BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan internasional menghendaki pasar yang terbuka bagi produk-produk ekspor di setiap negara. Keadaan ini menyebabkan setiap negara maupun pengusaha di suatu negara harus berkompetisi satu sama lain dalam pasar global. Salah satu cara untuk dapat berkompetisi dalam pasar global adalah mengekspor produk-produk yang berkualitas dengan harga yang bersaing, bahkan lebih murah daripada harga produk-produk yang sama di negara pengimpor. Jika hal ini terjadi tentu dapat merugikan industri-industri pada produk yang sama di negara pengimpor. Oleh karena itu, perlu ada tindakan-tindakan atau pengaturan secara internasional terhadap keadaan seperti yang digambarkan yang sering disebut dengan istilah dumping. 1 Masalah dumping sudah sejak lama dikenal dan dibahas oleh para ahli hukum dan ahli ekonomi. Persoalan dumping adalah persoalan kebijaksanaan. Menurut Adam Smith, konsep dari kebijaksanaan dumping dalam perdagangan internasional telah dikenal jauh sebelum adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur dumping itu sendiri, baik secara nasional maupun internasional. Amerika Serikat telah mengeluarkan undang-undang untuk menangkal dumping sejak tahun 1916, yaitu dengan menerapkan kewajiban-kewajiban Antidumping. Disebutkan pula oleh Jacob Viner pada tahun 1991 telah terjadi debat di
1
Sukarmi, Regulasi Antidumping Di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal.22. 1
Kongres Amerika Serikat dimana Alexander Hamilton (anggota Kongres) memperingatkan agar bagi negara luar yang menjual barang lebih murah hingga menggagalkan usaha-usaha pesaing lainnya, perlu dituntut ganti kerugian yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan dumping sudah muncul sejak beberapa abad yang lalu dan betapa pentingnya pengaturan masalah dumping. 2 Dumping merupakan istilah yang dipergunakan dalam perdagangan internasional dimana pengekspor dalam praktik dagangnya menjual komoditi di pasar internasional dengan harga yang kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di negerinya sendiri, atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya. Praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor. 3 Berdasarkan pengertian diatas, maka dumping dalam konteks hukum internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual komoditinya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut. Hal ini berarti penjualan produkproduk untuk ekspor pada tingkat harga yang lebih rendah dari nilai normal. Nilai normal 2
Ibid., hal.23. A F. Erawati dan J.S Badudu dalam Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal.115. 3
dalam arti harga untuk produk-produk yang sama yang dijual di negara sendiri atau di pasar pengekspor. Untuk mengantisipasi adanya praktik dumping diperlukan suatu tindakan yang disebut Antidumping, yaitu suatu tindakan balasan yang diberikan oleh negara pengimpor terhadap barang dari negara pengekspor yang melakukan dumping. 4 GATT (General Agreement on Tariffs & Trade) yang mulai berlaku sejak tahun 1948, dan merupakan persetujuan multilateral yang menentukan peraturan-peraturan bagi perilaku perdagangan internasional dengan tujuan memelihara suatu sistem perdagangan yang terbuka, bebas, dan kompetitif, telah mencantumkan aturan aturan tentang dumping. GATT dalam kerangka dumping menganggap bahwa ekspor barang yang disertai dengan perbuatan dumping dan terbukti mengakibatkan kerugian bagi usaha/industri barang sejenis di negara importir merupakan praktik perdagangan yang tidak jujur (unfair trade practice). Terhadap tindakan tersebut, GATT mengizinkan suatu negara yang dirugikan untuk mengambil tindakan Antidumping berupa pengenaan Antidumping duties sebesar kerugian yang dideritanya. 5 Hal ini terlihat pada Article VI yang mengizinkan negara-negara peserta GATT untuk menerapkan sanksi Antidumping terhadap negara yang melakukan dumping. Namun demikian, penerapannya harus dibuktikan dengan kerugian material (material injury). Persyaratan kerugian material diterapkan untuk mencegah perdagangan curang dan melakukan proteksi guna melindungi industri dan pasar domestiknya. Tanpa
4 5
Ibid., hal.117. Sukarmi,Op.cit., hal.23-24.
adanya kerugian secara material maka suatu negara pengimpor tidak boleh melakukan tindakan Antidumping dan kewajiban kompensasi. 6 Indonesia dan Filipina adalah salah satu negara yang merupakan bagian dari organisasi perdagangan dunia, Indonesia telah meratifikasi ketentuan GATT-WTO dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing the World Trade Organization (WTO), maka Final Act yang berisi 38 persetujuan tersebut telah sah menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional, termasuk persetujuan tentang Antidumping. 7 Sebagai salah satu bagian dari organisasi perdagangan dunia Filipina juga telah meratifikasi ketentuan GATT-WTO dengan dikeluarkannya Republic Act No. 7843 Antidumping Act of 1994 yang berisikan tentang persetujuan mengenai ketentuan Antidumping. Ketentuan Antidumping tersebut pada tahun 1999 telah diamandemen dengan dikeluarkannya Republic Act No. 8752 “The Antidumping Act of 1999”. Manfaat dari keikutsertaan Indonesia dan Filipina dalam persetujuan WTO pada dasarnya bukan saja memungkinkan terbukanya peluang pasar internasional yang lebih luas, melainkan juga menyediakan kerangka perlindungan multilateral yang lebih baik bagi kepentingan nasional masing masing dalam perdagangan internasional, khususnya dalam menghadapi mitra dagang. Konsekuensi yang perlu ditindaklanjuti antara lain adalah kebutuhan untuk menyempurnakan atau mempersiapkan peraturan perdagangan yang
6 7
Ibid., hal.30. Muhammad Sood, Op.cit., hal.118.
diperlukan. Disamping itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia, khususnya pemahaman di kalangan pelaku ekonomi dan aparatur penyelenggara negara terhadap keseluruhan persetujuan serta berbagai hambatan dan tantangan yang melingkupinya. Bagi Indonesia dan Filipina dengan diratifikasinya perjanjian pembentukan GATT-WTO mempunyai akibat hukum ekstern dan intern. Akibat hukum eksternnya, dengan penandatangan perjanjian tersebut Indonesia dan Filipina mempunyai kewajiban untuk mematuhi segala ketentuan yang diatur dalam GATT-WTO dan peran sertanya dalam perdagangan internasional. Sedangkan akibat hukum internnya, Indonesia dan Filipina harus mampu menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasionalnya agar mampu bersaing di pasaran internasional dalam kegiatan ekspor-impor. Untuk memperoleh manfaat dari globalisasi, maka produk produk dalam negeri harus dapat menembus bukan saja pasar dalam negeri melainkan juga pasar dunia. Oleh karena itu, kebijakan perdagangan bebas yang melancarkan arus barang, jasa, dan produksi mau tidak mau harus mengandalkan produk yang mutu dan harganya bersaing. Bagi beberapa negara masalah-masalah yang dihadapi secara simultan cukup berat. Masalahmasalah tersebut menyangkut persaingan: 8 a. Produk dalam negeri terhadap produk impor sesama negara anggota; b. Produk dalam negeri terhadap produk impor non-anggota; dan c. Produk yang tercakup dalam skema preferensi tarif dengan produk dari pasar global. 8
Sunaryati Hartono dalam Sukarmi, Op.cit., hal.2.
