BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Perusahaan manufaktur merupakan penopang utama perkembangan industri di sebuah negara. Perkembangan industri manufaktur dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk melihat perkembangan industri secara nasional di negara itu. Manufaktur sendiri merupakan suatu cabang industri yang mengaplikasikan mesin, peralatan, tenaga kerja, dan suatu medium proses untuk mengubah bahan mentah menjadi bahan jadi untuk dijual. Manufaktur ada dalam segala sistim ekonomi. Dalam ekonomi pasar bebas, manufakturing biasanya selalu berati produksi secara masal untuk dijual ke pelanggan untuk mendapatkan keuntungan (anneheira.com). Menurut Kementerian Keuangan Republik Indonesia, permasalahan utama yang dihadapi sektor manufaktur adalah belum berkembanganya produkproduk dalam kategori intermediate goods (barang setengah jadi), sehingga Indonesia masih mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pemerintah sebenarnya telah memberikan berbagai bentuk insentif fiskal untuk pengembangan intermediate goods, namun pemanfaatannya belum optimal. Indonesia masih mengandalkan impor produk manufaktur dari negara seperti Thailand. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produk manufaktur yang masih diimpor hingga periode Januari-Maret 2014, diantaranya adalah kendaraan dan bagiannya (US$ 579,5 juta), plastik dan barang dari plastik (US$ 263,75 juta), mesin dan peralatan listrik (US$ 136,61 juta), bahan kimia organik (US$ 100,8 juta) serta karet dan barang dari karet (US$ 49,4 juta), (Liputan6.com).
1
2
Indutri manufaktur di Indonesia menurut Kementerian Perindustrian Republik Indonesia mengalami masalah hampir di segala penjuru. Permasalahan di bidang industri pada Indonesia mencakup permasalahan eksternal dan internal. Faktor eksternal diantaranya adalah krisis finansial di Eropa dan Amerika Serikat yang hingga saat ini mempengaruhi kinerja ekspor produk manufaktur Indonesia dan di saat yang sama juga menghambat produksi lantaran mayoritas bahan baku dan bahan pendukung masih tergantung dengan produk impor. Sedangkan masalah internal yang dihadapi yaitu ketidak berpihakan regulasi yang membuat industri padat karya ini semakin mengalami kesulitan untuk berkembang, terbelitnya masalah permodalan, infrastruktur yang belum memadai dan tentu saja persoalan sumberdaya manusia yang masih menjadi salah satu faktor utamanya. Seperti yang dilansir dari Kompasiana.com (2015), sumberdaya manusia merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, setidaknya ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia, yaitu ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja serta tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi. Dengan masih rendahnya kualitas angkatan kerja membuat para atasan mereka cenderung kurang puas atas kinerja yang dihasilkan oleh para karyawan tersebut. Di sisi lain, semakin berkembangnya teknologi di era globalisasi membuat para karyawan dituntut untuk cepat beradaptasi dengan perubahan
3
dan jika karyawan tersebut tidak dapat beradaptasi dapat berdampak pada kinerja mereka yang tidak optimal. Dengan kinerja yang tidak optimal yang ditunjukkan oleh karyawan dapat memicu ketidakpuasan atasan terhadap kinerja mereka yang berada dibawah standar. Hal iniakan membuat meningkatnya peluang terjadinya abusive supervision. Abusive supervision mengacu pada persepsi bawahan bahwa atasan mereka tidak menyukai dirinya dan mulai melakukan tindakan seperti sedang memusuhi mereka (Tepper, 2000). Tindakan yang menunjukkan bahwa atasan sedang memusuhi mereka mengecualikan tindakan fisik, tetapi para atasan mengejek bawahannya, memberikan perlakuan yang dingin kepada bawahan, menyerang privasi mereka, mencari kesalahan-kesalahan, berbohong, dan tidak menepati janjinya.
Hal ini akan membuat bawahan memiliki persepsi
berdasarkan sudut pandang subjektif mereka bahwa atasan kurang menyukai dirinya atau sedang mempermainkan mereka (Tepper, 2007). Dengan demikian, bawahan akan memiliki penilaian yang berbeda terhadap perlakuan yang sama di mana salah satu bawahan merasa bahwa perlakuan atasan itu merupakan perlakuan yang bisa diterima sementara bawahan lain merasa bahwa atasan mereka sedang memusuhinya. Henle dan Gross (2014) mengartikan abusive supervision sebagai pelaporan diri para karyawan bahwa atasan mereka menyalahgunakan kekuasaannya atau hanya persepsi mereka bahwa atasan menyalahgunakan kekuasaannya. Penelitian mengenai abusive supervision selama ini mengukur seberapa besar penyalahgunaan kekuasaan itu dari sudut pandang bawahan dan sudut pandang atasan karena adanya persepsi dari bawahan bahwa atasan mereka menyalahgunakan kekuasaannya (Mitchell dan Ambrose, 2007).
