1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penilitian Menguatnya budaya kekerasan dekade belakangan ini, hampir di seluruh dunia menggambarkan bahwa peradaban modern dan globalisasi masih menyisakan problem panjang. Menurut Giddens (2009:xviii), bahwa globalisasi bukanlah sebuah proses tunggal, namun perpaduan proses yang kompleks yang sering kali berjalan secara bertentangan sehingga menimbulkan konflik perpisahan dan bentuk-bentuk stratifikasi baru. Selanjutnya globalisasi
merupakan efek
jarak
jauh
(time-space
distanciation). Artinya bahwa, apa yang terjadi di belahan bumi, bisa membawa efek pada belahan bumi yang lain. Intinya bahwa kehidupan masyarakat global saat ini dihadapkan pada pluralitas kebudayaan yang saling mempengaruhi, yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Globalisasi juga acapkali membawa stream of influence dari satu belahan dunia ke belahan dunia yang lain, baik secara kasat mata maupun terselubung dalam ilmu pengetahuan. Dalam tulisannya yang bertajuk “Democracy as a Universal Value” Amartya Sen (1999:57), menyebut bahwa di antara berbagai perkembangan hebat yang terjadi di abad ke-20 dan merupakan perkembangan yang paling nyata adalah kebangkitan demokrasi. Meski gagasan dasar demokrasi berawal dari Yunani Kuno lebih dari dua milenium silam, namun gagasan demokrasi hadir sebagai
suatu
komitmen
universal.
Bahmuler
(Winataputra,
2005:16),
2
mengemukakan ada empat faktor
yang dapat mempengaruhi perkembangan
demokrasi di suatu negara yaitu, “…The degree of economic development, historical experience, elemens of civic culture, and a sence of national identity”. Dalam pandangan yang lain Fukuyama (2004: xii), mengungkapkan bahwa ketika masa depan dunia diwarnai oleh peperangan dan perlombaan senjata, maka dunia akan kembali mejadi zaman “barbar” yang tidak mengenal peradaban intelektual dan politik yang demokratis. Fenomena-fenomena tersebut menarik, dimana dengan merebaknya gagasan demokrasi dan kebebasan yang melanda dunia saat ini, telah menyadarkan banyak pihak. Bangsa Amerika yang merupakan pionir otoritas demokrasi (democratic nation), terakhir banyak dicerca dan dikecam terkait dengan kebijakan politiknya, yang justru kontra produktif dengan nilai-nilai yang seringkali disuarakan mereka baik oleh negara dan bangsa lain karena propaganda politiknya atas Irak, Korea Utara dan Kuba. Tidak hanya cukup sampai di situ, protes dan kritik juga dituai dari rakyat Amerika sendiri yang menganggap bahwa kebijakan Presiden Amerika Serikat George. W. Bush memang anti kemanusiaan. Tesis menarik muncul dari seorang pemikir dan intelektual Kristen Koptik Mesir, Millad Hanna peraih “Nobel Perdamaian”, berkat usaha-usaha perjuangannya di bidang HAM sebagaimana dalam bukunya, Qabulul Akhar; Min Ajli Tawashuli Hiwaril Hadlharat, mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat sangat dipengaruhi oleh imajinasi-imajinasi Amerika Serikat sendiri yang dihasilkan dari teori-teori; seperti teori benturan peradaban, hingga teori-teori kelas dan ekonomi-nya Karl Marx. Selanjutnya bagi Hanna,
3
hadirnya teori-teori tersebut telah ikut menyumbang bagi terpeliharanya dan berkembangnya budaya kekerasan hampir di seluruh dunia, bahkan kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat sekalipun (http://gazali.wordpress.com) Di penghujung tahun-tahun terakhir, jenis konflik baru berupa; perang saudara, pemberontakan bersenjata, gerakan separatis dengan kekerasan, dan peperangan domestik lainnya menjadi semakin mengemuka. Menurut Harris dan Reilly (2000:11-12), bentuk-bentuk konflik yang terjadi, baik konflik di dalam negara atau diluar wilayah negara, yang sering terjadi tergabung dalam dua elemen kuat. Elemen yang pertama adalah masalah identitas; yaitu mobilisasi orang-orang dalam kelompok-kelompok identitas komunual yang didasarkan ras, agama, kultur , bahasa, dan seterusnya. Kedua adalah masalah distribusi; yaitu cara untuk membagi sumber daya ekonomi, sosial dan politik, dalam sebuah masyarakat. Ketika distibusi yang dianggap tidak adil di lihat bertepatan dengan perbedaan identitas (dimana misalnya suatu kelompok agama kekurangan sumberdaya tertentu yang di dapat kelompok lain), kita menemukan potensi konflik. Bagaimanapun konflik yang terjadi jelas tidak menguntungkan bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Jika ada konflik, pastilah timbul ketidakaturan politik dan sosial. Konflik adalah aspek intrisik dan tidak mungkin di hindarkan dalam perubahan sosial. Konflik adalah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul akibat formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial. Winataputra (2005: 8), mengatakan bahwa dalam kehidupan ini perubahan merupakan suatu keniscayaan karena tidak ada
