1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu mahkamah konstitusi mempunyai kewajiban memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil Presiden menurut Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), menyatakan bahwa: “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
2
menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Kewenangan Mahkamah Konstitusi lainnya yang sudah sangat ditunggu adalah kewenangan antar lembaga negara. Kewenangan yang didasarkan pada UUD 1945 ini sangat ditunggu adalah kewenangan memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara. Kewenangan yang didasarkan pada UUD 1945 ini sangat penting mengingat sampai saat ini terdapat sejumlah kewenangan yang tumpang tindih di antara lembaga negara sehingga terjadi ketidakpastian. Perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, yang lebih penting untuk diperhatikan adalah apakah lembaga negara yang bersangkutan mendapat kewenangan dari UUD 1945 atau tidak. Jika lembaga atau subyek hukum organisasi yang bersangkutan mendapatkan kewenangannya langsung dari UUD 1945, maka jika dalam pelaksanaanya timbul sengketa dengan lembaga lain, maka sengketa yang demikian itulah yang disebut sebagai sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. 1
Badan Pemeriksa Keuangan (disingkat BPK) adalah lembaga negara Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Menurut UUD 1945 BPK merupakan lembaga yang bebas dan manndiri. 2 Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 tahun 2006 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan
1
Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara 068/SKLN-II/2004 bertanggal 12 November 2004 yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD),.dikutip dalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, hlm.596 2 Lihat Pasal 23E ayat (1 Undan-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3
Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga/ badan Lain yang mengelola keuangan negara. Terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, terdapat suatu perkara dimana Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga negara mengajukan permohonan uji materiil atas pasal 34 ayat (2a) huruf b serta penjelasan pasal 34 ayat (2a) UU No.28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang dianggap membatasi kewenangan konstitusional BPK untuk memeriksa penerimaan negara yang bersumber dari sektor perpajakan yang bebas dan mandiri. 3 Pasal ini menyatakan bahwa pejabat atau tenaga ahli pajak dapat memberikan keterangan kepada lembaga negara yang memiliki kewenangan pemeriksaan keuangan negara harus ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dan pada prakteknya selain Menkeu tidak pernah memberi izin, dokumen yang didapatkan BPK hanyalah dokumen-dokumen yang bersifat umum, bukan dokumen yang dijadikan sebagai dasar pencatatan. Prosedur ini menurut pemohon (BPK) dinilai mengurangi kewenangan konstitusional BPK sebagai lembaga auditor eksternal atas setiap keuangan negara yang bebas dan mandiri berdasar pasal 23E ayat (1) UUD 1945. Karena undang-undang itu bertentangan dengan UUD 1945. Konstitusi memberikan hak kepada BPK untuk memeriksa keuangan negara, mulai dari sumber, penyimpanan, sampai dengan pemakaiannya.
3
Konstitusi, edisi No.23, Juni-Juli 2008, hlm.31.
4
BPK
merasa
keberatan
oleh
adanya
pembatasan
auditor
untuk
pemeriksaan keuangan pada Dirjen Pajak Depkeu. Auditor BPK itu terbentur Pasal 34 ayat (2a) huruf b yang menyatakan, “pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberi keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaa dalam bidang keuangan negara.” Jadi sesuai pasal itu untuk bisa mengaudit penerimaan pajak, BPK mesti mendapat restu dari Menkeu melalui sebuah penetapan dengan alasan untuk menjaga kerahasiaan pajak wajib pajak 4 UU KUP melarang BPK untuk masuk ke sana. Jadi itu merupakan aturan yang salah. Bahkan UUD 1945 mengatakan bahwa semua lembaga negara diperiksa oleh BPK. Apalagi, tidak ada satu negara pun yang melarang BPK-nya memeriksa pajak, begitu juga Uni Soviet (dahulu) yang negara komunis. Jadi ini (larangan BPK mengaudit pajak) merupakan peninggalan Soeharto. Tidak heran bila pemerintah terus-menerus disclaimer. Bagaimana BPK dapat memberikan opini jika sama sekali tidak mengetahuinya. Jadi mereka yang membuat UU KUP itu tidak mengerti UUD 1945 dan tidak mengerti ketatanegaraan. Sehingga kami akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. 5
Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan pengajuan judicial review BPK tersebut tidak dapat diterima karena tidak terpenuhinya syarat kerugian kewenangan konstitusional pada BPK atas pasal 34 ayat (2a) UU KUP yang diuji materiilkan tersebut.
4 5
Ali, News, at http://www.pajak2000.com/news_print.php?id=3067 . Des. 08, 2008
Anwar Nasution, “Ada Sesuatu yang Salah pada Aparat Perpajakan”, at http://www.pajak.go.id/index.php?view=article&id=4773%3Aketertutupan-ditjen-pajak-harusdiakhiri&option=com_content&Itemid=125. Des.08, 2008.
5
Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terhadap Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 yang diajukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan RI merupakan salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yang cukup kontroversial. Sekilas Putusan ini dinilai tidak mengakomodasi prinsip transparansi dalam upaya penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang saat ini tengah diagungkan secara nasional. Mahkamah Konstitusi memutus bahwa BPK tidak berhak, tanpa penetapan Menteri Keuangan, untuk mengakses data wajib pajak dalam hal dilakukan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara di Direktorat Jendral Pajak. Permasalahan itulah yang membuat penulis merasa penting mengambil judul : Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-VI/2008 Tentang Pengujian UU No. 28 tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan.
6
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Mengapa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengajukan permohonan pengujian UU No.28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan? 2. Mengapa permohonan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk pengujian UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi? 3. Langkah apa yang selanjutnya dapat dilakukan oleh BPK dan Menteri Keuangan guna menjembatani dua kepentingan hukum tersebut?
C. Tujuan Penelitian 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab pengajuan permohonan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk pengujian UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga atas UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 2. Untuk mengetahui penyebab Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk pengujian UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi
7
3. Untuk mengetahui langkah selanjutnya yang dapat dilakukan oleh BPK dan Menteri Keuangan guna menjembatani dua kepentingan hukum tersebut.
D. Tinjauan Pustaka Setelah Indonesia merdeka dan undang-undang dasar negara terus mengalami pergantian dan perubahan, ide pengujian undang-undang itu juga terus bergulir dari waktu ke waktu. Ide pengujian konstitusionalitas undang-undang itu diadopsi dalam norma undang-undang dasar dan bahkan kelembagaanya dibentuk secara tersendiri dengan nama Mahkamah Konstitusi yang berada diluar dan sederajat dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menentukan: “Kekuasaan kehakiman dilakuakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran patai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. Selain itu Pasal 24C ayat (2)
menambahkan pula bahwa Mahkamah konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil
8
presiden menurut Undang-undang Dasar. Kewajiban ini secara timbal balik juga berisi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus perkara yang dimaksud, sehingga dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki bidang kewenangan peradilan, yaitu: 1) Peradilan dalam rangka pengujian konstitusionalitas undang-undang 2) Peradilan sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara 3) Peradilan perselisihan hasil pemilihan umum 4) Peradilan pembubaran partai politik
5) Peradilan atas pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut Undang-undang Dasar. Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), menyatakan bahwa: “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pengujian undang-undang menempatkan undang-undang sebagai objek peradilan, yang jika undang-undang itu terbukti bertentangan dengan Undangundang Dasar, maka sebagian materi ataupun keseluruhan undang-undang itu dapat dinyatakan tidak lagi berlaku mengikat umum. 6 Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Didalam literatur Inggris istilah Political Institution di gunakan untuk menyebut lembaga negara, sedangkan bahasa Belanda mengenal
6
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Setjen dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2005,dikutif dalam……. ibid. hlm 589.
9
istilah organen. Sementara di Indonesia, secara baku digunakan istilah lembaga negara, badan negara, atau organ negara. 7 Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “lembaga” memiliki beberapa arti, salah satu arti yang paling relevan digunakan dalam penelitian ini adalah badan atau organisasi yang tujuannya melakukan suatu usaha. Kamus tersebut juga memberi contoh frase yang menggunakan kata lembaga, yaitu “Lembaga Pemerintahan” yang diartikan sebagai badan-badan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif. Apabila kata “pemerintah” diganti dengan kata “negara”, maka frase “lembaga negara” diartikan sebagai badan-badan negara disemua lingkungan pemerintahan negara (khususnya dilingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif). 8 Hubungan antar satu lembaga dengan lembaga lain yang diikat oleh prinsip Check and balances, dimana lembaga-lembaga tersebut diakui sederajat itu, timbul kemungkinan dalam melaksanakan kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD. Jika timbul persengketaan pendapat semacam itu, diperlukan organ tersendiri yang diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan tata negara, yaitu melalui lembaga yang dibentuk tersendiri dengan nama Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangnnya diberikan oleh UUD, dapat disebut dengan lebih sederhana dengan sengketa kewenangan konstitusional 7
Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan AntarLembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta, 2005, hlm.29. 8 Ibid. hlm 30
10
antarlembaga negara. Dalam pengertian sengketa kewenangan konstitusional itu terdapat dua unsur yang harus dipenuhi, yaitu (i) adanya kewenangan konstitusional yang ditentukan dalam UUD; dan (ii) timbulnya sengketa dalam pelaksanaan kewenangan konstitusional tersebut sebagai akibat perbedaan penafsiran diantara dua atau lebih lembaga negara yang terkait.9 Badan Pemeriksa Keuangan (disingkat BPK) adalah lembaga negara Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Menurut UUD 1945 BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri. Anggota BPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, dan diresmikan oleh Presiden. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD (sesuai dengan kewenangannya). Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-undang. Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 tahun 2006 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga/ badan Lain yang mengelola keuangan negara.
