1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan utama digulirkannya reformasi adalah mendorong pertumbuhan demokrasi dan mempertegas eksistensi Pemerintah Daerah di seluruh lapisan pemerintahan.
Lebih lanjut lagi, upaya untuk mendorong
pertumbuhan demokrasi secara nyata dilakukan dengan mendorong dan memperbesar peranan Pemerintah Daerah, sehingga digulirkan berbagai produk peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya untuk meningkatkan peran serta Pemerintah Daerah dalam kerangka otonomi daerah1. Sebagai bukti pemberdayaan Pemerintah Daerah dalam kerangka otonomi daerah, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19452 Pasal 18 ayat (2) telah ditegaskan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
1
Peraturan Perundang-undangan terkait dengan eksistensi pemerintahan daerah dalam bentuk undang-undang yang terbaru adalah Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menggantikan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. 2
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hasil dari 4 (empat) kali perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Adapun perubahan tersebut secara kronologis adalah sebagai berikut: a. Perubahan pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999; b. Perubahan kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000; c. Perubahan ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001; d. Perubahan keempat disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. .
2
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Penegasan ini sekaligus juga merupakan bukti nyata adanya tekad untuk memberikan keleluasaan kepada seluruh lapisan Pemerintahan Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pemberian otonomi tersebut
pada
hakekatnya
bertujuan
untuk
mempercepat
terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia3. Tiap-tiap daerah otonom baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota diberikan kewenangan yang seluas-luasnya dan disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara. Hal ini dilakukan agar masing-masing daerah otonom mampu menerjemahkan keinginannya untuk maju dan berkembang dengan mengedepankan kepentingan masyarakat demi terciptanya kemakmuran rakyat, dengan memperhatikan keunggulan dan ciri khas masingmasing daerah otonom. Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa perubahan besar dalam setiap segmen penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana yang diungkapkan Soekarwo
3
Dasar Pertimbangan/Konsideran huruf (a) Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
3
sebagaimana dapat dilihat bukunya dalam Akmal Boedianto4. Dalam penjelasan umum UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga menegaskan bahwa: Pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan negara.
Dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, segenap warga negara dituntut untuk bersatu dalam keragaman (unity in diversity), dan dalam wadah negara kesatuan ini juga termasuk dimungkinkan adanya ketidakseragaman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Semua daerah harus mendapatkan kewajiban dan hak, tugas dan wewenang yang serupa untuk seluruh Indonesia, hanya saja untuk daerah-daerah tertentu yang mempunyai latar belakang historis, politik dan ekonomi yang berbeda, dapat diterapkan kebijakan yang bersifat khusus sebagai tambahan ciri terhadap ciri-ciri umum otonomi yang berlaku bagi seluruh daerah. Dalam pelaksanaan pemerintahan pada seluruh daerah otonom, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi Negara Kesatuan Republik 4
Akmal Boedianto, 2010, Hukum Pemerintahan Daerah (Pembentukan Perda APBD Partisipatif) Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal. 1
4
Indonesia sebagai negara hukum, tiap-tiap Pemerintah Daerah selalu melandaskan seluruh kebijakan dan tindakannya pada suatu dasar hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam perspektif daerah otonom, salah satu
landasan hukum yang dipergunakan oleh Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan pemerintahan adalah berbagai peraturan daerah yang telah ditetapkan sebelumnya. Di dalam Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selanjutnya dalam ayat (2) hal tersebut lebih dipertegas, dengen menegaskan bahwa peraturan daerah
dibentuk
dalam
rangka
penyelenggaraan
otonomi
daerah
provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Dalam perkembangan pemerintahan daerah otonom, eksistensi peraturan daerah ternyata banyak memberikan warna bagi masing-masing pelaksanaan pemerintahan daerah itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan begitu banyaknya peraturan daerah yang dihasilkan oleh masing-masing pemerintah daerah dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perihal adanya pemerintahan daerah otonom, tentu saja terkait dengan pembentukan suatu peraturan pemerintahan daerah iru sendiri. Menurut Jimly Asshiddiqie5: Dalam keadaan yang normal, sistem norma hukum diberlakukan berdasarkan undang-undang dasar dan perangkat peraturan perundangundangan yang secara resmi diadakan untuk mengatur berbagai aspek yang berkenaan dengan penyelenggaraan kegiatan bernegara pada umumnya, akan tetapi kadang-kadang kurang terbayangkan bahwa aka nada keadaan lain yang bersifat tidak normal, dimana sistem hukum yang
5
Jimly Asshiddiqie, 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1
5
biasa itu tidak dapat diharapkan efektif untuk mewujudkan tujuan hukum itu sendiri.
Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia, saat ini telah mengakibatkan pula terjadinya pergeseran paradigma dari sentralistik ke arah desentralisasi, yang ditandai dengan pemberian otonomi kepada daerah. Pengalaman dari banyak negara mengungkapkan bahwa pemberian otonomi kepada daerah-daerah merupakan salah satu resep politik penting untuk mencapai sebuah stabilitas sistem dan sekaligus membuka kemungkinan bagi proses demokratisasi yang pada gilirannya nanti akan semakin mengukuhkan stabilitas sistem secara keseluruhan. Pelaksanaan desentralisasi dengan pemberian otonomi kepada daerah tidak demikian mudahnya memenuhi keinginan daerah bahwa dengan otonomi daerah segalanya akan berjalan lancar dan mulus. Keberhasilan otonomi daerah sangat bergantung pada pemerintah daerah dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah, serta Perangkat Daerah lainnya. Dengan demikian, perlu adanya hubungan yang harmonis antara DPRD dan Kepala Daerah. Salah satu unsur penting dalam gagasan desentralisasi dan otonomi daerah ini adalah keinginan yang sangat kuat agar proses pembangunan di masa depan benar-benar bertumpu pada kepentingan rakyat terutama mereka yang ada di daerah-daerah. Keinginan yang sangat kuat ini di dasarkan pada kenyataan di masa lampau yang lebih mengedepankan pandangan pusat yang dianggap telah mencerminkan dan mewakili kepentingan masyarakat di daerah.
6
Dalam pelaksanaan otonomi daerah ini selain diselenggarakan sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah mengalami beberapa perubahan, dan mana perubahan terakhir telah ditetapkan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, di mana hal ini tentu saja memerlukan berbagai produk peraturan perundangan lainnya yang bersifat kedaerahan yang disebut Peraturan Daerah, yang juga merupakan produk hukum dari pemerintah daerah itu sendiri yang diharapkan akan mampu menunjang perwujudan otonomi daerah yang sesuai dengan harapan. Peraturan daerah ini menjadi sangat penting karena selain merupakan penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya atau yang lebih tinggi, peraturan daerah ini juga harus memperhatikan kebutuhan dan perkembangan daerah yang bersangkutan, artinya dengan diterbitkannya peraturan daerah ini jangan sampai mengakibatkan terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan ketentraman/ketertiban umum serta menimbulkan kebijakan yang bersifat diskriminatif. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini sangat diperlukan sebagai suatu pedoman khusus dalam membentuk suatu Peraturan Perundang-undangan, sehingga akan terjadi keseragaman bentuk aturan Perundang-undangan antar daerah yang satu dengan yang lainnya. Berkaitan dengan pembentukan peraturan daerah telah pula diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
7
yang selanjutnya telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mengatur tentang prosedur dan teknis
pembentukan peraturan perundang-undangan
yang termasuk
didalamnya adalah peraturan daerah. Sesuai dengan Pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menegaskan bahwa rancangan peraturan daerah dapat berasal
dari
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
atau
Gubernur,
atau
Bupati/Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, atau kota. Sedangkan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2011, diatur dalam Pasal 32, yang menegaskan bahwa, “Perencanaan penyusunan Peraturan daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi”, dan telah diatur juga dalam Pasal-Pasal berikutnya, yaitu Pasal 32 sampai dengan Pasal 38,
terkait dengan prosedur dan teknis pembentukan
peraturan perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan daerah Dalam pembentukannya, setiap peraturan daerah dapat dipastikan akan melalui proses pembahasan yang dilakukan secara bersama-sama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Dalam hal ini, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 42 ayat (1), telah ditegaskan bahwa rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
kepada
Gubernur
atau
Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Selanjutnya UU No,
8
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam Pasal 32 sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa Perencanaan penyusunan Perda Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi”, kemudian pada Pasal selanjutnya yaitu Pasal 33 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menegaskan: (1) Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 memuat program pembentukan Perda Provinsi dengan judul Rancangan Perda Provinsi, materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan perundangundangan lainnya (2) Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundangundangan lainnnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi rancangan Perda yang meliputi: a. Latar belakang dan tujuan penyusunan; b. Sasaran yang ingin diwujudkan; c. Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan d. Jangkauan dan arah pengaturan (3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam naskah akademik.
Kemudian pada Pasal selanjutnya dipaparkan lebih jelas lagi terutama mengenai Perda APBD, yaitu : Pasal 34 (1) Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi. (2) Prolegda Provinsi ditetapkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Perda Provinsi. (3) Penyusunan dan Penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Perda Provinsi tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi.
9
Pasal 35 Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), penyusunan daftar rancangan Perda Provinsi didasarkan atas: a. b. c. d.
Perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi; Rencana pembangunan daerah; Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan Aspirasi masyarakat daerah.
Pasal 36 (1) Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertical terkait. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 37 (1) Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) disepakati menjadi Prolegda Provinsi dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi. (2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi.
Pasal 38 (1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas : a. Akibat putusan Mahkamah Agung; dan b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi
10
(2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi: a. Untuk mengatsi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; b. Akibat kerja sama dengan pihak lain; dan c. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum.
Bunyi dari beberapa Pasal yang terdapat di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menggantikan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, secara teks berbeda, dimana penyebutan rancangan perda provinsi dikategorikan kedalam program dari Prolegda Provinsi sedangkan Prolegda itu sendiri dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi, tidak menyebutkan kepala daerah provinsi yakni Gubernur, sebagaimana isi dari UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Meskipun demikian hal tersebut tidak menjadi masalah sebab istilah Pemerintah Daerah Provinsi didalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 1 (3), menyebutkan bahwa “pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah”, selanjutnya pada ayat (4) menyebutkan bahwa
“Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya
disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Jadi jelas bahwa pemerintah daerah yang dimaksud pada UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah Gubernur, bupati dan/atau walikota,.walaupun
11
didalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut, tidak ada pemisahan pengertian antara Pemerintah daerah dengan Pemerintah Daerah Provinsi. Ketentuan mengenai penetapan rancangan peraturan daerah menjadi peraturan daerah sebagaimana dipaparkan di atas juga diatur dalam UndangUndang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu dalam Pasal 144 yang menentukan sebagai berikut: (1) Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan sebagai peraturan daerah. (2) Penyampaian rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu palin lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. (3) Rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama. (4) Dalam hal rancangan peraturan daerah tidak ditetapkan Gubernur atau Bupati/Walikota dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) rancangan peraturan daerah tersebut sah menjadi peraturan daerah dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam lembaran daerah. (5) Dalam hal sahnya rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4), rumusan kalimat pengesahannya berbunyi, “Peraturan Daerah ini dinyatakan sah,” dengan mencantumkan tanggal sahnya. (6) Kalimat pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dibubuhkan pada halaman terakhir peraturan daerah sebelum pengundangan naskah peraturan daerah ke dalam lembaran daerah.
Selain ketentuan mengenai penetapan rancangan peraturan daerah menjadi peraturan daerah, dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga mengatur mekanisme pembatalan peraturan daerah, di mana dalam Pasal 145 ayat (2) ditegaskan bahwa peraturan daerah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan
12
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Dalam kurun waktu pelaksanaan otonomi daerah pasca reformasi, pemerintahan daerah ditenggarai banyak melakukan penyimpangan dan kesalahan persepsi mengenai otonomi daerah. Implementasi Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kebanyakan hanya berorientasi keuangan dengan menciptakan berbagai peraturan daerah yang menekankan kepentingan ekonomi dari pada kepentingan publik. Berbagai kasus pembatalan peraturan daerah yang dilakukan pemerintah pusat dalam hal ini melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri akhirnya muncul sebagai suatu kenyataan yang mesti diterima oleh Pemerintah Daerah. Berbagai peraturan daerah yang dibatalkan tersebut semuanya bersentuhan dengan masalah pengelolaan keuangan daerah. Dari data yang berhasil dihimpun, Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pada tahun 2003 telah pula mengumumkan kurang lebih 7000 (tujuh ribu) buah peraturan daerah yang harus dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan dan memberatkan publik6 Terkait dengan pembatalan peraturan daerah, berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 145 ayat (3), telah ditegaskan bahwa keputusan pembatalan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 145 ayat (2)
ditetapkan dengan
Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya peraturan 6
Akmal Boedianto, 2010,Hukum Pemerintahan Daerah (Pembentukan Perda APBD Partisipatif) Laksbang Presindo, Yogyakarta, hal. 5
13
daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 145 ayat (1). Namun demikian, dalam kenyataannya selama ini pembatalan suatu peraturan daerah hanya dilakukan dengan ditetapkannya suatu Keputusan Menteri Dalam Negeri. Sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2009 terdapat 406 (empat ratus enam) buah peraturan daerah yang dibatalkan melalui keputusan Menteri Dalam Negeri7 Pembatalan suatu peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri tentunya bertentangan dengan ketentuan yang dipaparkan sebelumnya, yang menjelaskan dengan tegas berdasarkan amanat Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa pembatalan suatu peraturan daerah hanya dapat dilakukan melalui Peraturan Presiden. Salah satu Peraturan Daerah yang dapat dijadikan contoh adanya pembatalan Peraturan Daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 348 Tahun 2009, tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman No. 4 Tahun 2000, tentang Pengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung Walet. Lebih lanjut lagi, hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang atau alasan utama untuk melakukan kajian mengenai pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri.
Dengan demikian, kajian akan
dilakukan dengan mengedepankan perspektif pembatalan peraturan daerah yang ditinjau dari berbagai sudut pandang dan konsep-konsep serta teori yang terkait dengan latar belakang permasalahan yang selanjutnya akan menjadi topik kajian yang akan dipaparkan. 7
http://www.depdagri.go.id, Produk Hukum – Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri, tanggal 10-02-2011.
14
Adanya kenyataan bahwa selama ini peraturan daerah hanya dibatalkan dengan suatu Keputusan Menteri Dalam Negeri telah menjadi suatu fakta menarik untuk dikaji, yang selanjutnya memicu munculnya berbagai pertanyaan terkait dengan fakta dimaksud, serta kemudian menjadi latar belakang penelitian. Hal ini disebabkan karena ketentuan mengenai pembatalan suatu peraturan daerah telah diatur dalam Pasal 145 Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas akan kita pahami bahwa pada hakikatnya pembatalan suatu Peraturan Daerah hanya dapat dibatalkan melalui suatu Peraturan Presiden. Namun dengan demikian, mekanisme pembatalan suatu peraturan daerah ternyata diatur juga dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pasal 47 ayat (6), yang menegaskan sebagai berikut: “Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBD menjadi peraturan daerah dan peraturan gubernur. Menteri Dalam Negeri membatalkan peraturan daerah dan peraturan gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya”
Dalam pembentukan peraturan daerah tentang APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah), hasil yang akan diperoleh merupakan suatu bentuk penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
15
beserta peraturan pelaksanaannya. Peraturan pelaksanaan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang mengatur pembentukan peraturan daerah APBD dan pembatalan peraturan daerah APBD, namun dalam kenyataannya pengaturan tentang mekanisme pembatalan peraturan daerah telah diatur secara tegas di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana kedudukan Undang-Undang lebih tinggi dari pada Peraturan Pemerintah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 UndangUndang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Meskipun di dalam UU. No 12 Tahun 2011 ada penambahan dalam jenis peraturan perundang-undangan, namun tetap menegaskan bahwa kedudukan UU lebih tinggi daripada PP. Mekanisme pembatalan peraturan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah tersebut pada hakikatnya bertentangan dengan mekanisme pembatalan Peraturan Daerah yang telah diatur dalam Pasal 145 Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian akan dapat terlihat bahwa di antara substansi kedua peraturan perundang-undangan tersebut telah terjadi suatu pertentangan norma atau konflik norma. Berdasarkan berbagai pertanyaan terkait dengan latar belakang dengan topik kajian sebagaimana dipaparkan tersebut di atas, selanjutnya akan dijadikan
16
sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian terhadap tema penelitian dengan judul “Pembatalan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di Tingkat Provinsi Melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri”. Dengan demikian, melalui penelitian dimaksud, maka berbagai pertanyaan sebagaimana telah dikemukakan akan dapat terjawab secara komprehensif dan dapat dipertanggung jawabkan secara keilmuan.
1.2. Rumusan Masalah Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian terdahulu, topik kajian mengenai pembatalan peraturan daerah APBD tingkat provinsi melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri telah menimbulkan berbagai pertanyaan terkait dengan topik kajian dimaksud. Namun demikian, keseluruhan pertanyaan tersebut pada hakekatnya
dapat
di
jelaskan
dua
rumusan
permasalahan
utama. Dengan memperhatikan latar belakang tersebut di atas, dalam kajian ini rumusan masalah yang akan diketengahkan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana keabsahan pembatalan peraturan daerah
melalui Keputusan
Menteri Dalam Negeri ?. 2. Bagaimana akibat hukum terhadap Peraturan Daerah APBD yang dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri?
17
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu kajian akademik yang diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap berbagai bahasan mengenai mekanisme pembatalan suatu produk Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan kedudukan hukumnya dalam hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang dalam pembahasan
terfokus pada
pembatalan suatu peraturan daerah APBD melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri. Pemahaman
mengenai
mekanisme
pembatalan
suatu
peraturan
perundang-undangan harus dipahami sebagai suatu mekanisme yang di dalamnya juga termasuk mekanisme pengujian terhadap Peraturan Perundang-undangan itu sendiri. Dengan demikian, dalam kajian mekanisme pembatalan terhadap suatu peraturan daerah juga harus dipahami sebagai suatu kajian mengenai mekanisme pengujian peraturan daerah itu sendiri. Melalui kajian ini, diharapkan pada masa mendatang akan terwujud suatu pemahaman mengenai mekanisme pembatalan suatu peraturan daerah yang merupakan salah satu jenis peraturan perundangundangan di Indonesia yang tepat dan sesuai dengan proses dan prosedur yang ada, baik yang diatur secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan topik kajian, sehingga dapat mewujudkan paradigma berpikir tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dalam kerangka atau konsep negara hukum (rechsstaat).
18
Oleh Karena itu dalam memahami mekanisme pembatalan suatu peraturan dalam hal ini adalah peraturan daerah, maka penelitian hukumnya diperlukan juga dengan melihat hakekat suatu sitem hukum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Morris L. Cohen dan Kent C.Olson 8, yang menegaskan bahwa “Effective legal research requires more than knowledge of the nature of the legal system”. 1.3.2. Tujuan Khusus Selain tujuan umum sebagaimana tersebut di atas, tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui bagaimana keabsahan suatu pembatalan peraturan daerah APBD ditingkat Provinsi melalui
Keputusan Menteri Dalam
Negeri. 2) Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum terhadap peraturan daerah APBD yang dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri.
1.4. Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini, akan dilakukan suatu analisis yang mendalam terhadap pokok permasalahan yang telah dirumuskan dengan memperhatikan latar belakang sebagaimana dipaparkan pada bagian sebelumnya untuk menemukan suatu pemecahan yang terkait dengan pokok permasalahan, yaitu tindakan Menteri Dalam Negeri yang mengeluarkan keputusan pembatalan terhadap berbagai peraturan daerah, dikhususkan pada peraturan daerah APBD di tingkat
8
p. 5.
Morris L.Cohen and Kent C.Olson, 2000, Legal Research, St, Paul, Minn, West Group,
19
Provinsi, yang dalam hal ini dikaji dengan tolok ukur mekanisme pembatalan peraturan daerah sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan. Telaah yang akan dilakukan terkait dengan pokok kajian tentunya akan disesuaikan dengan berbagai aspek dan faktor yang mendasarinya. Selanjutnya, temuan mengenai mekanisme pembatalan peraturan daerah tersebut akan ditindaklanjuti dengan melakukan analisis mengenai kewenangan pihak-pihak yang untuk melakukan pembatalan terhadap peraturan daerah. Aspek kewenangan ini tentunya ditinjau dari perspektif konstitusi, sehingga akan menghasilkan suatu kajian terhadap suatu kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah yang lahir secara konstitusional. 1.4.1. Manfaat Teoritis Penelitian mengenai pembatalan peraturan daerah melalui keputusan Menteri Dalam Negeri akan ditekankan pada keabsahan kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga dalam mengeluarkan suatu peraturan, dengan menekankan pada beberapa aspek, termasuk di dalamnya kedudukan hukum peraturan daerah, baik bentuk, isi, materi, muatan, maupun pihak yang berwenang membentuk dan membatalkan, selanjutnya akan menghasilkan keabsahan dari suatu pembentukan peraturan perundang-undangan. Sehingga menimbulkan akibat hukum yang bermuara pada pengujian dari peraturan daerah tersebut. Secara teoritis, hal ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan teori maupun asas-asas dalam ilmu hukum. Selain itu, penelitian
20
ini diharapkan juga dapat memberikan kontribusi teoritis mengenai keabsahan suatu pembentukan peraturan perundang-undangan dan akibat hukumnya. 1.4.2. Manfaat Praktis Adanya identifikasi mengenai keabsahan suatu peraturan perundangundangan dan akibat hukumnya, diharapkan dapat memberikan suatu manfaat dalam melakukan pengujian terhadap peraturan daerah. Setelah melakukan analisis terhadap keabsahan peraturan daerah dan akibat hukumnya, selanjutnya menimbulkan suatu proses pengujiannya, maka diharapkan agar terdapat kejelasan mengenai bagaimana suatu cara atau mekanisme yang tepat dalam pembatalan suatu peraturan daerah, dan hal ini adalah tergantung pada hasil analisis yang akan dilakukan, yang akan menemukan secara akademis derajat atau kedudukan peraturan daerah dalam arti bagaimana peraturan daerah itu dapat dibatalkan. 1.5. Originalitas Penelitian Kajian terkait peraturan daerah ini sebelumnya telah dikemukakan oleh Bagus Arya Wisnu Wardhana9
dengan judul tesis “Perda Tata Ruang Kota
Semarang dan implementasinya (studi analisis konsistensi dan harmonisasinya dengan UU Lingkungan Hidup) , dengan kajian sebagai berikut: Rumusan Masalah yang disajikan adalah: a. Bagaimanakah analisis konsistensi dan harmonisasi perda tata ruang kota Semarang dikaitkan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup? 9
Bagus Arya Wisnu Wardhana, 2008, Perda Tata Ruang Kota Semarang dan Implementasinya (Studi Analisis Konsistensi dan Harmonisasinya dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup), Tesis, Program Magister Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
21
b. Bagaimana implementasi perda tata ruang kota Semarang bila dikaitkan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup? c. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi perda tentang tata ruang kota Semarang dikaitkan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup? Kesimpulan penelitian yang dihasilkan adalah: a. Pengaturan permukiman, penataan ruang tersebut tercantum dalam peraturan daerah RTRW sehingga sudah terdapat konsistensi dan harmonisasi antara peraturan daerah RTRW dengan UULH; b. Implementasi kebijakan penataan ruang bila dikaitkan dengan UndangUndang Lingkungan Hidup telah mengalami pergeseran yang sangat signifikan, karena sebagian kebijakan pengembangan ruang kota Semarang tidak sesuai dengan fungsi peruntukan lahan; c. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Peraturan Daerah Tata Ruang Kota Semarang bila dikaitkan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup tidak dapat terlepas dari pertimbanganpertimbangan sosiologis antara lain faktor perkembangan penduduk, faktor ekonomi yang menjadi faktor utama, factor estetika, serta faktor filosofis. Belum lagi ditambah dengan faktor-faktor lainnya seperti pelanggaran yang dilakukan pihak-pihak swasta, kebijakan pimpinan yang menyalahi peraturan perundang-undangan, dan belum adanya tindakan yang konkrit dari pemerintah. Di dalam kajian tersebut di atas menelaah perda tata ruang kota dengan melihat pelaksanaannya yang kemudian dihubungkan dengan melihat harmonisasi perda RTRW dengan UULH, berbeda dengan kajian tersebut dalam kajian yang saya telaah pada tesis ini adalah terkait peraturan daerah APBD, yang kemudian menjadi rumusan masalahnya adalah “bagaimana keabsahan pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri” selanjutnya rumusan masalah keduanya adalah “bagaimana akibat hukum terhadap peraturan daerah APBD yang dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri”. Kemudian dalam kesimpulan tesis saya, bahwa pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri adalah tidak sah sedangkan akibat hukumnya adalah dapat dibatalkan atau batal demi hukum, berdasarkan pada asas-asas serta aturan-aturan yang melandaskan kajian yang saya telaah.
Oleh karena itu jelas terlihat
22
perbedaan substansi dari isi tesis antara saya dengan Bagus Arya Wisnu Wardhana.
Terdapat juga kajian terkait dengan peraturan daerah yang dilakukan oleh Bima Fathurrahman10, dengan judul “Proses pembentukan peraturan daerah berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 (studi di kota Bima)”, dan kajian sebagai berikut: Rumusan Masalah yang disajikan adalah: a. Apakah pembentukan peraturan daerah di Kota Bima sudah mencerminkan asas teknik pembentukan peraturan perundangundangan sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004? b. Apakah asas materi muatan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 sudah tercermin dalam pembentukan peraturan daerah Kota Bima? Kesimpulan penelitian yang dihasilkan adalah: a. Pembentukan peraturan daerah di Kota Bima masih menunjukkan adanya kekurangan dari segi kejelasan bahasa dan ketentuan pasal, serta adanya kesalahan dalam penentuan orang pribadi dan atau badan sebagai obyek peraturan tersebut. b. Masih adanya kalimat atau kata-kata yang multi interpretasi, sehingga mengaburkan makna dan sasaran dari peraturan daerah tersebut.
