BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puisi “Kullunā Tūnisu Ṡauratu al-Yāsmīni” adalah puisi yang diciptakan oleh penyair Arab Qatar bernama Muḥammad bin Aż-Żayyib Al-‘Ajamiyy. Puisi ini hadir dalam suasana pecahnya aksi demonstrasi besar di Tunisia yang menuntut mundurnya presiden Żainal Al-Abidin bin Ali, yang telah berkuasa di Tunisia selama 23 tahun dan akhirnya harus pergi ke luar Tunisia untuk menyelamatkan diri atas desakan mundur yang dituntut oleh rakyat Tunisia. Aksi demonstrasi di Tunisia tersebut dikenal dengan sebutan Jasmine Revolution atau ‘Revolusi Yasmin’, istilah yang pertama kali dipopulerkan oleh jurnalis Amerika Serikat, Andy Carvin. Yasmin adalah nama jenis bunga yang menjadi simbol nasional dari negara Tunisia, dan nama bunga ini jugalah yang menjadi simbol untuk menggambarkan nama gerakan demonstrasi yang terjadi di Tunisia (Carvin, 2011). Aksi gerakan ‘Revolusi Yasmin’ yang semula hanya terjadi di Tunisia, menjadi suatu gelombang gerakan tiruan lainnya yang terjadi di negara tetangga Tunisia, seperti Aljazair, Mesir dan Libya, hingga ke beberapa negara Arab lain yang memunculkan aksi demonstrasi yang sama untuk menuntut mundurnya para pemimpin di negara tersebut yang telah berkuasa lama. Aksi gelombang demonstrasi tiruan tersebut dinamai dengan istilah Arab Spring (Manfreda, 2011).
1
Puisi “Kullunā Tūnisu Ṡauratu al-Yāsmīni” ini diciptakan oleh sang penyair dari dalam penjara, ketika ia mendapat hukuman penjara sementara atas tuduhan menghina Amir Qatar, dan berencana untuk melakukan gerakan demonstrasi menumbangkan rezim Amir Hamid bin Khalifa Al-Thani (Dohanews, 2012). Puisi “Kullunā Tūnisu Ṡauratu al-Yāsmīni” ini tercipta karena terinspirasi oleh aksi gerakan
demonstrasi
‘Revolusi
Yasmin’
yang
terjadi
di
negara
Tunisia
(Democracynow, 2013). Jika diteliti dengan pendekatan ilmu semiotika, yaitu ilmu yang mempelajari tentang tanda dan makna pada puisi, puisi “Kullunā Tūnisu Ṡauratu al-Yāsmīni” ini memiliki tanda-tanda gejala semiotik yang menarik untuk diteliti lebih mendalam. Tanda semiotik tersebut dapat ditemui mulai dari judul puisi yang berbunyi Ṡauratu al-Yāsmīni yang bermakna ‘Revolusi Yasmin’. Hal tersebut menunjukkan adanya tanda dari puisi ini yang menunjuk suatu peristiwa yang terjadi di Tunisia, yaitu ‘Revolusi Yasmin’, sebuah aksi demonstrasi yang menghasilkan revolusi perubahan sosial politik di sebuah negara bernama Tunisia. Selain adanya gejala semiotik yang dijelaskan di atas, puisi “Kullunā Tūnisu Ṡauratu al-Yāsmīni” ini adalah menjadi bagian dari simbol perlawanan yang mewakili bangsa-bangsa Arab melawan pemimpin-pemimpin otoriter yang banyak berkuasa di negara Arab. Puisi ini tidak hanya sekadar berisi kata dan makna saja, namun juga menjadi bagian dari alat pergerakan politik dalam dunia Arab kontemporer, khususnya selama terjadinya peristiwa Arab Spring yang banyak 2
menginspirasi lahirnya puisi-puisi revolusi yang menambah khazanah puisi modern Arab. Seorang penyair, penulis dan pembuat film berkebangsaan Arab Mesir, Nasser Farghaly, menyebutkan bahwa gaya yang menjadi karakteristik puisi Arab kontemporer dalam lima puluh tahun terakhir adalah puisi revolusi politik, atau revolusi politik melalui puisi, penyair memanfaatkan puisi untuk tujuan politik (Rashad, 2011). Berdasarkan alasan yang melatarbelakangi pemilihan puisi di atas, peneliti berpendapat bahwa puisi ini layak untuk diteliti lebih lanjut menjadi sebuah objek penelitian skripsi. Puisi ini tidak hanya diciptakan sebagai bentuk protes sosial masyarakat, tetapi juga memiliki nilai akademis yang bisa dikaji mendalam secara semiotik karena puisi ini memiliki tanda-tanda dengan makna tersirat yang perlu dikaji lebih lanjut untuk memahami maknanya secara menyeluruh.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah makna yang terkandung dalam puisi “Kullunā Tūnisu Ṡauratu al-Yāsmīni” karya Muḥammad bin Aż-Żayyib Al-‘Ajamiyy.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengungkapkan makna yang terkandung dalam puisi “Kullunā Tūnisu Ṡauratu al-Yāsmīni” karya Muḥammad bin Aż-Żayyib Al‘Ajamiyy. 3
1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian puisi dengan analisis semiotik telah banyak dilakukan oleh para mahasiswa Sastra Asia Barat Universitas Gadjah Mada. Di antara penelitian yang memanfaatkan teori semiotik adalah M. Yasif Femi Miftah (2012) dengan judul “Mansyūrat Fidāˋiyyah ‘alā Judrāni Isrāˋīl” karya Nizār Qabbāniy. Puisi menggambarkan semangat perjuangan rakyat Palestina yang gagah berani dan pantang menyerah untuk meraih kemerdekaanya dari penjajahan yang dilakukan oleh Israel. Sementara itu, peneliti lain adalah Ahmad Musyafa’ (2013) dengan judul “Zikrā wa Tasyawwuq”, suntingan Aḥmad Amīn Aḥmad Az-zain dan Ibrāhīm AlAbyāri. Puisi tersebut menggambarkan kenangan dan kerinduan Ḥāfīz Ibrāhīm kepada sahabatnya Muḥammad Bik Bairam ketika berada di Mesir. Penelitian puisi karya Muḥammad bin Aż-Żayyib Al-‘Ajamiyy ini belum dilakukan, baik di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada atau di Fakultas Adab Universitas Islam Sunan Kalijaga. Sementara para penyair asing yang tergabung dalam organisasi PEN (Penyair, Esais, Novelis) yang berbasis di Amerika Serikat, ataupun para penyair dari dunia Arab, belum ditemukan satu penelitian yang meneliti puisi “Kullunā Tūnisu Ṡauratu al-Yāsmīni” ini dengan menggunakan analisis semiotik. Selama ini, upaya yang telah dilakukan oleh penyair Arab Mesir berdarah Amerika, Karim James Abu-Zaid (2011), adalah menerjemahkan puisi yang berasal dari bahasa Arab ke dalam bahasa Inggris agar dapat diketahui artinya oleh para penyair Barat. Untuk itu, penelitian terhadap puisi karya Muḥammad bin Aż-Żayyib 4
Al-‘Ajamiyy dengan analisis semiotik layak dilakukan, sehingga ini akan menjadi penelitian akademis pertama untuk puisi “Kullunā Tūnisu Ṡauratu al-Yāsmīni” dan dapat menjadi referensi tambahan bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti puisipuisi revolusi di dunia Arab, terutama tentang Arab Spring.
1.5 Landasan Teori Landasan teori yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah teori Semiotik. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda-tanda. Pertama kali yang penting dalam lapangan semiotik, lapangan sistem tanda, adalah pengertian tanda itu sendiri. Dalam pengeritan tanda ada dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda. Petanda (signified) atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda (Pradopo, 2012. 121). Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda hubungan antara penanda dan petandanya bersifat persamaan bentuk alamiah. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab-akibat. Simbol itu tanda yang tidak menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya (Pradopo, 2012. 121). Dalam ilmu tanda-tanda atau semiotik, arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama itu disebut meaning (arti). Karya sastra itu juga merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi masyarakat (sastra). Karya sastra merupakan sistem 5
sistem tanda yang lebih tinggi kedudukannya dari bahasa, maka disebut sistem semiotik tingkat kedua. Bahasa tertentu itu mempunyai konvensi tertentu pula, dalam sastra konvensi bahasa itu disesuaikan dengan konvensi sastra. Dalam karya sastra, arti kata-kata (bahasa) baru, yaitu arti sastra itu. Dengan demikian, timbullah arti baru yaitu arti sastra itu. Jadi, arti sastra itu merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Untuk membedakannya dari arti bahasa, arti sastra itu disebut makna (significance) (Pradopo, 2012: 122)..
1.6 Metode Penelitian Berdasarkan pada landasan teori penelitian di atas, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode semiotik. Menurut Riffaterre (1978:2-23), dalam bukunya Semiotic of Poetry, terdapat empat hal yang bisa digunakan untuk memproduksi makna karya sastra khususnya puisi. Keempat hal tersebut adalah pemaknaan melalui ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan semiotik yang terdiri dari pembacaan heuristik dan hermeneutik, matriks atau kata kunci, dan hipogram. Pertama, ketidaklangsungan ekspresi yang merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan suatu secara tidak langsung. Ketidaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning) (Riffaterre, 1978:2). Penggantian arti disebabkan oleh metafora dan metomini. Penyimpangan arti disebabkan oleh ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. 6
Penciptaan arti bertujuan untuk menciptakan arti baru dalam makna sajak (Riffaterre, 1978 :2). Kedua, pembacaan semiotik yang terdiri dari pembacaan heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retoraktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastranya (Pradopo, 2005:135). Pada tahapan ini diharapkan dapat mengungkapkan makna apa yang terkandung dalam teks sastra tersebut dan diharapkan mampu menafsirkan makna teks yang sesuai dengan konvensi budaya yang melatarbelakangi kehadiran sastra tersebut. Metode produksi makna yang ketiga adalah matriks, yaitu kata yang menjadi kunci penafsiran sajak yang dikonkretisasikan. Konkretisasi dilakukan agar puisi mudah dipahami (Riffatere, 1978 :19). Metode keempat adalah hipogram, yaitu pemaknaan teks yang menjadi latar penciptaan teks lain atau sajak yang menjadi latar pencitaan sajak yang lain (Riffaterre, 1978:23). Dengan demikian, studi sastra yang bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis karya sastra, khususnya puisi sebagai suatu sistem tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra tersebut mempunyai makna.
7
Dalam analisis puisi “Kullunā Tūnisu Ṡauratu al-Yāsmīni” peneliti hanya akan digunakan satu dari empat cara dalam memproduksi makna puisi, yaitu pembacaan semiotik yang terdiri dari pembacaan heuristik dan hermeneutik. Tentu masih ada tiga cara lainnya untuk bisa meneliti karya sastra secara semiotik. Pembacaan semiotik merupakan metode utama dalam penelitian sastra dengan metode semiotik, sementara untuk metode lainnya dapat dilakukan dengan penelitian tersendiri.
1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penulisan, dan pedoman transliterasi Arab-Indonesia. Bab II berupa biografi singkat penyair Muḥammad bin Aż-Żayyib Al-‘Ajamiyy dan puisi “Kullunā Tūnisu Ṡauratu
al-Yāsmīni”.
Selanjutnya, bab III berisi analisis semiotik terhadap puisi “Kullunā Tūnisu Ṡauratu al-Yāsmīni” karya Muḥamad bin Zayib Al-ʽAjamiy. Bab IV merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari penelitian terhadap karya puisi Muḥammad Bin AżŻayyib Al-‘Ajamiyy.
