BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Remaja merupakan periode kehidupan yang unik, karena saat itu terjadi perubahan yang amat kompleks, diantaranya perubahan fisik, emosional, kognitif, perubahan pertumbuhan dan perkembangan sosial yang menjembatani antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Santrock, 2007). Secara umum, periode remaja merupakan klimaks dari periode-periode perkembangan sebelumnya, sehingga dalam periode selanjutnya individu telah menpunyai suatu pola pribadi yang lebih baik. Masalah-masalah sehubungan dengan perkembangan fisik pada periode pubertas masih terus berlanjut, tetapi pada akhirnya mereda saat individu memasuki masa dewasa. Bagi sebagian besar orang, memasuki usia remaja tidaklah mudah. Hall (dalam Santrock, 2007), menyebutkan bahwa masa remaja adalah masa storm and stress, karena pada masa ini muncul gejolak emosi yang penuh dengan ketidakseimbangan. Remaja juga mulai mengalami kematangan fisik yang ditandai dengan mulai matangnyanya organ-organ seksual, dalam arti organ-organ seksualnya sudah dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengembangkan keturunan. Pada remaja putri ditandai dengan menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pria ditandai dengan mimpi basah (Santrock, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Matangnya organ-organ seksual pada remaja akan mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual (Santrock, 2007). Problem tentang seksual pada remaja adalah berkisar masalah bagaimana mengendalikan dorongan seksual, konflik antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, adanya "ketidaknormalan" yang dialaminya berkaitan dengan organorgan reproduksinya, pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan dan aborsi (Hurlock, 1980). Dalam masa ini juga, remaja mulai mengalami ketertarikan terhadap lawan jenis disertai dorongan seksual, hal yang sifatnya kodrati dialami oleh remaja. Remaja pun mulai ingin berkenalan, bergaul dengan teman-temannya dari jenis kelamin lain, dan mengenal pacaran (Santrock, 2007). Dalam kondisi demikian, remaja merupakan sosok yang mudah untuk terjerumus kedalam situasi yang kurang menguntungkan bagi remaja sendiri. Salah satunya adalah ketika remaja terjebak dunia seks bebas dan kemudian menjadi korban eksploitasi seksual komersil dan terjebak kedalam dunia prostitusi (Santrock, 2007). Dewasa ini salah satu isu yang mencemaskan dan sepakat untuk segera ditangani adalah perdagangan perempuan dan anak sektor ekploitasi seksual komersil (ECPAT, 2006). Remaja di Indonesia, ternyata menjadi makanan empuk bagi sebagian “pemangsa-pemangsa” remaja khususnya remaja putri. Mereka diperjualbelikan atau malah dijadikan pelacur oleh orang-orang yang ingin meraup keuntungan dari penderitaan mereka (Suyanto, 2010).
Universitas Sumatera Utara
ILO-IPEC (dalam Suyanto, 2010) mengatakan remaja yang menjadi korbannya sesungguhnya membutuhkan perhatian serius karena memiliki dampak yang sangat merugikan dan membahayakan kelangsungan serta masa depan korban eksploitasi seksual itu sendiri. Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual bukan saja rentan terhadap hinaan, penipuan dan marginalisasi, tetapi juga banyak di antara mereka yang tidak dapat menikmati hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, serta tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya untuk berkembang secara sehat. Fenomena eksploitasi seksual komersil tersebut tidak hanya menimpa remaja dengan ekonomi rendah, namun juga banyak dialami oleh remaja yang berstatus sosial tinggi (Suyanto, 2010). Dalam masyarakat luas istilah eksploitasi seksual mungkin belum banyak didengar atau malah belum dipahami dengan baik, walaupun sebenarnya kasus-kasus yang terkait dengan masalah tersebut sudah banyak ditemui baik lewat media cetak ataupun media elektronik, berikut ini adalah salah satu kasus eskploitasi seksual komersil yang dimuat dimedia cetak. “Pada bulan Juni 2008, Mawar, seorang gadis usia 15 tahun asal Lampung, Indonesia, diculik dan diperdagangkan ke Malaysia dan dipaksa untuk menjadi seorang pekerja seks. Keperawanannya dijual seharga 5.000 Ringgit (sekitar 15 juta rupiah) oleh seorang germo. Dua dari pelaku trafiking tersebut, yaitu Nurdin dan Chong Kum telah ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun”. (Kompas, 10 February 2009). Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Emy Rachmawati (dalam Kompas, 2010) mengatakan, fenomena eksploitasi seksual
