BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perdagangan global produk farmasi khususnya vaksin memberikan kontribusi yang besar bagi pertumbuhan jumlah industri farmasi yang bermain di tingkat global. Sebelumnya perdagangan vaksin didominasi oleh pemain yang berasal dari MNC negara maju, namun belakangan muncul pemain-pemain baru yang berasal dari negara berkembang. Meskipun para pemain ini belum memiliki kemampuan yang secara langsung dapat disetarakan dengan pemain dari negara maju, namun mereka telah memiliki segmen pasar tersendiri antara lain dalam perdagangan vaksin imunisasi dasar. Salah satu negara yang termasuk sebagai produsen vaksin yang diperhitungkan di tingkat global adalah Indonesia yang telah menguasai 2/3 pasar vaksin imunisasi dasar. Kendala yang dihadapi Indonesia dalam persaingan dengan MNC antara lain adalah berlakunya peraturan mengenai registrasi produk yang berbeda-beda di tiap negara sehingga time to market vaksin mengalami pengunduran waktu memasuki pasar negara tertentu. Kendala lainnya adalah teknologi yang dimiliki Indonesia dalam produksi vaksin masih terbatas pada vaksin untuk imunisasi dasar. Meski unggul dalam posisi ini, Indonesia perlu mengembangkan teknologi vaksin imunisasi lanjutan agar dapat bersaing dalam perdagangan produk sejenis dengan MNC. Dari segi sumber daya manusia kendala yang dihadapi adalah para periset vaksin di Indonesia masih berorientasi karya tulis ketimbang melakukan penelitian vaksin. 1
Vaksin yang diproduksi oleh Indonesia adalah vaksin untuk imunisasi dasar yang telah mulai ditinggalkan produksinya oleh negara maju. MNC beralih mengembangkan vaksin untuk imunisasi lanjutan yang saat ini menjadi blockbuster product dalam perdagangan global vaksin. Lima peringkat teratas pemain pasar vaksin yang menguasai 80 persen perdagangan vaksin global adalah Merck & Co, Glaxo Smith Kline, Sanofi Pasteur & Sanofi Pasteur MSD, Pfizer dan Novartis. Para pemain dari negara berkembang yang disebut sebagai emerging manufacturers seperti Brazil, Kuba, Mexico, India, Indonesia, China, dan Korea Selatan belum memiliki teknologi yang setara dengan The Big Five dalam pengembangan vaksin lanjutan. Oleh sebab itu, Indonesia menginisiasi pembentukan Developing Countries Vaccine Manufacturers Network (DCVMN) dengan tujuan menjalin kerjasama untuk pengembangan teknologi vaksin. Peran Global Alliance for Vaccine Initiatives (GAVI) sebagai agensi internasional dalam perdagangan vaksin adalah membantu Indonesia dan emerging manufacturers memperluas pasar vaksin dengan membukakan peluang kerjasama melalui organisasi internasional seperti UNICEF. GAVI menyediakan vaksin untuk mendukung program imunisasi yang dilakukan UNICEF di developing country dan least developed country. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki industri vaksin yang telah berusia 124 tahun. Keunggulan industri vaksin Indonesia adalah kepemilikan atas 12 Pre Qualification dari WHO untuk 12 vaksin. PQ-WHO merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh industri vaksin apabila hendak melakukan ekspor. Keunggulan lainnya adalah pengembangan vaksin halal yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pasar negara anggota Organizations of Islamic Cooperation (OIC).
2
Dibutuhkan suatu strategi diplomasi untuk mengatasi kendala terkait teknologi, sumber daya manusia, registrasi dan ekspansi pasar yang dihadapi Indonesia. Kementerian Luar Negeri berupaya menentukan kebijakan diplomasi melalui diplomasi multistakeholder. Tujuannya menjalin kerjasama dengan agensi dan organisasi internasional seperti WHO, UNICEF dan GAVI. Isu global health dijadikan sebagai dasar Kementerian Luar Negeri menggariskan arah perkembangan kerjasama perdagangan, penelitian dan pengembangan vaksin dengan negara OIC sebagai tujuan pasar potensial. Menawarkan semangat kemandirian vaksin bagi anggota OIC agar tidak lagi bergantung sepenuhnya pada vaksin produksi MNC, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Kesehatan berupaya membantu negara-negara OIC agar mampu memproduksi vaksin dengan transfer teknologi dari Indonesia. Penelitian ini akan mencoba mengetengahkan strategi diplomasi pemerintah Indonesia dalam mendukung BUMN yang bergerak dalam produksi vaksin untuk memasuki pasar potensial dalam perdagangan global dengan judul : Strategi Diplomasi Pemerintah Indonesia Dalam Mendukung Industri Farmasi Menguasai Pasar Potensial Vaksin Global.
