BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perputaran zaman dari masa kemasa membawa kehidupan masyarakat selalu berubah, berkembang menurut keadaan, tempat dan waktu. Oleh karena itu timbullah bermacam corak dan aneka ragam perbuatan kehidupan masyarakat, sehingga dapat saja timbul suatu perbuatan Undang-undang Hukum Pidana dilarang, karena dianggap tercela oleh pembentuk undang-undang.1 Dengan demikian semakin majunya zaman maka tentu saja pola fikir manusia juga semakin maju, dengan majunya teknologi yang dimi1iki tentu saja merupakan suatu kemajuan bagi masyarakat untuk mengenal berbagai kemajuan zaman. Dari hasil kemajuan zaman ini masyarakat tidak perlu lagi memikirkan kematian dirinya sendiri. Manusia sudah menempuh kematian tanpa melakukan penyiksaan terhadap dirinya. Apabila seseorang tidak dapat lagi menahan penderitaannya karena sakit maka dengan kemajuan peralatan
kedokteran
ia
dapat
meminta
kepada
dokter
untuk
menghilangkan jiwanya. 1
Abdoel Djamali, Pengantar Hukurn Indonesia, PT, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 21
Universitas Sumatera Utara
Permintaan untuk menghilangkan jiwa tersebut Ilmu Hukum Pidana dikenal dengan perbuatan euthanasia. Di mana euthanasia ini secara jelas di atur Pasal 344 KUHPidana: “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas perrnintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Ketentuan Pasal 344 KUHPidana ini merupakan suatu perbuatan yang menghilangkan jiwa orang lain yang harus dikenakan hukuman, untuk seorang dokter harus lebih berhati-hati untuk melakukan euthanasia tersebut. Adanya permintaan dari pasien untuk menghilangkan jiwanya maka dokter perlu dilindungi demi menjaga nama baik seorang dokter, di mana menjalankan tugas-tugasnya sehari-hari seorang dokter terikat dengan sumpah jabatan dan kode etik yang digariskan kepadanya. Peneliti berkeyakinan bahwa euthanasia bukan tidak pernah terjadi di Indonesia terutama apabila si pasien tidak mungkin lagi disembuhkan atau pengobatannya diberikan tidak berpotensi lagi. Kasus euthanasia ini dianggap tidak pernah terungkap. Euthanasia sekarang di sebut dengan Mercy Killing (mati otak) KUHPidana di atur Pasal 344. Adanya unsur permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, mengakibatkan sulitnya pembuktian penuntutan bahwa
Universitas Sumatera Utara
seorang dokter itu telah melakukan euthanasia, terlebih bila si pasien telah berada dalam keadaan incompetent (tidak mampu berkomunikasi) menyatakan kehendaknya, menolak atau menyetujui jiwanya dihilangkan, serta keadaan In a Persistent Vegetative State (mati tidak hidup pun tidak), bagaimana mungkin untuk membuktikan adanya permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati.2 Apabila kita memandang dari segi pandangan agama kematian itu bukanlah merupakan kehendak manusia akan tetapi dapat dinyatakan bahwa kematian itu sudah merupakan suatu kewajiban bagi orang yang hidup dan semua manusia yang hidup pasti akan menuju kematian. Adapun alasan-alasan dan faktor-faktor yang menyebabkan dokter melakukan euthanasia adalah sebagai berikut: 1. Adanya penyakit yang diderita pasien yang menurut dokter tidak dapat lagi di sembuhkan dan di mana si penderita atau keluarganya harus mengeluarkan biaya pengobatan yang besar dengan sia-sia saja. 2. Adanya rasa frustasi atau kegagalan hidup dari si pasien, sehingga si pasien tidak lagi ingin untuk hidup.3
2 3
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 19 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Di antara para sarjana terdapat perbedaan pendapat tentang jenis ataupun bentuk euthanasia, seperti halnya: 1. Vrijwillige euthanasia yang maksudnya euthanasia yang dilaksanakan dengan adanya permintaan yang nyata dan sungguhsungguh dari si pasien. 2. Onvrijwillige euthanasia yang maksudnya tidak adanya pennintaan yang nyata dan sungguh-sungguh dari si pasien. 3. Passieve euthanasia yang maksudnya hal ini tidak atau tidak lagi digunakan alat alat ataupun perbuatan yang dapat memperpanjang hidup si pasien. 4. Active euthanasia yang maksudnya itu menggunakan alat-alat ataupun perbuatan yang memperpendek hidup si pasien.4 Dr. H. Akbar mengemukakan, Euthanasia aktif dan euthanasia pasif, penderita gawat dan darurat dirawat di rumah sakit atau dibagian rumah sakit gawat darurat dengan peralatan yang majemuk untuk menolong jantung, pernapasan dan cairan tubuh, sehingga alat-alat tubuh itu dapat berfungsi dengan baik.5 Euthanasia aktif dilakukan dengan menghentikan segala alat-alat pembantu ini, sehingga jantung dan pernafasan tidak dapat bekerja dan akan berhenti berfungsi, atau memberikan obat penenang dengan dosis yang melebihi, yang juga akan menghentikan fungsi jantung. Euthanasia pasif di lakukan bila penderita gawat darurat tidak diberi obat sama sekali.