Di dalam isi tesis tersebut di atas menelaah terhadap pembentukan peraturan daerah di kota Bima dengan melihat apakah perda tersebut telah memenuhi asas-asas tekhnik maupun materi peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan dalam tesis yang saya
10
Fathurrahman, 2009, Proses Pembentukan Perda berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 (studi di kota Bima), Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Mataram.
23
telaah adalah dengan rumusan masalah “bagaimana keabsahan pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri” dan “bagaimana akibat hukum terhadap Peaturan Daerah APBD yang dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri” dengan kesimpulannya bahwa Peraturan Daerah APBD yang dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri adalah tidak sah dan akibat hukum peraturan daerah tersebut adalah batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Hal tersebut tetap berpedoman pada asas-asas teknik dan materi serta aturan-aturan yang melandasinya. Aturan yang dipergunakan untuk melihat asas-asas dan teknik pembentukan peraturan perundang-undangan dengan berdasar pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu jelas terlihat substansi tesis antara saya dan Bima Fathurrahman adalah berbeda. Selanjutnya, penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Agus Budi Setiyono11, dengan judul “Pembentukan Peraturan Hukum Daerah Yang Demokratis Oleh Pemerintah Daerah”. Kemudian
mengetengahkan kajian
sebagai berikut: Rumusan Masalah yang disajikan adalah: a. Bagaimanakah penerapan asas-asas perundang-undangan yang demokratis dalam pembentukan peraturan hukum daerah oleh pemerintah daerah? b. Bagaimanakah implementasi asas demokratis pada pembentukan peraturan daerah? Kesimpulan penelitian yang dihasilkan adalah:
11
Agus Budi Setiyono, 2008, Pembentukan Peraturan Hukum Daerah yang Demokratis Oleh Pemerintah Daerah, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,
24
a. Eksistensi peraturan hukum daerah dalam pembentukannya oleh pemerintah daerah telah sesuai dengan asas-asas perundang-undangan yang baik, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. b. Asas demokrasi telah diterapkan dalam pembentukan peraturan hokum daerah oleh Kepala Daerah yang terdapat pada: usulan rancangan peraturan daerah berasal dari Pemerintah Daerah maupun DPRD; proses pembuatan peraturan perundang-undangan secara terencana, terpadu dan sistematis.
Kajian pada tesis yang ditulis Agus Budi Setiyono adalah bagaimana suatu pembentukan peraturan hukum daerah dengan menerapkan asas-asas perundangundangan yang demokratis oleh pemerintah daerah serta implementasinya, berbeda halnya dengan tesis kajian saya terkait mekanisme pembatalan peraturan daerah anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), dengan rumusan masalah “bagaimana keabsahan pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri” dan “bagaimana akibat hukum terhadap peraturan daerah anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri dengan kesimpulan bahwa peraturan daerah yang dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri adalah tidak sah dan akibat hukum yang dihasilkan peraturan daerah tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Dengan berdasar pada asas-asas dan aturan yang melandasinya. Dengan demikian maka secara jelas bahwa substansi dari tesis saya dan Agus Budi Setiyono adalah berbeda.
25
1.6. Landasan Teoritis 1.6.1. Teori Negara Hukum Secara konstitusional, penegasan mengenai eksistensi Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum telah
dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Penegasan ini menandakan bahwa setiap aktivitas pemerintahan termasuk dibidang penyusunan APBD, yang dituangkan dalam suatu perangkat peraturan perundang-undangan serta mekanisme pembatalan peraturan daerah tentang APBD harus memiliki dasar-dasar pengaturan hukum. Jika dikaitkan dengan eksistensi pemerintahan daerah, dalam kaitan negara hukum inilah diperlukan berbagai perangkat peraturan daerah dan peraturanperaturan lainnya yang dalam hal ini dapat ditetapkan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan12. Kembali kepada konsep negara hukum, dalam hal ini terdapat dua unsur utama yang membentuknya, yaitu negara dan hukum. Dengan demikan, untuk melakukan kajian terhadap negara hukum sebagai suatu frase kata, maka langkah tepat yang harus diambil adalah dengan melakukan telaah terhadap unsur-unsur pembentuk frase kata negara hukum tersebut.
12
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 ayat (6) menegaskan bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
26
Kajian terhadap konsep negara akan diawali dengan pendapat Bellefroid dalam N.H.T. Siahaan13 bahwa:“Negara adalah suatu masyarakat hukum, yang secara kekal menempati suatu daerah tertentu dan yang diperlengkapi dengan kekuasaan tertinggi untuk mengurus kepentingan umum”. Selanjutnya pada penegasan Kelsen, yang menganggap negara sebagai komunita hukum bukan sebagai sesuatu yang terpisah dari tata hukumnya, sesuatu selain korporasi yang berbeda dari tata pembentuknya (anggaran dasarnya) 14.” Dengan demikian, dari penegasan Kelsen ini, eksistensi suatu negara tidak akan terlepas dari eksistensi hukum atau tata hukumnya. Lebih lanjut lagi, melalui penegasan ini akan dapat dipahami bahwa Kelsen menganggap negara sebagai organisasi hukum yang bersifat teratur dan terstruktur, yang akan selalu dilekati dengan suatu tata hukum, serta akan selalu mengedepankan hukum sebagai tata bentuk maupun tata pemerintahannya. Eksistensi negara juga didefinisikan oleh penegasan terhadap
Nasroen, yang memberi
eksistensi negara, dengan menegaskan bahwa negara
merupakan suatu bentuk pergaulan hidup, yang mempunyai anggota tertentu, yang disebut sebagai rakyat dari negara itu dan yang mempunyai daerah, pemerintahan dan tujuan tertentu pula15.
13
Bellefroid dalam N.H.T. Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta,
hal. 92 14
Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih Bahasa, Somardi, Bee Media Indonesia Jakarta, hal. 226. 15 M. Nasroen, 1986, Asal Mula Negara, Cetakan Kedua, Aksara Baru Jakarta, hal. 97.
27
Ditinjau dari perspektif esensi suatu negara, aspek ketaatan merupakan suatu unsure utama dari eksistensi suatu Negara.
Sebagaimana yang dikutip
dalam C.F. Strong16, yang menegaskan bahwa “ The Essence of a state, then as distint from all others forms of association, is the obedience of its members to the law”. Dari pendapat tersebut, sekali lagi Strong menegaskan bahwa esensi dari suatu negara, yang menjadikan faktor pembeda dari negara lainnya adalah bentukbentuk asosiasi lainnya, tergantung atau terletak pada ketaatan hukum anggotanya atau masyarakat dari suatu negara tersebut. Selanjutnya dari penegasan Nasroen dapat di pahami bahwa negara sebagai suatu entitas yang teratur dan terstruktur. Berbeda dengan Kelsen, dalam memberikan definisi tentang negara Nasroen tidak memberikan penekanan terhadap eksistensi hukum. Namun demikian, adanya perspektif pemerintah dan tujuan tertentu yang disampaikan terkait dengan definisi negara, kiranya tidak berlebihan apabila disimpulkan bahwa Nasroen juga memperhatikan aspek hukum sebagai unsur yang terkait erat dengan eksistensi negara, karena pada hakekatnya suatu tata pemerintahan dan tujuan yang telah ditetapkan merupakan suatu hukum, yang tentunya telah ditetapkan sebelumnya. Kata kedua dari frase kata negara hukum adalah kata hukum, yang dengan demikian kajian selanjutnya adalah merupakan upaya untuk menemukan rumusan atau definisi dari kata hukum itu sendiri. Dalam penelitian ini, beberapa definisi 16
Strong, C.F, 1966, Modern Political Constitutions, The Engglish Languange Book Society and Sidgwick and Jakcson Limited, London, p. 6
28
dari para ahli hukum akan dipergunakan sebagai landasan teori, sehingga secara komprehensif akan dipergunakan sebagai titik tolak untuk merumuskan definisi dari negara hukum itu sendiri.Sampai dengan saat ini, telah terdapat banyak sekali ahli hukum yang menegaskan definisi tentang hukum.
Definisi yang
dikemukakan oleh para ahli hukum tersebut seringkali berbeda di antara ahli hukum yang satu dengan ahli hukum yang lainnya. Perbedaan tersebut di atas pada hakekatnya disebabkan karena pada hakekatnya eksistensi hukum itu sendiri terkait dengan berbagai faktor yang melingkupinya, serta adanya berbagai sudut pandang dari masing-masing ahli hukum yang mencoba untuk merumuskan definisi tentang hukum itu sendiri. Di sisi lain, adanya berbagai pendapat mengenai definisi hukum telah memberikan bukti nyata bahwa pada hakekatnya definisi hukum mempunyai sifat yang terbuka terhadap berbagai faktor pengaruh, di mana faktior pengaruh itu sendiri pada hakekatnya mengikuti perkembangan kehidupan manusia. Keterbukaan definisi hukum terhadap berbagai faktor dan sudut pandang ini selaras dengan penegasan Ali17, yang menegaskan bahwa hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud konkrit. Olehnya pertanyaan tentang apakah hukum, senantiasa merupakan pertanyaan yang jawabannya tidak mungkin satu. Dengan kata lain perkataan, persepsi orang tentang hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Penegasan Ali tersebut akan memberikan suatu pemahaman
17
Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum Cetakan Pertama, Jakarta, selanjutnya disebut Achmad Ali I, hal. 21-22.
Chandra Pratama,
29
bahwa definisi hukum bersifat sangat terbuka terhadap berbagai faktor pengaruh, dan seringkali berbeda tergantung dari sudut pandangnya. Definisi mengenai hukum juga dikemukakan oleh Morris L. Cohen dan Kent C. Olson18, yang menyebutkan bahwa “The law consist of those recorded rules that society will enforce and the procedures that can implement them”. Adanya sifat definisi hukum yang sangat terbuka terhadap berbagai faktor pengaruh akan menyebabkan berbagai kesulitan dalam merumuskan definisi hukum secara tunggal dan pasti. Dengan kata lain, bukanlah merupakan suatu hal yang mudah untuk memberikan suatu definisi yang tepat terhadap suatu konsep hukum, sebagaimana disampaikan oleh K.N. Llewellyn (1893-1962)19 yang menyebutkan bahwa “The difficulty in framing any concept of “law” is that there are so many things to be included, and the things to be included are so unbelievably different from each other.
Perhaps it is possible to get them all
under one verbal roof. But I do not see what you have accomplished if you do.” Namun demikian, dalam kajian ini upaya untuk menemukan rumusan atau definisi hukum akan dikaitkan dengan topik kajian yaitu pembatalan peraturan daerah APBD tingkat provinsi melalui keputusan Menteri Dalam Negeri. Dengan demikian, faktor pengaruh dan sudut pandang yang dijadikan titik tolak kajian tentunya adalah faktor-faktor yang terkait dengan entitas aturan atau peraturan, serta entitas pemerintahan sebagai kata kunci yang akan dipergunakan dalam
18
Morris L. Cohen and Kent C.Olson, 2000, Legal Research, West Group, St. Paul, Minn, p. 2. 19 K.N. Llewellyn. t.t, Law and the ”Behavior Analysis”, In: Golding, M.P. Columbia University. editor. The Nature Of Law, New York: Random House, p. 227.
30
kajian selanjutnya.
Harus diakui, sebagian besar manusia akan selalu
mengkaitkan hukum dengan suatu peraturan. Kewenangan negara dalam menetapkan hukum pada hakekatnya merupakan suatu kewenangan yang menjadi prasyarat dalam menetapkan suatu hukum, dan akan selalu dibutuhkan secara mutlak agar suatu hukum ditaati. Namun demikian, kewenangan dalam menetapkan suatu hukum tidak lantas menjadikan suatu hukum memiliki ketergantungan, karena pada hakekatnya hukum akan selalu memiliki sifat kemandirian dalam artian tidak akan dapat dipengaruhi oleh siapapun juga pada saat hukum tersebut telah ditetapkan dan disepakati. Kemandirian merupakan suatu atribut hukum yang bersifat hakiki atau melekat sejak saat hukum ditetapkan, sesuai dengan penegasan Pospisil yang menyebutnya sebagai attribute of authority20. Hukum akan selalu dipergunakan oleh negara sebagai alat untuk mencapai tujuan negara yang telah diciptakan dan disepakati sebelumnya. Hukum sekaligus juga dapat berperan sebagai suatu alat rekayasa sosial kemasyarakatan (law as a tool of social engineering) yang diselaraskan dengan tujuan dan cita-cita negara. Negara hukum sebagaimana diungkapkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Fredrich Julius Stahl memakai istilah Rechsstaat, sedangkan ahli Anglo Saxon seperti A.V. Dicey
20
Achmad Ali, 1999, Pengadilan Dan Masyarakat, Cetakan Pertama, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, selanjutnya disebut Achmad Ali 2, hal. 157.
31
memakai istilah Rule of Law
21
. Selanjutnya oleh Stahl disebut empat unsur
Rechtsstaat dalam arti klasik, yaitu: a. Hak-hak manusia b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut Trias Politika) c. Pemerintah berdasarkan Peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur) d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Sedangkan unsur-unsur Rule of Law dalam arti klasik, seperti yang di kemukakan oleh A.V. Dicey dalam Introduction to the law Constitution mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum. b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa, maupun untuk pejabat. c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.
Selanjutnya Ridwan yang mengambil inti sari dari pendapat Ten Berge dalam W. Riawan Tjandra, menguraikan prinsip-prinsip yang harus terpenuhi dalam negara hukum22, yaitu: 1. Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga negara (oleh Pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan peraturan umum yang merupakan peraturan umum. Undang-undang secara umum harus memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari tindakan 21
Miriam Budiardjo, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi Cetakan keempat, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 113. 22 W. Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 12-13
32
2. 3. 4.
5.
(pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan yang tidak benar. Pelaksanaan wewenang oleh organ pemerintahan harus dikembalikan dasarnya pada undang-undang tertulis, yakni undangundang formal. Perlindungan hak asasi; Pemerintah terikat pada hukum; Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum. Hukum harus dapat ditegakkan, ketika hukum tersebut dilanggar. Pemerintah harus menjamin bahwa di tengah masyarakat terdapat instrument yuridis penegakan hukum. Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar hukum melalui sistem peradilan negara. Memaksakan hukum publik secara prinsip merupakan tugas pemerintah. Pengawasan oleh hakim yang merdeka. Superioritas hukum yang dapat ditampilkan, jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan organ pemerintahan. Oleh karena itu dalam setiap negara hukum diperlukan pengawasan oleh hakim yang merdeka.
Terkait dengan kajian ini, maka didalam unsur Rechsstaat, terlihat dalam poin ketiga, yakni Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatighed van bestuur), sedangkan di dalam unsur Rule of law, kaitannya terlihat dalam poin pertama, yakni Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the Law). Dari dua poin tersebut yang terbagi antara unsur Rectsstaat dengan Rule of Law, terlihat secara jelas bahwa suatu negara hukum tentunya memiliki kepastian hukum atau memiliki asas legalitas, karena asas ini merupakan konsekuensi logis daripada negara hukum sehingga setiap perbuatan atau tindakan aparatur pemerintah haruslah selalu didasarkan pada aturan-aturan hukum. Begitupun halnya dengan suatu produk hukum kepastian hukum yang jelas, juga pembatalannya.
tentunya memiliki
mekanisme pembentukan maupun
Terkait dengan hal tersebut dalam kajian ini yang akan
diketengahkan adalah produk hukum peraturan daerah APBD ditingkat provinsi,
33
yang telah jelas diatur dalam suatu Peraturan Perundang-undangan yakni UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, namun di sisi lain juga di atur dalam PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Dalam hal mekanisme pembatalan peraturan daerah APBD, ternyata terdapat perbedaab di antara kedua produk peraturan Perundang-Undangan tersebut, adanya perbedaan pengaturan mekanisme pembatalan itu pada hakikatnya merupakan suatu pertentangan norma yang dapat menimbulkan persoalan dalam perspektif Negara Hukum. 1.6.2. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Kajian mengenai pembatalan peraturan daerah APBD ditingkat provinsi melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri pada hakekatnya memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan konsep atau teori pembentukan peraturan perundangundangan. Dalam hal ini, Yuliandri23 menegaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, konsep pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan memiliki standar yang mengikat, pada hakekatnya juga harus diikuti pula dengan mekanisme pembatalan atau
23
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 2.
34
pencabutan yang memiliki cara dan
metode yang pasti, baku, dan memiliki
standar yang mengikat pula. Pemahaman mengenai cara, metode dan standar yang baku dalam hal ini harus diartikan dengan suatu mekanisme yang dilandasi dengan ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Konsep pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam perspektif kajian pembatalan peraturan daerah APBD ditingkat provinsi melalui keputusan Menteri Dalam Negeri juga merupakan suatu upaya pembangunan atau pembinaan hukum di Negara Indonesia. Pembinaan hukum bahkan harus diawali dengan adanya suatu kajian mengenai konsep pembentukan Peraturan Perundangundangan, hal ini ditegaskan oleh Satjipto Rahardjo24, yang menegaskan bahwa: ”Apabila kita ingin berbicara mengenai pembinaan hukum dalam arti yang lengkap, masalah pembuatan hukum pun termasuk di dalamnya. Tentulah tidak dapat diharapkan berbicara tentang pembinaan hukum secara bersungguh-sungguh, apabila hanya mempersoalkan tentang bagaimana meningkatkan efisisensi suatu peraturan yang ada serta meningkatkan efisiensi kerja dari lembaga-lembaga hukum. Pada suatu ketika, usaha untuk meningkatkan efisiensi hukum juga dimulai dari pembuatan peraturannya sendiri. Dengan demikian, akan dijumpai wilayah-wilayah tempat kaitan antara pembangunan, perubahan, dan pembinaan hukum tersebut bertemu”.
Dapat dikatakan, bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan manifestasi konkret dari tekad untuk mewujudkan negara hukum. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga merupakan suatu titik tolak dari arah pembangunan hukum, dan merupakan upaya untuk mewujudkan suatu negara hukum, di mana dalam hal ini Usfunan menegaskan bahwa asas legalitas 24
Satjipto Rahardjo, 2009, Membangun Dan Merombak Hukum Indonesia, Publishing, Yogyakarta, hal. 16.
Genta
35
dalam konsep rechsstaat, mensyaratkan bahwa segala tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum25. Suatu bentuk keberlakuan Peraturan Perundang-undangan dalam hal ini adalah kaidah hukum, memiliki bentuk keberlakuan yuridik, sebagaimana pendapat Arief Sidharta26, keberlakuan yuridik dimaksudkan bahwa suatu kaidah hukum dibentuk sesuai aturan-aturan hukum prosedur yang berlaku oleh badan yang berwenang dan bahwa ia juga lebih dri itu dalam aspek lain secara substansial tidak bertetangan dengan kaidah hukum lainnya (kaidah yang lebih tinggi). Oleh karena itu, aspek pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan suatu aspek yang harus diperhatikan, serta dalam pelaksanaannya harus memperhatikan asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, yang selanjutnya telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdiri dari: a) b) c) d) e) f)
Asas kejelasan tujuan; Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Asas dapat dilaksanakan; Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; Asas kejelasan rumusan dan 25
Johanes Usfunan, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis, (Orasi Ilmiah pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana Tanggal 1 Mei 2004), selanjutnya disebut Johanes Usfunan I, hal. 2. 26 Arief Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Refika aditama, Bandung, hal. 47.
36
g) Asas keterbukaan.
Selain asas dan metode dalam pembentukan peraturan perundangundangan menurut Kant dalam LG Saraswati dkk,
27
adalah prinsip kebebasan,
prinsip kesetaraan dan prinsip otonomi. Selanjutnya diuraikan bahwa prinsip kebebasan adalah pemerintah disini adalah yang memikirkan kebahagiaan rakyatnya, untuk prinsip kesetaraan, bahwa setiap anggota masyarakat berhak untuk menolak hukum-hukum yang tidak disepakati dan prinsip otonomi sebagai anggota masyarakat ataupun sebagai legislator, harus bebas dan setara dalam menyepakati hukum. Pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya telah melalui suatu pertimbangan tertentu, dan merupakan suatu kegiatan pemerintah. Menurut Usfunan28, beranjak dari macam-macam kegiatan pemerintahan kiranya dapat dipahami bahwa, konsekuensinya yakni diperlukan adanya pengaturan. Pendapat tersebut senada dengan pendapat Jimmly Asshidiqie29, yang menyebutkan bahwa kegiatan legislasi dan pembentukan peraturan perundangundangan merupakan salah satu kegiatan-kegiatan kenegaraan dan pemerintahan yang tercakup dalam bidang hukum tata negara dan tata usaha negara atau administrasi negara.
27
Kant dalam LG Saraswati, dkk, 2006, Hak Asasi Manusia, filsafat –UI Press, Jakarta,
hal. 83-84 28
Johanes Yusfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta, selanjutnya disebut Johanes Usfunan II, hal. 17. 29 Jimmly Asshidiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Kedua, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 45.
37
Suatu
kegiatan
pembentukan
peraturan
perundang-undangan
juga
merupakan suatu kegiatan awal yang bertujuan untuk membentuk atau membawa suatu perubahan.
Hal ini disebabkan karena pada hakekatnya suatu undang-
undang akan mampu membawa suatu perubahan, sebagaimana ditegaskan oleh Seidman dan kawan-kawan30, yang memberikan penegasan sebagai berikut: “Dalam sebuah undang-undang yang diharapkan mampu membawa perubahan, maka rincian rancangan akan memiliki arti penting tersendiri. Undang-undang itu hanya akan efektif berguna bila mampu mendorong timbulnya perilaku yang diharapkan. Apabila undang-undang tersebut menyerahkan pilihan untuk berperilaku terhadap kebijaksanaan si pelaku sendiri maka perilaku tersebut mustahil akan sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh pembuat rancangan”.
Penegasan Seidman tersebut di atas sekaligus juga memberikan pemahaman, bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan senantiasa akan disertai dengan suatu maksud untuk mengarahkan atau membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat untuk membentuk suatu tatanan kehidupan yang sesuai dengan cita-cita bangsa dan negara. Berbagai pendapat para ahli hukum tentang pembentukan peraturan perundang-undangan di atas merupakan suatu penegasan akan arti pentingnya pembentukan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itulah, asas-asas
sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah diganti dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan 30
Ann Seidman dkk, 2000, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Untuk Perubahan Sosial Yang Demokratis: Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang, hal. 7.
38
Perundang-undangan harus benar-benar ditaati dan dijadikan pedoman. Secara konkret, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik ini seringkali diletakkan pada berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.
Terkait dengan hal ini, Indrati S31 menyebutkan bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini (sejak era reformasi) terdapat kecenderungan untuk meletakkan asas-asas hukum atau asasasas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut di dalam salah satu pasal-pasal awal, atau dalam Bab Ketentuan Umum. 1.6.3.
Perjenjangan Norma Peraturan Perundang-undangan Dalam hal perjenjangan norma, kajian ini mempergunakan Teori
Stufenbau dari Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang di mana norma hukum yang lebih tinggi dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegang pada norma hukum yang paling mendasar. Hans Nawiasky dalam Maria Farida Indrati32 menyebutkan bahwa normanorma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Teori stufenbau dari Hans Kelsen, yang mengajarkan tentang berlakunya hukum jika sesuai dengan kaidah yang lebih tinggi, yang juga sesuai dengan asas
31
Maria Farida Indriati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan, (Bukiu 1: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Penerbit Yogyakarta, hal. 264. 32 Ibid, hal. 44.
39
lex superiori derogate legi inferiori, dengan demikian suatu norma hukum pada hakekatnya tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang secara hierarkis berada di atasnya. Terkait dengan bahasan yang dikaji, yakni pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, telah ditegaskan sebelumnya bahwa dalam hal ini telah terjadi suatu terjadi konflik norma, karena didalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah jelas diatur mengenai pembatalan peraturan derah, namun dalam aplikasinya terlihat adanya konflik dari norma tersebut, dimana pembatalan peraturan daerah tersebut melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri. 1.6.4. Konsep Otonomi Daerah Konsepsi pemerintahan daerah bukanlah dalam artian sebuah lembaga, melainkan menunjuk pada tempat proses penyelenggaraan urusan atau tugas negara, yakni di daerah sebagai perpanjangan penyelenggaraan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat33 Dalam hal pemerintahan daerah yang menjadi fokus perhatian adalah asas otonomi dan pelaksanaan desentralisasi dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sebagaimana yang ditulis oleh Yamin, 34bahwa: “Susunan tata negara yang demokratis membutuhkan pemecahan kekuasaan pemerintahan pada bagian pusat sendiri dan pula membutuhkan pembagian 33 34
I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Pustaka Sutra, Denpasar, hal. 37 Yamin dalam Mahfud, 2009, Politik Hukum, PT. Rja Grafindo Persada, hal. 92
40
kekuasaan itu antara pusat dan daerah. Asas demokrasi dan desentralisasi tenaga pemerintahan ini berlawanan dengan asas hendak mengumpulkan segala-galanya pada pusat pemerintahan.”