Tindakan persaingan antar pelaku ekonomi mendorong terjadinya persaingan curang, baik dalam bentuk harga maupun bukan harga. Dalam bentuk harga misalnya terjadi diskriminasi harga (dumping). Untuk menghadapi hal ini diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan efisiensi, termasuk perbaikan sistem dan pranata hukum yang mampu mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis yang semakin global sifatnya. Beberapa negara telah melakukan proteksi guna melindungi industri dan pasar domestiknya. Terhadap dumping diberlakukan perangkat hukum Antidumping guna melindungi industri yang bersangkutan dari destruksi pasar karena penjualan barang impor dibawah harga yang semestinya, misalnya masyarakat Eropa melalui perangkat hukum Antidumping telah menetapkan komisi khusus yang menangani masalah dumping. Pembuktian dumping oleh komisi khusus tersebut meliputi dumping itu sendiri, kerugian (injury), dan kepentingan masyarakat (community interest). 9 Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, WTO Antidumping Agreement memberikan kewenangan bagi negara-negara anggota seperti halnya Indonesia dan Filipina dapat menerapkan bea Antidumping sebagai remedi atas tindakan dumping. Indonesia seperti halnya negara-negara anggota WTO lainnya, telah menindaklanjuti kebijakan Antidumping tersebut ke dalam perundang-undangan nasionalnya. Hal ini dapat dilihat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. PP tersebut merupakan implementasi dari ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement 9
Ibid. hal.3.
Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) dan Pasal 23D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006. 10 Demikian halnya penerapan ketentuan Antidumping di Filipina dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan diterbitkannya Administrative Order No. 01 Implementing Rules and Regulations Governing the Imposition of an Antidumping duty under Republic Act 8752 The Antidumping Act of 1999 yang merupakan implementasi dari ketentuan Republic Act 8752 The Antidumping Act of 1999. Pada dasarnya setiap negara anggota WTO dalam menentukan kebijakan Antidumping berpedoman pada ketentuan Article VI GATT yang menguraikan kriteria terjadinya dumping. Pertama, jika harga ekspor dari suatu produk lebih rendah daripada harga perbandingan (comparable price) barang sejenis yang digunakan untuk konsumsi di dalam negeri pengekspor. Kedua, bila tidak terdapat penjualan domestik dari barang sejenis tersebut, maka digunakan perbandingan harga ekspor ke pasar negara ketiga. Ketiga, bila tidak terdapat kriteria pertama dan kedua maka akan diadakan suatu pembentukan harga (constructed price) yang didasarkan pada biaya produksi ditambah suatu jumlah keuntungan (profit) yang wajar. 11 Penentuan adanya dumping di Indonesia sebagai implementasi dari ketentuan WTO diatas dirumuskan dalam Pasal 2 PP No. 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, 10
PP No. 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, Pertimbangan huruf a. 11 The Text of The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT),(Geneva: July 1986), hal.10.
Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, yaitu apabila harga ekspor dari suatu barang yang diimpor lebih rendah dari nilai normalnya dan menyebabkan kerugian dapat dikenakan Bea Masuk Antidumping. 12 Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa pengertian dumping sering diekspresikan sebagai penjualan produk-produk untuk ekspor pada harga yang lebih rendah daripada nilai normal. Nilai normal dalam arti harga untuk produk-produk yang sama yang dijual di negara sendiri atau pasar pengekspor. Dengan demikian, nilai normal dan terjadinya kerugian (material injury) merupakan patokan untuk dapat menentukan terjadinya dumping. Nilai normal dan material injury meskipun secara umum merupakan patokan dasar bagi setiap negara anggota WTO untuk menentukan terjadinya dumping, namun dalam menentukan nilai normal dan material injury tersebut terdapat perbedaan di setiap negara. Hal ini disebabkan karena masalah tersebut merupakan substansi di bidang rules making, dimana setiap negara memiliki kewenangan untuk membuat perundang-undangan nasionalnya, dengan menyesuaikannya terhadap keadaan negara itu sendiri. Sebagai contoh terdapatnya perbedaan di setiap negara dalam menentukan terjadinya dumping, misalnya dalam konteks penentuan harga normal dapat dilihat dari metode yang digunakan, seperti di Amerika Serikat dan Uni Eropa menggunakan metode zeroing, dimana harga penjualan dikurangi harga ekspor merupakan harga normal atau disebut juga margin dumping (batas dumping). Jadi jika batasnya lebih besar daripada nol, maka itu adalah
12
PP No. 34 Tahun 2011, Op. cit., Pasal 2 huruf a.
dumping. 13 Berbeda dengan di Amerika dan Uni Eropa, misalnya di Filipina tidak menggunakan metode zeroing 14 dalam menghitung margin dumping, tetapi menggunakan metode penyesuaian, yaitu harga normal dikurangi harga ekspor dibagi harga ekspor, hasilnya tersebut merupakan margin dumping. 15 Di Indonesia sendiri dalam menentukan margin dumping ditentukan dengan dua cara, yaitu normal value berdasarkan harga dalam negeri dan normal value berdasarkan constructed value. 16 Berdasarkan gambaran tersebut maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan di setiap negara dalam hal menentukan terjadinya dumping. Penelitian tentang kebijakan Antidumping dalam perdagangan internasional sebagaimana yang akan dilakukan melalui penelitian tesis ini menjadi penting karena beberapa alasan: Pertama, Indonesia adalah negara anggota WTO yang telah meratifikasi seluruh kesepakatan-kesepakatan WTO, termasuk didalamnya Antidumping Agreement. Ratifikasi ini mengakibatkan lahirnya kewajiban bagi Indonesia untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasional dengan kesepakatan WTO yang telah diratifikasi dan menjamin bahwa perundang-undangan nasional tersebut akan berjalan secara efektif.
13
http://www.eubusiness.com/topics/trade/zeroing/, di akses Medan tanggal 24 February 2013. Metode Zeroing ini tidak lagi boleh dipergunakan sejak Perjanjian Agreement GATT/WTO di tanda tangani. Keterangan ini di peroleh dari hasil wawancara dengan Sdr. Duma Situmorang Staff Penyelidikan Antidumping dan Subsidi merupakan Pejabat yang ditunjuk oleh Ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang bersedia menyediakan waktunya dalam melakukan penelitian di Kementrian Perdagangan Republik Indonesia di gedung Komite Anti Dumping Indonesia pada hari Selasa tanggal 16 April 2013. 15 Republic Act 8752 The Anti-Dumping Act of 1999, section 11. 16 Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Formulir dan Panduan Permohonan Penyelidikan Pengenaan Tindakan Antidumping (Jakarta: Komite Antidumping Indonesia Kementrian Perdagangan, 2012) hal.14-15 14
Kedua, perbedaan penafsiran terhadap ketentuan Antidumping yang ada dalam GATT-WTO dan penerapan undang-undang masing-masing negara anggota akan menimbulkan permasalahan, sehingga dalam bahasan tulisan ini akan lebih menarik menggunakan metode perbandingan hukum. Dalam hal ini adalah membandingkan kebijakan Antidumping di Indonesia dengan di Filipina yang merupakan sesama Anggota WTO, dan juga merupakan sesama negara anggota di Asia Tenggara (ASEAN) yang sangat berkepentingan dalam rangka meningkatkan ekspornya masing masing, khususnya barangbarang manufaktur. Ketiga, Filipina sebagai salah satu negara berkembang yang menjadi tujuan pemasaran ekspor dari negara maju pada tahun 1994 telah melakukan proteksi guna melindungi industri dalam negerinya dengan mengeluarkan Undang Undang Antidumping atau yang di kenal dengan Republic Act No. 7843“The Anti-Dumping Act of 1994” yang kemudian di amandemen tahun 1999 menjadi Republic Act No. 8752“The Anti-Dumping Act of 1999”. Berbeda dengan di Indonesia, tidak adanya ketentuan Antidumping yang menyeluruh seperti halnya di negara lain seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan bahkan di negara-negara Asia Tenggara seperti Filipina, maka bagi Indonesia timbul kesulitan untuk mengadakan tuduhan kepada negara lain yang melakukan dumping ke Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan Antidumping Filipina seyogyanya dapat dijadikan sebagai salah satu bahan perbandingan dalam mengatasi permasalahan dumping di Indonesia.
