BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Perdebatan mengenai aborsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin ramai, karena dipicu oleh berbagai peristiwa yang mengguncang sendi-sendi kehidupan manusia. Kehidupan yang dberikan kepada setiap manusia merupakan Hak asasi Manusia yang hanya boleh dicabut oleh pemberi kehidupan tersebut. Berbicara mengenai aborsi tentunya kita berbicara tentang kehidupan manusia karena aborsi erat kaitannya dengan wanita dan janin yang ada dalam kandungan wanita. Pengguguran kandungan (aborsi) selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi yang menyangkut bidang kedokteran, hukum maupun disiplin ilmu lain. 1 Aborsi merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan. Keprihatinan itu bukan tanpa alasan, karna sejauh ini prilaku pengguguran kandungan banyak menimbulkan efek negatif baik untuk diri pelaku maupun pada masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena aborsi menyangkut norma moral serta hukum suatu kehidupan bangsa ditambah lagi dengan kebutuhan hidup manusia tak ada habisnya dan tentu sangatlah beragam. Aborsi telah dikenal sejak lama, aborsi memiliki sejarah panjang dan telah dilakukan oleh berbagai metode baik itu natural atau herbal, penggunaan alat-alat tajam, trauma fisik dan metode tradisional lainnya. Zaman kontemporer
1
Achadiat Charisdiono, 2009, Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran, Jakarta,h. 12.
memanfaatkan obat-obatan dan prosedur operasi teknologi tinggi dalam melakukan aborsi. Legalitas, normalitas, budaya dan pandangan mengenai aborsi secara substansial berbeda diseluruh negara. Banyak negara di dunia isu aborsi adalah permasalahan menonjol dan memecah belah publik atas kontroversi etika dan hukum. Aborsi dan masalah-masalah yang berhubungan dengan aborsi menjadi topik menonjol dalam politik nasional di banyak negara seringkali melibatkan gerakan menentang aborsi pro-kehidupan dan pro-pilihan atas aborsi di seluruh dunia. Menggugurkan kandungan sama halnya dengan membunuh atau merampas hak hidup seseorang, hal tersebut merupakan suatu pelanggaran hukum yang memiliki sanksi tegas. Menurut Soebakti dalam bukunya Abdul Djamali menyatakan, bahwa hukum itu terdiri dari norma kesopanan, norma kesusilaan dan norma hukum yang disebut dengan norma sosial.2 Norma sosial merupakan ketentuanketentuan umum yang berlaku sebagai pedoman bertingkah laku bagi individu dalam kehidupan sosial. Yang penting dan perlu diperhatikan dalam hal ini adalah kegiatan individu dalam kaitannya dengan kehidupan sosial yang memiliki norma sosial. Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia hak aborsi dibenarkan secara hukum jika dilakukan karena adanya alasan atau pertimbangan medis atan kedaruratan medis. Tenaga medis mempunyai hak untuk melakukan aborsi bila dan pertimbangan media atau kedaruratan media dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu hamil. Pada kehamilan yang tidak diinginkan aborsi yang dilakukan 2
Abdul Djamil, 1984, Psikolog Dalam Hukum, Armico, Jakarta, h. 118
umumnya adalah Abortus Provocatus Criminalis dengan beberapa alasan seperti; Kehamilan di luar nikah, masalah beban ekonomi, ibu sendiri sudah tidak ingin punya anak lagi akibat incest, alasan kesehatan dan sebagainya. Berdasarkan sumber berita online yang ditulis oleh Chilmi Ardiantofani, terhitung sejak tahun 2009 hingga 2013, kasus aborsi di Jawa Timur mengalami peningkatan sebesar 5 persen setiap tahunnya dan 30 persen pelaku aborsi adalah usia remaja. Sejak 2012 hingga 2014 bulan Juli, kasus aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta orang. Fenomena melakukan aborsi dikarenakan akibat perkosaan dan hubungan suka sama suka.3 Data tersebut menerangkan betapa buruknya sistem pola kehidupan yang sedang terjadi berkaitan dengan aborsi. Keberadaan norma-norma yang tumbuh di dalam masyarakat telah pudar seiring dengan tidak diberlakukannya hukuman yang tegas, adil dan berkemanfaatan bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana aborsi. Bila diperhatikan dari segi istilahnya, aborsi adalah menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah abortus yang artinya pengeluaran hasil konspesi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan.4 Dikatakan bahwa aborsi merupakan suatu terminasi kehidupan dari janin sebelum diberi kesempatan hidup dan berkembang dengan cara yang disengaja.5
3 Chilmi Ardiantofani, 30 Persen Kasus Aborsi di Jatim Pelakunya http://surabayanews.co.id/2014/08/18/3745/30-persen-kasus-aborsi-di-jatim-pelakunyaremaja.html, diakses tanggal 5 Desember 2015.