Terkait konsep otonomi dalam konteks organisasi pemerintahan daerah melahirkan berbagai macam pengertian, walaupun dalam substansinya mengarah pada pengertian yang sama. Pengertian-pengertian yang berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang dapat disebutkan antara lain oleh pakar dalam ilmu pemerintahan dirumuskan sebagai pengaturan sendiri yang ditujukan untuk keperluan wilayah atau bagian negara atau kelompok yang memerintah sendiri.35 Sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia pada hakekatnya memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Surianingrat36 menegaskan bahwa dalam tata pemerintahan di daerah otonomi diartikan sebagai mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri. Rumusan yang sama pula diberikan oleh Pot dalam Marzuki37, agak berbeda dalam rumusan yang dikemukakan oleh Koesoemahatmadja38 yang menyebutkan bahwa otonomi daerah mengandung arti “membuat perundang-undangan sendiri”
35
Bayu surianingrat, 1987, Mengenai Ilmu Pemerintahan, Aksara Baru, Jakarta. 1987,
hal. 6. 36
Ibid, hal.7. Laica Marzuki, 1987, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Makasar tanpa tahun, hal. 2. 38 Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar Kearah Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia, Binacipta, Bandung, , hal. 14. 37
41
(selfwetgeving) yang dalam perkembangannya juga mencukupi “zelfbestur” (pemerintah sendiri). Pengertian terakhir inilah yang memberi kesan bahwa konsep otonomi dapat saja dipergunakan dalam berbagai konteks, namun yang memberikan arahan atas kebutuhan pemakaiannya adalah konteks dimana konteks itu diletakkan. Jika hal itu diletakkan dalam konteks daerah, maka yang dimaksudkan dengan “selfwetgeving”, adalah membuat peraturan-peraturan daerah39 dan apa yang dimaksudkan dengan pemerintahan sendiri dapat diartikan sebagai rumah tangga sendiri. Pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas, memberikan petunjuk atas substansi otonomi daerah sebagai peraturan atas rumah tangga sendiri, rumah tangga itu diletakkan adalah jelas pada daerah atau bagian wilayah suatu organisasi negara. Sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, konsep otonomi daerah dalam konteks pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
39
Laica Marzuki, op cit., hal. 5.
42
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka (3), yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah adalah gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selanjutnya, dalam Pasal 40 juga disebutkan bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Lebih jauh lagi, ketentuan mengenai penyelenggaraan penerintahan daerah juga diatur dalam Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi daerah dan tugas pembantuan.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Dengan demikian, daerah otonom akan diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
43
Tugas dan wewenang serta kewajiban kepala daerah dan wakil daerah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 25, yaitu terdiri dari: 1) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; 2) Mengajukan rancangan peraturan daerah; 3) Menetapkan peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan DPRD; 4) Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama; 5) Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; 6) Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan 7) Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Di antara tugas dan wewenang serta kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut di atas, terdapat beberapa tugas yang terkait erat dengan kajian mengenai pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, serta konsep perancangan peraturan perundang-undangan, yaitu: 1) mengajukan rancangan peraturan daerah; 2) menetapkan peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; 3) menyusun dan mengajukan rancangan peraturan daerah tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama. Berbagai tugas terkait dengan perancangan dan penetapan peraturan daerah inilah yang kemudian menjadi suatu fakor relevan yang mendukung dan mempertajam kajian yang akan dilakukan.
44
Eksistensi pemerintahan daerah dan peraturan daerah juga mencerminkan suatu tatanan hukum nasional, yang menurut pendapat Sidharta sebagaimana dikutip oleh Syaukani dan A. Ahsin Thohari40 harus mengandung ciri-ciri sebagai berikut: 1) Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara; 2) Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan; 3) Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi; 4) Bersifat nasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran (redelijkheid), rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai; 5) Aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah; 6) Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.
Terkait dengan eksistensi peraturan daerah, pada hakekatnya eksistensi peraturan daerah merupakan salah satu ciri tatanan hukum nasional, yang berjalan seiring dengan berbagai produk peraturan perundang-undangan yang dikenal dalam struktur atau hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan tatanan hukum yang baik, maka diharapkan akan terbentuk suatu hukum nasional sebagaimana dihasilkan dalam seminar tentang hukum nasional di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, yang merekomendasikan bahwa hukum nasional yang sedang dibangun haruslah41: 1) Berlandaskan Pancasila (filosofis) dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (konstitusional);
40
Syaukani, Imam & A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, Rajagrafindo Persada Jakarta, hal. 70-71. 41
PT.
Rekomendasi ini sebagaimana dikutip dari Syaukani, Imam & A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 71.
45
2) Berfungsi mengayomi, menciptakan ketertuban sosial, mendukung pelaksanaan pembangunan, dan mengamankan hasil-hasil pembangunan.
1.6.5. Teori Kewenangan Wewenang pemerintahan menurut sifatnya selalu terikat kepada suatu masa waktu tertentu, tidak berlaku untuk selama-lamanya. Selain itu baik pemberian wewenang, maupun sifat serta luasnya wewenang pemerintahan serta pelaksanaannya dari suatu wewenang selalu tunduk pada batas-batas yang diadakan oleh hukum. Mengenai pemberian wewenang maupun pencabutannya, terdapat batasan-batasan hukum yang tertulis maupun tidak tertulis. Demikian juga mengenai pelaksanaan suatu wewenang pemerintahan, ia selalu tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis maupun yang tidak tertulis, dalam hal ini asas-asas umum pemerintahan yang baik. Terkait dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, secara tegas Indroharto42 menyebutkan sebagai berikut: “asas-asas umum pemerintahan yang baik, mencanangkan, bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundangundangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah itu tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Ini berarti, bahwa setiap wewenang pemerintahan untuk melakukan kebijaksanaan dan tindakan hukum Tata Usaha Negara, baik mengenai bentuk dari tindakan-tindakan hukum serta isi hubungan hukum yang diciptakan olehnya harus ada dasar atau sumbernya pada (diberikan oleh) suatu ketentuan peraturan perundangundangan (hukum tertulis)”. 42
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku 1 Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 83.
46
Sebagaimana pula yang diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada Pasal 1 ayat (2), telah ditegaskan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Indroharto43, bahwa, yang dimaksudkan dengan ketentuan tersebut adalah: 1. dalam kata “berdasarkan” pada rumusan itu yang dimaksudkan adalah, bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh para Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara itu harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang mereka laksanakan; 2. Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan, bahwa wewenang Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Kedua makna tersebut pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari berlakunya ide (cita) negara hukum dalam negara kita.
Dalam suatu pelaksanaan pemerintahan esensi keteraturan dalam administrasi akan tampak pada hubungan pemerintahan yang berlangsung secara fungsional yang diciptakan oleh para subjek administrasi sebagai pemerintah dengan para subjek yang diatur sebagai pihak yang diperintah44
43
Ibid, hal. 81. Faried Ali, 2004, Filsafat Administrasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.3
44
47
Berdasarkan asas legalitas, yang pada hakekatnya merupakan pilar utama dalam negara hukum, tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan, tentu saja melahirkan adanya suatu keputusan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, permasalahan akan timbul dalam suatu keputusan yang dilahirkan, adalah mengenai tidak sahnya suatu keputusan yang dibuat. Kewenangan yang berdasar pada peraturan perundang-undangan dapat juga disebut dengan kewenangan konstitusionalisme yang secara sederhana didefinisikan sebagai, sejumlah ketentuan hukum yang tersusun secara sistematis untuk menata dan mengatur struktur dan fungsi-fungsi lembaga-lembaga negara termasuk dalam ihwal kewenangan45. Di dalam hukum administrasi, syarat keputusan agar sah, apabila keputusan tersebut memenuhi syarat materiil dan formil.46 Adapun syarat Materiil meliputi: 1). Aparat pembuat keputusan harus memiliki kewenangan. Sumber kewenangan bisa karena atribusi, delegasi dan mandat. Ketidakwenangan dalam membuat keputusan dikarenakan: ratione materi; ratione loci dan ratione temporis; 2). Dalam kehendak tidak boleh mengalami kondisi kekurangan yuridis yang disebabkan karena dwang; dwaling; dan bedrog; 3). Isi dan tujuan dari pembuatan keputusan harus sama dengan isi dan tujuan dari peraturan dasarnya.
45
Jazim Hamidi dan Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka Publisher, hal. 11 46 http://edipranoto.blogspot.com/2010/11/12syarat-keputusan.html?zx=7
48
Sedangkan syarat formil terkait dengan formalitas atau prosedur yang harus ditempuh untuk pembuatan keputusan tersebut yang meliputi: 1). keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan dasarnya; 2). Prosedur dan syarat sebelum keputusan dibuat, 3). Apa yang harus dilaksanakan ketika keputusan di buat. Kalau kedua syarat terus dipenuhi, maka keputusan tersebut akan menjadi keputusan yang sah, walau ada gugatan tidak akan menimbulkan masalah.
Menurut Philipus M. Hadjon47, keabsahan tindakan pemerintah pada hakekatnya ditentukan oleh 3 (tiga) unsur utama, yaitu wewenang, prosedur dan substansi, dengan menggunakan parameter peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Perihal 3 (tiga) unsur utama, keabsahan tindakan pemerintah sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka dijabarkan lebih lanjut: 1. Wewenang, Dalam hal ini pihak yang mengambil atau melakukan suatu tindakan haruslah pihak yang memiliki kewenangan baik atributif maupun delegatif. 2. Prosedur, Keabsahan tindakan pemerintah harus memenuhi prosedur sebagaimana ditetapkan dalam tata cara atau prosedur tindakan pemerintah yang telah ditetapkan sebelumnya. 3. Substansi, Substansi tindakan pemerintah pada hakekatnya tidak boleh bertentangan dengan segala bentuk peraturan perundangan, konsepsi Hak Asasi Manusia, maupun norma-norma yang ada dan hidup di masyarakat.
Ketiga unsur utama keabsahan tindakan pemerintah dapat diukur dengan tolok ukur berupa peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum 47
Philipus M. Hadjon, Beleidsvrijheid dan Tanggung Jawab Pejabat Pemerintah. www.appsi-online.com, 03/02/2011.
49
pemerintahan yang baik. Dengan demikian setiap unsur dari tindakan pemerintah di satu sisi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan di sisi lain harus memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Apabila pada salah satu unsur keabsahan tindakan pemerintah terbukti bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan, maka keabsahan suatu tindakan pemerintah tidak akan terpenuhi, demikian juga apabila tindakan pemerintah tidak memenuhi atau bertentangan dengan AAUPB, maka keabsahan tindakan tersebut juga tidak akan terpenuhi.48 Terkait dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), menurut Philipus M. Hadjon dalam Ridwan HR49 bahwa: “AAUPB haruslah dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati o9leh pemerintah, yang meskipun arti yang tepat dari AAUPB bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Dapat dikatakan, bahwa AAUPB adalah asas-asas hukum tidak tertulis, dari mana untuk keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan”.
Bahasan mengenai keabsahan itu sendiri setara jika berbicara mengenai keberadaan hukum, sebagaimana pendapat Sudikno Mertokusumo50 bahwa hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya bukanlah hukum, jadi hukum bersumber pada kekuasaan yang sah.
48
Ibid, 03/02/2011. Ridwan HR 2011, Hukum Administrasi Negara (edisi revisi), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 237. 50 Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 25 49
50
Selanjutnya kembali perihal
kewenangan yang dimiliki, maka dapat
disebut bahwa pada hakekatnya diskresi merupakan suatu kewenangan yang bersifat bebas, sehingga kewenangan ini memberikan suatu kebebasan untuk melakukan suatu tindakan diskresi terkait erat dengan suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Dengan demikian, dalam melakukan diskresi pada hakekatnya terdapat beberapa pilihan tindakan yang dapat diambil, dimana dalam menentukan pilihan ini terdapat berbagai faktor penentu, yaitu: 1. adanya suatu keadaan tertentu; 2. suatu tindakan yang seharusnya di ambil; 3. suatu tindakan yang sepatutnya di ambil; 4. adanya pertimbangan “demi kepentingan umum”. Diskresi pada hakekatnya harus dilakukan pada kondisi-kondisi tertentu, misalnya dalam hal terjadi suatu bencana atau dalam hal terjadi suatu keadaan darurat51. Menurut Indroharto52, pada umumnya disebut adanya dua cara pokok dari mana para Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara itu memperoleh wewenang pemerintahan, yaitu dengan jalan atribusi dan delegasi. Pada Atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang pemerintahan baru. Dapat diberi uraian bahwa ketentuan hukum 51
yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan
Ibid, 03/02/2011 Indroharto, op.cit., hal. 91.
52
yang
51
disengketakan itu mungkin menyebut dengan jelas Badan atau Pejabat Tata Usaha negara (TUN) yang diberi wewenang pemerintah, jadi dasar wewenang tersebut dinamakan bersifat atributif53. Sedangkan pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau jabatan Tata Usaha Negara lainnya. Dengan demikian, suatu delegasi selalu di dahului oleh adanya atribusi wewenang, adalah sangat penting untuk mengetahui apakah suatu Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara itu pada waktu mengeluarkan suatu keputusan yang berisi suatu pendelegasian wewenang berdasarkan suatu wewenang pemerintah atributif yang sah atau tidak. Pada atribusi wewenang, terjadi pemberian suatu wewenang oleh suatu ketentuan perundang-undangan, sedangkan pada delegasi wewenang, terjadi pelimpahan atau pemindahan suatu wewenang yang telah ada, sebagaimana yang telah di paparkan sebelumnya. Sedangkan pada mandat menurut Indroharto54, adalah sebaliknya pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang satu kepada yang lain. Dalam hal mandat maka di situ tidak terjadi perubahan apa-apa mengenai distribusi wewenang yang telah ada, yang ada hanya suatu hubungan intern, umpamanya antara Menteri dengan Dirjen atau Irjennya, di mana Menteri (mandans) menugaskan Dirjen atau Sekjennya (mandataris) 53
A. Siti Soetami, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika Aditama, Bandung, hal. 4. 54 Ibid, hal. 92.
52
untuk atas nama Menteri melakukan suatu tindakan hukum dan mengambil serta mengeluarkan keputusan-keputusan Tata Usaha Negara tertentu. Jadi pada mandat, wewenang pemerintahan tersebut dilakukan oleh mandataris atas nama dan tanggung jawab mandans.
1.7.Metode Penelitian 1.7.1. Jenis Penelitian Penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian normatif, di mana hal ini disebabkan karena karakter ilmu hukum itu sendiri. Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, ilmu hukum memiliki karakter yang khas. Ciri khas ilmu hukum adalah sifatnya yang normatif55. 1.7.2. Jenis Pendekatan Dalam penelitian Hukum Normatif pada umumnya mengenal 5 (lima) jenis pendekatan yakni56: 1. 2. 3. 4. 5.
Pendekatan undang-undang (statute approach) Pendekatan kasus (case approach) Pendekatan historis (historical approach) Pendekatan komparatif (comparative approach) Pendekatan konseptual (conceptual approach) Pendekatan penelitian yang akan dipergunakan adalah pendekatan
penelitian yang dikenal dalam metode penelitian normatif, yaitu pendekatan
55
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2008, Argumentasi Hukum, Cetakan ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 1. 56 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cetakan keenam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 93.
53
Undang-Undangan, pendekatan historis, dan pendekatan konseptual. Pendekatanpendekatan tersebut
dipergunakan dalam penelitian ini, mengingat adanya
karakteristik ilmu hukum sebagai ilmu sui generis, yang berarti ilmu hukum merupakan ilmu jenis tersendiri57. 1.7.3. Sumber Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder58. Bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum, di mana asas dan
kaidah
hukum
tersebut
dapat
berupa
peraturan
dasar,
konvensi
ketatanegaraan, peraturan perundang-undangan, hukum yang tidak tertulis, putusan pengadilan, serta keputusan tata usaha negara.
Bahan hukum sekunder
dalam hal ini terdiri atas buku-buku hukum atau yang relevan dengan topik kajian, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus dan ensiklopedi hukum , serta sumber bahan hukum yang berasal dari internet. 1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Terhadap bahan-bahan hukum yang diperlukan dan akan digunakan dalam penelitian ini, akan lebih ditekankan pada berbagai norma dan kaidah yang terkait dengan menggunakan metode dan teknik pengumpulan sistem kartu (card system), yang selanjutnya akan di analisis dengan dukungan berbagai asas, konsep dan teori yang relevan dengan topik kajian yang diketengahkan.
57
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, op.cit.,, hal. 2. Anonim, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 11. 58
54
1.7.5. Analisis Bahan Hukum Hasil analisis data akan disajikan tidak saja secara informal dalam bentuk naratif, namun juga akan disajikan formal dalam bentuk bagan, grafik dan lainlain, sehingga mampu menampilkan suatu pertimbangan-alas hukum (legal reasoning)
yang
diperlukan,
sesuai
pendapat
Abraham
Amos59,
yang
menyebutkan bahwa secara prinsipil, untuk menuangkan pertimbangan – alas hukum (legal reasoning) diperlukan sistematika konstruksi berpikir sesuai dengan fungsi peraturan dan standarisasi cara kerja hukum yang berlaku atau yang sering dipraktekkan oleh badan-badan institusi peradilan sesuai predikat dan hierarki hukum.
59
Abraham Amos, 2008. Legal Opinion, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hal. 22-23.
55
BAB II TINJAUAN UMUM PERATURAN DAERAH 2.1. Tinjauan Historis Pengaturan Peraturan Daerah Terkait historisasi pengaturan peraturan daerah, telaah pada sejarah dimana mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya, mengenai apa yang berlaku, untuk, maksud dan tujuan yang akhirnya menentukan dalil-dalil atau hukum-hukum perkembangan kemasyarakatan60 Aspek historis dari tinjauan umum terhadap eksistensi peraturan daerah di Indonesia akan dimulai dengan kajian mengenai pemerintahan daerah, karena pembentukan peraturan daerah tidak terlepas dari kewenangan pemerintah daerah, serta berbagai persoalan mengenai pemerintahan daerah dan yang berkaitan dengan desentralisasi. Pengaturan mengenai pemerintahan daerah, telah dilakukan sejak tahun 1903 sampai dengan sekarang, dengan berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Secara historis, pengaturan dimaksud dapat diketahui dari berbagai produk peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah seperti dibawah ini 61, yaitu: a. b. c. d. e.
60
Decentralisatie wet Tahun 1903; BestuurS.H.ervorming Tahun 1922; Undang-Undang No. 1 Tahun 1945; Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan di Daerah; Undang-Undang No. 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerahdaerah Indonesia Timur;
John Gilissen dan Frits Gorle, 2007, Sejarah Hukum, PT Refika Aditama, hal. 11 Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, Jakarta PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, hal. 395-396 61
56
f. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah; g. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah; h. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960; i. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah; j. Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah; k. Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa; l. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah beserta berbagai peraturan pelaksanaannya yang ditetapkan pada tahun 1999 dan tahun 2000; m. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya; n. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya sampai sekarang.
Pilihan kebijakan yang terkandung dalam berbagai peraturan tersebut adalah
kebijakan
desentralisasi
pemerintahan
daerah.
Penyelenggaraan
desentralisasi dalam sejarah Indonesia telah berlangsung jauh sebelum Decentralisatie Wet ditetapkan pada tanggal 23 Juli 190362. Awalnya desentralisasi diatur dalam Regering Reglement yang disingkat RR63 yang ditetapkan pada tahun 1854. RR ini kemudian diganti dengan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands-Indie yang biasa disebut Indische Staatsregeling (IS) Tahun 1925. Setelah kemerdekaan, desentralisasi sebagai prinsip penyelenggaraan negara tercantum dalam berbagai ketentuan dasar, yaitu pada Pasal 18 UndangUndang Dasar 1945, Pasal 42 sampai dengan Pasal 67 Undang-Undang Dasar 62
Menurut G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, dalam Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca reformasi,PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, hal.396. 63 Ibid, hal.397
57
Republik Indonseia Serikat Tahun 1949, dan Pasal 131 serta Pasal 132 UndangUndang Dasar Sementara Tahun 1950. Penjabarannya dituangkan dalam berbagai ketentuan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah beserta peraturanperaturan pelaksanaannya sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar. Dalam penjabarannya itu diatur tentang pembagian wilayah nasional menjadi wilayahwilayah provinsi, kabupaten/kota atau wilayah yang lebih rendah. Wilayah-wilayah negara yang dibagi itu diberi otonomi untuk mengatur dan melaksanakan sendiri rumah tangga pemerintahan masing-masing. Karena itu, setiap wilayah memiliki pemerintahan sendiri yang secara hierarkis disebut daerah provinsi yang disebut sebagai Daerah Tingkat 1 dan daerah kabupaten/kota yang disebut Daerah Tingkat II. Susunan hierarkis tersbut pada umumnya dimaksudkan oleh pemerintah pusat sebagai bentuk kewenangan yang lebih tinggi dan/atau lebih luas wilayah yang lebih tinggi atas wilayah yang lebih rendah, sekaligus sebagai bentuk kontrol kepala daerah yang lebih tinggi terhadap kepala daerah yang lebih rendah. Setelah kemerdekaan, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, kebijakan desentralisasi pemerintahan daerah pertama kali diatur dengan UndangUndang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, dengan kata lain undang-undang pertama yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia merdeka adalah mengenai kebijakan desentralisasi pemerintahan daerah, akan tetapi materi yang diatur dalam undangundang terlalu sederhana sehingga dalam pelaksanaannya timbul banyak kesulitan, karena itu pada tahun 1948 diterbitkan Undang-Undang Republik
58
Indonesia No. 22 Tahun 1948 tentang Peraturan Tentang Penetapan AturanAturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Dari Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Republik Indonesia No. 22 tahun 1948 tersebut menegaskan bahwa daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu: provinsi, kabupaten (kota besar) dan desa (kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Setiap wilayah tersebut otonom atau dalam istilah Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1948 disebut swatantra (menyelenggarakan pemerintah sendiri) dan masingmasing disebut Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III (Dati III) sama dengan desa (kota kecil) nagari, marga dan lain-lain dalam UndangUndang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1948. Selanjutnya setelah Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan di Daerah dicabut dan selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang tersebut merupakan hasil kerja DPR hasil Pemilu Tahun 1955. Namun menurut Soetardjo64 Undang-Undang ini, di satu pihak menganjurkan Negara Kesatuan, tetapi dipihak lain juga menganjurkan Negara Federasi. Setelah berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 dengan Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959, sistem demokrasi berubah dengan jargon demokrasi
64
Soetardjo Kartohadikoesoemo, dalam Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, hal. 403
59
terpimpin. Dampak langsungnya terhadap otonomi daerah adalah diberlakukannya Penpres (penetapan presiden) No. 6 Tahun 1959 dan Penpres (Penetapan Presiden) No. 5 Tahun 1960. Penetapan Presiden (Penpres) ini sebenarnya bermaksud memulihkan dan bahkan memperkokoh kewibawaan Kepala Daerah (KDH) sebagai alat pemerintah pusat dengan diberi kedudukan dan fungsi rangkap sebagai alat dekonsentrasi (gubernur, bupati, atau walikota) dan sekaligus desentralisasi (KDH). Tinjauan historis peraturan daerah, apabila dilihat dari pengaturan peraturan Perundang-Undangan maka selanjutnya adanya Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan posisi Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah serta melanjutkan ide Penpres No. 6 Tahun 1959. Bahkan ketentuan didalam Penpres No. 6 Tahun 1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960, seluruhnya diadopsi ke dalam Undang-Undang Repubik Indonesia No. 18 Tahun 1965 ini, yang mengacu kepada konsep demokrasi terpimpin dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang ini membagi wilayah negara dalam tingkatan daerah-daerah otonom (Pasal 2 ayat (1) yang terdiri atas provinsi atau kotapraja sebagai dati I, kabupaten atau kotamadya sebagai Dati II dan kecamatan atau kotapraja sebagai Dati III. Selanjutnya adanya Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menggantikan posisi UndangUndang Republik Indonesia No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Prinsip penting yang dianut dalam Undang-Undang No.
60
5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah adalah otonomi daerah. Dalam Undang-Undang ini dengan jelas ditentukan bahwa: “tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan dan kestabilan politik dan kesatuan bangsa”. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah ini prinsipnya sama dengan Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 Tahun 1959 yaitu kestabilan pemerintahan ditingkat lokal dengan cara menempatkan Kepala Daerah (KDH) sebagai penguasa tunggal di daerah. Selanjutnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan posisi UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. UU No. 22 Tahun 1999 dibentuk sebagai jawaban terhadap krisis pada tahun 1998 yang menyebabkan integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang ini melakukan perubahan mendasar dalam pola penyelenggaraan pemerintahan daerah. Desentralisasi dikonstruksikan dengan otonomi seluas-luasnya. Hubungan provinsi dan kabupaten ditentukan tidak lagi bersifat hierarkis, seperti dalam Undang-Undang sebelumnya. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bahwa gubernur/kepala daerah provinsi tidak mengontrol bupati/walikota yang dicirikan oleh tidak ada lagi peran gubernur dalam proses pemilihan bupati/walikota.
61
Selanjutnya adalah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan posisi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Banyak perubahan yang sangat penting yang terdapat di dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, jika dibandingkan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan aerah, diantaranya adalah soal hubungan antara pusat, daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pengaturan mengenai pembagian wilayah materi UU. No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada dasarnya adalah sama dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Akan tetapi, hubungan antara
pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota pengaturannya tidak lagi sama dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, gubernur dan bupati/walikota tidak memiliki hubungan hierarkis satu dengan yang lain, sedangkan menurut versi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebaliknya. Meskipun UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak seperti UU No 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah, tetapi sifat hierarkis dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dihidupkan kembali sebagaimana mestinya. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terdapat pula perubahan penting yang sangat mendasar, yaitu ketentuan Pasal 24 ayat (5) yang mengatur bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan. Selanjutnya dalam Pasal 109 UU No. 32
62
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
gubernur dinyatakan berwenang
mengajukan pengusulan pasangan calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota diusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam waktu tiga hari, kepada Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan. Selain pemilihan dan pelantikan juga soal pemberhentian kepala daerah, terjadi juga perbedaan antara UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepala daerah, sedangkan menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pemberhentian kepala daerah dilakukan melalui prosedur impeachment ke Mahkamah Agung. Mekanisme yang ditempuh adalah melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi sebelum diajukan pemberhentiannya dalam forum Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dari latar belakang adanya pengaturan mengenai Pemerintahan daerah, yang
termasuk
didalamnya
mengenai
pemilihan,
pengangkatan
serta
permberhentian seorang kepala daerah, dalam hal ini adalah merupakan unsur penyelenggara pemerintah daerah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki tugas dalam menetapkan peraturan daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga mengenai rancangan peraturan daerah yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau gubernur atau bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah provinsi,
63
kabupaten atau kota sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang selanjutnya telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara tidak langsung juga mengatur peraturan daerah yang menjadi suatu dasar pijakan dalam mengambil kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh pejabat daerah, sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai manifestasi dari upaya tinjauan historis mengenai peraturan daerah. Penyelenggaraan pemerintahan daerah pada seluruh daerah otonom, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan berpegang pada pilar hukum sebagai mana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3), bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Oleh sebab
itu
dalam
penyelenggaraan
otonomi
daerah,
pemerintah
daerah
melandaskan seluruh kebijakan dan tindakannya pada suatu dasar hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk
mendukung
penyelenggaraan
otonomi
daerah
diperlukan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pemanfaatan, sumber daya nasional yang berkeadilan, serta pembagian keuangan pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan
64
keuangan pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind) Pengelolaan keuangan daerah merupakan bagian integral dan totalitas manajemen penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu membuat pengaturan hukum pengelolaan kekuangan daerah, yang dituangkan di dalam Peraturan Daerah. Selanjutnya pula yang diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diantaranya menentukan tugas dan kewenangan kepala daerah, lebih jelas bahwa kepala daerah disini adalah sesuai dengan Pasal 18 (4) UU No. 32 Tahun 2004, “Gubernur, bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”, dapat diartikan bahwa gubernur sebagai kepala pemerintah daerah provinsi sedangkan bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah kabupaten dan kota. Oleh karena itu kata pemerintah dapat disebut hanya menunjuk pada institusi pelaksana atau eksekutif saja yaitu dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan pusat dan daerah yang berisi kebijakan kenegaraan di daerah dan kebijakan pemerintahan daerah itu sendiri. Fungsi pelaksana atau eksekutif itu sebenarnya secara historis memang terkait dengan fungsi untuk melaksanakan peraturan yang berisi aturan normatif, baik dalam bentuk general rules ataupun yang berbentuk policy-rules (beleid-regels).
65
General-rules itu sendiri dapat berupa peraturan yang ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan tingkat pusat, dan dapat pula ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah ataupun peraturan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945, yang menentukan bahwa,”Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan itu sebagaimana yang isi dari Pasal 18 ayat (2) UU NRI Tahun 1945, pemerintah daerah dinyatakan berhak menetapkan: (i) peraturan daerah; dan (ii) peraturan-peraturan lain. Yang dimaksud dengan peraturan daerah tentulah peraturan daerah provinsi, yaitu peraturan yang ditetapkan yang dibentuk oleh DPRD bersamasama dengan dengan gubernur selaku kepala pemerintah daerah provinsi, sedangkan yang dimaksud dengan peraturan lainnya adalah peraturan yang tingkatannya lebih rendah dan merupakan pelaksanaan dari peraturan daerah provinsi tersebut, yaitu peraturan gubernur dalam rangka melaksanakan peraturan daerah provinsi itu atau peraturan daerah kabupaten dan/atau daerah kota.
2.2. Unsur Pembentuk Peraturan Daerah Secara
konstitusional,
eksistensi
Peraturan
daerah,
sebelum
diberlakukannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. diatur secara tegas dalam Pasal 7 ayat (1) yang selanjutnya
66
telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang menempatkan peraturan daerah pada urutan kelima dalam jenis dan hierarkis Peraturan Perundang-Undangan.
Kemudian dalam
ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang kemudian telah diganti dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan.
“Peraturan
daerah
sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) huruf e meliputi: a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi bersama dengan Gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota bersama Bupati/Walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Selanjutnya pengertian Peraturan Daerah sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 1 ayat (10) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, bahwa: Peraturan Daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota. Dari pengertian Peraturan Daerah tersebut, maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam suatu peraturan daerah adalah: 1. adanya suatu peraturan; 2. ditingkat provinsi; 3. ditingkat kabupaten/kota.
67
Pemahaman adanya suatu peraturan berarti dapat dilihat dari kata dasarnya yaitu aturan, sesuatu ketentuan berdasarkan suatu kewenangan yang dimiliki, dan kewenangan tersebut telah memiliki dasar atau legitimasi, sehingga aturan yang dibuat adalah suatu aturan yang sah dan mengikat bagi seluruhnya dalam arti baik orang, kondisi ataupun tempat dimana aturan tersebut diberlakukan. Jika melihat pemahaman mengenai aturan, di buat oleh pihak yang berwenang, dan tempat aturan diberlakukan, maka dalam unsur pengertian peraturan daerah ditingkat provinsi, kabupaten dan/atau kota telah tercakup didalamnya, namun lebih jelas dapat dilihat ditingkat provinsi maupun kabupaten dan/atau kota siapa yang mengepalai. Untuk tingkat Provinsi dikepalai oleh kepala daerah yaitu yang disebut Gubernur sedangkan ditingkat kabupaten dan/atau kota dikepalai oleh kepala daerah yaitu yang disebut Bupati atau walikota. Di dalam kamus Bahasa Indonesia, pengertian dari peraturan adalah: ketentuan yang harus dijalankan dan dipatuhi, kaidah yang dibuat untuk mengatur, petunjuk yang dipakai untuk menata sesuatu dengan aturan65. Selain ketiga unsur yang dapat ditarik berdasarkan pengertian dari Peraturan Daerah tersebut, maka setelah memahaminya akan terlihat bagaimana suatu aturan dalam hal ini adalah peraturan daerah tersebut dibuat oleh siapa, sebagaimana yang telah disinggung diatas. Didalam Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menegaskan bahwa Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Oleh karena itu 65
Tim Penyusun Tanti Yuniar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Agung Mulia.
68
suatu peraturan daerah memiliki campur tangan dari DPRD, karena peraturan daerah dapat ditetapkan jika ada persetujuan bersama dengan DPRD. Jika dilihat dari sistem pemerintahan yang dianut di Negara Indonesia, yaitu sistem pemerintahan presidensiil, yaitu jabatan Presiden tercakup dua kepemimpinan sekaligus yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, maka dapat diterapkan pada daerah provinsi, kabupaten dan/atau kota yang dikepalai oleh seorang kepala daerah yang disebut gubernur, bupati dan/atau walikota. Masing-masing kepala daerah juga disebut sebagai kepala pemerintahan daerah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, yaitu “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Juga di dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu “pemerintah daerah adalah gubernur, bupati dan/atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah”. Oleh karena itu dapat dikatakan jabatan gubernur, bupati dan/atau walikota adalah sebagai kepala daerah dan kepala pemerintahan atau dapat disebut sebagai termasuk di dalam lembaga eksekutif atau pemerintahan seperti halnya Presiden, namun terbatas di tingkat provinsi, kabupaten dan/atau kota Perumusan suatu peraturan dalam hal ini adalah peraturan daerah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Malinowski dalam Chand66 bahwa “The
66
Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, p.117
69
true problem is not to study how human life submits to rules – it simply does not; the real problem is how the rules become adapted to life.” Namun dalam suatu perumusan peraturan daerah tidak hanya dengan melihat aturan dan pemberlakuannya saja, namun juga kewenangan dari pihak yang merumuskannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam peraturan daerah tidak hanya melihat perumusannya namun juga mekanisme pembatalannya, maka jika dikaitkan dengan unsur kewenangannya dapat
dilihat
suatu
peraturan
daerah
tersebut
mengenai
keabsahannya
sebagaimana kajian yang akan ditelaah. Terkait dengan keabsahan suatu keputusan tidak terlepas dari dasar kewenangan yang dimiliki oleh suatu jabatan sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kemampuan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum juga berarti berwenang untuk berbuat sesuatu, namun hak untuk berbuat demikian itu juga dalam batas-batas (dibatasi) oleh yang ditetapkan hukum positif, atau dapat diartikan bahwa setiap pelaksanaan wewenang pemerintahan itu tunduk kepada hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Suatu kewenangan tentu saja melibatkan asas legalitas (asas wetmatigheid van het bestuur), mengingat negara Indonesia adalah Negara Hukum. Menurut Indroharto67 bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat
67
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, hal. 83
70
pemerintah itu tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Hal tersebut di atas berarti, bahwa setiap wewenang pemerintahan untuk melakukan kebijaksanaan dan tindakan hukum tata usaha negara, baik mengenai bentuk dari tindakan-tindakan hukum demikian itu serta isi hubungan hukum yang diciptakan olehnya harus ada dasar atau sumbernya (diberikan oleh) suatu ketentuan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis). Asas legalitas pemerintahan juga menunjang berlakunya kepastian hukum, sebab tindakan hukum pemerintahan itu hanya dimungkinkan kalau ada pengaturannya dalam undang-undang. Jika menelaah keabsahan suatu keputusan, tidak terlepas dari kewenangan sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, oleh karena itu penting adanya jika sebelumnya menelaah mengenai sumber kewenangan atau lahirnya suatu kewenangan. Pada umumnya disebut adanya dua cara pokok dari mana para Badan atau jabatan tata usaha Negara itu memperoleh wewenang pemerintahan, yaitu dengan jalan atribusi dan delegasi. Menurut Indroharto68, Pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundangundangan. Legislator yang kompoten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara:
68
Ibid, hal. 91
71
a. yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita ditingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitutie (Konstituante) dan DPR bersama-sama Pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan ditingkat daerah adalah DPRD dan Pemda yang melahirkan Pemda; dan b. yang bertindak sebagai delegated legislator; seperti Presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu Peraturan Pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan TUN tertentu. Sedangkan pada delegasi menurut Indroharto69 terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya.
Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi
wewenang. Adalah sangat penting untuk mengetahui apakah suatu Badan atau Jabatan TUN itu pada waktu mengeluarkan suatu keputusan TUN yang sah pula.
69
Indroharto, op.cit., hal. 91
72
BAB III KEABSAHAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA DAERAH DI TINGKAT PROVINSI MELALUI KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI
3.1. Hakikat keabsahan Pembatalan Peraturan Daerah Tentang APBD di Tingkat Provinsi Melalui keputusan Menteri Dalam Negeri. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu, identifikasi terhadap keabsahan suatu pembatalan peraturan daerah tentang APBD di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam negeri merupakan faktor kunci dalam menentukan akibat hukum terhadap suatu peraturan daerah tentang APBD di tingkat provinsi yang dibatalkan
melalui keputusan menteri dalam negeri.
Mengidentifikasi suatu keabsahan pembatalan peraturan daerah sebagai suatu bentuk peraturan perundang-undangan sangat diperlukan mengingat adanya ketentuan yang mengatur mekanisme suatu pembatalan peraturan daerah, yang mana ketentuan tersebut juga merupakan ketentuan sebagaimana juga yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Keabsahan suatu pembatalan peraturan daerah tentang APBD di tingkat provinsi melalui keputusan menteri dalam negeri, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur mekanisme pembatalan peraturan daerah itu sendiri, yaitu pada Pasal 145 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang intinya menegaskan bahwa keputusan pembatalan peraturan daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden (PP). Namun dalam kenyataan keputusan pembatalan peraturan daerah tersebut dilakukan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri,
73
sebagaimana yang di atur dalam PP No 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Negara pada Pasal 47 ayat (6), yang intinya menegaskan pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri. Maka hal ini dapat lebih dikaji lagi dengan melihat kewenangan berdasarkan sistem pemerintahan yang kita anut di Indonesia, yaitu sistem presidensil Dalam penjelasan UUD NRI Tahun 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara antara lain dikatakan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Dari penjelasan tersebut dan juga secara tegas ditentukan dalam batang tubuh UUD NRI Tahun 1945, untuk mewujudkan tujuan negara harus dilakukan melalui atau mempergunakan antara lain asas demokrasi dan asas negara hukum. Dengan kata lain UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia harus menjadi acuan dan pegangan bagi penyelenggara negara dalam menentukan kebijakan-kebijakan kenegaraan dan pemerintahan. Kebijakan politik, ekonomi dan sosial budaya harus mengacu pada ketentuan hukum dasar atau ketentuan hukum tertinggi dalam UUD NRI Tahun 1945. Setiap kebijakan yang yang dituangkan dalam bentuk undang-undang di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945. Oleh sebab itu teori tentang negara hukum tidak dapat terpisahkan dari teori tentang demokrasi. Terkait dengan keabsahan suatu pembatalan peraturan daerah APBD melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri maka yang menjadi fokus adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut. Kewenangan Menteri Dalam Negeri
74
tersebut berkaitan dengan sistem pemerintahan yang di anut di negara Indonesia, dalam hal ini adalah penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif. Terkait dengan keabsahan pembatalan suatu peraturan daerah, maka alangkah baiknya melihat bagaimana pembentukan peraturan daerah tersebut sebagai suatu produk peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa peraturan daerah adalah produk bersama antara DPRD dengan Pemerintah Daerah yang dipimpin oleh gubernur untuk provinsi dan/atau bupati/walikota untuk kabupaten/kota. Jika dilihat di tingkat pusat, baik presiden, DPR dan DPD yang berperan dalam proses pembentukan suatu undang-undang, maka di tingkat provinsi dan kabupaten/kota DPRD dan kepala daerah masing-masing daerah juga sama-sama dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah secara langsung. Oleh karena itu, jelas sangat berbeda antara produk peraturan yang dihasilkan oleh lembaga legislatif bersama-sama dengan lembaga eksekutif yang sama-sama dipilih oleh rakyat, dengan peraturan yang semata-mata disusun dan ditetapkan secara sepihak oleh pihak eksekutif atau pemerintah, oleh karena itu ada pembedaan antara produk legislatif (legislative acts) dengan produk eksekutif (executive acts). Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian terdahulu, identifikasi terhadap kedudukan hukum peraturan daerah merupakan faktor kunci untuk menelaah mekanisme pembatalan perda oleh pihak yang lebih berwenang. Identifikasi kedudukan hukum peraturan daerah itu sendiri sangat diperlukan mengingat
75
adanya ketentuan terhadap masing-masing bentuk peraturan perundang-undangan yang dikenal dalam hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Kedudukan hukum suatu peraturan perundang-undangan akan menentukan lembaga yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan suatu mekanisme baik pembentukan, maupun pembatalan suatu peraturan perundang-undangan, serta untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Dalam hal pengujian telah diatur secara tegas dalam batang tubuh UUD NRI Tahun 1945, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, di mana dalam hal pengujian tersebut kewenangan yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap UndangUndang. 2. Mahkamah Konstiusi memiliki kewenangan untuk menguji UndangUndang terhadap Undang-Undang Dasar.
3.2.Analisis Peraturan Daerah 3.2.1. Analisis Kedudukan Hukum Peraturan Daerah Identifikasi terhadap kedudukan hukum perda akan dilakukan melalui analisis atau kajian terhadap eksistensi perda secara obyektif. Dengan demikian, analisis tersebut akan dilakukan terhadap berbagai unsur obyektif perda, yang
76
akan terbagi menjadi analisis terhadap bentuk perda, analisis terhadap proses pembentukan perda, analisis terhadap pihak yang memegang kekuasaan membentuk perda dan analisis terhadap materi atau substansi perda itu sendiri, selanjutnya analisis terhadap berbagai unsur atau elemen obyektif perda dimaksud akan dijabarkan pada bagian selanjutnya. Untuk melihat kedudukan hukum peraturan daerah secara hierarki Peraturan Perundang-Undangan, sebagai dasar hukumnya terdapat didalam UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 7, yang menempatkan peraturan daerah kedalam urutan ke enam. Dengan melihat kedudukan hukum peraturan daerah didalam hierarki Peraturan Perundang-undangan, maka peraturan daerah diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan, sebagaimana yang diatur secara tegas didalam Pasal 8 (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 3.2.2. Analisis Terhadap Bentuk Perda Secara konstitusinal, istilah “Peraturan Daerah” sebagai suatu frase kata yang utuh tidak terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun demikian, istilah “Peraturan Daerah” disebut juga di dalam UUD NRI Tahun 1945 pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 18
77
ayat (6), yang menyebutkan, “Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Ketentuan lain mengenai eksisitensi perda terdapat didalam UndangUndang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang kemudian telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dimulai pada Pasal 1 (7) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menjelaskan bahwa: “Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dengan persetujuan
bersama kepala daerah. Di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan lebih spesifik menyebutkan kepala daerah dalam hal ini untuk peraturan daerah provinsi adalah gubernur dan peraturan daerah kabupaten/kota adalah bupati/walikota. Selanjutnya Pasal 7 baik UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maupun UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sama menegaskan bahwa peraturan daerah termasuk didalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan, meskipun dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan urutan peraturan daerah provinsi selanjutnya peraturan daerah kabupaten/kota. Dalam bagian ketiga mengenai persiapan pembentukan peraturan daerah, yang termuat dalam Pasal 26, 27, 28, 29, 30, 31 UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
78
Perundang-Undangan , juga di dalam Bab VII mengenai pembahasan dan pengesahan rancangan peraturan daerah pada Pasal 40, 41, 42 dan 43. Selanjutnya mengenai peraturan daerah, juga diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 1 (10), Pasal 24 paragraf kedua,mengenai tugas dan wewenag kepala daerah dan wakil kepala daerah yang termasuk didalamnya mengajukan rancangan perda dan menetapkan perda yang telah mendapat persetujuan DPRD, selanjutnya pada Pasal 136 sampai dengan Pasal 148. 3.2.3. Analisis Terhadap Proses Pembentukan Perda Proses pembentukan perda secara konstitusional diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, pada Pasal 18 ayat (6) yang menegaskan bahwa “Pemerintahan daerah
berhak
menetapkan
perda
dan
peraturan-peraturan
lain
untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya di dalam Pasal 1 ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan selanjutnya telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ditegaskan bahwa “Peraturan daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah”. Juga di dalam Pasal 136 ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan bahwa peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD dan peraturan daerah dibentuk dalam
79
rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Secara spesifik, tata cara penyusunan rancangan peraturan daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam Pasal 40 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan sebagai berikut: (1) Pembahasan rancangan Peraturan Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan akyat Daerah bersama Gubernur atau Bupati/Walikota. (2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan. (3) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata carapembahasan Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Selanjutnya pengaturan tentang perencanaan penyusunan rancangan perda atau tata cara penyusunannya di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, telah diatur secara jelas dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38, sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, dan di dalam Pasal 40 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menjelaskan bahwa, “ketentuan mengenai perencanaan penyusunan perda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 32
80
sampai dengan Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan perda Kabupaten/Kota”. Peraturan daerah baik ditingkat provinsi dan kabupaten/kota, jika dilihat dari sudut pembentukannya dapat diidentikkan dengan undang-undang di tingkat pusat, namun perda bersifat lokal. Menurut ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan,
kedudukan hierarki perda berada dibawah tingkatan Peraturan
Presiden, namun bagaimana dengan kedudukan peraturan menteri, sebagaimana yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, yang menyebutkan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Hubungan hierarki menurut Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan , perda berada dibawah peraturan presiden, namun UU No. 10 Tahun 2004 yang selanjutnya diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
juga
mengakui
keberadaan
Peraturan Menteri, namun tidak ditentukan secara jelas. Jika dipandang dari latar belakang perumusannya, penghapusan peraturan menteri dari hierarki peraturan perundang-undangan dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan disebabkan oleh dorongan untuk meningkatkan kedudukan perda. Kajian pembatalan perda melalui keputusan menteri dalam negeri, tentu
81
saja berbeda jika mengartikan antara peraturan dengan keputusan menteri itu sendiri, sedangkan keputusan menteri didalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan , baik secara eksplisit dan implisit tidak termuat, namun keputusan menteri tersebut dapat dilihat dengan mengkaji kedudukan menteri dalam suatu sistem pemerintahan di Indonesia. Negara Indonesia dengan sistem pemerintahan presidensil merupakan sistem pemerintahan yang terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala pemerintahan
sekaligus sebagai kepala negara. Presiden Republik Indonesia
menurut Pasal 4 ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945 memegang kekuasaan
pemerintahan negara menurut UUD, inilah yang disebut sebagai prinsip “constitutional government”. Rumusan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut undang-undang dasar”.Selanjutnya dalam ayat (2), yaitu: “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden”. Juga dalam Pasal 17 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan bahwa, “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”, dan dalam ayat (2), menegaskan, “Menterimenteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”, berdasarkan hal tersebut, maka para menteri negara tunduk dan bertanggung jawab kepada presiden sebagai satu kesatuan institusi.
82
Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, pada bab V Pasal 17 terkait kementerian negara, menyebutkan: (1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (3) Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. (4) Pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Walaupun demikian, menteri-menteri dalam melaksanakan tugasnya tetap bergantung adanya pendelegasian kewenangan, jadi tidak serta merta memiliki kekuasaan, namun tetap adanya penyeraha kewenangan dari Presiden kepada menteri-menterinya. Selanjutnya kajian berikut adalah terkait pada sistem pemerintahan di negara Indonesia. Dalam sistem pemerintahan presidensil juga terdapat beberapa prinsip pokok yang bersifat universal70 yaitu; 1). Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif; 2) Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja; 3). Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya, kepala negara adalah sekaligus merupakan kepala pemerintahan; 4). Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya; 5). Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya; 70
Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Cetakan kedua, PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jaakarta, hal. 316.
83
6). Presiden tidak dapat membubarkan ataupun memaksa parlemen; 7). Jika dalam sistem palementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam sistem presidensil berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi; 8). Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat; 9). Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer yang terpusat pada parlemen.
Selain sistem pemerintahan presidensil yang bersifat universal, ada juga sistem pemerintahan yang bersifat murni71: a). Presiden memegang kekuasaan pemerintahan eksekutif tunggal; b). Dalam kedudukan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara itu terkandung pula status kepala negara (head of state), sehingga kedudukan kepala negara (head of state) dan kepala pemerintahan eksekutif menyatu secara tidak terpisahkan dalam jabatan presiden; c). Presiden tidak diangkat atau dipilih oleh lembaga perwakilan rakyat; d) Presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat, sehingga tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen karena alasan politik; e). Presiden memangku jabatannya selama kurun waktu yang tetap (fixed term), misalnya di Amerika Serikat ditentukan untuk waktu empat tahun, di Indonesia lima tahun dan sesudahnya hanya dapat dipilih lagi untuk satu periode berikutnya; f). Presiden hanya dapat diberhentikan dari jabatannya melalui prosedur yang diknal dengan “impeachment” karena alasan pelamnggaran hukum sebagaimana ditentukan dalam UUD.
Sistem pemerintahan tentu saja dipengaruhi oleh bentuk negara Indonesia itu sendiri, bangsa Indonesia bertekad untuk mendirikan suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian dituangkan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) 71
Ibid, hal. 335
84
yang menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk republik. Namun demikian, perjalanan sejarah kenegaraan Republik Indonesia sejak kemerdekaannya diwarnai dengan adanya beberapa perubahan bentuk negara yang juga diikuti dengan perubahan konstitusi. Adanya perubahan konstitusi tersebut lebih jauh lagi ternyata juga menimbulkan perubahan terhadap bentuk peraturan perundang-undangan. Bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia pernah menjadi Negara
Republik Indonesia Serikat. Bentuk Negara Republik Indonesia Serikat ini ditandai dengan diberlakukannya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dinyatakan mulai berlaku sejak tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950. Konstitusi RIS ini berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia Serikat yang terdiri atas daerah-daerah bagian, di mana Negara Republik Indonesia menjadi salah satu bagian dari Negara Republik Indonesia serikat. Pada masa berlakunya Konstitusi RIS, ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan diatur dalam Bagian 2 mengenai peraturan Perundangundanmgan yang terdiri dari 17 (tujuh belas) pasal. Fase perubahan bentuk negara terus berlanjut, yang juga membawa perubahan terhadap konstitusi yang diberlakukan. Pada tanggal 17 Agustus 1950, Konstitusi RIS diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara, melalui pengesahan Undang-Undang Republik Serikat No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi UndangUndang Dasar Sementara Republik Indonesia,
yang kemudian diberlakukan
sebagai Undang-Undang Dasar Sementara atau Konstitusi Sementara Negara
85
Kesatuan Republik Indonesia yang pada saat ini telah berubah kembali menjadi negara dengan bentuk kesatuan, sehingga kembali disebut dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penegasan mengenai diberlakukannya Undang-Undang Dasar Sementara ini terdapat pada Pasal 1 Undang-Undang Republik Serikat No. 7 Tahun 1950 yang menyebutkan bahwa “Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat diubah menjadi Undang-Undang Sementara Republik Indonesia”, selanjutnya, dalam Pasal II ditegaskan bahwa “Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia ini mulai berlaku pada hari tanggal 17 Agustus 1950”. Dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950. Ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan diatur pada Pasal 1 Bagian II tentang perundang-undangan yang terdiri dari 12 (dua belas) pasal, yaitu dari Pasal 89 sampai dengan Pasal 100. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali kepada UUD 1945 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 150 Tahun 1959, Lembaran Negara Tahun 1959 No. 75. Dengan demikian,
ketentuan
mengenai
peraturan
perundang-undangan
kembali
berdasarkan pada ketentuan yang digariskan dalam UUD 1945. Dalam ketiga bentuk konstitusi di atas (UUD 1945, Konstitusi RIS dan UUDS 1950), sebutan peraturan yang dikenal adalah undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang dan peraturan pemerintah. Di samping itu, guna memenuhi kebutuhan untuk mengadakan peraturan-peraturan yang lebih
86
operasional, ketiga bentuk peraturan itu saja dianggap kirang memadai. Karena itu, berdasarkan Surat Presiden Republik Indonesia yang ditujukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Nomor: 22/62/HK/1959 tanggal 20 Agustus 1959, ditetapkanlah beberapa bentuk peraturan yang lain, yaitu: 72 1. Penetapan Presiden atau biasa disingkat Penpres untuk melaksanakan Dekrit presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang kembali kepada Undang-undang Dasar 1945; 2. Peraturan Presiden yang terdiri atas: a. Peraturan Presiden yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945; b. Peraturan Presiden yang dimaksudkan untuk melaksanakan Penetapan Presiden; 3. Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan untuk melaksanakan Peraturan Presiden yang berbeda dari pengertian peraturan pemerintah yang dimaksud oleh Pasal 5 ayat (2) UUD 1945; 4. Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan dalam jabatan; 5. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang dibuat oleh kementeriankementerian negara atau departemen-departemen pemerintahan untuk mengatur segala sesuatu yang diperlukan dibidangnya masing-masing serta untuk meresmikan pengangkatan-pengangkatan jabatan di lingkungan tanggung jawabnya masing-masing.
Dari aspek hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan, bentuk peraturan perundang-undangan berdasarkan Surat Presiden Republik Indonesia yang ditujukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Nomor: 226/HK/1959 tanggal 20 Agustus 1959, telah menimbulkan kerancuan, sehingga ditetapkanlah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor: XX/MPRS/1966 tenang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Yang Tidak Sesuai Dengan UUD
72
Jimly Asshiddiqie,op.cit., hal.212-213
87
1945, dimana menurut ketetapan MPRS tersebut tata urutan peraturan perundangundangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggantu Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Keputusan Presiden; 6. Peraturan-Peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lain. Pada Tahun 2000 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor: III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Lahirnya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 dengan maksud untuk menertibkan sumber tertib hukum yang selama masa orde baru dianggap tidak sempurna. Dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa dari pengalaman sejarah bangsa dan dalam menghadapi masa depan yang penuh tantanagan, maka bangsa Indonesia telah sampai pada kesimpulan bahwa dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara, supremasi hukum harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan hukum, perlu mempertegas sumber hukum yang merupakan pedoman bagi penyusunan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa dalam rangka memantapkan perwujudan otonomi daerah perlu
88
menempatkan peraturan daerah dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Bahwa sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan perundang-undangan Permusyawaratan
Republik
Rakyat
Indonesia
Sementara
berdasarkan
(MPRS)
Ketetapan
Nomor
Majelis
XX/MPRS/1966,
menimbulkan kekacauan pengertian, sehingga tidak dapat lagi dijadikan landasan penyusunan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam Pasal 1 TAP MPR No. III/MPR/2000 itu ditentukan bahwa (1) sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan; (2) sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis; (3) sumber hukum dasar nasional adalah (i) Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan (ii) batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Tata urutan peraturan perundang-undangan, menurut Pasal 2 Ketetapan MPR ini merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata urutan peraturan perundang-undangan RI adalah: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); Peraturan Pemerintah; Keputusan Presiden; Peraturan Daerah.
89
Peraturan Daerah yang ditempatkan dalam urutan ketujuh peraturan perundang-undangan Republik Indonesia di bawah Keputusan Presiden. Dalam Pasal 3 ayat (7) dinyatakan bahwa Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Peraturan Daerah tersebut mencakup (a) Peraturan Daerah Provinsi yang dibuat oleh DPRD Provinsi bersama dengan gubernur; (b) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama bupati/walikota; dan (c) Peraturan Desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat itu diatur oleh pembuatan peraturan desa atau yang setingkat itu diatur oleh Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Namun ketentuan yang diatur dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/2000 ini tetap mengandung banyak kelemahan yang sangat serius,oleh sebab itu koreksi dan penyempurnaan dilakuka dengan diundangkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan UU ini dimaksudkan sebagai upaya untuk memenuhi terwujud apabila didikung oleh cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Selain itu, pembentukan undang-undang ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan koordinasi8 dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.
90
Pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditegaskan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah.
Di dalam Pasal 7 (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan , Peraturan Daerah yang dimaksud di atas meliputi: (a) Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; (b) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten kota bersama bupati/walikota; (c) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh
91
badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Sedangkan Pasal 7 (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa, “kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dibandingkan dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat Sementara Nomor: XIX/MPRS/1966 maupun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor: III/MPR/2000, terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam penetapan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perbedaan tersebut adalah semakin sedikitnya jenis Peraturan Perundangundangan yang dimaksudkan dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Pada ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XIX/MPRS/1966, terdapat 6 (enam) jenis peraturan perundang-undangan yang menduduki hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu undang-undang dasar, ketetapan majelis permusyawaratan rakyat, undangundang, peraturan pemerintah, keputusan Presiden dan peraturan pelaksanaan lainnya (peraturan menteri, instruksi menteri, dan lain-lain) Jenis peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan dalam hirarki atau tata
urutan
peraturan
perundang-undangan
pada
Ketetapan
Majelis
92
Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/2000 dari sisi jumlah tidak berbeda dengan jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XIX/MPRS/1966, yaitu sebanyak 6 (enam) jenis. Namun demikian, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor: III/MPR/2000 tidak memasukkan peraturan pelaksanaan lainnya (peraturan menteri, instruksi menteri dan lain-lain) dalam hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan. Sebagai gantinya, peraturan daerah dimasukkan ke dalam urutan terakhir hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan demikian, jenis peraturan perundang-undangan yang masuk ke dalam atau tata urutan perundang-undangan di Indonesia berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.
III/MPR/2000 adalah undang-undang
dasar, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/2000 adalah undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan preseiden dan peraturan daerah. Di sisi lain, jenis peraturan perundang-undangan yang masuk dalam hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang selanjutnya diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan adalah sebanyak 5 (lima) jenis, yaitu Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Dengan demikian, eksistensi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan keputusan Presiden tidak dikenal lagi dalam hirarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Namun di dalam UU
93
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat termasuk kedalam urutan kedua di dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Perbedaan dalam menetapkan jenis Peraturan Perundang-undangan yang dimasukkan ke dalam hirarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan tersebut tidak terlepas dari adanya reformasi yang berlangsung di Indonesia yang kemudian diikuti dengan beberapa kali perubahan atau amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, di mana perubahan pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999, perubahan kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Perubahan ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001 dan perubahan keempat disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dari aspek eksistensi peraturan daerah apabila dikaitkan dengan keempat perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar 1945, pada hakekatnya menunjukkan bahwa pengaturan hukum Pemerintahan Daerah yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengalami perkembangan yang dinamis, yang semula di jabarkan melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang PokokPokok Pemerintahan daerah. Sebelum amandemen pengaturan hukum tentang pemerintahann daerah yang secara otomatis melahirkan peraturan daerah yang merupakan produk hukum pemerintah daerah. Diatur dalam Pasal 18, 18A dan 18B (terjadi pada amandemen kedua), dan selanjutnya tidak berubah lagi. Pelaksanaan yuridis otonomi daerah dalam UUD 1945 yang semula dijabarkan
melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 terkesan tidak
merefleksikan realitas politik, ekonomik, sosiologis, geografis, demografis dan
94
historis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 cenderung menyeragamkan berbagai keaneka-ragamanan daerah yang mengenal pemerintahan lokal maupun adatnya sendiri. Kenyataan normatif tersebut secara hukum memang tampak mengabaikan ketentuan UUD 1945 mengenai pemerintahan daerah dan otonomi daerah yang mengakui keberadaan pemerintahan daerah dari masyarakat adat yang otonom. Penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut UU No. 5 Tahun 1974 dipandang sangat sentralistis dan mengganggu kemandirian daerah dalam mengatur otonominya, oleh sebab itu penyelenggaraan pemerintahan daerah berjalan kurang sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Kondisi praktis yang muncul secara fenomenal adalah ekspresi ketidakpuasan daerah terhadap pusat, selanjutnya keberadaan UU No. 5 Tahun 1974 ditinjau kembali oleh pemerintah atas masukan dari publik untuk disesuaikan dengan piranti substansi UUD 1945 sebalum diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 1999) maupun Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2004). Dalam kurun waktu pelaksanaan otonomi daerah
pasca reformasi,
pemerintahan daerah ditengarai banyak melakukan penyimpangan dan kesalahan persepsi mengenai otonomi daerah. Implementasi UU Pemda kebanyakan hanya mengedepankan orientasi keuangan dengan menciptakan peraturan daerah yang menekankan kepentingan ekonomi daripada kepentingan pelayanan publik. Berbagai kasus pembatalan peraturan daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat akhirnya muncul sebagai suatu kenyataan yang mesti diterima oleh
95
Pemerintah Daerah, dan beberapa peraturan daerah yang dibatalkan bersentuhan dengan masalah pengelolaan keuangan daerah.Kenyataan tersebut merupakan suatu realitas faktual dari kecenderungan yang justru tidak sesuai dengan semangat dan filosofi otonomi daerah berdasarkan UU Pemda untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Identifikasi terhadap kedudukan hukum perda akan dilakukan melalui analisis atau kajian terhadap eksistensi perda itu sendiri secara obyektif. Dengan demikian, analisis tersebut akan dilakukan
terhadap berbagai unsur obyektif
perda, yang akan terbagi menjadi analisis terhadap bentuk perda, analisis terhadap proses pembentukan perda, analisis terhadap pihak yang memegang kekuasaan membentuk perda dan analisis terhadap pihak yang memegang kekuasaan untuk membatalkan perda. Analisis terhadap berbagai unsure atau elemen obyektif perda dimaksud akan dijabarkan lebih lanjut. Ditinjau dari perspektif bahasa, secara eksplisit istilah “Peraturan Daerah” sebagai suatu frase kata yang utuh tidak terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun demikian istilah “peraturan daerah” dikenal secara implisit di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan adanya penegasan terkait dengan pemerintahan daerah dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara konstitusional, pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan secara implisit tentang “peraturan daerah” dalam kajian mengenai pemerintahan daerah adalah sebagai berikut:
96
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Pasal 18 (1) menegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas derah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang”. Pasal 18 (2) menegaskan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Pasal 18 (3) menegaskan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”. Pasal 18 (4) menegaskan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Pasal 18 (5) menegaskan bahwa “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”. Pasal 18 (6) menegaskan bahwa “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Pasal 18 (7) menegaskan bahwa “Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”. Pasal 18A (1) menegaskan bahwa “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. Pasal 18A (2) menegaskan bahwa “Hubungan keuangan, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”. Pasal 18B (1) menegaskan bahwa “Negara mengakui dan meghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
Ketentuan lain mengenai eksistensi peraturan daerah terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan , terdapat dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-
97
undangan menegaskan bahwa “Peraturan daerah adalah peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (1), menempatkan peraturan daerah pada urutan kelima dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Selanjutnya diatur pula di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 1 angka 10 menegaskan bahwa “Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota. Selanjutnya pada Pasal 136 ayat (1) menegaskan bahwa Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Terkait dengan eksistensi perda tersebut, maka dari pengertian-pengertian di atas maka dapat dijelaskan bahwa peraturan daerah (PERDA) adalah peraturan perundang-undangan yang di tetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Eksistensi yang berarti penetapan perda yang telah sah dan mengalami suatu proses, maka yang dimaksud adalah suatu penetapan perda bukan pembentukannya. Penetapan suatu perda juga dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana yang diatur pula dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,
98
secara keseluruhan juga menyebutkan bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain, dalam hal ini adalah juga termasuk peraturan kepala daerah. Oleh sebab itu pemerintahan daerah selain produk hukumnya adalah perda juga termasuk di dalamnya adalah peraturan kepala daerah. Pembentukan dan penetapan peraturan kepala daerah diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana terlihat adanya perbedaan antara perda dan peraturan kepala daerah. Terlihat bahwa kedudukan peraturan kepala daerah dibawah dari peraturan daerah, sebagaimana yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, menempatkan perda pada urutan ke lima dalam hierarki peraturan perundang-undangan dan tidak menempatkan peraturan kepala daerah dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga mengatur bahwa peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah dalam hal pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, perda dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Terkait dengan kajian mengenai pembatalan suatu peraturan daerah, dalam hal ini adalah peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (PERDA APBD), maka eksistensi perda tersebut secara tegas telah diakui dan pelaksanaannya tidak terlepas dari sistem pemerintahan daerah yang merupakan satu kesatuan dari negara republik Indonesia. Pembentukan peraturan daerah tentang APBD sebagai bentuk pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah
99
sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah beserta peraturan pelaksanaan lainnya. Hal ini berarti bahwa penyusunan perda APBD tetaplah berada dalam kerangka hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah yang saat ini berdasarkan UU Pemerintahan Daerah yang berlandaskan prinsip-prinsip otonomi daerah. Eksistensi perda dapat juga terlihat dari proses pembentukan perda itu sendiri. Pembentukan peraturan daerah merupakan bagian penting untuk melakukan pembentukan hukum di daeerah, merupakan esensi dari “legal formulation” yang harus diagendakan oleh pemerintah daerah,termasuk didalamnya pembentukan perda tentang APBD dalam menata keuangan daerahnya. Peraturan daerah yang dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum untuk mengelola keuangan daerah yang dituangkan dalam bentuk APBD harus dipahami sebagai bagian konsepsi pembentukan hukum. Dengan demikian keberadaan hukum menjadi sesuatu yang sangat substansial secara teoritik dan paradigmatik bagi jalinan pengelolaan keuangan daerah dalam seluruh segmen penyelenggaraan pemerintahan negara. Pada prinsipnya dapat dikatakan bahwa melalui sarana perangkat hukum, pengelolaan keuangan daerah diharapkan memiliki dan menjamin terbangunnya suatu kondisi bermuatan ketertiban, kepastian dan keadilan. Maka peraturan daerah tentang APBD harus diterima sebagai instrument untuk menjamin pengelolaan keuangan daerah yang member ketertiban, kepastian dan keadilan tersebut.
100
Istilah keuangan daerah yang bersumber dari istilah keuangan negara, dimana pendapat dari Adrian Sutedi73mengemukakan bahwa, keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD, Keuangan negara pada Perjan, Perum, PN-PN dan sebagainya, sedangkan definisi keuangan negara dalam arti sempit, hanya meliputi setiap badan hukum
yang berwenang mengelola dan
mempertanggungjawabkannya. APBN, APBD,BUMN dan BUMD lebih tepat menggunakan istilah Keuangan Publik. Secara yuridis diberikan pengaturan bahwa pembentukan peraturan daerah mengenai APBD harus memperhatikan asas-asas umum pembentukan peraturan perundang-undangan. Asas pembentukan peraturan daerah tentang APBD berarti tetap terikat pada perangkat hukum nasional mengenai asas pembentukan peraturan perundang-undangan nasional berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pearaturan Perundang-undangan (UU No. 10 Tahun 2004). Pada Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 yang selanjutnya telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan mengatur asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi; a. b. c. d. e. f. g.
73
Kejelasan tujuan; Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Dapat dilaksanakan; Kedayagunaan dan kehasilgunaan; Kejelasan umum; Keterbukaan.
Adrian Sutedi, 2010, Hukum Keuangan Negara, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal. 10
101
Secara konstitusional dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini menandakan bahwa setiap aktivitas pemerintahan termasuk di bidang penyusunan perda tentang APBD harus memiliki dasar-dasar pengaturan hukum. APBD yang efektif dan efisien jelas membutuhkan pengaturan hukum yang dituangkan dalam perangkat peraturan perundang-undangan (legal aspect) agar memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Dalam teori pembentukan peraturan perundang-undangan diketahui bahwa dimensi pengaturan hukum mengenai Peraturan Daerah tentang APBD merupakan komponen hukum public. Maka dalam kepustakaan hukum pemerintahan (administrasi) maupun hukum ketatanegaraan, masalah peraturan perundangundangan lazimnya masuk dalam bidang “hukum publik”. Seperti yang telah dipahami bahwa hukum publik mengatur hubungan antara penguasa dan masyarakat. Oleh karena itu pengaturan hukumnya memadukan antara kepeutusan pemerintahan (negara) dan kepentingan kemasyarakatan (warga negara), maka pembentukan hukum yang berpa Peraturan Daerah tentang APBD menjadi memiliki landasan hukum dan menjamin terciptanya ketertiban dan tata kelola keuangan yang tertuang dalam perda APBD. Pengaturan hukum APBD menjadi “basic needs” yang tidak dapat dielakkan sebagai piranti yang akan memberikan kepastian dan ketertiban hukum mengenai penggunaan anggaran publik bagi kepentingan penyelenggaraan pemerintahan daerah.Ujung dari setiap pengelolaan keuangan daerah pada prakteknya adalah peraturan daerah tentang APBD. Pembentukan peraturan
102
daerah tentang APBD merupakan bagian penting dari konsep pengelolaan keuangan daerah yang terdapat dalam peraturan daerah tentang APBD secara teknis yuridis terikat pada hierarki peraturan perundang-undangan national (national legislation) sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Dalam hal pembentukan peraturan daerah, selain secara yuridis, juga kedudukan masyarakat mempengaruhi pembentukan peraturan daerah tergambar dalam konsep partisipasi masyarakat (public participation), memang masyarakat harus diberi peluang besar untuk terlibat dalam pembentukan peraturan daerah karena hukum dibuat oleh masyarakat, dalam arti dalam pembentukan perda tetap mendengarkan aspirasi dari masyarakat. Terkait dengan kajian pembatalan perda, tersebut, sebagaimana telah di paparkan pada penjelasan sebelumnya, bahwa pembentukan perda selain secara yuridis dengan tetap memperhatikan aspirasi masyarakan dengan tetap memakai asas pembentukan hukum sebagaimana yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang
pembentukan
peraturan
perundang-undangan,
maka
dalam
hal
mekanisme pambatalan perda APBD selain diatur didalam UU No. 32 Tahun 2004 diatur juga didalam PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, hanya saja terjadi ketimpangan aatau terjadi pengaturan yang berbeda, sehingga dari analisis pembentukan peraturan daerah ini akan lebih memberi arah dari tulisan yang mengangkat kajian tentang mekanisme pembatalan perda APBD ini.
103
3.2.4. Analisis Terhadap Pihak Yang Berwenang Membuat Perda dan Membatalkan Perda. Terkait dengan kajian analisis terhadap pihak yang berwenang dalam membentuk dan membatalkan perda. Maka sebelumnya menelusuri kewenangan pengelolaan keuangan daerah dengan melihat sumber dari sejarahnya. Secara historis dapat ditelusuru bahwa kewenangan pengelolaan keuangan daerah tetap bermuara pada kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI dengan segala kekuasaannya (state’s outhorities) lahir sejak dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tertanggal 17 Agustus 1945 sebagai produk revolusioner, kedudukan hukum naskah Proklamasi Kemerdekaan RI merupakan sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Kedudukan hukum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menjadi sangat penting artinya bagi perkembangan ketatanegaraan. Selanjutnya UUD 1945 yang di sahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 secara yuridis-ketatanegaraan menjadi landasan awal tata hukum baru, yang di sebut tata hukum Indonesia dan tata hukum tersebut berlaku bagi suatu masyarakat tertentu dan ditetapkan atas daya penguasa NKRI. UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam perjalanannya mengalami dinamika keberlakuan hukum sehubungan dengan perkembangan politik ketatanegaraan Indonesia. Bangsa Indonesia bertekad untuk mendirikan suatu Negara kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian dituangkan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) yang menegaskan bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan berbentuk
104
republik. Namun demikian, perjalanan sejarah kenegaraan Republik Indonesia sejak kemerdekaannya diwarnai dengan adanya beberapa perubahan bentuk negara yang juga diikuti dengan perubahan konstitusi. Adanya perubahan konstitusi tersebut lebih jauh lagi ternyata juga menimbulkan perubahan terhadap bentuk perundang-undangan. Anggaran pendapatan Belanja Daerah yang disingkat APBD merupakan bagian esesnsial dari perbicangan tentang pengelolaan keuangan negara. Hal ini disadari karena APBD adalah kristalisasi dari suatu langkah pendayagunaan keuangan daerah yang dilakukan secara terencana dan teratur sesuai dengan kebutuhan publik. Pembentukan peraturan daerah APBD sebagai bentuk pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini berarti bahwa penyusunan APBD tetaplah berada dalam kerangka hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah yang saat ini berdasarkan UU Pemerintahan Daerah yang berlandaskan prinsip-prinsip otonomi daerah. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) telah memberikan pengaturan mengenai Penyelenggaraan Pemerintahan dalam Bab IV. Menurut Pasal 19 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah menyebutkan bahwa penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dengan dibantu oleh satu orang wakil Presiden, dan oleh menteri negara, selanjutnya pada ayat berikutnya menyebutkan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah dalah pemerintah daerah dan DPRD. Selanjutnya di dalam Pasal 20 UU No. 32 Tahun
105
2004
tentang
Pemerintahan
Daerah
memberikan
asas-asas
umumk
penyelenggaraan pemerintahan adalah: (1). Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas: a. asas kepastian hukum; b. asas tertib penyelenggara negara; c. asas kepentingan umum; d. asas keterbukaan; e. asas proporsionalitas; f. asas profesionalitas; g. asas akuntabilitas; h. asas efisiensi; dan i. asas efektifitas. (2) Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undnagan. (3). Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Ketentuan tersebut merupakan dasar yang menjadi pedoman dalam pengembangan Pemerintahan Daerah termasuk dalam pengelolaan keuangan daerah yang dirumuskan melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dalam suatu
peraturan
daerah.
Mengenai
organ
pemerintahan
daerah
dalam
penyelenggaraan otonomi daerah termasuk dalam kerangka pengelolaan keuangan daerah telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah yang diterapkan tidak terjadi begitu saja namun tetap bertumpu pada pengaturan hukum mengenai otonomi daerah yang terdapat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD). Otonomi daerah dalam konteks UUD 1945 mengalami pasang surut pengaturan dari Undang-Undang No.
106
5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (UU No. 5 Tahun 1974), Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 1999) maupun Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2004) yang terus mengalami perkembangan. Dengan demikian pengkajian yang diformatkan pada peraturan daerah tentang APBD jelas memiliki hubungan yang jelas dalam memberikan penjabaran sampai pada takaran “ideal” pemerintahan Daerah NKRI. Pemerintahan daerah yang dibutuhkan tentu saja Pemerintahan Daerah yang memberi peluang keterbukaan yntuk melibatkan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan daerah tentang APBD. Dengan keterlibatan publik dalam penyelenggaraan Pemerintahan daerah termasuk dalam pengelolaan keuangan daerah adalah indikasi demokratis otonomi daerah yang sejalan dengan UUD 1945. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan prinsip desentralisasi dibentuklah organ Pemerintahan daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
107
Selanjutnya di dalam Pasal 19 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Ini berarti bahwa Pemerintah Daerah dan DPRD secara yuridis merupakan organ pemerintahan daerah yang utama. Lebih jelas lagi di dalam Pasal 24 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menegaskan bahwa: (1) Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah. (2) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi disebut Gubernur, untu kabupaten disebut Bupati, dan untuk kota disebut walikota. (3) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah. (4) Wakil kepala daerah sebagaiman dimaksud pada ayat (3) untuk provinsi disebut wakil Gubernur untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota. (5) Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.
Ketentuan tersebut memberikan pengaturan bahwa Kepala daerah yang berupa Gubernur dan Bupati/walikota adalah organ pemerintahan daerah. Mengenai DPRD telah diatur lebih lanjut dalam Pasal 40 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa DPRD merupakan lembaga
perwakilan
rakyat
daerah
dan
berkedudukan
sebagai
unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. Sebagaimana yang ditegaskan didalam Pasal 1 (7) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-udangan yang selanjutnya telah diganti dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-
108
undangan, bahwa peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah, selanjutnya didalam Pasal 1 (10) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, juga mengaskan bahwa peraturan daerah selanjutnya disebut perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota. Selanjutnya lebih jauh lagi dalam hal penetapan perda diatur dalam Pasal 136 (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan bahwa perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Dengan
demikian
jelaslah
bahwa
secara
organisatoris
organ
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menyangkut pembuatan perda juga termasuk perda APBD adalah kepala daerah dan DPRD. Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur dan Kepala Daerah kabupaten dinamakan Bupati serta Kepala Daerah Kota diistilahkan dengan sebutan Walikota. Kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan daerah dibantu secara kelembagaan oleh perangkat daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah merupakan elemen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah pada kerangka otonomi daerah. Dinamika hubungan kelembagaan di antara institusi politik dan administratif DPRD dan Kepala Daerah sangat cepat dan penuh tarik ulur, khususnya di bidang keuangan daerah. Secara politik telah terjadi pergeseran kekuasaan pembentukan peraturan daerah dari Kepala daerah kepada DPRD. Namun demikian DPRD selalu mengalami perkembangan yang sangat drastic
109
secara politik selalu bersentuhan dengan kelemahan administrative pemerintahan yang menempatkan DPRD seolah-olah berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Kepala Daerah dan DPRD (Provinsi) tersebut dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang otonomi daeeah. Pembuatan kebijakan di bidang keuangan daerah yang dirumuskan dalam peraturan daerah tentang APBD menjadi salah satu fungsi pemerintahan yang harus dijalankan oleh organ pemerintahan daerah termaksud yang terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD (Provinsi/Kabupaten/Kota) dengan sejarahnya masing-masing. Di
dalam
pelaksanaan
otonomi
daerah
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan daerah, dengan produk hukum dari pemerintah daerah, maka yang menjadi tolak ukur pemerintahan daerah dalam menyusun Peraturan Daerah tentang APBD harus mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, dengan adanya peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI secara efisien dan efektif. Selanjutnya organ atau unsur yang berwenang atas pembatalan suatu peraturan daerah tersebut diatur pula didalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 145 adalah sebagai berikut:
110
(1) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. (2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. (3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud. (5) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. (6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. (7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dimaksud dinyatakan berlaku.
Namun berbeda dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (PP No. 58 Tahun 2005) pada Pasal 47 (6), yang menyebutkan bahwa: “Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan DPRD, dan gubernur tetap menetapkan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD menjadi peraturan daerah dan peraturan gubernur. Menteri Dalam Negeri membatalkan peraturan daerah dan peraturan gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.”