Keempat, Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Kementerian Perdagangan, Ernawati S. Taufiq pada acara Diseminasi Hambatan Teknis Perdagangan dan Tuduhan Dumping, Subsidi dan Safeguard di Sanur, Bali yang diadakan pada hari Kamis pada tanggal 29 November 2012 menjelaskan, dari 287 kasus (lihat Tabel. 1), yakni sebanyak 233 kasus dumping, tuduhan subsidi 17 kasus dan tindakan safeguard 37 kasus. Secara rinci, dari 26 negara yang menuduh dumping, subsidi dan safeguard (DSS) India tercatat menduduki peringkat pertama yakni sebanyak 29 kasus, disusul Uni Eropa 29 kasus, Amerika Serikat 25 kasus, Australia 21 kasus, Turki 19 kasus, Afrika Selatan 12 kasus, Malaysia 10 kasus, Pakistan 10 kasus, Filipina 10 kasus dan negara lainnya yang kasusnya berjumlah di bawah 10 kasus. 17
Tabel 1. Rincian Tuduhan Terhadap Ekspor Indonesia Tahun 1995 s.d. 2010 Status Kasus
Jumlah Kasus
Telah Dihentikan Telah Dikenakan Dalam Proses TOTAL
88 (43,43%) 87 (43,94%) 23 (12,63%) 198 (100%)
Kasus Tuduhan Dumping Subsidi Safeguard 75 6 7 71 5 11 17 1 5 163 12 23
Sumber : DPP, Ditjen KPI, DEPDAG, Januari 2010
Tabel 1. ini mendeskripsikan mengenai status kasus dumping, subsidi dan safeguard yang sedang ditangani pada tahun 1995 sampai tahun 2010. Bahwa pada tahun 1995 s.d. 2010 jumlah kasus dumping yang telah dihentikan sebanyak 75 kasus , yang telah dikenakan Bea
17
http://www.antaranews.com/berita/345953/kemendag-minta-pengusaha-bali-waspadai-tuduhandumping di akses di medan pada tanggal 31 maret 2013
Masuk Antidumping sebanyak 71 kasus dan kasus yang masih dalam proses penyelidikan sebanyak 17 kasus.
Tabel 2. Produk Ekspor Indonesia yang Dituduh Dumping Tahun 2009 No.
Produk yang Dituduh
1 Viscose Staple Fiber Excluding Bamboo Fibre (Baru)
Negara INDIA
Inisisasi 19 Maret 2009
2 Maleic Anhydride MALAYSIA 3 Februari 2009 (Sunset Review) 3 Sodium Cyclamate UNI 10 Maret EROPA 2009 (Sunset Review) 4 Nucleotide–type CHINA 24 Maret 2009 Food Additives (Baru) 5 Polyethelene Retail USA 20 April 2009 Carriers Bags (Baru) 6 Phthalic Anhydride PAKISTAN 20 April (Baru) 2009 7 Methanol (Baru) CHINA 4 Mei 2009 8 Sorbitol (sunset PAKISTAN 16 Juli 2009 review)
9 One Side Coated Duplex Board Grey (Baru) 10 Obat Nyamuk (mosquito coil) (Baru) 11 Air Condition (AC) (Baru)
PAKISTAN 26 Juni 2009 PHILIPINA 15 Juli 2009 TURKEY
25 Juli 2009
Status Kasus Dalam Proses,BMADS US$ (0,2170,760)/ Kg TMT 5 Agustus 2009
Dalam Proses Dalam Proses Dalam Proses
Dalam Proses, BMADS (67,18 – 67,62)% TMT 27 Oktober 2009 Dalam Proses Dalam Proses Melanjutkan BMAD sebesar 22,26 % (PT. Sorini Agro Asia Corp) dan PT. Sorini Towa tidak dikenakan BMAD, TMT 19 Juli Dalam Proses
Dalam Proses
Dalam Proses
12 Hydrogen Peroxide PAKISTAN 31Agustus Dalam Proses (Baru) 2009 13 Certain USA 14 Oktober Dalam Proses Coated Paper (Baru) 2009 Sumber: DPP-Depdag, Januari 2010
Tabel 2. ini mendeskripsikan mengenai jenis produk ekspor yang berasal dari Indonesia yang sering dituduh dumping pada tahun 2009. Adapun jenis produk Indonesia yang paling sering dituduh dumping oleh negara negara lain ialah Viscose Staple Fiber Excluding Bamboo Fibre dengan negara penuduh India yang mulai di selidiki pada 19 maret 2009 dan selama dalam proses penyelidikan di kenakan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) sebesar US$ (0,217-0,760)/ Kg yang mulai dikenakan pada tanggal 5 Agustus 2009, Maleic Anhydride dengan negara penuduh Malaysia yang mulai diselidiki pada tanggal 3 Februari 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan, Sodium Cyclamate dengan negara penuduh Uni Eropa yang mulai diselidiki pada tanggal 10 Maret 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan, Nucleotide- type food addictive dengan negara penuduh China yang mulai diselidiki pada tanggal 24 Maret 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan, Polyethelene retail Carriers bags
dengan negara
penuduh USA yang mulai diselidiki pada tanggal 20 April 2009 dengan status kasus masih dalam penyelidikan dan selama masa penyelidikan dikenakan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) sebanyak 67,18 – 67,62 % pada tanggal 27 Oktober 2009, Phthalic Anhydride dengan negara penuduh Pakistan yang mulai diselidiki pada tanggal 20 April 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan, Methanol dengan negara
penuduh China yang mulai diselidiki pada tanggal 4 Mei 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan, Sorbitol dengan negara penuduh Pakistan yang mulai diselidiki pada tanggal 16 Juli 2009 dengan status kasus melanjutkan Bea Masuk Anti Dumping sebesar 22,26 % oleh PT Sorini Agro Asia Corp dan PT. Sorini Towa tidak dikenakan Bea Masuk Anti Dumping, pada tanggal 19 Juli 2009, One Side Coated Duplex Board Grey dengan negara penuduh Pakistan pada tanggal 26 Juni 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan, produk obat nyamuk (mosquito coil) dengan negara penuduh Filipina yang mulai diselidiki pada tanggal 15 Juli 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan, Air Condition dengan negara penuduh Turkey yang mulai diselidiki pada tanggal 31 Agustus 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan Hydrogen Peroxide dengan negara penuduh Pakistan dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan, Certain Coated Paper dengan negara penuduh USA yang mulai diselidiki pada tanggal 14 Oktober 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan.
Tabel 3. Produk Ekspor Indonesia yang sering dituduh No. 1.
Produk
Negara Penuduh
Chemical Products (Phthalic Anhydride, Sorbitol, etc) Glass & Glass Products (Clear float glass, glass mirror, etc)
Uni Eropa, Amerika Serikat, India, Turki, India, Pakistan India, Afrika Selatan, Thailand, Australia, Selandia Baru, Philippina
3.
Textile and Yarn (Polyester textured yarn, Acrylic fiber, etc)
India, Kolombia, Uni Eropa
4.
Footwear
Uni Eropa, Peru, Selandia Baru, Argentina
5.
Steel Products (Hot rolled coil, Tube or pipe fitting or iron, etc)
Amerika Serikat, Kanada, Thailand, Uni Eropa.
2.
Australia,
6.
Paper & Paper Products (A4 copy Paper, Coated free sheet, etc)
7.
Plastic dan Rubber (PET, PRCB, Passanger car tires, motorcycles tires, etc)
Afrika Selatan, Korea Selatan, India, Malaysia, Australia, Amerika Serikat Argentina, Malaysia, Uni Eropa, USA, Mesir, Turki,
8.