4
Penelitian yang dilakukan oleh Tepper et al., (2006) mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat 1,4 juta karyawan mengalami pelecehan dari atasannya dan konsekuensi dari pelecehan ini membuat tingkat absensi, turnover, berkurangnya produktivitas kerja serta biaya untuk kesehatan mengalami peningkatan hingga sekitar 24 milliar dollar per tahun. Jika hal ini berlangsung secara terus menerus maka akan merugikan perusahaan sehingga sangat penting bagi para manajer dan peneliti untuk mengidentifikasi apa penyebab terjadinya abusive supervision dan cara yang dapat dilakukan untuk menguranginya. Beberapa peneliti (Aryee et al., 2007; Hoobler dan Brass 2006; Rafferty et al., 2010; Tepper et al 2006, 2011) mengemukakan bahwa penelitian yang meneliti mengenai anteseden abusive supervision dan pekerjaan ini belum terlalu banyak,
terutama
yang
berfokus
pada
karakteristik
dari
atasan
yang
mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (misalnya depresi, dan kurang menyukai bawahan tertentu) serta ketidakadilan organisasi atau pelanggaran kontrak psikologis. Penelitian lain yang dilakukan oleh Aquino dan Thau (2009) menegaskan bahwa karakteristik korban merupakan alasan penting mengapa terjadi kekerasan di tempat kerja. Berdasarkan teori presipitasi korban yang diungkapkan oleh Curtis (1974) serta penelitian dari Henle dan Gross (2014) menyatakan bahwa beberapa karyawan berpeluang besar untuk mengalami abusive supervision karena karakteristik kepribadian mereka sendiri. Berdasarkan hal tersebut, penelitian dari Henle dan Gross (2014) menggunakan tiga ciri-ciri kepribadian yang berhubungan negatif yang akan mengakibatkan terjadinya abusive supervision, yaitu emotional stability, conscientiousness, dan agreeablenes. Seseorang
5
dengan tingkat emotional stability yang rendah, conscientiousness yang rendah atau tingkat agreeableness yang rendah akan membuat orang lain merasa jengkel, menciptakan ketegangan dan konflik di tempat kerja, dan meluapkan emosi yang tidak seharusnya. Oleh karena itu, sifat-sifat tersebut pada tingkat tertentu
akan
mungkin
untuk
membuat
mereka
mendapatkan
abusive
supervision. Meskipun penelitian mengenai bullying di tempat kerja telah meneliti hubungan antara kepribadian karyawan dengan penganiayaan interpersonal, mereka tidak memberikan solusi atau penjelasan yang mengakibatkan terjadinya hal tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Henle dan Gross (2014) menggunakan negative emotions sebagai salah satu faktor yang membuat peluang untuk terjadinya abusive supervision semakin besar. Seseorang yang memiliki tingkat emotional stability yang rendah, conscientiousness yang rendah serta agreeableness yang rendah cenderung akan mudah terprovokasi oleh rekan kerjanya. Karyawan yang memiliki ciri-ciri kepribadian yang provokatif (ciri ini dianggap dapat membuat orang lain jengkel dan menimbulkan konflik) cenderung menampilkan emosi negatifnya di tempat kerja yang membuat meningkatnya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh atasan. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan oleh Henle dan Gross (2014) memberikan gambaran mengapa kepribadian dikaitkan dengan abusive supervision di mana negative emotions akan memediasi hubungan negatif antara emotional stability, conscientiousness, dan agreeableness serta abusive supervision. Sementara itu, tanda-tanda karyawan sedang mengalami bullying seperti yang dilansir dari William (2014) diantaranya adalah (1) Karyawan tersebut merasa pekerjaan yang dilakukannya terasa menyiksa dan membuatnya
6
menderita sehingga karyawan tersebut tidak dapat menunjukkan kinerja yang maksimal, (2) Adanya kritik yang terus-menerus terhadap kinerjanya meskipun menunjukkan track record yang memuaskan, (3) Dimarahi di depan umum, hal ini dapat bertujuan juga untuk membuat karyawan tersebut kehilangan muka di depan rekan kerja atau atasannya yang lain, (4) Adanya gosip dan kebohongan yang disebarkan oleh pihak tertentu yang bertujuan untuk merusak nama baik, (5) Mencuri hasil pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan lain yang bertujuan agar dirinya mendapatkan credit dari atasan. Fenomena bullying saat ini sedang menjadi isu yang hangat dan tersebar ke beragam sektor, salah satunya sektor perindustrian. Inserm, French National Institute for Health and Medical Research menemukan fakta bahwa 1 dari 10 pekerja mengalami bullying di lingkungan kerja setidaknya 1 kali dalam seminggu dan survey yang dilakukan oleh Workplace Bullying Institue (WBI) dan Zogby International ditemukan bahwa 37 persen penduduk Amerika merasa menjadi korban bullying di kantor paling tidak sekali dalam hidupnya. Sedangkan hasil survey yang dilakukan oleh Better Work Indonesia, bullying di Indonesia mulai terjadi tidak hanya melalui kontak fisik, akan tetapi juga psikologis. Hal yang dapat memicu terjadinya hal tersebut diantara lain karena terdapatnya jumlah tenaga kerja wanita yang berusia muda dan tidak memiliki pengalaman serta tingginya tingkat tekanan target produksi yang dimiliki oleh suatu perusahaan. Oleh karena itu perusahaan harus dapat mengantisipasi fenomena negatif tersebut guna mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat meluasnya fenomena bullying di perusahaan. Salah satu perusahaan yang rentan terjadi abusive supervision di dalamnya adalah PT. Kimberly – Clark Indonesia yang merupakan salah satu