4
yang tetap kecuali perubahan. Perubahan merupakan bagian yang melekat dalam kehidupan manusia dan niscaya terjadi secara terus menerus. De Tocqueville (1805-1859), mengatakan bahwa demokrasi bisa tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat baru di Amerika karena peran yang sangat besar dari civil society yang berwujud organisasi-organisasi sukarela yang di buat warga komunitas seperti gereja, dewan kota, gilda-gilda ekonomi, kelompok budaya, dan klub debat (http://www.tempo.co.id). Sementara menurut Hefner, (Gatara dan Said, 2007:204), keberhasilan demokrasi sangat bergantung pada sumber daya kultural setempat. Selain faktor sumber daya, juga tergantung pada tradisi dan organisasi yang mampu mentranformasikan hakikat demokrasi pada masyarakat. Karena itu, kemajuan demokrasi dapat dipahami dengan mempelajari tiga unsur utamanya yaitu; pertama, reformasi negara dan insitusi-insitusinya, kedua, peraturan dan undang-undang (rule of law). Ketiga, kultur demokrasi. Menurut Umar (2009:1), Budaya demokrasi di Indonesia harus di bangun dari atas (top down) dengan memberi contoh dan teladan yang baik dalam praktik berdemokrasi dan berpolitik. Selanjutnya pada saat yang sama terus ditingkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, memberi pencerahan (enlightenment), kesadaran (awareness) dan pentingnya pengamalan demokrasi secara terus menerus kepada seluruh bangsa ini sehingga demokrasi menjadi tradisi dan pada akhirnya menjadi budaya di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terkait dengan permasalahan pengembangan demokrasi di persekolahan, maka kultur sekolah harus mencerminkan konsep pendidikan yang sistemik dan
5
koheren. Upaya sistimatis dan sistemik mencakup pemahaman tentang; cita-cita, nilai, konsep, dan prinsip demokrasi, melalui interaksi sosial kultural dan psikopedagogis yang demokratis. Proses pengembangan wahana demokratisasi yang mencakup; cita-cita, nilai, konsep dan prinsip demokrasi dalam diri siswa, menurut Winataputra (2005:2), dilakukan melalui program pendidikan formal, nonformal dan informal, memerlukan perangkat pengalaman belajar (learning experiences), seperti kurikulum/program belajar dan pembelajaran yang secara programatik. Untuk itu diperlukan upaya sistematis dan sistemik untuk merancang kurikulum dan pembelajaran yang secara konseptual menjadi wahana pendidikan demokrasi dalam konteks pembangunan masyarakat yang demokratis. Pembangunan warga negara yang demokratis di tingkat persekolahan itu sendiri menjadi tantangan dalam menumbuhkan budaya demokrasi (Cultur of Democracy). Nilai-nilai kebebasan, nilai-nilai kejujuran, dekadensi moral, toleransi antar umat beragama, sikap saling menghargai antara guru dan siswa , perdamaian telah tercerabut dari akarnya, hal ini diindikasikan bahwa pendidikan disekolah belum memberikan kontribusi yang positif dalam upaya memberikan pencedasaan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Yang menjadi salah satu faktor yang dapat mempengauhi tumbuh dan berkembangnya cultur of democracy adalah pengalaman masa lampau yang hidup di lingkungan masyarakat yang tidak demokratis atau undemocratic. Dalam citizenship transmission tradition, nilai-nilai tertentu yang dipandang sebagai ”nilai-nilai yang baik” ditanamkan dalam upaya untuk mengajarkan siswa menjadi warganegara yang baik. Dari laporan temuan Kerr
6
(1999:11) terdapat tiga bentuk kontinum yang dikonseptualisasi
dalam tiga
pendekatan “citizenship education” yaitu; 1). Education About Citizenship focus on providing student with sufficient knowledge and understanding of national history and the structure and process of government and political life. 2). Education Through Citizenship involves student learning by doing, through active, participative experiences in the school or in local community beyond. This learning reinforces the knowledge component. 3). Education For Citizenship,encompasses the order two stands and involves equipping student with a set of tool (knowledge and understanding, skills and attitudes, value and disposition) wich anabel them to participate avtively and sensibly in the roles and responsibililities they encounter in their adult lives. This links citizenship education with the whole education experience of student.
Sejalan dengan Pandangan David Kerr diatas, Winataputra menjelaskan bahwa PKn sebagai “education about democracy” hanya dapat menghasilkan orang tahu demokrasi tetapi tidak mampu bersikap dan berprilaku demokratis. Sementara itu PKn sebagai “education in democracy” dapat menghasilkan orang yang tahu, mau, dan mampu hidup berdemokrasi. Sedangkan PKn sebagai “education for democracy” sangat potensial menghasilkan orang yang bukan saja tahu, mau, dan mampu hidup berdemokrasi, tetapi juga mau dan mampu memperbaiki kehidupan demokrasi secara terus menerus. Secara psiko-pedagogis dan sosio-andragogis perubahan paradigma kontinum-konsentris tersebut berlangsung secara “developmental” dalam arti bertahap-berkelanjutan dan kontekstual. Menurut Winataputra (2005:25), secara implisit
kontinum-konsentris
“education
about
democracy”
(minimal),
“education in democracy” (moderate), dan “education for democracy” (maximal), dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda
7
untuk mengambil peran dan tanggung-jawabnya sebagai warganegara. Secara khusus, peran pendidikan termasuk didalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar dalam proses penyiapan warganegara tersebut. Pendidikan adalah
sebuah peoses pembebasan dan memanusiakan.
Argumentasi ini dikembangkan oleh Paulo Fraire, sebagai bentuk pencerahan yang dapat kita temukan, yakni; Pendidikan ditujukan pada kaum tertindas dengan tidak berupaya menempatkan kaum tertindas dan penindas pada dua kutub berseberangan; (1) Pendidikan adalah suatu kampanye dialogis sebagai suatu usaha pemanusiaan secara terus- menerus. Pendidikan bukan menuntut ilmu, tetapi bertukar pikiran dan saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang merupakan hak bagi semua orang tanpa kecuali. (2) Kesadaran dan kebersamaan adalah kata-kata kunci dari pendidikan yang membebaskan dan kemudian memanusiakan (http://dir.groups.yahoo.com). Fakta empiris menunjukan bahwa, paradigma pendidikan yang dianut pada masa orde baru adalah “pendidikan untuk pembangunan” sehingga selama lebih dari 30 tahun, membawa dampak terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat (Siagian, 2009:150). Kondisi ini memuncak ketika kran reformasi dibuka. Akibatnya terjadi krisis sosial-kultur di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara jujur harus diakui, selama bertahun-tahun dunia pendidikan kita terjebak dalam suasana fasis, terpasung dalam cengkraman rezim penguasa otoriter, tersisih di antara hiruk-pikuk, ingar-bingar ambisi yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi serta daya saing bangsa.
8
Perlu disadari bahwa pengetahuan itu sendiri bukan sesuatu yang bebas nilai, akan tetapi terkandung sejumlah paradoksi humanitas yang membahayakan. Sebagaimana saran Freire, kita perlu merenungkan hakikat kemanusiaan sebagai tumpuan dan tujuan dari seluruh proses pendidikan. Sebab, pendidikan pada hakikatnya adalah bagaimana mengantarkan manusia pada inti kemanusiaan itu sendiri. Pendidikan dituntut sebagai pengembangan sumber daya manusia yang didalamnya memiliki; kecerdasan kognitif, afektif dan psikomotor. Jika masingmasing dimensi ini dipisahkan maka eksistensi kemanusiaan akan terpotongpotong, tak ubahnya makhluk lainnya di muka bumi. Akibatnya, dia menjadi monster bagi kehidupan; merusak, dan menodai sejarah. Dalam proses pembelajaran di kelas, antara guru dan siswa merupakan proses sosalisasi yang dimaknai menjadi relasi (hubungan) interpersonal. Hubungan ini terjalin secara terbuka dan harmonis baik di dalam atau di luar kelas, dengan berorientasi pada satu tujuan. Tujuan dimaksudkan adalah menumbuh-kembangkan sikap relasi positif di kalangan siswa yang berbeda etnis. Menurut Sukirman (Zakso, 2006:55), untuk menciptakan dan meningkatkan relasi interpersonal diperlukan adanya jam-jam bertemu (contact-hours) antara guru dan siswa, sehingga dapat dikembangkan komunikasi dua arah. Guru dapat bertanya untuk mengungkapkan keadan siswa, sebaliknya siswa dapat mengajukan berbagai persoalan dan hambatan yang dihadapi sehingga terjadi interaksi dan komunikasi yang humanistik. Terkait dengan relasi antar etnik siswa, hubungan antar etnik maupun antar ras hanya bisa terjadi ketika setiap kelompok etnik terlibat dalam pertukaran
