BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Krisis perekonomian Indonesia yang dipengaruhi oleh gejolak moneter telah membawa bangsa Indonesia ke dalam keterpurukan. Karena sebagian besar dana perbankan yang berjumlah triliunan rupiah tidak dapat dikembalikan oleh para debitur yang merupakan kelompok konglomerat yang telah menikmati fasilitas finansial tanpa bertanggung jawab pada rezim Orde Baru puluhan tahun lamanya. 1 Pada pertengahan tahun 1997 di Asia pada umumnya dilanda gejolak moneter yang berdampak buruk terhadap tatanan serta pilar ekonomi Indonesia. Hal ini ditandai dengan turunnya kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat pada bulan Agustus 1997, dan mengakibatkan perubahan pada sistem pertukaran menjadi freefoating system. Akibatnya, nilai rupiah menjadi turun dan terjadi inflasi yang tinggi. Krisis ekonomi bukan hanya terjadi pada era 1997/1998, tetapi era 2008 sampai 2009 dunia juga mengalami krisis ekonomi yang hebat. Media massa internasional dan nasional dengan gencar memberitakan kondisi perekonomian dunia dan nasional yang buruk. Secara khusus di Indonesia, nilai kurs rupiah terhadap dollar Amerika kembali terkoreksi atau mengalamai tekanan hingga mencapai Rp. 12.600,- per Dollar
1
Yudha Pandu (ed), Undang-undang RI No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2007), hal. v
Universitas Sumatera Utara
Amerika. Turunnya nilai tukar rupiah, menurut Gunadi setidaknya telah memunculkan 3 (tiga) dampak negatif terhadap perekonomian nasional, yakni: 1. Neraca Pembayaran Negatif (Negative Balance of Payments) Neraca ini terjadi terutama karena fluktuasi nilai tukar utang dalam valuta asing jika dirupiahkan. Utang perusahaan swasta maupun milik pemerintah yang demikian besar telah memberatkan beban neraca pembayaran, kontras dengan kenaikan nilai ekspor sebagai konsekuensi dari ter-depresinya nilai rupiah yang tidak dapat segera dinikmati. 2. Selisih Bunga Negatif di Bidang Keuangan (Negative Spread) Dampak ini terutama terjadi pada industri keuangan. Kebijakan pemerintah untuk menaikkan suku bunga dalam rangka menekan laju inflasi (permintaan terhadap valas) telah mengakibatkan naiknya suku bunga bank. Sedangkan dana yang terkumpul dari masyarakat mengalami kesulitan penyalurannya disebabkan kelangkaan perusahaan yang mampu memperoleh margin di atas suku bunga. 2 3. Defisit Modal (Negative Equity) Perusahaan yang terlanjur memperoleh kredit bank mengalami apa yang disebut negative eguity sebab nilai kekayaannya dalam rupiah tidak cukup 2
Gunadi, Restrukturisasi Perusahaan Dalam Berbagai Bentuk Pemajakannya, (Jakarta: Salemba Empat, 2001), hal. 3
Universitas Sumatera Utara
lagi, bahkan berbeda jauh jika dibandingkan dengan nilai rupiah dari utang valuta asing. 3 Lebih jauh lagi, gejolak tersebut juga telah memberi pengaruh yang ternyata berpengaruh besar terhadap kemampuan dunia usaha untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka kepada para kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang berantai, dan jika tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas lagi. 4 Perusahaan yang kesulitan untuk membayar kewajiban utangnya tehadap para kreditur akhirnya memilih langkah paling “pahit” yakni pailit. Situasi dunia usaha menjadi tidak kondusif dalam kerangka kewajiban pelunasan utang, sebab kewajiban dalam waktu singkat telah berkembang menjadi berlipat ganda sebagai dampak melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing lainnya. Apalagi sebagian besar pinjaman adalah dalam bentuk mata uang asing, sedangkan pendapatan usaha diperoleh dalam bentuk rupiah. Ditambah lagi berbagai kegiatan usaha telah mengalami kelumpuhan sebagai akibat
3
Gunadi, Ibid, hal. 4 Dari sisi ekonomi, patut disimak data yang diungkapkan oleh Lembaga Konsultan (Think-Thank) Econit Advisory Group, bahwa pada tahun 1997 merupakan tahun “ketidakpastian” (a year of uncertainty). Sedangkan tahun 1998 merupakan tahun “koreksi” (a year of correction). Pada pertengahan tahun 1997 terjadi depresi secara drastis nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dari Dollar Amerika Serikat sekitar Rp. 2.300,- pada sekitar bulan Maret menjadi sekitar Rp. 5.000,- per Dollar Amerika pada tahun 1997. Lebih drastis lagi yakni pada pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah sampai menyentuh angka Rp. 16.000,- per Dollar Amerika. Kondisi ini mengakibatkan terpuruknya pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya positif sekitar 6-7 % telah terkoreksi menjadi minus 13-14 %. Tingkat inflasi meningkat dari di bawah 10 % melonjak menjadi sekitar 70 %. Banyak perusahaan yang kolaps karena kesulitan membayar kewajiban utangnya terhadap para kreditur dalam “Prediksi Tahunan, Econit’s Economic Outlook Tahun 2000: Tahun Kelahiran Kembali Indonesia pada Harian Kompas edisi Kamis, 16 Desember 1999, hal. 5, kol. 1, sebagaimana dilansir Lembaga Konsultan Econit Advisory Group, Jakarta tahun 2000. 4 Peraturan kepailitan: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1998), hal. 4
Universitas Sumatera Utara
dari krisis keuangan yang melanda Indonesia saat itu telah berubah menjadi krisis multidimensi. Krisis tersebut telah menyebabkan kinerja perekonomian Indonesia menurun tajam dan kemudian berubah menjadi krisis yang berkepanjangan di berbagai bidang. Proses penyebaran krisis berkembang cepat mengingat tingginya tingkat keterbukaan perekonomian Indonesia dan ketergantungan pada sektor luar negeri yang sangat besar. Krisis tersebut kemudian berkembang semakin parah karena terdapatnya berbagai kelemahan mendasar pada perekonomian terutama di tingkat mikro. 5 Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso menyatakan bahwa pada era globalisasi sebagaimana saat sekarang ini, berbagai kegiatan usaha tidak mungkin terlepas dari berbagai persoalan. Suatu perusahaan (korporasi) tidak selalu dapat berjalan dengan baik. Ada saat-saat tertentu perusahaan itu mengalami masa-masa sulit, sehingga seringkali kondisi keuangannya sudah sedemikian rupa, hal ini mengakibatkan perusahaan tersebut tidak sanggup lagi untuk membayar atau melunasi utang-utangnya. Dengan kondisi demikian, dapat disimpulkan apakah kehidupan perusahaan itu dapat dikategorikan dalam kondisi untung atau sebaliknya merugi. Jika dalam keadaan beruntung, perusahaan berkembang dan terus melaju hingga menjadi perusahaan yang besar bahkan “meraksasa.” Sebaliknya, jika perusahaan mengalami kerugian, maka garis hidup (grafik) nya menurun, dan bahkan
5
Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum UI, 2002), hal. 3
Universitas Sumatera Utara
ambruk pada titik nadir. Dengan demikian, garis hidup (grafik) suatu perusahaan pada suatu saat naik, dan pada saat yang lain menurun. Begitu seterusnya garis hidup (grafik) perusahaan itu merupakan garis yang naik dan garis yang turun. 6 Krisis moneter yang melanda Indonesia telah memakan biaya fiskal yang amat besar dan mahal yakni mencapai angka 51 % dari Produk Nasional Bruto (PDB adalah singkatan dari Product Domestic Bruto). Krisis tersebut telah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya stabilitas pasar keuangan serta kesehatan lembagalembaga keuangan yang membentuk sistem keuangan. Stabilnya pasar keuangan dan sehatnya lembaga-lembaga keuangan yang selanjutnya akan mampu meredam krisis, sehingga merupakan interaksi dari beberapa resiko yang harus selalu dikelola dengan baik. Salah satu resiko tersebut yang harus dikelola dengan baik dan jika diabaikan maka dapat mengganggu stabilitas pasar keuangan dan kesehatan lembaga keuangan dan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya krisis adalah gagalnya perusahaan di sektor riil dalam mengembalikan pinjaman. Kegagalan ini, dapat dikategorikan bahwa perusahaan mengalami pailit (corporate failure). 7 Dalam kondisi yang demikian tidak menguntungkan serta serba tak menentu, persoalan yang krusial adalah bagaimana menyelesaikan utang-piutang di kalangan dunia usaha. Para kreditor, baik asing maupun domestik dengan segenap daya
6
Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1994), hal. 1 7 Muliaman D. Hadad, Wimboh Santoso dan Ita Rulina, Indikator Kepailitan di Indonesia: An Additional Early Warning Tools Pada Stabilitas Sistem Keuangan, (Jakarta: Bank Indonesia, Des. 2003), hal. 2
Universitas Sumatera Utara
upayanya mendesak agar kreditor yang mayoritas adalah pengusaha swasta nasional segera melunasi kewajibannya. Zainal Asikin menjabarkan bahwa sebagai bagian dari upaya pihak pemerintah untuk menyelesaikan persoalan sebagai dampak krisis ekonomi, seperti untuk memberikan kesempatan kepada pihak kreditur dan perusahaan debitur dalam menyelesaikan utang-piutangnya secara adil, meningkatkan kembali kepercayaan investor asing terhadap jaminan penanaman modalnya di Indonesia dan juga peranan dari pihak IMF (International Monetary Fund) yang mendesak agar Indonesia segera menyempurnakan sarana hukum yang mengatur persoalan pemenuhan kewajiban oleh debitur kepada kreditur. 8 Pemerintah Indonesia segera melakukan pembenahan melalui perubahanperubahan yang signifikan dalam peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah dengan merevisi Undang-undang Kepailitan yang lama. Dengan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) No. 1 Tahun 1998 tanggal 22 April 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan sebagai penyempurna dari ketentuan perihal kepailitan yang telah diatur dalam Failissement Verordening Staatblad No. 217 Tahun 1905 jo Staatblad No. 385 Tahun 1906. Kemudian Perpu
8
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 20
Universitas Sumatera Utara
tersebut disahkan sebagai Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tanggal 24 Juli 1998 tentang kepailitan. 9 Sejalan dengan kebutuhan serta tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat, ketentuan yang telah ada pada prakteknya belum mampu memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan persoalan kepailitan. Dengan demikian, dilakukan kembali perubahan terhadap UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998 menjadi UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004 tanggal 18 Nopember 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagai upaya hukum untuk dapat menjawab berbagai persoalan yang berhubungan dengan masalah-masalah krisis ekonomi, keuangan, terutama dalam penyelesaian utang-piutang di era globalisasi saat ini. 10 Kepailitan didefinisikan melalui beberapa pendekatan sebagaimana sudut pandang serta kepentingan pemikiran dan persoalan yang ada di dalamnya. Dari pendekatan “proses dan konsekuensi” kepailitan merupakan proses dimana: 1. Seorang debitur yang mempunyai kesulitaan finansial untuk membayar utangnya, dinyatakan pailit oleh pengadilan (dalam hal ini Pengadilan Niaga), disebabkan debitur tersebut tidak dapat menjalankan kewajiban pembayaran utangnya.
9
Ibid, hal. 21 Ibid, hal. 21
10
Universitas Sumatera Utara
2. Harta debitur dapat dibagikan kepada kreditur dengan peraturan kepailitan. 11 Dari pendekatan menurut hukum (UU), dapat disebutkan misalnya, kepailitan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 1998 pasal 1 ayat (1) dan (2) tentang perubahan atas Undang-undang Kepailitan menyebutkan: (1) Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang atau telah jatuh waktu dan tidak dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh
kejaksaan untuk kepentingan umum. 12 Undang-undang
Kepailitan
pada
dasarnya
menyatakan
bagaimana
menyelesaikan sengketa yang muncul sebagai konsekuensi pada saat mana perusahaan tidak dapat lagi memenuhi kewajiban utangnya, juga bagaimana menangani pertikaian antar individu yang berkaitan dengan bisnis yang dijalankan. 13 Terjadinya kepailitan pada suatu badan usaha (perusahaan), ada syarat-syarat yang diatur untuk mengajukan pailit terhadapnya berdasarkan Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran
11
Rudi A. Lontoh dkk, Hukum Kepailitan-Penyelesaian Utang-Piutang-Melalui Palit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 23 12 Peraturan Kepailitan: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1998), hal. 8 13 Muliaman D. Hadad, Wimboh Santoso dan Ita Rulina, Op-Cit, hal. 10
Universitas Sumatera Utara
Utang). Sunarmi menyebutkan bahwa dari syarat pailit yang diatur dalam pasal ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat yuridis agar dapat dinyatakan pailit adalah: 1. Adanya utang 2. Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo 3. Minimal satu dari utang dapat ditagih 4. Adanya debitur 5. Adanya kreditur (Kreditur lebih dari satu) 6. Pernyataan pailit yang dilakukan oleh pengadilan khusus yakni Pengadilan Niaga 7. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang, yaitu: a. Pihak debitur b. Satu atau lebih kreditur c. Jaksa untuk kepentingan umum d. Bank Indonesia, jika debiturnya bank e. Bapepam, jika debiturnya perusahaan efek, bursa, lembaga kliring dan penjaminan serta lembaga penyimpanan dan penyelesaian
Universitas Sumatera Utara
f. Menteri Keuangan, jika debiturnya perusahaan asuransi, re-asuransi, dana pensiun dan BUMN yang bergerak di bidang publik. 14 Dinyatakannya pailit maka seorang debitur pailit tidak memiliki kewenangan apapun lagi atas seluruh harta kekayaannya, baik yang sudah ada maupun yang akan diterimanya selama kepailitan itu berlangsung. Sunarmi juga dalam tulisannya menyatakan bahwa kepailitan itu sendiri mencakup: 1. Seluruh kekayaan si pailit pada saat dia dinyatakan pailit (dengan beberapa pengecualian untuk si pailit perorangan) serta asset-asset yang diperoleh selama kepailitannya. 2. Hilangnya wewenang si pailit untuk mengurus dan mengalihkan hak atas kekayaan yang termasuk harta kekayaan. 15 Guna penyelesaian masalah-nasalah yang berkaitan dengan kepailitan, dalam Pasal 281 ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 1998, telah dibentuk Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pengadilan khusus dalam lingkup peradilan umum sesuai dengan dengan Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diperbaharui dan tertuang dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan salah satu 14
Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika Serikat (Common System), (Medan: e-USU Repository, 2004), hal. 23 15 Ibid, hal. 23
Universitas Sumatera Utara
kewenangannya
untuk
menangani
persoalan
kepailitan.