8
1.8 Pedoman Transliterasi Transliterasi huruf Arab ke huruf latin dalam penelitian ini berdasarkan pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158 tahun 1987 dan 054b/U/1987 dengan beberapa pengecualian (IKAPI, 2005:xv-xviii) 1. Konsonan No
Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
1
ا
Alif
-
-
2
ب
Ba
b
be
3
ت
Ta
t
te
4
ث
Tsa
ṡ
es dengan titik di atas
5
ج
Jim
j
je
6
ح
Ha
ḥ
ha dengan titik di bawah
7
خ
Kha
kh
ka-ha
8
د
Dal
d
De
9
ذ
Zal
ż
zet dengan titik di atas
10
ر
Ra
r
Er
11
ز
Zai
z
zet
12
س
Sin
s
Es
13
ش
Syin
sy
es-ye
14
ص
sad
ṣ
Es dengan titik di atas
15
ض
dad
ḍ
De dengan titik di bawah
16
ط
ta
ṭ
Te dengan titik di bawah
17
ظ
za
ẓ
Zet dengan titik di bawah
18
ع
‘ain
‘
Koma terbalik di atas
19
غ
ghain
g
Ge 9
No
Huruf Arab
Nama
Hufur Latin
Keterangan
20
ف
fa
f
Ef
21
ق
qaf
q
ki
22
ك
kaf
k
ka
23
ل
lam
l
el
24
م
mim
m
em
25
ن
Nun
n
en
26
و
waw
w
We
27
ه
Ha
h
Ha
28
ء
Hamzah
’
Apostrof
29
ي
ya
y
Ya
2.
Vokal
Vokal Rangkap
Vokal Rangkap
Tanda
Nama
Tanda dan Huruf
ﹷ
a
ﹷي
ﹻ
i
ﹷو
ﹹ
u
Nama
ai
au
Vokal Panjang Tanda dan Huruf
ﹷا ﹷى
Nama a>
ﹻي
i>
ﹹو
u>
10
3. Tā’ Marbūṭah Tā’ Marbūṭah dapat ditransliterasikan dengan dua cara. Apabila mendapat harakat fatḥah, kasrah, atau ḍammah, transliterasinya
adalah “t”. Apabila Tā’
Marbūṭah mati atau mendapat sukūn, transliterasinya adalah “h”. Jika Tā’ Marbūṭah diikuti kata yang menggunakan kata sandang “al” dan bacanya terpisah, maka Tā’ Marbūṭah tersebut ditransliterasikan dengan “h”. Contoh: ُ الَم ِد ْينَة ُ ال ُمن ََّو َرة
al-Madīnatul-Munawwarah atau al-Madīnah alMunawwarah
4. Huruf Ganda (Syaddah atau Tasydīd) Transliterasi Syaddah atau Tasydīd dilambangkan dengan huruf yang sama, baik ketika berada di awal atau di akhir kata. Contoh: َربّنَا
rabbanā
نزّل
nazzala
5. Huruf Sandang Transliterasi kata sandang dibedakan atas kata sandang yang diikuti ḥuruf
syamsiyyah
dan
qamariyyah.
Transliterasi
kata
oleh
kata
sandang
sandang
yang
yang diikuti
diikuti ḥuruf
oleh
ḥuruf
syamsiyyah 11
ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu ḥuruf /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang tersebut. Kata sandang yang diikuti ḥuruf qamariyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu /l/ ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Contoh: القَلَ ُم
al-qalamu
6. Huruf Kapital Meskipun tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasinya huruf kapital digunakan dengan ketentuan EYD. Diantaranya adalah huruf kapital digunakan untuk menulis huruf awal, nama diri, dan permulaan kalimat. Bila nama diri itu didahului oleh kata sandang, maka ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan awal kata sandangnya. Contoh: س ْو ٌل ُ َو َما ُم َح َّمد ٌ إِالَّ َر
Wa mā Muḥammadun illā Rasūl
12