Universitas Sumatera Utara
komersil masih menjadi masalah serius di Indonesia, terutama di daerah perbatasan, daerah perdagangan, dan daerah pariwisata. Remaja terutama remaja putri yang berusia 13-18 tahun kerap menjadi obyek perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual komersial. Hal ini senada dengan sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh ILOIPEC (dalam Suyanto, 2010), berhasil mengidentifikasi bahwa rata-rata usia anak yang dilacurkan di sektor eksploitasi seksual komersil adalah 10-12 tahun, yang sebelumnya sama sekali belum mengenal seks karena usia mereka yang masih belia, tetapi dipaksa oleh germo, calo, atau diperdaya mafia pelacuran untuk bekerja sebagai PSK (Jurnal Perempuan, dalam Suyanto, 2010). Studi lainnya yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Unair bekerjasama dengan Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan Kota Surabaya (dalam Suyanto, 2010), menemukan bahwa 2,2% responden dari 200 responden yang diwawancarai ternyata pertama kali dilacurkan pada saat mereka masih berusia 7 tahun. Responden lainnya mengaku pertama kali dilacurkan pada saat berusia 14 tahun (10,9%), 15 tahun (32, 6%), dan sebagian besar di usia 16 tahun (45, 7%). Di Sumatera Utara, menurut catatan resmi Dinas Sosial diketahui ada 281 anak perempuan yang terpaksa bekerja sebagai PSK. Jumlah ini belum termasuk PSK anak yang banyak beroperasi di diskotik atau pub yang jumlahnya diperkirakan mencapai 500 orang. Menurut Achmad Sofian (dalam Suyanto, 2010), dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan, mekanisme yang dikembangkan para mucikari untuk merekrut PSK-PSK baru sebagian melalui
Universitas Sumatera Utara
bujuk rayu atau penipuan, tetapi tak jarang dengan cara penyekapan dan ancaman kekerasan fisik. Sementara itu fenomena eksploitasi seksual komersil itu sendiri sudah lama menjadi fenomena yang menyedihkan, bahkan sudah tercatat sejak tahun 1979-an. Sofian dan Rinaldi (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan bahwa lebih dari 200 ABG dijadikan pelacur dihotel GM Tanjung Balai. Belakangan sudah mulai bermunculan pula istilah-istilah baru yang menjurus pada dunia esek-esek, baik yang melibatkan orang dewasa maupun anak-anak. Banyak faktor yang menyebabkan remaja tetap bertahan melakoni profesinya sebagai pelacur, Saptari (dalam Suyanto, 2010) menyebutkan paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan seorang remaja yang menjadi korban eksploitasi tetap bertahan menjadi pelacur. Pertama, karena keadaan ekonomi atau kondisi kemiskinan. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk kedalam peran yang diciptakan untuk mereka. Ketiga, karena system paksaan dan kekerasan. Dikota Medan, faktor yang menjadi penyebab remaja menjadi korban eksploitasi seksual komersil adalah gaya berpacaran remaja yang tidak sehat, berpacaran di luar batas hingga tidak perawan lagi atau dikecewakan pacar. Faktor lainnya adalah gaya hidup konsumerisme, yakni ingin mengikuti gaya hidup mewah seperti punya telepon genggam (handphone) bagus, baju bagus, dan
Universitas Sumatera Utara
