BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kondisi penyiaran analog terkini menjadi isu hangat yang diperbincangkan oleh sejumlah pihak. Hal utama yang dibicarakan adalah kuantitas spektrum penyiaran sebagai sumber daya alam terbatas yang berbanding terbalik dengan kuantitas permintaan pihak-pihak yang ingin melaksanakan penyiaran di luar jumlah lembaga penyiaran yang ada. Penggunaan infrastruktur penyiaran analog juga dinilai tidak efisien karena belum menerapkan konvergensi. Dalam sistem penyiaran analog, masing-masing lembaga penyiaran memiliki infrastruktur penyiaran sendiri. Akibatnya biaya pemeliharaan infrastruktur relatif mahal, penggunaan daya listrik menjadi besar, serta penggunaan lahan yang lebih boros. Pada sisi penerimaan siaran, kualitas siaran analog pun tidak merata meskipun berada dalam wilayah yang sama (Rianto et al., 2012: 1). Isu ini menjadi kerisauan tersendiri bagi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), yang mendorong lahirnya kebijakan sistem penyiaran televisi digital1. Sistem penyiaran televisi digital ini telah ditetapkan oleh Kemenkominfo dalam serangkaian Peraturan Menteri (Permen), mulai dari kerangka dasar penyelenggaraan penyiaran televisi digital hingga tata cara pelaksanaannya. Meskipun telah ditetapkan dalam Permen, informasi mengenai adanya kebijakan penyiaran televisi digital masih menjadi wacana ekslusif. Padahal, kebijakan ini sudah ditetapkan dan mulai dilaksanakan secara bertahap, seperti adanya penyelenggaraan simulcast2 di beberapa daerah di Indonesia. 1
Penyiaran televisi digital adalah sistem penyiaran televisi yang menggunakan sinyal digital. Informasi lebih lengkap mengenai penyiaran televisi digital dapat dilihat di http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/756/Tentang+TV+Digital/0/tv_digital dan Puji Rianto, Bayu Wahyono, Iwan Awaluddin Yusuf, Saifudin Zuhri, Moch. Faried Cahyono, Rahayu, Masduki dan Amir Effendi Siregar. 2012. Digitalisasi Penyiaran di Indonesia. Yogyakarta: PR2Media. 2 Simulcast adalah siaran analog dan siaran digital yang dilakukan bersamaan. Mengacu pada Permen Kominfo No. 32 Tahun 2013, periode simulcast diawali di Jawa dan Kepulauan Riau pada tahun 2013.
1
Sementara itu, sebagian warga Indonesia masih menggunakan televisi analog dalam kehidupan sehari-hari. Televisi masih menjadi media utama bagi masyarakat Indonesia untuk mencari informasi dan hiburan pada tahun 2012 lalu. Berdasarkan penelusuran Nielsen Audience Measurement, 94 persen masyarakat Indonesia masih menggunakan televisi (Tempo.com, 2013). Pada tahun 2013, penonton televisi di Indonesia mencapai 95 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta orang. (Kompas.com, 2014). Maka, jumlah penonton televisi pada tahun 2013 diperkirakan mencapai 237 juta orang. Pengetahuan masyarakat sebagai pengguna televisi analog dalam jumlah besar mengenai kebijakan penyiaran televisi digital patut dipertanyakan. Sebagai pihak yang akan menerima dampak penyiaran digital, pemahaman mereka mengenai kebijakan ini sangatlah penting. Mereka tidak akan siap dengan pelaksanaan penyiaran televisi digital jika tidak memahami bagaimana penyiaran digital itu sendiri. Hal ini harus diperhatikan, mengingat pergeseran pola penyiaran ini dapat mempengaruhi sikap dan keadaan masyarakat sebagai pengguna televisi analog. Akan tetapi, isu penyiaran memang bukan isu yang mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Isu ini lebih cenderung dimengerti oleh mereka yang bergerak atau belajar di bidang komunikasi, seperti pemerintah di bidang penyiaran, pelaku penyiaran, pengamat, akademisi dan mahasiswa yang mempelajari penyiaran selama di bangku perkuliahan. Salah satu jurusan yang mempelajari bidang penyiaran adalah jurusan Ilmu Komunikasi. Sejumlah jurusan Ilmu Komunikasi di Indonesia menjadikan penyiaran sebagai salah satu konsentrasi yang dapat dipilih oleh mahasiswanya. Sehingga, wajar jika mahasiswa yang belajar di bidang ilmu komunikasi diharapkan lebih memahami isu kebijakan penyiaran televisi digital dibandingkan masyarakat umum. Bagi mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi khususnya mahasiswa yang mengambil konsentrasi penyiaran, pemahaman mengenai isu ini menjadi penting agar mereka tidak mempelajari penyiaran secara teori saja. Sebagai pelajar di bidang komunikasi, sudah seharusnya mereka mempelajari dan mengamati fenomena baru dunia penyiaran di Indonesia.
2
Sebagai bagian masyarakat yang berkesempatan mempelajari bidang penyiaran lebih dalam, mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi harus lebih peka terhadap isu digitalisasi penyiaran ini. Di tengah minimnya informasi kebijakan ini di masyarakat, pengetahuan mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi mengenai kebijakan dapat membantu masyarakat sekitarnya untuk setidaknya mengetahui keberadaan kebijakan ini. Sebagai pembelajar, mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi dapat membantu masyarakat dengan membagikan pengetahuan mereka mengenai kebijakan penyiaran televisi digital, sehingga masyarakat sekitarnya setidaknya memiliki sedikit pengetahuan tentang kebijakan tersebut. Berdasarkan rentang usia, mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi tergolong ke dalam fase hidup yang disebut kaum muda. Di sisi lain, ketika kita membicarakan kaum muda dan media, kita akan sampai pada suatu pembicaraan di mana teknologi telah mendasari „ledakan‟ penggunaan media di kalangan kaum muda dalam lima tahun terakhir, dimana mereka menghabiskan waktu dengan mengkonsumsi media dalam jumlah yang cukup banyak setiap harinya (Vahlberg, 2010). Mahasiswa yang dapat digolongkan sebagai kaum muda dapat diasumsikan sebagai pengguna media massa yang aktif3. Bagi sebagian orang, penggunaan media ini menjadi kebiasaan yang stabil dalam kehidupan mereka. Salah satu alasan penggunaan media adalah untuk pencarian informasi (McQuail, 1987). Pengguna dapat memiliki alasan untuk menemukan kondisi yang relevan dalam lingkungan sekitar masyarakat dan dunia ketika menggunakan media untuk mencari informasi. Hal ini sejalan dengan salah satu peran media massa, yakni menyebarkan informasi awal dan membuat informasi yang tadinya hanya diketahui sejumlah pihak menjadi lebih menyebar di kalangan masyarakat. Khalayak sebagai makhluk sosial akan selalu merasa haus akan informasi yang terjadi (Ardianto, Komala dan Karlinah, 2007: 18). Sebagian informasi dalam kehidupan kita tidak diperoleh dari sekolah, atau tempat bekerja, melainkan
3
Mengacu pada studi oleh Vivian Vahlberg. 2010. Fitting Into Their Lives A Survey of Three Studies About Youth Media Usage. Batas umur fase „youth‟ sendiri bervariasi. Dalam konteks ini peneliti menggunakan istilah „youth‟ yang merujuk pada orang-orang berusia 16-24 tahun (dalam Altschuler et al., 2009). Mengacu pada batasan ini, maka fase sebagai mahasiswa dapat digolongkan ke dalam fase „youth‟.
3
dari media. Masyarakat modern memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media. Karena kita tidak dapat atau tidak sempat memeriksa peristiwa-peristiwa yang disajikan media, kita cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata bersandarkan pada apa yang disampaikan media. Melihat situasi informasi kebijakan penyiaran televisi digital yang penyebarannya minim, maka terdapat kemungkinan mahasiswa khususnya mahasiswa jurusan ilmu komunikasi sebagai kaum muda yang aktif menggunakan media untuk mengakses informasi mengenai kebijakan tersebut. Berdasarkan situasi di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana pengetahuan mengenai kebijakan penyiaran televisi digital yang dimiliki oleh mahasiswa ilmu komunikasi dan bagaimana mereka menggunakan media dalam mengakses informasi mengenai kebijakan tersebut. Mahasiswa ilmu komunikasi dipilih karena mereka berkesempatan mempelajari penyiaran lebih dalam dibandingkan
mahasiswa
jurusan
lain,
sehingga
memungkinkan
untuk
menghadirkan situasi pencarian informasi kebijakan penyiaran digital melalui media dan pengetahuan mengenai kebijakan tersebut. Peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan ini di kalangan mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi (JIK) UGM. Jurusan ini dipilih karena termasuk di dalam jajaran jurusan ilmu komunikasi terbaik di Indonesia. Ini dibuktikan oleh QS World University Ranking by Subjects 2013 yang memasukkan jurusan komunikasi dan kajian media ke dalam daftar 30 jurusan yang dirilisnya untuk Indonesia. Universitas Gadjah Mada pun terdaftar sebagai lima besar universitas dengan jurusan komunikasi dan kajian media terbaik di Indonesia, yang menempati posisi ke-5. Selain itu, JIK UGM sudah berdiri lebih dari tiga puluh tahun sehingga menjadi JIK tertua di Yogyakarta. Peneliti tertarik untuk melihat bagaimana pengetahuan kebijakan penyiaran televisi digital yang dimiliki mahasiswa dari jurusan yang meraih predikat kajian media kelima terbaik di Indonesia ini dan jurusan yang sudah melaksanakan pembelajaran komunikasi cukup lama (termasuk di dalamnya penyiaran). Mengacu pada predikat ini, peneliti ingin mencari tahu apakah mahasiswa JIK UGM mengetahui informasi kebijakan penyiaran televisi digital, sebagai isu kontemporer bidang penyiaran.
4
Peneliti juga ingin melihat bagaimana mahasiswa dari jurusan dengan kajian media terbaik kelima di Indonesia menggunakan media untuk mengakses informasi kebijakan ini. Ketika informasi kebijakan ini menjadi wacana ekslusif, mahasiswa JIK UGM sebagai kaum muda yang mempelajari penyiaran memiliki kemungkinan untuk menggunakan media dalam mengakses informasi kebijakan ini. Isu kebijakan penyiaran televisi digital dipilih sebagai informasi dalam penggunaan media yang diteliti karena sudah sewajarnya mahasiswa JIK UGM peka dengan isu terbaru yang terkait dengan pembelajaran komunikasi, khususnya penyiaran, yang dampaknya menyangkut banyak orang. Isu ini masih tergolong baru dan belum banyak penelitian yang membahasnya. Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk menghadirkan penelitian dengan tema di atas dengan meneliti di lingkungan terdekat. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran penggunaan media kaum muda dalam mengakses informasi tertentu, sebagai kelompok usia yang disebut paling aktif dalam menggunakan media di kehidupan sehari-hari, serta pengetahuan mereka akan informasi yang diakses. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan penelitian untuk fenomena yang sama di lokus yang lebih luas. Oleh karena itu, peneliti mengangkat judul penelitian “Penggunaan Media oleh Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UGM dalam Mengakses Informasi dan Pengetahuan Mereka mengenai Kebijakan Penyiaran Televisi Digital”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, peneliti mengangkat dua rumusan masalah dalam penelitian ini yakni: 1. Bagaimana penggunaan media oleh mahasiswa JIK UGM dalam mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital? 2. Bagaimana pengetahuan yang dimiliki oleh mahasiswa JIK UGM mengenai kebijakan penyiaran televisi digital?
