya disebabkan karena kebiasaan makan anak yang tidak teratur. Dimana pada saat ini anak sudah mulai memilih sendiri makanan yang disenangi dan sudah mulai menyukai makanan jajanan dari pada makanan dirumah. Berdasarkan hasil observasi di TK Al-Ikhsan Kecamatan Darul Aman
bahwa
pihak sekolah selalu membiasakan anak TK untuk membawa bekal dari rumah dan dimakan bersama pada jam istirahat. Bekal makanan anak TK umumnya terdiri dari nasi, mie lontong dan kue-kue yang dibelikan orang tuanya di warung dekat sekolah, namun ada juga anak TK yang jarang membawa bekal ke sekolah. Berdasarkan survei pendahuluan dari 20 anak TK Al-Ikhsan, diketahui bahwa 10 anak berstatus gizi normal (50%), 8 anak berstatus gizi kurus (40%) dan 2 anak berstatus gizi gemuk (10%) menurut indeks BB/TB. Status sosial ekonomi keluarga di Kecamatan Darul Aman masih dikatakan tingkat ekonomi golongan rendah, rata-rata masyarakat berpendidkan dasar tamat SD dan SLTP, pekerjaan kepala keluarga adalah tidak tetap sehingga penghasilan yang diperoleh dalam satu bulan tidak tetap juga, hal ini menyebabkan konsumsi makanan di dalam keluarga yang tidak beragam. Pekerjaan mereka rata-rata nelayan, petani, supir, dan penjual ikan, pendapatan yang di dapatkan oleh kepala keluarga kurang mencukupi untuk memenuhi pangan keluarga terutama membeli bahan makanan sehingga berpengaruh terhadap konsumsi keluarga terutama anak yang masih banyak membutuhkan makanan yang mengandung zat gizi.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Worsley (2003), disebutkan bahwa pendapatan per kapita secara luas terkait dengan konsumsi makanan individu dan indeks total makanan berbagai kelompok. Umumnya rumah tangga berpenghasilan rendah memiliki makanan yang kurang bervariasi dari pada rumah tangga dengan pendapatannya tinggi. Bahkan rumah tangga dengan penghasilan tinggi khususnya wanita telah menolak sejumlah makanan tradisional. Menurut Almatsier (2001), masalah gizi lebih disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan tertentu disertai kurangnya pengetahuan gizi dan kesehatan. Menurut Arnelia dan Sri Muljati (1991), adanya penurunan status gizi disebabkan karena kurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi baik secara kuantitas maupun kualitas. Kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu tentang gizi, ketersediaan pangan dikeluarga dan tingkat pendapatan keluarga. Kebiasaan makan yang tidak beragam dengan susunan makanan yang tidak sesuai jumlahnya akan mengakibatkan kurang tercukupinya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh bila terus menerus akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Pengetahuan ibu tentang gizi yang kurang akan sangat berpengaruh terhadap pentingnya makanan yang bergizi yang sangat dibutuhkan anak pada masa balita.
Tingkat
pengetahuan orangtua di Kecamatan Darul Aman masih dikatakan rendah dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga sangat berpengaruh terhadap tingkat pegetahuan ibu tentang gizi. Data profil Dinas Kesehatan tahun 2012 diketahui jumlah dari seluruh balita 1757 anak, yang berstatus gizi buruk sekitar 58 orang, yang berstatus gizi kurang 296 orang dan yang berstatus gizi lebih 11 orang. Dengan adanya permasalahan tersebut
Universitas Sumatera Utara
maka dirasa perlu untuk meneliti bagaimana hubungan status sosial ekonomi keluarga dan kebiasaan makan dengan status gizi anak TK di Kecamatan Darul Aman.
1.2 Permasalahan Dari uraian pada latar belakanag diatas, diperoleh rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana Hubungan status sosial ekonomi keluarga (pendapatan kepala keluarga, pekerjaan kepala keluarga, pendidikan orangtua, pengetahuan gizi ibu, besar keluarga) dan kebiasaan makan dengan status gizi anak Taman Kanak-Kanak Yayasan Yapina Al-Ikhsan Kecamatan Darul Aman Kabupaten Aceh Timur Tahun 2013.
1.3. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan antara
status sosial ekonomi keluarga dan
kebiasaan makan dengan status gizi anak TK Al-Ikhsan Kecamatan Darul Aman.
1.4. Hipotesis Ada hubungan status sosial ekonomi keluarga (pendapatan keluarga, pekerjaan kepala rumah tangga, pendidikan orangtua, pengetahuan gizi ibu, besar keluarga) dan kebiasaan makan dengan status gizi anak TK.
1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau masukan kepada berbagai pihak :
Universitas Sumatera Utara
1. Sebagai masukan kepada Puskesmas Kecamatan Darul Aman untuk lebih mengaktifkan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat tentang makanan bergizi kepada balita. 2. Sebagai bahan informasi bagi pihak pendidikan untuk memberikan masukan bagi orang tua murid tentang pentingnya memperhatikan konsumsi makanan anak sesuai dengan tingkat kecukupan yang dianjurkan dalam rangka pencapaian status gizi yang baik.
Universitas Sumatera Utara