9
Jimly Asshiddiqie, Sengketa KewenanganAntar Lembaga Negar,Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm.15.
11
Terdapat tiga jenis pemeriksaan BPK Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, pasal 4, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. 1. Pemeriksaan Keuangan Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah (Pusat, daerah, BUMN maupun BUMD), dengan tujuan pemeriksaan memberikan pernyataan pendapat/opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah pusat/daerah. Kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan didasarkan atas empat kriteria:
Kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintah
Kecukupan pengungkapan
Kepatuhan terhadap perundang-undangan
Efektifitas system pengendalian intern
2. Pemeriksaan Kinerja. Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan Negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Dalam melakukan pemeriksaan kinerja pemeriksa juga menguji kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan serta pengendalian intern. Pemeriksaan kinerja dilakukan secara obyektif dan sistematik terhadap berbagai macam
12
bukti/dokumen, untuk dapat melakukan penilaian secara obyektif atas kinerja organisasi atau program/kegiatan yang diperiksa. Pemeriksaan kinerja menghasilkan temuan, simpulan, dan rekomendasi. Tujuan pemeriksaan yang menilai hasil dan efektivitas suatu program adalah mengukur sejauh mana suatu program mencapai tujuannya. Sedangkan tujuan pemeriksaan yang menilai aspek ekonomi dan efisiensi berkaitan dengan apakah suatu organisasi telah menggunakan sumber dayanya dengan cara yang paling produktif di dalam mecapai tujuan program. Contoh tujuan pemeriksaan atas hasil dan efektivitas program serta pemeriksaan atas ekonomi dan efisiensi adalah penilaian atas: a. Sejauh mana tujuan peraturan perundang-undangan dan organisasi dapat dicapai. b. Kemungkinan alternatif lain yang dapat meningkatkan kinerja program atau
menghilangkan
faktor-faktor
yang
menghambat
efektivitas
program. c. Perbandingan antara biaya dan manfaat atau efektivitas biaya suatu program. d. Sejauh mana suatu program mencapai hasil yang diharapkan atau menimbulkan dampak yang tidak diharapkan e.Sejauh
mana
program
berduplikasi,
bertumpang
tindih,
atau
bertentangan dengan program lain yang sejenis. f.Sejauh mana entitas yang diperiksa telah mengikuti ketentuan pengadaan
13
yang sehat. g.Validitas dan keandalan ukuran-ukuran hasil dan efektivitas program, atau ekonomi dan efisiensi. h.Keandalan, validitas, dan relevansi informasi keuangan yang berkaitan dengan kinerja suatu program. 3. Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu. Pemeriksaan dengan tujuan adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, diluar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu bertujuan untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu dapat bersifat: eksaminasi, review, atau prosedur yang disepakati Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain dibidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern. Apabila pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu berdasarkan permintaan maka BPK harus memastikan melalui komunikasi tertulis yang memadai bahwa sifat pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah telah sesuai dengan permintaan. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK-RI segera melaporkan hal tersebut kepada
14
instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 10 Pajak merupakan gejala social dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat. Tanpa ada masyarakat, tidak mungkin ada suatu pajak. Pembuatan undang-undang pajak adalah suatu pebuatan yang menentukan peraturan atau norma yang mengikat umum, oleh karena itu harus dilakukan secara cermat dan hati-hati. Jadi setiap pajak yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan undang-undang, sehingga tidak mungkin ada pajak yang hanya dipungut berdasarkan peraturan-peraturan yang lebih rendah dari pada undang-undang. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang mempunyai kedudukan yang sama dengan undang-undang. 11
Dasar hukum pajak diletakkan dalam pasal 23 ayat 2 UUD 1945 Republik Indonesia yang berbunyi: “Segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang. Menurut Undang-undang Dasar 1945 pasal 23A ditentukan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Undang-undang dalam kalimat ini dapat berarti dengan suatu undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya di bawah undangundang yang pembuatannya berdasarkan undang-undang. Berdasarkan untuk ketentuan itu telah dibuat hanya undang-undang yang mengatur masalah perpajakan di Indonesia. Salah satu dari undang-undang perpajakan yang utama yang berlaku setelah reformasi perpajakan tahun 1983 adalah Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Berbeda dengan undang-undang perpajakan lainnya, Undang-undang Nomor 6 10 11
http://widiyaiswaradki.blogspot.com/2008/07/mengenal-jenis-pemeriksaan-badan.html Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 1, PT.Eresco, Bandung, 1990, hlm.7.