B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan penjelasan singkat di atas, research question yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana posisi industri vaksin Indonesia dalam perdagangan global? 2. Bagaimana upaya diplomasi pemerintah Indonesia untuk mengatasi kendala yang dihadapi industri farmasi? 3
C. Tinjauan Literatur Di tahun 2007, menteri luar negeri dari tujuh negara yakni Brazil, Perancis, Indonesia, Norwegia, Senegal, Afrika Selatan dan Thailand menyepakati Oslo Ministerial Declaration yang secara langsung menghubungkan isu kesehatan global dengan kebijakan luar negeri. Diplomasi tipe ini kemudian disebut dengan global health diplomacy (Hotez 2014). Kickbush et.al mendefinisikan global health diplomacy sebagai proses yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sipil untuk menempatkan kesehatan dalam negosiasi kebijakan luar negeri dan menciptakan bentuk baru global health governance. Lebih lanjut Kickbush & Lokeny mendefinisikannya sebagai sistem organisasi, komunikasi dan proses negosiasi yang membentuk lingkungan kebijakan global dalam lingkup kesehatan dan hal-hal yang menyangkut kesehatan. Elemen utama global health diplomacy tidak hanya menyangkut pembicaraan antar diplomat yang satu dengan lainnya namun juga melibatkan ahli dalam berbagai bidang dan disiplin yang bekerja sama untuk menyelesaikan isu kesehatan global. Katz et al mengkategorikan beberapa aspek yang membedakan global health diplomacy dengan diplomasi lainnya sebagai berikut : (1) Core diplomacy, merujuk pada “classical Westphalian negotiations” antar negara dalam hubungannya dengan perjanjian bilateral dan multilateral, contoh : WHO Framework Convention on Tobacco Control and International Health Regulations (IHR) 2005; (2) Multistakeholder diplomacy, merupakan diplomasi antar negara atau antara negara dengan agensi internasional seperti WHO, GAVI, United States Agency for International Development (USAID) dan non-governmental organizations (NGOs); (3) Informal diplomacy, yang menyertakan peer-to-peer scientific partnership, dana dari perseorangan seperti Bill & Melinda Gates Foundation, dan bahkan pegawai dari institusi pemerintah seperti USAID ataupun militer AS yang terlibat secara langsung dalam sistem unik global health diplomacy. 4
Kickbusch & Lokeny (2014) juga mencatat bahwa direktur jenderal WHO berkali-kali menyebutkan perihal health diplomacy dalam pidato sesi eksekutif pada bulan Januari 2013. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kaitan antara globalisasi dan penggunaan “soft power”, kebijakan keamanan, perjanjian perdagangan dan kebijakan menyangkut lingkungan dan pembangunan internasional, juga isu kesehatan sebagai bagian dari berbagai organisasi pemerintah dan agensi seperti Group of Eight (G8) dan negara Group of Twenty (G20), Uni Eropa, OIC dan BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa). Faktor lainnya adalah peningkatan peran atase kesehatan dalam delegasi asing dan agensi serta meningkatnya dialog dengan negara lowincome dan middle-income. Setelah peluncuran Decade of Vaccines Collaboration ditahun 2012, diprakarsai oleh 194 negara anggota World Health Assembly, Global Vaccine Action Plan (GVAP) diluncurkan sebagai sebuah kerangka kerja untuk mencegah ribuan kematian ditahun 2020 dengan menyetarakan akses vaksin yang ada untuk seluruh masyarakat dunia. Pertemuan ini juga menghasilkan resolusi untuk akses vaksin sebagai hak mendasar bagi kesehatan manusia. Dimulai tahun 2001 kerangka global health diplomacy digunakan untuk men-generalisasikan konsep vaccine diplomacy and vaccine science diplomacy. Vaccine diplomacy merujuk kepada semua aspek yang berhubungan dengan global health diplomacy yang didasarkan pada penggunaan atau pengiriman vaksin dan berada dalam jangkauan tugas GAVI Alliance sebagai elemen WHO, Gates Foundation dan organisasi internasional penting lainnya. Inti dari vaccine diplomacy adalah potensinya sebagai intervensi humanitarian dan peranannya yang telah terbukti sebagai mediasi perdamaian dan bahkan meredam pertikaian selama kampanye vaksin (WHO 5
2014). Adapun aktor yang berperan dalam vaccine diplomacy adalah WHO, UNICEF atau organisasi non pemerintah lainnya. Vaccine science diplomacy adalah bagian vaccine diplomacy yang berupa elemen hybrid dari global health diplomacy dan science diplomacy. Hotez (2014) menggunakan terminologi “vaccine science diplomacy” untuk pendekatan mengenai joint development vaksin life-saving dan teknologi terkait dengan aktor utama para peneliti. Pada beberapa kepentingan para peneliti ini mungkin saja berasal dari dua bangsa atau lebih yang seringkali tidak memiliki kesepahaman ideologi ataupun berasal dari bangsa yang terlibat langsung dalam aksi pertempuran. Senada dengan ini Katz et.al.menyebutkan global health diplomacy didasari oleh interaksi saintifik secara peer-to-peer. Di bawah kewenangan WHO dan Global Pandemic Influenza Action Plan tahun 2007 enam negara yakni Brazil, India, Indonesia, Mexico, Thailand dan Vietnam menerima grants dari pemerintah Amerika Serikat dan Jepang untuk membangun kapasitas manufaktur dalam negeri vaksin influenza. Bagi Amerika Serikat yang tergolong negara maju, vaccine diplomacy dan vaccine science diplomacy telah cukup menunjukkan banyak peranan dalam mewujudkan kesehatan bagi masyarakat global. Tetapi keduanya belum mampu mencapai strategi yang tepat untuk lebih melebarkan peranannya dalam kebijakan luar negeri (Hotez 2014). Kunjungan Obama ke Kairo tahun 2009 mencoba untuk mempersatukan ilmuwan muslim dan dan memperluas pengaruh AS dalam science diplomacy. Meskipun AS memiliki Science Envoy Program, namun kunjungan ini tidak memberi kesempatan bagi negara berkembang untuk melakukan kerjasama yang bersifat substantif. Kunjungan ini lebih bersifat observasi kepada negara Islam di Timur Tengah dan Asia termasuk Mesir, Indonesia, Iran dan Saudi Arabia yang 6
memiliki kapasitas pembuatan produk vaksin (Hotez 2014). Indonesia turut menjadi bagian dari observasi ini karena sebagai produsen vaksin negara berkembang, Indonesia merupakan pemilik PQ-WHO terbanyak produk vaksin. Pada level ini posisi Indonesia bahkan disetarakan dengan negara maju untuk 12 produk yang telah memiliki PQ-WHO. Di kancah perdagangan vaksin global, Indonesia bersama dengan Cina, India, Jepang dan Vietnam memiliki kapasitas produksi vaksin yang memungkinkan terjadinya kerjasama diantara negara-negara tersebut. Pendapat Hotez (2014) menyebutkan perusahaan vaksin yang tergabung dengan negara utama OIC dan negara-negara Asia berkesempatan melakukan vaccine science diplomacy melalui keunikan keanggotaan DCVMN. GAVI dan WHO dengan mengkoordinasikan aktivitas kerjasama antar anggota.
D. Kerangka Konseptual Perkembangan hubungan ekonomi politik global mensyaratkan negara-negara yang berinteraksi dalam perdagangan global memilih instrumen yang paling sesuai untuk mencapai tujuan pencapaian kepentingan nasionalnya. Guna mengelola hubungan ekonomi politik di tingkat global negara dituntut untuk lebih pro aktif dalam menggariskan kebijakan diplomasi terutama dalam bidang perdagangan. Bisnis yang dijalankan oleh negara Organization for Economic Cooperation & Development (OECD), newly emerging market seperti Eropa Timur dan Cina ataupun newly industrialized economies seperti Asia Tenggara dan Amerika Selatan dan beberapa industri didalamnya berubah menjadi perusahaan transnasional besar. Globalisasi juga
7
merubah kebiasaan bisnis yang berlaku secara internasional. Pemain dominan dalam perdagangan global bukan lagi terbatas pada perusahaan dari negara maju. Negara berkembang pun mulai menunjukkan andil yang besar dalam percaturan bisnis global ditandai
dengan
munculnya
perusahaan-perusahaan
yang
digolongkan
sebagai
perusahaan yang dapat dikatakan terlambat memasuki persaingan global namun kemudian bergerak menjadi pemain yang diperhitungkan. Kemunculan perusahaan-perusahaan serupa yang berasal dari kekuatan ekonomi baru atau emerging market membutuhkan kerangka konseptual baru dalam memahami kemunculan industri negara berkembang yang kemudian bergerak menguasai pasar global. Kemunculan perusahaan yang disebut sebagai Emerging Market Multinational Corporations (EM-MNCs) ini didefinisikan sebagai “international companies that originated from emerging markets and are enganged in outward FDI, where they exercise effective control and undertake value-adding activities in one or more foreign countries” (Luo & Tung, 2007 p.48). Perusahaan multinasional yang berasal dari negara berkembang sering disebut dengan late comer firm oleh karena perusahaan-perusahaan tersebut merupakan pemain yang dikatakan terlambat memasuki persaingan global tetapi memiliki keunggulan dan berjuang untuk berkompetisi dengan pemain lain yang sudah lebih dulu memasuki pasar global. Menurut Mathews (2002), suatu perusahaan dapat dikategorikan sebagai late comer jika memenuhi empat persyaratan berikut ini : 1. Industry entry: late comer firm merupakan perusahaan yang terjun ke dalam industri belakangan, bukan karena pilihan namun karena keharusan sejarah. Perusahaan-perusahaan tersebut muncul dari negara-negara yang juga baru belakangan memasuki periode perkembangan pembangunan ekonomi mereka. 8
2. Resources: late comer firm pada awalnya merupakan perusahaan-perusahaan yang dapat dikategorikan sebagai perusahaan yang miskin akan sumber daya, baik dalam hal teknologi maupun akses pasar. 3. Strategic intent: late comer firm merupakan perusahaan yang bertekad dan memiliki tujuan utama untuk mengejar ketertinggalannya dengan perusahaan yang lebih dulu mapan. 4. Competitive position: late comer firm memiliki keunggulan kompetisi awal termasuk perusahaan yang mampu beroperasi dengan biaya rendah yang dapat memaksimalkan tingkat pengaruhnya pada industri terkait. Menimbang bahwa PMN (perusahaan multi nasional) berasal dari negara sedang berkembang dan awalnya merupakan perusahaan yang miskin akan teknologi dan akses pasar yang minim namun memiliki keunggulan kompetisi, serta memiliki semangat untuk mengejar ketertinggalan, maka PMN memenuhi kesemua persyaratan tersebut. Oleh karenanya PMN memiliki karakteristik sebagai late comer firm (Winanti, 2013). Industri vaksin Indonesia dapat dikatakan termasuk sebagai late comer firm oleh karena indutri vaksin Indonesia memiliki keunggulan dalam produksi vaksin imunisasi dasar ditandai dengan kepemilikan 12 PQ-WHO. Keunggulan lainnya adalah pengembangan vaksin halal yang dilakukan Indonesia menjadi daya tarik tersendiri bagi pasar negara-negara Islam yang tergabung dalam OIC. Ciri lainnya adalah Bio Farma sebagai produsen vaksin tunggal Indonesia belum memiliki teknologi untuk mengembangkan vaksin imunisasi lanjutan misalnya vaksin untuk kanker serviks dikarenakan pengembangan teknologi masih terbatas. Dalam hal akses pasar, Bio Farma masih terbatas pada pasar yang dijalin melalui kerjasama dengan negara OIC dan beberapa negara yang kerjasamanya dijajaki melalui level business to business. Memahami posisi industri farmasi Indonesia dalam perdagangan global dapat ditinjau dari bentuk perusahaan, status kepemilikan, dan tahapan yang telah dilaluinya. Menurut Luo & Tung (2007), berdasarkan kepemilikan dan tingkat diversifikasi 9
internasionalnya termasuk jangkauan geografis pasar internasionalnya melalui aktivitas foreign direct investment, perusahaan multinasional dapat dikategorikan ke dalam 4 kelompok : 1. Niche entrepreneurs : perusahaan-perusahaan ini bukanlah perusahaan milik negara dan cakupan geografisnya lebih terbatas. Berbeda dengan perusahaan milik negara, perusahaan-perusahaan ini biasanya tidak mendapat dukungan dana dari pemerintah atau memiliki pengalaman industrial yang cukup panjang. Fokus dari perusahaan-perusahaan ini adalah beroperasi pada tahapan spesifik dalam proses produksi produk tertentu atau beroperasi pada pasar tertentu untuk meningkatkan kekuatan pengaruhnya; 2. World-stage aspirants: seperti halnya niche-entrepeneurs, perusahaan-perusahaan yang dikategorikan sebagai world-stage aspirants juga bukan merupakan perusahaan milik negara. Namun berbeda dengan kategori niche entrepreneurs, perusahaan-perusahaan ini menawarkan produk yang lebih beragam dan memiliki jangkauan geografis yang lebih luas di pasar internasional. Meskipun mereka belum mencapai skala dan jangkauan internasional seperti halnya perusahaan multinasional yang berasal dari negara-negara industri maju, perusahaanperusahaan ini memiliki kemampuan yang cukup besar dalam menentukan peta kompetisi global. Hal ini terutama karena perusahaan-perusahaan ini memiliki keunggulan dalam hal pembiayaan yang sangat kritikal pada industri manufaktur massal dan industri yang mengandalkan teknologi yang telah maju. 3. Transnational agents: perusahaan-perusahaan ini merupakan perusahaan milik negara yang melakukan investasi asing secara intensif sebagai bagian dari strategi ekspansi bisnis mereka, pada saat mereka masih berada di bawah pengaruh atau kendali negara. Perusahaan-perusahaan ini beroperasi pada sektor-sektor vital yang merupakan sektor penting bagi negara asal mereka. Oleh karena itu, biasanya pemerintah asal negara mereka merupakan pemegang saham terbesar. Perusahaan-perusahaan ini telah mengglobal untuk menangkap peluang atas iklim investasi yang lebih baik dalam mendorong pertumbuhan bisnisnya sambil mendukung pembangunan ekonomi di negara asalnya. 4. Commisioned specialists: perusahaan-perusahaan ini merupakan perusahaan milik negara yang investasi asingnya difokuskan hanya pada beberapa pasar luar negeri dimana mereka memiliki kekuatan kompetitif. Namun pada saat bersamaan, perusahaan-perusahaan ini tetap memenuhi mandat awal yang dibebankan oleh negara. Bisnis mereka difokuskan pada lokasi geografis dan aspek bisnis maupun produk tertentu agar mereka dapat menjalankan peran gandanya, yaitu menghasilkan profit melalui ekspansi internasional sekaligus memenuhi tanggung jawab yang menjadi mandat dari negara asal mereka yang menjadi keahlian mereka.
10
Luo & Tung (2007) secara lebih detil mengidentifikasi empat aspek utama dalam menganalisis PMN yaitu: (1) alasan atau motivasi di balik upaya ekspansi global mereka (2) aktivitas dan strategi apa yang dikembangkan dalam melakukan ekspansi global (3) apa faktor pendorong utama upaya ekspansi global mereka tersebut (4) resiko dan tantangan apa saja yang dihadapi PMN dalam proses ekspansi global tersebut. Menurut argumen Yiu, Lau dan Bruton (2007) motivasi Emerging Market Multinational Corporations (EM-MNCs) dalam melakukan ekspansi yaitu: Perusahaan-perusahaan yang berasal dari negara industri baru atau negara sedang berkembang melakukan ekspansi investasi internasional pertama didorong karena mereka memiliki keunggulan spesifik untuk melakukan eksploitasi aset yang mereka miliki. Disamping itu, keinginan untuk mencari sumber daya lain terutama yang berbasiskan teknologi serta keterampilan yang tidak tersedia di negara asal mereka juga menjadi dorongan tersendiri bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk melakukan ekspansi internasional.