5
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan yaitu: 1. Mendeskripsikan penggunaan media oleh mahasiswa JIK UGM dalam mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital 2. Mendeskripsikan pengetahuan yang dimiliki oleh mahasiswa JIK UGM mengenai kebijakan penyiaran televisi digital
D. Manfaat Penelitian Terdapat dua manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yakni manfaat akademis dan manfaat praktis. 1. Manfaat akademis a. Dapat mendeskripsikan penggunaan media oleh mahasiswa JIK UGM dalam mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital dan pengetahuan mereka mengenai kebijakan tersebut b. Dapat menjadi suatu acuan penelitian untuk meneliti penggunaan media dalam mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital dan pengetahuan mengenai kebijakan tersebut dengan objek penelitian yang lebih luas
2. Manfaat praktis a. Dapat melihat bagaimana penggunaan media oleh kaum muda, khususnya mahasiswa, yang bermanfaat bagi pemerintah untuk mendiseminasikan informasi kebijakan. Pemerintah dapat memanfaatkan media untuk mendiseminasikan informasi ini yang disesuaikan dengan pola penggunaan media oleh kaum muda, sehingga informasi kebijakan ini tepat sasaran, lebih mudah untuk diakses dan menyebar di kalangan kaum muda, sebagai salah satu bagian masyarakat. b. Dapat menjadi cerminan bagi pemerintah mengenai pengetahuan mengenai kebijakan penyiaran televisi digital yang dimiliki mahasiswa, sebagai salah satu kesiapan bagian masyarakat dalam mensukseskan pelaksanaan kebijakan penyiaran televisi digital
6
E. Kerangka Pemikiran 1. Penggunaan Media oleh Kaum Muda dalam Mencari Informasi McQuail (1987: 53-54) mengemukakan bahwa pertanyaan derajat penggunaan media yang bervariasi dapat didekati dengan cara paling baik melalui perspektif audiens. Pada dasarnya, perbedaan capaian media adalah hasil dari pilihan yang orang hasilkan secara terus menerus. Bahkan bagi sebagian orang, penggunaaan media adalah kebiasaan stabil yang sebanding dengan hasil dari perilaku yang spesifik dan termotivasi. Sejumlah peneliti (Gerbner et al., 1979, dalam McQuail, 1987) berargumentasi bahwa jumlah terpaan seseorang terhadap televisi (waktu yang dihabiskan untuk menonton) sangat fundamental dan bersifat tetap, yang disandingkan dengan data demografis seperti umur, pendidikan dan dengan pengaruh pada sikap dan perilaku yang setara. Hal yang sama dapat dikaitkan dengan beberapa perilaku media lain, seperti membaca surat kabar pagi atau sore. Fakta bahwa individu sangat bervariasi dalam permasalahan daya tarik dan kecenderungan untuk hadir di hadapan media membuat perbedaan media meletakkan pertanyaan capaian media dalam perbedaan yang tipis. Intensitas yang relatif dari ketertarikan juga digunakan dalam keperluan pertanyaan ini. Terdapat sebuah jalan alternatif yang merepresentasikan capaian media yakni suatu populasi dijangkau dalam saturasi dan frekuensi media dengan derajat yang berbeda-beda. Tetapi, tidak hanya bahwa sejumlah media secara konsisten lebih menjangkau banyak orang dan lebih sering daripada yang lain, tetapi bahwa juga sejumlah orang secara konsisten menjangkau media lebih sering dan lebih lama dibandingkan yang lain.
Mereka yang paling sulit menjangkau media dapat
menjadi target grup yang lebih banyak dicari untuk dijangkau oleh para komunikator. Mereka mungkin memiliki waktu yang lebih sedikit untuk diisi oleh media atau lebih selektif dalam menggunakan media, dimana suatu media membutuhkan peningkatan gaya hidup atau pekerjaan tertentu agar bisa dijangkau.
7
Terdapat sejumlah prediksi umum dari hal semacam ini. Contohnya, preferensi untuk audiovisual yang melebihi media cetak biasanya terjadi di kalangan pendidikan dan pendapatan yang lebih rendah, dan penggunaan media „berat‟ umumnya berlangsung di kalangan individu yang memiliki waktu senggang lebih di rumah (istri rumah tangga, pengangguran, dan orang-orang lanjut usia). Semakin sulit target audiens dipahami, cukup sering biasanya mereka adalah orang yang lebih sibuk dan lebih sejahtera. Banyaknya variasi dalam penggunaan media adalah hasil agregat dari perbedaan individual yang tidak mudah untuk dilaporkan dalam berbagai jalan sistematis. Terlihat jelas bahwa dari banyak perbandingan internasional, frekuensi dan jenis dari penggunaan media bervariasi dari satu negara ke negara lain. Bahkan dengan lingkungan sosial dan ekonomi yang cukup serupa, seperti Eropa Barat, terdapat perbedaan besar dalam waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi (McCain, 1986, dalam McQuail, 1987) dan membaca surat kabar. Perbedaan ini terlihat cukup stabil dalam periode yang cukup lama. Contohnya, rata-rata jumlah waktu untuk menonton televisi setiap hari lebih dari tiga jam di Itali dan Britania, tetapi kurang dari dua jam di Belanda dan Denmark. Umumnya, formasi audiens dipengaruhi oleh struktur media nasional, sosial dan pola budaya (McQuail, 1987: 53-54). Di satu sisi, penggunaan media di kalangan anak muda memang dilihat berbeda dan mendapat perhatian khusus tidak hanya dari bisnis media namun juga dari berbagai aktor sosial. Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan dalam penelitian Rozukalne (2012): The aim of this research is to provide more precise information about the behavior of young people as media users in the current debates in which young people, as a media user group, are regarded different from such other group…. Rozukalne, 2012
Sebagian penggunaan media oleh kaum muda diritualisasikan menjadi rutinitas media penuh, dimana kaum muda secara antusias dan konstan mengkonsumsi konten dengan media yang bervariasi. Kaum muda sebagai
8
pengguna media secara masif dicirikan oleh pola penggunaan media dan dengan penggunaan internet yang besar. Umumnya, kaum muda memiliki kesamaan dalam proses dan saluran media. Bagaimanapun juga, konten media adalah hal kedua yang dilihat karena konten ini dapat diperoleh dalam perbedaan media di waktu dan tempat yang bervariasi. Oleh karena itu, waktu dan tempat untuk penggunaan media memainkan peran yang semakin kecil dalam kehidupan kaum muda. Proses dari penggunaan media merefleksikan pencarian kaum muda: hal yang stabil adalah penggunaan intensif dari banyak media yang berbeda dan masing-masing tujuannya, tetapi faktor yang bervariasi adalah konten media (Rozukalne, 2012). Perkembangan internet telah mengubah kondisi penggunaan media. Dapat dikatakan bahwa ruang penggunaan media dapat berada di mana saja, dan tidak hanya mengurangi pentingnya geografis penggunaan media tetapi juga mengambil makna dari produk media yang dimaksudkan untuk dikonsumsi dengan batas waktu khusus. Ritme sehari-hari dan komponen utama audiens masih mempengaruhi penggunaan media dan kebutuhan mereka dalam sehari. Mereka juga membiarkan situasi penggunaan media tertentu untuk membentuk hari audiens media. Penggunaan media didemonstrasikan dengan responden dari studi Rozukalne (2012) secara pokok dan konstan. Rozukalne tidak berbicara mengenai konten yang diakses, dan sifatnya sangat konsisten. Ini adalah hal yang membedakan penggunaan media oleh kaum muda dengan yang lain. Hal ini dapat dinilai dari tindakan langsung yang berhubungan dengan media. Contohnya, setelah responden bangun, banyak diantara mereka yang menghidupkan saluran radio yang sama atau memeriksa informasi baru melalui jejaring sosial. Sebagai pengguna media, kaum muda bersikap pasif jika dinilai dari kriteria yang menekankan pada pemilihan konten, kemampuan, sikap kritis dan evaluasi (McQuail, 2005). Sebuah temuan yang esensial mengenai kebiasaan penggunaan media oleh kaum muda adalah multitasking, dimana kaum muda membagi perhatian mereka dan menggunakan internet ketika menyalakan radio atau televisi sebagai latar, dan
9
browsing juga dikombinasikan dengan membaca media cetak. Dari sudut pandang ketelitian data penelitian, tidak selalu mudah untuk membedakan media mana yang mereka dedikasikan waktunya lebih banyak dan media mana yang hanya sebagai latar belakang. Konten media tradisional sepertinya masih menjadi kurang penting jika dibandingkan dengan penggunaan internet. Dalam narasi kaum muda mengenai kebiasaan penggunaan media, seseorang bisa mengenali kebahagiaan, kesenangan dan ketergantungan, seperti yang ditulis Wilson (2009: 75) dalam Rozukalne (2012: 108): “Watching television or accessing the internet can be comprehended as play-like emotions expressed as well as cognitively”. Terdapat penelitian kuantitatif media lain (dalam Rozukalne, 2012: 117) yang menyebutkan bahwa kaum muda adalah bagian stabil dari audiens media populer. Faktor penentu dalam penggunaan media tidak hanya kelompok usia, dimana isu-isu lain yang lebih krusial adalah nilai-nilai, gaya hidup populer, pengaruh sosial dan tradisi yang berwujud sebagai kebiasaan penggunaan media jangka panjang. Parameter yang mempengaruhi proses konsumsi media dan kondisi perilaku audiens serta menyediakan materi signifikan dari penggunaan media yakni waktu yang dihabiskan untuk menggunakan media (dalam batas hari, minggu atau bulan), durasi penggunaan (secara umum dan terhadap medium yang terpisah), serta ruang dan tempat di mana medium digunakan (Rozukalne, 2012: 108). Data penggunaan media ini hampir serupa dengan data yang dikumpulkan untuk melihat terpaan media, yakni media yang digunakan, frekuensi menggunakan media tersebut, dan durasi penggunaan media (Sari, 1993: 28, dalam Ardianto, Komala, dan Karlinah, 2007). Jenis media yang digunakan dapat meliputi media audio, audiovisual, media cetak, kombinasi media audio dan media audiovisual, media audio dan media cetak, media audiovisual dan media cetak, serta media audio, audiovisual dan media cetak. Frekuensi penggunaan media dapat mengumpulkan data khalayak tentang berapa kali sehari seseorang menggunakan media dalam satu minggu, berapa kali seminggu seseorang menggunakan media dalam satu bulan, dan berapa kali sebulan seseorang menggunakan media dalam satu tahun. Dari ketiga pola tersebut yang sering dilakukan adalah pengukuran
10
frekuensi program harian (berapa kali dalam seminggu). Sedangkan pengukuran variabel durasi penggunaan media menghitung berapa lama khalayak bergabung dengan suatu media (berapa jam sehari), atau berapa lama (menit) khalayak mengikuti suatu program (audience’s share on program). Newton (2000) mengemukakan bahwa terdapat tiga topik utama untuk kuesioner penggunaan media, pertama adalah jumlah dari penggunaan media, yang bertujuan untuk mempertanyakan responden seberapa sering mereka menggunakan tipe media yang berbeda. Topik kedua adalah tujuan dari penggunaan media, dimana media mungkin digunakan karena tertarik pada dunia politik, olahraga, budaya, film, dan sebagainya. Mengetahui tujuan orang menggunakan media menjadi relevan dengan kuesioner penggunaan media. Topik ketiga adalah sumber informasi. Mengetahui media mana yang menjadi sumber utama untuk informasi dari topik yang berbeda juga menarik untuk diteliti. Topik pertama adalah jumlah penggunaan media atau the amount of media use. Kemungkinan dasar dari segala penelitian empiris media massa – apakah tujuannya untuk memetakan dan menjelaskan tren penggunaan media, subjek dari penelitian analisis (analytical research) yang memperlakukan ia sebagai variabel bebas atau tergantung – adalah pengukuran akurat dari seberapa banyak orang menggunakan media. Prioritas pertama adalah serangkaian pertanyaan yang mempertanyakan media apa yang digunakan dan seberapa sering orang-orang menggunakannya. Secara kuantitatif, pertanyaan dari topik ini bisa berupa akses ke berbagai media dan pengukuran dari penggunaan media (jumlah penggunaan per minggu atau jam per hari). Pertanyaan kuantitatif pada penggunaan media bervariasi dari pengukuran yang mendekati seperti “Seberapa sering dalam seminggu Anda membaca surat kabar (rata-rata)?”, “Berapa jam (rata-rata) Anda menonton televisi dalam sehari?” hingga pertanyaan yang lebih tajam dan diseleksi kembali seperti “Berapa menit yang Anda habiskan untuk membaca surat kabar kemarin?”. Hampir seluruh survei penggunaan media menanyakan pertanyaan yang mendekati penggunaan media secara akurat atau detail (Newton, 2000: 128-129).
11
Topik kedua adalah tujuan dari penggunaan media. Sebagian bentuk media massa mungkin digunakan untuk tujuan yang berbeda. Film memiliki satu tujuan dominan yakni hiburan (entertainment). Sisanya, surat kabar, televisi, radio, dan situs hampir mencakup semua area dari aktivitas individu seperti berita dan kejadian terbaru, olahraga, waktu luang, seni, pendidikan, informasi, pengetahuan, bisnis, hiburan, gosip mengenai tokoh publik, dan sebagainya. Terdapat sedikit nilai dalam mengetahui seberapa banyak orang menonton televisi tanpa mengetahui apa yang mereka tonton dan sedikit yang bisa dicapai dari mengetahui mereka membaca surat kabar tanpa mengetahui surat kabar apa yang mereka baca. Survei komprehensif harus mengungkap seberapa banyak orang menggunakan media berbeda dan untuk apa mereka menggunakannya, mengacu pada pemikiran yang mengangkat pentingnya bentuk dari media yang digunakan atau konten dari media tersebut (Newton, 2000). Terdapat pihak yang mempertanyakan seberapa banyak atau seberapa sering orang menonton berita di televisi, atau membaca mengenai kampanye pemilihan di surat kabar, karena mereka adalah spesialis survei dari politik media dan bukan survei mengenai keseluruhan media. Beberapa dari survei terbaru pada media bertanya untuk apa audiens menggunakan media, dan apa yang hendak mereka lakukan dengan menggunakan media. Salah satu alasan dari absennya pertanyaan untuk apa media digunakan yakni tidak mudah untuk mengetahui cara bagaimana membingkai mereka. Pertanyaan terbuka adalah cara terbaik, namun pilihan ini menghabiskan banyak waktu dan juga mahal. Pertanyaan tertutup dengan pilihan ganda akan menciptakan daftar dari penggunaan media yang penting seperti hiburan, bisnis, politik dan kejadian terbaru, hobi, pendidikan, olahraga, seni, dan belanja. Daftar alasan penggunaan media ini akan cukup panjang untuk mencakup semua penggunaan media. Kategori-kategori ini mungkin akan sedikit melampaui satu sama lain (overlap) dan harus ditanyakan dari setiap bentuk media massa yang digunakan responden. Hal ini menjadi masalah, dan tidak terdapat panduan dari survei-survei sebelumnya (Newton, 2000: 132-133). Topik ketiga adalah media massa sebagai sumber informasi. Pertanyaan dari topik ketiga ini mempertanyakan sumber apa yang orang gunakan untuk
12
informasi, yang biasanya mengenai kejadian spesifik. Pertanyaan topik ketiga ini adalah pertanyaan turunan dari pertanyaan di topik kedua penggunaan media, dimulai dari topik khusus dan menanyakan orang-orang ke mana mereka akan melangkah untuk mencari informasi terbaru mengenai topik khusus tersebut. Pertanyaan dari media massa sebagai sumber informasi harus berhubungan dengan kejadian yang spesifik, dan secara umum ditanyakan dalam survei mengenai topik tertentu. Pertanyaan umum seperti “Secara umum, manakah media yang paling berguna sebagai sumber informasi?” secara tak terelakkan akan memicu jawaban “Semua tergantung pada informasi apa mengenai kejadian apa.” (Newton, 2000: 133-134). Selain tiga topik di atas, terdapat survei penggunaan media yang juga mempertanyakan intensitas penggunaan media. Kata intensitas berasal dari bahasa Inggris „intense‟ yang berarti semangat atau giat (Echols, 1993: 326). Sedangkan menurut Hazim (2005: 191) intensitas adalah kekuatan tenaga yang dikerahkan untuk suatu usaha. Jadi, intensitas secara sederhana dapat dirumuskan sebagai usaha yang dilakukan seseorang dengan penuh semangat untuk mencapai tujuan. Mengacu pada Nuraini (2011: 12), intensitas memiliki beberapa indikator yakni motivasi, durasi kegiatan, frekuensi kegiatan, presentasi, arah sikap, dan minat. Motivasi adalah keadaan internal organisme yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Durasi kegiatan adalah berapa lamanya kemampuan penggunaan untuk melakukan kegiatan. Frekuensi kegiatan dapat diartikan dengan seberapa sering kegiatan itu dilaksanakan dalam periode waktu tertentu. Presentasi yang dimaksud adalah gairah, keinginan atau harapan yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan. Arah sikap diartikan sebagai suatu kesiapan pada diri seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal yang bersifat positif ataupun negatif. Sementara minat timbul apabila individu tertarik pada sesuatu karena sesuai dengan kebutuhannya atau merasakan bahwa sesuatu yang akan digeluti memiliki makna bagi dirinya. Sejumlah survei penggunaan media juga mengemukakan pertanyaan lebih dari sekedar jenis media yang digunakan, frekuensi dan durasi penggunaan media. Penelitian penggunaan media khususnya mengenai kebiasaan penggunaan media
13
juga mempertanyakan kepemilikan media, cara mengakses media tertentu, tempat menggunakan media, biaya yang dihabiskan untuk akses media per bulan (pulsa handphone, pulsa internet), dan kegiatan lain yang dilakukan sembari menggunakan media tertentu (Mayer, 1993; Newton, 2000). Mengacu pada McQuail (2005), bentuk-bentuk media massa dalam penelitian ini dikategorikan menjadi: a. Buku Sejak kemunculannya, buku diidentikkan dengan jenis media cetak. Namun seiring dengan perkembangan teknologi, wujud buku pun tidak hanya berbentuk cetak melainkan juga digital. Buku dalam bentuk digital atau elektronik ini pun dikenal dengan istilah ebook. Kini, sudah banyak tulisan yang dipublikasikan melalui ebook dan diakses oleh para pembaca. Dari segi konten, terdapat dua jenis buku yang umum yakni buku fiksi dan buku nonfiksi.
b. Surat Kabar Dilihat dari ruang lingkupnya, surat kabar dibedakan menjadi surat kabar nasional, regional, dan lokal. Ditinjau dari bentuknya, surat kabar dibedakan menjadi surat kabar biasa dan tabloid (Ardianto dan Komala, 2005). Menurut Agee (2001) dalam Ardianto dan Komala (2005), secara kontemporer surat kabar memiliki tiga fungsi utama. Fungsi utama surat kabar adalah (1) to inform (menginformasikan kepada pembaca secara objektif tentang apa yang terjadi dalam suatu komunitas, negara dan dunia), (2)
to
comment
(mengomentari
berita
yang
disampaikan
dan
mengembangkannya ke dalam fokus berita), (3) to provide (menyediakan keperluan informasi bagi pembaca yang membutuhkan barang dan jasa melalui pemasangan iklan di media).
14
c. Majalah Menurut Dominick (2000) dalam Ardianto dan Komala (2005: 107), klasifikasi majalah dibagi ke dalam lima kategori utama yaitu (1) general consumer magazine (majalah konsumen umum), (2) business publication (majalah bisnis), (3) literacy reviews and academic journal (kritik sastra dan jurnal ilmiah), (4) newsletter (majalah khusus terbitan berkala), (5) public relations magazines (majalah humas).
d. Film Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film yang utama adalah ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi, dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Fungsi edukasi dapat tercapai apabila film memproduksi film-film sejarah yang objektif, atau film dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan seharihari secara berimbang (Ardianto dan Komala, 2005: 136). Film dapat dikelompokkan ke dalam jenis film cerita, film berita, film dokumenter dan film kartun (Ardianto, Komala dan Karlinah, 2007: 148).
e. Televisi Fungsi televisi sama dengan fungsi media massa lainnya (surat kabar dan radio siaran), yakni memberi informasi, mendidik, menghibur, dan membujuk. Tetapi fungsi menghibur lebih dominan pada media televisi adalah menghibur, yang diikuti oleh memberi informasi (Ardianto dan Komala, 2005: 128). Jenis program televisi dapar dikelompokkan menjadi dua yakni program informasi (berita) dan program hiburan.
f. Radio Radio dapat melakukan fungsi kontrol sosial seperti surat kabar, disamping empat fungsi lain yakni memberi informasi, menghibur, mendidik dan melakukan persuasi (Ardianto, Komala dan Karlinah, 2007: 128). Jenis siaran radio dapat dibagi menjadi empat yakni siaran berita dan informasi,
15
siaran pendidikan, siaran kebudayaan, siaran hiburan, dan siaran lain-lain (Effendy, 1990: 117-118).
g. Internet Pengguna internet bergantung pada situs untuk memperoleh berita. Situs juga menjadi sumber informasi untuk hiburan dan informasi perjalanan wisata. Dua sampai tiga pengguna internet mengakses situs untuk mendapatkan berita terbaru setiap minggunya (Straubhar dan LaRose, 2000: 267, dalam Ardianto dan Komala, 2005: 140). Situs-situs yang umumnya diakses melalui internet adalah situs pribadi/personal, situs perusahaan (company profile), situs organisasi, situs toko online, dan situs berita (Muhardjo, 2013).
McQuail (2005: 428) mengatakan bahwa salah satu gratifikasi yang dicari melalui penggunaan media adalah informasi dan edukasi. Maka, salah satu alasan dari penggunaan media adalah untuk memperoleh informasi. Kegiatan mencari informasi ini dapat berupa menemukan kejadian dan kondisi yang relevan dalam lingkungan sekitar, masyarakat dan dunia, mencari saran dalam hal praktis atau opini dan pilihan keputusan, memuaskan rasa ingin tahu dan ketertarikan umum, belajar; edukasi diri sendiri dan memperoleh rasa aman melalui pengetahuan (McQuail, 1987:73). Dalam McQuail (2005: 97) disebutkan bahwa salah satu fungsi media bagi masyarakat adalah fungsi informasi. Fungsi informasi ini diartikan bahwa media massa adalah penyebar informasi bagi pembaca, pendengar atau pemirsa. Berbagai informasi dibutuhkan oleh khalayak media massa yang bersangkutan dengan kepentingannya. Khalayak sebagai makhluk sosial akan selalu merasa haus akan informasi yang terjadi (Ardianto, Komala dan Karlinah, 2007: 18). Menurut McQuail (2005: 97) fungsi informasi ini terdiri dari menyediakan informasi mengenai kejadian dan kondisi masyarakat dan dunia, mengindikasikan hubungan dari kekuatan, dan memfasilitasi inovasi, adaptasi dan kemajuan.
16
Media massa berperan dalam memberikan informasi awal atau baru kepada khalayak. Menurut DeFleur dan Dennis (1981), peran media ini adalah tahap terakhir dari komunikasi massa, yang merupakan hasil dari tahap-tahap sebelumnya4. Sebagai hasil berbagi makna dengan komunikator, audiens berubah dalam cara tertentu. Perubahan ini dapat berupa hal yang sederhana hingga yang sangat signifikan. Salah satu efek media yang luas dan diharapkan banyak pihak adalah kemampuannya
dalam
memberikan
informasi
dan
menjaga
masyarakat
terinformasikan yang konsisten dengan kebutuhan ekonomi modern dan proses demokratis partisipan. Informasi yang disampaikan oleh media meningkatkan rata-rata dan tingkat pengetahuan minimal dalam masyarakat, serta kecepatan sirkulasi informasi. Telah lama diasumsikan bahwa media cetak dan penyiaran sudah bertambah dengan baik menuju arus informasi publik. Mereka dapat membantu memodifikasi perbedaan pengetahuan yang berasal dari tidak berkualitasnya tingkat sosial dan pendidikan (Gaziano, 1983, dalam McQuail, 2005: 491-492). Sebagian informasi tidak diperoleh dari sekolah atau tempat bekerja, melainkan dari media. Seseorang dapat belajar musik, politik, ekonomi, hukum, seni, sosiologi, psikologi, komunikasi dan hal lain dari media. Selain itu, ia juga dapat mempelajari keterampilan menggunakan komputer, memasak, menjahit, dan sebagainya dari media. Individu juga mengenal tempat-tempat bersejarah yang ada di dunia dari media elektronik dan media cetak. Khalayak media massa berlangganan surat kabar, majalah, mendengarkan radio siaran atau menonton televisi karena mereka ingin mendapatkan informasi tentang peristiwa yang terjadi di muka bumi, gagasan atau pikiran orang lain, serta apa yang dilakukan dan diucapkan orang lain (Ardianto, Komala dan Karlinah, 2007: 18). Di level yang sederhana, seseorang bisa saja mempelajari fakta baru dengan mendengarkan laporan cuaca di radio. Dengan demikian, menyediakan informasi baru kepada seseorang adalah perubahan yang dibawa oleh media. Di level yang 4
Tahap-tahap komunikasi massa lainnya dapat dilihat dalam Melvin Lawrence DeFleur dan Everette E. Dennis. 1981. Understanding Mass Communication. ______: Houghton Mifflin Hartcourt.
17
lebih kompleks, komunikasi massa dapat mengubah pemahaman bersama dengan mengenalkan istilah baru dan maknanya. McLuhan dalam Ardianto, Komala dan Karlinah (2007: 40) menggambarkan audiens sebagai sentral komunikasi massa yang secara konstan dibombardir oleh media. Media mendistribusikan informasi yang meresap pada masing-masing individu. Menurut McLuhan dalam Ardianto, Komala dan Karlinah (2007: 53) media massa adalah perpanjangan alat indra kita. Pengaruh media massa terasa lebih kuat lagi pada masyarakat modern karena mereka memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa. Karena kita tidak dapat atau tidak sempat memeriksa peristiwa-peristiwa yang disajikan media, kita cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata bersandarkan apa yang disampaikan media massa.
2. Pengetahuan mengenai Kebijakan Penyiaran Televisi Digital a. Konsep Pengetahuan Telah disebutkan di atas bahwa media mampu meningkatkan pengetahuan audiens melalui informasi yang disampaikannya. Menurut KBBI dalam Jaringan (Daring), pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh individu. Pengetahuan ini menimbulkan suatu pengertian atau pemahaman terhadap suatu obyek. Dengan pemahaman yang dimiliki, individu akan mampu untuk menangkap makna atau arti dari sesuatu yang diketahuinya. Pengetahuan adalah informasi yang disimpan di dalam ingatan (Engel, Blackwell, dan Miniard, 1994). Menurut Bloom (1956) pengetahuan mencakup keseluruhan ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. Hal-hal ini meliputi fakta, kaidah, prinsip, serta metode. Pengetahuan yang disimpan dalam ingatan dapat digali kembali dengan cara mengingat (recall) atau mengenal kembali (recognition). Menurut Notoadmojo (2003) dalam Siahaan (2010) pengetahuan adalah hasil dari „tahu‟ dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui pendidikan, pengalaman orang lain, media massa maupun lingkungan.
18
Notoadmodjo (2003) dalam Siahaan (2010) mengemukakan enam tingkatan yang dicakup dalam domain kognitif, yakni: i.
Tahu (know), adalah kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari, dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Cara kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasikan dan mengatakan.
ii.
Memahami (comprehension), adalah kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
iii.
Aplikasi (application), adalah kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai pengguna hukum-hukum, rumus, metode, prinsip-prinsip dan sebagainya.
iv.
Analisis (analysis) adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam suatu komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi dan masih terdapat kaitan satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti kata kerja mengelompokkan, menggambarkan, dan memisahkan.
v.
Sintesis (synthesis) adalah kemampuan untuk menghubungkan bagianbagian dalam bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.
vi.
Evaluasi (evaluation) adalah kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau objek tersebut berdasarkan suatu cerita yang sudah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang sudah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat
19
kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan diatas (Notoadmodjo, 2003, dalam Siahaan, 2010).
b. Aspek-aspek Pengetahuan Kebijakan Penyiaran Televisi Digital di Indonesia Pengetahuan yang akan ditanyakan kepada mahasiswa JIK UGM adalah pengetahuan umum mengenai kebijakan penyiaran televisi digital di Indonesia 5. Pengetahuan ini terbagi ke dalam beberapa aspek, yakni: i. Alasan Ditetapkannya Kebijakan Penyiaran Televisi Digital di Indonesia Saat ini, format penyiaran di Indonesia masih berupa penyiaran analog. Teknologi penyiaran analog tidak dapat mengimbangi permintaan penggunaan kanal penyiaran yang ada karena keterbatasan spektrum penyiaran. Pada sistem penyiaran televisi analog, satu kanal frekuensi digunakan untuk menyalurkan satu program siaran televisi. Selain itu, penyiaran analog tidak menghasilkan kualitas gambar dan suara yang memadai di pesawat televisi. Pada sistem penyiaran analog, masing-masing lembaga penyiaran memiliki infrastruktur penyiarannya sendiri-sendiri, seperti menara pemancar, antena, dan sebagainya.
Akibatnya,
biaya
pemeliharaan
infrastruktur
relatif
mahal,
penggunaan daya listrik yang besar, dan pemanfaatan lahan yang lebih boros. Situasi penyiaran analog seperti di atas pun mendorong pemerintah untuk menerapkan sistem penyiaran televisi digital (Rianto et al., 2012). Penyiaran televisi digital pun menawarkan solusi untuk mengatasi masalah di atas, yang akan dipaparkan dalam aspek selanjutnya.
ii. Keunggulan Penyiaran Televisi Digital Sebelum membahas keunggulan penyiaran televisi digital, sistem penyiaran televisi digital secara umum perlu dipaparkan terlebih dahulu. Penyiaran televisi 5
Informasi kebijakan penyiaran televisi digital ini dirangkum dari Puji Rianto, Bayu Wahyono, Iwan Awaluddin Yusuf, Saifudin Zuhri, Moch. Faried Cahyono, Rahayu, Masduki dan Amir Effendi Siregar. 2012. Digitalisasi Televisi di Indonesia. PR2Media: Yogyakarta, Permen Kominfo No. 22 Tahun 2011 dan Permen Kominfo No. 32 Tahun 2013. Walaupun referensi pengetahuan ini cenderung mengacu kepada Permen di atas, namun pengetahuan yang diujikan adalah informasi umum yang menjadi dasar Permen penyiaran televisi digital lainnya.
20
digital terestrial adalah penyiaran televisi terestrial 6 yang menggunakan format digital, yang kemudian lebih dikenal dengan penyiaran televisi digital. Penyiaran ini dihadirkan untuk efisiensi penggunaan spektrum penyiaran dan membantu kualitas penerimaan sinyal gambar dan suara di televisi sesuai dengan sinyal asalnya. Salah satu perbedaan antara siaran televisi analog dan digital adalah pada pemanfaatan spektrum frekuensi radio sebagai sumber daya alam yang sangat terbatas. Teknologi penyiaran televisi digital yang dipillih pemerintah adalah Digital Video Broadcasting Terestrial Second Generation (DVB-T2). Baik dalam penggunaan frekuensi maupun teknologinya, DVB-T2 baik untuk masa depan dan jauh lebih efisien dalam penggunaan listrik. Jika pada sistem penyiaran analog satu frekuensi hanya mampu menyalurkan satu siaran saja, pada sistem penyiaran digital DVB-T2, satu kanal frekuensi mampu membawa hingga 12 program siaran standard definition (SDTV). Artinya, terjadi inefisiensi penggunaan spektrum frekuensi radio pada sistem analog dan sebaliknya, terdapat optimalisasi pemanfaatan kanal frekuensi pada sistem digital (Rianto et al., 2012). Melalui teknologi DVB-T2, audiens akan menikmati kualitas penerimaan gambar dan suara yang menakjubkan, bertambahnya jumlah saluran program siaran, munculnya aplikasi penyiaran baru, multimedia dan layanan hiburan lainnya. Dampak yang paling signifikan dan dinantikan banyak lembaga penyiaran adalah efisiensi spektrum penyiaran. Dengan bertambahnya saluran siaran, pilihan acara yang ada berpotensi menjadi lebih beragam dibandingkan sebelumnya. Kemudian, kualitas gambar dan suara pada penyiaran televisi digital akan jauh lebih baik dibandingkan siaran analog. Hal ini dikarenakan pancaran sinyal digital relatif stabil dan tidak menurun. Siaran televisi digital hanya mengenal kondisi sinyal diterima atau tidak. Selama sinyal bisa diterima receiver, gambar dan suara konten siaran dapat dinikmati. Sedangkan pada siaran televisi analog, kualitas sinyal cenderung menurun ketika lokasi penerimaan semakin jauh dari titik transmisi sehingga menimbulkan noise atau „bersemut‟. Selain itu sinyal siaran analog juga rentan terhadap gangguan cuaca. 6
Terestrial berarti penggunaan frekuensi radio di permukaan bumi.
21
Kemudian, lembaga penyiaran akan mendapatkan keuntungan dengan rendahnya biaya operasi dan kecanggihan teknologi, karena bekerja sama secara infrastruktur dengan lembaga yang berwenang sebagai lembaga penyiaran multipleksing. Hal ini akan menciptakan efisiensi infrastruktur penyiaran. Karena menggunakan infrastruktur bersama, maka lembaga penyiaran bisa meminimalisir penggunaan listrik dan penggunaan lahan. Peluang pengembangan konten lokal pun menjadi terbuka, karena satu kanal bisa memuat 12 saluran dalam satu zona layanan. Selain itu, penyiaran digital juga memberikan peluang bagi munculnya industri atau bisnis baru di bidang telekomunikasi, media elektronik, industri peralatan ataupun software yang berhubungan dengan penyelenggaran penyiaran televisi digital (Rianto et al., 2012). iii. Potensi Dampak Negatif7 Kebijakan Penyiaran Televisi Digital Di era analog, penyediaan infrastruktur dan program siaran dilakukan oleh satu lembaga penyiaran untuk menyiarkan satu program siaran. Di era digital dengan teknologi terkini DVB-T2, penyediaan infrastruktur oleh satu lembaga penyiaran bisa menyalurkan sampai dengan 12 program siaran. Hal ini dikenal dengan istilah penyiaran multipleksing, yakni penyiaran penerimaan tetap tidak berbayar dengan transmisi dua program atau lebih pada satu saluran pada saat yang bersamaan. Penyelenggaraan penyiaran multipleksing ini dilaksanakan oleh Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (LPP TVRI) dan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dalam wilayah layanan yang telah ditentukan. Lembaga yang berhak menjadi lembaga penyiaran multipleksing adalah mereka yang telah memiliki izin siaran, untuk diikutsertakan dalam tender. Sementara, pihak yang menyelenggarakan penyiaran digital terdiri atas seluruh lapis lembaga
7
Potensi dampak-dampak yang diulas oleh Puji Rianto, Bayu Wahyono, Iwan Awaluddin Yusuf, Saifudin Zuhri, Moch. Faried Cahyono, Rahayu, Masduki, dan Amir Effendi Siregar (2012) dalam Digitalisasi Televisi di Indonesia memang difokuskan kepada Permen No. 22 Tahun 2011. Meskipun Permen ini telah diganti oleh Permen No. 32 Tahun 2013, namun hal-hal yang diubah dalam Permen yang lebih baru tidak mengubah sistem penyiaran digital secara pokok maka peneliti berasumsi bahwa potensi dampak yang sebelumnya masih mungkin terjadi, dan peneliti angkat dalam kerangka pemikiran penelitian ini.
22
penyiaran yakni LPP TVRI, LPP Lokal, Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) dan LPS. Dalam pelaksanaan penyiaran secara digital, LPP Lokal dan LPK harus bekerja
sama
dengan
LPP
TVRI
yang
menyelenggarakan
penyiaran
multipleksing, sementara LPS harus bekerja sama dengan LPS lain yang mendapatkan kewenangan sebagai lembaga yang menyelenggarakan penyiaran multipleksing. Dalam penyelenggaran penyiaran digital, LPS, LPP Lokal dan LPK menggunakan sarana penyiaran multipleksing yang dimiliki oleh LPP TVRI atau LPS yang memiliki wewenang dalam menyelenggarakan penyiaran multipleksing. Oleh sebab itulah, sistem penyiaran digital dikatakan lebih menghemat biaya karena menggunakan satu infrastruktur bersama-sama. Pemerintah menetapkan di setiap wilayah terdapat enam lembaga penyiaran yang menyelenggarakan penyiaran multipleksing yaitu LPP TVRI dan lima LPS. Menurut Kemenkominfo, jumlah ini adalah jumlah paling optimal, sesuai kondisi penyiaran di era analog yang mempertimbangkan aspek teknologi, aspek ekonomis dan keterbatasan frekuensi radio. Dalam kebijakan penyiaran televisi digital, dikemukakan bahwa menteri menetapkan LPP TVRI sebagai lembaga penyiaran multipleksing yang berlaku secara nasional tanpa melalui seleksi dengan menggunakan satu kanal radio di setiap wilayah layanan. Pasal ini memang memberikan privilege bagi TVRI karena otomatis menjadi lembaga penyiaran multipleksing, namun pasal ini sekaligus memarginalkan lembaga penyiaran publik dan meneguhkan dominasi swasta dalam penyiaran di Indonesia. Ini karena dari enam kanal yang tersedia, lima kanal diberikan untuk lembaga penyiaran swasta, sementara lembaga penyiaran publik hanya diberi satu jatah kanal. Dengan demikian, pelipatgandaan saluran siaran melalui digitalisasi hanya akan memperkuat dominasi swasta dalam dunia penyiaran Indonesia, dan tidak mengubah apapun yang telah terjadi saat ini (Rianto et al., 2012: 36-37). Persoalan lain yang dihadapi oleh televisi publik dan komunitas adalah mereka tidak mampu membeli infrastruktur digital sehingga terancam tidak dapat berpartisipasi dalam penyiaran digital. LPP TVRI dan LPS adalah lembaga yang berhak menyelenggarakan penyiaran multipleksing. Ini berarti bahwa hanya lembaga penyiaran swasta yang
23
sudah memiliki izin siaran yang berhak mengikuti tender, sedangkan lembaga lainnya tidak. Di sisi lain, lembaga siaran swasta lokal, hingga saat ini hanya beberapa di antaranya yang memiliki izin siaran lokal (IPP tetap) karena beragam alasan. Dengan demikian, Permen ini hanya akan meneguhkan status quo dan tidak akan mampu memperbaiki masalah penyiaran di Indonesia (Rianto et al., 2012: 33). Hal ini akan menutup peluang bagi lembaga lain seperti BUMN atau perusahaan swasta lainnya untuk menyelenggarakan multipleksing karena mereka tidak
memiliki
izin
penyelenggaraan
penyiaran.
Lembaga
yang
bisa
menyelenggarakan penyiaran multipleksing hanya lembaga penyiaran publik dan swasta, di mana kuota untuk LPS jauh lebih besar dibandingkan LPP TVRI. Dalam hal ini, konsentrasi siaran sangat mungkin terjadi sebagaimana apa yang terjadi dalam lembaga siaran analog. Akibatnya, pelipatgandaan saluran siaran tidak akan memberikan makna apa-apa bagi demokratisasi penyiaran karena saluran-saluran tersebut hanya akan dikuasai oleh pihak tertentu (Rianto et al., 2012: 37-38). Dari sisi ekonomi politik, jumlah saluran siaran tidak akan memiliki pengaruh signifikan bagi demokratisasi, ketika dikaitkan dengan keberagaman isi siaran dan opini, jika saluran tersebut hanya dikuasai sejumlah pihak (Rianto et al., 2012: 24). Ini menyebabkan keragaman kepemilikan frekuensi penyiaran (diversity of ownership) dan keragaman konten penyiaran (diversity of content) tidak terjamin akan terwujud. Saat ini, untuk menikmati penyiaran digital dari televisi analog, masyarakat harus menggunakan set top box (STB) untuk mengkonversi siaran analog ke digital. Set top box adalah alat bantu penerima siaran digital yang berfungsi mengkonversi dan mengkompresi sinyal digital sehingga dapat diterima pada pesawat televisi analog. Set top box dibutuhkan untuk membaca sinyal digital. Tanpa STB, gambar dan suara tidak akan muncul di televisi analog. Set top box ini nantinya akan diperjual belikan di Indonesia, sehingga konsumen yang hendak menikmati siaran televisi digital harus membeli STB secara mandiri. Beberapa tahun ke depan setelah siaran televisi digital tersedia, banyak pesawat televisi
24
yang akan terintegrasi dengan STB, sehingga masyarakat tidak perlu untuk membeli STB secara terpisah. Masyarakat yang kaya dan mampu mengikuti perkembangan teknologi akan memiliki sumber daya baru, yakni penguasaan informasi digital. Mereka yang mampu membeli STB atau televisi yang terintegrasi dengan STB akan lebih mendapatkan informasi dari banyaknya pilihan yang ditawarkan oleh penyiaran televisi digital. Sebaliknya, mereka yang kondisi ekonomi sosialnya tertinggal akan semakin jauh dari penguasaan informasi. Keadaan seperti ini dinamakan dengan socio-economic divide atau pembelahan sosial ekonomi yang dapat menyebabkan permasalahan demokrasi. Pembelahan ekonomi dan sosial ini berpotensi diikuti oleh munculnya digital divide atau pembelahan dan kesenjangan digital (Rianto et al., 2012: 11). Tingkat kemampuan mengakses dan memanfaatkan hadirnya teknologi baru akan mengikuti struktur sosialnya. Jika struktur sosialnya masih terstratifikasi dan bersifat non-egalitarian, maka kehadiran teknologi baru hanya akan menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin lebar. Inilah sebabnya kehadiran teknologi informasi, termasuk digitalisasi televisi juga akan menyebabkan semakin bertambahnya kesenjangan sosial yang ditandai dengan kesenjangan digital (Rianto et al., 2012: 18).
iv. Alasan mengapa kebijakan penyiaran televisi digital menuai kontroversi Mengacu pada Digitalisasi Televisi di Indonesia (Rianto et al., 2012), kebijakan penyiaran televisi digital mendapatkan perhatian atau menjadi fokus kajian karena implikasinya secara langsung dan cukup bagi serius bagi penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Berikut adalah isu kontroversial mengenai Permen penyiaran televisi digital8 yang berhasil peneliti rangkum. Kebijakan ini mengatur persoalan penyiaran digital yang belum diatur dalam UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002. Hal ini pun memunculkan dualitas regulasi, yakni regulasi penyiaran analog dan penyiaran digital melalui permen 8
Isu-isu kontroversial ini dipetakan berdasarkan kajian yang difokuskan pada Permen Kominfo No. 22 Tahun 2011. Setelah Permen ini digantikan dengan Permen Kominfo No. 32 Tahun 2013, tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian isu kontroversial ini masih diperdebatkan dan kebijakan penyiaran digital masih memiliki implikasi serius bagi penyiaran di Indonesia.
25
ini. Padahal, dalam tata perundangan di Indonesia, Permen biasanya merupakan petunjuk teknis atau menjadi peraturan pelaksana atas peraturan undang-undang di atasnya. Namun,
yang terjadi dalam permen ini tidak demikian. Ia
merepresentasikan
diri
menjadi
suatu
bentuk
„peraturan
baru‟
dalam
penyelenggaraan digitalisasi penyiaran televisi di Indonesia. Inilah yang membuat permen ini menjadi kontroversial (Rianto et al., 2012: 24-25). Dalam sistem demokrasi, keberadaan lembaga penyiaran publik dan komunitas sangatlah penting. Di negara-negara seperti Inggris, Jerman, dan Jepang, lembaga penyiaran publik sangatlah vital dalam dalam melayani informasi warganya. Sementara, lembaga penyiaran publik di Amerika menjadi penting karena menjadi penyeimbang lembaga siaran swasta yang sangat komersial. Oleh karena itu, idealnya lembaga penyiaran publik dan komunitas diberi tempat yang setidaknya berimbang dengan lembaga penyiaran swasta. Sayangnya, hal ini tidak dilakukan oleh Permen penyiaran televisi digital. Sebaliknya, tempat tersebut justru lebih kuat diberikan ke lembaga penyiaran swasta. Persoalan digitalisasi penyiaran merupakan persoalan yang kompleks sehingga mestinya melibatkan perdebatan publik dan parlemen sebagai representasi rakyat yang menjadi pemilik sah frekuensi. Menurut Dahlan (Kompas, 2010, dalam Rianto et al., 2012) spektrum adalah sumber alam milik bersama. Spektrum hanya dipinjamkan kepada pemakainya dengan aturan yang ketat yang harus ditegakkan negara. Oleh karena itu, pengaturan frekuensi seharusnya melibatkan perdebatan publik dan parlemen. Setiap usaha mengatur frekuensi sebaiknya dilakukan melalui studi dan perdebatan panjang yang melibatkan seluruh warga negara (Rianto et al., 2010: 24-25). Kemudian, Permen penyiaran digital tidak mengakomodasi peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Keseluruhan proses migrasi dari analog ke digital tidak sedikitpun melibatkan KPI yang dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran diberi peran penting dalam membangun infrastruktur penyiaran di Indonesia. Pasal 7 ayat (2) UU Penyiaran mengatakan bahwa “KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran”.
26
Meskipun penyiaran telah berubah format menjadi digital, KPI mestinya tetap diberi peran dalam proses tersebut. Pemerintah perlu melihat pasal 8 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2002 yang menjelaskan tugas dan kewajiban KPI. Namun, keseluruhan peraturan menteri mengesampingkan pasal ini. Bukan hanya fungsi KPI dalam penataan infrastruktur yang tidak diakomodasi sedikitpun dalam Permen, tetapi kewenangan Kementerian Kominfo menjadi sangat besar dalam mengatur penyiaran digital di Indonesia. KPI sama sekali „dihapuskan‟ dalam permen ini (Rianto et al., 2012: 30-31). Selain aspek-aspek di atas, isu-isu kontroversial lainnya adalah tidak adanya jaminan akan diversity of ownership dan diversity of content penyiaran digital di Indonesia
dan
kecenderungan
pembelahan
sosial
dan
ekonomi
yang
pembahasannya terlampir dalam aspek potensi dampak negatif kebijakan penyiaran televisi digital.
v. Istilah-istilah spesifik terkait dengan kebijakan penyiaran televisi digital Dalam informasi umum mengenai kebijakan penyiaran televisi digital di atas, terdapat sejumlah istilah spesifik yakni penyiaran multipleksing, set top box (STB), dan Digital Video Broadcasting Terrestrial Second Generation (DVB-T2). Penyiaran multipleksing adalah penyiaran penerimaan tetap tidak berbayar dengan transmisi dua program atau lebih pada satu saluran pada saat yang bersamaan. Penyiaran multipleksing inilah yang membedakan kemampuan penyiaran televisi analog dan penyiaran televisi digital. Set top box adalah alat yang berfungsi mengonversi sinyal digital menjadi sinyal analog di televisi analog. Sementara, DVB-T2 adalah teknologi penyiaran digital yang dipilih pemerintah sehingga satu kanal frekuensi dapat memancarkan 12 saluran. Selain tiga istilah di atas, terdapat satu istilah lain yakni simulcast. Penyelenggaraan penyiaran multipleksing pada setiap wilayah layanan diawali dengan pelaksanaan penyiaran secara simulcast, yaitu periode dimana siaran analog dan siaran digital disiarkan bersamaan. Simulcast dilaksanakan agar masyarakat memiliki waktu yang cukup untuk menerima siaran digital. Mengingat Indonesia sangat luas, waktu mulai simulcast ini berbeda-beda di setiap lokasinya.
27
Secara bertahap setiap lokasi di Indonesia akan bersiaran televisi digital. Proses bertahap sangat penting untuk menyeimbangkan peredaran STB dan besarnya investasi lembaga penyiaran. Menurut Kemenkominfo, simulcast diawali di Jawa dan Kepulauan Riau pada tahun 2013.
F. Kerangka Konsep Penelitian ini hendak menggambarkan bagaimana mahasiswa JIK UGM menggunakan media untuk mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital dan pengetahuan mereka mengenai kebijakan tersebut. Dengan mengacu pada Newton (2000), peneliti tidak hanya membatasi penelitian pada penggunaan media untuk akses informasi kebijakan penyiaran televisi digital semata, melainkan juga mencari tahu bagaimana penggunaan media untuk akses informasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurut peneliti, hal ini menarik untuk dilihat sehingga nanti akan diperoleh pola penggunaan media sehari-hari yang dapat dikomparasikan dengan bagaimana mereka menggunakan media untuk akses informasi kebijakan penyiaran televisi digital. Dimensi variabel penggunaan media ini diambil berdasarkan dimensi penggunaan media pada survei-survei yang pernah dilakukan sebelumnya, yang digabungkan sejumlah dimensi lainnya. Dimensi-dimensi variabel ini disusun dengan mengolaborasikan kerangka pemikiran penggunaan media untuk mencari informasi, yang pada akhirnya merumuskan dimensi jenis media yang digunakan dalam mengakses informasi sehari-hari dan mengakses informasi kebijakan, pengeluaran untuk akses media, frekuensi penggunaan media dalam mengakses informasi kebijakan, durasi menggunakan media dalam mengakses informasi kebijakan, isu-isu kebijakan yang diakes melalui media, serta minat mengakses isu kebijakan penyiaran televisi digital melalui media. Pengetahuan mereka mengenai kebijakan ini akan diukur sampai batas tingkatan „tahu‟ menurut Notoadmodjo (2003). Batas tingkatan memahami berarti mahasiswa JIK UGM dapat menyebutkan dan mengindentifikasikan jawaban dari pertanyaan yang diberikan dengan benar. Pengetahuan mereka mengenai kebijakan penyiaran televisi digital yang akan diukur adalah pengetahuan
28
mengenai alasan ditetapkannya kebijakan, keunggulan penyiaran digital, dampak negatif yang mungkin terjadi akibat kebijakan, alasan mengapa kebijakan penyiaran televisi digital menuai kontroversi, dan istilah-istilah spesifik terkait penyiaran televisi digital. Sehingga, indikator dari pengetahuan mahasiswa JIK mengenai pengetahuan kebijakan penyiaran televisi digital adalah mahasiswa dapat menyebutkan dan mengidentifikasikan pernyataan mana saja yang termasuk ke dalam aspek-aspek pengetahuan kebijakan di atas. Peneliti juga akan mengambil data demografis mahasiswa JIK UGM. Data demografis yang akan peneliti ambil adalah nama, nomor yang bisa dihubungi, usia, konsentrasi yang diambil, angkatan, jenis kelamin, dan pengeluaran per bulan. Dalam survei penggunaan media dan pengetahuan, data demografis penting untuk diketahui sehingga karakteristik responden dapat diketahui dan dikaitkan dengan kedua variabel di atas.
G. Definisi Operasional 1. Penggunaan Media oleh Mahasiswa JIK UGM dalam Mengakses Informasi Kebijakan Penyiaran Televisi Digital Penggunaan media yang hendak dipetakan dalam penelitian ini terdiri atas: a. Jenis Media yang Digunakan untuk Akses Informasi Sehari-hari Jenis media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media massa apa yang digunakan dalam mencari informasi sehari-hari oleh mahasiswa JIK UGM. Kategorisasi media massa dilakukan dengan mengacu pada McQuail (2005), Ardianto dan Komala (2005), Ardianto, Komala dan Karlinah (2007), Effendy (1990), dan beberapa sumber lain yang melengkapi kekurangan spesifikasi media dari referensi di atas. Klasifikasi media ini pun mengalami modifikasi dengan menggabungkan kajian jenis media yang ada, dan mengalami penyesuaian dengan ketersediaan media tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Spesifikasi media ini diperlukan agar hasil penelitian menjadi lebih mendetail, yang mampu mencatat media-media apa saja yang digunakan responden secara spesifik. Pada akhirnya, media massa dalam dimensi ini dibedakan menjadi buku, surat kabar, majalah,
29
televisi, radio, film, dan internet. Kemudian, media-media ini dikelompokkan kembali menjadi bentuk yang lebih spesifik berdasarkan kontennya, yakni: i. Buku, yang dibedakan menjadi buku fiksi dan non fiksi. Buku fiksi berarti buku yang berisikan cerita rekaan, khayalan, tidak berdasarkan kenyataan. Sementara buku nonfiksi adalah buku yang berisikan fakta dan kenyataan (KBBI Daring, 2008). ii. Surat kabar, yang dibedakan menjadi surat kabar lokal, regional, dan nasional. Surat kabar lokal adalah surat kabar yang wilayah cakupannya berapa pada satu tempat. Surat kabar regional adalah surat kabar yang mencakup beberapa tempat dalam satu daerah, sedangkan surat kabar nasional adalah surat kabar yang lingkupnya mencakup seluruh negeri (KBBI Daring, 2008). iii. Majalah, yang dibedakan menjadi majalah umum, majalah bisnis, jurnal ilmiah, newsletter, dan majalah humas. Majalah umum adalah majalah yang bahasannya tidak menyangkut suatu hal khusus. Majalah bisnis adalah majalah yang bergerak di dunia perdagangan atau bidang usaha. Jurnal ilmiah adalah majalah yang khusus memuat artikel di suatu bidang tertentu (KBBI Daring, 2008), dan newsletter adalah sebuah buletin yang diterbitkan secara berkala untuk anggota dari masyarakat atau organisasi tertentu (Oxford Dictionaries, 2014). iv. Radio, yang siarannya dibedakan menjadi siaran berita dan informasi, siaran pendidikan, dan siaran kebudayaan. Siaran berita dan informasi adalah siaran yang memuat tentang kejadian atau peristiwa yang hangat. Siaran pendidikan adalah siaran radio yang memuat konten dan upaya mendidik. Siaran kebudayaan adalah siaran yang memuat konten kepercayaan, kesenian dan adat istiadat (KBBI Daring, 2008). v. Televisi, dengan jenis siaran informasi dan hiburan. Siaran informasi memuat pemberitahuan, kabar, atau berita tentang suatu hal sementara siaran hiburan berisikan hal-hal yang dapat menghibur (KBBI Daring, 2008).
30
vi. Film, yang dibedakan menjadi film cerita, film berita, film dokumenter, dan film kartun. Film cerita adalah film yang menggambarkan bagaimana terjadinya suatu hal. Film berita memuat informasi mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat. Film dokumenter berisikan dokumentasi mengenai suatu hal atau peristiwa. Film kartun adalah film yang menciptakan khalayan gerak sebagai hasil pemotretan rangkaian gambar yang melukiskan perubahan posisi (KBBI Daring, 2008). vii. Internet,
yang
situs-situs di dalamnya
dibedakan menjadi situs
pribadi/personal, situs perusahaan, situs organisasi, situs toko online, dan situs berita. Situs personal adalah situs yang dimiliki dan bersifat pribadi. Situs perusahaan dimiliki oleh organisasi berbadan hukum yang mengadakan transaksi atau usaha. Situs organisasi adalah situs kelompok kerja sama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama. Situs toko online adalah situs yang dimiliki oleh badan usaha yang berjualan secara online (melalui internet). Kemudian, situs berita adalah situs yang berisikan informasi atau kejadian-kejadian terhangat (KBBI Daring, 2008).
b. Pengeluaran untuk Akses Media per Bulan Dimensi ini mempertanyakan rentang pengeluaran responden khusus untuk akses media per bulan. Pengeluaran untuk akses media adalah total pengeluaran yang dikeluarkan khusus untuk keperluan komunikasi atau akses informasi, seperti pulsa internet, surat kabar, buku, film, dan majalah per bulan. Pilihan yang tersedia yakni tidak mengeluarkan uang, Rp 1 – Rp 50.000, Rp 50.001 – Rp 100.000, Rp 100.001 – Rp 150.001, Rp 150.001 – Rp 200.000, dan lebih dari Rp 200.000.
c. Jenis Media yang Digunakan untuk Akses Informasi Kebijakan Definisi dimensi ini adalah jenis media yang digunakan untuk akses informasi kebijakan. Media massa pada dimensi ini sama dengan media massa pada dimensi media yang digunakan untuk akses informasi sehari-hari hanya saja
31
pada dimensi media ini, film tidak dimasukkan karena asumsi bahwa sejauh ini belum ada film yang mengandung informasi kebijakan penyiaran televisi digital.
d. Frekuensi Penggunaan Media dalam Mengakses Informasi Kebijakan Frekuensi penggunaan media berarti seberapa sering mahasiswa JIK UGM menggunakan media dalam mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital dalam periode tertentu. Media yang ditanyakan adalah buku, surat kabar, majalah, radio, televisi dan internet, namun tidak terspesifikasi lebih jauh. Sehingga, penelitian ini mempertanyakan frekuensi penggunaan media untuk mengakses informasi kebijakan secara general. Untuk dimensi ini, peneliti akan memberikan batasan waktu dalam enam bulan terakhir. Frekuensi penggunaan ini terdiri atas tidak menggunakan, sangat jarang, jarang, kadang-kadang, cukup sering, sangat sering, selalu; yang diambil dari daftar skala frekuensi penggunaan media yang tersedia dalam Coromina dan Saris serta Newton (2000).
e. Durasi Penggunaan Media dalam Mengakses Informasi Kebijakan Durasi penggunaan media dalam penelitian ini adalah berapa lama (rata-rata) biasanya mahasiswa JIK menggunakan media dalam satu kali penggunaan untuk mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital.
Media yang
dipertanyakan kepada responden serupa dengan dimensi frekuensi penggunaan media. Durasi penggunaan media terdiri atas tidak menggunakan, < ½ jam, ½ jam – 1 jam, 1 jam – 1,5 jam, 1,5 jam – 2 jam, 2 jam – 2,5 jam, 2,5 jam – 3 jam, > 3 jam, yang dipilih dari daftar skala durasi penggunaan media dalam Newton (2000).
f. Isu-isu Kebijakan Penyiaran Televisi Digital yang Diakses melalui Media Indikator dari dimensi ini adalah kategori isu yang diakses melalui media yakni alasan ditetapkannya kebijakan, keunggulan penyiaran digital, dampak negatif yang mungkin terjadi akibat kebijakan, alasan mengapa kebijakan penyiaran televisi digiat menuai kontroversi, dan istilah-istilah spesifik terkait penyiaran televisi digital. Peneliti juga menyediakan pilihan jawaban „lainnya‟
32
dimana responden dapat menuliskan isu kebijakan yang diakses selain isu-isu di atas.
g. Minat Mengakes Isu Kebijakan Penyiaran Televisi Digital Terdapat dua subdimensi dari dimensi ini yakni minat mahasiswa JIK terhadap isu kebijakan penyiaran televisi digital dan minat mereka untuk mengakses isu tersebut melalui media, yang mengikuti variabel penelitian. Minat ini dibedakan menjadi dua subdimensi karena menurut peneliti, minat terhadap informasi tidak sama dengan minat untuk mengakses informasi kebijakan, meskipun sebenarnya kedua jenis minat ini saling berhubungan. Kedua minat ini penting untuk dilihat, dimana minat terhadap informasi penting diketahui untuk mengukur minat mahasiswa terhadap isu ini. Minat untuk mengakses informasi kebijakan melalui media penting untuk dikaitkan dengan penggunaan media untuk akses informasi kebijakan itu sendiri oleh mahasiswa. Tingkatan minat ini terdiri atas sangat tinggi, tinggi, netral, rendah dan sangat rendah.
2. Pengetahuan Mahasiswa JIK UGM mengenai Kebijakan Penyiaran Televisi Digital Terdapat sejumlah dimensi dari pengetahuan mengenai kebijakan penyiaran televisi digital yang hendak ditanyakan yakni: a. Alasan ditetapkannya kebijakan, yang terdiri atas: i. Banyaknya permintaan izin siaran baru dengan keterbatasan spektrum penyiaran ii. Kualitas gambar dan suara siaran televisi analog yang tidak memadai iii. Mahalnya biaya pemeliharaan infrastruktur penyiaran televisi analog iv. Penyiaran televisi analog menggunakan daya listrik yang besar dan lebih boros
b. Keunggulan penyiaran digital, antara lain: i. Kualitas gambar dan suara yang jauh lebih baik ii. Jumlah saluran program siaran yang lebih banyak
33
iii. Menggunakan frekuensi penyiaran secara optimal iv. Menggunakan infrastruktur penyiaran secara optimal v. Meminimalisir biaya operasi penyiaran bagi lembaga penyiaran vi. Meminimalisir penggunaan listrik dan lahan bagi lembaga penyiaran vii. Menumbuhkan peluang pengembangan konten lokal viii. Menumbuhkan peluang industri di bidang telekomunikasi
c. Potensi dampak negatif kebijakan, yakni: i. Penyiaran televisi digital didominasi oleh lembaga penyiaran swasta ii. Lembaga penyiaran publik dan komunitas terancam tidak dapat berpartisipasi dalam penyiaran televisi digital iii. Menutup peluang lembaga atau perusahaan lain yang bukan lembaga penyiaran iv. Semakin sulit mewujudkan keragaman kepemilikan frekuensi penyiaran v. Semakin sulit mewujudkan keragaman konten penyiaran
d. Alasan mengapa kebijakan penyiaran televisi digital menuai kontroversi, antara lain: i. Memuat bahasan penyiaran digital yang belum termuat di UU Penyiaran ii. Lebih memberikan kesempatan kepada lembaga penyiaran swasta dibandingkan lembaga penyiaran publik iii. Proses perumusan kebijakan yang tidak melibatkan publik iv. Tidak mengakomodasi peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
e. Istilah khusus yang terkait penyiaran televisi digital, yakni: i. Simulcast ii. Multipleksing iii. Set top box (STB) iv. Digital Video Broadcasting Terrestrial Second Generation (DVB-T2)
34
Untuk mengukur pengetahuan mahasiswa JIK UGM mengenai kebijakan penyiaran televisi digital, peneliti akan menyajikan satu pertanyaan per satu aspek pengetahuan, yang mempertanyakan pernyataan mana saja yang mereka tahu sebagai jawaban yang benar dari pertanyaan yang diberikan. Pertanyaan dalam bentuk seperti ini disajikan untuk mengukur sejauh mana mereka mengetahui halhal yang termasuk ke dalam aspek pengetahuan kebijakan penyiaran televisi digital yang ditanyakan.
3. Data Demografis Data demografis di sini sesungguhnya bukanlah variabel penelitian utama. Data demografis di sini berperan sebagai data pelengkap dua variabel di atas dan memberikan gambaran mengenai karakteristik responden. Data demografis yang akan diambil adalah nama, nomor yang bisa dihubungi, usia, konsentrasi yang diambil, angkatan, jenis kelamin, dan pengeluaran per bulan. Konsentrasi yang diambil terdiri dari dua pilihan yakni Komunikasi Strategis dan Media dan Jurnalisme. Pilihan tahun angkatan yang tersedia adalah 2010, 2011, dan 2012. Jenis kelamin terdiri atas laki-laki dan perempuan. Sementara rentang pengeluaran per bulan terdiri atas kurang atau sama dengan Rp 1.500.000,00, berkisar antara Rp 1.500.001 – Rp 2.500.000,00, diantara Rp 2.500.001,00 – Rp 3.500.000,00 dan di atas Rp 3.500.000,009.
9
Kategori pengeluaran ini mengikuti kategori pendapatan oleh BPS.
35
H. Operasionalisasi Konsep Kerangka konsep penelitian perlu diturunkan kembali menjadi indikator yang bersifat operasional untuk mempermudah peneliti melakukan penelitian dalam batasan tertentu. Berikut adalah hasil operasionalisasi konsep penelitian: Tabel 1.1 Operasionalisasi Konsep Penelitian Variabel
Dimensi Jenis media yang digunakan dalam mengakses informasi sehari-hari
Sub-dimensi
Pengeluaran untuk akses media
Penggunaan Media dalam Mengakses Informasi Kebijakan Penyiaran Televisi Digital
Jenis media yang digunakan dalam mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital
Indikator Spesifikasi jenis buku, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dan internet yang digunakan untuk mengakses informasi di kehidupan sehari-hari Pengeluaran per bulan untuk keperluan akses informasi (pulsa telepon seluler, pulsa internet, buku, surat kabar, majalah dan film) Spesifikasi jenis buku, surat kabar, majalah, radio, televisi, dan internet yang digunakan untuk mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital Tingkatan frekuensi menggunakan media (buku, surat kabar, majalah, radio, televisi, internet) untuk mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital dalam enam bulan terakhir Tingkatan durasi rata-rata menggunakan buku, surat kabar, majalah, radio, televisi, dan internet dalam mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital
Frekuensi menggunakan media dalam mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital Durasi menggunakan media dalam mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital
36
Skala Nominal
Ordinal
Nominal
Ordinal
Ordinal
Isu-isu kebijakan penyiaran televisi digital yang diakses melalui media Minat mengakses informasi kebijakan kenyiaran televisi digital melalui media
Isu-isu kebijakan penyiaran televisi digital yang diakses melalui media Minat terhadap isu kebijakan penyiaran televisi digital Minat mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital melalui media
Pengetahuan mengenai Kebijakan Penyiaran Televisi Digital
Demografis Mahasiswa
Nama Nomor handphone Usia
37
Tingkatan minat terhadap isu kebijakan penyiaran televisi digital Tingkatan minat untuk mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital melalui media Pernyataan-pernyaataan yang dipilih sebagai jawaban dari pertanyaan apa alasan ditetapkannya kebijakan penyiaran televisi digital di Indonesia Pernyataan-pernyataan yang dipilih sebagai jawaban dari pertanyaan apa keunggulan penyiaran televisi digital dibandingkan penyiaran analog Pernyataan-pernyaataan yang dipilih sebagai jawaban dari pertanyaan apa dampak negatif yang mungkin terjadi akibat kebijakan penyiaran televisi digital di Indonesia Pernyataan-pernyaataan yang dipilih sebagai jawaban dari pertanyaan apa alasan kebijakan penyiaran televisi di Indonesia menuai kontroversi Pernyataan-pernyaataan yang dipilih sebagai jawaban dari pertanyaan apa saja istilah-istilah khusus terkait penyiaran televisi digital Nama responden Nomor handphone yang bisa dihubungi Usia responden saat mengisi kuesioner
Nominal
Ordinal Ordinal
Nominal
Nominal
Nominal
Nominal
Nominal Nominal Nominal Rasio
Konsentrasi Angkatan Jenis Kelamin
Konsentrasi yang dipilih di JIK UGM Tahun masuk di JIK UGM Jenis kelamin responden Pengeluaran responden per bulan (ratarata)
Pengeluaran per bulan
38
Nominal Ordinal Nominal Ordinal
G. Metodologi Penelitian Penelitian ini mengangkat fokus penggunaan media untuk akses informasi kebijakan kebijakan komunikasi dan pengetahahuan mengenai kebijakan tersebut, dengan lokus audiens (mahasiswa). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan metode survei, dengan penjelasan sebagai berikut.
1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yakni suatu pendekatan yang berdasarkan pada informasi numerik atau kuantitas. Menurut Aliaga dan Gunderson (2000), penelitian kuantitatif berbicara mengenai menjelaskan suatu fenomena dengan mengumpulkan data numerik yang dianalisis menggunakan metode matematis dalam statistik tertentu. Isu penyiaran televisi digital adalah isu yang belum banyak terjamah dalam penelitian. Maka, penelitian pada isu baru ini dapat dilakukan dengan menghadirkan gambaran umum situasi di lapangan melalui data numerik terlebih dahulu. Data yang diperoleh diharapkan mampu memberikan gambaran umum dan awal akan penggunaan media dalam mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital dan pengetahuan mereka mengenai kebijakan tersebut. Temuan dalam data numerik ini dapat menjadi awal keterbukaan penelitian mengenai isu kebijakan ini, yang dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya yang lebih mendalam. Data ini dianalisis dengan menggunakan metode statistik tertentu, guna menghasilkan deskripsi dan kesimpulan penelitian. Pendekatan ini juga dipilih karena peneliti hendak meneliti permasalahan ini dengan metode survei, yang akan dijelaskan pada bahasan metode penelitian di bawah.
2. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode survei. Metode ini dipilih karena peneliti ingin memetakan penggunaan media dalam mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital oleh mahasiswa JIK UGM dan pengetahuan mereka mengenai kebijakan tersebut, dengan responden dalam jumlah banyak. Menurut Faisal (2003:23) dalam Purwanto dan Sulistyastuti (2007:60), dengan
39
survei peneliti dapat menggambarkan karakteristik tertentu dari suatu populasi, apakah berkenaan dengan sikap, tingkah laku, ataukah aspek sosial lainnya. Penelitian survei dapat digunakan untuk mendapatkan informasi yang tidak dapat diperoleh dari sumber lain seperti pendapat atau opini, karakteristik, penghasilan, atau selera. Penggunaan media dan pengetahuan adalah tingkah laku dan aspek individu yang dapat diketahui dengan mencari data langsung dari individu itu sendiri. Karena responden dalam penelitian ini berjumlah banyak dan peneliti bertujuan mencari data yang mewakili populasi, maka metode survei digunakan karena dapat menjangkau massa dalam jumlah banyak dan serempak. Alat bantu survei yang paling sering digunakan adalah kuesioner.
3. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiwa Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Populasi ini dipilih karena UGM adalah perguruan tinggi yang menjalankan program studi (prodi) ilmu komunikasi atau penyiaran dalam waktu yang cukup lama, dan masuk ke dalam lima besar universitas dengan kajian media terbaik versi QS World University Ranking 2013. Populasi ini dibatasi pada mahasiswa aktif JIK UGM yang telah mengambil konsentrasi Komunikasi Strategis dan Media dan Jurnalisme. Mahasiswa yang dapat digolongkan sebagai populasi adalah mahasiswa angkatan kedua, ketiga dan keempat. Data mahasiswa yang peneliti gunakan adalah data mahasiswa tahun ajaran 2013/2014, sehingga mahasiswa yang tergolong populasi adalah mahasiswa angkatan 2010, 2011 dan 2012. Peneliti memutuskan untuk meneliti mahasiswa yang telah mengambil konsentrasi di atas untuk mendapatkan data dari mahasiswa dengan situasi belajar yang berbeda. Materi pembelajaran dan tuntutan belajar dari masing-masing konsentrasi tentu berbeda, sehingga memungkinkan adanya perbedaan pola penggunaan media dalam mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital dan pengetahuan mereka mengenai kebijakan yang bersangkutan. Konsentrasi Media dan Jurnalisme adalah konsentrasi yang arah pembelajarannya menyinggung ranah penyiaran, sementara konsentrasi Komunikasi Strategis tidak belajar penyiaran secara khusus. Dengan demikian, terdapat kemungkinan data
40
dari penelitian ini akan beragam, mengikuti konsentrasi yang diambil oleh responden. Jumlah populasi adalah 316 orang. Jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin, yakni: 𝑛=
𝑁 1 + 𝑁𝛼 2
n = jumlah sampel N = jumlah populasi α = tingkat kesalahan Jumlah sampel untuk populasi berjumlah 316 orang dan tingkat kesalahan 5% adalah 177 orang dengan perhitungan sebagai berikut: 𝑛=
316 1 + 316(0,05)2 n = 177
Teknik sampling yang akan digunakan adalah proportional stratified sampling, karena populasi penelitian terdiri atas dua subpopulasi atau strata yakni konsentrasi Komunikasi Strategis dan Media dan Jurnalisme. Proportional stratified sampling dipilih agar sampel mewakili masing-masing konsentrasi secara proporsional. Dalam teknik sampling ini, dari setiap strata diambil jumlah responden yang proporsional dengan jumlah setiap strata. Populasi yang bersangkutan harus dibagi-bagi dalam strata yang beragam, dan dari setiap lapisan dapat diambil secara acak (Neumann, 1999: 208 dalam Kriyantono, 2007: 152). Kerangka sampling yang digunakan adalah data mahasiswa yang tergolong dalam populasi. Rancangan sampling pada penelitian ini adalah:
41
Tabel 1.2 Rancangan Sampling Penelitian
No.
Konsentrasi JIK UGM
Jumlah Subpopulasi
1.
Komunikasi strategis
178
2.
Media dan Jurnalisme
138
Jumlah
316
Presentase Strata dari Jumlah Populasi 178 x100% 316 = 56,5% 138 x100% 316 = 43,5% 100%
Jumlah Sampel
56,5%x177=100
43,5%x177=77 177
4. Teknik Pengumpulan Data Terdapat dua teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yakni kuesioner dan studi pustaka. Kuesioner digunakan untuk memperoleh data mengenai penggunaan media dalam mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital oleh mahasiswa JIK UGM dan pengetahuan mereka mengenai kebijakan tersebut. Responden akan diberikan serangkaian pertanyaan tertulis dalam bentuk pertanyaan tertutup. Kuesioner adalah instrumen penelitian yang memudahkan peneliti untuk mendapatkan data dari responden dengan jumlah yang cukup banyak. Sementara, studi pustaka juga dilakukan untuk mencari referensi mengenai kebijakan penyiaran televisi digital, tinjauan mengenai penggunaan media massa di kalangan anak muda, penggunaan media yang mendatangkan informasi, efek penggunaan media, dan kajian pustaka lain yang digunakan untuk melengkapi penelitian ini.
5. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis statistik deskriptif. Teknik ini akan menganalisis data yang telah terkumpul sebagaimana adanya. Teknik analisis ini akan memberikan deskripsi mengenai penggunaan media dalam mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital oleh mahasiswa JIK UGM dan pengetahuan mereka mengenai kebijakan tersebut. 42
Data penggunaan media dan pengetahuan kebijakan akan disajikan dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi sehingga dapat dilihat bagaimana penggunaan media oleh mahasiswa JIK dalam mengakses informasi di kehidupan sehari-hari dan dalam mengakses informasi kebijakan penyiaran televisi digital. Pengetahuan responden akan kebijakan juga akan dianalisis dengan statistik deskriptif, yang juga disajikan dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi. Peneliti juga akan menyilangkan data penggunaan media dengan pengetahuan mahasiswa JIK UGM. Penyajian data akan dilakukan dengan teknik cross tabulation terhadap dua variabel di atas untuk melihat bagaimana titik temu data penggunaan media dalam mengakses informasi kebijakan yang dilakukan oleh mahasiswa JIK UGM dengan pengetahuan mengenai kebijakan penyiaran televisi digital yang dimiliki. Selain itu, peneliti juga akan menggunakan teknik penghitungan rata-rata. Teknik ini digunakan untuk mengetahui rata-rata skor total dari kelompok responden yang dibagi berdasarkan demografis. Rata-rata ini akan membantu memberikan kita deskripsi mengenai situasi masing-masing kelompok responden. Alat bantu yang akan digunakan dalam menganalisis adalah SPSS v.19. Sebagai analisis tambahan, peneliti akan menghadirkan analisis korelasi antara penggunaan media untuk akses informasi kebijakan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh responden. Analisis ini dilakukan karena terdapat teori yang menyatakan bahwa penggunaan media memiliki hubungan dengan pengetahuan audiens, dimana penggunaan media dipercaya dapat menghadirkan efek kognitif bagi khalayaknya.
43