15
tahun 1983 hanya berisikan hukum pajak formal, yang semata-mata memuat peraturan-peraturan mengenai tata cara pelaksanaan pemungutan pajak oleh negara. Hukum pajak formal pokok-pokoknya diatur dalam undang-undang tersendiri (UU No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Oleh Menteri Keuangan telah dikeluarkan banyak surat keputusan untuk pelaksanaan undang-undang pajak, dan juga oleh Direktur Jenderal Pajak sudah dikeluarkan berpuluh-puluh peraturan pelaksanaan dalam bentuk surat edaran atau dalam bentuk surat kepada pihak atau instansi tertentu, yang mengandung isi yang sifatnya umum. Pelaksanaannya diwilayah diawasi oleh Kantor Wilayah, dan di daerah pelaksanaannya menjadi tanggung jawab Kepala Inspeksi Pajak. Bila wajib pajak mendapat kesulitan dalam penerapan undangundang pajak, maka ia selalu dapat minta bantuan dan penjelasan petugas-petugas pajak di daerahnya. 12
E. Metode Penelitian 1. Obyek penelitian a.
Permohonan pengujian UU No.28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
b. Permohonan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk pengujian UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 tahun
12
Ibid. hlm. 43.
16
1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi. c. Langkah apa yang seharusnya dapat dilakukan oleh BPK dan Menteri Keuangan guna menjembatani dua kepentingan hukum tersebut. 2. Sumber Data. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari peraturan perundangundangan, yaitu Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang No.23 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,UU No.15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, UU No.6 tahun1983 juncto UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan, dokumen-dokumen, serta literatur-literatur yang berhubungan dengan obyek penelitian. 3. Teknik Pengumpilan Data Yaitu dengan menelaah literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian ini, kemudian dianalisis dan diambil kesimpulannya. Menurut Ronny Hanintijo Soemitro mengenai studi kepustakaan ini disebutkan sebagai: Langkah selanjutnya mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pandanganpandangan atau penemuan-penemuan yang relevan dengan pokok perkara atau permasalahannya. Konsepsi teori, pandangan, atau penemuan itu dapat dicari dari dua referensi pokok, yaitu sumber referensi umum (buku, teks ensiklopedia, monograph review, dan lain-lainnya) dan sumber referensi khuhus (bulletin, penelitian, jurnal, periodekal, tesis, desertasi, laporan penelitian dan lain-lain) 13
13
Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal.23
17
4. Metode Pendekatan Metode pendekatan ialah sudut pandang yang digunakan peneliti dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yang disebut juga dengan istilah Pendekatan undang-undang (tatute approach), yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan rugulasi yang bersangkutan dengan obyek penelitian untuk mencari tahu ratio legis dan ontologisnya sebuah undang-undang 14 5. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara Deskriptif kualitatif yaitu pengelolaan dan penguraian data-data yang diperoleh dalam suatu gambaran sistematis yang didasarkan pada teori dan pengertian hukum yang terdapat dalam ilmu hukum untuk mendapatkan kesimpulan yang signifikan dan ilmiah.
F. Sistematika Penulisan Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan, maka di dalam penyusunan Skripsi ini akan diberikan gambaran secara garis besar mengenai Skripsi ini secara keseluruhan. Secara sistematis Skripsi ini dibagi menjadi Empat Bab pembahasan sebagai berikut: BAB I
14
Pendahuluan A.
Latar Belakang Masalah
B.
Rumusan Masalah
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, hal 93
18
BAB II
C.
Tujuan Penelitian
D.
Tinjauan Pustaka
E.
Metode Penelitian
Tinjauan Umum Mengenai Lembaga Negara Dan Pengawasan Keuangan Serta Perpajakan. A.
Lembaga Negara Dan Sengketa Lembaga Negara. A.1. Pengertian Lembaga Negara A.2. Presiden dan Menteri-menteri A.3. Mahkamah Konstitusi. A.4. Badan Pemeriksa Keuangan. A.5. Sengketa Lembaga Negara.
B.
Pengawasan Keuangan dan Perpajakan B.1. Pengawasan keuangan B.2. Perpajakan
BAB III Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-VI/2008 Tentang Pengujian UU No. 28 tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Dalam bab ini penulis akan menyajikan data penelitian dan analisis tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-VI/2008 Tentang Pengujian Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
19
A.
Argumentasi
Badan
Pemeriksa
Keuangan
(Pemohon)
Mengajukan Permohonan Pengujian UU No.28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 1. Landasan Yuridis Konstitusional Pemohon 2. Keterangan Ahli B.
Argumentasi Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/ PUU-VI/2008
C. Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) D.
Pendapat Masyarakat Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VI/2008
Bab IV
Penutup A. Kesimpulan B. Saran
DAFTAR PUSTAKA