Miscellaneous Product (Pocket Lighter, Gypsum Board, etc)
Uni Eropa, Korea Selatan,Malaysia, Afrika Selatan, Selandia Baru, India
Sumber : DPP, Ditjen KPI, DEPDAG, Jan 2010
Tabel 3 . ini mendeskripsikan mengenai jenis produk ekspor yang berasal dari Indonesia yang sering dituduh dumping pada tahun 2010. Adapun produk ekspor yang berasal dari Indonesia yang sering dituduh dumping ialah untuk produk Chemical Products (Phthalic Anhydride, Sorbitol, etc) adapun rincian negara yang sering menuduh Uni Eropa, Amerika Serikat, India, Turki, India, Pakistan. Untuk produk Glass & Glass Products (Clear float glass, glass mirror, etc) adapun rincian negara yang sering menuduh India, Afrika Selatan, Thailand, Australia, Selandia Baru, Philippina. Untuk produk Textile and Yarn (Polyester textured yarn, Acrylic fiber, etc) adapun rincian negara yang sering menuduh India, Kolombia, Uni Eropa. Untuk produk Footwear adapun rincian negara yang sering menuduh Uni Eropa, Peru, Selandia Baru, Argentina. Untuk produk Steel Products (Hot rolled coil, Tube or pipe fitting or iron, etc) adapun rincian negara yang sering menuduh Amerika Serikat, Kanada, Australia, Thailand, Uni Eropa. Untuk produk Paper & Paper Products (A4 copy Paper, Coated free sheet, etc) adapun rincian negara yang sering menuduh ialah Afrika Selatan, Korea Selatan, India, Malaysia, Australia, Amerika Serikat. Untuk produk Plastic dan Rubber (PET, PRCB, Passanger car tires, motorcycles tires, etc) adapun rincian negara yang sering menuduh Argentina, Malaysia, Uni Eropa, USA, Mesir, Turki,. oleh negara
Filipina adalah produk kaca dan gelas kaca (glass & Glass Product (clear Float glass, glass mirror,etc). Untuk produk Miscellaneous Product (Pocket Lighter, Gypsum Board, etc) adapun rincian negara yang sering menuduh Uni Eropa, Korea Selatan,Malaysia, Afrika, Selatan, Selandia Baru, India.
Kelima, pasar Indonesia adalah pasar yang sangat rentan terhadap barang-barang produk dumping. Para importir dari luar negeri menyadari bahwa negara Indonesia adalah pangsa pasar yang besar untuk tujuan pemasaran p roduk-produk ekspor mereka, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar. Atas pertimbangan itulah para eksportir dari luar negeri memandang pasar Indonesia adalah tempat yang sesuai bagi pemasaran produkproduk mereka, terlebih jika produk tersebut dijual dengan harga dumping untuk mencapai keuntungan yang diharapkan. Melihat hal-hal tersebut diatas maka pengaturan masalah Antidumping dalam sistem perdagangan multilateral akan semakin penting, terutama bagi negara berkembang, khususnya Indonesia yang sangat berkepentingan dalam rangka meningkatkan ekspor nonmigas seperti barang-barang manufaktur. Kesiapan materi hukum harus diarahkan pada mempersiapkan masyarakat untuk menjadi pelaku ekonomi yang utama, termasuk hubungan-hubungan ekonomi global, sehingga perlu memperhatikan perundang-undangan di luar negeri dalam mengatur berbagai bentuk kerjasama dengan orang, perusahaan, maupun negara asing. Hal ini akan sangat berguna bagi pembangunan dan kebijaksanaan nasional dalam menghadapi perekonomian yang semakin global
B. Perumusan Masalah Berdasarkan gambaran latar belakang diatas, maka rumusan permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina dalam menentukan nilai normal (normal value) dalam hal terjadinya dugaan praktek dumping? 2. Bagaimana komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina dalam menentukan kerugian material (material injury) dalam hal adanya dugaan dumping? 3. Bagaimana komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina mengenai perlindungan terhadap industri dalam negeri (domestic industry) dalam hal terjadinya praktek dumping? C. Tujuan Penelitian Penelitian tesis ini bertujuan : 1. Untuk menganalisa komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina dalam menentukan nilai normal (normal value) dalam hal terjadinya dugaan praktek dumping.
2. Untuk menganalisa komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina dalam menentukan kerugian material (material injury) dalam hal adanya dugaan dumping. 3. Untuk menganalisa komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina berkenaan dengan perlindungan terhadap industri dalam negeri (domestic industry) dalam hal terjadinya praktek dumping. D. Manfaat Penelitian Pada dasarnya manfaat dari penelitian ini dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini di harapkan memberikan manfaat secara teoritis dalam perkembangan ilmu hukum berupa: a. Memberikan masukan bagi para teorisi atau bagi orang yang ingin memperdalam dan mengembangkan atau menambah wawasan pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya mengenai kebijakan Antidumping. b. Memberikan masukan pengetahuan baru yang bersifat edukatif. Dengan memberikan gambaran yang lebih baik mengenai sistem hukum serta merupakan alat bantu bagi disiplin-disiplin ilmu lain terutama bagi sosiologi hukum, antropologi hukum. c. merupakan instrumen untuk menentukan perkembangan hukum
d. memberikan masukan bagi perkembangan asas-asas umum hukum
dan
membantu dalam sumbangan bagi doktrin e. Memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang perdagangan internasional 2. Manfaat Praktis Penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat secara praktis dalam perkembangan ilmu hukum berupa: a. Dapat memberikan sumbangan informasi untuk kepentingan pembentukan undang-undang. b. Membantu dalam membentuk undang-undang baru. c. Persiapan dalam menyusun undang-undang yang uniform. d. Memberikan informasi sekaligus sosialisasi kepada masyarakat maupun praktisi hukum dan ekonomi serta lembaga lembaga pemerintah mengenai Antidumping dalam perdagangan internasional. e. Memberikan
sumbangan
informasi
kepada
masyarakat
meningkatkan
pemahaman dunia usaha tentang praktek dumping yang di lakukan oleh pengekspor yang akibat dari dumping itu dapat berdampak pada industri dalam negeri. f. Memberikan sumbangan informasi kepada masyarakat maupun praktisi praktisi hukum mengenai perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan dengan
memberi penjelasannya dan meneliti bagaimana berfungsinya hukum dan bagaimana pemecahan yuridisnya di dalam praktek serta faktor-faktor nonhukum mana saja yang mempengaruhinya. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian dengan judul “Analisis Komparatif Yuridis Kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina” belum pernah di teliti sebelumnya. Namun ada beberapa judul tesis yang berkaitan dengan Kebijakan Anti Dumping yang pernah di tulis telah ada dalam penelitian sebelumnya. Judul tesis mengenai Antidumping pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ditulis oleh Rita Herlina dengan judul “Antidumping Dalam Perdagangan Internasional: Sinkronisasi Peraturan Antidumping Indonesia Terhadap WTO Antidumping Agreement”. Penulisan tesis tersebut membahas mengenai sinkronisasi Peraturan Antidumping Indonesia terhadap peraturan di WTO. Adapun rumusan permasalahan yang telah di lakukan pada penelitian sebelumnya ialah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan Antidumping dalam perdagangan internasional? 2. Bagaimana implementasi kebijakan Antidumping dalam perundang-undangan di Indonesia?
3. Bagaimana sinkronisasi Antidumping Indonesia dengan ketentuan-ketentuan WTO Anti Dumping Agreement? Sedangkan rumusan permasalahan pada penulisan tesis ini ialah sebagai berikut: 1. Bagaimana komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina dalam menentukan nilai normal (normal value) dalam hal terjadinya dugaan praktek dumping? 2. Bagaimana komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina dalam menentukan kerugian material (material injury) dalam hal adanya dugaan dumping? 3. Bagaimana komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina mengenai perlindungan terhadap industri dalam negri (domestic industry) dalam hal terjadinya praktek dumping? Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tersebut tentu sangat berbeda dengan penelitian baik dalam pendekatan topik penelitian yang penulis tulis, baik dalam pendekatan topik penelitian maupun perumusan masalahnya. Sehingga penulisan penelitian ini dapat dikatakan asli dan keaslian secara akademis keilmuan dapat dipertanggung jawabkan. Penulis bertanggung jawab sepenuhnya apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa terdapat unsur plagiat dalam penelitian ini dengan penelitian yang telah ada sebelumnya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Pada perkembangannya, dalam kegiatan pertukaran barang dan jasa, setiap negara menghendaki adanya pasar bebas atau yang sering di kenal dengan perdagangan bebas. Perdagangan bebas dapat didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda. 18 Istilah perdagangan bebas pertama kali di perkenalkan oleh seorang ahli ekonomi asal Inggris yang bernama Adam Smith dalam karyanya yang berjudul “The Wealth of Nations” . 19 Menurut Adam Smith pasar bebas merupakan penerapan konsep tatanan kosmis yang harmonis dalam bidang ekonomi. Pasar bebas merupakan panggung sosial-ekonomi satu-satunya yang memungkinkan keadilan dapat diwujudkan. Karena itu dapat dikatakan bahwa pasar bebas adalah perwujudan dari apa yang disebut Smith sebagai sistem kebebasan kodrati dan keadilan. 20 Lebih jauh Smith berusaha mendeskripsikan konsepnya mengenai kebebasan itu adalah sebagai berikut:
18
Muhzamal N., Serba-serbi Perdagangan Bebas, Buletin Departemen Perdagagan Indonesia Edisi 03/KPI/2011, hal.13 19
Ibid., hal.15 Adam, Smith dalam A. Sonny Keraf. Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah – telaah atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith, (Jakarta:Penerbit Kanisius.1996) hal.197 20
“…….jika semua sistem preferensi dan hambatan…. dihapus sama sekali, maka akan terciptalah sistem kebebasan kodrati yang jelas dan sederhana sebagaimana adanya. Setiap orang sejauh tidak melanggar hukum-hukum keadilan, dibiarkan bebas sepenuhnya untuk mengejar kepentingannya sesuai dengan caranya sendiri, dan untuk membawa industri dan modalnya dalam persaingan dengan industri dan modal dari orang lain, atau dari kelompok lainnya. Dalam arti kata smith memahami kebebasan manusia dalam pengertian negatif dan positif. 21 Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa Smith membedakan makna kebebasan itu menjadi kebebasan negatif dan kebebasan positif. Kebebasan negatif dalam teori Smith mengacu pada tidak adanya campur tangan atau hambatan dari luar, khususnya dalam bentuk campur tangan negara. 22 Sedangkan kebebasan positif dalam teori Smith mengacu pada suatu ajaran bahwa individu harus dibiarkan untuk melakukan apa saja yang mereka kehendaki sesuai dengan apa yang dianggapnya paling baik. Dalam maknanya yang positif, kebebasan berarti kemampuan setiap pribadi untuk mewujudkan apa yang diinginkannya tanpa merugikan orang lain. 23 Seperti yang telah diuraikan pada paragraf paragraf sebelumnya, Adam Smith dalam teori pasar bebasnya mengemukakan suatu pandangan yang pada hakikatnya menyatakan bahwa kegiatan individu dalam perekonomian tidak perlu diatur oleh pemerintah. Menurutnya apabila setiap individu dalam masyarakat diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan ekonomi yang diingini mereka, maka kebebasan ini akan mewujudkan efisiensi yang tinggi dalam kegiatan ekonomi negara dan dalam jangka panjang kebebasan tersebut akan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang lebih efisien. Adam Smith juga berpendapat 21
Ibid., hal. 135 Ibid., hal. 136 23 Ibid., hal. 138 22
campur tangan pemerintah yang aktif dalam mempengaruhi kegiatan ekonomi akan semakin mengurangi efisiensi kegiatan ekonomi. 24 Pada dasarnya sasaran utama dari perdagangan bebas ini untuk menciptakan iklim perdagangan internasional yang kompetitif dimana didalam pasar bebas ini intervensi pemerintah dalam kegiatan perekonomian sebisa mungkin di minimalisir. 25 Dengan kata lain, sistem pasar bebas mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. sejauh yang diketahui, secara tradisional Smith memang dikenal sebagai pendukung utama Laissez–faire atau pasar bebas. Pada dasarnya ada tiga hal yang mendasar dari ideologi pasar bebas ini yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property) 26 dimana dalam hal ini setiap orang memiliki kesempatan yang sama (Hold the Basic Equality of All Human Being). 27 Sebagai sebuah hak, menurut Smith kebebasan adalah aspek fundamental keadilan. Salah satu aspek dari keadilan, kebebasan dibatasi oleh prinsip keadilan dimana dalam konteks ini tidak merugikan orang lain. Ini berarti Smith sama sekali tidak membela kebebasan absolut. Smith memaknai kebebasan kodrati itu sebagai kemampuan untuk
24
Sukirno, Sadono. Mikro ekonomi teori pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers. 2009) hal.394. Banjarsari, Yani Mulia, “Keterkaitan Hukum Internasional dalam Penerapan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan Perdagangan Internasional”, Buletin Departemen Perdagangan Indonesia Edisi - 53/KPI/2008 25
26 27
Sukarna. Ideologi : Suatu Studi Ilmu Politik. (Bandung: Penerbit Alumni, 1981) hal.149 Ibid., Hal. 151
melakukan apa saja yang dikehendakinya. Akan tetapi kebebasan itu di bawah kendali aturan keadilan dan bukan pasar bebas yang tanpa kontrol. 28 Pada perkembangannya dalam sistem pasar bebas, pemerintah di harapkan hanya mengamati kegiatan perekonomian dan menjaga agar sistem pasar bebas dapat berjalan baik serta menjamin tidak ada orang yang haknya dilanggar, tanpa perlu banyak melakukan intervensi di dalam kegiatan perekonomian tersebut atau biasa di sebut campur tangan yang minimal saja. Dengan kata lain, peran utama pemerintah dalam pasar bebas itu adalah mencegah terjadinya anarki dan kekacauan politik, serta berperan secara efektif untuk menegakkan keadilan secara tidak memihak, sama rata dan konsekuen, dengan demikian ada kepastian dan jaminan atas hak dan kebebasan setiap pelaku ekonomi. 29 Prinsip pasar bebas yang dianut oleh Adam Smith ini kemudian di kembangkan oleh John Rawls seorang filsuf di bidang hukum yang terkenal pada abad ke-20 dalam bukunya yang berjudul "Teori Tentang Keadilan" (dalam Bahasa Inggris A Theory of Justice) 30 menurutnya ada dua prinsip dasar dari keadilan dapat dilihat: "….Prinsip yang pertama dinamakan prinsip kebebasan. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai kebebasan yang terbesar sepanjang ia tidak menyakiti orang lain. Tegasnya menurut prinsip kebebasan ini, setiap orang harus diberi kebabasan memilih, menjadi pejabat, kebebasan berbicara dan berfikir, kebebasan memiliki kekayaan, kebebasan dari penangkapan tanpa alasan, dan sebagainya. Prinsip keadilan kedua, yang akan dibenarkan oleh semua orang yang fair, adalah bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi, harus menolong seluruh masyarakat serta pejabat
28
Adam, Smith dalam. A. Sonny Keraf. Op. cit, hal. 141 Ibid, hal.211 30 http://id.wikipedia.org/wiki/John_Rawls di akses Medan tanggal 13 Maret 2013. 29
tinggi harus terbuka bagi semuanya. Tegasnya, ketidaksamaan sosial dan ekonomi, dianggap tidak ada kecuali jika ketidaksamaan ini menolong seluruh masyarakat.…" 31 Dari pembagian teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk kaya, bukan hak untuk memiliki kekayaan yang sama. 32 Teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls ini sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan dimana setiap orang dapat melakukan kegiatan ekonomi sepanjang tidak merugikan orang lain. Teori inilah yang akan di gunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Pada prakteknya untuk mewujudkan keadilan dalam perdagangan bebas tersebut menimbulkan semakin terbukanya peluang setiap orang dalam kegiatan perekonomian dan akan menjadi tidak terkendali. Ketidak terkendalian itu dapat dilihat dari terdapatnya praktik praktik curang yang dilakukan oleh para pelaku kegiatan ekonomi, maka disinilah letak peran pemerintah dalam menciptakan iklim perekonomian yang kondusif dimana pemerintah berperan hanya sebagai stabilitator dalam kegiatan perekonomian dari praktik praktik dagang yang curang. Lahirnya WTO menjanjikan harapan akan masa depan perdagangan internasional untuk melakukan kegiatan perdagangan internasional dalam suatu koridor hukum yang mengusung
31
Jhon Rawls dalam Achmad Ali., Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), (Jakarta: Penerbit Kencana, 2009) hal. 281-282 32 Ibid.,hal. 283
prinsip prinsip yang adil dan fair.
33
Adapun prinsip – prinsip hukum dari perdagangan
internasional yang di atur dalam GATT/WTO, untuk mencapai tujuannya, GATT berpedoman pada prinsip prinsip sebagai berikut: a) Prinsip Most Favoured Nation, b) Prinsip National Treatment, c) Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif, dan d) Prinsip Perlindungan Melalui Tariff. 34 Prinsip Most Favoured Nation (MFN Principle) ini termuat dalam pasal 1 GATT. Prinsip ini merupakan prinsip yang paling dasar dalam GATT. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar nondiskriminatif. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya biaya lainnya. Prinsip National Treatment terdapat dalam pasal III GATT. Menurut prinsip ini, produk dari suatu negara yang diimpor kedalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri. Prinsip ini sifatnya berlaku luas. Prinsip ini juga berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan-pungutan lainnya. Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif terdapat dalam pasal IX GATT, terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan pembayaran produk produk impor atau ekspor) pada umumnya dilarang. 33
Christophorus Barutu, Ketentuan Antidumping, Subsidi Dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) Dalam GATT Dan WTO, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2007) hal. 30 34 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Bandung:Badan Penerbit Iblam, 2005) hal.19-29
Prinsip perlindungan melalui tariff, Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestiknya melalui tariff (menaikkan tingkat tariff bea masuk) dan tidak melalui upaya upaya perdagangan lainnya (non tariff commercial measures). Dalam hal ini suatu negara di perkenankan melindungi industri dalam negerinya melalui tariff karena di pandang negaralah sumber kedaulatan dalam negara. Dari itu negara (dalam arti Gouverment = Pemerintah) di anggap mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap life, liberty dan properity dari warganya. 35 Namun demikian prinsip perlindungan tariff ini tetap tunduk pada ketentuan ketentuan GATT. Hal ini di sebabkan karena komitmen suatu negara atas suatu tariff, oleh karena itu negara tersebut tidak dapat semena mena menaikkan tariff yang telah ia sepakati, kecuali diikuti dengan negosiasi mengenai pemberian kompensasi dengan mitra mitra dagangnya. Dalam perkembangannya, praktik praktik dalam perdagangan internasional, dumping itu melanggar prinsip prinsip dalam aturan GATT/ WTO dimana pihak eksportir menjual harga lebih murah ke pasar luar negeri di bandingkan dengan pasar dalam negerinya dan akibat praktek dagang yang tidak adil tersebut dapat memberikan dampak negatif dengan matinya industri dalam negeri pengimpor sehingga mengurangi kesempatan seseorang bersaing dalam kegiatan perekonomian tersebut. Pada perkembangannya, kebijakan Antidumping itu dalam prakteknya sering di gunakan oleh suatu negara sebagai instrument untuk memproteksi industri dalam negerinya terhadap praktek dagang curang yang dilakukan oleh pihak asing yang dapat mematikan industri dalam negerinya. Kebijakan 35
Solly Lubis, Ilmu Negara, (Bandung: Penerbit Alumni,1975) hal.31
Antidumping yang di gunakan sebagai instrument itu di karenakan negara memiliki kekuasaan penuh dalam menegakkan keadilan dan memakmurkan rakyatnya dalam rangka melindungi industri dalam negerinya dari praktek dagang curang tersebut. 2. Kerangka Konsepsi Didalam penulisan tesis ini digunakan beberapa istilah sebagai landasan konsepsional untuk menghindari kesalahfahaman mengenai definisi atau pengertian serta istilah yang di gunakan adalah sebagai berikut: 1. Dumping adalah praktik dagang yang dilakukan pengekspor dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor. 36 2. Tindakan Antidumping adalah tindakan yang diambil pemerintah berupa pengenaan bea masuk Antidumping terhadap barang dumping. 37 3. Tindakan
Pengamanan
Perdagangan,
yang
selanjutnya
disebut
Tindakan
Pengamanan, adalah tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius yang diderita oleh industri dalam
36
Erman Rajagukguk, Butir-Butir Hukum Ekonomi, Cetakan Pertama, (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), hlm. 32 37 PP No. 34 Tahun 2011, Op. cit., Bab 1Pasal 1 (1)
negeri sebagai akibat dari lonjakan jumlah barang impor baik secara absolut maupun relatif terhadap barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing. 38 4. Barang dumping adalah barang yang diimpor dengan tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya di negara pengekspor. 39 5. Harga ekspor adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang yang diekspor ke daerah pabean Indonesia. 40 6. Nilai normal adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi. 41 7. Marjin dumping adalah selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang dumping. 42 8. Barang sejenis adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang impor atau barang yang memiliki karakteristik menyerupai barang yang diimpor. 43 9. Kuota adalah pembatasan jumlah barang oleh pemerintah yang dapat diimpor. 44 10. Kerugian, dalam hal tindakan Antidumping, adalah: 45
38
Ibid., Bab 1Pasal 1 (3) Ibid., Bab 1Pasal 1 (4) 40 Ibid., Bab 1Pasal 1 (5) 41 Ibid., Bab 1Pasal 1 (6) 42 Ibid., Bab 1Pasal 1 (7) 43 Ibid., Bab 1Pasal 1 (10) 44 Ibid., Bab 1Pasal 1 (12) 45 Ibid., Bab 1Pasal 1 (13) 39
a) kerugian material yang telah terjadi terhadap industri dalam negeri; b) ancaman terjadinya kerugian materiel terhadap industri dalam negeri; atau; c) terhalangnya pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri. 11. Kerugian serius adalah kerugian menyeluruh yang signifikan yang diderita oleh industri dalam negeri. 46 12. Ancaman kerugian serius adalah kerugian serius yang jelas akan terjadi dalam waktu dekat pada industri dalam negeri yang penetapannya didasarkan atas fakta-fakta, bukan didasarkan pada tuduhan, dugaan, atau perkiraan. 47 13. Industri dalam negeri, dalam hal tindakan Antidumping atau tindakan imbalan, adalah produsen dalam negri secara keseluruhan dari barang sejenis atau yang secara kumulatif produksinya merupakan proporsi yang besar dari keseluruhan produksi barang sejenis, tidak termasuk: 48 a) Produsen dalam negeri barang sejenis yang terafiliasi dengan eksportir, eksportir produsen, atau importir barang dumping atau barang yang mengandung subsidi; dan b) Importir barang dumping atau barang yang mengandung subsidi.