Selanjutnya,
untuk
memperluas wilayah cakupan kerja Pengadilan Niaga, didirikan juga Pengadilan Niaga di berbagai daerah di Indonesia. 16 Pengadilan Niaga dibentuk dengan tujuan untuk penyelesaian sengketa niaga, khususnya untuk menyelesaikan permohonan kepailitan seperti pembuktian dan verifikasi utang, actio pauliana, hingga pemberesan harta pailit menjadi kewenangan absolut Pengadilan Niaga. Sebagai catatan, selain itu, Pengadilan Niaga memiliki kewenangan absolut terhadap setiap perkara kepailitan dalam kerangka pelaksana Perpu No. 1 Tahun 1998. 17 Sebagaimana yang telah dipaparkan dari awal bahwa persoalan kepailitan berkaitan dengan badan usaha (korporasi) atau Perseroan Terbatas (PT). Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Perseroan Terbatas adalah badan hukum. 18 Dalam konteks Perseroan Terbatas sebagai badan hukum, kreditur pemegang saham perseroan tidak berhak untuk menuntut pemenuhan haknya dari setiap bagian atau seluruh harta kekayaan yang telah dipisahkan tersebut, yang telah menjadi milik 16
Ibid, hal. 23-24 Misalnya Pengadilan Niaga di Makasar, Surabaya, Medan dan Semarang, dengan Keppres No. 97 Tahun 1999. 17 Muliaman D. Hadad, Wimboh Santoso dan Ita Rulina, Op-Cit, hal. 3 18 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, (Jakarta: Forum Sahabat, 2008), hal. 1 Berlakunya UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) terhitung sejak 16 Agustus 2007 sesungguhnya tidak terlalu banyak perubahan terhadap makna dan pengaturan tentang tanggung jawab terbatas Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris. Hanya saja dalam UU yang baru ini keberadaan Direksi dan Dewan Komisaris sebagai satu kesatuan tanggung jawab dipertegas, dengan Direksi sebagai pengurus dan Dewan Komisaris sebagai pengawas dan pemberi nasihat.
Universitas Sumatera Utara
Perseroan Terbatas. Hanya kreditur perseroan terbatas itu sajalah yang berhak untuk menuntut pemenuhan haknya dari harta kekayaan Perseroan Terbatas tersebut. Saham-saham dalam perseroan terbatas sudah menjadi dan merupakan benda tersendiri yang diakui dalam hukum, dan karena itulah maka saham-saham dalam Perseroan Terbatas dapat dijadikan sebagai jaminan pemenuhan kewajiban dari perorangan pemilik saham tersebut bagi para krediturnya, dan bukan harta kekayaan yang telah dipisahkan ke dalam Perseroan Terbatas. 19 Perseroan Terbatas pada dasarnya memiliki organ atau alat kelengkapan. Dalam Pasal 1 angka (2) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa yang dinyatakan sebagai organ (alat kelengkapan) Perseroan Terbatas adalah: 1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) 2. Direksi 3. Komisaris (Dewan Komisaris) Masing-masing organ Perseroan Terbatas ini memiliki fungsi, tugas dan tanggung jawab terbatas dalam Perseroan Terbatas. Dalam Bab I Ketentuan Umum UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan antara lain dalam Pasal 1 angka (2) Organ Perseroan Terbatas adalah Rapat Umum Pemegang Saham,
19
Ibid, hal. 3 (Lihat pasal 511 ayat (4) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Bandingkan juga dengan ketentuan dalam Undang-undang Perseroan Terbatas)
Universitas Sumatera Utara
Direksi dan Dewan Komisaris. Pasal 1 angka (4) Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ Perseroan Terbatas yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan/atau Anggaran Dasar. Pasal 1 angka (5) Direksi adalah organ Perseroan Terbatas yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar. Pasal 1 angka (6) Dewan Komisaris adalah organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. 20 Ketika Perseroan Terbatas terimbas dan mengalami masalah yang dapat menyebabkan terjadinya pailit, maka sebagai organ Perseroan harus ikut bertanggung jawab kepada kreditur dengan melalui jalur hukum. Sebagai Dewan Komisaris yang berfungsi melakukan pengawasan atas kebijaksanaan pengurus serta memberi advis (nasihat) kepada Direksi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan Perseroan, tentunya harus benar-benar ikut terlibat dan dengan seksama memperhatikan langkahlangkah kebijakan yang dilakukan Direksi. Perihal kebijakan yang dimaksud adalah “kebijakan yang dipandang tepat” sebagaimana yang dimaksud dalam Bab VII Pasal 92 ayat (2) tentang Direksi dan Dewan Komisaris. Penjelasannya memuat: Yang 20
Ibid, hal. 111-112
Universitas Sumatera Utara
dimaksud dengan “kebijakan yang dipandang tepat” adalah kebijakan yang antara lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia dan kelaziman dalam dunia usaha yang sejenis. 21 Direksi juga bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan sebagaimana yang dimaksud Pasal 92 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 97 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ditegaskan bahwa pengurusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. 22 Sebagai pengawas dan pemberi nasihat, Dewan Komisaris berperan penting untuk tetap memberikan nasihat yang akan membantu kinerja Direksi dalam melakukan kebijakan-kebijakan untuk menjalankan aktivitas Perseroan yang dipimpinnya. Demikian pula hal-ihwal pengawasan, tetaplah dilakukan oleh Dewan Komisaris agar kebijakan yang telah dilakukan oleh Direksi tetap dalam kerangka menjalankan dan memajukan Perseroan yang dipimpinnya. Salah satu penyebab kepailitan dalam Perseroan selain konsekuensi terjadinya krisis moneter dan gonjang-ganjingnya perekonomian nasional atau internasional adalah tindakan berupa kesalahan atau kelalaian yang dilakukan Direksi, sehingga mengakibatkan Perseroan tidak dapat menjalankan aktivitasnya. Memang Direksi 21