sebagainya, yang terakhir adalah pengaruh dari teman bergaul (ECPAT, 2008). Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Anis (18 tahun) : “Pertama aku tau kek-kek gini ni tahun 2006. Aku diajak sama kawan genk aku di sekolah untuk ikut mereka ke diskotik untuk dugemlah. Teros, aku mabuk kak, kan gak sadar aku, teros disitulah kawan-kawan aku nawarin aku ke tamu diskotik tuh. Untuk “dipakek”, kata mereka. Besoknya pas aku bangun tidor, aku liat berapa lembar uang ratusan didekat aku. Sampe sekarang aku masih gituan terus sambil sembunyisembunyi, karna bujukan kawan-kawan aku sama karna masalah ekonomi. (Komunikasi personal, 21 Februari 2011). Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil dan terjerumus ke dalam dunia prostitusi akan sulit untuk keluar dari kondisi tersebut. Tak jarang ketika menghadapi kondisi sulit itu banyak remaja yang mengalami trauma psikologis ketika remaja menyadari dirinya telah menjadi korban eksploitasi seksual komersil (Suyanto, 2010). Hal itu muncul karena remaja mengalami peristiwa yang menimbulkan reaksi stress traumatik. individu mengalami stres traumatik karena mengalami suatu pengalaman mental yang luar biasa menyakitkan,
melampaui
ambang
kemampun
rata-rata
orang
untuk
menanggungnya, sehingga mengakibatkan perubahan drastis dalam kehidupan seseorang, mengubah persepsi terhadap kehidupannya, mengubah perilaku seseorang, dan emosi seseorang (Yoga, dalam Sulistyaningsih, 2009). Dampak traumatis remaja yang mengalami eksploitasi seksual komersil tersebut tergambar dari hasil wawancara : “sampai sekarang aku masih takut kalo ketemu orang baru yang gak aku kenal,takut kayak dulu lagi. Masih belom bisa aku lupakan lah itu, gimana dulu aku buat sama mereka. Diancam, digebukin, sama laki-laki yang nidurin aku kak. Kayak binatanglah dulu aku dibuat mereka tu, mau lari gak bisa, tahan-tahan ajalah kak. Kalo gak ingat ayah sama ibuk, dah bunuh dirilah kak. Pas udah bebas dari situ pun sama aja stress sama
Universitas Sumatera Utara
tertekannnya aku kak, kaya najis gitu aku diliatin orang-orang dekat sini. Padahal aku pun gak mau jadi kayak gitu.” (Komunikasi Personal, 30 Februari 2011). Trauma psikologis yang dialami oleh remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil tersebut memiliki dampak yang merugikan kesehatan mental karena menurunkan fungsi fisik, emosi, pikiran, dan hubungan interpersonal pada remaja itu sendiri (Suyanto, 2010). Untuk bisa pulih kembali biasanya diperlukan waktu sekitar 6 hingga 16 bulan dan berapa lama waktu yang diperlukan seorang remaja tergantung pada karakteristik individu dan sifat peristiwa traumatik yang dialami. Namun pada sebagian orang stress traumatik yang berat dapat berlangsung selama bertahun-tahun bahkan dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih berat (Sulistyaningsih, 2009). “lama jugak lah dulu aku gak mau keluar rumah, duh dah macam orang gilaklah kak, mana tetanggaku omongannya bikin pedih kuping. Disuruh ibuk lah aku sholat kak, dzikir. Pertama-tama gak ku buat, mana ada guna pikirku kak, dah jerit-jerit ajalah aku dulu kak, udah hampir dibawa ke RSJ, pokoknya sampe hari ni aku masih ingat-ingat itu terus. Tapi setelah setahun, setelah pindah rumah barulah aku bisa agak gak kayakorang gilak lagi kak.” (Komunikasi Personal, 30 Februari, 2011). Untuk mengatasi trauma yang dialaminya, remaja menggunakan berbagai macam pilihan. Ada individu yang mampu bertahan kemudian pulih dari situasi traumatis tersebut secara efektif, namun ada pula individu lain yang gagal karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Tugade & Fredrikson (dalam Rezki Rahayu, 2008) mengungkapkan kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah mengalami hal yang tidak menyenangkan menggambarkan adanya kemampuan tertentu pada diri individu yang dikenal dengan istilah resiliensi.