46
Ibid., Bab 1Pasal 1 (15) Ibid., Bab 1Pasal 1 (16) 48 Ibid., Bab 1Pasal 1 (17) 47
14. Tindakan Sementara adalah tindakan yang diambil untuk mencegah berlanjutnya kerugian dalam masa penyelidikan berupa pengenaan Bea Masuk Antidumping Sementara atau Bea Masuk Imbalan Sementara. 49 15. Bea Masuk adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang yang diimpor. 50 16. Bea masuk Antidumping adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang dumping yang menyebabkan kerugian. 51 17. Bea masuk Antidumping Sementara adalah pungutan negara yang dikenakan pada masa penyelidikan terhadap barang dumping yang menyebabkan kerugian berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 52 18. Barang yang diselidiki, dalam hal Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan, adalah barang impor yang yang menjadi obyek penyelidikan Antidumping atau barang impor yang diduga mengandung subsidi yang dinyatakan dengan uraian dan spesifikasi barang serta nomor pos tarif sesuai buku tariff bea masuk Indonesia. 53 19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. 54
49
Ibid., Bab 1Pasal 1 (19) Ibid., Bab 1Pasal 1 (20) 51 Ibid., Bab 1Pasal 1 (21) 52 Ibid., Bab 1Pasal 1 (22) 53 Ibid., Bab 1Pasal 1 (26) 54 Ibid., Bab 1Pasal 1 (28) 50
20. Komite Antidumping Indonesia, yang selanjutnya disingkat KADI, adalah komite yang
bertugas
untuk
melaksanakan
penyelidikan
dalam
rangka
tindakan
Antidumping dan tindakan imbalan. 55 Sedangkan definisi menurut kebijakan Antidumping di Filipina diantaranya adalah sebagai berikut: a) “Determination of Material Injury or Threat Thereof. - The presence and extent of material injury to the domestic industry, as a result of the dumped imports shall be determined on the basis of positive evidence and shall require an objective examination of,” 56 (definisi kerugian materil atau ancaman kerugian – adanya kerugian materiel yang dialami oleh industri dalam negeri, sebagai akibat dari adanya dumping oleh produk produk import berdasarkan bukti positif dan membutuhkan pengujian secara objektif) [terjemahan bebas oleh penulis] b) “Agricultural Product” refers to a product classified under chapters 1 to 24 of the Tariff and Customs Code of the Philipines, including those under the Specific tariff lines listed in annex A.” 57 (“Produk Pertanian” mengacu pada produk yang telah di klasifikasikan pada chapter 1 sampai chapter 24 undang undang kepabeanan Filipin, termasuk didalamnya pajak untuk produk produk yang telah di spesifikkan pada annex A) [terjemahan bebas oleh penulis] c) "Anti-Dumping Duty" refers to a special duty imposed on the importation of a product into the Philippines at less than its normal value when destined for domestic consumption in the country of export or origin, it being the difference between the export price and the normal value of such product.” 58 (“Tindakan Antidumping” merupakan tindakan yang di ambil oleh pemerintah terhadap produk produk import yang masuk ke Filipina dimana harga dari produk tersebut kurang dari nilai normal dan produk tersebut di konsumsi di negara pengekspor atau negara asal, dimana terdapat perbedaan harga antara harga export dan nilai normal untuk barang barang sejenis.) [terjemahan bebas oleh penulis]
55
Ibid., Bab 1Pasal 1 (29) Republict Act No. 8752 The Anti-Dumping of Act 1999 Part 2 (i) 57 Administrative order No.01 Implementing Rules and Regulations Governing the Imposition of an Anti- Dumping Duty under Republict of Act 8752. Section 2 Part a 58 Ibid., Section 2 (b) 56
d) “Causal Link" refers to a finding that the material injury suffered by the domestic industry is the direct result of the importation of the dumped product 59 (“Hubungan Sebab Akibat” mengacu pada penentuan kerugian material yang dialami oleh industri dalam negeri sebagai akibat dari adanya produk dari barang dumping) [terjemahan bebas oleh penulis] e) “Commision” refers to the Tariff Commission. 60(Commission mengacu pada Tarrif Commision) [terjemahan bebas oleh penulis] f) "Comparable Price" refers to the domestic price of the like product in the country of export or origin at the same level of trade, normally at the exfactory level, and in respect of sales made at the same time as, or as near as possible to, the date of exportation to the Philippines. 61(“Perbandingan Harga” mengacu pada perbandingan harga industri dalam negeri oleh negara pengekspor atau negara asal untuk produk produk sejenis, biasanya pada harga ekspor di negara ketiga, dan pada penjualan pada saat yang bersamaan, atau harga yang di jual di Filipina.) [terjemahan bebas oleh penulis] g) “Country of Export” is the country where the allegedly dumped product was shipped to the Philippines, regardless of the location of the seller. The country of export and the country of origin may be the same, but not in all instances. 62 (“Negara Pengekspor” adalah negara yang diduga melakukan dumping ke Filipina, mengacu pada lokasi penjual, atau negara pengekspor) [terjemahan bebas oleh penulis] h) "Domestic Industry" refers to the domestic producers as a whole of the like product or to those of such producers whose collective output of the product constitutes a major proportion of the total domestic production of that product, except that when producers are related to the importers or foreign exporters or are themselves importers of the allegedly dumped product, the term "domestic industry" may be interpreted as referring to the rest of the producers. Producers shall be deemed to be related to importers or foreign exporters only if: 63 1. one of them directly or indirectly controls the other; or 2.both of them are directly indirectly controlled by a third person; or
59
Ibid., Section 2 (d) Ibid., Section 2 (e) 61 Ibid., Section 2 (f) 62 Ibid., Section 2 (h) 63 Ibid., Section 2 (i) 60
3.together they directly or indirectly control a third person, provided that there are grounds to believe or suspect that the effect of relationship is such as to cause the producers concerned to behave differently from non-related producers. For this purpose, one shall be deemed to control another when the former is legally or operationally in a position to exercise restraint or direction over the latter. If available data does not permit the separate identification of the domestic production of the like product, the domestic production shall refer to the production of the narrowest group or range of products which includes the like product for which the necessary information is available. (Industri Dalam Negeri ialah seluruh produsen dari barang sejenis atau produsen yang memproduksi suatu produk dalam jumlah yang besar dari jumlah total produksi dalam negeri, produsen yang mempunyai hubungan dengan para importir atau eksportir yang berkaitan dengan produk yang di duga dumping, istilah “industri dalam negeri” dapat diinterpretasikan sebagai produsen yang memproduksi suatu barang bukan produsen yang menjadi perantara dalam suatu kegiatan pertukaran barang dan jasa. Produsen yang berhubungan dengan para importir atau eksportir dapat di kategorikan sebagai berikut : 1. salah satu dari mereka telibat secara langsung ataupun tidak langsung mengontrol pihak eksportir atau importir 2. keduanya dari mereka secara langsung ataupun tidak langsung di kontrol oleh pihak ketiga. 3. bersama sama mereka secara langsung dan tidak langsung mengontrol pihak ketiga. Dalam hal ini, salah seorang dari mereka yang berwenang secara hukum Jika data tidak mendukung dalam mengidentifikasi produk sejenis maka produk dalam negeri mengacu pada produk sejenis. dimana membutuhkan informasi yang tersedia) [terjemahan bebas oleh penulis] i) Dumped Import/ Product" refers to any product which is imported into the Philippines at an export price less than its normal value in the ordinary course of trade for the like product destined for consumption in the country of export or origin, and which is causing or is threatening to cause material injury to a domestic industry, or materially retarding the establishment of a domestic
industry producing the like product.” 64 (produk dumping mengacu pada produk yang di import ke Filipina pada harga kurang dari harga normal dalam suatu kegiatan perdagangan untuk barang barang sejenis yang di konsumsi di negara exportir atau negara asal, dan yang menyebabkan industri dalam negeri mengalami kerugian secara materil, atau secara materiel mempengaruhi produksi industri dalam negeri.) [terjemahan bebas oleh penulis] j) Export Price refers to (1) the ex-Factory price at the point of sale for export; or (2) the F.O.B. Price at the point of shipment. In this cases where (1) or (2) cannot be used, then the export price may be constructed based on such reasonable basis as the Secretary or the Commission may determine. 65 (Harga ekspor mengacu pada (1) harga penjualan ex factory di negara pengekspor; atau (2) harga ekspor pada tingkat F.O.B. apabila harga ekspor tidak dapat dihitung berdasarkan (1) dan (2) harga ekspor mungkin di hitung berdasarkan pembentukan harga di negara ketiga berdasarkan alasan yang masuk akal). [terjemahan bebas oleh penulis] k) "Like Product" refers to a product which is identical or alike in all respects to the allegedly dumped product, or in the absence of the former, another product which, although not alike in all respects, has characteristics closely resembling those of the allegedly dumped product. 66 (barang sejenis ialah suatu produk yang identik atau sama secara keseluruhan dengan produk yang di duga dumping, atau suatu produk yang sama dalam bentuk, atau mempunyai karakteristik yang sama dengan produk yang di duga dumping). [terjemahan bebas oleh penulis] l) "Non-Market Economy" refers to the country of export or origin where the government (1) has a monopoly or substantial monopoly of trade of the country and; (2) determines or substantially influences the domestic price of the products in that country. 67 (“Pasar Non-Market” mengacu pada negara pengekspor atau negara asal dimana pemerintah (1) memonopoly atau secara substansial menguasai industri dalam negeri dan; (2) pemerintah suatu negara menguasai dan mempengaruhi harga produk industri dalam negeri) [terjemahan bebas oleh penulis]. m) “Normal Value" refers to a comparable price at the date of sale of the like product in the ordinary course of trade when destined for consumption in the 64
Ibid., Section 2 (j) Ibid., Section 2 (l) 66 Ibid., Section 2 (n) 67 Ibid., Section 2 (r) 65
country of export or origin. 68“ (Nilai Normal mengacu kepada perbandingan harga pada saat penjualan produk dari barang sejenis dalam kegiatan perdagangan yang di konsumsi negara pengekspor atau negara asal) [terjemahan bebas oleh penulis] n) “Price Depression” refers to the extent at which the domestic producer reduces its selling price in order to compete with the allegedly dumped product. 69 (“Penurunan Harga” mengacu pada adanya penurunan harga yang dilakukan produsen dalam negeri dengan mengurangi harga penjualan dalam hal bersaing dengan produk yang di duga dumping.) [terjemahan bebas oleh penulis] o) "Price Supression" refers to the extent by which the allegedly dumped product prevents the domestic producer from increasing its selling price to a level that will allow full recovery of its cost of production. 70 (“Penekanan Harga” mengacu pada adanya kerugian materil yang di derita oleh industri dalam negeri yang mana dalam hal ini produsen terus menurunkan harga jual suatu produk degan harga di bawah biaya produksi). [terjemahan bebas leh penulis] G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian a. Jenis Penelitian Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini ialah penelitian hukum normatif atau yang dikenal dengan doctrinal research. Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum normatif terdiri dari: 71 a. Penelitian terhadap azas-azas hukum, b. Penelitian terhadap sistematika hukum, c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, 68
Ibid., Section 2 (s) Ibid., Section 2 (t) 70 Ibid., Section 2 (u) 71 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, UI-Press, 1984) hal. 51 69
d. Penelitian terhadap sejarah hukum, e. Penelitian perbandingan hukum. Penulisan dalam tesis ini tergolong ke dalam jenis penelitian doctrinal pada poin e. Penelitian tipe ini menurut Zainuddin Ali adalah suatu penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lainnya mengenai hal yang sama. Selain itu, dapat juga dibandingkan putusan pengadilan di beberapa negara mengenai kasus yang sama. Kegunaan pendekatan tersebut, untuk memperoleh persamaan dan perbedaan di antara undang-undang maupun putusan-putusan pengadilan tersebut. Dengan demikian, peneliti akan mengetahui filosofi hukum yang terkandung dalam kebijakan-kebijakan tersebut mengenai kasus yang serupa. 72 Adapun penulisan dalam tesis ini ditujukan untuk menganalisa secara komparatif kebijakan Antidumping di Indonesia dengan di Filipina. Kebijakan Antidumping di Indonesia seperti UU No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization serta peraturan pelaksanaanya, maupun kebijakan Antidumping di Filipina yaitu Republic Act No. 8752 “The Anti-Dumping Act of 1999”, serta fakta-fakta yang relevan dalam perkara in concreto (legal facts) mengenai implementasi kebijakan Antidumping di Indonesia dan di Filipina berfungsi sebagai acuan dalam penelitian komparatif ini.
72
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 2009) hal. 43
b.
Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam penulisan tesis ini adalah deskriptif analitis. Dimana didalam penelitian ini tidak hanya ditujukan untuk mendeskripsikan gejala atau fenomena – fenomena hukum terkait dengan tindakan Antidumping, akan tetapi juga ditujukan untuk menganalisis fenomena fenomena hukum tersebut. 2. Sumber Data Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan yang sudah siap tersaji, langsung dapat digunakan dan berasal dari peneliti-peneliti sebelumnya. Sumber data diperoleh dari: 73 a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat sebagai berikut: 1.
Agreement on Implementation of article VI of GATT 1994 (Antidumping Agreement);
2.
UU No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
3.
UU no. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
4.
UU no 17 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU no. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
5.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 2011 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan
6.
Republic Act No. 8752 “The Antidumping Act of 1999”
73
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) hal. 185
7.
Administrative Order No. 01 Implementing Rules and Regulations Governing the Imposition of an Antidumping duty under Republic Act 8752 The Antidumping Act of 1999
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti buku-buku bacaan atau karya dari kalangan hukum, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, majalah, surat kabar, yang menyangkut kebijakan Antidumping. c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum atau ensiklopedia. 3.
Teknik Pengumpulan Data
Seluruh data yang dikumpulkan didalam penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research) hal ini sesuai dengan yang di kemukakan oleh bungin “Penelitian dapat pula di lakukan di perpustakaan, penelitian yang di lakukan di perpustakaan ini mengambil setting perpustakaan sebagai tempat penelitian dengan objek penelitiannya adalah bahan bahan kepustakaan.” 74 Alat pengumpul data yang digunakan adalah: 1.
Studi dokumen dokumen yang terkait dengan pengaturan Antidumping baik di
Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, melalui penelusuran katalog maupun surfing di internet.
74
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kuantitatif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2005),hal. 46
Wawancara dengan Saudari Duma Situmorang 75 Staff Penyelidikan Antidumping
2.
dan Subsidi KADI pada hari Selasa tanggal 16 April 2013 bertempat di Jalan M. I. Ridwan Rais, No. 5,Jakarta Pusat 10110, Blok 3 (Gedung Komite Antidumping Indonesia) Kementerian Perdagangan Republik Indonesia Lantai 6 pada pukul 10.00 WIB sampai dengan 12.00 WIB (Waktu Indonesia Barat). Metode yang dilakukan dalam wawancara ini adalah dengan cara membuat daftar pertanyaan yang berkaitan dengan penulisan tesis ini dan mendengarkan secara seksama penjelasan serta keterangan yang diberikan oleh pejabat yang ditugaskan pada saat itu . 4.
Analisa Data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif, yaitu mengikhtisarkan hasil pengumpulan data sekunder selengkap mungkin serta memilahmilahkannya ke dalam satuan konsep, kategori, atau tema tertentu sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam penulisan ini. 76 Dimana di dalam hal ini data yang telah di kumpulkan selanjutnya di analisis dengan melakukan penafsiran atau interpretasi pasal pasal yang berkaitan dengan permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini, kemudian data yang di analisis di kemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis sehingga pokok permasalahan yang di bahas dalam penelitian ini dapat dijawab.
75
Pejabat yang ditunjuk oleh Ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang telah bersedia menyediakan waktunya dalam melakukan penelitian di Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. 76 Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke arah penguasaan model aplikasi, (Jakarta, Grafindo Persada, 2003) hal.68-69