7
perusahaan multinasional yang ada di Indonesia. PT. Kimberly – Clark Indonesia memiliki jumlah karyawan sebanyak 500 karyawan. Dengan jumlah karyawan yang cukup besar tersebut membuat peluang untuk terjadinya abusive supervision tinggi karena banyaknya keragaman kepribadian dari sumberdaya manusia yang ada di perusahaan tersebut. Selain itu, perusahaan ini merupakan perusahaan multinasional sehingga terjadi beberapa budaya kerja yang berbeda yang mungkin akan terjadi dan membuat peluang terjadinya abusive supervision. Apabila terjadi abusive supervision di dalam perusahaan dan keadaan tersebut terus dibiarkan berlarut-larut akan membuat perusahaan tersebut rentan terjadi konflik antar rekan kerja atau rekan kerja dengan atasan dan membuat iklim atau lingkungan kerja yang tidak kondusif yang akan berdampak pada kinerja karyawan yang tidak optimal dan akan berimbas pada menurunnya kinerja perusahaan secara keseluruhan. Permasalahan tersebut bukan berarti tidak memiliki solusi, langkah yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mengantisipasi terjadinya abusive supervision diantaranya dengan membuat iklim atau lingkungan kerja yang kondusif. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan diri karyawan sehingga mereka akan memiliki tingkat emotional stability, conscientiousness, dan agreeableness yang tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Henle dan Gross (2014) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara emotional stability, conscientiousness
dengan
abusive
supervision.
Lalu
negative
emotions
memediasi hubungan negatif antara emotional stability dan abusive supervision. Negative emotions juga memediasi hubungan negatif antara conscientiousness dan abusive supervision. Akan tetapi, agreeableness tidak memiliki hubungan
8
negatif dengan abusive supervision. Selain itu, negative emotions tidak memediasi hubungan negatif antara agreeableness dengan abusive supervision. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Henle dan Gross (2014) memiliki keterbatasan, diantaranya adalah menggunakan sampel para pekerja part-time sehingga hasil penelitian tersebut kurang dapat digeneralisasi. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan karyawan full-time untuk mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh penelitian sebelumnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini tertarik untuk melakukan replikasi penuh terhadap penelitian yang dilakukan oleh Henle dan Gross (2014) dengan judul “Pengaruh Kepribadian dan Emosi Karyawan Pada Abusive Supervision (Studi kasus pada PT. Kimberly – Clark Indonesia).”
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah
emotional
stability
berhubungan
negatif
dengan
abusive
negatif
dengan
abusive
supervision yang dilakukan oleh atasan? 2. Apakah
conscientiousness
berhubungan
supervision yang dilakukan oleh atasan? 3. Apakah agreeableness berhubungan negatif dengan abusive supervision yang dilakukan oleh atasan? 4. a. Apakah negative emotions akan memediasi hubungan negatif antara emotional stability dan abusive supervision yang dilakukan oleh atasan? b. Apakah negative emotionsakan memediasi hubungan negatif antara conscientiousness dan abusive supervision yang dilakukan oleh atasan?
9
c. Apakah negative emotionsakan memediasi hubungan negatif antara agreeableness dan abusive supervision yang dilakukan oleh atasan? C. TUJUAN Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis hubungan emotional stability dengan abusive supervision yang dilakukan oleh atasan. 2. Menganalisis hubungan conscientiousness dengan abusive supervision yang dilakukan oleh atasan. 3. Menganalisis hubungan agreeableness dengan abusive supervision yang dilakukan oleh atasan. 4. a. Menganalisis hubungan mediasi negative emotions dengan emotional stability dan abusive supervision yang dilakukan oleh atasan. b.
Menganalisis
hubungan
mediasi
negative
emotions
dengan
conscientiousness dan abusive supervision yang dilakukan oleh atasan. c.
Menganalisis
hubungan
mediasi
negative
emotions
dengan
agreeableness dan abusive supervision yang dilakukan oleh atasan.
D. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontibusi praktis serta teoritis sebagai berikut: 1. Bagi Akademisi Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya manajemen sumber daya
10
manusia mengenai pengaruh kepribadian dan emosi karyawan pada abusive supervision. 2. Bagi Perusahaan Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui tingkat emotional stability, conscientiousness, agreeableness, dan negative emotions karyawan serta persepsi mereka dengan abusive supervision yang dilakukan oleh atasan di dalam perusahaan. Hal ini dapat digunakan oleh para pemangku kebijakan untuk membuat lingkungan kerja yang nyaman bagi para karyawan melalui kebijakan pengelolaan yang lebih baik.