4
Soerjono Soekanto, “Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 47 5 Ibid. hal., 45
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian-uraian tersebut di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa euthanasia aktif maupun euthanasia pasif adalah merupakan pembunuhan secara langsung. Dr. R. Soeprono membagi euthanasia empat bentuk yaitu: 1. Euthanasia sukarela (Voluntary euthanasia) pasien meminta, membei izin/persetujuan untuk menghentikan atau meniadakan perawatan yang memperpanjang hidup. 2. Euthanasia terpaksa (Invulunturv eulfzunusiu) membiarkan pasien mati tanpa 3. sepengetahuan si pasien sebelumnya dengan cara menghentikan atau meniadakan perawatan yang memperpanjang hidup. 4. Mercy Killing sukarela (Volunturi Mercy Killing) dengan sepengetahuan dan 5. persetujuan pasien diambil tindakan yang menyebabkan kematian. 6. Mercy Killing terpaksa (Involunlari A1ercv Killing) tindakan sengaja di ambil tanpa sepengetahuan si pasien untuk mempercepat kematian. 6 Dengan demikian euthanasia mempunyai pengertian yang luas karena bukan hanya atas permintaan pasien saja, melainkan juga tanpa persetujuan pasien atau keluarga. Di Belanda, perumusan euthanasia dari Koniklijke
Nederlanclche
Matschuppij
Geneeskunst
(KNNG)
lebih
memandang euthanasia tersebut dari kepentingan si pasien: tersebut bersifat aktif (caution). Dari tindakan yang aktif ini seorang pasien akan mati dengan tenang, misalnya dengan memberikan injeksi dengan obat yang menimbulkan kematian, obat penghilang rasa kesadaran dosis yang tinggi dan lain-lain.
6
Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia Hak Azasi Manusia dan Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 54
Universitas Sumatera Utara
Antara jenis euthanasia yang pertama dengan yang ketiga ini, sama-sama didasarkan atas permintaan pasien atau keluarganya kepada dokter. Hanya saja pada jenis pertama dokter bersifat pasif, sedang pada jenis yang ketiga dokter lebih bersifat aktif bertindak untuk mempercepat terjadinya kematian. Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa dokter yang melakukan euthanasia tersebut perlu dilindungi mengingat profesinya sebagai dokter, dan perlindungan tersebut adalah perlindungan yang bersangkut paut dengan hukum. Berdasarkan paparan tersebut di atas penelitian akan di beri judul: "PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA TERHADAP PASIEN".
B. Permasalahan Dalam sebuah penelitian diperlukan adanya perumusan masalah yang akan dibahas. Adapun perumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pertanggungjawaban terhadap dokter yang melakukan Euthanisa ? 2. Bagaimanakah perlindungan terhadap dokter yang melakukan euthanisa ?
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Dalam rangka penyusunan skripsi ini penulis mempunyai tujuan yang hendak dicapai, sehingga penulisan ini akan lebih terarah serta dapat mengenai sasarannya. Tujuan utama daripada penulisan skripsi ini adalah sebagai sarana untuk melengkapi tugas akhir dan syarat untuk memperoleh gelar sarjana “Sarjana Hukum” dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selain itu, adapun tujuan lain daripada penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban dokter yang melakukan melakukan euthanasia dan sampai di mana tanggung jawab dokter yang melakukan euthanisa. 2. Untuk mengetahui apakah dokter yang melakukan euthanasia tersebut dapat (perlu dilindungi) dan perlindungan yang bagaimana dapat digunakan. Selain tujuan daripada penulisan skripsi ini, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Secara teoritis Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan yang cukup berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum, dan ilmu hukum pada khususnya, dan lebih khususnya lagi adalah di bidang hukum pidana. Selain itu, skripsi ini diharapkan juga dapat
Universitas Sumatera Utara
memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat ketentuan di bidang hukum pidana. 2. Secara praktis Melalui penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman yang lebih mendalam bagi aparat penegak hukum dan masyarakat sehingga akan lebih mengetahui apa saja yang menyebabkan dokter melakukan euthanasia. Serta dapat mengetahui sampai di mana tanggung jawab dokter yang melakukan euthanasia tersebut menurut KUHPidana, serta apakah dokter yang melakukan euthanasia tersebut dapat atau perlu dilindungi.
D. Keaslian Penulisan Tulisan yang berjudul Perlunya Perlindungan Hukum Bagi Para Dokter Yang Melakukan Euthanasia Terhadap Pasien merupakan hasil dari
penelitian
penulis.
Penulis
telah
melakukan
penelusuran
di
perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan tidak ada skripsi mahasiswa yang menulis tentang judul tulisan ini. Karena para mahasiswa belum ada yang menulis, maka tulisan ini asli dari buah pikiran penulis. Jika dikemudian hari telah nyata ada skripsi yang sama dengan skripsi ini, sebelum skripsi ini dibuat, maka saya akan bertanggung jawab sepenuhnya.
Universitas Sumatera Utara
E. Tinjauan Pustaka Euthanasia secara singkat dapat diartikan mati dengan tenang tanpa suatu penderitaan. 7Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya maka ilmu pengetahuan membedakannya tiga jenis kematian, yaitu: a. Orthothunasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah. b. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar. c. Euthanasia, yaitu suatu yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan.8 Kematian yang ketiga yaitu Euthanasia, mulai menarik perhatian dan mendapat sorotan dunia lebih-lebih setelah dilangsungkannya konfrensi hukum sedunia, yang diselenggarakan oleh World Pace Thorough Law Center di Manila (Pilipina) tanggal 22 dan 23 Agustus 1977.9 1. Pengertian Euthanasia Secara Agama Dilihat dari segi agama, baik Islam, Kristen, Katholik dan sebagainya, maka euthanasia merupakan perbuatan yang di larang, sebab masalah kehidupan dan kematian seseorang itu berasal dari penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi perbuatan-perbuatan yang
7
Parlaungan Ritonga, Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, Bartong Jaya, Medan, 2006. hal. 27 8 Ibid. 9 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
menjurus kepada tindakan penghentian hidup merupakan tindakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak dibenarkan. Agama Islam yang mayoritas dianut oleh Bangsa Indonesia jelas melarang euthanasia. Hadist Nabi Muhammad S.A.W. yang diriwayatkan oleh Annas r.a. menyebutkan sebagai berikut: Bahwa Rasullullah Pernah berkata: “Janganlah tiap-tiap orang dari kamu meminta-minta mati, karena kesukaran yang menimpanya. Jika memang sangat perlu dia berbuat demikian, maka ucapkanlah doa sebagai berikut: Ya Allah panjangkanlah umurku, kalau memang hidup adalah lebih baik bagiku, dan matikanlah aku menakala memang lebih baik bagiku.“10 Apabila jika dilihat dari bunyi hadist di atas, dinyatakan secara jelas bahwa euthanasia itu di larang ajaran Islam. Di samping itu masih banyak ayat-ayat suci Al Qur'an dan Hadist-hadist Nabi Muhammad lain yang melarang bunuh diri (suicide) yang mirip dengan euthanasia, misalnya karena kebosanan akan hidup dan umumnya karena takut akan tanggung jawab hidup. Tindakan demikian ini sangat diharamkan oleh Agama Islam, misalnya dalam Surat An Nisa ayat 29: “Hai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan curang, kecuali dengan cara perdagangan yang berlaku dengan suka rela diantaramu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang Padamu”. 11 Surat Al An'am ayat 15l: “Katakanlah! Marilah kubacakan apa-apa yang telah diharamkan Tuhan padamu, yakni: janganlah kamu mempersekutukan dia 10 11