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sulistyaningsih (2009) resiliensi individu muncul ketika individu berhasil mengatasi kesulitan hidup (adversity). Bagaimana individu tersebut menghadapi permasalahan dirinya sebagai korban sebuah tragedi dipengaruhi oleh bagaimana dirinya menyikapi kesulitan yang dihadapinya dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Ketika individu menghadapi kesulitan akan menampilkan beberapa reaksi yang berbeda (Siebert, dalam Nurfadilah, 2006). Ada remaja yang menggunakan cara-cara negatif ketika tidak tahan menjadi korban eksploitasi seksual komersil, misalnya dengan luapan amarah secara verbal dan disertai dengan tindakan untuk menyakiti dirinya sendiri. Remaja tersebut menjadi tidak berdaya untuk melakukan coping dengan apa yang telah dialaminya. Selain itu, ada pula remaja yang cenderung melihat dirinya sebagai korban dan menempatkan orang lain sebagai penyebab “hancurnya” hidup mereka sehingga perasaan dan pikiran mereka cenderung negatif. Namun, ada juga individu yang dengan cepat berupaya untuk mengatasi peristiwa traumatis tersebut dan kembali kepada realita yang dihadapinya, tetap berkarya dengan kekuatan dan keterbatasan yang mereka miliki dalam kondisi sulit, yang membuat meraka menjadi lebuh kuat, dan lebih baik dari sebelumnya (Sulistyaningsih, 2009). Proses resiliensi itu sendiri, dimulai ketika individu pada usia berapa pun mengalami kesulitan hidup, ia memiliki faktor-faktor pelindung (protective factors) yang dapat melindunginya terhadap dampak negatif. Individu tersebut mampu mengatasi kesulitan hidup tanpa mengalami gangguan apabila ia memiliki perlindungan yang cukup. Individu yang sedang berproses menuju resiliensi atau
Universitas Sumatera Utara
berada dalam keseimbangan, apabila dengan segala kekuatan emosi dan mekanisme coping yang sehat berusaha mengatasi kesulitan hidupnya. Tanpa perlindungan yang cukup, individu akan menuju proses gangguan psikologis, disebabkan
ketidakmampuan
atau
coping
mengatasi
masalah
tersebut
(Sulistyaningsih, 2009). Dalam proses resiliensi terdapat dua hal penting yakni, kesulitan hidup tidak secara otomatis mengakibatkan disfungsi, tetapi sebaliknya justru dapat menghasilkan sejumlah pencapaian bagi individu yang mengalaminya. Selain itu reaksi terhadap kesulitan hidup yang pada awalnya bersifat disfungsional, lama kelamaan dapat membaik. Dengan kata lain, resiliensi merupakan proses adaptasi yang diawali dengan adanya stress dapat membuka kemungkinan terjadinya perubahan pribadi menuju pada suatu yang lebih baik (Sulistyaningsih, 2009) Benard (dalam Rezki Rahayu, 2008) menjelaskan lebih jauh bahwa kapasitas resiliensi ini ada pada setiap orang. Artinya, kita semua lahir dengan kemampuan untuk dapat bertahan dari penderitaan, kekecewaan, atau tantangan. Menurut Grotberg (2000), upaya mengatasi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan tersebut dan mengembangkan resiliensi, sangat bergantung pada pemberdayaan tiga faktor dalam diri individu, yaitu I have (Aku punya) termasuk didalamnya hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh, dorongan untuk mandiri; I am (Aku ini) termasuk didalamnya disayang dan disukai oleh banyak orang, bangga dengan diri sendiri, mencintai, empati, dan kepedulian pada orang lain; I can (Aku dapat) termasuk didalamnya berkomunikasi, memecahkan
Universitas Sumatera Utara
masalah, menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai. Interaksi ketiga faktor tersebut juga mempengaruhi lamanya proses resiliensi seseorang. Seperti yang sudah diungkapkan di atas setiap orang memiliki kapasitas resiliensi dalam dirinya. Begitu juga dengan remaja putri yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil, yang telah berhasil keluar dari dari masalah tersebut, namun masyarakat akan cenderung memberikan label negative kepada remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut. Selain itu remaja korban eksploitasi seksual mengalami pengabaian hak yang dilakukan oleh orang dewasa demi kepentingan nista dari orang dewasa tersebut. Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut merupakan individu yang tak berdaya dan tak mampu menolak paksaan, deraan dan trauma dari orang dewasa (Suyanto, 2001). Eksploitasi seksual komersil yang dialami remaja putri dapat membuat remaja korbannya menjadi terpuruk dan mengalami kerugian, namun dapat memberikan
keuntungan
kepada
pelaku
eksploitasi
seksual.