Tetapi sebelum mengkaji lebih jauh isi pasal dari PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, maka sebelumnya dapat melihat aturan
111
sebelumnya yang menyebutkan bahwa evaluasi peraturan daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Sebagaimana yang diatur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah bahwa perihal pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terahadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, pemerintah melakukan dua cara sebagai berikut74: 1. Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (raperda) yaitu terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu di evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk raperda provinsi dan oleh gubernur terhadap raperda kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal. 2. Pengawasan terhadap semua peraturan daerah yang tersebut di atas, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku
Terkait dengan hal tersebut di atas, maka lebih dulu kajiannya dimulai dengan sistem pemerintahan yang di anut di negara Indonesia, pemahaman mengenai sistem pemerintahan di negara Indonjesia memberikan perluasan pengertian terhadap suatu peraturan daerah yang dibatalkan melalui keputusan menteri dalam negeri, dengan melihat kedudukan menteri-menteri dalam penyelenggaraan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Sistem
74
HAW. Widjaja, 2005, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, hal. 147-148.
112
pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif. Sistem pemerintahan yang dikenal didunia secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu sistem pemerintahan presidensil (presidential system), sitem pemerintahan parlementer (parliamentary system) dan
sistem
campuran (mixed system atau hybrid system). Dalam sistem pemerintahan presidensil juga terdapat beberapa prinsip pokok yang bersifat universal, yaitu75: 1) 2)
3)
4) 5) 6) 7)
8) 9)
Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif; Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja; Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya, kepala negara adalah sekaligusnmerupakan kepala pemerintahan; Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya; Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya; Presiden tidak dapat membubarkan ataupun memaksa parlemen; Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam sistem presidensil berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada Konstitusi; Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat; Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer yang terpusat pada parlemen.
Kesembilan prinsip sistem presidensil yang diuraikan tersebut di atas, juga berlaku dalam sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia. Karena itu, sistem 75
Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta Barat, hal. 316
113
pemerintahan yang dianut dalam UUD 1945 dapat dikatakan merupakan sistem presidensil. Bahkan, apabila dibandingkan dengan sistem presidensil yang telah dianut oleh UUD 1945 sejak sebelum diadakan perubahan, maka sistem pemerintahan presidensil yang sekarang dapat dikatakan sebagai sistem pemerintahan presidensil yang lebih murni sifatnya. Presiden Republik Indonesia adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dengan tugas dan wewenangnya masing-masing menurut Undang-Undang Dasar. Kajian mengenai sistem pemerintahan juga dapat terlihat jika bermula pada asas Negara Hukum sebagaimana yang dianut di negara Indonesia dengan berdasar pada Undang-Undang Dasar 1945, untuk melihat perwujudan dari asas Negara Hukum itu sendiri maka menurut Sri Soemantri bahwa76 unsur-unsur terpenting negara hukum ada empat, yaitu: 1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; 2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); 3. Adanya pembagian kekuasaab dalam negara; 4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).
Selanjutnya dipaparkan lebih jelas oleh Sri Soemantri77 mengenai hal tersebut di atas dengan penjelasan sebagai berikut: Ad.1. Seperti ditentukan dalam UUD 1945, dalam mencapai tujuan negara yang dirumuskan dalam paragrap 4 Pembukaan UUD 1945, telah dibentuk alat-alat perlengkapan negara, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Pertimbangan Agung, 76
Sri Soemantri, 1992 , Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, cetakan pertama, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 29 77 Ibid, hal 30-32
114
Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sesuai dengan kedudukannya MPR diberi tugas dan wewenang yang sangat penting, di antaranya menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Walaupun MPR merupakan alat perlengkapan negara yang penting, karena badan itulah yang menetapkan garis-garis besar kebijaksanaan umum dalam negara, akan tetapi yang mempunyai peranan penting dalam pemerintahan adalah Presiden. Dalam menjalankan tugastugasnya Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden dan menterimenteri negara. Oleh karena itu Penjelasan Umum UUD 1945 antara lain mengatakan: a. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di bawah majelis; b. Kekuasaan Kepala Negara (Presiden) tidak tak terbatas.
Walaupun kekuasaan presiden itu sangat besr (sebagai kepala negara, sebagai pemerintah dan sebagai mandataris MPR) akan tetapi dalam menjalankan tugas dan kewajibannya harus selalu berpijak pada Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan yang lain. Dengan perkataan lain, presiden menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan yang ditentukan dalam peraturan. Hal ini berlaku juga terhadap para pembantu presiden, seperti antara lain aparat administrasi. Ad. 2. Seperti diketahui, dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap hak-hak asasi warga negara. Hal ini kita temukan juga dalam Undang-Undang dasar 1945. Dengan dicantumkannya hak-hak asasi manusia/ warga negara dalam undang-undang dasar mengandung arti bahwa pihak penguasa harus menghormati warga negaranya dan penduduk negara. Ad.3. Sejak munculnya teori Trias Politica, sekarang ini tidak ada lagi negara yang memusatkan kekuasaannya pada satu tangan atau satu badan. Ini berarti bahwa kekuasaan dalam negara harus dibagi-bagikan kepada masing-masing alat perlengkapan negara atau kepada masing-masing aparat administrasi. Dengan perkataan lain, dalam negara harus ada pembagian kekuasaan (machtsverdeling). Ad.4. Telah dikemukakan bahwa pemerintah atau pemegang kekuasaan eksekutif mempunyai wewenang yang tidak kecil. Hal ini dapat dimengerti, Karena setelah beralihnya negara hukum dalam arti formal menjadi negara kesejahteraan, pemerintah mempunyai wewenang dan peranan yang sangat besar dalam mensejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu ada kemungkinan pemerintah menyalahgunakan wewenang atau melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak berdasarkan hukum. Untuk keperluan ini harus ada hakim yang tidak memihak, yang dapat mengadili
115
tindakan-tindakan pemerintah atau aparat-aparatnya. Di Indonesia hal itu ditempuh melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
Kemudian tentang pengertian pemerintahan konstitusional, dapat dikutip dari pendapat K.C. Wheare78, yang menegaskan bahwa “Constitutional government according to the terms of constitution. It means government according to rule as apposed to arbitrary government; it means government limited by the terms of a constitution, not government limited only by desires and capacities of those who exercise power” Istilah pemerintah berasal dari kata dasar “perintah” yang berarti menyuruh melakukan sesuatu, dari kata tersebut dapat disebut bahwa “pemerintah” adalah kekuasaan memerintah suatu negara seperti kepala pemerintahan dan kabinet merupakan suatu pemerintah79 Pengertian pemerintah memiliki dua macam pengertian, pertama dalam arti luas, yang meliputi cabang kekuasaan dalam negara, yang terbentuk dalam alat-alat perlengkapan negara (lembaga-lembaga) dan kedua, dalam arti sempit, yang hanya mengenai satu cabang kekuasaan saja. Kalau seperti di Indonesia, cabang-cabang kekuasaan dalam negara itu terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA). Maka pemerintah dalam arti luas meliputi keenam alat-alat perlengkapan negara 78
Wheare, K.C, Modern Constitutions, Oxford University Press, New York, London, P.
79
Sudono Ayueb, 2008, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah, Laksbang Meditama,
137 hal. 19.
116
(lembaga negara) itu. Kalau demikian, pemerintah dalam arti sempit, dengan merujuk pada Pasal 4 jo Pasal 17 UUD 1945, hanya terdiri dari Presiden yang dalam menjalankan tugas kewajibannya dibantu oleh seorang Wakil Presiden dan Menteri-Menteri Negara. Sistem pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, juga menganut sistem campuran. Pada pokoknya, sistem yang dianut adalah sistem presidensil, tetapi Presiden ditentukan tunduk dan bertanggung jawab kepada lembaga MPR yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan-utusan golongan fungsional80 Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia di masa lalu, praktik mengenai sistem pemerintahan presidensil yang bersifat campuran ini juga dilaksanakan secara tidak
konsisten. Mislnya, dalam waktu tidak sampai tiga bulan sejak
disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang menganut sistem presidensil itu sudah dilaksanakan menyimpang, yaitu dengan dibentuknya Kabinet Parlementer Pertama dibawah Perdana Menteri Sutan Syahrir pada tanggal 14 November 194581. Padahal, UUD 1945 yang baru disahkan jelas tidak menganut sistem pemerintahan parlementer ini terus menerus dipraktikkan sampai periode berlakunya UUD RIS Tahun 1949 dan UUDS Tahun 1950. Bahkan, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang kembali memberlakukan UUD 1945 sebagai konstitusi 80
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen yang berbunyi, “MPR terdiri atas angota-anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.” 81 Penjelasan UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
117
Republik Indonesia, sistem pemerintahan yang dipraktikkan juga adalah sistem cabinet parlementer. Dapat dikatakan bahwa UUD 1945 itu baru dipakai sebagai referensi ketatanegaraan dalam praktik yang nyata pada masa orde baru. Jargon yang biasa dipakai oleh pemerintah orde baru adalah “pelaksaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen”. Dengan jargon tersebut akhirnya presiden pun berkembang menjadi diktator yang tidak pernah berganti selama 32 tahun. Di masa orde baru, sistem pemerintahan presidensil yang diatur dalam UUD 1945 juga diterapkan penuh dengan memusatkan tanggung jawab kekuasaan pemerintahan negara di tangan presiden, dengan kuatnya kedudukan presiden, maka meskipun MPR diakui sebaga lembaga tertinggi negara, tempat presiden diharuskan tunduk dan bertanggung jawab, tetapi dalam kenyataan praktik, kedudukannya
justru
tergantung
kepada
presiden.
Adanya
unsure
pertanggungjawaban presiden kepada MPR itu justru memperlihatkan cirri parlementer dalam sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh UUD 1945. Karena itulah, secara normatif sebenarnya, sistem yang dianut oleh UUD 1945 itu bukanlah murni sistem presidensil, tetapib hanya quasi presidensil. Sifat quasi atau sistem presidensil yang tidak murni itulah yang diubah ketika UUD 1945 diubah pada tahun 1999 sampai tahun 2002. Yaitu dengan mengubah kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan lembaga negara yang sederajat dengan presiden. Di samping itu, ditentukan pula bahwa presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat
118
melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam perubahan pertama sampai perubahan keempat UUD 1945, tergambar adanya semangat untuk mengadakan purifikasi atau pemurnian sistem pemerintahan presidensil Indonesia dari sistem sebelumnya yang dianggap tidak murni presidensil. Jika sistem pemerintahan yang dianut dalam republik itu adalah sistem presidensil, maka seperti uraian terdahulu, presiden berfungsi sebagai kepala negara (head of statet) sekaligus sebagai kepala pemerintahan (head of government). Presiden Republik Indonesia menurut Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut undang-undang dasar. Inilah yang disebut sebagai prinsip “constitutional government”, rumusan ini adalah rumusan asli BPUPKI yang tidak mengalami perubahan. Dengan demikian, prinsip constitutional government sebagai salah satu cirri penting negara hukum, telah dirumuskan oleh the founding fathers sejak sebelum kemerdekaan. Selanjutnya dalam ayat (2), “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”. Dari ayat (2) tersebut diketahui bahwa pertama wakil preside nada satu orang, yang artinya, wakil presiden itu tidak boleh lebih dari satu orang. Kedua, wakil presiden itu sendiri mempunyai kedudukan sebagai pembantu presiden dalam melakukan kewajibannya menurut UUD 1945. Lebih lanjut lagi dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk pula menteri, sebagaimana yang diatur dalam bab V tentang Kementerian Negara, yaitu pada Pasal 17 adalah:
119
(1) (2) (3) (4)
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan pasal tersebut maka dapat dimaksudkan bahwa para menteri negara tunduk dan bertanggung jawab kepada presiden sebagai satu kesatuan institusi. Prinsip yang bersifat umum adalah administrasi pemerintahn pusat pada umumnya ditempatkan di bawah kewenangan menteri atau diorganisasikan sebagai kementerian atau departemen. Meneteri dan kementerian negara dibedakan. Menteri adalah jabatan politik, sedangkan kementerian negara diisi oleh pegawai negeri sipil dengan jabatan-jabatan yang diisi melalui pengangkatan dan pemberhentian secara administratif. Dalam penjelasan UUD 1945 yang sekarang hanya berlaku sebagai dokumen historis, tercantum uraian bahwa jabatan menteri itu merupakan jabatan yang sangat penting. Menteri adalah pejabat tinggi yang secara nyata bertindk sebagai pemimpin pemerintahan sehari-hari dalam bidangnya masing-masing. Karena itu, tidak semua orang dapat bekerja sebagai menteri jika tidak melengkapi diri dengan sifat-sifat kepemimpinan dan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk itu. Jabatan menteri dalam sistem pemerintahan presidensil juga harus dipahami berbeda dari jabatan menteri dalam sistem pemerintahan parlementer yang murni bersifat politik. Dalam sistem pemerintahan presidensil, yang murni
120
bersifat politik adalah presiden dan wakil presiden, sedangkan jabatan menterinya di samping bersifat politik juga bersifay teknis. Oleh karena itu, menteri dalam sistem presidensil membutuhkan kualifikasi teknis. Apalagi, menteri yang akan diserahi tugas tugas memimpin suatu departemen pemerintahan republic dengan penduduk besar dan komleksitas persoalan pembangunan yang demikian rumit seperti Indonesia, tentulah diperlukan kualifikasi politis dan teknis yang benarbenar memenuhi syarat kapabilitas (kualifikasi teknis) dan syarat akseptabilitas (kualifikasi politik) yang sangat tinggi. Tentang istilah menteri negara, terdapat kebiasaan untuk mengartikan seolah menteri negara itu adalah menteri yang tidak memimpin departemen. Umpamanya, Menteri Negara Urusan badan Usaha Milik Negara disebut dengan singkatan Meneg BUMN, sedangkan menteri yang dipimpin departemen, seperti Menteri Perhubungan disingkat dengan istilah Menhub, Menteri Pendidikan Nasional dengan istilah Mendiknas dan sebagainya. Namun, dalam rumusan ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan bahkan dalam judul bab V UUD 1945 jelas dipakai istilah menteri negara dan kementerian negara untuk pengertian yang bersifat umum dan berlaku untuk semua menteri. Hanya saja ada yang memimpin departemen atau biasa diistilahkan dengan menteri dengan portofolio, dan ada menteri yang tanpa portofolio. Pembedaan keduanya sangat penting karena berkaitan dengan jangkauan luas dan wewenangnya sebagai pejabat publik pembantu presiden. Menteri dengan portofolio departemen memiliki aparatur pemerintahan pendukung yang menjangkau sampai ke lapisan pemerintahan di daerah melalui aparatur
121
dekonsentrasi di tingkat provinsi dan/atau bahkan sampai ke tingkat kabupaten/kota. Sedangkan menteri tanpa portofolio departemen tidak memiliki jaringan aparatur sampai ke daerah-daerah. Menteri yang tergolong tidak memiliki aparatur di daerah-daerah ini umpamanya adalah Menteri Sekretaris Negara, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Menteri Riset dan Teknologi, dan lain sebagainya. Sedangkan menteri-menteri yang memimpin departemen, umpamanya adalah Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Agama, Menteri Perindustrian, Menteri Kesehatan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan lain sebagainya. Di samping itu, dalam praktik, dikenal pula adanya Menteri Koordinator dan Menteri Muda. Jabatan menteri muda pernah diadakan baik di zaman era pemerintahan presiden Soekarno maupu di zaman pemerintahan Presiden Soeharto. Pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid juga pernah diadakan Kementerian Negara urusan Otonomi Daerah yang pada hakikatnya juga merupakan bentuk lain dari Menteri Muda seperti di zaman sebelumnya, yaitu menteri yang terkait erat tugasnya dan membutuhkan koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Akan tetapi, istilah yang dipakai pada waktu itu adalah menteri negara yang seolah mandiri dan terlepas sama sekali dari tugas Menteri dalam negeri. Sementara itu, jabatan menteri koordinator dari dulu sampai sekarang selalu diadakan.
Jabatan menteri koordinator ini sesuai dengan kebutuhan
biasanya dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan, menteri koordinator bidang ekonomi dan keuangan, dan menteri koordinator bidang kesejahteraan rakyat.
122
Setelah perubahan UUD 1945, istilah kementerian negara dan menteri negara merujuk kepada pengertian yang bersifat umum, yaitu bahwa semua menteri adalah termasuk ke dalam pengertian menteri negara menurut UUD 1945. Dalam praktik, kita mengenal adanya tiga macam menteri negara, yaitu (i) menteri koordinator; (ii) menteri pemimpin departemen; dan (iii) menteri tanpa portofolio. Ketiga macam menteri ini dapat ditambah dengan yang keempat (iv) yaitu menteri muda yang pernah ada di masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Dari keempat macam menteri itu, yang memiliki daya jangkau birokrasi sampai ke daerah-daerah adalah menteri dengan portofolio departemen, sedangkan yang lain tidak. Menurut beberapa sarjana, seperti misalnya Awaludin Jamin
82
. Menteri
tanpa portofolio tidak dapat mengatur public, melainkan hanya menjalankan tugas-tugas eksekutif murni, yaitu membantu presiden dalam melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undngan yanga ada. Artinya, menteri tanpa portofolio itu karena tidak memilki aparatur birokrasi yang dapat mendukung pelaksanaan tugas untuk mengimplementasikan pengaturan yang dibuatnya, maka menteri tersebut tidak boleh diberi kewenangan (regeling). Selain kewenangan-kewenangan yang melekat dalam sifat kekuasaan eksekutif, pemerintahan negara memiliki kewenangan-kewenangan konstitusional yang terkait dengan fungsi legislative atau regulative dan bahkan fungsi yudikatif (yudisial). Dalam praktik, ke dalam kekuasaan pemerintahan negara yang
82
Awaludin Jamin dalam Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT Bhuana Ilmu Polupler Kelompok Gramedia, Jakarta, hal. 371.
123
dipegang oleh kepala negara dan/atau kepala pemerintahan selalu ditambahkan adanya kekuasaan untuk mengatur, baik karena delegasi kewenangan yang mengalir dari kewenangan lembaga legislatif berdasarkan undang-undang ataupun karena dimungkinkn secara langsung oleh undang-undang dasar. Dalam hal ini, presiden Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undamg Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan memiliki kewenangan untuk (i) mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) menjadi undang-undang (UU), (ii) menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undangn (Perpu), (iii) Peraturan Pemerintah, dan (iv) Peraturan Presiden. Kewenangan presiden untuk mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang adalah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 yang menentukan, bahwa, “Presiden mengesahkan rancangan undangundang
yang telah
disetujui
bersama
untuk
menjadi
undang-undang”.
Kewenangan presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undangundang (Perpu) didasarkan atas ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa, “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Kewenangan presiden untuk menetapkan peraturan Pemerintah di dasarkan atas ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.”
124
Sedangkan Peraturan Presiden didasarkan atas ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang kemudian telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.. Di samping itu, semua pejabat pelaksana undang-undang sepanjang tegas diberi kewenangan untuk mengatur atau kewenangan regulatif/ legislatif oleh undang-undang (delegation of rule-making power by statute) , dapat pula mengeluarkan produk-produk peraturan tersendiri yang bersifat spesifik, khusus, ataupun yang hanya berlaku secara internal. Syaratnya adalah bahwa kewenangan semacam itu harus dengan tegas dinyatakan dalam undang-undang yang bersangkutan kepada pejabat atau lembaga negara yang bersangkutan. Inilah yang biasa dinamakan dengan “delegation of rule making power”. Terkadang, kewenangan yang diperoleh dari pendelegasian tersebut (delegated power for legislation or rule making) memberikan lagi kewenangan untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang didelegasikan itu kepada instansi atau pejabat yang diberi delegasi. Misalnya undang-undang memberi delegasi kewenangan pengaturan presiden. Atas dasar itu, presiden menetapkan suatu Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah. Akan tetapi, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden tersebut memberikan lagi delegasi kewenangan pengaturan atau kewenangan regulasi kepada Menteri yang diberi delegasi kewenangan. Proses pemberian kewenagan tingkat kedua ini biasa disebut juga
125
dengan “sub delegasi” atau “sub-delegation of rule making power”83 berdasarkan kewenangan sub delegasi itulah, maka dikenal pula adanya bentuk-bentuk peraturan, seperti peraturan menteri dan sebagainya yang juga bersifat mengatur dan mengikat juga untuk umum. Oleh karena itu, sebagaimana uraian di atas maka tentunya yang diteliti apakah dalam hal pembatalan peraturan daerah yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut telah sesuai dengan adanya pendelegasian wewenang dari Presiden selaku pemegang wewenang atribusi, namun kenyataannya setelah penulis melakukan penelitian secara normatif dari aturan kewenangan yang timbul, menunjukkan tidak adanya dasar kewenangan bagi menteri Dalam Negeri untuk dapat membatalkan suatu peraturan daerah, walaupun didalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan kewenangan dari Menteri, namun terbatas hanya dalam hal evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah untuk rancangan peraturan daerah provinsi dan evaluasi oleh Gubernur untuk rancangan peraturan daerah kabupaten/kota, yang difokuskan terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR. Selanjutnya hal tersebut dilakukan untuk memperoleh klarifikasi. Hal tersebut adalah merupakan bentuk kontrol pemerintah pusat kepada daerah. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dilihat bahwa mekanisme pembatalannya mesti berdasar pada peraturan yang mengaturnya dalam hal ini
83
341.
Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, hal.
126
adalah yang diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Oleh karena itu terjadi konflik antara UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerinrahan daerah dengan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dengan berdasar pada asas lex superiori derogate legi inferiori karena yang satu diperintahkan oleh UndangUndang dan yang lainnya diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah, dengan melihat hierarki peraturan perundang-undangan maka UU No. 32 Tahun 2004 lebih tinggi kedudukannya, oleh sebab itu tetap merunut kepada UU tersebut. Dalam hal ini mekanisme pembatalan dilakukan melalui peraturan Presiden. Oleh karena itu maka dapat terjawab pokok permasalahan yang kedua, bahwa suatu perda yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri adalah tidak sah.
127
BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP PERATURAN DAERAH TENTANG APBD YANG DIBATALKAN MELALUI KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI
4.1.
Pengujian Peraturan Daerah
4.1.1. Perspektif Bentuk, Proses Pembentukan, dan Pihak Yang Memiliki Kewenangan Pembentukan Pada bagian terdahulu telah dilakukan analisis sebagai upaya identifikasi kedudukan hukum Peraturan Daerah, dari analisis tersebut, ditemukan suatu tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang dikaitkan dengan kewenangan lembaga yang memegang kekuasaan untuk menguji suatu produk Peraturan Perundang-undangan. Hasil uraian pada bab sebelumnya dengan mengkaji sistem pemerintahan di Indonesia, sehingga terlihat beberapa kekuasaan baik eksekutif, legislatif maupun yudisial, yang selanjutnya secara otomatis melihat sumber-sumber kewenangan yang dimiliki, untuk mengkaji pokok permasalahan yang kedua dalam penelitian ini secara normatif dengan tetap berdasar pada peraturan perundang-undangan serta asas-asas dalam ilmu hukum itu sendiri. Selanjutnya untuk mengkaji lebih jauh mengenai akibat hukum dari peraturan daerah tentang APBD
yang telah dibatalkan melalui Keputusan
Menteri Dalam Negeri, secara terkait akan berawal dari lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji suatu produk peraturan perundang-undangan dalam
128
hal ini adalah peraturan daerah. Yang dimaksud dengan lembaga yang memiliki kewenangan
menguji suatu produk peraturan perundang-undangan adalah
berbagai lembaga yang disebut secara tegas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Dari ketiga lembaga ini, apabila dikaitkan dengan kewenangan untuk menguji suatu produk peraturan perundang-undangan itu sendiri, akan menghasilkan suatu garis besar urutan berbagai Peraturan Perundang-undangan dalam hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Adapun hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang; 3. Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang, yang terdiri dari : a. Peraturan Pemerintah; b. Peraturan Presiden; c. Peraturan Daerah. Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
merupakan produk Peraturan Perundang-undangan yang menempati kedudukan hukum tertinggi dalam hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Lembaga yang berwenang untuk mengubah dan menetapkan Undang-
129
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 ayat (1) yang menegaskan bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Undang-Undang merupakan produk Peraturan Perundang-undangan yang menempati kedudukan hukum kedua dalam hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang adalah Mahkamah Konstitusi, berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 C ayat (1), yang menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undng terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa wewenang lembaga negara yang
kewenangannya
diberikan
oleh
Undang-Undang
Dasar,
memutus
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Tempat ketiga kedudukan hukum dalam hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonsia ditempati oleh berbagai Peraturan Perundangundangan di bawah Undang-Undang adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji berbagai produk Peraturan Perundang-undangan di bawah UndangUndang ini adalah Mahkamah Agung,berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
130
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 A ayat (1) yang menegaskan bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”. Penegasan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 A ayat (1) dan Pasal 24 C tersebut di atas dengan jelas telah menyebutkan beberapa produk Peraturan Perundang-undangan beserta lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji, maka hanya 3 (tiga) tingkat kedudukan hukum
Peraturan Perundang-undangan
yang dimiliki secara
konstitusional, yaitu sebagai berikut: 1. Tingkat kedudukan hukum bagi produk Peraturan Perundang-undangan yang berbentuk Undang-Undang Dasar; 2. Tingkat kedudukan hukum bagi produk Peraturan Perundang-Undangan yang berbentuk Undang-Undang; 3. Tingkat kedudukan hukum bagi berbagai bentuk produk Peraturan Perundangundangan di bawah Undang-Undang; Dari 3 (tiga) tingkat kedudukan hukum tersebut di atas, perlu dilakukan identifikasi tempat yang tepat bagi masing-masing produk Peraturan Perundangundangan. Analisis ini perlu dilakukan untuk mengetahui peringkat dari ketiga jenis produk Peraturan Perundang-undangan yang dikaitkan dengan kewenangan suatu lembaga untuk menguji produk Peraturan Perundang-undangan dimaksud. Analisis untuk mengetahui tempat masing-masing Produk Peraturan Perundang-
131
undangan dilakukan secara konstitusional dengan cara melakukan analisis tingkatan suatu produk Peraturan Perundang-undangan melalui penegasanpenegasan yang ada dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Analisis terkait dengan kewenangan untuk menguji ini menghasilkan tingkatan-tingkatan sebagai berikut: 1. Tingkatan pertama kedudukan hukum atau tingkatan tertinggi diduduki oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini disebabkan karena selain secara umum suatu Undang-Undang Dasar merupakan suatu dokumen hukum yang tertinggi di mana semua tatanan hukum bersandar kepadanya, serta berisi berbagai pengakuan keyakinan dan ideologi bangsa dan negara, sebagaimana diungkapkan oleh Wheare84, yang menegaskan bahwa “ Constitutions as primarily and almost exclusively a legal document in which, therefore, there is a place for rules of law but for practically manifesto, a confession of faith, a statement of ideals, a charter of the land”. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 1 ayat (2) telah menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Kedaulatan pada hakekatnya merupakan suatu kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara dan untuk melaksanakan ternyata disandarkan pada suatu Undang-Undang Dasar, bukan pada Undang-Undang atau bahkan pada setiap atau suatu Produk Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Hal ini menunjukkan bahwa 84
Wheare, KC, 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, Oxford, hal. 32
132
pada hakekatnya undang-undang dasar menempati kedudukan yang tertinggi dalam hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Terkait dengan hal ini, dalam tanggapannya terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Indriati85 menegaskan bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan Konstitusi Negara Republik Indonesia. Konstitusi bukan merupakan suatu Peraturan Perundang-undangan, tetapi dialah sumber dan pedoman bagi pembentukan Peraturan Perundangundangan”. Di
sisi
lain,
Asshiddiqie
dan
Safa’at86
menegaskan
bahwa
“Dipreuposisikan sebagai norma dasar, konstitusi adalah level paling tinggi dalam hukum nasional. Konstitusi dalam arti formal adalah suatu dokumen nyata sebagai seperangkat norma hukum yang mungkin diubah hanya menurut ketentuan khusus yang dimaksudkan agar perubahan norma sulit dilakukan”. Dari pernyataan tersebut akan dapat dipahami, bahwa apabila terdapat Undang-Undang yang ternyata bertentangan dengan konstitusi, maka UndangUndang itu akan dikalahkan atau dikesampingkan atau dengan kata lain batal demi hukum. Di sisi lain Syueb
85
87
menegaskan bahwa sebagai hukum dasar,
Maria F. Indrati, 2004, Tanggapan Maria F. Indrati terhadap Rancangan UndangUndang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-udangan, Pusat Studi Ilmu Hukum dan Kebijakan Indonesia, Angka 6, www.parlemen.net Available at: http://www.parlemen.net/site/idetails.php?guid=2adc2735b3b3db3ib7,1/10/2011 86 Jimmly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans kelsen Tentang Hukum, Penerbit Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal. 11 87 Sudono Syueb, 2008, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah: Sejak Kemerdekaan Sampai Era Reformasi, Cetakan Pertama, Laksbang Meditama, Surabaya, hal. 24
133
maka Undang-Undang Dasar perlu diberi sifat luhur dan kekal, sifat yang luhur dari Undang-Undang Dasar berarti bahwa Undang-Undang Dasar diberi sifat sebagai bentuk peraturan tertinggi kalau dibandingkan dengan bentuk peraturan dan ketetapan lainnya. Terkait dengan hal ini, penegasan tentang kedudukan hukum UndangUndang Dasar Negara Republik Injdonesia Tahun 1945 juga terdapat dalam Undang-Undang
Republik
Indonesia
No.
10
Tahun
2004
tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, pada Pasal 3 ayat (1) yang menegaskan bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan”. Dengan demikian, kedudukan hukum Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai produk Peraturan Perundang-undangan yang menempati tempat tertinggi dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan semakin dipertegas lagi. Bukti selanjutnya yang mengukuhkan eksistensi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai Produk Peraturan Perundang-undangan yang menempati tingkat pertama dari hierarki atau tata urutan Perundang-undangan adalah adanya penegasan dalam Pasal 24 c ayat (1), yang menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa wewenang lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
134
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kata-kata yang perlu digaris bawahi adalah “Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar” dimana dalam hal ini kata-kata tersebut memberikan bahwa Undang-Undang diuji atau diperhadapkan dengan sesuatu yang lebih tinggi tingkatannya, dan itu adalah Undang-Undang dasar, Dengan demikian, dapat dipahami bahwa arti dari kata-kata “Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar” menimbulkan arti bahwa memiliki kedudukan hukum yang lebih rendah dari pada Undang-Undang Dasar, dan demikian pula sebaliknya, suatu Undang-Undang Dasar memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan Undang-Undang. Undang-Undang Dasar menjadi suatu tolok ukur dalam menguji suatu Undang-Undang.
Hal
ini
berarti
menimbulkan
suatu
konsekuensi
konstitusional yang mengharuskan suatu Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Ketentuan tentang dijadikannya Undang-Undang Dasar sebagai tolok ukur sehingga Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dipertegas lagi dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dalam pasal-pasal berikut: a. Pasal 57 ayat (1) menegaskan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal dan atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
135
b. Pasal 57 ayat (2) menegaskan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
Penjabaran pada pasal-pasal tersebut di atas akan semakin memperkuat kedudukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai tolok ukur atau acuan bagi pembentukan Undang-Undang, dengan kata lain telah menempatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun
1945
baik
sebagian,
seluruhnya,
ataupun
proses
pembentukannya, tidak akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat lagi. 2. Tingkatan kedua kedudukan hukum dalam tata urutan Peraturan Perundangundangan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di duduki oleh Undang-Undang. Hal ini juga didasarkan pada penegasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 c ayat (1), yang menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi” berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa wewenang lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”
136
Sekali lagi, kata-kata “Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar” telah menimbulkan pemahaman bahwa suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai produk Peraturan Perundangundangan yang memiliki kedudukan hukum tertinggi dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Analisis terhadap pasal-pasal dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menunjukkan bahwa selain Undang-Undang tidak ada lagi produk Peraturan Perundangundangan yang harus diperhadapkan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini menunjukkan bahwa secara konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang menempati tingkatan kedua setelah UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Eksistensi Undang-Undang yang menempati tingkatan kedua dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia pada hakekatnya merupakan
suatu
implikasi
dari
lembaga
yang
berwenang
untuk
membentuknya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 20 ayat (1) memiliki
kekuasaan
membentuk
Undang-Undang.
Eksistensi
Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif yang pada hakekatnya memiliki kekuasaan membentuk Undang-Undang inilah, yang kemudian semakin memperkokoh kedudukan hukum Undang-Undang pada tingkatan kedua
137
dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Tingkatan ketiga kedudukan hukum dalam tata urutan Peraturan Perundangundangan di Indonesia pada hakekatnya terkait dengan kewenangan untuk mengujinya ditempati oleh berbagai Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang yang ada di Indonesia. Hal ini berdasarkan penegasan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 A ayat (1) yang menegaskan bahwa, “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”
Dalam pasal tersebut di atas terdapat kata-kata “menguji Peraturan Perundang-undangan terhadap Undang-Undang”, di mana apabila dikaitkan dengan eksistensi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tingkatan pertama dan Undang-Undang yang menempati tingkatan kedua dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, akan menimbulkan pemahaman bahwa di bawah Undang-Undang terdapat Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, akan menimbulkan pemahaman bahwa di bawah Undang-Undang terdapat Peraturan Perundang-undangan laiinya. Dengan kata lain, setelah Undang-Undang terdapat berbagai Peraturan Perundang-undangan lainnya yang menempati tingkatan ketiga dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
138
Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang” adalah segala peraturan selain Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang yang dikenal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Secara konstitusional, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Peraturan Perundangundangan di bawah Undang-Undang” yang disebut secara tegas adalah Peraturan Pemerintah berdasarkan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 22 ayat (1). Eksistensi Peraturan Pemerintah dalam hal ini terkait dengan eksistensi presiden
sebagai
kepala
pemerintahan
yang
memegang
kekuasaan
pemerintahan berdasarkan Pasal 4 ayat (1). Namun demikian, dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan, selain Peraturan Pemerintah juga diperlukan berbagai peraturan lainnya, terutama terkait dengan upaya untuk memberdayakan berbagai daerah otonom. Terkait dengan hal ini, berdasarkan Pasal 18 ayat (6) dikenal adanya suatu peraturan daerah. Produk Peraturan Perundang-undangan pada hakekatnya diperlukan secara mutlak. Oleh karena itu perlu diadakan berbagai Peraturan Perundangundangan sebagain instrument dalam menjalankan roda-roda pemerintahan serta kehidupan berbangsa dan bernegara, di mana berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang selain peraturan pemerintah (PP) adalah peraturan presiden (Perpres) dan peraturan daerah (Perda) terkait dengan eksistensi pemerintahan daerah, yang oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diberikan keleluasaan
139
untuk menyelenggarakan otonomi daerah, sebagaimana diungkapkan oleh Widjaja88 yang menegaskan bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Terkait dengan eksistensi pemerintahan daerah pada dasarnya tengah diupayakan suatu penguatan daerah melalui penajaman desentralisasi, di mana menurut Mardiasmo89, secara teoritis desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu: a. Mendorong peningkatan, partisipasi, prakarsa dan kreatifitas masyarakat dalam pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masingmasing daerah. b. Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling rendah yang memilki informasi yang paling lengkap. Selanjutnya khusus bagi Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang, yang terdiri dari peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (Perpres) dan peraturan daerah (Perda), berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang88
HAW Widjaja, 2007, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 36. 89 Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen keuangan daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta, hal. 6
140
undangan
akan dapat dipahami bahwa untuk masing-masing Peraturan
Perundang-undangan dimaksud memilki urutan sebagai berikut: 1. Peraturan Pemerintah; 2. Peraturan Presiden; 3. Peraturan Daerah. Sedangkan di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberi urutan atas perda itu sendiri dengan berurut mulai dari Perda Provinsi selanjutnya Perda Kabupaten/Kota. Dari berbagai paparan tersebut di atas, akan dapat dipahami bahwa uruturutan Peraturan Perundang-undangan dalam hierarki atau tata urutan perundangundangan di Indonesia secara konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang; 3. Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dimana sesuai tingkatannya masing-masing terdiri dari: a. Peraturan Pemerintah b. Peraturan Presiden c. Peraturan Daerah Selanjutnya kembali pada penelitian terhadap pembatalan peraturan daerah itu sendiri, sebagaimana yang telah teruraikan pada bagian terdahulu
141
juga dilakukan analisis terhadap eksistensi peraturan daerah melalui berbagai unsur atau elemen obyektif peraturan daerah itu sendiri, yaitu bentuknya, proses pembentukannya, pihak yang memiliki kewenangan pembentukannya, serta isi, materi atau substansi peraturan daerah. Dari hasil analisis terhadap berbagai unsur atau elemen obyektif peraturan daerah dimaksud, diketahui bahwa apabila ditinjau dari bentuk, proses pembentukan, serta pihak yang memiliki kewenangan pembentukannya maka peraturan daerah merupakan suatu Peraturan Perundang-undangan yang termasuk dalam hierarki atau tata uutan Peraturan perundang-undangan yang secara tegas menunjukkan walaupun peraturan daerah adalah produk hukum pemerintahan daerah namun tetap termasuk didalam hierarki Peraturan Perundangan, hal tersebut membuktikan bahwa
adanya penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, dengan tetap berpegang pada asas otonomi dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan pemerintahan didaerah juga melibatkan para aparatur pemerintah daerah, baik kepala daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat daerah, selaku penyelenggara pemerintahan daerah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu sebagai berikut: “Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945”
142
Selanjutnya dalam ayat berikutnya menyebutkan: “Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah”.Dan lebih tegas lagi diatur dalam Bab IV tentang Penyelenggaraan Pemerintahan pada Pasal 19 ayat (2) bahwa: “Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD”. Tugas dari penyelenggara pemerintah daerah atau dapat disebut lembaga eksekutif di tingkat daerah yaitu kepala daerah dan DPRD, adalah menetapkan peraturan daerah, atau lebih jelas lagi di atur dalam Pasal 136 (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu “ Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”. Walaupun ditingkat pusat bahwa DPR adalah merupakan suatu lembaga legislatif, namun di tingkat daerah DPRD merupakan suatu lembaga eksekutif atau penyelenggara pemerintahan. Konsep otonomi daerah membawa serta implikasi praktis terdapatnya pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Otonomi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi tuntutatn sejarah yang telah dilaksanakan secara yuridis dengan pembagian wilayah NKRI sebagai suatu entitas hukum yang terus perlu dikembangkan. Konsep hukum otonomi daerah dengan segala urusan pemerintahan daerah dijalankan oleh penyelenggara pemerintah daerah terutama oleh
143
Kepala daerah. Pemerintahan daerah menjadi memiliki dimensi hukum yang terbagi secara berjenjang dalam kerangka otonomi daerah. Pasal 3 UndangUndang No.. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan bahwa: (1) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) adalah: a. Pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi; b. Pemerintah daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. (2) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah.
Urusan keuangan daerah yang dirumuskan melalui APBD yang dijalankan oleh Kepala Daerah tentu tidak lepas dari urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah berdasarkan perangkat hukum. Pembagian urusan pemerintahan sebagai implementasi otonomi daerah diatur dalam Pasal 10 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai berikut: (1) Pemerintahan daerah menyeloenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah; (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan; (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Politik luar negeri; b. Pertahanan; c. Keamanan; d. Yustisi; e. Moneter dan fiskal nasional; dan f. Agama.
144
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa. (5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat 93), pemerintah dapat: (a) Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; (b) Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selakuy wakil pemerintah; atau (c) Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Ketentuan tersebut menandaskan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan Kepala Daerah tetap sebatas pada urusan pemerintahan yang diberikan kepada Kepala Daerah. Kepala Daerah hanya bertindak sesuai dengan kewenangan yang memang diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan,
termasuk dibidang pengelolaan
keuangan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Secara lebih rinci Pasal 11 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan batas tentang kriteria implementasi urusan pemerintahan, yaitu: (1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. (2) Penyelenggara urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan, hubungan kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
145
(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang, bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut secara hukum dilakukan oleh pemerintah daerah dengan disertai kelengkapan pendukung yang regulasi yuridis sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah: (1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan , pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. (2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.
Pengaturan ini menegaskan bahwa pemerintahan pusat tidak dapat serta merta memberikan pelimpahan urusan kepada pemerintah daerah untuk dijalankan oleh Kepala Daerah termasuk dalam pengelolaan keuangan daerah tanpa ada dukungan administratif dan finansial. Apa yang menjadi tugas dan dan wewenang kepala daerah secara umum sesuangguhnya tidak boleh lepas dari koridor yang ditentukan oleh urusan yang digariskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tugas dan wewenang Kepala daerah menjadi sangat ditentukan serta mempengaruhi jalannya penyelenggaraan otonomi daerah diwilayahnya. . Dari uraian-uraian di atas telah jelas bahwa eksistensi, bentuk serta pihak yang berwenang dalam pembentukan peraturan daerah sebagaimana yang telah dibahas dalam analisa bab sebelumnya telah menjabarkan sangat jelas mengenai
146
perda tersebut, selanjutnya terkait pada pembatalan peraturan daerah, juga telah dipaparkan pada bab terdahulu dengan merujuk pada suatu sistem pemerintahan, sehingga menemukan solusi bahwa peraturan daerah yang telah dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri adalah tidak sah. Selanjutnya seperti pada judul Bab IV, terkait akibat hukum dari perda yang telah dibatalkan tersebut, Hasil analisa tersebut juga memberikan suatu pemahaman bahwa kedudukan hukum peraturan daerah yang termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan, dimana mekanisme
peraturan daerah, baik penetapan
maupun pembatalannya oleh kepala daerah dan DPRD, merujuk atau sebagaimana yang diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya pengaturan yang juga mengatur mekanisme peraturan daerah terkait pembatalannya yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri yang merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dari kedua isi peraturan yang termasuk dalam hierarki Peraturan Perundangundangan, baik UU maupun PP terjadi konflik norma, menurut asas lex superior derogate legi inferiori menurut asas ini, apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-undangan yang secara hierarkis lebih rendah dengan yang lebih tinggi, Peraturan Perundang-undangan yang hierarkisnya lebih rendah disisihkan. Terkait hal tersebut di atas, maka dari analisa adanya solusi bahwa mekanisme pembatalan peraturan daerah yang dilakukan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri sebagaimana yang diatur dalam PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, adalah tidak sah.
Keabsahan dari
147
pembatalan peraturan daerah yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri setelah dinyatakan tidak sah, maka akibat hukum dari peraturan daerah yang telah dibatalkan tersebut akan merujuk dengan menganalisa lembaga yang menguji peraturan perundang-undangan tersebut. Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji berbagai produk Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang ini adalah Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 Mekanisme pengujian terhadap peraturan daerah tidak berbeda dengan mekanisme pengujian Peraturan Perundang-undangan lainnya dibawah UU, yang secara rinci telah dijabarkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah dengan UU Republik Indonesia No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Mengacu pada Pasal 31 A UU dimaksud akan dapat dipahami bahwa mekanisme pengujian peraturan daerah dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: 1. Permohonan pengujian diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung, dan dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia; 2. Permohonan tersebut di atas sekurang-kurangnya harus memuat: a. Nama dan alamat pemohon; b. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan, dan wajib menguraikan dengan jelas bahwa : 1) Materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian peraturan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau 2) Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. c. Hal-hal yang diminta untuk dihapus.
148
3. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima; 4. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan; 5. Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada angka (5), amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; 6. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Berbagai paparan tesebut di atas, memberi pemahaman bahwa suatu peraturan daerah yang dibatalkan melalui keputusan Menteri Dalam Negeri selain tidak sah, karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka menimbulkan akibat hukum terhadap peraturan daerah yang telah dibatalkan tersebut, oleh karena itu maka diajukan kepada lembaga yang berwenang untuk menguji produk peraturan perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan daerah. Hasil dari pengujian terhadap peraturan daerah tersebut menimbulkan akibat hukum terhadap peraturan daerah tersebut. Sebelum melihat solusi atau akibat hukum yang ditimbulkan, maka selanjutnya kajiannya diarahkan kepada asas-asas Peraturan Perundang-undangan yang baik, asas-asas ini baik dipahami dalam menyusun suatu Peraturan Perundang-undangan. Sebagaimana pendapat dari I.C.Van Der Vlies90 dalam bukunya yang berjudul “Het wetbegsrip en
90
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Badan Standardisasi Nasional (BSN), http://jdih.bsn.go.id, Tanggal 30/September/2011
149
beginselen van behoorlijke regelgeving” membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan materiil. Asas-asas yang formal meliputi: 1. 2. 3. 4. 5.
Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling); Asas organ atau lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ); Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkeheids beginsel); Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid); Asas konsensus (het beginsel van consensus).
Adapun asas-asas yang bersifat material meliputi: 1. 2. 3. 4. 5.
Asas tentang terminology dan sistematika yang benar; Asas tentang dapat dikenali; Asas perlakuan yang sama dalam hukum; Asas kepastian hukum; Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual;
Selanjutnya Hamid S. Atamimi91 berpendapat, bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang patut adalah sebagai berikut: 1. Cita hukum Indonesia, yang tidak lain adalah Pancasila yang berlaku sebagai “Bintang Pemandu”. 2. Asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum, dan asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatankegiatan pemerintahan. 3. Asas-Asas lainnya, yaitu asas-asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum dan asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.
91
Ibid, tanggal 30/September/2011
150
Asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang patut itu meliputi juga: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Asas tujuan yang jelas; Asas perlunya pengaturan; Asas organ.lembaga materi muatan yang tepat; Asas dapatnya dilaksanakan; Asas dapatnya dikenali; Asas perlakuan yang sama dalam hukum; Asas kepastian hukum; Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.
Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal dan asas yang material, maka A Hamid Atamimi cenderung untuk membagi asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang patut tersebut ke dalam: a. Asas formal dengan perincian: (1) Asas tujuan yang jelas; (2) Asas perlunya pengaturan; (3) Asas organ/lembaga yang tepat; (4) Asas materi muatan yang tepat; (5) Asas dapatnya dilaksanakan; (6) Dan asas yang dapatnya dikenali. b. Asas-asas material dengan perincian: 1. Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia; 2. Asas sesuai dengan hukum dasar negara; 3. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum dan; 4. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar sistem konstitusi.
Asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik juga dirumuskan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian telah diganti dengan UU No. 12
151
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan , khususnya pada Pasal 5 dan Pasal 6 meliputi: Pasal 5: Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang, yang meliputi: a. b. c. d. e. f. g.
Kejelasan tujuan; Kelembagaan atau organ dan materi muatan; Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Dapat dilaksanakan; Kedayagunaan dan kehasilgunaan; Kejelasan rumusan; dan Keterbukaan.
Selanjutnya Penjelasan dari Pasal 5 adalah: Huruf a Yang dimaksud dengan “Kejelasan tujuan: adalah bahwa setiap Pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Huruf b Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang0undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. Huruf c Yang dimaksud dengan asas “kesesuaian antara jenis dan materi muatan” adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya. Huruf d Yang dimaksud dengan asas “dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
152
Huruf e Yang dimaksud dengan asas “kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Huruf f Yang dimaksud dengan asas “kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan. Sistimatika dan pilihan kata atau terminology, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai maca interpretasi dalam pelaksanaannya. Huruf g Yang dimaksud dengan asas “keterbukaan: adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluasluasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pasal 6 (1) Materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas: a. Pengayoman; b. Kemanusiaan; c. Kebangsaan; d. Kekeluargaan; e. Kenusantaraan; f. Bhineka Tunggal Ika; g. Keadilan; h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau; j. Keseimbangan, Keserasian, dan keselarasan. (2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peraturan perundangundangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
153
Selanjutnya penjelasan dari Pasal 6 adalah: Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Rapublik Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. Huruf f Yang dimaksud dengan “asas bhineka tunggal ika” adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
154
Huruf g Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Huruf h Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras,golongan, gender atau status sosial. Huruf i Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Huruf j Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan” adalah bahsetiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain: a. Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukum tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; b. Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak dan itikad baik.
Berdasarkan pada pemaparan-pemaparan para pakar hukum serta isi Pasal 5 dan 6 serta penjelasannya pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tersebut, terutama didalam penjelasan Pasal 5 huruf b yang mengacu pada asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat”. Apabila salah satu dari asas tersebut tidak terpenuhi
155
maka suatu hasil dari peraturan perundang-undangan yang diajukan pada lembaga yang berwenang untuk menetapkan, mengubah dan/atau menguji peraturan perundang-undangan tersebut, maka Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Perihal suatu Peraturan Perundang-undangan yang batal demi hukum dan dapat dibatalkan sebagaiman uraian pada penjelasan Pasal 5 huruf b, terkait dengan “asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat”, maka jika suatu Peraturan Perundang-undangan dalam mekanisme pengujiannya tidak memenuhi asas tersebut, maka batal demi hukum atau dapat dibatalkan jika suatu Peraturan Perundang-undangan tersebut dibuat oleh lembaga yang tidak berwenang, dengan adanya suatu upaya hukum, dengan mengacu pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam hal lembaga yang berwenang untuk
menguji suatu Peraturan
Perundang-undangan, untuk Undang-Undang Dasar Negara Republik
Tahun
1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan Undang-Undang (UU) lembaga yang berwenang untuk
menguji suatu Peraturan Perundang-undangan adalah
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 A ayat (1), sedangkan Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang yaitu Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden Perpres) dan Peraturan Daerah (Perda), yang menguji adalah Mahkamah Agung (MA), sebagaimana yang diatur oleh dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
156
4.1.2.Perspektif Isi, Muatan, atau Materi Kajian terhadap kedudukan hukum peraturan daerah terkait dengan bentuk, proses pembentukannya, serta pihak
yang memiliki kewenangan
pembentukannya, telah memberikan suatu jawaban bahwa pengujiann terhadap Peraturan Daerah harus dilakukan melalui Mahkamah Agung. Selanjutnya terkait dengan kajian pembatalan peraturan daerah melalui keputusan Menteri Dalam negeri , maka sebelumnya kajian tersebut ditinjau melalui perspektif isi, materi atau muatan peraturan daerah dan selanjutnya akan dijabarkan secara lebih rinci. Isi dari suatu Peraturan Perundang-undangan memegang peranan yang sangat penting bagi efektifitas keberlakuan produk hukum tersebut. Dengan demikian, isi atau substansi suatu Peraturan Perundang-undangan harus mampu bersifat efektif sehingga mencapai tujuan utama sebagai suatu alat perubah atau alat kontrol sosial, begitupun halnya dengan Peraturan Perundang-undnagan dalam hal ini adalah peraturan daerah. Dengan demikian pengaturan hukum dalam pembahasan ini jelas harus memadukan antara keputusan pemerintah (negara) dan kepentingan masyarakat. Dengan materi yang seperti ini, maka pembentukan hukum suatu peraturan perundang-undangan yang berupa peraturan daerah memiliki landasan hukum dan menjamin terciptanya ketertiban sesuai dengan kajian mengenai peraturan daerah tentang APBD, maka mewujudkan ketertiban tata kelola keuangan yang terdapat pada peraturan APBD.
157
Tentunya dalam suatu peraturan daerah tentang APBD tidak diinginkan satu kondisi penataan keuangan yang bekerja tanpa hukum, sebagaimana pandangan dari R.C. Allickson dalam Akmal Boedianto
92
, didalam buku R.C.
Alickson yang berjudul “Order Without Law”, bahwa” norma hukum harus menjadi identitas setiap perilaku secara substantif”. Hal tersebut berlaku juga dalam pelaksanaan pembentukan peraturan daerah. Dapat disebutkan bahwa keberadaan hukum menjadi sesuatu yang sangat substansial secara teoritik terutama dalam pembentukan peraturan daerah tentang APBD, dimana merujuk pada isi, muatan atau materi dari peraturan daerah tentang APBD tersebut. Hal tersebut juga sejalan dengan konsep universal tentang ketertiban hukum yang etis, sebagaimana yang dikutip O. Notohamidjojo dalam Akmal boedianto93. Pengaturan hukum mengenai APBD secara teoritik memang harus didasarkan pada suatu pandangan bahwa hukum juga memiliki unsure etis. Unsur etis dalam hukum memberikan pemahaman bahwa hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai atau untuk tujuan akhir menuju kepada keadilan, justitia dalam lingkup “provide justice”. Hal ini merupakan landasan dasar dari pengembangan pembentukan peraturan daerah mengenai APBD sesuai konsepsi keilmuan hukum. Dalam konteks demikianlah jelas dapat dipahami bahwa pembentukan peraturan daerah tentang APBD baik isi, materi atau muatan, juga suatu proses
92
Akmal Boedianto, 2002, Hukum Pemerintahan Daerah: Pembentukan Perda APBD Partisipatif, Laksbang Pressindo, Yokyakarta, hal. 26 93
Ibid , hal. 26
158
hukum yang seharusnya berkekuatan normatif, etis dan partisipatif. Suatu bentuk pengaturan tersebut diharapkan akan mampu memberikan kejelasan norma hukum dan sikap agar tidak multi-interpretasi. Selanjutnya terkait pada isi, materi ataupun muatan dari peraturan daerah tersebut, maka dalam suatu penelitian dengan pendekatan peraturan perundangundangan, yang dilihat bukan hanya bentuk peraturan perundang-undangannya saja, melainkan juga menelaah materi muatannya, dengan mempelajari dasar ontologis lahirnya undang-undang, landasan filosofis undang-undang dan ratio logis dari ketentuan undang-undang, termasuk regulasi dari undang-undang atau peraturan perundang-undangan tersebut. Untuk memahami dasar ontologis dari suatu peraturan perundangundangan. Hal ini dapat diperoleh dari kementerian negara atau lembaga yang mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan tersebut. Di kementerian atau lembaga yang mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan tersebut seyogianya masih tersimpan Naskah Akademis yang menyertai rancangan peraturan perundang-undangan tersebut. Di dalam Naskah akademis termuat mengapa kementerian atau lembaga itu mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan tersebut. Di situ akan terungkap kebutuhan akan hadirnya peraturan perundangan tersebut. Selanjutnya di dalam Naskah Akademis akan dimuat
landasan
diperlukan.
filosofis
mengapa
Peraturan
Perundang-undangan
itu
159
Secara filosofis dimasukkannya Peraturan Perundang-undangan ke dalam Lembaran Negara berlaku bagi peraturan Perundang-undangan tertentu yang sudah menjadi norma atau Undang-Undang (UU), yakni peraturan yang telah memuat secara tegas tentang kewajiban dan larangan yang disertai sanksi hukum dan ditentukan keharusan penempatannya di dalam Lembaran Negara oleh UU.94 Sedangkan untuk ratio legis berkenaan dengan salah satu ketentuan dari peraturan perundang-undangan, mengenai alasan mengapa ada ketentuan tersebut. Analisis terhadap isi, substansi ataupun materi yang diikuti dengan paparan mengenai pembentukan hukum peraturan daerah tentang APBD serta pendekatan-pendekatan perundang-undangan yang dilakuakan dalam melakukan suatu penelitian, dalam hal ini terkait dengan dasar ontologis, filosofis maupun ratio logis suatu pembentukan peraturan perundang-undangan, yang sekaligus mempengaruhi isi, materi serta muatan dari peraturan daerah tentang APBD tersebut. Terkait paparan tersebut dengan tetap melihat lembaga yang berwenang dalam menetapkan, mengubah atau menguji suatu peraturan perundangundangan dalam hal ini adalah peraturan daerah, maka jika dikaitkan dengan pembatalan peraturan daerah yang dilakukan melalui keputusan Meneteri Dalam negeri sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya dimana telah mendapakan suatu solusi bahwa peraturan daerah tersebut adalah tidak sah, serta akibat hukum dari peraturan daerah yang telah dibatalkan tersebut menyatakan 94
Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum tata Negara, PT. RajaGrafindo Persada, hal. 44
160
bahwa perda tersebut batal demi hukum atau dapat dibatalkan dengan mengacu pada asas yang diatur dalam Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Sebagaimana di dalam penjelasan Pasal 5 huruf b tersebut yang menyatakan suatu peraturan perundang-undangan dapat batal demi hukum atau dapat dibatalkan jika Peraturan Perundang-undangan tersebut di buat oleh lembaga yang tidak berwenang. Selanjutnya dalam memahami hal tersebut, maka jika dilihat dari perspektif peraturan daerah, dari isi, materi maupun muatannya secara filosofis, dengan melihat mengapa suatu peraturan daerah tentang APBD tersebut dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, oleh karena itu harus disesuaikan dengan prinsip a contrario actus dimana menunjukkan bahwa suatu produk hukum yang dibuat, maka produk hukum itu pula yang membatalkan atau mencabut.
Hal ini disebabkan karena untuk mengubah suatu Peraturan
Perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan daerah haruslah dengan peraturan daerah itu pula, sesuai dengan prinsip atau asas a contrario actus, yang berlaku universal dalam ilmu hukum, yang menegaskan bahwa pembatalan suatu tindakan hukum harus dilakukan menurut cara dan oleh badan yang sama dalam pembentukannya95
95
Prinsip a contrario actus ini sering digunakan sebagai dasar pijakan atau dasar pertimbangan dalam memutus perkara permohonan pengujian di Mahkamah Konstitusi, di antaranya dalam Putusan Perkara Nomor: 004/SKLN-IV/2006
161
Dalam hal pembentukan peraturan daerah sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga sebagaimana yang telah dipaparkan pada uraian-uraian sebelumnya, bahwa peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagai suatu lembaga eksekutif atau
lembaga penyelenggara pemerintahan, walaupun DPRD juga
disebut lembaga legislatif sebagaimana lembaga legislatif di tingkat pusat untuk DPR, namun jika berdasarkan pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa DPRD adalah termasuk lembaga penyelenggara pemerintahan atau eksekutif, oleh karenaya berdasarkan prinsip a contrario actus, maka yang melakukan pembatalan adalah pada produk hukumnya dengan melihat figur hukumnya dalam hal ini dibatalkan melalui peraturan daerah. Temuan ini tetap menjadi suatu solusi, walaupun pada bab sebelumnya bahwa konflik norma yang terjadi tersebut berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori, jika suatu Peraturan Perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah dengan Peraturan Perundang-undangan yang hierarkinya lebih tinggi terjadi konflik, maka Peraturan Perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah disisihkan. Lebih jelas lagi konflik norma antara PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang mengatur bahwa pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan Menteri dalam Negeri dengan UndangUndang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana mengatur pembatalan daerah melalui Peraturan Presiden, maka yang disisihkan adalah PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang mengatur bahwa
162
pembatalan peraturan daerah dilakukan melalui Keputusan Menteri dalam negeri. Namun untuk adanya suatu temuan berdasarkan prinsip a contrario actus, maka pembatalan peraturan daerah tersebut dilakukan dengan mempergunakan produk hukum itu sendiri dengan melihat figur hukumnya, yakni penetapan peraturan daerah, sebagaimana diketahui berdasar UU No. 32 Tahun 2004
tentang
Pemerintahan Daerah suatu produk hukum dari pemerintah daerah dengan melihat figur hukumnya adalah peraturan daerah.
4.2. Pembahasan Terkait Keabsahan Pembatalan Peraturan Daerah Melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Dengan Berdasar Pada Asas A contrario Actus Pencanangan otonomi daerah tidak dapat berhasil begitu saja tanpa peran penting penyelenggara pemerintahannya dalam hal ini adalah Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta perangkat daerah dan masyarakatnya untuk bekerja keras, terampil, dsiplin dan berperilaku dan atau sesuai dengan nilai, norma dan moral, sebagaimana yang telah diatur secara jelas didalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desentralisasi
adalah
penyerahan
wewenang
pemerintahan
oleh
pemerintah pusat kepada daerah otonom. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Pendelegasian kewenangan politik, pendelegasian kewenangan urusan daerah,
163
pendelegasian
kewenangan
urusan
daerah,
pendelegasian
kewenangan
pengelolaan kewenangan. Substansi kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang pertahanan dan keamanan, , peradilan, moneter dan fiskal, serta agama dan kewenangan bidang lain, sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) yang menegaskan bahwa terdapat beberapa urusan yang tidak dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, melainkan harus diselenggarakana oleh Pemerintah Pusat.
Adapun
berbagai urusan pemerintahan yang tidak dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dimaksud adalah sebagai berikut: a. Politik luar negeri; b. Pertahanan; c. Keamanan; d. Yustisi; e. Moneter dan fiskal nasional; dan f. Agama. Sebelumnya pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah ditegaskan bahwa: a. Kewenangan daerah kabupaten/kota mencakup semua kewenangan yang dikecualikan Pasal 7 dan yang diatur Pasal 9. b. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri, dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.
164
Perihal keuangan daerah yang termasuk kewenangan pemerintahan daerah dituangkan dalam suatu bentuk produk hukum dalam hal ini mengenai Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 1 angka (14), menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Terkait penetapan peraturan daerah tentang APBD, serta mekanisme pembatalannya sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberi kewenangan pada pemerintah dalam hal pembatalan peraturan daerah melalui Peraturan Presiden. Pada Uraian bab sebelumnya telah mengurai bahwa telah terjadi suatu konflik norma yang mengatur mekanisme pembatalan peraturan daerah tentang APBD, dan dengan berdasar pada asas preferensi yakni lex superior derogate inferiori, maka Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah yang dipergunakan dalam mekanisme pembatalan peraturan daerah. Setelah adanya penelusuran-penelusuran terhadap peraturan daerah yang telah dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, dengan melihat suatu sistem pemerintahan di Indonesia dimana adanya pendelegasian suatu kewenangan, namun ternyata dalam peraturan daerah yang telah dibatalkan tersebut tidak terlihat adanya suatu pendelegasian kewenangan tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan atau dapat terjawab bahwa perda yang telah dibatalkan tersebut adalah tidak sah.
165
Upaya untuk mengkaji keabsahan suatu Peraturan Perundang-undangan secara tidak langsung akan mengarah pada penggunaan suatu asas dalam ilmu hukum, yaitu asas legalitas, di mana dalam asas tersebut mencanangkan suatu hal tertentu, yang menurut pendapat Indroharto96 disebutkan bahwa: Asas legalitas mencanangkan bahwa, tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya, Ini berarti setiap wewenang pemerintahan untuk melakukan kebijaksanaan dan tindakan hukum Tata Usaha Negara (TUN), baik mengenai bentuk dari tindakan-tindakan hukum demikian itu serta isi hubungan hukum yang diciptakan olehnya harus ada dasar atau sumbernya pada (diberikan oleh) suatu ketentuan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis).
Pelaksanaan asas legalitas tersebut menunjang berlakunya kepastian hukum, sebab tindakan hukum pemerintahan itu hanya dapat dimungkinkan kalau ada pengaturannya dalam undang-undang. Selain asas legalitas, maka suatu dasar wewenang juga di atur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya menurut Indroharto97 yang dimaksudkan dengan ketentuan itu adalah: 1. Dalam kata “berdasarkan” pada rumusan itu yang dimaksudkan adalah, bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh para Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) itu harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; karena hanya 96
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar harapan, hal. 83 97 Ibid, hal. 81
166
peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang mereka laksanakan; 2. Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan, bahwa wewenang Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Kedua makna tersebut pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari berlakunya ide (cita) negara hukum dalam negara kita.
Berdasar pada asas legalitas dan maksud dari isi Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, memberikan suatu dasar dari keabsahan suatu peraturan perundangundangan terkait dengan wewenang pembuat peraturan perundang-undangan tersebut, begitu pula halnya dengan peraturan daerah yang telah dibatalkan melalui keputusan Menteri dalam negeri, bahwa dasar wewenang yang dimiliki Menteri Dalam Negeri adalah tidak tepat, karena walaupun diatur dalam PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah namun telah diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengenai mekanisme pembatalan peraturan daerah dilakukan melalui pemerintah melalui peraturan Presiden. Selain hal tersebut di dalam peraturan daerah yang telah dibatalkan setelah dilakukan pemeriksaan tidak terdapat adanya pendelegasian wewenang antara Presiden kepada Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya kembali terkait pada keabsahan tindakan pemerintah dalam membuat suatu peraturan perundang-undangan, pada hakekatnya menurut
167
Philipus M. Hadjon 98 ada 3 (tiga) unsur utama dalam melihat keabsahan tindakan pemerintah dalam pembuatan suatu Peraturan Perundang-undangan, yakni: wewenang, prosedur, substansi sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Selanjutnya pada peraturan daerah yang telah dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri tersebut menimbulkan akibat hukum, peraturan daerah tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan pada Pasal 5, terkait pada asasnya, sebagaimana yang telah dipaparkan pada uraian sebelumnya. Akibat hukum yang diperoleh setelah dilakukan pengujian terhadap Peraturan Perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan daerah yang telah dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut dengan diajukan melalui Mahkamah Agung selaku penguji Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang (UU), maka dinyatakan peraturan daerah tersebut batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Apabila dilihat dari perspektif penetapan peraturan daerah, yang merupakan kewenangan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan mekanisme pembatalan yang dilakukan oleh pemerintah melalui Peraturan Presiden, berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selanjutnya terjadi konflik dimana 98
Philipus M. Hadjon. Beleidsvrijheid dan Tanggung Jawab www.appsi-online.com, 1/10/2011.
Pejabat pemerintah.
168
ada peraturan perundang-undangan lainnya yang juga mengatur mekanisme pembatalan peraturan daerah yaitu Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolan Keuangan Daerah, maka secara filosofis kajian pengaturan tersebut mesti lebih ditelaah kembali, oleh karena itu walaupun sesuai dengan asas preferensi yakni lex superior derogae legi inferiori dimana peraturan perundangaundangan yang lebih rendah yakni Peraturan Pemerintah (PP) disisihkan dan mengedepankan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hierarkinya yani Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Maka apabila terkait dengan prinsip atau asas a contrario actus, dinyatakan badan yang yang berwenang melakukan tindakan hukum dalam hal pembentukannya maka badan yang sama dengan produk hukumnya yang juga membatalkannya. Perihal dalam suatu persidangan untuk menguji suatu peraturan perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan daerah dimana pengujiannya melalui Mahkamah Agung (MA), setelah diputuskan oleh hakim mengenai akibat hukumnya dan dinyatakan tidak sah, maka pencabutan dari perda tersebut dilakukan dengan perda , sesuai dengan asas a contrario actus.
169
BAB V PENUTUP 5.1.
Kesimpulan 5.1.1. Pembatalan peraturan daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri adalah tidak sah. Hal tersebut disebabkan karena dengan hasil penelitian yang telah dilakukan
tersebut
dari hasil telaah yang
bertumpu pada analisa pengkajian dalam pembahasan,
terungkap
bahwa Peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang memberikan pengaturan hukum terhadap penyusunan peraturan daerah yang merupakan tugas dan wewenang kepala daerah dan Dewan Perwakilan rakyat Daerah (DPRD). Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga mengatur mengenai mekanisme pembatalan peraturan daerah yang merupakan kajian dalam penelitian ini, mekanisme tersebut mengatur bahwa
pembatalan
peraturan
daerah
tersebut
dilakukan
oleh
pemerintah melalui peraturan Presiden, sedangkan ada peraturan perundang-undangan, yakni Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang juga mengatur mekanisme pembatalan peraturan daerah, dan pengaturan tersebut berbeda dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menimbulkan konflik norma. Konflik norma tersebut menghasilkan bahwa UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dijadikan pedoman dalam mekanisme pembatalan peraturan daerah
170
sebab sesuai dengan azas preferensi, yakni lex superior derogate legi inferiori, hal tersebut berdasar pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pemerintahan Daerah yang berisi juga tata urutan Peraturan Perundang-undangan. UndangUndang tersebut juga mengatur tentang asas-asas yang harus dipenuhi dalam
pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan,
sehingga
memperoleh hasil atau adanya keabsahan dari suatu peraturan perundang-undangan. Terkait dengan keabsahan suatu peraturan perundang-undangan dalam hal ini adalah peraturan daerah, maka dikaji dengan berpegang pada asas legalitas, dan pendapat para pakar hukum sebagaimana yang telah dikutip. Dengan melihat dasar kewenangan yang dimiliki Menteri dalam Negeri untuk membatalkan peraturan daerah, namun setelah dilakukan telaah terhadap penelitian ini, tidak adanya pendelegasian wewenang, sehingga peraturan daerah yang dibatalkan melalui keputusan Meneri Dalam Negeri tidak sah. 5.1.2. Didalam rumusan masalah yang kedua bahwa akibat hukum terhadap peraturan daerah tentang APBD yang dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri adalah dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Dalam menelaah hal tesebut, maka kajian nya mengarah pada lembaga yang berwenang menguji suatu Peraturan Perundang-undangan dalam hal ini adalah Mahkamah Agung (MA) berdasarkan Pasal 24 A ayat (1) yang menyebutkan Mahkamah Agung (MA) berwenang menguji Peraturan
171
Perundang-undangan dibawah Undang-Undang termasuk peraturan daerah didalamnya. Pengujian peraturan daerah merupakan suatu pengujian yang diawali dengan diajukannya permohonan atau uji materi, Dalam hal ini akan memberikan temuan bahwa akibat hukum peraturan daerah tersebut adalah batal demi hukum atau dapat dibatalkan berdasarkan asas-asas hukum yang diatur dalam Undang-Undang No, 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudin telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan , dimana Menteri Dalam Negeri tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan, Secara filosofis, suatu pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dengan memakai atau berdasar asas a contrario actus, yang menyebutkan suatu pembatalan tindakan hukum harus dilakukan menurut cara dan oleh badan yang sama dalam pembentukannya. Dengan kata lain perda dibatalkan dengan perda.
5.2.
Saran 5.2.1.
Agar dalam suatu pembuatan Peraturan Perundang-yang baik maka
prosedur pembentukan Peraturan Perundang-undangan memiliki suatu naskah akademik. Sebagaimana yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan didalam Pasal 5 terkait pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur asas kelembagaan, agar kalimat yang menegaskan pada “batal demi hukum” dan
172
“dapat dibatalkan” dapat diperinci secara jelas didalam penjelasan Pasal tersebut, sehingga tidak terjadi suatu ketimpangan dalam menafsirkan isi Pasal dari suatu UU. Selanjutnya Pembentukan Peraturan Perundangundangan
tersebut
pembentukan
harus
Peraturan
di
susun
berdasarkan
Perundang-undangan
asas-asas
yang
baik
umum dengan
menuangkan prinsip-prinsip baik pembentukannya maupun mekanisme pembatalannya, sehingga tidak terjadi pembatalan peraturan daerah yang dilakukan oleh lembaga yang tidak berwenang, kalaupun ada maka harus diatur secara jelas adanya pendelegasin kewenangan, sehingga suatu peraturan daerah dapat diuji keabsahannya. 5.2.1. Dalam hal pencabutan suatu perda seyogianya didasarkan atas asas a contrario actus yang artinya pejabat yang mencabut adalah juga juga pejabat yang membentuknya, dalam hal ini perda dicabut dengan perda.
173
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Literatur Ali, Achmad, 1996, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Pertama, Chandra Pratama, Jakarta. _______, 1999, Pengadilan Dan Masyarakat, Cetakan Pertama, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. _______, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Cetakan Pertama, PT Yarsif Watampone, Jakarta Ali, Faried, 1997, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. _______, 2004, Filsafat Administrasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta _______, 2005, Redefinisi Administrasi Dalam Lintasan Pemikiran Filsafat, Analisis Alternatif Pencegahan Korupsi Dan Malpraktek Administrasi Serta Penyakit birokrasi, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar Amiruddin dan Azikin H Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Amos, Abraham, 2008, Legal Opinion, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimmly, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Kedua, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. _______, 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Boedianto, Akmal, 2010, Hukum PemerintahanDaerah, Cetakan Kedua, Penerbit Laksbang Pressindo, Yogyakarta. Bruggink, J.J. H, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Cetakan Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Budiardjo, Miriam, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi Cetakan Keempat, PT Gramedia Pustaka Utam, Jakarta
174
Basah, Sjahran, 1987, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, Cetakan III, Penerbit Alumni Bandung. Cohen.L Morris and Olson. C. Kent, 2000, Legal Research, ST. Paul, Minn Dirdjosisworo, Sudjono, 1996, Sosiologi Hukum, Edisi ketiga, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Farida Indrati, Maria, 2007, Ilmu Perundang-Undangan 1, Jenis, fungsi, dan Materi Muatan (Dikembangkan dari Perkuliahan Prof.Dr. hamid S Attamini, SH), Penerbit Kanisius, Yogyakarta. _______, 2007, Ilmu Perundang-Undangan 2, Proses dan Teknik Pembentukannya (Dikembangkan dari Perkuliahan Prof. Dr.A. Hamid S. Attamini, SH), Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Golding, M.P. (Columbia University), Editor, tt, The Nature Of Law, Readings In Legal Philosophy; Random House, New York. Gilissen, John dan Gorle, Frits, 2007, Sejarah Hukum Suatu Pengantar (Historische Inleiding tot het Recht), Cetakan Ketiga, PT Refika Aditama, Bandung Hadjon, Philipus M, dan Tatiek Sri Djatmiati, 2008, Argumentasi Hukum, Cetakan ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. _______ dkk, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction To The Indonesian Administrative Law), Cetakan ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services Hamidi, Jazim dan Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Kelsen, Hans, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai ilmu Hukum Deskriptif-Empirik (General Theory of law and state), Alih Bahasa, Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta. _______, 2008, Pengantar Teori Hukum (Pure Theory of Law), Pengantar Stanley L. Poulson, Penerbit Nusa Media, Bandung.
175
Llewellyn, K.N, t.t. Law and the ”Behavior Analysis”, In: Golding, M.P. Columbia University, editor. The Nature Of Law. New York: Random House. Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, Yogyakarta.
Andi
Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta. Mahfud, MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Cetakan Pertama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. _______, 2009, Politik Hukum, Edisi Revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Nasroen, M, 1986, Asal Mula Negara, Cetakan Kedua, Aksara Baru, Jakarta.
Marzuki, Mahmud, Peter, Penelitian Hukum, Cetaka Keenam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 2009, Membangun Dan Merombak Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta. Ridwan, HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Salman, H.R. Otje dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), PT. Refika Aditama, Bandung. Saraswati, LG, dkk, 2006, Hak Asasi Manusia, Filsafat –UI Press, Cetakan Pertama, Jakarta Sidharta, Arief, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori hukum, dan Filsafat Hukum( judul buku asli, Van Apeldoorns dengan judul artikel vilf Stellingen over Rechtsfilosofie), , Refika Aditama, Bandung. Siahaan, N.H.T., 2009, Hukum Lingkungan, Cetakan Kedua Edisi Revisi, Pancuran Alam, Jakarta. Sunggono, Bambang, 1994, Hukum Dan Kebijaksanaan Publik, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.
176
Soetami, Siti, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan Keenam, Refika Aditama, Bandung. Syaukani, Imam & A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2010, Hukum Keuangan Negara, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta Salman, otje dan Anthon F. Susanto, 2008, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), Cetakan Keempat, PT. Refika Aditama, Bandung. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soemantri, Sri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni: Bandung Subekti, R dan R. Tjitrosudibio, 1992, Kamus Hukum, Cetakan Kesebelas. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Syueb, Sudono, 2008, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah: Sejak Kemerdekaan Sampai era Reformasi, Cetakan Pertama, Laksbang Mediatama, Surabaya Strong, C,F, 1966, Modern Political Constitution, The English Languange Book Society and Sidgwick & Jackson Limited London Tjandra, Riawan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atna Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
Tjahjadi, S.P. Lili, 1991, Hukum Moral, Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika Dan Imperatif Kategoris, Kanisius, Jakarta. Usfunan, Johanes, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta. Usfunan, Johanes, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis (Orasi Ilmiah pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana Tanggal 1 Mei 2004), Denpasar.
177
Utama, Arya I Made, 2007, Hukum Lingkungan, Cetakan Pertama, Pustaka Sutra, Bandung.
Penerbit
Waluyo, Bambang, 1996, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta. Wheare, K.C, 1966, Modern Constitution, University Press, Oxford Widjaja, HAW, 2007, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Wibawa,Samodra, 1994, Kebijakan Publik: Proses dan Analisis, Jakarta: Intermedia, Jakarta Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Anonim, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum. Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Denpasar.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73)
178
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140).
C. Internet http://edipranoto.blogspot.com/2010/11/12/Syarat-keputusan.html?zx=7. Hadjon, Philipus M, Beleidsvrijheid dan Tanggung Jawab Pejabat Pemerintah, Makalah, www.appsi-online.com, tanggal 03/02/2011. Sumber
Kementerian Dalam Negeri, http://www.depdagri.go.id, Keputusan Menteri Dalam Negeri, tanggal 10/02/2011.
Daftar
Farida Indrati, Maria, 2004, Tanggapan Maria F. Indrati terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Parlemen.net, Available at: http://www.parlemen.net/site/idetails.php?guid=2adc2735b3b3db3lb7 Kalsoem, Sanny, tt, Pembaharuan Tertib Peraturan Perundang-Undangan Available from: http://unsur.ac.id/images/articles/FH.06_PEMBAHARUAN_TERTIB_P ERATURAN.pdf Wikipedia Bahasa Indonesia Ensiklopedia Bebas, 2008, Teori Stufenbau, Available from: http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Stufenbau