Strategi yang dikembangkan oleh perusahaan dari negara berkembang dalam meluaskan jaringannya menurut Yiu, Lau dan Bruton (2007) menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan
tersebut
mengembangkan
strategi
yang
berbeda
ketika
berekspansi ke negara maju dengan yang diterapkan ketika mereka beroperasi di sesama negara sedang berkembang. Di negara maju, strategi yang dikembangkan oleh PMN pada dasarnya bertujuan untuk mencari aset terutama teknologi dan keterampilan manajerial maupun pasar, sedangan di negara sedang berkembang strategi yang dikembangkan terutama bertujuan untuk mencari sumber daya alam. Pada konteks ini Goldstein (2007, p.69) mengidentifikasi beberapa tahapan strategi yang dilalui oleh suatu perusahaan dalam merespon kompetisi global:
11
1. Turnaround and catch-up. Menyadari bahwa tingkat efisiensi dan kualitas mereka masih jauh di bawah para pesaing mereka di tingkat global, suatu perusahaan biasanya akan merencanakan beberapa aksi untuk mengukur seberapa jauh ketertinggalan dan merancang strategi untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Dalam hal ini beberapa aksi yang dilakukan termasuk melakukan modifikasi signifikan dalam hal struktur, ukuran, jangkauan, maupun kultur organisasi. 2. Expansion. Menyadari bahwa pertumbuhan adalah suatu keharusan bagi mereka untuk bertahan melawan pesaing yang lebih besar, suatu perusahaan akan melakukan ekspansi biasanya dengan bekerjasama dengan perusahaan lain dalam bisnis yang terkait di pasar lokal atau bahkan di negara lain. 3. Acquisition of new capabilities. Sejalan dengan semakin kompleksnya persaingan dengan pesaing asing yang lebih besar, suatu perusahaan mengembangkan kemampuan mereka di area seperti pelayanan konsumen, inovasi teknologi, serta pengelolaan merk dagang. 4. Quest for industry leadership. Setelah melampaui tahapan-tahapan sebelumnya, suatu perusahaan akan mengkonsentrasikan dirinya untuk menjadi pemain yang dominan dalam industri tertentu. Hasilnya, sebagian akan berhasil dalam berkompetisi dengan pesaing global mereka yang terbaik; sebagian lainnya menjadi pemain dominan di tingkat regional.
Menyadari posisi industri vaksin Indonesia yang tergolong sebagai late comer firm, diperlukan strategi diplomasi yang diambil oleh pemerintah untuk mendukung ekspansi pasar. Peran pemerintah dibutuhkan untuk mengatasi kendala yang tidak dapat ditangani sendiri oleh perusahaan pada level global. Misalnya mengenai hubungan perdagangan yang terjalin karena hubungan diplomatik dengan suatu negara, hubungan perdagangan dengan agensi atau organisasi internasional yang dijalin dengan peran kementerian terkait ataupun hubungan kerjasama untuk pengembangan teknologi yang diawali dengan kesepakatan antar menteri-menteri negara bersangkutan. Di level ini peran negara dibutuhkan untuk mendukung industri potensial yang memiliki kemampuan kompetitif menjalin hubungan pada level di atas business to business. Sebagai tambahan bagi negara bangsa saat ini terdapat pula aktor lain seperti aktor sub-nasional, aktor supranasional dan aktor non-negara yang secara keseluruhan turut membentuk hubungan internasional. Berdasarkan perkembangan aktor yang terlibat dalam hubungan 12
internasional dan aktivitas diplomatik. Saner & Yiu (2003) memberikan definisi singkat kebijakan luar negeri kontemporer dan diplomasi sebagai berikut : “(Diplomasi) didefinisikan sebagai mekanisme perwakilan, komunikasi dan negosiasi melalui negara dan aktor internasional lainnya untuk melakukan bisnis.” Hocking (2005) menjelaskan bahwa keberagaman aktor yang terlibat dalam diplomasi
memunculkan
banyak
terminologi
mengenai
diplomasi
termasuk
multistakeholder diplomacy. Aktor, termasuk negara sebagai generator diplomasi tidak akan mungkin mencapai tujuannya apabila terisolasi dari aktor lainnya. Oleh sebab itu diplomasi kemudian menjadi aktivitas yang berkisar pada upaya menjalin network, pendekatan terhadap aktor negara dan non-negara yang difokuskan untuk management issues tertentu dimana tidak ada satu pun pihak yang memonopoli. Multistakeholder diplomacy menurut definisi Hemmati (2000, p.19) adalah upaya untuk menyatukan dan membentuk kesepakatan bersama antar pemangku kepentingan utama yang memungkinkan terjadinya decision-making dalam isu tertentu. Lebih lanjut dalam multistakeholder process, influence dan the right to be heard harus didasarkan pada perspektif kemampuan unik dan keahlian pemangku kepentingan. Bersamaan dengan proses tersebut terjadi perubahan paradigma diplomatik yang dominan dalam halhal yang signifikan. Terjadi perubahan karakteristik diplomasi tradisional yang berlaku secara umum dimana multistakeholder diplomacy menawarkan gambaran yang berbeda mengenai aktor yang terlibat dalam diplomasi. Aktor seperti perusahaan dan NGO dapat menjalankan dan harus menjalani peran yang signifikan dalam proses diplomasi.
13
Perbedaan antara peran negara dengan peran aktor non negara dalam multistakeholder diplomacy diilustrasikan oleh Hocking (2005) sebagai berikut: Tabel I Diplomasi State-centred dan Multistakeholder
Konteks Bentuk
Pihak yang terlibat
Model State-centred Negara sebagai pusat otoritas yang tidak tergantikan. Dipimpin oleh pemerintah melalui channel bilateral dan multilateral.
Model Multistakeholder Otoritas ada pada berbagai lapisan Terdifusi : dipimpin oleh pemerintah atau pemangku kepentingan lain.
Kelompok diplomat.
Bentuknya berkembang dan menyesuaikan kebutuhan. Berbagai jenis partisipasi berdasarkan model yang digunakan.
Diplomat yang bertindak berdasarkan credential dan prinsip kedaulatan. Aktor non-negara sebagai consumer diplomasi.
Seringkali berdasarkan model trisectoral yang menggabungkan pemerintah, NGO dan bisnis. Pemangku kepentingan credential-nya berdasarkan kepentingan dan keahlian. Aktor non-negara sebagai producers diplomasi.
Peran
Pola Komunikasi
Diplomat bertindak sebagai gatekeeper.
Terfokus pada pemerintah. Hubungan dengan pemangku 14
Diplomat sebagai boundaryspanner: fasilitator dan entrepreneur. Pemangku kepentingan menjalankan berbagai peran: stakegivers (pemberi kepentingan) versus staketakers (penerima kepentingan). Network. Terbuka dan inklusif. Mengalir dan tidak stabil.
kepentingan digambarkan bersifat “outreach”.
Fungsi
Alur hierarki informasi terfokus pada pemerintah. Eksklusif namun terlihat bersifat “outreach” Mengatur hubungan antar entitas yang berdaulat. Mendefinisikan dan mempromosikan kepentingan nasional.
Lokasi
Pola Representasi
Aturan yang Berlaku
Diluar arena domestik. Diplomatic sites: intergovernmental. Terfokus pada negara. Percampuran bilateral dan multilateral dengan menekankan penambahan jumlah misi diplomasi. Ekspektasi perilaku normatif yang jelas. Berasal dari aturan terkait kedaulatan. Protokoler sentris.
Alur informasi multidirectional.
Sebagai kompensasi atas defisiensi dalam proses diplomatik dengan pertukaran sumber daya melalui network policies. Pertukaran informasi. Proses monitoring. Mendefinisikan dan mempromosikan kepentingan global. Melintasi arena domestikinternasional. Multiple diplomatic sites. Berorientasi multilateral dan misi. Representasi permanen bervariasi. Aturan tidak tertulis. Aturan didasarkan pada perdebatan antara kedaulatan dan non-kedaulatan. Keterbukaan, akuntabilitas dan transparansi.
Imunitas agen diplomatik. Rahasia.
Ketegangan institusional. Pertentangan ekspekstasi antar pemangku kepentingan.
(Hocking, 2005)
Strategi diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi kendala yang dihadapi industri farmasi dilakukan dengan pola multistakeholder diplomacy 15
dimana peran sebagai diplomat negara berhubungan tidak hanya dengan negara OIC tetapi juga aktor dan agensi internasional seperti WHO dan GAVI. Dengan tujuan ekpansi untuk menemukan pasar bagi 60 persen vaksin yang ditujukan untuk ekspor, pemerintah bersama dengan perwakilan Bio Farma bernegosiasi dengan pihak-pihak tersebut sehingga perluasan ekspor mengalami peningkatan jumlah yang signifikan sejak memulai ekspor tahun 1997. Diungkapkan oleh pihak Bio Farma peran Kementerian Luar Negeri melalui Perwakilan Tetap di negara sahabat sangat besar pengaruhnya dalam upaya ekspansi pasar vaksin dengan mempromosikan vaksin melalui peran trade promotion. Diplomasi terkait industri vaksin juga secara aktif dilakukan oleh Bio Farma. Sebagai late comer firm, Bio Farma menginisiasi kerjasama dengan DCVMN untuk pengembangan teknologi antar produsen vaksin negara berkembang. Peran para expertise Bio Farma yang termasuk sebagai aktor dalam diplomasi multistakeholder juga nampak dalam forum internasional bidang kesehatan seperti misalnya keikutsertaan perwakilan Bio Farma pada forum World Health Assembly atau sebagai anggota Steering Committee on Health OIC. Placement para expertise yang berasal dari Bio Farma ini ditujukan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh aktor yang bertindak pada level forum dimana negara tidak terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan.
E. Argumen Utama Berdasarkan penjelasan singkat di atas maka argumen utama yang dikemukakan adalah sebagai berikut:
16
Posisi industri vaksin Indonesia dalam perdagangan global adalah sebagai late comer firm ditandai dengan keunggulan teknologi dalam industri vaksin imunisasi dasar dengan 12 produk yang telah memperoleh Pre Qualification dari WHO dan telah menguasai 2/3 pasar vaksin global atau setara dengan 127 negara.
Upaya diplomasi pemerintah Indonesia untuk mengatasi kendala yang dihadapi industri farmasi adalah melalui multistakeholder diplomacy dengan keterlibatan diplomat dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kesehatan dan expertise dari Bio Farma.
F. Jangkauan Penelitian Pada penelitian ini jangkauan penelitian dibatasi seputar kerjasama Indonesia dengan Organizations of the Islamic Conference (OIC), Developing Countries Vaccine Manufacturers Network (DCVMN) dan GAVI pada tahun 2009 hingga 2013. Pembatasan jangkauan penelitian ini bertujuan untuk memfokuskan diplomasi yang terjalin antara Pemerintah Indonesia dengan OIC sebagai negara tujuan pasar potensial, DCVMN dalam rangka penelitian dan pengembangan vaksin, dan GAVI sebagai agensi internasional yang berperan dalam melindungi produsen vaksin negara berkembang.
G. Metode Pengumpulan Data 1. Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif yaitu metode yang menggunakan penjelasan yang bersifat deskriptif seperti bertujuan menggambarkan 17
secara tepat sifat-sifat, baik itu individu, gejala atau penyebaran suatu gejala maupun adanya frekuensi hubungan tertentu antara satu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat. Dalam hal ini, adanya kemungkinan telah terbentuknya hipotesa-hipotesa maupun belum terbentuk akan bergantung dari banyak atau sedikitnya pengetahuan serta data dari permasalahan yang akan diteliti. Penelitian deskriptif memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu komunitas baik hanya bersifat individual maupun fenomena permasalahan tertentu dimana tujuan dari penelitian ini adalah memperkuat teori yang telah ada dengan penegasan konsep-konsep yang relevan. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Studi Independen Yakni teknik pengumpulan data dengan melakukan studi langsung ke perusahaan yang dituju dengan tujuan memperoleh data terkait regulasi dan kebijakan perusahaan. b. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan berupa pencarian atas fakta-fakta maupun informasi baru melalui data sekunder yang dapat memberi gambaran umum atau menjawab pertanyaan penelitian melalui sumber-sumber relevan sepeti pada literatur yang bersifat teknis ataupun analisa. Sebagai pendukung kajian literatur penelitian ini juga menyertakan sumber data pendukung lain seperti media massa, jurnal, dokumentasi, laporan tahunan, maupun dari situs internet.
18
c. Teknik Wawancara Teknik ini dilaksanakan dengan cara melakukan pengamatan langsung ke perusahaan yang menjadi obyek penelitian dengan mengadakan wawancara dengan pihak-pihak yang berkompeten atas bidang yang akan dikaji. Teknik ini termasuk dalam rangkaian studi independen penulis ke PT. Bio Farma (Persero).
H. Sistematika Penulisan Pada bab pertama akan mengetengahkan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah sebagai inti penelitian ini, perumusan masalah yang menjadi pertanyaan utama penelitian, kerangka konseptual, argumen sementara penulis atas pertanyaan penelitian yang telah diajukan, serta metodologi apa yang digunakan dalam penelitian. Bab kedua akan membahas situasi perdagangan global dalam industri farmasi, mapping posisi industri vaksin negara berkembang dengan MNCs negara maju dan dinamika persaingan antara pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan vaksin menuju negara tujuan pasar potensial. Bab ketiga akan membahas strategi diplomasi yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia dalam mendukung industri farmasi khususnya industri vaksin. Bab ini akan menjelaskan bagaimana proses diplomasi pemerintah Indonesia hingga kerjasama dengan berbagai negara dan berbagai pihak dapat terjalin, faktor-faktor yang mendukung terjalinnya kerjasama, dan keunggulan yang menjadi key ingredients perusahaan vaksin
19
tunggal Indonesia dalam menjalin kerjasama dengan negara lain dan organisasi internasional. Bab empat akan menguraikan upaya Bio Farma sebagai sebagai perusahaan vaksin tunggal yang dimiliki Indonesia dalam berdiplomasi untuk menguasai pasar potensial vaksin global dengan menjalin kerjasama dengan OIC, DCVMN dan GAVI. Bab lima berisi kesimpulan dari bab-bab sebelumnya.
20