Remaja,
4 Namora Lumongga Lubis, 2013, Psikologi Kespro “Wanita & Perkembangan Reproduksinya” Ditinjau dari Aspek Fisik dan Psikologinya, Kencana, Jakarta, h. 83. 5
Ibid.
Menurut Gordon E. Maxwell dalam bukunya Daniel Rumondor, bagi ahli kandungan istilah aborsi mempunyai definisi yang khusus, yaitu gangguan kehamilan sebelum fetus bisa hidup sendiri secara independen, dan fetus dianggap mampu berdiri sendiri setelah 26-28 minggu usianya. 6 Menurut Buku Etika Profesi Kebidanan, aborsi adalah keluarnya hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup di luar rahim, yaitu sebelum 20 minggu. Aborsi juga berarti penghentian kematian setelah tertanamnya ovum yang telah dibuahi dalam rahim sebelum usia janin mencapai 20 minggu.7 Aborsi adalah menggugurkan kandungan, yang dimaksud dengan perbuatan menggugurkan kandungan adalah melakukan perbuatan yang bagaimana pun wujud dan caranya terhadap kandungan seorang perempuan yang menimbulkan akibat lahirnya bayi atau janin dari dalam rahim perempuan tersebut sebelum waktunya dilahirkan menurut alam. Perbuatan memaksa kelahiran bayi atau janin belum waktunya ini sering disebut dengan abortus provocatus.8 Perbuatan abortus provocatus juga sering dilakukan oleh wanita yang menjadi korban perkosaan, alasan para korban perkosaan tersebut adalah mengandung anak hasil perkosaan menambah derita batinnya, karena anak itu akan mengingat peristiwa perkosaan yang dialaminya. Bagi kalangan yang tidak setuju dilakukannya aborsi bagi korban perkosaan mereka berpendapat setiap
6
Daniel Rumondor, 1900, Jangan Membunuh! Tinjauan Etis Terhadap Beberapa Praktek Kedokteran, Yayasan Andi, Yogyakarta, h. 56 7
Heni Puji Wahyuningsih et al., 2005, Etika Profesi Kebidanan, Fitramaya, Yogyakarta, h. 85
8
Adami Chazawi, 2010, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Rajawali Grapindo Persada, Jakarta, h. 133.
orang berhak untuk hidup, janin yang ada dalam kandungan perempuan akibat perkosaan itu adalah ciptaan Tuhan yang berhak menikmati kehidupan. Bagi kalangan yang setuju dapat dilakukanya aborsi bagi korban perkosaan, kehamilan itu timbul bukan dari atas kemauan korban jadi dapat mengurangi penderitaan korban baik secara psikis maupun sosial, maka diberi hak bagi korban perkosaan untuk dapat melakukan aborsi. Membahas persoalan aborsi bukan merupakan rahasia umum dan bukanlah hal yang tabu lagi untuk diperbincangkan. Hal ini dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa ini sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya dapat terjadi dimana-mana dan bisa saja dilakukan secara ilegal. Ketika memandang bagaimana kedudukan hukum aborsi di Indonesia sangat perlu untuk melihat kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini, persoalan aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai suatu tindak pidana. Seperti salah satu contoh kasus yang dikutip dari kasus posisi Putusan Pengadilan Negeri Cilacap Nomor 343/Pid.Sus/2014/PNClp. Peristiwa aborsi terjadi di Cilacap, Jawa Tengah. Seorang wanita masih berumur 19 tahun harus mendekam dipenjara karena telah dengan sengaja melakukan tindakan aborsi karena tidak sanggup menerima keadaan dirinya yang hamil di luar pernikahan yang sah dengan kekasihnya. Wanita tersebut melakukan aborsi dengan caranya sendiri seperti mengkonsumsi buah nanas kemudian meminum minuman bersoda yang dicampur dengan ragi. Pada akhirnya janin harus keluar dan dibuang olehnya ke saluran pembuangan air. Kasus tersebut telah berkekuatan hukum
tetap dengan amar putusan hakim Pengadilan Negeri Cilacap yaitu pidana penjara 1 tahun 8 bulan dengan denda Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidair 1 bulan kurungan. Penguguran kandungan atau aborsi dalam
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven). Hal ini karena aborsi dilakukan secara sengaja menghilangkan nyawa orang lain atau perbuatan yang mengakibatkan matinya korban. Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas 2 (dua) dasar, yaitu : (1) atas dasar unsur kesalahannya dan (2) atas dasar obyeknya (nyawa).9 Kejahatan pengguguran terhadap kandungan sendiri termasuk dalam kelompok kejahatan terhadap nyawa atas dasar obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi). Pengaturan mengenai aborsi di Indonesia telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu KUHP khususnya dalam Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, dan Pasal 349, dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Undang-Undang Kesehatan) khususnya Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal 77, dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi khususnya Pasal 31 hingga pada Pasal 37. Berdasarkan ketentuan KUHP terdapat dua bentuk perbuatan pada aborsi yakni perbuatan menggugurkan kandungan dan perbuatan mematikan kandungan. Menurut KUHP, setiap tindakan aborsi dengan motif, indikasi dan cara apa pun dalam usia kehamilan berapa pun adalah tindak pidana. Tindak pidana aborsi
9
ibid., h. 55.
dimasukkan ke dalam Bab XII Buku II KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa yaitu pada Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, dan 349 KUHP. Tindak pidana menyebabkan atau menyuruh menyebabkan gugurnya kandungan atau matinya janin yang berada dalam kandungan oleh wanita yang mengandung janin itu sendiri, oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 346 KUHP yang menyatakan bahwa: “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 346 KUHP itu, sama halnya dalam ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 347 dan Pasal 348 KUHP, pembentuk undang-undang melarang orang melakukan: (a). suatu pengguguran kandungan atau afdrijving ataupun yang di dalam ilmu pengetahuan kedokteran juga disebut sebagai suatu abortus. (b). sesuatu perbuatan yang menyebabkan matinya janin yang berada dalam kandungan.10 Keberadaan Pasal 346 KUHP memiliki unsur-unsur pasal yaitu bahwa pelaku aborsi yang dimaksud adalah seorang perempuan yang dengan sengaja melakukan aborsi atau seorang perempuan yang menyuruh orang lain untuk melakukan hal itu. Pasal tersebut menerangkan mengenai pelakunya yaitu seseorang perempuan atau orang lain yang dalam hal ini apabila bidan dan/atau dokter yang diminta untuk melakukan hal tersebut maka sanksi pidana yang dikenakan padanya adalah diancam dengan pidana penjara paling lama 4(empat) 10
P.A.F lamintang dan Theo Lumintang, 2010, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, & Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 90.
tahun. Bila dikaitkan dengan profesi tersebut di atas, bahwa dokter dan/atau bidan bukanlah sebagai pelaku tunggal. Pengertian tindakan medis yang dilakukan oleh seseorang baik itu oleh perempuan yang adalah si ibu dan/atau tenaga medis tersebut merupakan suatu tindak pidana berdasarkan aturan dalam Pasal 346 KUHP. Pasal 347 KUHP memiliki unsur yang berbeda dengan pasal sebelumnya karena di dalam ketentuan Pasal 347 KUHP unsur si pelaku di sini lebih luas dengan mencantumkan syarat yaitu barangsiapa. Maksudnya adalah bahwa siapapun setiap orang baik itu seorang perempuan yang mengandung janin atau seorang laki-laki yang dalam hal ini suami atau kekasih dari si ibu yang sedang mengandung atau seorang tenaga medis yaitu bidan dan/atau dokter dengan unsur kesengajaan melakukan aborsi dengan tanpa persetujuan perempuan itu maka akan dikenakan sanksi yang sangat berat yaitu diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan bila mengakibatkan matinya wanita maka ancaman pidana penjara yang lebih tinggi paling lama 15 (lima belas) tahun. Pada Pasal 347 KUHP sanksi pidananya yang paling berat dibanding dengan ketentuan pada Pasal lain yang berkaitan dengan aborsi yaitu Pasal 229, 346, dan 348 KUHP. Unsur Pasal 348 KUHP menjabarkan tentang setiap orang yang dengan sengaja menggugurkan kandungan wanita dengan persetujuan wanita tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun 6(enam) bulan. Pada Pasal 348 KUHP bila perbuatan tersebut mengakibatkan matinya wanita maka ada
pemberatan pidananya dengan ancaman hukuman penjara paling lama 7(tujuh) tahun. Berbeda dengan KUHP yang tidak membenarkan perbuatan aborsi, Undang-Undang Kesehatan memberikan perlindungan terhadap perempuan pelaku abortus provocatus yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan. Ketentuan Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan menyatakan larang aborsi dikecualikan berdasarkan : a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Ketentuan Pasal 75 ayat (2) huruf b merupakan bentuk pengecualian hukum
terhadap
perempuan
pelaku
abortus
provocatus
yaitu
dengan