Ibid, hal. 163-164 Ibid, hal. 167 Penjelasan: Yang dimaksud dengan kata “penuh tanggung jawab” adalah memperhatikan Perseroan dengan seksama dan tekun. 22
Universitas Sumatera Utara
tidak berwenang mengajukan pailit atas Perseroan sendiri kepada Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), tetapi tindakan-tindakan Direksi berupa kesalahan atau kelalaian sudah cukup sebagai alasan untuk memicu terjadinya pailit pada Perseroan. 23 Selain itu, kepailitan dalam Perseroan dapat juga terjadi karena kesalahan dan kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi. Pasal 115 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa Kepailitan dalam Perseroan dapat terjadi karena kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh Dewan Komisaris dalam pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi. 24 Sekali lagi, peranan Dewan Komisaris dituntut maksimal dalam melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada Direksi agar terhindar dari perbuatanperbuatan yang melanggar hukum ketika menjalankan Perseroan, sehingga dapat dihindari kemungkinan tindakan sebagai salah satu penyebab terjadinya kepailitan. Berdasarkan hal-hal di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang Tanggung Jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas Dalam Hal Terjadinya kepailitan berdasarakan Undang-undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, sejauhmana tanggung jawab itu dapat diperhadapkan kepadanya.
23
Ketentuan Pasal 104 ayat (1) dan (2) tentang Direksi dan Dewan Komisaris dalam Gunawan Widjaja, Ibid, hal. 172 24 Gunawan Widjaja, Ibid, hal. 178
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kedudukan dan wewenang Dewan Komisaris Perseroan Terbatas berdasarkan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas? 2. Bagaimanakah akibat hukum kepailitan Perseroan Terbatas terhadap organ Perseroan Terbatas? 3. Bagaimanakah tanggung jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam hal terjadinya kepailitan berdasarkan Undang-undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan?
C. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah: 1. Untuk mengetahui kedudukan dan wewenang Dewan Komisari Perseroan Terbatas berdasarkan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 2. Untuk mengetahui akibat hukum kepailitan Perseroan Terbatas terhadap organ Perseroan Terbatas.
Universitas Sumatera Utara
3. Untuk mengetahui tanggung jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam hal terjadinya kepailitan berdasarkan Undang-undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.
D. Manfaat Penulisan Penelitian yang dilakukan memberi sejumlah manfaat secara teoritis dan praktis yang berguna bagi pembaca, yaitu: 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan sebagai bahan kajian akademis guna menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya tentang hukum kepailitan dan hukum Perseroan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lanjutan sebagai salah satu referensi dan perbandingan dalam kerangka memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. 2. Manfaat Praktis, penelitian ini diharapkan sebagai informasi ilmiah bagi masyarakat terutama bagi kalangan dunia usaha tentang tanggung jawab organorgan pengurus Perseroan Terbatas (khususnya Dewan komisaris) yang melakukan kesalahan dan kelalaian yang mengakibatkan terjadinya kepailitan. Sehingga bagi pihak-pihak yang dirugikan dan mencari keadilan baik itu orang-perorang ataupun badan hukum tertentu mendapat kepastian hukum dari pihak yang telah merugikan mereka.
Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa penelitian tentang Tanggung Jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam Hal Kepailitan Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU belum pernah dilakukan, baik dalam judul, topik dan persoalan yang sama. Sebab dalam penelitian ini, difokuskan pada pertanggungjawaban Dewan Komisaris berdasarkan Undang-undang
Kepailitan
yang
baru,
dan
juga
dihubungkan
dengan
pertanggungjawabannya dalam Undang-undang Perseroan Terbatas yang juga baru. Spesifikasi inilah yang akan membedakan tulisan ini dengan tulisan-tulisan ilmiah lainnya. Dengan demikian, penelitian ini merupakan hal yang baru dan orisinil karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu: jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara imiah, serta terbuka bagi kritik yang konstruktif sehubungan dengan persoalan yang dibahas dalam tulisan ini.
F. Kerangka Teori Tentang pertanggungjawaban Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam hal terjadinya kepailitan, di dasarkan pada teori-teori yang penulis paparkan untuk mendekati upaya menjawab masalah dalam tulisan ini.
