1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada zaman modern dewasa ini, dengan perkembangan industri dan perdagangan, peranan tanda pengenal berkaitan dengan hasil industri dan barang dagangan menjadi makin penting. Hal ini memang didahului oleh peranan para ”gilda” pada abad pertengahan, yang memberikan tanda pengenal atas hasil kerajinan tanganya dalam rangka memberikan pengawasan barang-barnag sebagai hasil pekerjaanya anggota ”gilda” sejawatnya. Sebagai akibat diberikanya tanda pengenal atas barang-barang hasil pekerjaanya itu, timbul cara yang mudah untuk memasarkan barang-barangnya.1 Pada umumnya, suatu produk barang dan jasa yang dibuat oleh seseorang atau badan hukum diberi suatu tanda tertentu, yang berfungsi sebagai pembeda dengan produk barang dan jasa lainya yang sejenis. Tanda tertentu disini merupakan pengenal bagi produk barang dan jasa yang bersangkutan, yang lazim disebut dengan merek. Wujudnya dapat berupa suatu gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut. Setiap merek harus memiliki daya pembeda yang cukup (capable of distinguishing), artinya memiliki kekuatan untuk memberdakan barang atau jasa produk suatu perusahaan dari perusahaan lainya. Agar memenuhi daya 1
Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual : Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Alumni, Cetakan ke-I, Bandung, 2003, hlm. 320
2
pembeda, merek itu harus dapat memberikan penentuan (individualisering) pada barang atau jasa yang bersangkutan. Merek dapat dicantumkan pada barang, atau pada bungkusan barang, atau dicantumkan secara tertentu pada hal-hal yang bersangkutan dengan jasa. 2 Merek adalah hak khusus yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek. Agar hak khusus tersebut dapat diberikan, pemilik merek wajib mendaftarakanya. Agar merek dapat didaftarkan, harus dipenuhi syarat-syarat pendaftaran berikut ini 3 : 1. Tanda yang mempunyai daya pembeda (capable of distinguishing). 2. Tidak bertentangan dengan kesusilaan. 3. Bukan menjadi milik umum. 4. Bukan keterangan mengenai barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran. 5. Tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhanya denga merek milik orang lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu. 6. Bukan peniruan atau menyeruapai nama, singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem dari negara atau lembaga nasional atau internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. 7. Bukan merupakan atau menyerupai ciptaan orang lain yang dilindungi hak cipta, kecuali atas persetujuan tertulis dari pemegang hak cipta tersebut.
2
Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-I, Bandung, 2001, hlm.120 3 Ibid, hlm.122
3
Ada dua sistem yang dianut dalam pendaftaran merek yaitu sistem deklaratif (first to use) dan sistem konstitutif (first to file). Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek 4 dalam sistim pendaftarannya menganut sistim konstitutif (first to file), sama dengan Undang-undang sebelumnya yakni Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997. Ini adalah perubahan yang mendasar dalam Undang-undang Merek Indonesia, yang semula menganut sistim deklaratif (Undang-undang Nomor 21 Tahun 1961) 5 . Dalam sistim deklaratif (first to use), pendaftaran merek tidak merupakan suatu keharusan, jadi tidak ada wajib daftar merek. Pendaftaran hanya untuk pembuktian, bahwa pendaftaran merek adalah pemakai pertama dari merek yang bersangkutan. Adanya pendaftaran belum menerbitkan hak, melainkan
hanya
memberikan
dugaan
atau
sangkutan
hukum
(rechtsvermoeden) atau presemtion iuris, yaitu; bahwa pihak yang mereknya terdaftar itu adalah pihak yang berhak atas merek yang didaftarkan. 6 Di dalam sistem deklaratif
orang yang tidak mendaftarkan
mereknyapun tetap dilindungi, kelemahan sistim deklaratif ini kurang terjaminnya kepastian hukum, karena orang yang telah mendaftarkan mereknya tetapi sewaktu-waktu masih dapat dibatalkan oleh pihak lain yang mengakui sebagai pemakai pertama 7 .
4
Selanjutnya akan disebut dengan UU Merek OK, Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights)., PT. Rajagrafindo Persada, Cetakan Pertama, Jakarta 2004. hlm,. 362. 6 Ibid, hlm.363 7 Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm. 332. 5
4
Dalam sistem deklaratif baru akan menimbulkan hak apabila telah didaftarkan oleh si pemegang. Oleh karena itu, dalam sistim ini pendaftaran adalah merupakan sistim keharusan. Dalam sistim deklaratif ini titik berat diletakkan atas pemakaian pertama. Siapa yang memakai pertama sesuatu merek dialah yang dianggap yang berhak menurut hukum atas merek yang bersangkutan. Jadi pemakaian pertama yang menciptakan hak atas merek, bukan pendaftaran 8 . Dijelaskan pula bahwa sistim deklaratif yang selama ini digunakan, pada dasarnya lebih bertumpu pada semacam anggapan hukum saja, bahwa barang siapa memakai merek pertama untuk pertama kali di Indonesia pantas dianggap sebagai pihak yang berhak atas merek yang bersangkutan atau bahkan sebagai pemiliknya. Mereka yang mendaftarkan merek juga dianggap sebagai pemakai yang pertama. Dalam memori penjelasan sebutkan: anggapan hukum seperti itu bukan saja dalam praktek telah menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga telah melahirkan banyak persoalan, dan hambatan dalam dunia usaha. Dalam sistim konstitutif (first to file) hak atas merek diperoleh melalui pendaftaran, artinya hak eksklusif atas suatu merek diberikan karena adanya pendaftaran (required by registration). Dengan ungkapan lain, pada sistim konstitutif pendaftaran merek merupakan hal yang mutlak dilakukan. Merek yang tidak didaftar, otomatis tidak akan mendapatkan perlindungan hukum. Dalam sistim konstitutif (first to file) ini yang berhak atas merek adalah pihak
8
OK, Saidin,, Op Cit, hlm. 363.
5
yang telah mendaftarkan mereknya.. pendaftaran itu menciptakan suatu hak atas merek tersebut, pihak yang mendaftarkan dialah satu-satu nya yang berhak atas suatu merek dan pihak ketiga harus menghormati haknya pendaftar sebagai hak mutlak 9 . Pendaftaran adalah perbuatan hukum yang diatur dalam UndangUndang merek. Dalam hubungannya dengan Hak Kekayaan Intelektual, pendaftaran adalah kegiatan pemeriksaan dan pencataan setiap hak kekayaan intelektual seseorang, oleh pejabat pendaftaran, dalam buku daftar yang disediakan untuk itu, berdasarkan permohonan pemilik/pemegang hak, menurut syarat-syarat tata cara yang diatur dalam undang-undang, dengan tujuan untuk memperoleh kepastian status kepemilikan dan perlindungan hukum, dan sebagai bukti pendaftaran diterbitkan sertifikat merek 10 . Pendaftaran merupakan upaya hukum guna memberikan kepastian hukum tentang status kepemilikan hak merek seseorang. Melalui pendaftaran, undang-undang menetapkan kepemilikan yang dibuktikan dengan sertifikat. Dengan demikian, akan diketahui dan diakui pemilik sah atas suatu hak merek. Di samping memberikan kepastian hukum, pendaftaran juga bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum. Prinsip undang-undang adalah hanya mengakui hak merek yang terdaftar. Konsekuensinya, undang-undang hanya akan melindungi hak merek yang terdaftar, sedangkan yang tidak terdaftar status kepemilikannya dianggap
9 10
Rachmadi Usman , Op.Cit., hlm. 331. Abdulkadir Muhammad, Op Cit., hlm. 153.
6
tidak mempunyai kepastian hukum, dengan demikian tidak ada perlindungan secara formal. Beberapa kasus pembatalan merek dapat dilihat dari kasus-kasus antara lain PT. Sparindo Mustika (Penggugat) melawan Rdl Pharmaceutical Laboratory, INC (Tergugat) dan Pemerintah Republik Indonesia c.q. Departemen Kehakiman Dan Ham Republik Indonesia c.q. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual C.Q. Direktorat Merek (Tergugat II). Penggugat sangat keberatan atas pendaftaran merek “RDL” atas nama Tergugat I dengan No. Daftar 549556 tertanggal 9 Oktober 2003 dalam kelas 3 (jenis kosmetik) karena Penggugat merupakan pemilik sah atas nama badan hukum dan sekaligus merek “RDL” , dimana merek “RDL” atas nama Penggugat sudah digunakan sejak tanggal 21 Juli 1994 dan sudah terdaftar sejak tanggal 18 Oktober 2001 di kantor Merek Republik Philipina jauh-jauh hari sebelum pendaftaran merek atas nama Tergugat I pada tanggal 9 Oktober 2003. Selanjutnya kasus antara Kiat Sun melawan PT. Beverindo Indah Abadi (Tergugat) dan Pemerintah Republik Indonesia c.q. Departemen Kehakiman Dan Ham Republik Indonesia c.q. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual C.Q. Direktorat Merek (Tergugat I, II). Penggugat berpendapat bahwa Tergugat menggunakan merek atau jenis barang atau jasa yaitu Merek DRUM + Lukisan DRUM dan mempergunakan atau memproduksi jenis barang atau jasa tidak sesuai jenis barang atau jasa yang dimohonkan pendaftaran ke Direktur Merek, termasuk pemakaian Merek yang tidak sesuai dengan merek yang didaftarkan di Dirjen
7
Merek. Kasus pembatalan merek juga dapat dilihat pada kasus antara CV. Saprotan Utama (Penggugat) melawan PT. Meroke Tetap Jaya (Tergugat) Menurut penggugat rumusan kimia KNOз untuk senyawa Kalium dan Nitrat, telah dijadikan merek dagang oleh Tergugat, dan telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek yaitu merek dagang "K N Oз (KENO TELU)" No.540111 untuk kelas barang 1 atas nama Tergugat, yang terdaftar pada tanggal 12 Juni 2003, tanggal pengajuan dan/atau tanggal penerimaan permohonan 5 Juni 2002
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim atas pembatalan merek di Indonesia?. 2. Apakah akibat hukum atas putusan pembatalan merek oleh hakim di Indonesia?.
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim atas pembatalan merek di Indonesia. 2. Untuk mengetahui akibat hukum atas putusan pembatalan merek oleh hakim di Indonesia.
8
D. Telaah Pustaka Hak kekayaan intelektual, di singkat “HKI” 11 atau akronim “HaKI”, adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul baggi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis dari suatu kreativitas intelektual. 12 Dahulu secara resmi sebutan Intellectual Property Rights (IPR) diterjemahkan dengan hak milik intelektual atau hak atas kekayaan intelektual dan di negeri Belanda istilah tersebut di introdusir dengan sebutan Intellectuel Eigendomsrecht. GBHN 1993 maupun GBHN 1998 menerjemahkan istilah Intellectual Property Rights tersebut dengan hak milik intelektual, namun Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 menerjemahkan Intellectual Property Rights ini dengan hak atas kekayaan intelektual, yang disebut dengan HaKI. Istilah Intellectual Property Rights ini berasal dari kepustakaan sistem hukum anglo saxon. 13 Dari segi makna kata HKI dapat diartikan melalui pemaknaan atas masing-masing kata dari kata Intellectual Property Rights. Menurut Harsomo
11
Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI Nomor M.03.PR.07.10 tahun 2000 dan persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Surat Nomor 24/M/PAN/1/2000 istilah “Hak Kekayaan Intelektual” (tanpa atas), telah resmi dipakai.11 12 Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Itelektual bekerjasama dengan EC-ASEAN Intellectual Property Rights Co-operation Programme (ECAP II), Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, Tangerang, 2006, hlm.7 13 Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.1
9
Adisumarto
kata
Intellectual
berkaitan
dengan
kegiatan
intelektual
berdasarkan daya cipta dan daya pikir dalam bentuk ekspresi ciptaan, serta seni dan ilmu pengetahuan serta dalam bentuk penemuan (invention) sebagai benda immaterial. 14 Jadi, hak kekayaan intelektual baru ada secara hukum jika telah ada pengayoman, penaungan, atau perlindungan hukum dari negara atau otoritas publik terhadap suatu karya intelektual. Dengan hak yang diperoleh dari otoritas publik, tumbuhlah eksklusivitas atau kepemilikan sehingga si pemilik dapat melarang pihak lain menggunakan hak tersebut tanpa izinnya. 15 Munculnya istilah hak kekayaan intelektual sangat dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang hak milik. Dalam bukunya, Locke mengatakan bahwa hak milik dari seorang manusia terhadap benda yang dihasilkanya itu sudah ada sejak manusia lahir. Jadi benda dalam pengertian disini tidak hanya benda yang berwujud, tetapi juga juga benda yang abstrak, yak disebut dengan milik atas benda yang tidak berwujud yag merupakan hasil dari intelektualitas manusia. 16 Menurut Dicky R. Munaf, sifat dari HKI adalah: 1. Mempunyai jangka waktu terbatas, artinya setelah habis masa perlidungan inovasinya, maka ada yang dapat diperpanjang (hak merek), tetapi ada juga setelah habis masa perlindunganya menjadi milik umum (hak paten).
14
Budi Agus Riswandi dan Siti Sumartiah, Masalah-Masalah HAKI Konteporer, Gita Nagari, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2006, hlm.2 15 Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Itelektual bekerjasama dengan EC-ASEAN Intellectual Property Rights Co-operation Programme (ECAP II), Op.Cit,, hlm.13 16 Syafrinaldi, Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era Globalisasi, UIR Press, Cetakan Edisi Revisi, Riau, 2006, hlm.6
10
2. Bersifat
eksklusif
dan
mutlak,
maksudnya
hak
tersebut
dapat
dipertahankan terhadap siapapun, dan si pemilik mempunyai hak monopoli yaitu penemu dapat mempergunakan haknya dengan melarang siapapun tanpa persetujuanya memuat ciptaan maupun menggunakan teknologi yang dimilikinya. 3. Bersifat hak mutlak yang bukan kebendaan. 17 Paham mengenai hak milik Indonesia yang dikenal dalam hukum perdata yang berlaku hingga saat ini pada dasarnya tergantung pada konsepsi kebendaan. Lebih dari itu, konsep itu pun ternyata sangat bergantung pada asusmsi fisik, yaitu tanah/alam dan benda lain yang dikandung atau tumbuh di atasnya. Kalauapun kemudian berkembang pada asumsi non fisik atau benda tidak berwujud, hak-hak seperti itu masih bersifat derivatif dari hak-hak yang berpangkat dari konsep kebendaan tadi. 18 Merek telah digunakan sejak ratusan tahun untuk memberikan tanda dari produk yang dihasilkan dengan maksud menunjukan asal-usul barang (indication of origin). Merek dan sejenisnya dikembangkan oleh para pedagang sebelum adanya industrialisasi. Bentuk sejenis merek mulai dikenal dari bentuk tanda resmi (hallmark) di Inggris bagi tukang emas, tukang perak, dan alat pemotong. Sistem tanda resmi seperti itu terus dipakai karena bisa membedakan dari penghasil barang sejenis lainya. 19
17
Budi Agus Riswandi dan Siti Sumartiah, Op.Cit, hlm.3-4 Suyud Margono dan Amir Angkasa, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, Grasindo, Jakarta, 2002, hlm.4-5 19 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual : Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-III, Bandung, 2003, hlm.159 18
11
Pengertian merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, hurufhuruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. 20 Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan barang-barnag sejenis lainya. 21 Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainya. 22 Sedangkan merek kolektif adalah merek yang digunakan ada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainya. 23 Merek merupakan suatu tanda pengenal dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa yang sejenis dan sekaligus merupakan jaminan mutunya bila dibandingkan dengan produk barang atau jasa sejenis yang dibuat pihak lain. Merek tersebut bisa berupa merek dagang atau bisa juga merek jasa. Merek dagang diperuntukkan sebagai pembeda bagi barang-barang yang sejenis yang dibuat oeh perusahaan lain, sedangkan merek jasa diperuntukkan sebagai pembeda pada perdagangan jasa yang sejenis. Dengan melihat, membaca atau mendengar suatu merek, seseorang sudah dapat mengetahui secara persis
20
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 1 angka 1 Ibid, angka 2 22 Ibid, angka 3 23 Ibid, angka 4 21
12
