BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Permasalahan yang ada dikalangan remaja yang berada pada lingkungan sekolah khususnya SMA sangatlah kompleks. Hal ini disebabkan karena kondisi remaja itu sendiri dalam proses perkembangan psiko-seksualitas maupun mental-intelektualnyalah yang menyebabkan mereka cenderung melakukan hal-hal diluar kontrol yang pada akhirnya menyebabkan kerugian bagi dirinya sendiri. Pada diri anak sendiri, akan timbul bermacam pertanyaan-pertanyaan dilematis seperti kemana akan melanjutkan sekolah, apakah mampu bersaing dalam seleksi, bagaimana masa depan setelah itu, apakah cukup tahan mengikuti studi lanjutan, apakah mungkin mendapatkan lapangan pekerjaan, dan masih banyak lagi pertanyaan yang menyebabkan anak sulit untuk mengambil keputusan dalam menentukan masa depan karirnya dan bagaimana ia dapat mempersiapkan studinya dan juga bagaimanakah ia dapat menghilangkan hal-hal yang mengganggu pikirannya. (Leo Nora & Erica M.Cohen, 1993). Bagi guru, pertanyaan-pertanyaan tersebut cukup dilematis karena karena para guru dituntut bertanggungjawab untuk mendidik dan membimbing para siswa dalam kelanjutan studi mereka. Biasanya guru bidang studi atau wali kelas sering memberikan motivasi kepada siswa untuk berpacu dalam nilai pada mata pelajarannya tanpa melihat potensi siswa. Hal ini menyebabkan anak menjadi merasa tertekan dan mengalami kondisi stress dalam belajar, akhirnya mengakibatkan anak bingung dalam memilih jurusan ataupun menentukan masa depan karirnya terutama pada memilih jurusan di
perguruan tinggi..Selain guru bidang studi dalam membimbing siswanya kearah yang positif dalam perkembangan intelektual siswa ada guru pembimbing (konselor sekolah) yang dibebani untuk membina siswa kearah kematangan pribadinya dan kematangan berpikirnya, namun hasil bimbingannya belum memperlihatkan perubahan yang nyata. Menurut Ivey dalam Christ Hatcher (1977) konselor atau guru pembimbing harus benar-benar sangat aktif dalam membantu sekolah dan mengajarkan / memberikan contoh-contoh yang positif kepada yang lainnya, dan mampu mengidentifikasi 4 langkah dalam membantu pengembangan sekolah antara lain : 1. Terfokus pada pembinaan dalam jangka waktu yang panjang dari pada pembinaan sesaat. 2. konselor/guru pembimbing dapat membantu membuat rancangan belajar bagi siswa yang mandiri yang dapat dievaluasi melalui hasil belajar. 3. dapat mengorganisasikan terapi melalui konseling secara efektif dengan menggunakan tehnik konseling REBT lebih baik dari pada menggunakan satu tehnik/cara dalam membantu siswa menyelesaikan masalahnya (Alschuler, 1973) 4. turut membantu proses perkembangan sekolah/institusi, dengan memberikan masukanmasukan kepada kepala sekolah. Konselor / guru pembimbing turut bertanggungjawab dan sebagai konsultan sekolah baik memberikan bantuan kepada sesama guru, menjadi sponsor dalam training pembelajaran bagi guru menuju kepada tujuan belajar yang mengacu pada “life skill”siswa. (Healy, 1982). Pendekatan secara behaviouristik tidak lagi dapat diandalkan namun perlu modifikasi tehnik-tehnik lainnya dalam perubahan perilaku siswa. Menurut Ivey (1976)
konselor/guru pembimbing dalam menjalankan terapinya harus melihat secara keseluruhan termasuk faktor orang tua/keluarga siswa, teman dekatnya, per-grupnya, sekolah, maupun lingkungan masyarakat. Ini penting untuk melihat penyebab dari permasalahan yang dihadapi anak. Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) berada pada masa peralihan dari masa remaja menuju masa dewasa muda yang penuh tantangan. Pada tahap ini mereka membutuhkan perhatian, kasih sayang, bimbingan dan sentuhan-sentuhan psikologis dari pihak-pihak tertentu seperti orangtua, guru, teman-teman, baik di sekolah maupun di luar sekolah tentang berbagai hal berkaitan dengan pengetahuan, ketrampilan dan kualitas pribadi tertentu sebagai bekal untuk hidup mereka di masa yang akan datang dan bagaimana mereka dapat mengatasi masalahnya problem emosional, karena sangat mengganggu proses belajar mereka dan lebih jauh lagi akan sangat berpengaruh kepada penjurusannya. Really (1982) dalam bukunya Career Development Counseling Through The Life mengatakan bahwa seorang konselor harus dapat mengarahkan siswanya kepada pola berpikir yang realistik dan mampu mengarahkan siswa tidak hanya mau belajar dan menekuni satu bidang saja tetapi harus lebih dari satu (multiple) pelajaran. Disini terlihat jelas bahwa guru Bimbingan dan Konseling dituntut untuk dapat melakukan suatu perubahan pada prilaku siswa dari yang tidak tahu menjadi tahu dan dari berpola pikir statis menjadi dinamis dan rasional dalam pengambilan keputusan karir.Pembimbingan di sekolah dilakukan oleh konselor atau guru Bimbingan dan konseling. Melihat permasalahan yang cukup kompleks yang dihadapi siswa dengan segala aspek yang menyebabkan kondisi emosionalnya terganggu sehingga berpengaruh kepada cara berpikirnya dan lebih jauh lagi dalam priulaku pengabilan keputusan
tentang dirinya khususnya tentang masa depan dirinya atau karire masa depannya, maka disini tidak hanya cukup hanya diberikan sebuah bimbingan saja namun diperlukan kegiatan konseling yang berupa rangkaian konseling secara individu ataupun kelompok. Konseling yang dilakukan oleh seorang guru Bimbingan dan Konseling sangat berbeda dengan konseling yang dilakukan oleh seorang psychoterapist dalam clinical psychology. Menurut C. Hatcher dalam bukunya New Innovation in Counseling Psychology (1977:145);
konseling
dalam
pendidikan
mengembangkan
banyak
cara
dan
meningkatkan potensi seseorang antara lain dengan cara pendekatan yang berorientasi pada program-program perubahan prilaku dan usaha-usaha untuk merubah prilaku tersebut, seperti dengan metode memberikan pemikiran kembali antara “terbaik” atau “benar” sehingga ia dapat merasakan berbagai jalan penyelesaiannya sehingga akan memiliki konsep-konsep yang lebih bervariasi dan lebih bermutu dalam menentukan pilihannya. Dengan demikian siswa akan merasa lebih dihargai dan dapat menggunakan pilihan yang beragam dalam bersikap, beropini dan berprilaku (Christ Hatcher, 1977). Selanjutnya konseling dalam pendidikan adalah merupakan langkah awal dan lebih bersifat preventif, sedangkan dalam dunia psikologi arti konseling yang sebenarnya adalah merupakan sebuah terapi yang lebih mengarah kepada proses rehabilitasi prilaku. Dalam dunia pendidikan atau sekolah, konseling yang digunakan lebih berfungsi pembentukan cara berpikir klien yang lebih luas dalam memahami keluarganya, teman-temannya, sekolah dan lingkungannya. Dan tehnik yang dilakukan dalam pelaksanaan konseling tersebut, lebih mengacu kepada perkembangan dan sangat aplikasi serta dapat dievaluasi. Sementara Anastasi (1964) dalam bukunya Field of
Applied Psychology (International Student) mengatakan bahwa pada umumnya konseling yang dilakukan di sekolah adalah masalah yang berhubungan dengan penyesuaian diri dan beraneka ragam persoalan yang dimiliki orang-orang yang normal yaitu masih berada pada batas-batas wajar, dan sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh seorang psikolog yang menangani problem secara klinis yang merupakan suatu bentuk psychoteraphy klinis yang mengarah pada rehabilitasi prilaku. Siswa kelas tiga atau kelas XII yang memang dipersiapkan untuk dapat memilih jurusannya di perguruan tinggi sesuai dengan keyakinannya yang realistis, masih memerlukan seorang yang dapat membimbing dan mengarahkan mereka dan sekaligus dapat membantu mereka dalam membuat perencanaan belajarnya. Hal ini menunjukkan bahwa siswa kelas XII masih mengharapkan bantuan guru, dan guru ini adalah guru pembimbing (BK). Menurut Allyn & Bacon (1992) dalam bukuya Career Development Counseling Through the Life Stages mengatakan bahwa secara individual seorang konselor harus bertanggung jawab dalam pemberian bantuan kepada klien artinya tidak boleh memberikan satu jalan, seperti misalnya : untuk menjadi seorang insinyur, siswa disarankan untuk mahir matematika atau fisika saja, namun seorang konselor perlu memberikan arahan yang tepat dengan memperhatikan potensi dan kekurangan klien. Arahan melalui bimbingan bahkan sampai dengan konseling tentang pemantapan penjurusan wajib dilakukan oleh guru pembimbing / konselor sekolah. Dalam pelaksanaan pemilihan perguruan tinggi ini, diduga ada siswa yang bermasalah dalam penjurusan dan penempatan, yang disebabkan beberapa faktor. Menurut Asmidir Ilyas (2000), kenyataan di lapangan berdasarkan penelitian melalui analisis dokumentasi di dua SMA di Padang, terungkap beberapa isu berkaitan dengan
penjuruan siswa dilapangan antara lain 1) penjurusan siswa di sekolah merupakan tugas khusus guru pembimbing, guru lain tidak perlu ikut campur, 2) tanpa keikut-sertaan guru pembimbing, wali kelas dan guru mata pelajaran dapat menempatkan siswa ke jurusan / program tertentu 3) pemilihan jurusan di perguruan tinggi siswa cukup berdasarkan minat siswa yang tinggi pada bidang-bidang yang diminati dan ditekuninya, serta melihat peluang serta kesempatan yang ditawarkan, 4) tes psikologi berguna untuk melihat/mengungkapkan bakat dan minat siswa yang cukup berpengaruh terhadap pemilihan jurusan di perguruan tinggi, 5) pemilihan jurusan di perguruan tinggi hendaknya berdasarkan kebutuhan siswa dan orang tua dari pada kebutuhan sekolah. Hal ini sangat berpengaruh pada siswa terutama pada pembentukan konsep berpikir, sehingga para siswa yang mengalami kondisi seperti ini sangat rapuh dan tidak memiliki konsep diri yang kuat. Temuan lain hasil rekapitulasi Biro Konsultasi UGM sebagaimana diungkapkan Yapsir (BK ISSN, 2000) menunjukkan bahwa siswa kelas X SMA biasanya mempunyai masalah penjurusan, sedangkan siswa kelas XI lebih banyak menghadapi masalah belajar dan keluarga, sedangkan siswa kelas XII kebanyakan merasa bingung menghadapi persoalan mau melanjutkan ke fakultas dan universitas yang akan dituju. Sebagai remaja, siswa Sekolah Menengah Atas yang sedang menjalani proses belajar mengajar seringkali mengalami masalah yang mereka sendiri kurang mampu untuk mengatasinya dan memerlukan bimbingan dan arahan orang lain untuk memecahkan masalahnya. Dan ini tidak dapat dilayani dengan hanya melalui bimbingan saja/sebuah nasehat dan arahan yang jelas tanpa mengajak siswa untuk turut berpikir tentang dirinya, namun harus melalui keseluruhan proses bimbingan dan konseling. Mengapa
demikian? Karena jika hanya melalui proses bimbingan saja, maka tujuan akhir dari pada bimbingan yaitu perwujudan diri atau pengambilan keputusan oleh diri klien itu sendiri tidak akan terwujud. Oleh sebab itu diperlukan proses konseling dalam rangkaian bimbingan tersebut, dimana dengan pemberian konseling individual dapat menanamkan dan merubah keyakinan siswa tentang sebuah realita hidup. Selain itu ada beberapa alasan mengapa BK perlu dilaksanakan karena ada beberapa alasan seperti : a). Ada beberapa masalah dalam pendidikan dan pengajaran di sekolah yang tidak mungkin diselesaikan oleh guru sebagai pengajar saja. b). guru sebagai pengajar, seringkali terikat tugas yang harus diselesaikan sementara tugas tersebut bertentangan dengan kehendak siswa. c).ada beberapa masalah dalam pendidikan dan pengajaran di sekolah yang tidak mungkin diselesaikan oleh guru sebagai pengajar saja. d) guru sebagai pengajar, seringkali terikat tugas yang harus diselesaikan sementara tugas tersebut bertentangan dengan kehendak siswa. e).ada beberapa kegiatan dalam rangka mendidik siswa yang harus dilakukan petugas lain yang bukan guru. f). Seringkali terjadi konflik antara siswa dan guru yang pemecahannya memerlukan bantuan pihak ketiga. g). Ada beberapa masalah dalam pendidikan dan pengajaran di sekolah yang tidak mungkin diselesaikan oleh guru sebagai pengajar saja. h). Guru sebagai pengajar, seringkali terikat tugas yang harus diselesaikan sementara tugas tersebut bertentangan dengan kehendak siswa.
i). ada beberapa kegiatan dalam rangka mendidik siswa yang harus dilakukan petugas lain yang bukan guru.
Semua permasalahan yang disebut di atas terdapat masalah tingkah laku yang bersumber dari segi rasional maupun segi emosi yang berhubungan dengan konsep diri siswa. Atas dasar permasalahan tersebut, maka penulis ingin mengubah prilaku tersebut dengan menggunakan pendekatan konseling dengan metode REBT. Konseling dengan pendekatan REBT (Rasional Emotive Behaviour Therapy) yang dikemukakan oleh Dr. Albert Ellis seorang ahli Clinical Psychology, yang membuka prakteknya dalam bidang Konseling sangat cocok digunakan di Sekolah. Teori ini merupakan teori yang pada mulanya menggunakan teori psiko-analisa dari Freud, namun dikembangkan lebih lanjut oleh Ellis dalam prakteknya dengan metode pendekatan yang lebih realistis dan rasional (Dewa Ketut S, 1985). Menurut konseling rasional emotif ini, individu merasa dicela, diejek dan tidak diacuhkan oleh individu lain karena ia memiliki keyakinan berpikir bahwa individu lain itu mencela dan tidak mengacuhkan dirinya. Kondisi yang demikian inilah yang disebut cara berpikir yang tidak rasional oleh konseling rasio-emotif. Tujuan dari konseling REBT pada intinya ialah untuk mengatasi pikiran yang tidak logis tentang diri sendiri dan lingkungannya, serta menunjukkan dan menyadarkan klien bahwa cara berpikir yang tidak logis itulah merupakan penyebab gangguan emosionalnya. (Dewa Ketut, 1985 ; 89).
B. Permasalahan
Sekolah Menengah Atas (SMA) 6, salah satu sekolah favorite di Jakarta Selatan telah melaksanakan program bimbingan konseling dan telah dijalankan dengan baik dan didasarkan pada suatu program yang disusun secara matang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai sekolah tersebut. Upaya bimbingan yang dilakukan guru pembimbing di sekolah adalah melalui layanan orientasi, layanan informasi, layanan penyaluran dan layanan penempatan. Bimbingan dilakukan terhadap semua murid, bukan hanya melayani siswa yang bermasalah saja. Adapun kegiatan bimbingan saja tidak dapat mencapai keberhasilan pendidikan, oleh karenanya diperlukan suatu kegiatan selain kegiatan bimbingan juga kegiatan konseling yang merupakan kegiatan lebih mengarah kepada perubahan prilaku. Kegiatan-kegiatan pokok Bimbingan dan Konseling (BK) di SMA 6 antara lain mengenal siswa dengan segala aspek dan latar belakangnya, membantu siswa membuat perencanaan dan mengambil keputusan-keputusan, serta memberikan kesempatan untuk melaksanakan penilaian terhadap diri sendiri. Selain itu BK juga mengadakan konsultasi dengan orang tua dan guru dan bersama bidang akademis dan wali kelas menentukan penjurusan siswa. Selanjutnya Prayitno (1998) menyatakan bahwa bimbingan dan konseling yang diberikan kepada siswa-siswa baik secara perorangan maupun kelompok dengan harapan agar mereka dapat berkembang menjadi pribadi-pribadi mandiri. Kemandirian itu mencakup lima fungsi pokok yang hendaknya dapat dilakukan oleh pribadi yang mandiri yaitu : a. Mengenal dan memahami diri sendiri b. Menerima diri sendiri dan lingkungannya secara positif dan dinamis
c. Mengambil keputusan sendiri d. Mengarahkan diri e. Mewujudkan diri. Untuk dapat melaksanakan kelima hal tersebut diatas, diperlukan pemahaman diri sendiri, suatu hal yang sangat penting, bukan saja untuk dapat berinteraksi dengan sesama, tetapi juga agar dapat mengarahkan diri, membuat perencanaan dan keputusan, memecahkan masalah pribadi sosial secara realistis; menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dan juga untuk dapat saling menerima dan menghargai orang lain. BK dilaksanakan di SMA 6 dengan salah satu tujuan agar siswa memperoleh pemahaman mengenai diri sendiri dan orang lain, yang merupakan proses timbal balik karena saling membantu satu sama lain. Dalam hal ini proses kelompok mempunyai manfaat
yang
besar
untuk
meningkatkan
kesadaran
diri
(self
awareness).
Perkembangan pribadi sebagian besar ditentukan oleh interaksi individu dengan orang lain, dan dengan demikian akan mempermudah siswa memperoleh konsep diri yaitu potret diri mental atau keseluruhan pandangan seseorang tentang dirinya sendiri. Konsep diri merupakan hal yang penting karena mempengaruhi setiap aspek pengalaman, pikiran, perasaan, persepsi dan perilaku. Konsep diri memiliki tiga dimensi, yaitu pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan tentang diri dan penilaian tentang diri sendiri (Calhoun & Acicella dalam Bimbingan dan Konseling, 2000) Orang dengan konsep diri positif akan mampu merancang dan membuat keputusankeputusan serta memiliki harapan-harapan yang realistis, artinya ia mempunyai kemungkinan besar untuk mencapai tujuan tersebut, dengan demikian orang dengan
konsep diri positif mempunyai harga diri yang tinggi. Sebaliknya orang dengan konsep diri negatif biasanya merancang pengharapannya terlalu tinggi atau terlalu rendah. Karena harapannya tidak realistis, maka meraka tidak dapat mencapainya, dan akibat kegagalan tersebut akan merusak harga dirinya. Menurut pengamatan sementara, penulis melihat bahwa banyak siswa SMA 6 yang mengalami permasalahan emosi sebelum mereka menentukan masa depan karir mereka dan ini perlu sebuah tindakan preventif untuk mengatasinya yaitu dengan pembentukan perkembangan konsep diri mereka sehingga mereka dapat memahami dirinya sendiri dan dapat lebih terarah dalam mengambil keputusan sebelum berperilaku. Dengan permasalahan seperti diuraikan di atas ini penulis ingin melakukan serangkaian penelitian mengenai hubungan antara bimbingan dan konseling melalui pendekatan REBT dengan pembentukan konsep diri siswa. Teori ini didasari bagaimana klien dapat mencari dan mempelajari lebih dalam tentang pengalamannya sendiri baik yang positif maupun yang negatif yang mana dapat mempengaruhi proses berpikirnya menjadi rasional, dan kemudian dapat menentukan keputusannya melalui logika berpikirnya. (CH. Paterson, 1986). Sementara Ellis mengasumsikan bahwa setiap orang mempunyai beberapa tujuan dalam hidup ini seperti bertahan hidup, tetap merasa bahagia dalam keadaan apapun, memiliki komunikasi yang baik dengan orang lain, berhubungan baik dengan orang-orang pilihan, memperoleh pendidikan yang baik, mampu menopang diri sendiri dan menikmati perjalanan karir, serta mampu mengendalikan kehidupan dan tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh kondisi di luar dirinya ataupun kekurangan yang ada dalam dirinya. Terapi dengan menggunakan REBT adalah
merupakan sebuah terapi yang membentuk wawasan (insight) yang
berasal dari dalam diri, dan wawasan ini tidak terlintas sebelumnya dan dapat menjelaskan mengapa ia berprilaku seperti itu. Dan ada 3 jenis insight yaitu : pertama, yang terdiri dari pengakuan klien atau kondisi prilaku yang kurang wajar yang disebabkan oleh pengalaman masa lampau. Kedua, memahami kondisi masalah yang sebenarnya yang mengganggunya sehingga ia memiliki pemikiran yang irasional, dan yang ketiga insight tentang masih ada cara lain untuk mengatasi masalah yaitu dengan cara senantiasa melakukan observasi, bertanya, dan meningkatkan keyakinannya serta merubah keyakinan irasionalnya menjadi rasional. (CH. Patterson, 1486;13). Dalam penelitian ini penulis ingin melihat apakah setelah diberi REBT konsep diri, dapat berubah ke arah yang lebih yang lebih positif. REBT berasumsi bahwa meskipun kekuatan biologis dan sosial menekan pikiran irasional seseorang, ia masih memiliki pemikiran yang rasional. Problematika yang berkaitan dengan emosi pada kenyataannya pemikiran yang irasional dapat diarahkan kepada pemikiran mau berubah, memahami konsekuensi atas tindakan yang dilakukan, serta merubah kondisi emosional menjadi pemikiran yang lebih logis dan rasional. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen, yaitu dengan mengambil sampel siswa kelas XI ke yang memiliki problem emosi. Bimbingan Konseling dengan metode REBT diberikan kepada siswa yang memiliki masalah tersebut diatas, dengan asumsi bahwa apakah : 1. Metode REBT dapat membantu siswa dalam pembentukan Konsep Diri, Dengan memiliki konsep diri positif, apakah siswa akan lebih mudah mengenal diri sendiri, menerima diri sendiri dan mengarahkan dirinya sendiri dan lingkungannya secara
positif
dan
dinamis,
berani
mengambil
keputusan,
mengarahkan
diri
dan
mengaktualisasi diri? 2. Metode REBT merupakan metode yang tepat untuk menangani kasus-kasus yang memiliki problem emosi ? 3. Metode REBT dapat meningkatkan konsep diri siswa ? 4. Metode REBT dapat merubah perilaku siswa ? 5. Metode REBT dapat membantu siswa dalam keputusan karir Adapun pemilihan penelitian mengenai kompetensi karir siswa melalui bimbingan dan konseling dengan menggunakan metode REBT, berdasarkan pemikiran bahwa meskipun program bimbingan dan konseling telah dilaksanakan sejak lama di sekolah, namun masih banyak ditemui siswa yang tidak mandiri dalam arti siswa tidak berfungsi sebagaimana harusnya. Selain itu ternyata banyak pula siswa yang memiliki masalah yang tidak hanya menyangkut penyelesaian program pendidikan, melainkan juga berkenaan dengan masalah lain seperti penyesuaian sosial, emosional, pemilihan jurusan dan sebagainya, yang semuanya berkaitan dengan konsep diri, harga diri dan percaya diri siswa. Masalah-masalah ini tidak dapat ditanggulangi hanya dengan melakukan administrasi/supervisi dan pelaksanaan pengajaran saja, melainkan sekolah harus melaksanakan kegiatan yang berkenaan dengan pembinaan siswa dalam arti pelayanan bimbingan dan konseling (BK).
B. Rumusan Masalah
Secara umum penelitian ini dimaksud untuk memperoleh informasi mengenai pembentukan konsep diri siswa SMA 6 dengan variabelnya setelah diberi bimbingan konseling dengan metode REBT dan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1). Seperti apakah profil kompetensi karir siswa kelas XI SMA 6 Jakarta 2). Seperti apakah profil kompetensi karir siswa kelas XI SMA 6 Jakarta dilihat dari aspek-aspeknya ? 3). Seperti apakah program layanan konseling karir untuk meningkatkan kompetensi karir siswa kelas XI SMA 6 Jakarta tahun pelajaran 2010/2011 ? 4). Sejauhmana peningkatan kompetensi karir siswa kelas XI SMA 6 Jakarta tahun pelajaran 2010/2011, setelah diintervensi dengan layanan konseling karir?
C. Tujuan Untuk menghasilkan program konseling REBT dan untuk mencapai tujuan itu maka perlu lebih dahulu memperoleh informasi tentang : 1. Profil kompetensi karir siswa kelas XI SMA 6 Jakarta. 2. Profil kompetensi karir siswa kelas XI SMA 6 Jakarta dilihat dari aspekaspeknya 3. Program layanan konseling karir untuk meningkatkan kompetensi karir siswa kelas XI SMA 6 Jakarta tahun pelajaran 2010/2011. 4. Tingkat keefektrifan intervensi layanan konseling karir yang diberikan
kepada siswa kelas XI SMA 6 Jakarta dalam meningkatkan kompetensi karirnya
D. Manfaat Penelitian Penbelitian ini menghasilkan program konseling karir melalui pendekatan REBT sebagai salah satu intervensi yang diduga efektif untuk meningkatkan pemahaman kompetensi karir siswa. Hasilnya dapat digunakan oleh giuru Bimbingan dan Konseling /Konselor dalam mereduksi gejala rendahnya pemahaman kompetensi karir siswa yang dikembangkan berdasarkan karakteristik dan kebutuhannya, sehingga pada gilirannya nanti dapat membantu kelancaran proses pembelajaran dan hasil yang dicapai oleh siswa. Program konseling karir melalui pendekatan REBT diharapkan dapat diadopsi secara luas dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing sekolah. Secara khusus hasil penelitian ini dapat memberikan beberapa manfaat bagi khalayak (stake holders) sebagai berikut : 1). Bagi guru bimbingan dan konseling/konselor, hasil penelitian ini menghasilkan acuan program bimbingan dan konseling karir melalui pendekatan rational emotive behavior therapy (REBT) sebagai salah satu intervensi untuk mereduksi gejala rendahnya kompetensi karir siswa. 2). bagi siswa , hasil penelitian ini memberikan manfaat berupa informasi tentang peta profil kompetensi karirnya 3). bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat meningkatkan efisiensi internal dan menghindari munculnya kebingungan siswa dalam memahami diri dan karirnya dimasa depan serta dapat meningkatkan pemahaman
kompetensi karirnya. 4). bagi IPTEK, hasil penelitian ini ialah pengembangan suatu program bimbingan dan konseling karir melalui melalui pendekatan REBT sebagai salah satu intervensi untuk mereduksi gejala rendahnya pemahaman kompetensi karir siswa yang bersifat inovatif dalam penanggulangan masalah-masalah karir siswa pada jenjang SMA, dengan menerapkan program intervensi yang telah terbukti secara empiris keampuhannya dalam menangani berbagai gejala dan fenomena permasalahan karir, termasuk masalah pemahaman kompetensi karir siswa.