Universitas Sumatera Utara
Teori yang behubungan erat dengan pertanggungan jawab Dewan Komisaris dalam hal kepailitan adalah konsep teori Piercing the Corporate Veil atau Menyingkap Tirai/Tabir Perusahaan (badan hukum). Teori ini populer digunakan dalam hukum perusahaan, bukan hanya pada tata hukum Indonesia, tetapi juga dalam tata hukum Internasional. Piercing the Corporate Veil atau kadang diistilahkan dengan Lifting the Corporate Veil atau juga Going Behind the Corporate Veil. Terapan pendekatan dengan teori ini adalah untuk mencapai keadilan sebagai misi utama, terutama bagi pihak ketiga dengan pihak Perseroan yang mempunyai hubungan hukum tertentu. 25 Teori Piercing the Corporate Veil dalam hukum ekonomi diartikan sebagai suatu proses untuk memberi beban tanggung jawab pada pundak orang atau Perseroan lain atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan pelaku, tanpa mempertimbangkan bahwa sesungguhnya perbuatan tersebut dilakukan oleh/atas nama Perseroan pelaku. Maka, teori Piercing the Corporate Veil pada hakikatnya merupakan teori yang memindahkan tanggung jawab dari Perseoan kepada Pemegang Saham, Direksi atau Dewan Komisaris dan biasanya teori ini baru diterapkan apabila ada klaim dari pihak ketiga kepada Perseroan. 26 I.G. Ray Widjaya menyebutkan bahwa teori Piercing the Corporate Veil adalah teori yang menembus cadar perusahaan atau membuka kerudung. Dengan 25
Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing the Corporate Veil), Kapita Selekta Hukum Perusahaan, (Bandung: Penerbit PT. Citra Adiyta Bakti, 2000), hal. 6 26 Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 25
Universitas Sumatera Utara
demikian apabila terjadi suatu hal tertentu, tanggung jawab dari suatu Perseroan tersebut bisa dihapus atau hilang. Dengan kata lain, organ Perseroan harus bertanggung jawab penuh secara pribadi terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh hal-hal tertentu. 27 Sebagaimana dipahami bahwa Undang-undang Perseroan Terbatas hingga batas-batas tertentu mengakui berlakunya teori Piercing the Corporate Veil ini, sungguhpun pengaturannya sangat simpel. Penerapan teori ini ke dalam tindakan suatu Perseroan menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari Perseroan tersebut (meskipun berbentuk badan hukum), namun pertanggungjawaban hukum dapat juga dimintakan terhadap pemegang sahamnya. Bahkan penerapan Piercing the Coporate Veil dalam pengembangannya juga membebankan tanggung jawab hukum kepada organ Perseroan lainnya seperti Direksi dan Dewan Komisaris. 28 Teori Piercing the Corporate Veil dan Business Judgment Rule bagi Dewan Komisaris dikenakan untuk mengatur kewenangan organ Perseroan tersebut sebagaimana dalam Pasal 108 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Selain pasal tersebut, Pasal 114 ayat (1) UU Perseroan Terbatas memberi
27
I.G. Ray Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Penerbit Kesaint Blanc, 2000), hal. 145-
28
Ibid, hal. 147
146
Universitas Sumatera Utara
norma yuridis bagi Dewan Komisaris untuk bertindak secara tepat sehingga kepengurusan Perseroan Terbatas lebih baik dan mencapai tujuan Perseroan. 29 Berdasarkan UU Perseroan Terbatas, apabila teori Piercing the Corporate Veil diterapkan, maka dapat menyebabkan Dewan Komisaris bertanggungjawab atas aktivitas yang dilakukan oleh Perseroan. Pertanggunganjawab Dewan Komisaris akibat penerapan teori Piercing the Corporate Veil tersebut dalam hal-hal berikut: 1. Dewan Komisaris tidak melaksanakan fiduciary duty terhadap Perseroan, 2. Membiarkan penyusunan dan pelaporan keuangan yang tidak benar atau menyesatkan, 3. Tidak melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian, 4. Mempunyai kepantingan-kepentingan pribadi terhadap Direksi baik langsung ataupun tidak langsung yang meyebabkan kerugian, 5. Tidak memberikan nasihat-nasihat yang baik kepada Direksi yang mengurus Perseroan. 30 Teori lainnya yang berkaitan dengan masalah tanggung jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam hal terjadinya kepailitan adalah Good Corporate
29 30
Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 75 Ibid, hal. 148
Universitas Sumatera Utara
Governance yang pada dasarnya
merupakan konsep yang menyangkut struktur
Perseroan, pembagian tugas, pembagian wewenang dan pembagian beban tanggung jawab masing-masing organ Perseroan. Implementasi Good Corporate Governance di Indonesia sangat vital karena hal ini dapat membantu Perseroan untuk keluar dari krisis ekonomi serta bermanfaat bagi Perseroan-perseroan di Indonesia yang harus menghadapi era globalisasi, mengikuti perkembangan ekonomi global serta pasar global yang demikian kompetitif. 31 Semenjak krisis moneter yang melanda perekonomian dan berbagai domain di akhir tahun 1990-an masalah good corporate governance mendapat perhatian yang besar dari masyarakat dan pihak pemerintah. Hal ini karena adanya anggapan bahwa masalah-masalah yang dihadapi oleh perusahaan (Perseroan) di Indonesia yang secara langsung juga menyebabkan terjadinya krisis moneter tersebut adalah akibat kurang diterapkannya prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik di dalam banyak Perseroan di Indonesia. Selain itu, tuntutan atas adanya penerapan good corporate governance ini juga telah menggemakan issu untuk menarik minat masuknya pemodal asing ke dalam pasar modal atau bursa suatu negara. Dengan demikian prinsip-prinsip good corporate governance yang semakin baik merupakan indikasi adanya perlakuan yang baik terhadap pemodal. 32
31
Munir Fuady, Op.Cit, hal. 51 Herwidayatmo, Implementasi Good Corporate Governance Untuk Perusahaan Publik di Indonesia, dalam tulisan utama Usahawan No. 10 TH XXIX Oktober 2000 32
Universitas Sumatera Utara
Dalam tulisan J. Mark Mobius (President of Templeton Emerging Markets Funds Inc.) tentang Issues in Global Corporate Governance dalam Corporate Governance an Asia-Pacific Critique, 33 menyatakan bahwa definisi yang diberikan terhadap corporate governance secara umum di seluruh dunia tidak memiliki bentuk keseragaman. Akan tetapi, berbagai macam lembaga regulasi seperti Organization for Economic Coperation and Development (OECD) telah mengembangkan seperangkat prinsip umum yang dapat dipergunakan oleh negara-negara anggota dalam membentuk definisi yang nantinya bersifat spesifik. Panduan yang dikeluarkan oleh OECD bahwa prinsip-prinsip yang menetapkan beberapa hal penting, di antaranya adalah: pertama, yang berkaitan dengan hak-hak pemegang saham (the right of share holders), kedua, yang berhubungan dengan konsepsi perlakuan yang sama (the equitable of treatment of share holders), ketiga, yang berkaitan dengan peraturan tentang penerapan corporate governance (the role of stakeholders in corporate governance), keempat, yang berhubungan dengan penerapan prinsip keterbukaan dan transparansi (disclosure and transparancy) dan kelima, yang berhubungan dengan tanggung jawab dari pengurus Perseroan (responsibility of the board). 34
33
Low Chee Keong, “Introduction the Corporate Governance Debate, Corporate Governance an Asia-Pacific, Sweet & Maxwell Asia a Thomson Company,” seperti dikutip oleh Wahyono Darmabrata & Ari Wahyudi Hertanto, Implementasi Good Corporate Governance dalam Menyikapi Bentuk-bentuk Penyimpangan Fiduciary Duty Direksi dan Komisaris Perseroan, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 22 No. 6 Tahun 2003, hal. 25 34 Konsepsi “Corporate Governance di Pasar Modal” website http://www.safitri.com/ diakses tanggal 18 April 2010
Universitas Sumatera Utara
Keseluruhan cakupan dari pedoman ini mencakup 4 (empat) bidang utama, yaitu: 35 1. Fairness (Keadilan); menjamin perlindungan hak-hak para pemegang saham, termasuk hak-hak pemegang saham minoritas dan para pemegang saham asing serta menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor, 2. Transparancy (transparansi); mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu serta jelas dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan dan pemilikan perusahaan, 3. Accountability (akuntabilitas); menjelaskan peran dan tanggung jawab serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen dan pemegang saham, sebagaimana yang diawasi oleh Dewan Komisaris, 4. Responsibility (pertanggungjawaban); memastikan dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagaimana cerminan dipatuhinya nilai-nilai sosial. Prinsip-prinsip corporate governance penerapannya merupakan landasan atas pengelolaan perusahaan yang baik. Prinsip-prinsip ini bukan hanya mengharuskan Direksi Perseroan, tetapi juga Dewan Komisaris dalam hal perjalanan Perseroan yang baik sehingga menghasilkan kenaikan saham Perseroan di pasar (tentunya penting bagi investor jangka pendek). Bagi investor jangka panjang, penerapan prinsip-
35
Hamud M. Balfast, Sedikit Tentang “Disclosure” dan “Corporate Governance,” dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22 Januari-Pebruari 2003, hal. 100
Universitas Sumatera Utara
prinsip ini akan menjamin bahwa perusahaan tidak hanya akan memuaskan pemodal jangka pendek saja, tetapi dapat digunakan dalam mempertahankan kelangsungan usaha, stabilitas serta kesejahteraan bagi semua stakeholder, termasuk tentunya keuntungan para pemegang saham. Dengan demikian, peranan corporate governance ini akan semakin penting dan dituntut pada masa-masa yang akan datang karena dengan pengelolaan perusahaan yang baik, tujuan kegiatan dan usaha Perseroan akan lebih mungkin tercapai tanpa perlu mengorbankan kelangsungan usaha. 36 Kemungkinan terjadinya kepailitan dalam Perseroan selalu terbuka oleh beberapa faktor, baik itu faktor eksternal misalnya karena krisis moneter global atau oleh karena faktor internal yaitu kesalahan atau kelalaian dalam pengelolaan dan pengawasan serta tidak adanya itikad baik yang dapat memperburuk situasi yang memungkinkan terjadinya kepailitan. Dengan demikian pertanggungjawaban yang dibebankan kepada organ-organ Perseroan menjadi hal yang sangat penting untuk perhatikan, sebab berkaitan langsung dengan harta debitur dan kreditur. Selain teori dan prinsip di atas, konsep atau teori penanganan dengan benar melalui standard operating procedure merupakan hal yang akan membantu Dewan Komisaris dan/atau Direksi dapat dengan cepat mengetahui adanya perubahanperubahan atau perkembangan yang materiil terhadap kegiatan usaha Perseroan. Kaitan eratnya adalah pada dilakukan atau tidak fiduciary Duty dan business
36
Ibid, hal. 102
Universitas Sumatera Utara
judgment rule baik oleh Direksi dan/atau Dewan Komisaris sehingga dapat terwujud good corporate governance. 37 Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim kekayaan (vermogensrechts). Prinsip paritas creditorum berarti bahwa semua kekayaan debitur baik yang berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitur dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitur terikat kepada penyelesaian kewajiban debitur. 38 Sedangkan prinsip pari passu prorate parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara kreditur tersebut, kecuali jika antara para kreditur itu ada yang menurut Undangundang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya. 39 Teori-teori inilah yang akan diterapkan dalam kerangka menganalisa pertanggungjawaban Dewan Komisaris Perseroan Terbatas dalam hal terjadinya kepailitan.