bentuk dan kualitas suatu barang atau jasa yang diperdagangkan oleh pembuatnya. 24 Hak merek dinyatakan sebagai hak eksklusif karena hak tersebut merupakan hak yang sangat pribadi bagi pemiliknya dan diberi hak untuk menggunakan sendiri atau memberi izin kepada orang lain untuk menggunakan sebagaimana ia sendiri menggunakanya. 25 Pemberian izin oleh pemilik merek kepada orang lain ini berupa lisensi, yakni memberikan izin kepada orang lain untuk jangka waktu tertentu menggunakan merek tersebut sebagaimana ia sendiri menggunakanya. Sebagai konsekuensi adanya perlindungan hukum hak atas merek, pemilik merek terdaftar mempunyai hak untuk mengajukan gugatan perdata berupa ganti rugi jika mereknya dipergunakan pihak lain tanpa hak atau izin darinya. Dalam Pasal 76 ayat (1) UU Merek dinyatakan bahwa pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan untuk barang atau jasa yang sejenis atau berupa gugatan ganti rugi, dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Dari bunyi Pasal 76 ayat (1) ini, dapat diketahui ada jenis bentuk tuntutan gugatan ganti rugi atau pengehntian penggunaan merek yang dilanggarnya. UU Merek juga memberikan hak kepada hakim untuk melakukan tindakan tertentu selama pemeriksaan masih berlangsung. Pasal 78 24
Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.321 Ahmadi Miru, Hukum Merek: Cara Mudah Memperlajari Undang-Undang Merek, Rajawali Press, Cetakan Pertama, Jakarta, 2005, hlm.12 25
13
menyatakan bahwa selama masih dalam pemerikasan dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar, hakim atas permohonan pemilik merek atau penerima lisensi selaku penggugat dapat memerintahkan tergugat untuk menghentikan produksi, peredaran dan/atau perdagangan barang atau jasa yang menggunakan merek tersebut secara tanpa hak. Selain itu, hakim juga dapat memerintahkan bahwa penyerahan barang atau nilai barangnya dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tertutup bila tergugat ternyata dituntut juga menyerahkan barang yang menggunakan merek secara tanpa hak.
E. Metode Penelitian 1. Obyek penelitian a. Pertimbangan hukum hakim atas pembatalan merek di Indonesia. b. Akibat hukum atas putusan pembatalan merek oleh hakim di Indonesia. . 2. Sumber data Sumber data yang dipergunakan adalah sumber data sekunder (library research) yaitu data yang diperoleh dengan cara mempelajari berbagai literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, terdiri atas : a. Bahan hukum primer 1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek b. Bahan hukum sekunder, antara lain terdiri dari : 1) Buku yang terkait yang relevan dengan tema skripsi.
14
2) Pendapat para ahli. 3) Karya tulis. 4) Literatur–literatur lainya. c
Bahan Hukum Tersier, yang terdiri dari : 1) Kamus Hukum. 2) Kamus Umum Bahasa Indonesia. 3) Ensiklopedia
3. Teknik pengumpulan data Data penelitian dikumpulkan dengan cara studi pustaka. Studi ini dimaksudkan untuk mengumpulkan atau memahami data–data skunder dengan berpijak pada berbagai literatur dan dokumen yang berkaitan dengan obyek penelitian. 4. Metode Pendekatan Pendekatan yuridis normatif, yaitu data yang diperoleh kemudian dianalisis dari sudut pandang peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah di analisis, selanjutnya hasil analisis tersebut akan diwujudkan dalam bentuk deskripsi dengan ringkas dan jelas sehingga mudah dimengerti dan dipahami. 6. Analisis Data Data yang diperoleh dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif (content analysis) dengan langkah–langkah sebagai berikut :
15
a. Data
penelitian
diklasifikasikan
sesuai
dengan
permasalahan
penelitian. b. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan. c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan