BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyusunan RAPBN (Rencana Anggaran dan Belanja Negara) Tahun 2008 mengacu pada amanat Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 12 dan Pasal 13 yang menyebutkan bahwa penyusunan RAPBN berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Kerangka Ekonomi Makro, dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2008. Sebagai suatu rencana kerja penyelenggara negara, maka penyusunan APBN harus didasarkan pada berbagai pertimbangan dan perkiraan terhadap faktor-faktor, baik eksternal maupun internal yang mempengaruhi APBN. Begitu juga dengan RAPBN Tahun 2008 juga telah mempertimbangkan kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang berkembang saat ini, serta berbagai langkah kebijakan yang diperkirakan akan ditempuh dalam Tahun 2008. Pendapatan negara dan hibah dalam APBN terdiri dari semua penerimaan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri. Pendapatan negara dalam APBN Tahun 2008 merupakan suatu hal yang perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh, karena pendapatan negara merupakan sumber utama belanja
negara
di
samping
komponen
pembiayaan
anggaran.
Untuk
mengoptimalkan penerimaan negara, pemerintah telah mengambil langkahlangkah kebijakan di bidang penerimaan negara terutama bidang perpajakan yang M.E. Anni Yuliah, 2009 Manajemen Strategi Pembelajaran ... Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
2
ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara dan diarahkan untuk memberikan stimulus secara terbatas guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas. Penerimaan perpajakan memberikan kontribusi penerimaan yang terbesar dari total pendapatan negara dan hibah. Sebagaimana diketahui bahwa trend penerimaan perpajakan dalam APBN selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Trend kenaikan tersebut disebabkan seiring dengan semakin meningkatnya kondisi ekonomi negara Indonesia, selain karena terus dilakukannya perbaikan administrasi perpajakan dan adanya kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah guna meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Pajak merupakan pungutan yang dikenakan kepada masyarakat, meskipun tanpa adanya
kontraprestasi
secara langsung
kepada
masyarakat
yang
membayarnya, namun menjadi bagian terpenting bahkan paling menentukan dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan negara. Kondisi ini lebih terasa ketika Bangsa Indonesia sepakat mengurangi, bahkan berupaya menghilangkan pinjaman dari luar negeri. Sistem keuangan negara yang terangkum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bahwa dengan mengurangi pinjaman luar negeri, berarti pos penerimaan negara diperoleh dari penerimaan dalam negeri, sehingga berbagai upaya dalam meningkatkan penerimaan negara terus dilakukan terutama penerimaan negara dari sektor perpajakan. Direktorat
Jenderal
Pajak
sebagai
instansi
pemerintah
yang
bertanggungjawab menjalankan kegiatan penerimaan negara dari sektor pajak
3
sesuai dengan visinya yaitu menjadi institusi pemerintah yang menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien, dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi. Sedangkan misinya yaitu menghimpun penerimaan pajak negara berdasarkan Undang-undang Perpajakan yang mampu mewujudkan kemandirian pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui sistem administrasi perpajakan yang efektif dan efisien. Untuk memenuhi rencana dalam APBN, setiap pengenaan, pemungutan, atau penarikan pajak yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak harus berdasarkan ketentuan yang berlaku, yang sejalan dengan Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945 dan Amandemen 1999 sebagai landasan hukum yang mengamanatkan agar segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. Pajak merupakan hajat atau kegiatan negara/pemerintah yang menyentuh seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali, terutama para pelaku bisnis. Masyarakat yang membayar pajak, bersumber dari penghasilan atau kekayaan yang dimiliki, tentunya menginginkan jumlah pungutan yang rendah atau minimal bahkan jika memungkinkan tidak membayar pajak. Namun bagi pemerintah, pajak merupakan sumber penerimaan utama bagi APBN sehingga dapat terselenggara berbagai tugas-tugas pemerintahan dan kenegaraan, dalam rangka terwujudnya masyarakat yang sejahtera. Kedua kondisi yang saling berbeda bahkan saling bertolak belakang ini menempatkan fungsi kebijakan perpajakan sebagai solusi terbaik. Kebijakan perpajakan yang ditetapkan dimaksudkan agar adanya kesepakatan antara pemerintah dan rakyat (melalui DPR), baik dalam pembahasan Undang-undang
4
Perpajakan maupun Undang-undang APBN. Guna melaksanakan fungsi kebijakan perpajakan yang baik dan ideal, selalu diupayakan harmonisasi antara fungsi budgeter dan fungsi regulerend dari pajak. Dalam kaitan ini, pengenaan dan pemungutan pajak tidak semata-mata hanya untuk mengisi pundi-pundi kas negara, melainkan juga ada aspek atau tujuan lain yang lebih luas sebagai imbangannya, yaitu membuat keseimbangan dalam perekonomian dan kehidupan masyarakat. Tax ratio merupakan persentase penerimaan pajak dalam tahun tertentu terhadap GDP/PDB. Rendahnya tax ratio, dapat diartikan kondisi perpajakan suatu negara masih terkebelakang (Internet, Kompas Forum, 2008). Saat ini tax ratio Indonesia baru 13,5% dengan penerimaan sekitar Rp. 600 triliun. Angka itu masih rendah bila dibandingkan dengan tax ratio di Asia yang dapat mencapai rata-rata 20% (kecuali Myamar). Berarti kalau tax ratio di Indonesia 20% saja, penerimaan pajak bisa mencapai Rp. 900 triliun. Hal tersebut tentunya sangat disayangkan mengingat 70% pendapatan negara berasal dari pajak. Jika penerimaan pajak dapat ditingkatkan seperti angka rata-rata tax ratio di kawasan Asia, jumlah tersebut cukup membantu pemerintah dalam membayar utang. (Internet, Rendahnya Tax Ratio, 2008). Tabel 1.1 Perbandingan Nilai Tax Ratio Indonesia Dengan Beberapa Negara di Asia Tenggara No Negara Tax Ratio 1 Indonesia 13,03% 2 Malaysia 20,17% 3 Singapura 22,44% 4 Thailand 17,28% 5 Myamar 5,50% 6 Filipina 30,00% Sumber: Internet (Kompas Forum, 2008).
5
Pajak sebagai mesin penghasil uang negara telah menjadi primadona penerimaan negara semenjak berakhirnya era kejayaan minyak yang dulu berfungsi sebagai penghasil utama penerimaan negara. Namun demikian jumlah Wajib Pajak (WP) terdaftar yang tercermin dalam jumlah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang dikeluarkan oleh Ditjen Pajak selama puluhan tahun pada Tahun 2004 hanya mencapai sekitar 3,6 juta. Tabel 1.2 Perkembangan Jumlah Wajib Pajak Tahun WP Orang Pribadi WP Badan 2001 1.690.193 795.361 2002 2.020.334 879.375 2003 2.327.618 966.802 2004 2.622.184 1.047.876 Sumber: Direktorat Jenderal Pajak, 2005.
Jumlah 2.485.554 2.899.709 3.294.420 3.670.060
Sementara itu target penerimaan negara dari sektor pajak terus ditingkatkan dari tahun ke tahunnya. Perkembangan jumlah wajib pajak ini pada Tahun 2006 mencapai sekitar 4,6 juta. Dari jumlah 4,6 juta pun hanya sebagian kecil yang aktif. Dari yang aktif pun hanya sebagian kecil yang membayar pajak. Dari yang membayar pajak pun hanya sebagian kecil yang menghitung dan melaporkan pajaknya secara benar. Tabel 1.3 Jumlah Wajib Pajak Nasional Keterangan Wajib Pajak Pribadi Wajib Pajak Badan Jumlah Terdaftar 3,3 juta 1,3 juta Yang masuk SPT 33% 34% Sumber: Direktorat Jenderal Pajak, 2006. WP yang terdaftar baru sekitar 4,6 juta. Sekitar 3,3 juta adalah WP orang pribadi, dan sisanya 1,3 juta adalah WP badan atau perusahaan. Itu pun, baru sekitar sepertiga yang menyetorkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
6
Padahal, saat ini terdapat kurang lebih 50 juta kepala keluarga (KK) dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia. Artinya, jika Ditjen Pajak dapat menjaring sekitar 60 persen WP pribadi, tentu sudah mengail 30 juta WP pribadi (Internet, Berita, 2008). Secara teoritik, penerimaan pajak akan tercapai apabila institusi perpajakan dapat berhasil melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak. Ekstensifikasi erat kaitannya dengan persoalan siapa dan apa yang bisa dipajaki oleh negara. Artinya, negara harus dapat memberikan penegasan secara jelas, siapa saja yang sebenarnya dapat dikategorisasi sebagai pembayar pajak. Negara juga harus mampu menjelaskan argumentasi hukum, ekonomi dan politiknya ketika kategorisasi itu dibuat. Keberhasilan ekstensifikasi pajak yang dilakukan oleh institusi perpajakan dapat dilihat pada Kantor Wilayah DJP Jawa Barat I Kantor Pelayanan Pajak Bandung Cibeunying (KPP Bandung Cibeunying) dari jumlah Wajib Pajak terdaftar periode 2003-2007, sebagai berikut: Tabel 1.4 Wajib Pajak Terdaftar KPP Bandung Cibeunying Periode 2003-2007 Per 1 Per 1 Per 1 Per 1 Per 1 Tgl. WP. Jan Jan Jan Jan Jan 01/01/07 s.d Terdaftar 2003 2004 2005 2006 2007 10/07/07 PPh OP 16.300 17.588 18.820 21.082 22.123 1.371 PPh Badan 5.529 5.955 6.337 6.753 7.201 296 Jumlah 21.829 23.543 25.157 27.835 29.324 1.667 Jenis Pajak PPh Pasal 25 20.719 22.322 23.785 26.305 27.511 1.540 PPh Pasal 21 5.904 6.354 6.758 7.209 7.665 301 PPh Pasal 22 127 134 442 842 1.232 120 sPPh Pasal 23 4.970 5.395 5.785 6.209 6.656 306 PPN 2.843 3.026 3.197 3.358 3.507 64 Jumlah 34.563 37.231 39.967 43.923 46.571 2.331 Sumber: KPP Bandung Cibeunying, 2007.
Jumlah 23.494 7.497 30.991 29.051 7.966 1.352 6.962 3.571 48.902
7
Dari Tabel 1.4 di atas dapat diketahui bahwa jumlah Wajib Pajak terdaftar PPh Orang Pribadi mengalami kenaikan mulai dari periode 1 Januari 2003 sampai dengan 10-07-07 mencapai sebesar 23.494 orang. Begitu pun kenaikan jumlah Wajib Pajak terdaftar PPh Badan periode 1 Januari 2003 sampai dengan periode 10-07-07 mencapai sebesar 7.497 badan. Dengan demikian jumlah Wajib Pajak terdaftar secara keseluruhan mencapai 30.991 orang. Kesepakatan politik secara hukum dituntut membawa dampak pada kepatuhan masyarakat, namun yang terjadi masih tingginya kesenjangan antara jumlah pembayar pajak dengan jumlah masyarakat sebagai pembayar pajak. Tingginya kesenjangan tersebut dapat dilihat dari tabel status Wajib Pajak terdaftar yang ada pada KPP Bandung Cibeunying. Tabel 1.5 Status Wajib Pajak Terdaftar KPP Bandung Cibeunying Periode 2003-2007 Jumlah Status Data/Record Badan Orang Pribadi Aktif/ Normal (OO) 1783 8113 Perbaikan Data (UP) 3343 4077 Pindah Masuk (PB) 109 199 Data Baru (PE) 2232 10815 Lainnya ( ) 0 0 Jumlah Data WP Aktif 7467 23204 Non Efektif (NE) 2274 5841 Jumlah Data Potensial 9741 29045 Pindah Keluar (PL) 464 702 Data Dihapus (DE) 142 468 Jumlah data/Record 10347 30215 Sumber: KPP Bandung Cibeunying, 30 Juni 2007
Dari Tabel 1.5 di atas dapat diketahui bahwa status Wajib Pajak terdaftar PPh Badan Aktif/Normal hanya sebesar 1783 Badan atau mencapai 23,88% dari jumlah Wajib Pajak Aktif yang mencapai sebesar 7.467 badan. Begitupun status Wajib Pajak terdaftar PPh Orang Pribadi Aktif/Normal hanya sebesar 8.113 orang
8
atau mencapai 34,96% dari jumlah Wajib Pajak Aktif yang mencapai sebesar 23.204 orang. Sisanya Wajib Pajak Terdaftar dengan status Perbaikan Data, Pindah Masuk, Data Baru dan lainnya, yang ke semuanya tidak termasuk dalam kategorisasi sebagai pembayar pajak aktif/normal. Penerimaan pajak merupakan tulang punggung penerimaan negara. Dalam APBN 2006 (perubahan), penerimaan pajak mencapai Rp 423 triliun. Jumlah ini setara dengan 65 persen dari seluruh pendapatan negara dan hibah yang berjumlah Rp 652 triliun. Penerimaan pajak tidak hanya bersumber dari Ditjen Pajak, tetapi juga dari instansi lain seperti Ditjen Bea Cukai dalam bentuk cukai dan bea masuk. Tetapi Ditjen Pajak memberikan kontribusi terbesar, yaitu Rp 372 triliun dalam tahun anggaran, atau setara dengan 88 persen dari total penerimaan perpajakan. Angka kontribusi pajak tersebut diharapkan akan terus meningkat, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kehidupan bangsa dan negara sangat ditentukan oleh penerimaan pajak. Namun yang perlu diperhatikan bahwa pajak merupakan bagian dari kebijakan fiskal untuk tumbuh dan berkembangnya negara. Pajak tidak bisa berdiri sendiri tetapi tetap dalam kerangka pembangunan dan pengembangan perekonomian nasional secara makro. Namun sungguh ironis penerimaan pajak dari Ditjen Pajak ini masih didominasi oleh segelintir pembayar pajak besar apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia pada Tahun 2005 sekitar 220 juta. Hal ini merupakan titik rawan yang membahayakan fiscal sustainability. Fenomena ini selain menunjukkan ketimpangan distribusi pendapatan, juga mengisyaratkan potensi pajak belum tergali secara optimal.
9
Pembangunan perpajakan di Indonesia melalui reformasi perpajakan diharapkan menjadikan sistem perpajakan yang berlaku lebih sederhana seperti penyederhanaan jenis pajak, tarif pajak, dan pembayaran pajak. Meliputi pula pembenahan aparatur perpajakan yang menyangkut prosedur, tata kerja, disiplin, dan mental. Melalui reformasi perpajakan secara menyeluruh, diharapkan jumlah wajib pajak akan semakin luas serta beban pajak akan makin adil dan wajar, sehingga
mendorong
wajib
pajak
untuk
membayar
kewajibannya
dan
menghindarkan dari oknum aparat pajak yang mengambil keuntungan untuk kepentingan pribadi. Singkatnya, reformasi perpajakan diharapkan mampu menciptakan sistem pajak yang didasarkan pada prinsip keadilan dan kewajaran serta memberikan kepastian hukum baik bagi wajib pajak maupun aparat pajak. Pentingnya penerimaan pajak bagi jalannya pembangunan, maka visi perpajakan di Indonesia perlu untuk menguraikan model pelayanan masyarakat yang menyelenggarakan sistem dan manajemen perpajakan kelas dunia, yang dipercaya dan dibanggakan masyarakat. Visi atau wawasan pada dasarnya bukanlah sekadar penglihatan kasat mata, melainkan suatu penglihatan yang didasari kekuatan mental batiniah dalam cakupan kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik. Visi terbentuk dengan dasar kecerdasan penghayatan nilai-nilai, pengetahuan dan pengalaman, kemampuan khusus yang konseptual pemecahan masalah serta daya-daya perilaku lain yang dijadikan unggulan. Dengan kata lain, visi merupakan intisari endapan dari suatu sistem nilai dan kaidah yang diberlakukan (Anwar, 2003:1).
10
Visi Direktorat Jenderal Pajak merupakan suatu gambaran menantang tentang keadaan masa depan Ditjen Pajak yang sungguh-sungguh diinginkan untuk ditransformasikan menjadi realitas melalui komitmen dan tindakan oleh segenap jajaran Ditjen Pajak (Depkeu RI, 2000). Dalam pernyataan Visi Ditjen Pajak terkandung tiga cita-cita utama yang ingin dituju, yaitu (Depkeu RI, 2000): 1. Menjadi model pelayanan masyarakat yang merefleksikan cita-cita untuk menjadi contoh pelayanan masyarakat bagi unit-unit instansi pemerintah lainnya. 2. Berkelas dunia (world class) yang merefleksikan cita-cita untuk mencapai tingkatan standar dunia atau standar internasional baik untuk kualitas aparatnya maupun kualitas kinerja dan hasil-hasilnya. 3. Dipercaya dan dibanggakan masyarakat yang merefleksikan cita-cita untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat bahwa eksistensi dan kinerjanya memang benar-benar berkualitas tinggi dan akurat, mampu memenuhi harapan masyarakat serta memiliki citra yang baik dan bersih.
Dengan demikian, urgensi pajak bagi kelangsungan pembangunan tidak lagi disangsikan. Karena itu wajar jika pemerintah terus berupaya menggali berbagai potensi tax coverage (lingkup/cakupan pajak) sekaligus menekankan tax compliance (kepatuhan pajak) dari masyarakat sebagai alat vitalnya. Namun demikian, kepatuhan pajak yang bersumber dari kesadaran masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar pajak itu tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan yang kerap muncul, baik yang bersumber dari wajib pajak (masyarakat), aparatur pajak (fiskus), maupun yang bersumber
11
dari sistem perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan pajak merupakan hal yang kompleks. Oleh karena itu, penanganannya perlu diupayakan secara sinergis dan komprehensif. Dengan sendirinya, berbagai upaya untuk menciptakan masyarakat agar memiliki apresiasi yang baik terhadap kewajiban membayar pajak tidak terpaku pada wajib pajak belaka, tapi perlu mempertimbangkan aspekaspek lainnya secara korelatif. Oleh karena itu pertimbangan simultan serta solusi alternatif yang signifikan akan lebih memungkinkan terciptanya optimalisasi penerimaan pajak. Kepatuhan pajak yang bersumber dari kesadaran masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar pajak itu bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan akan kerap muncul yang menunjukkan bahwa persoalan pajak merupakan hal yang kompleks. Pembelajaran merupakan salah satu faktor yang menunjang dalam proses pendidikan menuju masyarakat yang sadar dan peduli terhadap pajak. Pendidikan seharusnya merupakan suatu proses pembudayaan yang diarahkan kepada berkembangnya kepribadian seorang yang mandiri sebagai anggota masyarakat yang demokratis. Selama ini terlihat betapa pendidikan telah diredusir sebagai proses untuk lulus suatu ujian tetapi tidak diarahkan kepada membentuk masyarakat yang bermoral dan beradab. Sesuai dengan UUD 1945, pendidikan seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini berarti pendidikan merupakan usaha untuk pembelajaran manusia. Manusia yang belajar merupakan manusia yang dapat berpikir kreatif, yang mandiri, dan yang dapat membangun dirinya dan masyarakatnya, sehingga manusia yang belajar
12
diperlihatkan oleh manusia yang produktif. Pendidikan selama ini, dalam proses, metodologi, sistem, telah menghasilkan manusia-manusia robot dan hanya dapat menerima petunjuk dan pengarahan dari atas. Oleh sebab itu masyarakat bukannya menjadi berdaya tetapi diperdayakan oleh sistem yang otoriter. Pembangunan haruslah diartikan sebagai suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga-lembaga nasional termasuk pula percepatan/akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan dan pemberantasan kemiskinan yang absolut. Keberhasilan pembangunan itu pada hakekatnya dapat diperoleh dari proses pendidikan masyarakatnya. Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla (Depdiknas, 2007: 9) mengemukakan bahwa dalam kerangka visi jangka panjang yang termuat dalam dokumen “Membangun Indonesia yang Aman, Adil dan Sejahtera”, pembangunan Indonesia pada Tahun 2005-2009 mengarah pada: 1. Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai; 2. Terwujudnya masyarakat, bangsa dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak asasi manusia; 3. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan berketanjutan, yang dilandasi keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia.
13
Pembangunan pendidikan nasional ke depan didasarkan pada paradigma membangun manusia Indonesia seutuhnya, yang berfungsi sebagai subyek yang memiliki kapasitas untuk mengaktuatisasikan potensi dan dimensi kemanusiaan secara optimal. Dimensi kemanusiaan itu mencakup tiga hal paling mendasar (Depdiknas, 2007: 10), yaitu: 1. Afektif yang tercermin pada kuatitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; 2. Kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intetektuatitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; 3. Psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik, yang memungkinkan ketiga dimensi kemanusiaan paling elementer di atas dapat berkembang secara optimal. Dengan demikian, pendidikan seyogyanya menjadi wahana strategis bagi upaya mengembangkan segenap potensi individu, sehingga cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai, dan pembelajaran manusia menuju sadar peduli pajak dapat diterapkan dalam menunjang kegiatan pembangunan di Indonesia. Selain itu, pembangunan pendidikan nasional yang juga diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan bagi peserta didik, yang menjadi penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah mempunyai
14
kewajiban konstitusional untuk memberi pelayanan pendidikan dalam upaya meningkatkan masyarakat berpendidikan yang lebih berkuatitas. Hal ini merupakan mandat yang harus dilakukan bangsa Indonesia sesuai dengan tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sesuai dengan ketentuan umum penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan Nasional berkewajiban untuk mencapai Visi Pendidikan Nasional, sebagai berikut: ”Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah”. Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional tersebut, Depdiknas berhasrat untuk pada Tahun 2025 menghasilkan: ”Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil/Insan Paripurna)”. Visi Depdiknas lebih menekankan pada pendidikan transformatif, yang menjadikan pendidikan sebagai motor penggerak perubahan dari masyarakat berkembang menuju masyarakat maju. Pembentukan masyarakat maju selalu diikuti oleh proses transformasi struktural, yang menandai suatu perubahan dari masyarakat yang potensi kemanusiannya kurang berkembang menuju masyarakat
15
maju dan berkembang yang mengaktualisasikan potensi kemanusiannya secara optimal. Perspektif pembangunan pendidikan tidak hanya ditujukan untuk mengembangkan aspek intelektual saja melainkan juga watak, moral, sosial dan fisik perserta didik, atau dengan kata lain menciptakan manusia Indonesia seutuhnya. Jika dikaitkan dengan penerimaan negara sektor pajak, hal ini berkaitan dengan pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak yang merupakan upaya pengembangan watak, moral dan sosial masyarakat di Indonesia. Pendidikan diharapkan dapat menciptakan kemandirian baik pada individu maupun bangsa. Pendidikan yang menumbuhkan jiwa kemandirian menjadi sangat penting justru ketika dunia dihadapkan pada satu sistem tunggal yang digerakkan oleh pasar bebas. Bangsa Indonesia sulit bertahan jika tidak memiliki kemandirian karena hidupnya semakin tergantung pada bangsa-bangsa yang lebih kuat. Pendidikan harus menjadi bagian dari proses perubahan bangsa menuju masyarakat madani, yakni masyarakat demokratis, taat, hormat dan tunduk pada hukum dan perundang-undangan, melestarikan keseimbangan lingkungan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sehingga, pembelajaran masyarakat sebagai proses pendidikan untuk menumbuhkan jiwa kemandirian ini tercipta melalui mekanisme pembentukan masyarakat yang sadar dan peduli terhadap pajak. Pembelajaran
masyarakat
yang
diformulasikan
pada
mekanisme
terbentuknya kepatuhan yang diporoleh dari analisis persepsi faktor-faktor yang
16
mempengaruhi optimalisasi penerimaan pajak. Bertolak dari pemikiran-pemikiran inilah maka perlu dilakukannya penelitian mengenai “Manajemen Strategi Pembelajaran Masyarakat Menuju Sadar Peduli Pajak (Analisis Faktor-Faktor Strategis yang Mempengaruhi Optimalisasi Penerimaan Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying)”.
B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, permasalahan penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian yaitu model pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak yang bagaimana yang dapat mempengaruhi peningkatan optimalisasi penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying?
C. Fokus Penelitian Penelitian ini difokuskan pada upaya menemukan dan mengembangkan model pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak sehingga dapat mempengaruhi peningkatan optimalisasi penerimaan pajak. Model pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak ini secara operasional melibatkan pihakpihak yang terlibat dalam mekanisme penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying yang terdiri dari nara sumber wajib pajak, aparat pajak, dan pendamping/pembimbing.
17
D. Identifikasi Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang masalah, perumusan masalah dan fokus penelitian di atas, maka dapat diidentifikasikan permasalahan dalam bentuk pertanyaan penelitian, sebagai berikut: 1. Bagaimana mekanisme penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying? 2. Bagaimana manajemen strategi pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying? 3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying? 4. Kendala apa saja dalam pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak dalam peningkatan optimalisasi penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying? 5. Upaya apa saja yang perlu dilakukan dalam mengatasi kendala pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak dalam peningkatan optimalisasi penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying? 6. Bagaimana manajemen strategi pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak yang mempengaruhi optimalisasi penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying? 7. Bagaimana model pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak yang dapat mempengaruhi peningkatan optimalisasi penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying?
18
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan dan menganalisis data empirik tentang: 1. Mekanisme penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying. 2. Manajemen strategi pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying. 4. Kendala dalam pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak dalam peningkatan optimalisasi penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying. 5. Upaya yang perlu dilakukan dalam mengatasi kendala pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak dalam peningkatan optimalisasi penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying. 6. Manajemen strategi pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak yang mempengaruhi optimalisasi penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying. 7. Model pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak yang dapat mempengaruhi peningkatan optimalisasi penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying.
19
F. Asumsi Penelitian Studi manajemen strategi pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak dalam bentuk pengembangan model pembelajaran masyarakat dalam upaya peningkatan optimalisasi pajak dilakukan dengan asumsi-asumsi sebagai berikut: 1. Sadar peduli pajak merupakan salah satu pendekatan Satisfied Taxpayers Services, yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak dengan harapan akan dapat mendorong peningkatan optimalisasi penerimaan pajak. Masyarakat Wajib Pajak didorong untuk menjadi warga negara yang patuh dan sadar dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, dalam motto "mewujudkan masyarakat yang sadar dan peduli pajak". Sementara bagi pihak Fiskus diberlakukan kode etik yang mengikat dalam pelaksanaan tugasnya dengan di bawah pengawasan berbagai institusi pengawas, mulai dari komisi ombudsman, komite pengawas kode etik, dan Inspektorat Jenderal. 2. Pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak merupakan upaya dalam memberikan pengertian dan pemahaman kepada masyarakat akan fungsi dan manfaat pajak dalam keberlangsungan kegiatan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakatnya. pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak menuntut diperolehnya kepatuhan wajib pajak, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap penerimaan pajak. 3. Faktor strategis yang mempengaruhi optimalisasi penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying diperoleh dari hasil eksplorasi dan pengujian terhadap faktor-faktor pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak yang terdiri dari produktivitas fiskus, administrasi pelayanan pajak dan konsep perpajakan, yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak. Eksplorasi faktor-faktor pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak diperoleh dari hasil kajian pustaka, sedangkan pengujiannya diperoleh berdasarkan bukti
20
empiris hasil pengumpulan data persepsi masyarakat wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying. 4. Upaya-upaya dalam meningkatkan optimalisasi penerimaan pajak diperoleh dari pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak baik secara langsung mupun secara tidak langsung memberikan konstribusi terhadap optimalisasi penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying.