membenarkan adanya abortus provocatus terhadap perempuan korban perkosaan. Kedua penjabaran Undang-Undang yang mengatur mengenai aborsi yaitu pada Pasal 346-348 KUHP dengan Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan memiliki kesamaan klausul dan unsur pasal yang mengatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi. Larangan tersebut berlaku bagi seorang perempuan yang sedang mengandung, bagi suaminya atau kekasihnya dan bagi para tenaga medis yaitu bidan dan/atau dokter. Namun bila diteruskan lagi, pada Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan terjadilah pengecualian terhadap tindakan aborsi. Pada Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan menyatakan bawa larangan
aborsi pada ayat (1) dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini dan berdasarkan kehamilan akibat perkosaan. Dicermati di dalam ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Kesehatan terdapat perbedaan yang signifikan terhadap tindakan aborsi dibanding dengan ketentuan Pasal 346-348 KUHP yang secara tegas melarang aborsi dalam bentuk dan alasan apapun. Beranjak kepada ketentuan pidana atau sanksi pidana yang diancam kepada pelaku aborsi. Ketentuan Pasal 346-348 KUHP, sanksi yang tergolong paling rendah terdapat pada Pasal 346 KUHP yaitu ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan ancaman paling tingginya terdapat pada ketentuan Pasal 347 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Bila kemudian dibandingan dengan sanksi pidana yang diatur oleh Undang-Undang Kesehatan yaitu pada Pasal 194 Undang-Undang Kesehatan diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Berdasarkan perbandingan ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam kaitannya dengan sanksi pidana yang terdapat dalam kedua peraturan perundang-undangan ini antara lex spesialist derogat legi generalist. Sebagai pelaksana dari beberapa pasal yang terdapat pada Undang-Undang Kesehatan, kini pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (PP Kesehatan Reproduksi). PP Kesehatan Reproduksi ini muncul dengan tujuan untuk melaksanakan ketentuan dari beberapa pasal yaitu Pasal 74 ayat (3) tentang reproduksi dengan bantuan, Pasal 75 ayat (4) berkaitan dengan aborsi, Pasal 126
ayat (4) tentang kesehatan ibu, bayi dan anak, dan Pasal 127 ayat (2) tentang upaya kehamilan di luar cara alamiah Undang-Undang Kesehatan. Ketentuan mengenai pembenaran abortus provocatus perempuan korban perkosaan dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) PP Kesehatan Reproduksi yang antara lain mengatakan bahwa: (1). Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau b. kehamilan akibat perkosaan. (2). Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
PP Kesehatan Reproduksi muncul dengan tujuan untuk mengatur Penyelenggaran Kesehatan Reproduksi yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. PP Kesehatan Reproduksi tidak memiliki aturan pidananya atau sanksi pidana di dalam ketentuan isi pasal-pasalnya. Hanya mengatur mengenai tanggungjawab pemerintah dan Pemerintah daerah berkaitan dengan Kesehatan Reproduksi masyarakat, mengenai pelayanan kesehatan ibu, indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi, reproduksi dengan bantuan, pendanaan dan di bidang pembinaan serta pengawasan Kesehatan Reproduksi. Penjabaran mengenai pengaturan terhadap tindak pidana aborsi telah diatur dalam beberapa instrumen yang telah diundangkan menjadai suatu peraturan perundang-undangan. Namun
setelah dicermati muncul suatu
pertanyaan yang mengakibatkan timbulnya suatu benturan antar norma hukum atau istilahnya adalah konflik norma. Konflik norma yang terjadi adalah konflik norma pada Pasal 346, 347, 348 KUHP yang secara tegas melarang tindakan aborsi dalam bentuk apapun dalam keadaan apapun, kemudian munculah Undang-Undang Kesehatan sebagai suatu lex spesialis dalam hukum pidana yang melarang aborsi namun dengan pengecualian dan dengan persyaratan tertentu yang terdapat pada Pasal 75-76 Undang-Undang Kesehatan yaitu seperti adanya indikasi kedaruratan medis kemudian pada Pasal 31 PP Kesehatan Reproduksi sebagai aturan pelaksana Undang-Undang Kesehatan memperbolehkan dilakukannya aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi serta mengatur penyelenggaraan aborsi. Keadaan tersebut menimbulkan ketidakharmonisan
dalam
perundang-undangan
yang
berimplikasi
pada
implementasi hukum oleh praktisi hukum. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, menarik untuk dianalisis dan disajikan menjadi sebuah penelitian ilmiah berupa skripsi dengan judul “ ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN (ABORTUS) DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG KESEHATAN DAN PP NO. 61 TAHUN 2014”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang
yang dikemukakan di atas, maka
permasalahan pokok dalam penulisan skripsi ini dirumuskan sebagai berikut
1. Bagaimanakah
Pengaturan Mengenai
Tindak Pidana
Aborsi
Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ? 2. Bagaimanakah Pertanggungjawaban Terhadap Tindak Pidana Aborsi
Berdasarkan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia ? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut : 1. Membahas tentang Pengaturan Mengenai Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia yaitu di dalam ketentuan Pasal 346, 347, dan 348 KUHP kemudian pada Pasal 75-76, Pasal 194 Undang-Undang Kesehatan dan pada Pasal 31 PP Kesehatan Reproduksi. 2. Membahas
tentang
Pengaturan Terhadap
Tindak Pidana
Aborsi
Berdasarkan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia yaitu yang terdapat pada konsep hukum pidana nasional dan RUU KUHP. 1.4 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan ini ada dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut antara lain: 1.4.1
Tujuan Umum Tujuan umum penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memahami mengenai kebijakan hukum pidana Indonesia terhadap Pengaturan Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Perspektif KUHP. Dan
juga terdapat konflik norma antara Peraturan Pemerintah dengan UndangUndang. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui Pengaturan Pengaturan Mengenai Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia 2. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana pada masa yang akan datang terhadap Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum pidana, khususnya pemahaman teoritis mengenai kebijakan hukum pidana Indonesia terhadap aborsi dan pengaturannya yang bertentangan antara hukum yang khusus dengan hukum yang umum, termasuk di dalamnya pengkajian terhadap peraturan perundangundangan terkait yang berlaku saat ini serta pembaruan hukum pidana nasional pada masa yang akan datang sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan aborsi di Indonesia. 1.5.2
Manfaat Praktis Secara
praktis,
penulisan
ini
diharapkan
dapat
menjadi
bahan
pertimbangan dan sumbangan pemikiran, serta dapat memberikan kontribusi bagi lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia dalam proses
penanggulangan aborsi di Indonesia. Selain itu, penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembentuk undang-undang terkait dengan larangan terhadap pelegalan aborsi yang perlu mendapat perhatian khusus dalam rangka penegakan hukum di Indonesia yang lebih baik dalam suatu cita hukum (ius constituendum). 1.6 Landasan Teoritis Teori Tindak Pidana Istilah tindak pidana hakekatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Beberapa perkataan yang digunakan menerjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, dan perbuatan pidana. Sementara dalam berbagai perundang-undangan digunakan berbagai istilah, antara lain: peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam dengan hukum, dan tindak pidana. Tidak ada batasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana hanya ada dalam teori/pendapat para sarjana.11 Pengertian sederhana dari tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan dimana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.12 Unsur-unsur
11
Ismu Gunadi W. dan Jonaedi Efendi, 2011, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 40-41. 12
Ismu Gunadi W. dan Jonaedi Efendi, op.cit., h. 41-42.
tindak pidana dalam rumusan pasal peraturan perundang-undangan terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif. Lamintang mengemukakan bahwa: Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun yang dimaksud dengan unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku harus dilakukan.13 Menurut teori monistis, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat yang lazimnya dinamakan unsur subjektif. Dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka dapatlah disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana.14 Teori dualistis sebaliknya ingin memisahkan (mengeluarkan) schuld itu dari pengertian tindak pidana.15 Teori dualistis adalah teori yang memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana.16
13
Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 11.
14 Muladi dan Dwidja Priyatno, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 63.
15
Chairul Huda, 2011, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 9. 16
Ibid., h. 15.
Teori Kebijakan Hukum Pidana Kebijakan penanggulan kejahatan atau politik kriminal (criminal policy) adalah suatu kebijakan atau usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik kriminal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy), yang seluruhnya merupakan bagian dari politik sosial (social policy), yaitu suatu usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.17 Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang ”kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu ”kebijakan sosial”
(social
policy)
yang
terdiri
dari
kebijakan/upaya-upaya
untuk
kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).18 Marc Ancel dalam bukunya Barda Nawawi Arief merumuskan criminal policy
sebagai
“rational
organization
of
the
control
of
crime
by
society”.19Sementara itu, G. Peter Hoefnagels dikutip dalam buku yang sama mengemukakan bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social
17
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Muladi dan Barda Nawawi Arief I), h. 1. 18
Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I), h. 77. 19
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II), h. 1, dikutip dari Marc Ancel, 1965, Social Defence, h. 209.
reaction to crime”. Berbagai definisi lainnya yang dikemukakan G. Peter Hoefnagels ialah: a. Criminal policy is the science of responses; b. Criminal policy is the science of crime prevention; c. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime; d. Criminal policy is a rational total of the responses to crime.20 Terdapat tiga arti mengenai kebijakan kriminal. Menurut Sudarto, yaitu sebagai berikut: a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana; b. Dalam arti luas, adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; c. Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.21 Kebijakan kriminal meliputi ruang lingkup yang cukup luas, menurut G. Peter Hoefnagels dalam bukunya Trini Handayani upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan: a. Penerapan hukum pidana (criminal law application); b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);
20
21
Ibid., h. 2.
Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto I), h. 113-114.
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).22 Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti: a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial; b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan “penal” dan “non penal”.23 Pelaksanakan kebijakan kriminal harus menunjang tujuan kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat, serta harus dilakukan dengan pendekatan integral melalui keseimbangan sarana penal dan non penal untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan. Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal (criminal policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
22
Trini Handayani, 2002, Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Perbuatan, Jakarta, h. 48, dikutip dari G, Peter Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology, Kluwer-Denver, Holland, h. 56. 23
Barda Nawawi Arief II, op.cit., h. 3-4.
pidana). Dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).24 Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana mengusahakan atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam artian memenuhi syarat keadilan dan daya guna.25 Sama halnya dengan pendapat Marc Ancel yang dikutip dalam bukunya Barda Nawawi Arief II bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.26 Menurut
A. Mulder, dalam
bukunya Barda
Nawawi Arief
II
strafrechtspolitiek atau kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan untuk menentukan: a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui; b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
24
Barda Nawawi Arief II, op.cit., h. 24.
25
Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto II), h. 153. 26
Barda Nawawi Arief II, op.cit., h. 23.
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.27 Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap: 1) Tahap formulasi (kebijakan legislatif); 2) Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial); 3) Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).28 Melalui tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparatur penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif), bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari penal policy. Karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.29 Menurut Stanley Benn, pemidanaan diartikan sebagai akibat yang diderita karena melakukan pelanggaran diterapkan secra sengaja, bukan merupakan konsekuensi alamiah dari perbuatan seseorang (seperti mabuk akibat alkohol) dan,
27
Barda Nawawi Arief II, loc.cit.
28
Barda Nawawi Arief I, op.cit., h. 78.