Ibid., hal. 63 Al Qur'an dan Terjemahannyu, 1993, Departemen Agarna RI. hal. 65
Universitas Sumatera Utara
dengan sesuatupun, berbaktilah kepada kedua orang tuamu. Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka juga. Janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji dan terang maupun yang tersembunyi. Dan janganlah kamu buruk jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali karena sebab-sebab yang dibenarkan oleh syari'at. Begitulah yang diperintahkan Tuhan kepadamu supaya kamu memikirkannya”.12 Surat Al Isra' ayat 3l: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu juga. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar”.13 Surat A1 `Araf ayat 34: “Bagi tiap-tiap umat itu ada batas waktu tertentu (ajal/mati), sebab itu bila datang waktunya itu, mereka tidak dapat mengulurkan barang seketika maupun mempercepatnya. Jadi jelaslah terutama dari surat Al'Araf ayat 34 tersebut di atas diajarkan bahwa masalah mati dan hidup manusia itu ada di tangan Tuhan, sehingga manusia tidak dapat menentukannya. Ditinjau dari segi ajaran Agama Kristen (katholik dan Protestan) yang juga banyak di anut oleh bangsa Indonesia hal semacam ini yang diuraikan di atas pun merupakan suatu tindakan di larang. Di samping itu diajarkan pula bahwa soal hidup dan matinya seseorang berada di tangan Tuhan, misalnya Kitab Injil Perjanjian Baru karangan Martius Bab 6: “25.Sebab itu aku berkata kepadamu: janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan
12 13
Ibid., hal. 64 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian”. 26. Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya di dunia.14 Apabila dilihat dari ajaran ini dapat di ambil kesimpulan, bahwa masalah nyawa seseorang itu lebih penting dari hal-hal lainnya, dan hidup serta matinya seseorang itu ada di tangan Tuhan, manusia tidak akan dapat mempercepat ataupun memperlambatnya barang sedikit pun. 2. Pengertian Euthanasia Secara Pidana Dilihat dari segi perundang-undang dewasa ini belum ada peraturan yang baru dan lengkap tentang euthanasia ini menyangkut keselamatan manusia, maka harus di cari pengaturannya atau pasal yang sekurang-kurangnya mendekati masalah euthanasia adalah apa yang di atur Buku 11, Bab IX Pasal 344 KUHPidana. Sejarah pembentukan KUHPidana, pembentukan undang-undang pada zaman Belanda menganggap bahwa jiwa manusia sebagai milik yang paling berharga dibanding milik manusia lainnya, sebab itu setiap perbuatan itu mengancam keamanan dan keselamatan jiwa manusia, dianggap sebagai kejahatan besar oleh negara. Dilihat dari aspek Hukum Pidana, euthanasia aktif maupun euthanasia pasif apapun di larang, euthanasia akfif maupun euthanasia
14
Martius, Kitab Injil Perjanjian Baru, Departemen Agarna RI. 1993, hal. 67
Universitas Sumatera Utara
pusif atas permintaan, dilarang menurut Pasal 344 KUHPidana, yang berbunyi: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara selama lamanya dua belas tahun. Bunyi pasal ini dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain walaupun atas permintaan orang itu sendiri. Dengan demikian euthanasia mempunyai pengertian yang luas karena bukan hanya atas permintaan pasien saja, melainkan juga tanpa persetujuan pasien atau keluarga. Di Belanda, perumusan euthanasia dari Koniklijke
Nederlanclche
Matschuppij
Geneeskunst
(KNNG)
lebih
memandang euthanasia tersebut dari kepentingan si pasien: tersebut bersifat aktif (caution). Dari tindakan yang aktif ini seorang pasien akan mati dengan tenang, misalnya dengan memberikan injeksi dengan obat yang menimbulkan kematian, obat penghilang rasa kesadaran dosis yang tinggi dan lain-lain. Antara jenis euthanasia yang pertama dengan yang ketiga ini, sama-sama didasarkan atas permintaan pasien atau keluarganya kepada dokter. Hanya saja pada jenis pertama dokter bersifat pasif, sedang pada
Universitas Sumatera Utara
jenis yang ketiga dokter lebih bersifat aktif bertindak untuk mempercepat terjadinya kematian.