G. Kerangka Pikir Penelitian Pembelajaran didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar (Alwi, dkk., 2002: 17), sehingga pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak dapat diartikan sebagai proses interaksi masyarakat (komunitas) pajak dalam menciptakan kepatuhan wajib pajak. Hal ini didukung pula oleh Sutomo (1993: 68) yang mengemukakan bahwa pembelajaran adalah proses pengelolaan lingkungan seseorang yang dengan sengaja dilakukan sehingga memungkinkan dia belajar untuk melakukan atau mempertunjukkan tingkah laku tertentu pula. Tingkah laku yang diharapkan dari proses interaksi pada masyarakat pajak ini berupa kepatuhan wajib pajak. Pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak melalui mekanisme terbentuknya kepatuhan yang diperoleh dari faktor-faktor yang mempengaruhi optimalisasi penerimaan pajak. Faktor-faktor pembelajaran masyarakat sebagai proses interaksi ini terdiri dari produktivitas fiskus (aparat pajak), administrasi pelayanan pajak dan konsep perpajakan diharapkan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dan pada akhirnya berpengaruh terhadap optimalisasi penerimaan pajak.
21
Penerimaan pajak merupakan bentuk kontribusi dana dari masyarakat terhadap negara, yang diatur melalui Undang-Undang Perpajakan. UndangUndang
Perpajakan
tersebut
dibuat
dengan
tujuan
untuk
menentukan
peraturan/norma yang mengikat umum, dengan demikian kebijakan perpajakan dilakukan secara cermat dan hati-hati yang dilakukan oleh pemerintah (Badan Eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (Badan Legislatif) Rochmat Sumitro (1987:8) menyatakan bahwa “Pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah yang tidak ada imbalannya secara langsung. Peralihan kekayaan demikian itu, dalam kata sehari-hari hanya dapat berupa perampasan, pencopetan (dengan paksaan), atau pemberian hadiah dengan sukarela dan ikhlas (tanpa paksaan). Supaya peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah tidak dikatakan sebagai perampokan atau pemberian hadiah secara sukarela maka disyaratkan bahwa pajak sebelum diberlakukan harus mendapat persetujuan dari rakyat terlebih dahulu”. Salah satu asas yang paling penting dalam suatu negara hukum adalah legalitas, yaitu asas yang mengandung pengertian bahwa semua tindakan negara harus didasarkan kepada dan dibatasi oleh hukum. Sesuai dengan asas tersebut di atas, maka pemungutan pajak di Indonesia pengaturannya tersirat dalam pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. yang berbunyi sebagai berikut, :Segala Pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. Konsep administrasi dan manajemen itu sendiri memiliki beberapa pengertian yang berbeda, seperti yang diungkapkan Sondang F. Siagian, yang mengemukakan bahwa administrasi adalah “keseluruhan proses kerjasama antara
22
dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya”. Brown dan Moberg (1980: 664) mengemukakan bahwa “Manajemen is the integration of both human and material resources toward common organization goals”. Artinya manajemen adalah suatu kegiatan yang terintegrasi antara sumber daya manusia dan sumber daya alam sebagai upaya mencapai tujuan organisasi. Dalam proses pelaksanaannya, administrasi dan manajemen adalah sama, perbedaan-perbedaan yang penting yaitu bahwa pada tingkat administrasi fungsifungsi itu bersifat menyeluruh dan berlaku bagi seluruh organisasi, pada tingkat managemen fungsi-fungsi itu bersifat departemental atau sektoral, yang mempunyai tujuan akhir diperolehnya produktifitas hasil kerja. Pengertian produktivitas menurut Usry dan Hammer yang diterjemahkan oleh Alfonsus Sirait dan Hermawan Wibowo adalah sebagai berikut: “Produktivitas pekerja adalah ukuran prestasi produksi dengan menggunakan usaha manusia sebagai tolak ukur. Produktivitas adalah jumlah barang dan jasa yang dihasilkan seorang pekerja.” (Usry dan Hammer, 1996:288).
Produktivitas dalam suatu organisasi adalah mutlak dibutuhkan dalam suatu organisasi. Organisasi yang mempunyai produktivitas yang tinggi akan mampu bersaing dilingkungan industri sejenis, sedangkan prduktivitas yang rendah sebagian besar tidak mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya karena tidak mampu bersaing dengan organisasi lain. Sumber daya manusia mempunyai peranan penting dalam proses peningkatan
produktivitas.