29
Barda Nawawi Arief I, op.cit., h. 79.
ketidaknyamanan tersebut harus esensial, bukan secara kebetulan menyertai perlakuan lainnya (seperti sakit yang ditimbulkan dari mata bor dokter gigi).30 Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana. Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Pada hakikatnya pembaruan hukum pidana merupakan suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.31 Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana adalah: a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan - Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalahmasalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya). - Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan). - Sebagai bagian dari dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya 30
Stanly Benn I., 1967, Punishment, The Encyclopedia of Philosophy, Macmillan Publishing Co., Vol. 7&8, h. 29. 31
Barda Nawawi Arief II, op.cit., h.. 25.
memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum.32 b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan kembali nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP Lama atau Wetboek van Strafrecht).33 1.7 Metode Penelitian 1.7.1
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum
normatif. Yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder.34 Penelitian hukum normatif digunakan dalam penulisan ini beranjak dari adanya persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu norma yang konflik (Geschijld Van Normen) yang ada dalam peraturan perundang-undangan terkait pengaturan tindak pidana aborsi dalam perspektif beberapa jenis aturan hukum
32
Barda Nawawi Arief II, op.cit., h.. 26.
33
Ibid.
34
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 118.
yaitu yang terdapat pada Pasal 346, 347, dan 348 KUHP, Pasal 75-76,dan 194 Undang-Undang Kesehatan dan Pasal 31 PP Tentang Kesehatan Reproduksi. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait. 1.7.2
Jenis Pendekatan Pendekatan yang digunakan adalah jenis pendekatan perundang-undangan
(The Statue Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & The Conseptual Approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini.35 Pendekatan perundang-undangan digunakan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, norma-norma hukum yang berhubungan dengan tindak pidana pengguguran kandungan. Pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach), yang oleh Peter Mahmud Marzuki disebut pendekatan Undang-undang (The Statue Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.36 Pendekatan ini menggunakan ketentuan KUHP, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dengan Peraturan Pemerintah No. 61 Tentang Kesehatan Reproduksi. Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & The Conseptual Approach) merupakan pendekatan yang digunakan untuk memahami dan 35
Ibrahim Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, h. 302. 36
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cetakan ke-6, Prenada Media Group, Jakarta, h. 93.
menemukan konsep-konsep hukum, asas-asas hukum yang relevan dengan permasalahan tindak pidana penguguran kandungan atau abortus berdasarkan PP Kesehatan Reproduksi agar tidak ada kekaburan norma dan penentuan norma yang akan digunakan dalam penerapaan hukum bagi para pelaku aborsi. 1.7.3
Sumber Bahan hukum Pada penelitian hukum ini menggunakan beberapa sumber bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
1. Bahan Hukum Primer Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang bersifat mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan, yang bersifat mengikat.37 Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah : - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. - Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063). - PP No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5559). 2. Bahan Hukum Sekunder Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Meliputi buku-buku, literature, 37
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmmudji, 1988, Penulisan Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, h. 34
makalah, skripsi, tesis, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.38 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur-literatur yang relevan dengan tindak pidana pengguguran kandungan (abortus), pembaharuan hukum pidana Indonesia, baik literatur-literatur hukum yang berupa buku-buku hukum (textbook) yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana (doktrin), skripsi atau makalah hukum yang berkaitan dengan kesehatan, hukum pidana, aborsi maupun literatur non hukum dan artikel atau berita yang diperoleh via internet dengan cara mengcopy atau mendownload bahan hukum yang diperlukan. 3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum.39 1.7.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document).40 Mengumpulkan semua peraturan perundang-undangan yang beraitan dengan tndak pidana aborsi. Telaah kepustakaan yaitu dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum
38
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penulisan Hukum, Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta, h. 141
39 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penulisan Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 119. 40
H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penulisan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.107.
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang relevan, kemudian dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan. 1.7.5
Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini adalah ketika telah
mengumpulkan semua bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder ditambah dengan bahan hukum tersier sebagai tambahan, selanjutnya diolah dan dianalisis
dengan
menggunakan
menggunakan
teknik
metode
argumentatif,
yaitu
deskriptif-analisis dengan
dan
dengan
menguraikan
serta
menghubungkan dengan teori-teori dan literatur-literatur yang berkaitan dengan pengaturan tindak pidana pengguguran kandungan (abortus) dan cita hukum ke depan terkait pengaturan hukum tentang aborsi di Indonesia. Kemudian melakukan penafsiran sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan dalam bentuk argumentasi hukum untuk mendapatkan hasil yang akurat. Karena suatu undangundang pada hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundangundangan yang berlaku sehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat dengan peraturan perundang-undangan lainnya.