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penulisan dalam skripsi ini, tentunya akan melakukan penelitian untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Hal ini akan menggunakan metode penelitian yang bersifat normatif. Hal ini ditempuh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan (library research), atau biasa dikenal dengan sebutan studi kepustakaan, walaupun demikian penelitian dimaksud tidak lepas pula dari sumber lain selain sumber kepustakaan, yakni penelitian terhadap bahan media massa ataupun dari internet. Penelitian kepustakaan yang normatif adalah penelitian dengan mengolah dan menggunakan bahan hukum primer dan juga bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan aspek hukum pidana yang berkaitan dengan masalah Euthanasia.
2. Alat Pengumpul Data Materi dalam skripsi ini diambil dari bahan hukum seperti yang dimaksudkan di bawah ini :
Universitas Sumatera Utara
a. Bahan hukum primer, yaitu : Berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang, Dalam tulisan ini antara lain adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu: Bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer, dan dapat digunakan untuk menganalisa dan memahami bahan hukum primer yang ada. Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang Ethanasia, seperti hasil seminar atau makalah para pakar hukum kesehatan, surat kabar, majalah, dan juga sumbersumber dari dunia maya internet yang tentunya memiliki kaitan erat dengan persoalan yang dibahas. c. Bahan Hukum Tertier atau penunjang, yang mencakup kamus bahasa, untuk pembenahan tata bahasa Indonesia dan juga sebagai alat bantu pengalih bahasa beberapa literatur asing.15
3. Analisa Data Bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan tersier yang telah disusun secara sistematis sebelumnya, kemudian
15
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 47
Universitas Sumatera Utara
akan dianalisis secara perspektif atau menggunakan analisis perspektif dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:16 a. Metode kualitatif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun data-data yang telah diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan, dan diteliti sedemikian rupa sebelum dituangkan dalam menarik satu kesimpulan akhir. b. Metode kuantitatif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya tidak perlu diragukan lagi, dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.
G. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini, dalam garis besarnya akan dibagi ke dalam 5 (lima) bab yang saling berhubungan satu dengan lainnya, mulai dari bab Pendahuluan, bab Tanggung jawab Dokter yang Melakukan Euthanasia Menurut KUH Pidana, bab Perlindungan Dokter Yang Melakukan Euthanasia
16
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Suatu Pengantarr, (Jakarta : Penerbit PT. Raja Grafmdo Persada, 2003), hal 10-11.
Universitas Sumatera Utara
bab Penutup. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. BAB I yaitu Pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah yang menjadi dasar penulisan skripsi. Kemudian berdasarkan kepada latar belakang masalah
dan
penulisan
tersebut,
dibuatlah
perumusan
tujuan penulisan. Selain itu, dalam bab ini juga
diterangkan mengenai keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. 2. BAB II yaitu Tanggung jawab Dokter yang Melakukan Euthanasia Menurut KUH Pidana, yang membahas mulai dari tanggung jawab dokter dalam profesi sampai dengan tanggung jawab dokter yang melakukan Euthanasia menurut KUHPidana. 3. BAB III yaitu, Perlindungan Dokter Yang Melakukan Euthanasia, yang membahas mulai dari Perbuatan Euthanasia yang dapat dilindungi dan bagaimana perlindungan hukumnya. 4. BAB IV yaitu PENUTUP, yang berisikan mulai dari Kesimpulan dan Saran
Universitas Sumatera Utara