9
sosial, kerjasama persaingan dan konflik. Keterlibatan setiap kelompok etnik ini dibatasi oleh faktor status, peran, kelompok, jaringan interaksi dan insitusi sosial. Betapa banyak orang tidak menyadari kalau hubungan antaretnik sudah dan akan terus berlangsung dalam kehidupan bersama dalam masyarakat (Karliani, 2009:52). Perbedaan-perbedaan dalam konteks budaya, ideologi dan lain-lain harus diluruskan sehingga tidak menjadi bias dalam mengelolah dan memberdayakan kehidupan sosial. Menurut Supardan (2008:19) perbedaan manusia yang kita lihat sering hanya atas outside-size saja, seperti warna kulit, bentuk ketajaman mata, tekstur rambut, dan sebagainya yang tidak tertanding oleh perbedaan yang ada di dalamnya. Untuk itu hubungan antar etnis harus dipahami dan mendapat pengakuan, penghargaan dan keadilan terhadap etnis minoritas. Tidak ada budaya yang bebas dari persaingan dan perubahan. Konflik kelas, gender, generasi dan konflik lainnya, mewabah dalam semua masyarakat dan berusaha menemukan ekspresi budaya yang sesuai. Linda Colley (1992; Parekh, 2008:209), dengan jelas menganalisa bagaimana pemahaman diri budaya Inggris, berubah secara mendalam karena peperangan Napoleon. Kebudayaan masyarakat juga berubah sebagai tanggapan terhadap beberapa faktor-faktor lain, seperti teknologi, penaklukan perang dan bahkan bencana alam. Sejatinya ada dua strategi yang harus dimatangkan terhadap pencegahan konflik di Indonesia. Pertama adalah strategi kultural, strategi kultural akan efekftif dalam jangka panjang, hal ini karena yang menjadi fokusnya adalah relasi budaya yang pluralis yang benar-benar matang dan subtantif memerlukan waktu
10
yang panjang. Tetapi jika kita melihat efektivitas pencegahan konflik dalam jangka pendek maka sesungguhnya strategi struktural merupakan pencegahan yang paling efektif di dunia, karena kekerasan acapkali di sulut oleh ketidakadilan yang disebabkan oleh ketimpangan sosial dan ekonomi. Pada satu sisi faktor yang berhubungan dengan identitas, bercampur dengan konflik atas pendistribusian sumber daya seperti; wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek lapangan kerja dan seterusnya, sering kali menjadi ancaman besar terhadap stabilitas dan perdamaian baik pada tingkat individu, lokal ataupun tingkat keamanan internasional. Menurut Harris dan Reilly (2000:13), Konflik dalam negara karena “identitas” cenderung lebih bertahan dalam jangka panjang, silih berganti antara fase laten dengan ledakan kekerasan yang bertahan selama priode beberapa tahun atau dekade. Lebih lanjut dikemukakan bahwa yang membuat konflik seperti ini sangat umum, sangat nyata, sangat awet, dan sangat sulit dipecahkan karena isu yang dipertikaikan ini sangat emosional. Fakta menunjukan bahwa meluasnya konflik horisontal, antar suku, etnik, agama, yang berakar dari adanya ketidakadilan sosial oleh para elite-elit politik, melanda Maluku Utara. Konflik yang melanda Maluku Utara adalah konflik yang memiliki dua dimensi yakni; pertama konflik horizontal antar etnik yang bernuansa ”SARA”, dan kedua konflik bernuansa politik yang bernama “Pilkada”. Dimensi konflik yang melanda Maluku Utara adalah konflik yang bersifat destruktif, bentuk kehancuran pada semua sisi seperti tatanan sosial dan fisik (Susan, 2008:7). Sejarah konflik di Maluku Utara, terjadi jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Menurut Ruyadi (2008:66), bahwa pertentangan antar agama Islam dan
11
Kristen, sebenarnya terjadi sejak 127 tahun yang lalu. Tepatnya sejak para penyebar agama Kristen memulai misinya pertama kali di Tobelo Halmahera Utara, sejak itulah kemudian terjadi perebutan wilayah antara agama Kristen dan Islam, persaingan ini kemudian terjadi hingga sekarang. Selanjunya menurut data United Nation Developmen Program-Badan Perencanaan Nasional (UNDP-Bappenas), menunjukkan bahwa pada periode 1990 hingga 200, konflik dengan kekerasan di Indonesia mengakibatkan kematian 10.758 orang, dengan proporsi terbesar yaitu; konflik yang bersifat etno-komunal (antar etnik, agama dan sekte agama) sebesar 89.3 persen atau menelan 9.612 korban. Konflik terjadi di 14 propinsi dimana kasus tertinggi terjadi di Maluku Utara (72 insiden dan 2.794 korban jiwa); Maluku (332 insiden dan 2.046 korban jiwa) dan Kalimantan Barat (78 insiden dan 1.515 korban jiwa). Selain fakta yang telah diuraikan diatas, dalam penelitian ini didukung pula oleh hasil-hasil penilitian-penilitian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan perkembangan pendidikan demokrasi dalam relasi antaretnik di daerah pasca konflik antara lain sebagai berikut: 1. Hasil penelitian Isnarmi Moeis tahun (2006:1), menguraikan isu-isu pokok konflik yang dominan dalam hubungan antar etnik dalam masyarakat plural, yakni: (1). Konflik antar warga yang berbeda agama, Islam dan Kristen (kasus Ambon dan Poso. (2) Konflik yang bermuatan ideologi, mengarah pada separatism (kasus Ambon). (3) Pertikaian antar preman dari kelompok yang berbeda agama (kasus Ambon dan Poso). (4) Persaingan Politik di tingkat lokal antara kelompok yang bebeda agama (kasus Poso). (5) Perluasan konflik
12
antar agama karena aktifitas para provoktor (kasus Ambon,Sambas,Sampit, dan Poso). (6) Konflik bernuansa budaya terutama antara kelompok pendatang dengan kelompok yang telah lama menempati wilayah (baca penduduk Asli). Kasus (Ambon awal, serta sampit) 2. Karliani Eli (2009:248), menyimpulkan bahwa konflik antaretnik sudah menjadi bukti bahwa ada hambatan dalam pembinaan masyarakat multikultural seperti sikap steorotif dan etnosentrisme dan fanatisme etnik atau agama. Bentuk pembinaan masyarakat multikultural dilakukan oleh pemerintah adalah melalui himbauan moral dari aparat pemerintah, dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial dan budaya. Yang perlu dihindari dalam merespon keberagaman adalah sikap eksklusifisme dan fanatisme etnik yang sempit. Fanatisme etnik yang sempit akan memberikan peluang terjadinya konflik karena sikap steorotife dari kelompok etnik yang berbeda. 3. Nani I Rajaloa (2009:231), menguraikan pasca konflik etnik Maluku Utara masyarakat mengalami perubahan dari berbagai segi kehidupan yakni segi sosial budaya, ekonomi, politik keamanan dan lain-lain. Nilai-nilai budaya yang telah menyatuhkan masyarakat selama bertahun-tahun mulai terkikis, sehingga ini menjadi ancaman serius terancamnya integrasi sosial masyarakat dan bahkan mengancam integrasi nasional. Solidaritas sosial dan primordial, baik didasarkan etnik atau agama sangat kuat dalam masyarakat, ini terbukti dari mudahnya provokator mengerakan massa untuk melakukan tindakan kekerasan melalui isu yang menyentuh kepentingan atau harga diri kelompok.
13
4. Brigham (1993; Karliani, 2009: 10), menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara kontak antara kelompok mahasiswa kulit putih dan mahasiswa kulit hitam dengan derajat keintiman relasi antaretnik. Makin sering kontak positif antara kedua mahasiswa tadi akan makin positif relasi antar kelompok etnik tersebut. 5. Ellison dan Powers (1994; Karliani, 2009:10), yang menganalisis data ”The National Survey of Black American” menunjukkan bahwa frekuensi kontak antar kelompok orang kulit hitam dengan orang kulit putih dapat membangun secara positif kekerabatan antaretnik (interracial friendship) 6. Dadang Supardan (2004:), Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, Global, untuk Integrasi Bangsa (Studi Kuasi Eksperimental terhadap Siswa Sekolah Menengan Umum di Kota Bandung), hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa pengaruh pembelajaran multikultural terhadap interaksi antar etnis (29,92%), merupakan pengaruh yang terbesar. 7. Amrozi Zakso (2006:1), menguraikan bahwa secara partial lingkungan sekolah tidak berpengaruh signifikan terhadap identitas keetnisan siswa, sedangkan lingkungan teman sebaya tidak berpengaruh terhadap
relasi antar etnis.
Lingkungan keluarga ternyata mampu membentuk identitas keetnisan yang kuat pada diri siswa, sehingga mempengaruhi relasi siswa yang bersangkutan dengan etnis lain. Selanjutnya ketidakmampuan sekolah berkontribusi secara signifikan terhadap pembentukan identitas keetnisan disebabkan iklim sekolah belum berorientasi pada pembelajaran yang multikultural.
14
Pluralisme masyarakat Ternate adalah realitas yang tidak dapat di pungkiri. Fakta pluralisme yang terkandung dalam entitas Ternate, menjadikannya pantas disebut sebagai “Kota Lintas Etnis”. Selain etnis lokal yang merupakan penduduk asli Ternate, didalamnya terdiri dari etnis besar seperti; Tidore, Makian, Kayoa, Tobelo,Galela, Sanana, dan lain-lain, yang kurang lebih dua puluh sub etnis. Kota Ternate juga dihuni oleh beberapa entis pendatang seperti; etnis Gorontalo/Manado, Makasar, Jawa, Sumatra,dan sebagainya. Dari penyebaran etnis tersebut maka Kota Ternate, yang merupakan daerah bekas konflik horisontal baik agama maupun etnis, tentu dalam membangun budaya demokrasi dalam relasi antar etnik memunculkan sikap fanatisme yang berlebihan. Hal ini dibuktikan terutama pada “pesta demokrasi” yang melibatkan kandidat dari berbagai identitas dan didukung dengan sikap fanatisme berlebihan terhadap kandidat tertentu (patron) akan membuka jalan bagi tumbuhnya konflik yang mengarah pada kekerasan dalam masyarakat komunal. Mengapa relasi atau hubungan antar etnik sangat penting ? karena pasca konflik etnik, streotipe dan prasangka cendrung mendominasi dalam anggota masyarakat. Hal ini sebagaimana dinyatakan Duverger (1985:354) seorang ahli sosiologi-politik Prancis dalam bukunya The Study of Politics, berkaitan dengan pentingnya interaksi sesama manusia, lebih jauh menyatakan bahwa “interaksi” pada hakekatnya merupakan suatu naluri yang paling dalam yang mendorong para anggotanya untuk hidup bersama. Lippman (1922: 1-16), yang merupakan orang pertama merumuskan konsep stereotipe dalam bukunya Public Opinion, menyatakan bahwa stereotipe
15
adalah gambaran di kepala yang merupakan rekonstruksi dari keadaan lingkungan yang disederhanakan secara negatif (Supardan, 2004:63). Streotipe dan prasangka ini, sering melahirkan tindakan - tindakan yang dapat merusak hubungan antar etnik serta nilai-nilai tatanan kehidupan yang telah terbina. B. Rumusan Masalah Penilitian Bertolak dari latar belakang masalah diatas, dapat peneliti rumuskan masalah penilitian sebagai berikut: “Bagaimana pengembangan budaya demokrasi dalam relasi antar etnik siswa di SMA Negeri 1 Kota Ternate pasca konflik ? Berdasarkan masalah pokok penelitian di atas, dapat peneliti jabarkan ke dalam sub-sub masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah proses pengembangan budaya demokrasi dalam pembentukan relasi antar etnis siswa di SMA Negeri 1 Kota Ternate pasca konflik ? 2. Bagaimana relasi antar siswa yang berbeda etnik dalam pengembangan budaya demokrasi di SMA Negeri 1 Kota Ternate pasca konflik ? 3. Bagaimana upaya guru mengatasi hambatan pengembangan budaya demokrasi dalam relasi antar etnik siswa di SMA Negeri 1 Kota Ternate pasca konflik ? 4. Bagaimana dampak pengembangan budaya demokrasi dalam pembentukan prilaku antar siswa di SMA Negeri 1 Kota Ternate pasca konflik ? Sub-sub masalah diatas, selanjutnya peneliti jadikan sebagai pertanyaan pokok penilitian.
16
C. Tujuan Penilitian 1. Tujuan Umum Secara Umum, tujuan penilitian ini adalah mencarai informasi dan mengkaji bagaimana pengembangan budaya demokrasi dalam relasi antar etnik siswa dilaksanakan oleh guru Pkn di SMA Negeri 1 Kota Ternate pasca konflik. 2. Tujuan Khusus. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan mengetahui informasi tentang: 1. Proses pengembangan budaya demokrasi dalam pembentukan relasi antar etnis siswa di SMA Negeri 1 Kota Ternate pasca konflik. 2. Relasi antar siswa yang berbeda etnik dalam pengembangan budaya demokrasi di SMA Negeri 1 Kota Ternate pasca konflik. 3. Upaya guru mengatasi hambatan pengembangan budaya demokrasi dalam relasi antar etnik siswa di SMA Negeri 1 Kota Ternate pasca konflik . 4. Dampak pengembangan budaya demokrasi dalam pembentukan prilaku antar siswa di SMA Negeri 1 Kota Ternate pasca konflik. D. Manfaat dan Kegunaan Penilitian Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan: 1. Dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dan menambah justifikasi bagaimana teori PKn dapat menjelaskan secara koseptual-teoritis tentang fenomena budaya demokasi dalam relasi antar
17
etnik siswa yang terjadi pasca konflik di Kota Ternate dan Maluku Utara umumnya. 2. Dapat
menemukan
fakta-fakta/konsep-konsep
untuk
mengukuhkan
pendidikan harmoni pada civic community 3. Dapat mendukung hasil penelitian yang sebelumnya sehingga dapat memperkaya khasanah ilmu yang dikajinya.
Secara praktis penelitian ini bermanfaat: 1. Sebagai bahan konstribusi bagi para akademisi atau komunitas akademik, khususnya
dalam
bidang
pendidikan
kewarganegaraan
ke
arah
pengembangan warga negara berbudaya demokratis, humanis, yang bermoral, dan bertanggung jawab (responsibility) 2. Sebagai masukan bagi semua pengambil kebijakan di Pemerintah Daerah Kota Ternate, khususnya terkait dengan program pengembangan, pembinaan, serta pemberdayaan warga negara dalam meminimalisir ketegangan konflik yang dapat mengancam bangunan perdamaian. E. Definisi Konseptual Dalam judul penelitian ini, terdapat enam konsep utama, yakni: (1) Budaya (2) Demokrasi (3) Budaya Demokrasi (4) Relasi Antaretnik, (5) Konflik 1. Budaya Menurut
pandangan
Greetz
(Sutrisno
dan
Putranto,
2005:212)
memandang budaya adalah suatu dimensi yang aktif dan konsitutif dari kehidupan sosial dari pada sekedar mekanisme penjamin integrasi sosial. Almond dan Verba (Gafar, 2006:99), menjelaskan bahwa budaya merupakan sikap individu terhadap sisitem politik dan komponen-komponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik. Selanjutnya antara
18
budaya demokrasi dan politik ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. 2. Demokrasi Menurut Winataputra dan Budimansyah (2007: 200) dalam “The Advanced Learner’s Dictionary of Current English
(Hornby, dkk: 261)
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan “democracy” adalah : (1) Country with principles of government in which all adult citizens share through their ellected representatives; (2) country with government which encourages and allows rights of citizenship such as freedom of speech, religion, opinion, and association, the assertion of rule of law, majority rule, accompanied by respect for the rights of minorities. (3) society in which there is treatment of each other by citizens as equals” Pengertian tersebut tampak pengertian bahwa kata demokrasi merujuk pada konsep kehidupan negara atau masyarakat dimana warganegara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih; pemerintahan yang mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara, beragama, berpendapat, berserikat, menegakan ”rule of law”, adanya pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas; dan masyarakat yang
warga
negaranya saling memberi perlakuan yang sama. 3. Budaya Demokrasi. Dari kedua pandangan diatas maka yang dimaksud dengan budaya demokrasi dalam penelitian ini adalah “Sebuah pengakuan terhadap keseluruhan proses interaksi yang didasarkan pada habituasi atau kebiasaan warganegara (siswa) secara normatif maupun empirik untuk menghargai dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kebebasan, toleransi, self-evidenct, dan trust dalam sistem pemerintahan maupun politik“.
19
3 Relasi Antaretnik Pendapat Max Weber, yang membedakan masyarakat berdasarkan solidary social relationships, yakni relasi sosial yang komunal dan relasi sosial yang asosiasional. Menurut Weber, suatu relasi sosial disebut komunal jika dan sejauh relasi tersebut memiliki orientasi sosial, diikuti oleh tindakan sosial (yang acap kali subjektif) dari semua pihak yang merasa menjadi bagian atau milik bersama dalam relasi itu. Kemudian, suatu relasi sosial disebut asosiasional kalau ada tindakan sosial yang rasional sebagai motivasi untuk memperoleh pengakuan atas kepentingan bersama (Karliani, 2009:49). Menurut Geertz (Liliwery, 2005:133), dalam mempelajari struktur komunitas berskala kecil, kita memang harus berorientasi pada gagasan Tonies maupun Weber, namun kita lupa bahwa yang namanya hubungan darah atau hubungan emosional merupakan sesuatu yang given atau yang sudah pasti ada dalam setiap kebudayaan dan masyarakat, dan hal itu tak dapat dielakkan. Selanjutnya dalam hubungan antar etnik yang bermakna, menurut dibangun atas tahap-tahap interaksi antar etnik meliputi;1. Memulai (initiating), 2.Menjajaki (experimenting),3.Meningkatkan (intensifying), 4.Menyatupadukan (intergrating), dan 5. Mempertalikan (bonding). 4. Konflik Nasikun, (2007:5) konflik pada hakekatnya merupakan suatu gejala sosial yang melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, dan melekat pula di
20
dalam kehidupan setiap bangsa. Webster (Pruitt dan Rubin, 2008:10) Konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan. Teori Dahrendorf menyatakan konflik sebagai kegalauan yang bersumber dari ketidakserasian esensi bermacam komponen kehidupan. Kebalikannya adalah teori kohesi dari Malinowski: “Keutuhan akan terjadi bila satu wilayah kehidupan dilandasi secara kuat oleh keuntungan timbal balik ‘reciprocity’ dibawah prinsip- rinsip legal” (Tumanggor dkk,2008:4).
F. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan dan Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan berdasarkan pada pertimbangan bahwa: metode kualitatif menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Obyek dan subyek penelitian bersentuhan langsung. Penelitian kualitatif merupakan suatu cara meneliti langsung tanpa rekayasa, atau intervensi dari pihak manapun sehingga memperoleh data deskriptif tentang perilaku manusia. 2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi Kasus (case study). Menurut Nasution (2008:27) Case Study adalah bentuk penilitian yang mendalam tentang suatu aspek lingkungan sosial termasuk manusia didalammnya. Case study dapat dilakukan terhadap seseorang individu, kelompok individu, segolongan manusia, lingkungan hidup manusia atau lembaga sosial.
21
3. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data dan informasi yang akurat dan representatif dibutuhkan teknik pengumpulan data yang dipandang tepat, dimana peneliti bertindak sebagai instrumen utama (key instrumen) yang menyatu dengan sumber data dalam situasi yang alamiah (natural setting). Teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan oleh peneliti adalah teknik pengumpulan data kualitatif, yang meliputi, observasi, wawancara mendalam, studi dokumentasi, dan studi literatur. 1. Lokasi dan Subjek Penelitian a. Lokasi Penilitian Adapun yang dijadikan lokasi dalam penelitian ini yaitu SMA Negeri 1 kota Ternate. Dasar pertimbangan SMA Negeri 1 kota Ternate adalah salah satu sekolah yang berada di pusat kota Ternate yang memiliki siswa yang terdiri dari beragam etnik, suku, bahasa, budaya dll. Selain alasan di atas pemilihan lokasi penelitian di kota Ternate Maluku Utara karena daerah ini pernah terjadi konflik antaretnik yang bernuansa SARA. b. Subyek Penelitian Subyek penelitian dalam penelitian ini dapat dikategorikan sebagai berikut; Pertama, sumber bahan cetak (kepustakaan) yang meliputi: Jurnal, hasil penilitian terdahulu, buku teks, disertasi, tesis, yang berkaitan dengan masalah; budaya demokrasi, relasi antar etnik serta konflik antaretnik, dan degradasi nilainilai moral, yang diperoleh melalui jurnal, majalah ilmiah, internet, dll. Kedua, sumber responden (human resources), dipilih secara purposive sampling dan bersifat snow ball sampling. Sumber Data pada tahap awal
22
memasuki lapangan dipilih oleh orang yang memiliki power dan otoritas pada situasi sosial atau objek yang diteliti, sehingga mampu “membuka pintu” kemana saja peniliti akan mengumpulkan data. Dengan demikian subjek penelitian yakni terdiri atas : Kepala sekolah, guru PKn dan siswa SMA Negeri 1 Kota Ternate. H. Paradigma Penelitian Paradigma
yang
peneliti
kembangkan
pada
penelitian
tentang
pengembangan budaya politik demokrasi dalam relasi antar siswa di daerah pasca konflik dapat dilihat pada gambar 1.1 dibawah ini: Gambar1.1 (Paradigma Penelitian
INPUT
-----------
KERAGAMAN BUDAYA (MULTIKULTURAL
PROSES
OUTPUT
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BUDAYA
HAMBATAN DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA DEMOKRASI ANTAR ETNIK DI SEKOLAH
-------------
DEMOKRASI
SISWA LEBIH MEMAHAMI BUDAYA DEMOKRASI DALAM RELASI ANTAR ETNIK
MELALUI INTERAKSI BELAJAR MENGAJAR DI
KONFLIK ANTAR ETNIK YANG MAKIN MENINGKAT
TERCOPTANYA REKONSILIASI ABADI
KESIMPULAN
SEKOLAH REKO MEND ASI