37
Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 99 Kartini Muladi, “Kepailitan dan Penyelesaian Utang-Piutang,” dalam Rudhy A. Lontoh, Op.Cit, hal. 168 39 Rudhy A. Lontoh, Ibid, hal. 169 38
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian Metode penelitian adalah tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu pengetahuan yang bersangkutan. 40 Sedangkan penelitian ilmiah adalah suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. 41 Waluyo menjelaskan bahwa penelitian hukum merupakan suatu bagian ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan penelitian tertentu yang tujuannya untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya. 42 1. Jenis dan Sifat Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah metode penelitian yurisdis normatif, yakni dengan melakukan analisa terhadap persoalan dalam penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan di Indonesia. Mengutip pendapat Dworkin, bahwa penelitian model ini sebagai penelitian doktrinal, yakni penelitian yang menganalisa hukum yang tertulis dalam buku (law as
40
Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106 41 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 1 42 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1998), hal. 6
Universitas Sumatera Utara
it’s written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it’s decided by the judge through judicial process). 43 Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis yang bertujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan tentang kepailitan dan Perseroan Terbatas serta akibat-akibat hukum yang dapat dikenakan karena peristiwa kepailitan, dengan mengacu kepada peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Metode penelitian hukum dalam penulisan tesis ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, serta tetap memperhatikan kualitas kedalaman data yang diperoleh. Dengan demikian, data yang diperoleh dalam penyusunan tulisan ini digunakan sebagai pendukung bagi kelengkapan maksud dan tujuan penelitian. Dengan metode kepustakaan, teknik pengumpulan data dilakukan oleh penulis. Metode ini disebut library research untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori serta informasi dan pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.
43
Ronald Dworkin, sebagaimana yang dikutip oleh Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada acara dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah “Akreditasi”, Fakultas Hukum USU, Pebruari 2003, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
2. Sumber Data Adapun yang menjadi sumber kepustakaan diperoleh dari: (1) Bahan Hukum Primer, terdiri dari: a. Norma atau kaedah dasar. b. Peraturan dasar. c. Peraturan perundangan yang terkait dengan kepailitan dan Perseroan Terbatas. (2) Bahan hukum sekunder, seperti: hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. (3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk serta pejelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier di luar bidang hukum yang relevan serta dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. 44 Situs web turut juga menjadi bagian sumber bagi penelitian tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini. Seluruh data yang telah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatf dilakukan dengan penelitian pasal-pasal yang memuat kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang Perseroan Terbatas dan Kepailitan, untuk kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan persoalan yang dibahas dalam tulisan ini.
44
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal. 195, bnd. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 41
Universitas Sumatera Utara
Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan perundang-undangan ini diteliti dan dianalisis secara induktif kualitatif yang diselaraskan dengan hasil dari data pendukung yang diperoleh melalui penelitian lapangan, sehingga sampai pada suatu kesimpulan yang akan menjawab seluruh pokok permasalahan dalam tulisan ini.
3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi terhadap dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data atau kasus-kasus yang ada. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya dipilah-pilah untuk memperoleh pasal-pasal yang memuat kaidah-kaidah hukum yang kemudian dihubungkan dengan persoalan yang sedang dihadapi serta disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Kemudian, data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif untuk tiba pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang direlaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab. 45
45
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 195-196
Universitas Sumatera Utara
4.
Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yakni dengan
sumber hukum primer atau Undang-undang yang relevan dengan persoalan yang dibahas. Kemudian membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu tentang permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini. Data yang dianalisa secara kualitatif dibahas kemudian dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah serta dideskripsikan sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap persoalan yang dimaksud.
Universitas Sumatera Utara