Produktivitas
kerja
mengandung
pengertian
23
perbandingan antara hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja persatuan waktu. Banyak faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja antara lain konflik, tanggung jawab, jam kerja, motivasi, tingkat kegagalan, kultur budaya, prestasi, efisiensi, kebijakan organisasi, kualitas dan kuantitas (Bambang Kussriyanto, 1993: 146). Pada penelitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas fiskus mengacu pada pendapat Haryani, (2002: 12) yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian yaitu 1) variabel yang berasal dari pegawai, 2) variabel yang berasal dari perusahaan, dan 3) variabel yang berasal dari lingkungan eksternal. Variabel yang berasal dari pegawai bersifat fisikal, psikologikal dan keterampilan, variabel yang berasal dari perusahaan terdiri dari lingkungan kerja (lingkungan fisik dan nonfisik), kemampuan manajemen, dan kebijakan perusahaan dalam produktivitas, sedangkan variabel yang berasal dari lingkungan eksternal terdiri dari teknologi, kebijakan pemerintah, dan kondisi ekonomi. Produktivitas fiskus berkaitan dengan dukungan keberadaan administrasi pelayanan pajak. Administrasi Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak adalah segenap rangkaian kegiatan penyelenggaraan pengelolaan pemungutan pajak dengan melakukan kerjasama dan menggerakan orang lain untuk mencapai suatu tujuan pemungutan pajak yang adil dan merata melalui pelayanan prima (Boediono, 1999: 263). Walaupun administrasi merupakan proses yang bulat, namun untuk tertib pelaksanaanya (The Liang Gie; 1971: 19) dibedakan 8 unsur, yaitu 1) Pengorganisasian, 2) Manajemen, 3) Tata hubungan, 4) Kepegawaian, 5) Keuangan, 6) Perbekalan, 7) Tata Usaha, dan 8) Perwakilan
24
Unsur-unsur yang disebutkan di atas saling berkaitan secara erat sehingga merupakan kesatuan yang menunjang seluruh kegiatan pokok dari kelompokkelompok orang untuk mencapai tujuan melalui kerja sama. Dengan demikian, administrasi pelayanan pajak, pemerintah juga akan melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) administrasi pendaftaran wajib pajak; (2) administrasi pendaftaran wajib pajak pindahan; (3) administrasi penghapusan nomor pokok wajib pajak; (4) administrasi penghapusan NPPKP; (5) administrasi perubahan data wajib pajak; (6) administrasi pengelolaan SPT PPh; (7) administrasi penagihan pajak; (8) administrasi peradilan pajak; dan (9) administrasi restitusi. Pada penelitian ini administrasi pelayanan pajak mengacu kualitas pelayanan jasa berdasarkan pada Fandy Tjiptono (1996) yang terdiri 5 (lima) dimensi kualitas jasa yaitu 1) tangibles, 2) reliability, 3) responsiveness, 4) accurance, dan 5) emphaty. Tangibles meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi. Reliability yakni kemampuan memberikan pelayanan
yang
dijanjikan
dengan
segera,
akurat,
dan
memuaskan.
Responsiveness, yaitu keinginan para staf untuk membantu para konsumen dan memberikan pelayanan dengan tanggap. Assurance mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf; bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Sedangkan Empathy meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para konsumen. Administrasi pelayanan pajak ini berkaitan dengan dukungan penerapan konsep perpajakan. Rochmat Sumitro (1987:8) menyatakan bahwa “Pajak
25
merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah yang tidak ada imbalannya secara langsung. Peralihan kekayaan demikian itu, dalam kata seharihari hanya dapat berupa perampasan, pencopetan (dengan paksaan), atau pemberian hadiah dengan sukarela dan ikhlas (tanpa paksaan). Supaya peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah tidak dikatakan sebagai perampokan atau pemberian hadiah secara sukarela maka disyaratkan bahwa pajak sebelum diberlakukan harus mendapat persetujuan dari rakyat terlebih dahulu”. Konsep perpajakan dalam penelitian ini mengacu pada 3 (tiga) konsep yaitu 1) penetapan pajak, 2) fungsi pajak, dan 3) syarat pemungutan pajak. Penetapan pajak di Indonesia menganut sistem self assessment yang menurut Budiono (1999: 233) merupakan sistem penetapan besarnya pajak oleh wajib pajak sendiri. Fungsi pajak menurut Gilarso (1992:109) bahwa fungsi pajak terdiri dari fungsi budgeter dan fungsi reguler, sedangkan syarat pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2008) terdiri dari 1) Syarat Keadilan, 2) Syarat Yuridis berdasarkan undang-undang, 3) Syarat Ekonomis yang tidak mengganggu kegiatan perekonomian, 4) Syarat Finansiil yang bersifat efisien, dan 5) Syarat Kesederhanaan. Faktor-faktor pemberdayaan masyarakat menuju sadar peduli pajak yang terdiri dari produktivitas fiskus, administrasi pelayanan pajak dan konsep perpajakan diharapkan dapat menciptakan kepatuhan wajib pajak. Keterkaitan ini diperoleh dari pendekatan The Systems Iceberg, yang memaknai pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak dapat diterapkan dengan memandang permasalah secara holistik, kait mengkait dan memerlukan format keterkaitan.
26
Analisis terhadap pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak dapat dilihat pada tingkatan kejadian (event) yaitu berhubungan dengan kepatuhan wajib pajak yang didasari pada faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas fiskus, dimaknai kualitas jasa dalam administrasi perpajakan terhadap wajib pajak, dan didukung penerapan konsep perpajakan. Kepatuhan wajib pajak mengacu pada konsep kepatuhan menurut Nurmantu (2003) yang didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Pada penelitian ini pada hakekatnya kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh kondisi sistem administrasi perpajakan yang mengacu pada Surjoputro dan Widodo (2004) yaitu meliputi Tax Enforcement, Tax Service dan Complaince Cost. Langkah-langkah yang dapat mendorong kepatuhan wajib pajak melalui tax enforcement karena wajib pajak akan patuh bila mereka berpikir bahwa mereka akan mendapat sanksi berat akibat pajak yang tidak mereka laporkan terdeteksi sistem informasi dan administrasi perpajakan serta kemampuan crosschecking informasi dengan instansi lain. Langkah lainnya yang mendorong kepatuhan melalui tax service terdiri dari pelayanan yang baik, cepat, dan menyenangkan serta pajak yang mereka bayar akan bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Sedangkan compliance cost merupakan biaya-biaya penghitungan, pengawasan, dan penagihan pajak harus ditekan pada tingkat serendah-rendahnya yang tidak hanya meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah (atau disebut administrative cost), melainkan juga biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam rangka pemenuhan kewajiban pajak.
27
Pencapaian kepatuhan wajib pajak yang diperoleh dari hasil pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak ini, dapat meningkatkan optimalisasi penerimaan pajak, seperti yang dikemukakan oleh Nasucha (2004:9) dengan mengutip Richard M. Bird dan Milka Casanegra de Jantscher dalam buku Improving Tax Administration In Developing Countries (IMF, 1992), menyatakan bahwa berapa besarnya jurang kepatuhan (tax gap), yaitu selisih antara penerimaan yang sesungguhnya dengan pajak potensial dengan tingkat kepatuhan dari masing-masing sektor perpajakan merupakan pengukuran yang lebih akurat atas efektivitas administrasi perpajakan. Selisih minimal antara penerimaan yang diterima sesungguhnya dengan potensi merupakan indikasi optimalnya penerimaan pajak, sehingga pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak yang terdiri dari produktivitas fiskus, administrasi pelayanan pajak dan konsep perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak, dan berdampak pada optimalisasi pajak dapat digambarkan dalam bentuk skema kerangka pemikiran sebagai berikut:
28
Manajemen Strategi Pembelajaran Masyarakat
Produktivitas Fiskus
Administrasi Pelayanan Pajak
Konsep Perpajakan
Kepatuhan Wajib Pajak
Optimalisasi Penerimaan Pajak
FEEDBACK
Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian
H. Hipotesis Penelitian Berdasarkan asumsi yang dirumuskan, maka dapat ditetapkan hipotesis penelitian yaitu: 1. Terdapat pengaruh yang signifikan produktivitas fiskus (X1) terhadap kepatuhan wajib pajak (Y). 2. Terdapat pengaruh yang signifikan administrasi pelayanan pajak (X2) terhadap kepatuhan wajib pajak (Y). 3. Terdapat pengaruh yang signifikan konsep perpajakan (X3) terhadap kepatuhan wajib pajak (Y). 4. Terdapat pengaruh yang signifikan produktivitas fiskus (X1), administrasi pelayanan pajak (X2), dan konsep perpajakan (X3) terhadap kepatuhan wajib pajak (Y). 5. Terdapat pengaruh yang signifikan kepatuhan wajib pajak (Y) berpengaruh terhadap optimalisasi penerimaan pajak (Z).
29
I. Metode Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif, sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan cara deskriptif menggunakan analisis eksplanatoris yaitu analisis jalur untuk mengetahui faktor-faktor pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak terdiri dari produktivitas fiskus, administrasi pelayanan pajak dan konsep perpajakan, yang berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak, serta berdampak signifikan terhadap peningkatan optimalisasi penerimaan pajak. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara menyusun kisi-kisi instrumen penelitian dalam bentuk kuesioner berskala. Kisi-kisi instrumen penelitian diperoleh dari variabel penelitian dalam rangka memformulasikan model pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak yang dapat mempengaruhi peningkatan optimalisasi penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying.
J. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian Lokasi penelitian yang dilakukan ini yaitu di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying. Lokasi ini dipilih karena merupakan Kantor Pelayanan Pajak yang berpotensi paling besar dalam penerimaan pajak di Kota Bandung, dan dapat dijadikan acuan relevan sebagai bahan informasi bagi Kantor Pelayanan Pajak lain, terutama di Kota Bandung. Populasi penelitian ini adalah masyarakat wajib pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying. Pemilihan wajib pajak
30
sebagai populasi ditetapkan karena objektivitas penilaian terhadap pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak serta optimalisasi penerimaan pajak. Sedangkan prosedur penyebaran sampel penelitian ditetapkan berdasarkan convenience sampling sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan pada masyarakat wajib pajak yang berada di wilayah pelayanan pajak Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying.
K. Signifikansi dan Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi optimalisasi penerimaan pajak yang diperoleh dengan memformulasikan model pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak yang dapat memberikan manfaat baik berupa manfaat akademis maupun manfaat bagi praktisi.
1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat akademis berupa: a. Informasi yang dapat memberikan sumbangsih dan tambahan ilmu pengetahuan terutama dalam ilmu administrasi pendidikan berkaitan dengan pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak, kepatuhan Wajib Pajak dan optimalisasi penerimaan pajak. Selain itu diharapkan dapat dijadikan informasi tambahan pada dunia akademis tentang penerapan konsep perpajakan terutama berkaitan dengan produktivitas fiskus, administrasi pelayanan pajak dan konsep perpajakan. b. Acuan akademis dalam proses pembelajaran masyarakat melalui pendidikan berkaitan dengan temuan hasil penelitian yang diperoleh dari pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak yang dapat mempengaruhi peningkatan
31
optimalisasi penerimaan pajak. Hasil temuan ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam bentuk konsep model pembelajaran masyarakat menuju sadar peduli pajak. c. Acuan dalam penelitian lebih lanjut dalam topik yang sama dengan penelitian yang dilakukan ini.
2. Manfaat Praktis Sebagai sebuah proses pembelajaran dapat menjadi masukan bagi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk melakukan peningkatan optimalisasi penerimaan pajak melalui kepatuhan wajib pajak yang diperoleh dari hasil peningkatan produktivitas fiskus, pelaksanaan administrasi pelayanan pajak yang lebih baik, penerapan konsep perpajakan yang efektif.