Dengan
menggunakan power yang dimiliki pelaku eksploitasi, mereka bisa melakukan eksploitasi terhadap remaja yang menjadi korbannya (Koentjoro, 2004). Perkin & Bennet (dalam Koentjoro, 2004) mengatakan jika remaja putri yang mejadi korban eksploitasi seksual dan kemuadi menjadi pelacur hal itu merupakan produk dari lingkungan dan kondisi sosial mereka. Perlakuan sosial, seperti rayuan lelaki terhadap seorang remaja karena daya tarik seksualnya sehingga dapat mempengaruhi perilaku remaja tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Remaja yang menjadi korban eksploitasi seksual harus berjuang menghadapi pengalaman traumatis yang dialaminya untuk menjadi individu yang resilien. Tetapi, resiliensi dapat terlihat dengan jelas apabila seseorang berada pada tantangan atau masalah. Menurut Bobey (dalam Rezki Rahayu, 2008) semakin seseorang berhadapan dengan banyak tantangan dan hambatan, maka akan semakin terlihat apakah ia telah berhasil mengembangkan karakteristik resiliensi dalam dirinya atau tidak. Remaja yang resilien akan memandang peristiwa stressful yang dialaminya merupakan hal yang dapat mendorong dirinya untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan baru, menilai kembali prioritas yang dimilikinya, belajar mengenai pandangan baru, dan memperoleh kekuatankekuatan baru. Dengan adanya resiliensi pada remaja putri yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil dapat membuat mereka memiliki sikap yang positif untuk menjadi seorang yang percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain. Selain itu dapat merubah penderitaan menjadi tantangan, kegagalan menjadi keberhasilan dan keputusasaan menjadi kekuatan. Resiliensi dapat merubah seorang korban menjadi lebih kuat dan mendorong orang berkembang dan menjadi lebih baik. “ya, kami pindah rumah kata ibuk biar aku gak malu sama tetanggatetangga kak. Alhamdulilah aku dapat dukungan banyaklah dari ayah, ibuk, pokoknya sodara-sodara. Kan itu cuman yang aku butuhkan kak, sekarang aku dah bisa kaya dulu lagi, malah mungkin lebih, udah makin rajin sholat, udah makin punya prinsip lah kak, ambil hikmahnya kak. Ya walaupun butuh waktu lama kak, setahunan lebih..” (Komunikasi Personal, 30 Februari, 2011)
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melihat mengenai resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi seksual komersil serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi seksual di kota Medan. I.B. Rumusan Masalah Melalui penjabaran di atas, perumusan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Bagaimana gambaran resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi seksual komersil khususnya sektor prostitusi 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi pada remaja putri korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi I.C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai resiliensi pada remaja putri yang menjadi korban eksploitasi seksual komersil. I.D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan informasi dan perluasan teori di bidang psikologi perkembangan, yakni mengenai resiliensi pada remaja putri. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan penelitian di bidang psikologi perkembangan, sehingga hasil penelitian ini
Universitas Sumatera Utara
nantinya diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan penunjang untuk penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi peneliti-peneliti lainnya yang berminat meneliti lebih lanjut mengenai resiliensi pada remaja putri. b. Bagi Kepolisian Wilayah Hukum Sumatera Utara Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi aparat Kepolisian Wilayah Hukum Sumatera Utara khususnya Unit Penanganan Perempuan dan Anak, sehingga dapat melakukan pemeriksaan serta penanganan yang tepat sehingga dapat membuat remaja putri tidak merasa takut saat memberikan keterangan kepada pihak kepolisian. c. Bagi Orang tua Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para orangtua sehingga diharapkan orangtua dapat memberikan dukungan yang maksimal kepada remaja yang telah menjadi korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi. Dengan menyediakan lingkungan yang dapat memfasilitasi tercapainya resiliensi remaja putri korban eksploitasi seksual komersil sektor prostitusi. d. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga Terkait Lainnya Bagi LSM dan lembaga terkait lainnya yang menangani permasalahnpermasalahn yang menimpa remaja dan anak-anak, diharapkan nantinya
Universitas Sumatera Utara
informasi dari penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan pendampingan dan penanganan yang bersifat suportif kepada korban eksploitasi seksual sektor prostitusi. I.E. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah : BAB I
: Pendahuluan Pendahuluan berisi mengenai latar belakang permasalahan, perumusan
masalah
penelitian,
penelitian dan sistematika BAB II
tujuan
penelitian,
manfaat
penulisan.
: Landasan Teori Landasan teori berisi teori yang digunakan sebagai landasan penelitian
BAB III
: Metodologi Penelitian Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data serta prosedur penelitian.
BAB IV
: Analisa Dan Interpretasi Data Analisa Data dan Interpretasi berisi pendeskripsian data responden, analisa dan interpretasi data yang dperoleh dari hasil wawancara
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan dan diskusi. BAB V
: Kesimpulan dan Saran Kesimpulan, dan Saran yang menjelaskan kesimpulan dari penelitian ini, diskusi mengenai hasil penelitian yang ada serta saran-saran yang dianjurkan mengenai penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara