BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikhwanul Muslimin (IM) dalam bahasa Arab yaitu Al-Ikhwan Al-Muslimun atau secara ringkas yaitu Al-Ikhwan dalam bahasa Melayu yaitu saudara se-Muslim atau dalam bahasa Inggris yaitu Muslim Brotherhood, merupakan suatu gerakan berdasarkan ideologi Islam yang jaringannya berskala antarbangsa yang mempunyai pengaruh di negara-negara di dunia.1 Ikhwanul Muslimin yang nantinya disebut IM, merupakan gerakan Islamis tertua di dunia dan juga sejak lama sebagai kelompok oposisi terbesar di Mesir.2 Ikhwanul Muslimin didirikan di Mesir pada tahun 1928, pembentukan itu di pelopori oleh Hassan al-Banna dan enam orang rekannnya.3 Sebelum terbentuknya Ikhwanul Muslimin, pendirinya, Hassan al-Banna, telah lebih dahulu melakukan kegiatan-kegiatan da’wah. IM memiliki prinsip dasar untuk memperjuangkan ajaran Islam sebagai ajaran dasar dan kehidupan bermasyarakat dan beragama.4 Dalam gerakan dan pemikirannya, Ikhwanul Muslimin mewakili masyarakat Mesir yang semakin resah dengan ulah pemimpin politik dan tokoh intelektual Mesir yang sekuler5 dan IM menjadi pionir bagi gerakan Islam lain di berbagai negeri Muslim.
Robert S. Leiken & Steve Brooke, “The Moderat Muslim Brotherhood”, Foreign Affairs Magazine, April 9, 2007, 45. 2 El Houdaiby Ibrahim, From Prison to Palace: The Muslim Brotherhood’s Challenges and Response in Post Revolution Egypt, House of Wisdom Center for Strategic Studies, (Egypt: 2013), 26. 3 Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992). 304. 4 Mokhtar Efendi, Ensiklopedia Agama dan Flisafat, (Palembang: Percetakan Universitas Sriwijaya, 2001).309. 5 Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Hukum Islam, Dinamika Masa Kini, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 2002) 1
1
Sejalan dengan pandangan komperhensif IM mengenai Islam, kelompok ini memiliki berbagai kegiatan dalam bidang pendidikan yang dilandasi oleh paham Islam, seperti pendidikan ideologi (at-Tarbiyah al-Aqaidiyyah), pendidikan spiritual (atTarbiyah al-Ruhaniyah), pendidikan akhlak (at-Tarbiyah al-Khuluqiyah), pendidikan sosial (at-Tarbiyah al-Ijtimaiyyah), pendidikan intelektual (at-Tarbiyah al-Aqliyyah), pendidikan politik (at-Tarbiyah al-Siyasah) dan pendidikan olahraga (at-Tarbiyah aljismiyah).6 IM berusaha menghilangkan sekularisme dan mengembalikan kembali Mesir kepada Al-Qur’an sebagai pedoman dasar aturan kehidupan di keluarga, masyarakat dan Pemerintah Mesir, dengan prinsip IM yaitu: “Allah is our objective, The Prophet is our Leader, Qur’an is our law, Jihad is our way, dying in the way of Allah is our highest hope”.7 Ketika berbicara soal politik dan hubungannya dengan IM, patut untuk ditegaskan bahwa kekuasaan bukan menjadi sasaran utama IM. Tujuan mereka adalah untuk mewujudkan sistem islami, kapanpun sistem ini terwujud, dan siapapun orang yang mewujudkannya, IM siap menjadi prajurit dan pendukungnya.8 Sejalan dengan tujuannya, cara pandang IM terhadap Islam tidaklah sederhana, karena menurut mereka Islam adalah “The Way of Life” (jalan kehidupan) dan Islam merupakan ideologi yang
6
Ibid Hassan al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, (Solo: Intermedia, 1997). 21. 8 Jasim Muhalhil Syaikh, Ikhwanul Muslimin: Deskripsi, Jawaban Tuduhan dan Harapan ed. Hawari Aulia (Indonesia: 2013), 97. 7
2
menyeluruh
(comprehensive)
untuk
kehidupan
pribadi
ataupun
kehidupan
bermasyarakat.9 Ideologi tersebut terus berkembang dan bertransformasi menjadi pergerakanpergerakan yang dilakukan IM khususnya pada masa Hosni Mubarak, dengan meluasnya gerakan-gerakan yang berkaitan dengan partisipasi publik. IM membentuk organisasi masyarakat yang bernama Islamic Trends untuk memfasilitasi infiltrasi IM pada asosiasi-asosiasi profesional di Mesir.10 Tidak lama Islamic Trends mengikuti pemilihan umum di asosiasi insinyur, dokter gigi, ilmuan, agronomis, farmasi, jurnalis, pengacara dan pegawai swasta. Islamic Trends mampu memenangkan beberapa posisi strategis di asosiasi-asosiasi tersebut, hal itu menjadikan Islamic Trends (Ikhwanul Muslimin) menjadi blok kekuatan politik baru bagi elit profesional yang sudah ada sebelumnya.11 Keberhasilan Islamic Trends dalam memenangkan pemilihan di asosiasiasosiasi professional tersebut membuat posisi sosial-politik Ikhwanul Muslimin semakin strategis,12 karena elit dari asosiasi profesional mempunyai akses yang leluasa untuk mengekspresikan independensi kepentingan mereka. Tidak seperti asosiasiasosiasi besar yang menginduk kepada negara, asosiasi profesional menguasai pekerja dan karyawan profesional di seluruh sektor publik.13
9 Michelle Paison, “The History of the Muslim Brotherhood: The Political, Social and Economic Transformation of the Arab Republic of Egypt”, 2009, 75. 10 Munson Ziad, “Islamic Mobilization: Social Movement Theory and the Egyptian Moslem Brotherhood”, the Sociological Quarterly, Vol. 42 No.4, Department of Sociology, Harvard University, (2001), 33. 11 Ibid, 33. 12 Ibid. 35. 13 Ibid.
3
Pergerakan Ikhwanul Muslimin pada saat pemerintahan Hosni Mubarak tetap terbatas, dengan label sebagai organisasi yang dilarang oleh pemerintah. IM banyak mendapat hambatan dalam aktivitasnya, seperti Pemerintah Mubarak tidak mengijinkan penerbitan media IM melalui Surat kabar organisasinya yaitu Ad Da’wa (Seruan).14 Pada tahun 2005, IM memulai keterlibatannya dalam demonstrasi prodemokrasi dengan Egyptian Movement for Change (atau yang biasa disebut dengan Kifaya) dan mengakibatkan Sekitar 700 orang anggota IM yang ditangkap pada Mei 2005. Tuduhan utama yang diberikan adalah karena mereka terlibat sebagai anggota dari organisasi ilegal yang merencanakan penggulingan pemerintahan yang sah. Pada saat yang bersamaan, pemerintah pengarahkan media massa nasional untuk melakukan pemberitaan negatif yaitu menggiring citra IM sebagai kelompok teroris. 15 Selanjutnya IM memulai pembaharuan dan inovasi gerakan di bidang politik, karena statusnya sebagai organisasi yang dilarang membuat Ikhwanul Muslimin tidak bisa membentuk partai politik. Untuk menyiasati hal tersebut IM melakukan koalisi dengan partai oposisi dan menjadikan partai tersebut sebagai perahu bagi anggota IM yang ingin ikut serta dalam pemilihan legislatif tahun 2005.16 Hasil perhitungan suara pada pemilu tersebut menunjukkan prestasi politik yang signifikan bagi IM, dari 150 kandidat IM yang ikut dalam pemilu ini, 88 di antaranya berhasil memenangkan kursi parlemen.17
Adhe Nuansa Wibisono, “Perjuangan Politik Al-Ikhwan Al-Muslimin dalam Melawan Rezim Otoritarianisme di Mesir Pada Era Gamal Abdul Nasser sampai Hosni Mubarak (1957-2011)”, (Skripsi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2011), 8. 15 Ibid, 9. 16 Ibid. 17 Ibid. 14
4
Strategi Ikhwanul Muslimin dalam memprioritaskan permasalahan sosial ekonomi masyarakat membuat gerakan ini mendapatkan kepercayaan yang lebih dibanding oposisi lain pada pemilu 2005. IM telah menunjukkan dirinya sebagai organisasi sosial yang efektif dalam meraih dukungan masyarakat Mesir. Sebuah poling pada tahun 2004 yang dilakukan oleh Al Ahram Center For Political and Strategic Studies menunjukkan bahwa 60 persen dari masyarakat Mesir melihat bahwa demokrasi baik nilai maupun prosedurnya tidaklah lebih penting dibandingkan pemberentasan kemiskinan, korupsi dan penyediaan sarana pendidikan yang layak kepada masyarakat.18 Dinamika pergerakan IM yang sudah dijelaskan sebelumnya diidentifikasikan sebagai bentuk Counter Hegemony terhadap paham sekularisme yang telah merasuki perilaku pemerintah dan kehidupan bermasyarakat di Mesir. Islamic Trends, harian AlDa’wa, infiltrasi IM ke Parlemen Mesir dan keterlibatan IM dalam demonstrasi Egyptian Movement for Change merupakan bentuk perjuangan IM untuk melawan sekularisme di Mesir. Sekularisme yang dilawan oleh IM ialah sistem doktrin dan praktik yang menolak segala bentuk yang diimani dan diagungkan oleh agama, bahwa masalah agama harus terpisah sama sekali dari masalah kenegaraan.19 Sejalan dengan yang yang dikemukakan oleh A Hornby, menurutnya sekularisme adalah suatu pandangan bahwa pengaruh lembaga keagamaan harus dikurangi sejauh mungkin dan bahwa moral dan
Esra Avsar, “The Transformation of the Political Ideology and the Democracy Discourse of the Muslim Brotherhood in Egypt”, Middle East Technical University, (June, 2008), 28. 19 “Sekularisme”, Koran Republika, September 12, 2008. https://www.republika.co.id/berita/shortlink/8088/ (diakses pada 30 November 2015) 18
5
pendidikan harus dipisahkan oleh agama.20 Hal itulah yang dilihat oleh IM terjadi secara menyeluruh di masyarakat Mesir dan pemerintah Hosni Mubarak. Ikwanul Muslimin dianggap sebagai salah satu gerakan politik Islam yang paling berpengaruh dalam kebangkitan gerakan Islam di Timur-Tengah dan dunia pada Abad ke 20. Gerakan IM berhasil menjadi pionir bagi lahirnya ide penyatuan gerakan agama dengan politik. Hal tersebut menjadi inspirasi bagi model gerakan serupa di Yordania, Palestina, Turki, Aljazair dan berbagai negara Islam lainnya. Gerakan IM menyebarkan ide transnasionalisme Islam dan adanya kebangkitan Islam pasca runtuhnya kekhalifahan di Turki.21 Beberapa hal yang membuat gerakan IM menjadi transnasional yaitu, ideologi IM yang fokus terhadap umat. Hal itu tidak bertumpu pada otoritas dan batasan nationstate, secara parsial mengadaptasi gagasan dan instrumen modern dan bersifat transnasional karena ideologi dasar Islam yang diperjuangkan IM tidak terbatas oleh kedaulatan negara, karena Islam mampu menembus lintas batas negara.22 Sebagai eksistensi gerakan Islam transnasional, sampai saat ini persebaran Ikhwanul Muslimin berada di 70 negara, mulai dari Eropa, Timur Tengah, Asia hingga Amerika Serikat Serikat dan Kanada. Walaupun dengan nama Ikhwanul Muslimin berbeda-beda di setiap negara, meskipun demikian semua disatukan oleh pemikiran dan metodologi pergerakan IM. Gerakan Ikhwanul Muslimin secara internasional dikendalikan oleh Mursyid ‘Am (pemimpin umum) Ikhwanul Muslimin. Pada dasarnya IM menggunakan
20
Ibid. Adhe Nuansa Wibisono, 11. 22 Munson Ziad, 41. 21
6
cara non-kekerasan dalam mencapai tujuannya, dengan memanfaatkan jalur tarbiyah, bersifat moderat dan memakai instrumen demokrasi untuk mewujudkan “Daulah Islamiyah”. Cara tersebut terbukti berhasil dengan kemenangan partai jejaring Ikhwanul Muslimin yang berada di beberapa negara dalam pemilihan di sekitar tahun 2004-2009. Tabel 1.1 Data kemenangan partai Jejaring Ikhwanul Muslimin dalam pemilihan parlemen tahun 2004-2009 di beberapa Negara. Negara
Jumlah Kursi
Presentase
Mesir
88 Kursi
20 %
Aljazair
38 Kursi
7%
Bahrain
4 Kursi
33 %
Jordania
20 Kursi
23 %
Maroko
42 Kursi
12 %
Palestina
74 Kursi
56 %
Bangladesh
18 Kursi
6%
Sumber: Munson Ziad, “Islamic Mobilization: Social Movement Theory and the Egyptian Moslem Brotherhood”, the Sociological Quarterly, Vol. 42 No.4, Department of Sociology, Harvard University, (2001), 45.
Pada 11 Februari 2011, Hosni Mubarak mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden dan menyerahkan Pemerintahan Mesir kepada Supreme Council of the Armed Forces (SCAF).23 Fenomena ini merupakan lanjutan yang juga terjadi di Tunisia, yaitu tumbangnya kekuasaan Ben Ali sebagai Presiden. Hal ini merupakan
23
Supreme Council of the Armed Force adalah dewan agung militer Mesir yang beranggotakan militer senior yang memiliki pangkat dan posisi strategis.
7
bentuk keberhasilan pergerakan massa, demonstrasi anti kekerasan, dan protes-protes jalanan secara cepat menyebarkan pengaruhnya ke negara-negara di Timur-Tengah.24 Keseluruhan pergerakan ini telah dinamai sebagai fenomena “Arab Spring”, banyak peneliti dan media yang menganalisis bentuk perkembangan pergerakan ini. Beberapa dari peneliti dan media tersebut menganggap bahwa pergerakan ini fokus pada dimensi politik yang berpendapat bahwa protes-protes dan demonstrasi di jalanan ini merupakan bentuk tuntutan masyarakat atas transisi politik dari sistem diktator menjadi demokrasi, yang lainnya berpendapat bahwa bentuk protes ini merupakan hasil dari ketidakmampuan negara dalam menangani masalah korupsi, kesenjangan ekonomi yang meningkat dan naiknya harga kebutuhan pokok. Tidak diragukan lagi bahwa protes dan demonstasi ini merupakan hasil dari masalah tuntutan ekonomi dan politik yang kompleks yang terjadi di level domestik maupun internasional.25 Pada saat protes terjadi, kekuasaan Hosni Mubarak di Mesir telah berjalan selama 30 tahun. Diawali pada tanggal 14 Oktober 1981, ketika Anwar Sadat dibunuh dan tewas. Majelis Al – Sya’ab26 dan Majelis Al – Syuura27 Mesir langsung mengangkat Mubarak yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden untuk naik menjadi Presiden Mesir.28 Setelah wafatnya Presiden Anwar Sadat pada tahun 1981,
Nagarajan K.V, Egypt’s Political Economy and The Downfall of The Mubarak Regime (Canada: Department of Economic Laurentian University, 2013), 65. 25 Apriadi Tamburak, Revolusi Timur Tengah Kejatuhan Para Penguasa Otoriter di NegaraNegara Timur Tengah, (Yogyakarta: NARASI, 2011). 10. 26 Majelis Al-Sya’ab adalah badan Legislatif Mesir atau yang diartikan sebagai dewan perwakilan rakyat. 27 Majelis Al-Syuura adalah lembaga permusyawataran rakyat yang berfungsi sebagai lembaga yang memperbincangkan suatu masalah serta menetapkan keputusan bersama tentang suatu masalah menyangkut kepentingan masyarakat. 28 Amalia Rizfa, “Kebijakan Kebijakan Hosni Mubarak di Mesir (1981-2011)”, (Depok: Program Studi Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012), 3. 24
8
keberlangsungan pemerintahan Mubarak pada saat itu tidak terlepas dari isu stabilitas keamanan yang selalu menjadi fokus pada pemerintahannya.29 Dominasi militer di Mesir pada saat Hosni Mubarak berkuasa terlihat jelas, militer disini tidak hanya menguasai perpolitikan, mereka juga menguasai banyak sektor umum seperti sektor ekonomi, pariwisata dan industri. Secara spesifik peran dan hak militer telah meluas khususnya di sektor politik dan ekonomi Mesir, antara lain pengendalian media masa, mobilisasi dukungan terhadap rezim lewat partai, pengelolaan Undang-Undang Darurat dan juga pengelolaan infrastruktur dan investasi asing. Pada akhirnya keberlanjutan dominasi militer ini memungkinkan adanya pengendalian secara menyeluruh atas berbagai bidang di Mesir.30 Dominasi militer atas bidang-bidang strategis di Mesir tidak terlepas dari kedekatan militer dengan Hosni Mubarak dan keleluasaan militer dalam aktivitas politik yang diwadahi oleh partai penguasa yaitu National Democratic Party (NDP). Kekuatan militer Mesir secara langsung selama bertahun-tahun diperbantukan oleh sekutu utamanya yaitu Amerika Serikat Serikat, sejak awal kemerdekaannya Mesir mendapatkan banyak bantuan dari Amerika Serikat Serikat, bantuan tersebut dibidang ekonomi dan Militer (International Military Education and Training). Terhitung dari tahun 1948 – 2011 setiap tahunnnya Mesir mendapatkan total bantuan 70.075.6 juta dolar Amerika Serikat dengan rincian yaitu sejumlah 30.820.8 juta dolar dibidang
Abdul Haris Sahwal, “Phenomenon of Frozen Democracy in Egypt since 2011-2013”, (Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2014), 6. 30 Danny Dwiki Indriawan Pattisahusiwa, “Pretorianisme dalam militer, Studi kasus: Dominasi Militer di Mesir pada Rezim Hosni Mubarak” (Skripsi: UPN Veteran Yogyakarta, 2012), 21. 29
9
ekonomi, 39.211.8 juta dolar dibidang militer, dan 43.0 juta dolar untuk biaya International Military Education and Training. Tabel 1.2 Bantuan Luar Negeri Amerika Serikat Serikat terhadap Mesir (dalam juta $) Year
Economic
Military
IMET (International Military Education and Training)
Total
19481997
23.288.6
22.353.5
27.3
45.669.4
1998
815.0
1.300.0
1.0
2.116.0
1999
775.0
1.300.0
1.0
2.076.0
2000
727.3
1.300.0
1.0
2.028.3
2001
695.0
1.300.0
1.0
1.996.0
2002
911.0
1.300.0
1.0
1.956.0
2003
571.6
1.300.0
1.2
2.212.2
2004
530.7
1.292.3
1.4
1.865.3
2005
530.7
1.289.6
1.2
1.821.5
2006
490.0
1.287.0
1.2
1.778.2
2007
450.0
1.300.0
1.3
1.751.3
2008
411.6
1.289.4
1.2
1.702.2
2009
250.0
1.300.0
1.3
1.551.3
2010
250.0
1.300.0
1.9
1.551.9
2011
250.0
1.300.0
1.4
1.551.4
Total
30.820.8
39.211.8
43.0
70.075.6
Sumber: Jeremy Sharp, “Egypt Background and U.S Relations”, Congressional research Services: 2011.
Keleluasaan militer menjadikan tindakan represif dan otoriter di Pemerintahan Mubarak seringkali terjadi, buktinya dengan memberlakukan kembali Undang-Undang Darurat No. 162 Tahun 1958, dengan isi undang-undang tersebut yaitu melarang pertemuan atau perkumpulan massa dan pemberlakuan UU Darurat tersebut juga memberikan otoritas kepolisian untuk menangkap dan menahan seseorang yang
10
dituduh melawan kekuasaan pemerintah.31 Sepanjang pemerintahannya Mubarak memberlakukan UU Darurat tersebut dengan tujuan untuk melawan terorisme sekaligus mengkontrol kelompok-kelompok Islam fundamentalis. Pada tanggal 7 September 2005, Mesir menyelanggarakan pemilihan presiden multi-kandidat pertama dalam sejarahnya, Hal tersebut dilihat sebagai harapan baru bagi pemerintahan Mesir pada saat itu, tetapi Hosni Mubarak yang didukung oleh Partai Demokrasi Nasional (NDP) menang mutlak atas lawan politiknya saat itu, dengan detil perolehan suara sebagai berikut: Tabel 1.3 Presentasi Pemilih dalam Pemilu Mesir tahun 2005 Presidential Candidates 2005 Hosni Mubarak ( National Democratic Party) Ayman Nour (Al-Ghad) Numan Gumaa (Al-Wafd) Condition Sumber: CIA-The World factbook/geos/eg.html)
Percentage Votes Recaived 88.6 %(6.316.714 Votes) 7.3 % (540.405 Votes) 2.6 % (201.891 Votes)
22.9% vote turnout, 7.059.010 out of nearly 32 milion voters Factbook-Egypt (https://www.cia.gov/library/publications/the-world-
Dari data dan kejadian yang terjadi di lapangan, para pengkritik curiga pemilu tersebut penuh kecurangan karena pegawai negeri diharuskan memilih Mubarak, sementara indikasi pembelian suara yang terjadi di wilayah miskin di Mesir. Ayman Nour, kandidat presiden dari Partai Al-Ghad, mempertanyakan hasil pemilu dan menuntut pemilu ulang. Tetapi Nour malah didakwa melakukan pemalsuan dan dijatuhi hukuman penjara Lima tahun pada 2005.32 Dalam pemilihan ini ada
31
Amalia Rizfa, 6. Devi Fitrial, “Mesir ditangan Mubarak”, Majalah Historia, Oktober 25, 2015. http://historia.id/mondial/mesir-di-tangan-mubarak. (Diakses Pada 30 Oktober 2015) 32
11
ketidakpercayaan rakyat Mesir atas terpilihnya kembali Hosni Mubarak sebagai Presiden, alasan lain kenapa pemilu ini kehilangan kredibilitasnya ialah karena tidak diizinkannya lembaga swasta nasional maupun internasional untuk ikut mengawasi proses jalannya pemilu.33 Kendali Hosni Mubarak sangat kuat terhadap masyarakat Mesir, sebagai contoh Ikhwanul Muslimin yang merupakan kelompok yang memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat tidak bisa membentuk sebuah partai, Disebabkan adanya pelarangan membentuk partai berdasarkan agama. Walaupun dalam sejarah politik Mesir, memang Ikhwanul Muslimin pernah dinyatakan sebagai organisasi yang terlarang oleh pemerintah, dan juga pada saat itu elit organisasi tersebut banyak yang ditahan termasuk pendirinya Hassan al-Banna. Bahkan ia dibunuh oleh agen dinas rahasia pemerintah Mesir pada 12 Februari 1949.34 Sampai saat ini Ikhwanul Muslimin terus berusaha untuk menghilangkan paham sekularisme di Mesir dan ditatanan global, dengan tantangan utama ialah untuk melawan nilai sekularisme yang sudah menjadi nilai yang meng-hegemoni. Maka dari latar belakang masalah ini peneliti merumuskan masalahnya seperti yang dibawah ini. 1.2 Rumusan Masalah Kedatangan penjajah Barat ke Mesir membawa dampak terhadap tumbuhnya paham sekularisme di Mesir, yang kemudian mempengaruhi pemikiran-pemikiran dari pemimpin negara, tokoh nasional dan cendikiawan Mesir. Hal itu tercermin dalam
33 34
Johannes den Heijer dkk. Islam, Negara dan Hukum, (Jakarta: INIS, 1993), 38. Khamami Zada, Diskursus Politik Islam, (Jakarta: LSIP, 2004), 48.
12
kehidupan bermasyarakat Mesir, terutama tercermin di perilaku dan kebijakankebijakan yang diambil oleh pemerintah khususnya di masa Hosni Mubarak. Sebagai organisasi
yang berlandaskan
Islam,
Ikhwanul
Muslimin
bertujuan untuk
menghilangkan sekularisme dan berjuang untuk mengembalikan Mesir kepada AlQur’an sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun dalam perjalanannya, Ikhwanul Muslimin menghadapi banyak tantangan, seperti tekanan politik dari pemerintah dengan melarang kegiatan organisasinya, menghalangi pergerakan politik IM dengan membuat larangan pembentukan partai politik yang berdasarkan agama dan memenjarakan banyak kader IM. Namun Ikhwanul Muslimin bisa bertahan dan gerakannya mampu berkembang di balik tekanan-tekanan yang mereka terima. Proses perjuangan sosial dan politik yang dilakukan Ikhwanul Muslimin dalam melawan sekularisme di era Hosni Mubarak menjadi pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka pertanyaan utama dari penelitian ini adalah, Bagaimana Counter Hegemony Ikhwanul Muslimin terhadap Sekularisme di Era Pemerintahan Hosni Mubarak? 1.4 Tujuan Penelitian Mendeskripsikan tindakan-tindakan Counter Hegemony Ikhwanul Muslimin dalam usahanya untuk melakukan transformasi sosial-politik di Mesir. 1.5 Manfaat Penelitian a. Secara akademik dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional penelitian ini bisa dimanfaatkan untuk membantu peneliti lain dalam menetapkan metode bagi 13
gerakan dan organisasi Islam di Timur-Tengah dan juga sebagai rujukan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. b. Secara praksis penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan analisis oleh unsur-unsur dalam organisasi Islam lainnya guna menyempurnakan usahanya dan meningkatkan hasil dari perjuangannya. 1.6 Studi Pustaka Fenomena yang terjadi di Timur Tengah khususnya Mesir telah menarik perhatian dunia, para ahli dan sarjana ilmu sosial cukup banyak yang meneliti permasalahan-permasalahan yang terjadi di Mesir, dan juga bagaimana upaya dan pengaruh gerakan Islam Ikhwanul Muslimin di negara tersebut. Pada penelitian ini, beberapa
tulisan
yang
telah
menjelaskan
permasalahan
ini.
Guna
untuk
memperlihatkan perbedaan yang ada di penelitian ini dari penelitian yang terlebih dahulu dilakukan oleh berbagai ahli dan sarjana. Selain itu, bagian studi pustaka bertujuan untuk memperlihatkan fokus arah penelitian ini dan sudut pandang yang digunakan. Pergerakan sosial-politik Ikhwanul Muslimin hari ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran pendirinya yaitu Hassan al-Banna, yang coba dijelaskan oleh Mahfud Ihsanudin (2009), dalam penelitiannya yang berjudul “Pemikiran Politik Hassan alBanna dan pengaruhnya terhadap Mesir tahun 1928-1949 M”.35 Dalam tulisan tersebut menggambarkan bahwa pemikiran Hassan al-Banna sangat dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi pada saat itu. Karena kelahiran Hassan al-Banna pada tahun 1906
Ihsanudin Mahfud, “Pemikiran Politik Hassan al-Banna dan Pengaruhnya Terhadap Mesir Tahun 1928-1949 M” (Skripsi: Unversitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009) 35
14
bertepatan dengan semakin rapuhnya Khilafah Islam Turki Utsmani, khilafah islamiyah terakhir yang menandai berakhirnya kekhalifahan Islam. Ditambah dengan datangnya penjajah Barat di Mesir membawa dampak terhadap tumbuhnya paham sekularisme di Mesir. Pada saat itu para ilmuan dan cendikia pun tak luput oleh doktrin sekularisme Barat, hal tersebut mempermudah para penjajah untuk mempengaruhi cara pandang masyarakat Mesir. Mereka mengatakan bahwa agama adalah urusan pribadi, siapa yang ingin maju maka tinggalkanlah simbol-simbol keagamaan. Keadaan tersebutlah Hassan al-Banna yang sejak muda telah aktif di organisasi-organisasi Islam, membentuk “jama’ah al-ikhwan al-muslimin”. Hassan al-Banna dianggap sebagai pionir kebangkitan peradaban Islam setelah runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani. Hassan al-Banna mengatakan bahwa politik artinya memikirkan persoalan internal dan eksternal umat. Dengan gamblang ia mengaitkan antara aqidah dan aktivitas politik. Ia berkata: “Sesungguhnya seorang muslim belum sempurna keislamannya kecuali ia menjadi seorang politikus, mempunyai pandangan jauh kedepan dan memberikan perhatian penuh kepada persoalan bangsanya, keislaman seseorang menuntutnya untuk memberikan perhatian kepada persoalan bangsanya”.36
Pemikiran Hassan al-Banna yang menganggap bahwa setiap Muslim itu harus mempelajari dan menjalani Islam secara kafah (menyeluruh), hal tersebut yang menyebabkan Ikhwanul Muslimin berkembang dengan cepat. Dalam tulisan tersebut menjelaskan situasi dan kondisi politik dan da’wah Islam di Mesir pada tahun 19281949, biografi Hassan al-Banna mempengaruhi latar belakang berdirinya Ikhwanul Muslimin. Dan dalam tulisan tersebut juga menjelaskan tentang bentuk dan model Utsman, Abdul Mu’iz Ruslan Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, Ed. Jasiman, Hawin Murtadho. Salafudin (Solo: Era Intermedia, 2000), 72-73 36
15
pemikiran politik Hassan al-Banna sebagai Mursyid ‘Am37 pertama Ikhwanul Muslimin, dan mengetahui dampak dan pengaruh aksi, pergerakan dan kebijakan politik Ikhwanul Muslimin terhadap masyarakat dan pemerintahan Mesir. Skripsi dari Rizfa Amalia (2012), menjelaskan dinamika politik Mesir di bawah kekuasaan Hosni Mubarak, dengan judul “Kebijakan-kebijakan Hosni Mubarak di Mesir 1981-2011”38 Dalam penelitian ini menjelaskan pengaruh kebijakan Hosni Mubarak terhadap kondisi sosial-politik Mesir pada saat itu. Penelitian tersebut mencoba untuk menjelaskan kebijakan-kebijakan yang di lakukan oleh Hosni Mubarak, yang nantinya kebijakan tersebut merupakan strategi politik Mubarak untuk dapat tetap berkuasa selama 30 tahun. Penelitian tersebut menemukan adanya tiga kebijakan spesifik yang terdapat dalam pemerintahan Hosni Mubarak yaitu kebijakan yang pertama ialah kebijakan politik dengan cara membuat kekuatan militer yang besar, kebijakan security act, dan kebijakan tidak adanya peraturan pembatasan waktu untuk menjabat sebagai presiden di Mesir, yang kedua yaitu kebijakan dalam bidang agama yaitu dengan cara menindak kelompok-kelompok Islam di Mesir. Karena kelompok-kelompok Islam tersebut merupakan sebuah ancaman bagi Hosni Mubarak yang dapat mengganggu kekuasaannya. Kebijakan ketiga merupakan kebijakan ekonomi dengan cara menyejahterakan rakyat, yaitu memberlakukan sistem ekonomi terbuka, reformasi ekonomi dan mendapatkan bantuan-bantuan dari luar negeri, berupa pinjaman dari International Monetary Fund (IMF) dan Amerika Serikat Serikat.
Mursyid ‘Am adalah pimpinan atau ketua umum. Amalia Rizfa, “Kebijakan-Kebijakan Hosni Mubarak di Mesir (1981-2011)” (Skripsi: Universitas Indonesia, 2012) 37 38
16
Penelitian yang dilakukan oleh Ananda Indara (2011), menjelaskan bagaimana pergerakan massa di Mesir mampu mempengaruhi sruktur pemerintah yang ada. Dengan penelitian yang berjudul “Gerakan massa di Mesir dan Jatuhnya Rezim Hosni Mubarak”39 temuan dalam penelitian ini adalah kondisi masyarakat Mesir yang menuntut untuk pergantian rezim dan terciptanya Mesir menjadi Negara yang terbuka dan demokratis. Sejak terjadinya Arab Spring,40 pemerintahan Hosni Mubarak juga menjadi sasaran protes massa di Mesir. Di mana rakyat Mesir menuntut mundur Presiden Hosni Mubarak yang telah memimpin Mesir selama 30 tahun. Protes tersebut berujung, pada keberhasilan, yang pada akhirnya Hosni Mubarak mundur dari jabatannya sebagai Presiden. Penelitian tersebut menganalisis dan menjelaskan faktor apa saja yang menyebabkan revolusi politik di Mesir pada 2011. Berdasarkan data dan teori yang didapat dalam penelitian tersebut, peneliti menyimpulkan ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya revolusi di Mesir pada 2011, faktornya yaitu kekecewaan rakyat Mesir terhadap kondisi sosial, politik dan ekonomi Mesir saat itu. Dikarenakan rezim Hosni Mubarak yang otoriter dan dominasi militer yang kuat didalam negara. Korupsi di tataran elit politik Mesir pun menjadi faktor penyebab kemarahan rakyat Mesir tetrhadap rezim Hosni Mubarak. Dari masalah-masalah tersebut faktor yang mendukung terjadinya revolusi di Mesir yaitu adanya dukungan
Indara Ananda, “Gerakan Masa Di Mesir dan Jatuhnya Rezim Hosni Mubarak” (Skripsi, Universitas Jember, 2011) 40 Arab Spring adalah Fenomena yang terjadi di timur tengah, dengan terjadinya gejolak-gejolak di negara-negara Timur Tengah yang menjadikan Negara tersebut lapangan peperangan atau pemberontakan. 39
17
dan bantuan dari organisasi dan tokoh untuk memobilisasi rakyat Mesir untuk dapat melakukan pergerakan protes untuk menurunkan rezim Hosni Mubarak. Tesis yang dilakukan oleh Serpil Acikalin (2011), dari The Graduate School of Social Sciences of Middle East Technical University dengan judul “Muslim Brotherhood Relationship with Egyptian Goverments from 1952 to 2008: An Accomodational and Confrontational Relationship”41 Tesis ini menganalisis tentang hubungan fluktuatif antara Ikhwanul Muslimin dengan tiga masa kepemerintahan Mesir pasca revolusi yaitu Periode Nasser, Anwar Sadat dan Hosni Mubarak. Penelitian ini berargumen bahwa pada awalnya Ikhwanul Muslimin dan Pemerintahan Mesir saling mengakomodasi kepentingan satu sama lain selama proses pemerintahan yang dilegitimasi. Tetapi setelah Ikhwanul Muslimin mulai untuk melakukan konsesi pemerintah untuk masuk ke dalam lingkup sosial dan politik, gerakan ini mulai dipandang sebagai ancaman bagi pemerintah Mesir. Akibatnya hubungan di antara mereka berbalik menjadi konfrontasi. Dalam penelitian tersebut menganalisis perputaran hubungan antara Ikhwanul Muslimin dan Mesir yang dahulunya bersifat akomodatif menjadi konfrontatif. Penelitian tersebut khususnya melihat strategi politik dari kedua belah pihak dalam melindungi pengaruh mereka di Mesir, dengan memperhatikan isu-isu domestik Mesir, dinamika internal Ikhwanul Muslimin dan suasana internasional.
Acikalin Serpil, “Muslim Brotherhood Relationship with Egyptian Goverments from 1952 to 2008: An Accomodational and Confrontational Relationship” (Thesis: The Graduate School of Social Science of Middle East Technical University, 2009) 41
18
Skripsi yang ditulis oleh Ulil Amri (2014), mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin. Berjudul “Masa Depan Mesir Pasca Pemerintahan Hosni Mubarak”42, skripsi tersebut mencoba untuk menjelaskan langkah – langkah pemerintah dalam proses transisi politik Mesir, serta masa depan demokrasi Mesir paska jatuhnya pemerintahan Hosni Mubarak. Penelitian tersebut menganggap bahwa keberhasilan demokratisasi Mesir sangat ditentukan oleh dua faktor, yaitu konsolidasi demokrasi antarpelaku politik dan penyelamatan perekonomian Mesir dari krisis. Namun dalam proses untuk mencapai hal tersebut terdapat banyak tantangan besar yang dihadapi, kondisi ekonomi Mesir yang memburuk dan dinamika sosial-politik Mesir yang tidak stabil merupakan pekerjaan rumah pemerintah untuk memperbaikinya. Hal itu disebabkan karena selama 30 tahun rezim Hosni Mubarak berkuasa, secara tidak langsung membentuk sistem politik dan pemerintahan yang otokrasi. Selama rezim Mubarak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang politik, peningkatan angka korupsi, dan kegagalan terhadap kebijakan – kebijakan reformasi ekonomi, serta pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi melalui media masa. Setelah melihat beberapa penelitian yang disajikan di atas, penulis melihat dinamika politik yang pasang surut antara Ikhwanul Muslimin dan pemerintahan Mesir khususnya pada masa Hosni Mubarak. Selain itu penulis juga melihat upaya Ikhwanul Muslimin dalam mempengaruhi sosial politik di Mesir, demi terciptanya Negara Mesir yang sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran yang Islami.
Ulil Amri, “Masa Depan Mesir Pasca Pemerintahan Hosni Mubarak”, (Skripsi: Universitas Hasanuddin Makasar, 2014). 42
19
Dalam penelitian ini, peneliti memakai teori neo-Gramsci dengan konsep Counter Hegemony dan konsep Transnational Civil Society untuk mengupas fenomena yang terjadi terkait dengan kajian dalam penelitian ini, di penelitian ini penulis membahas strategi sosial-politik gerakan Ikhwanul Muslimin dalam proses Counter Hegemony terhadap Sekularisme yang terjadi di era pemerintahan Hosni Mubarak. 1.7 Kerangka Konseptual Peneliti memakai pendekatan neo-Gramsci sebagai perspektif dalam menganalisis fenomena yang berkaitan dengan penelitian ini. Meminjam sebuah kalimat terkenal dari Robert Cox yang berbunyi: “Theory is for someone and some purpose”43, dengan kata lain pengetahuan tidak pernah menjadi objektif dan abadi seperti yang di klaim kaum Realis. Cox mengkritik cara pandang realisme dan neorealisme yang menurutnya realisme dan neo-realisme ditujukan untuk melayani kepentingan elit-elit yang berkuasa dan bertujuan untuk melegitimasi status quo, maka dari itu Cox membedakan antara problem solving theory yang hanya menerima parameter dari order yang sudah ada dan critical theory yang berupaya untuk menentang order yang ada dengan cara mencari, menganalisis, dan mendukung proses sosial yang dapat mengarah pada perubahan emansipatoris.44 Kepercayaan dasar atas pemikiran Gramsci bahwa apapun bentuk masyarakat dan dimanapun masyarakat itu berada, mereka senantiasa membentuk dua kubu yaitu
43
Robert Cox and Timothy J. Sinclair, Approaches to World Order, (Cambridge: Cambridge University Press, 1996). 44 Ranny Emilia, Buku Ajar Teori-Teori Hubungan Internasional, (Padang: Universitas Andalas, 2009), 92.
20
kubu yang mengatur (Ruling Class) dan kubu yang diatur (Ruled Class).45 Dalam dinamika interaksi sosial khususnya dalam bernegara secara tidak langsung membentuk kelompok mayoritas dan minoritas atau kelompok yang mendominasi dan kelompok yang didominasi. Menurut Gramsci, dalam struktur masyarakat yang berkelas-kelas, terdapat peranan satu elemen penting dalam masyarakat yang dinamai Modern Prince. Gramsci’s Modern Prince merupakan sebuah konsep yang terinspirasi dari konsep the Prince yang di kemukakan oleh Machiavelli, tetapi Gramsci berpendapat bahwa konsep tersebut sudah tidak relevan untuk diaplikasikan dalam dunia yang modern. Maka dari itu muncul konsep modern prince yang bagi Antonio Gramsci ialah sebuah bentuk ekspresi dan keinginan-keinginan kolektif yang popular dalam suatu negara, modern prince bukan berarti dapat tergambar oleh figur personal atau individu. The modern prince bagi Gramsci ialah sebuah organisme atau sebuah elemen-elemen kompleks dalam masyarakat yang memiliki keinginan kolektif yang telah diakui secara bersama dan hal itu di realisasinya menjadi aksi-aksi kolektif.46 Gramsci melihat makna Prince dalam buku yang ditulis oleh Machiavelli bisa dimaksudkan kepada kepala negara atau pemimpin atas suatu pemerintahan, tetapi bagi Gramsci makna Prince dalam konteks perpolitikan modern ialah berupa pemimpinpemimpin politik yang bertujuan untuk menguasai negara atau berkeinginan untuk merubah negaranya sesuai dengan ideologi yang dipercaya, jadi dapat disimpulkan
45
Antonio Gramsci, Selection Prison Notebook, Ed. Q. Hoare and G. Nowell-Smith (New York: International Publisher, 1971). 17. 46 https://www.marxists.org/history/etol/writers/molyneux/1978/party/ch06.htm (diakses pada 18 april 2016)
21
bahwa makna Prince bagi Gramsci dalam kondisi dunia yang modern dapat direpresentasikan oleh aktifitas yang dilakukan oleh partai politik.47 Maka dari itu dalam penelitian ini, peneliti melihat bahwa organisasi Islam Ikhwanul Muslimin ialah bentuk Modern Prince dalam dinamika sosial-politik di suatu wilayah yang dikatakan oleh Gramsci sebelumnya. Mengingat pemikiran Gramsci yang cenderung terbatas dilingkup kedaulatan negara, disini peneliti memakai perspektif atau paradigm penerus Gramsci yaitu neo-gramsci. Perspektif tersebut dipelopori oleh ahli hubungan internasional yang bernama Robert Cox, yang nantinya Cox membawa dasar-dasar pemikiran Gramsci ke dalam analisis di level sistem internasional. Robert Cox, menjadi tokoh yang penting dalam melanjutkan pemikiranpemikiran Gramsci sebelumnya.48 Sebagai pionir dalam pemikiran neo-Gramsci mengenai analisis tatanan dunia dan hubungan internasional bagi Cox, Gramsci menganggap hegemoni bukan hanya sekedar dominasi secara koersif, sanksi, hukuman dan kekerasan, tetapi lebih dari itu hegemoni juga melibatkan dominasi terhadap intelektual (nilai) dan moral.49 Cox mengatakan bahwa konsep hegemoni yang dikatan Gramsci merupakan gabungan antara dominasi secara material dan juga ide, hegemoni terbentuk melalui kesepakatan ide, nilai dan norma yang disetujui secara sadar antara kelompok dominan dan subordinat.50
47
Ibid. Ozcelik Sezai, “Neorealist and Neo-Gramscian Hegemony in International Relations and Conflict Resolution During the 1990’s”, George Mason University, (Washington: 2005), 15. 49 Ibid. 12. 50 Ibid. 48
22
Menurut Cox, hegemoni merupakan struktur nilai dan kesepahaman bersama terhadap suatu tatanan yang masuk dan disepakati dalam seluruh sistem negara dan entitas non-negara.51 Dalam tulisannya Cox secara impresif menganalisis peran pilar Social Forces, Form of State, dan World Order dalam hegemoni di tatanan internasional.52 Gambar 1.1 Hegemony and World Order Social Force
Form of State
World Order
Sumber: Robert Cox, Social Forces, State and World Orders: Beyond International Relations Theory, (U.S.: Columbia University, 1986). 221.
Cox mengatakan bahwa pergerakan yang dilakukan oleh partai, gereja, pendidikan, jurnalis, dan seniman dimasukan kedalam golongan Social Force, sedangkan Form of State merupakan bentuk dari institusi pembuat regulasi terhadap masyarakat (Pemerintahan).53 Cox mengonsepkan bahwa semua struktur merupakan hasil dari interaksi antara tiga variabel tersebut, hal itu juga menjelaskan bahwa terbentuknya tatanan yang stabil adalah hasil dari keseimbangan antara ide dominan, institusi dan kapasitas material.54
51
Robert Cox, Social Forces, State and World Orders: Beyond International Relations Theory, (U.S.: Columbia University, 1986). 219. 52 Ibid. 140 53 Ibid. 54 Ibid. 218
23
Gambar 1.2 Structural Forces Ideas
Material Capabilities
Institutions
Sumber: Robert Cox, Social Forces, State and World Orders: Beyond International Relations Theory, (U.S.: Columbia University, 1986). 218.
Hegemoni dalam tatanan internasional tidak terlepas dari struktur sosial, ekonomi dan politik. Coxian menganggap bahwa hegemoni berimplikasi terhadap kebutuhan terhadap perubahan struktur global dan tatanan dunia dalam konteks dinamika dan dialektika secara etika, ideologi, dan praktikal.55 Penggunaan kekuatan koersif seringkali menjadi kurang relevan lagi ketika konsensus dibangun pada basis nilai-nilai, ide-ide dan kepentingan material yang samasama dianut oleh kelompok penguasa maupun kelompok subordinat. Hal terpenting dalam proses ini adalah ide dan institusi semacam itu dipandang sebagai hal yang wajar dan dilegitimasi oleh masyarakat.56 Dominasi-dominasi negara tidak hanya terbatas dilevel kedaulatan wilayahnya, tetapi suatu negara mampu mengkonstitusionalkan dominasinya ditatanan global. Hegemoni sebuah negara ditatanan global tersebut dinamai the Internationalization of the State. Karakter utama dari konsep the Internationalization of the State ialah sebuah
55
Stephen Gill and David Law, Global Hegemony and the Structural Power of Capital, (New York: Cambridge University Press, 1993), 94. 56 Legitimasi adalah secara resmi kekuasaan yang didukung dan disetujui secara konsensus oleh masyarakat suatu Negara atau wilayah.
24
paradox atas dominasi suatu negara terhadap aturan dan dinamika global. 57 Di waktu yang sama dalam level internasional, proses internasionalisasi tersebut disebabkan oleh meningkatnya peran dari aparatur-aparatur institusi internasional. Hal ini mengacu kepada badan dan institusi yang sudah lama terbentuk seperti World Bank, International Monetary Fund (IMF), NATO dan EU, atau badan-badan yang terbentuk atas perjanjian-perjanjian tertentu seperti GATT dan WTO. Pengaruh institusi dan badan internasional tersebut sampai ke negara-negara didunia, menurut Cox dibalik otoritas dan aktifitas institusi internasional terdapat hubungan yang kuat dengan kepentingan suatu negara. Khususnya negara yang mempunyai kekuatan yang cukup kuat di dunia yaitu Amerika Serikat, mencoba untuk menjaga kepentingannya di forum dan badan internasional melalui aparatur negaranya yang
beraktifitas
di
tempat
tersebut.
Cox
mengatakan
bahwa,
konsep
Internationalization of the State bertujuan untuk menjelaskan bagaimana dinamika hubungan internasional berada dibawah kepemimpinan negara hegemonik global, atau negara-negara yang beraliansi secara ekonomi politik.58 1.7.1 Counter Hegemony Perjuangan terhadap penindasan tidak bisa dipaksakan dari atas (negara), hal tersebut harus dibangun dari bawah, dengan memperluas partisipasi masyarakat secara terus-menerus. Ini merupakan proses yang kemungkinan memerlukan waktu yang
57
Brand, U, Gorg, C, Hirsch, J, and Wissen, M, Conflicts in Global Environmental Regulation and the Internationalisation of the State. Contested Terrains. (New York, 2008). 626. 58 Ibid.
25
panjang.59 Langkah menuju transisi kekuasaan dilakukan dengan membangun hegemoni tandingan (Counter Hegemony) oleh gerakan sipil dan ini membutuhkan proses reformasi moral dan ideologi yang panjang. Kekuatan sosial tidak dapat dianggap sebagai kekuatan yang terpisah dari institusi negara, bahkan kekuatan sosial tertentu mungkin mengalir menembus batasanbatasan negara. Dan dunia dapat digambarkan sebagai pola struktur global dari kekuatan-kekuatan sosial dan konfiguritas lokal kekuatan sosial di negara tertentu. Power terbentuk dan muncul dari proses sosial dan bukan serta merta diterima begitu saja dalam bentuk kapabilitas material yang terakumulasi.60 Kekuatan sosial bukan sekedar kepentingan dari kelompok-kelompok yang hanya berusaha untuk memodifikasi perilaku negara-negara yang sudah ada sebelumnya, tetapi kelompok tersebut lebih secara aktif terlibat dalam kompleksitas masyarakat, bentuk negara dan tatanan dunia. Singkatnya kekuatan-kekuatan sosial itu bagian integral dari struktur historis negara dan tatanan dunia.61 Bagi Gramsci setiap orang adalah intelektual, namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual.62 Gramsci mengkategorikan dua bentuk intelektual yang membedakan fungsinya dalam masyarakat. Pertama yaitu Traditional Intellectual yaitu intelektual yang bersifat inklusif yang mereka hanya menjalankan peran dalam
59 Roger Simon, Gramsci’s Political Thought, Ed. INSIST & Perpustakaan Pelajar (Yogyakarta: INSIST dan Pustaka Pelajar, 2004), 68. 60 Robert Cox, Gramsci, Hegemony and International Relations: An Essay in Method (U.K.: Cambridge University Press, 1983), 141. 61 Edkins Jenny dan Williams V Nick, Teori –Teori Kritis Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional, Ed. Pustaka (Indonesia: Pustaka Pelajar, 2013), 83. 62 Roger Simon, Gramsci’s Political Thought, Ed. INSIST & Perpustakaan Pelajar (Yogyakarta: INSIST dan Pustaka Pelajar, 2004), 141.
26
bidangnya masing-masing, dan dalam masyarakat intelektual tradisional hanya menerima dan menjalankan begitu saja sistem yang sudah ada. Berbeda dengan Organic Intellectual yang merupakan intelektual yang memiliki kesadaran dan kemampuan untuk melihat keadaan yang dirasakan oleh kelompok subordinat dan intelektual organik juga mampu menjalankan fungsi sebagai organisator dalam proses Counter Hegemony ke semua lapisan masyarakat, wilayah produksi, politik dan budaya.63 Intelektual organik-lah nantinya yang menjadi kelompok intelektual yang memiliki peran penting dalam proses Counter Hegemony. Menurut Cox, proses Counter Hegemony perlu melibatkan konektifitas kekuatan sosial-politik yang luas, hal itu disebut dengan Historical Bloc yaitu hubungan yang komperhensif antara wilayah aktivitas politik, etnik maupun ideologi dengan wilayah ekonomi.64 Terlihat bahwa bentuk blok historis yang berhasil ialah bentuk relasi yang natural antara Political Society dan Civil Society dalam hal membangun kesepahaman intelektual dan moral.65 Civil Society (masyarakat sipil) merupakan bentuk entitas yang mencangkup komunitas atau organisasi swasta seperti gereja, serikat dagang, partai politik, dan asosiasi budaya yang berbeda dari proses produksi dan aparat negara. Semua organisasi yang membentuk masyarakat sipil ini merupakan hasil dari jaringan kerja, praktikpraktik dan hubungan-hubungan sosial yang bersifat kompleks.66 Sedangkan yang
63
Ibid, 142. Robert Cox, Governance without Government: Order and Change in World Politics, eds. James N. Rosenau and Ernst-Otto Czempiel, (Cambridge: Cambridge University Press, 1992). 141. 65 Robert Cox and Timothy J. Sinclair, Approaches to World Order, (Cambridge: Cambridge University Press, 1996). 112. 66 Ibid. 102. 64
27
dimaksud dengan Political Society (masyarakat politik) ialah bentuk dari hubunganhubungan koersif yang terwujud dalam berbagai lembaga negara, seperti aparatur administrasi negara, angkatan bersenjata, polisi dan lembaga hukum. Isilah masyarakat politik bukanlah pengganti bagi istilah negara, namun istilah ini bertujuan untuk menunjukkan pada hubungan-hubungan koersif yang terdapat pada aparatur negara.67 Istilah Historical Bloc menyatakan suatu aliansi antara berbagai kekuatan sosial (kelas-kelas), tidak sama dengan hubungan yang dipersatukan secara politis yang hanya didasari oleh kepentingan politik. Tetapi lebih dari itu blok historis merupakan bentuk aliansi atau persatuan ide-ide yang didasari oleh pandangan dunia secara koheren dan kepentingan bersama yang terlepas dari persoalan kekuasaan dalam masyarakat dan ekonomi.68 Formulasi blok historis yang baik yaitu dimana adanya kemampuan pemimpin blok untuk membuat argumen dari ide-ide secara persuasif sekaligus menguniversalkannya ke kelas-kelas yang lain. Tanggung jawab untuk membangun sebuah blok historis adalah untuk menguniversalisasikan nilai, ide, dan pandangan kelompok tertentu dengan tujuan untuk mengorganisasikan persetujuan dan partisipasi kelompok subordinat lainnya, hal tersebut juga dilakukan sebagai alat untuk membangung blok kekuatan baru dalam menandingi hegemoni kelas dominan.69 Consensus diperlukan dalam proses membentuk blok historis, yaitu melakukan pembangunan-pembangunan kesadaran dan melakukan pengaruh-pengaruh intelektual
67
Ibid. 104. Sugiono Muhadi, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 44. 69 John Hofman, “The Gramscian Challenge; Coercion and Consent in Marxist Political Theory”, (Blackwell, 1984) 68
28
seperti ideologi, kultur, nilai dan norma terhadap kelompok subordinat lainnya merupakan suatu keniscayaan.70 Proses Counter Hegemony tidak hanya selesai sampai membangun blok historis, lebih dari itu Gramsci mengkategorikan terdapat dua cara dalam mencapai Counter Hegemony, yang pertama yaitu: War of Maneuver perlawanan yang berorientasi pada tindakan agresif dan koersif untuk mendemonstrasikan dan melawan hegemoni kelas dominan. Dalam pandangan Gramsci bagaimanapun juga War of Maneuver ini hanya bisa dilakukan dalam kondisi khusus, yaitu di negara-negara terbelakang.71 Negara terbelakang yang dimaksud sebelumnya ialah dalam konteks hubungan Negara dengan masyarakat sipil, ketika posisi negara adalah segalanya sedangkan masyarakat sipil hanyalah primodial yang sangat rapuh kekuatan sosial politiknya. Sedangkan di negara modern terdapat hubungan yang layak antara negara dan kekuatan sosial, dan disana kekuatan sosial dapat berkembang dengan baik. Cara kedua adalah War of Position, di mana cara ini merupakan bentuk dari strategi perjuangan untuk merebut kekuasaan. Perjuangan di sini adalah upaya untuk menghancurkan atau menghilangkan ideologi, norma, nilai dan pengaruh sosial politik kelas yang berkuasa dengan pentingnya peran konsensus.72 Dengan kata lain perang posisi disini ialah proses transformism73 untuk menghancurkan sebuah hegemoni dan menggantikannya dengan hegemoni lain.74
70
Ibid. 89. Roger Simon, Gramsci’s Political Thought, Ed. INSIST & Pustaka Pelajar (Yogyakarta: INSIST dan Pustaka Pelajar, 2004), 119. 72 Ibid. 121. 73 Upaya menanamkan nilai-nilai aktif yang berasal dari kelompok-kelompok yang bersekutu, bahkan yang berasal dari kelompok lawan dengan cara yang efektif. (Selection Prison Notebook, 58-59) 74 Ibid. 129. 71
29
Perang posisi merupakan sebuah fase wajib bagi keberhasilan revolusi dalam masyarakat kontemporer, dimana pertarungan ide-ide memiliki yang peran penting. Konsep tersebut sudah jelas menggambarkan bagaimana kekuatan nilai dan ideologi mampu menjadi sebuah instrumen dominasi yang membuat suatu kelas yang mendominasi mendapatkan legitimasi untuk berkuasa.75 1.7.2 Transnational Civil Society (TCS) Sejak pencerahaan yang terjadi di abad 19-an, konsep Civil Society diasumsikan telah berkembang ke dimensi transnasional yang telah menarik minat sarjana dan peneliti.76 Definisi dari transnational civil society datang dari beberapa asumsi, salah satunya yaitu sekelompok yang berasal dari non-pemerintahan yang memiliki ide dan nilai tertentu untuk diperjuangkan. Kegiatan tersebut dikatakan transnasional karena mereka secara aktif membangun hubungan dengan jejaring regional maupun internasional, bentuk transnational civil society bisa bersifat formal yang memiliki struktur dan keanggotaan yang jelas di setiap negara, tetapi juga bisa berbentuk informal yang hanya bersifat koalisi antarbatas negara dari suatu asosiasi dan organisasi masyarakat sipil. Kegiatannya bisa berupa kampanye internasional terhadap suatu isu.77 Transnational Civil Society adalah aktor sipil yang bergerak dalam aktivitasaktivitas yang melampaui batas negara, atau aktivitas domestik yang memiliki kaitan dengan aktor lain di luar batas kedaulatan negaranya. TCS merupakan sekumpulan
75
Ibid. Margaret Keck and Kathryn Sikkink, “Activists Beyond Border: Advocacy Networks in International Politics”, Cornell University Press, (New York, 1988) 77 Ibid. 76
30
kelompok yang terkoneksi satu sama lain dalam sekop jejaring regional maupun internasional. Walaupun banyak dari literatur pada masa 1990an mengatakan bahwa transnational civil society telah menjalankan perannya ditatanan global ber abad-abad yang lalu. Peran tersebut sama tua nya seperti apa yang dilakukan oleh agama. Menurut Susanne Hoeber dalam bukunya, yaitu: “Religious communities are among the oldest of transnational: Sufi orders, Catholic missionaries, Buddhist monks carried word and praxis across vast spaces before those places become nation states or even states. Such religious peripatetic were version of civil society”. 78
Dalam pergerakannya biasanya masyarakat sipil memilih cara yang lebih lembut, seperti pendekatan moral atau yang bisa disebut sebagai kemampuan untuk membentuk bagaimana pihak lain dapat melihat kepentingannya (kemampuan persuasif). Tujuan umum dari aktivitas transnational civil society sebagai aktor kritis dalam tatanan internasional adalah untuk mengevaluasi norma-norma internasional, yaitu norma yang mengatur bagaimana pemerintahan, perusahaan-perusahaan dan entitas lainnya dalam bertingkah laku.79 Beberapa norma tersebut secara ekplisit ada tertuang dalam perjanjian atau deklarasi, seperti contoh standar hak asasi manusia, konvensi pengawasan senjata nuklir, dan yang lainnya. Dalam upaya untuk membentuk norma tersebut, TCS memiliki dua cara perjuangan: pertama secara langsung dengan pendekatan persuasif kepada pembuat kebijakan dan pimpinan-pimpinan korporasi untuk merubah
78
Susanne Hoeber Rudolph, Introduction: Religion, States, and TCS in Transnational Religion and Failing States,” ed. S.H. Rudolph and J. Piscatori (Boulder, Colo: Westview Press, 1997) 79 Srilatha Batliwala and David L. Brown, Review of Transnational Civil Society: An Introduction, by Ala Jacqui, International Relations University of the Witwatersrand, Johannesburg, South Africa, (2011) 2.
31
pikirannya tentang apa yang sebaiknya dilakukan, dan juga secara tidak langsung adalah dengan menyadarkan persepsi publik terhadap apa yang harusnya pemerintah dan perusahaan lakukan.80 Kemampuan TCS untuk mempengaruhi seseorang pembuat kebijakan untuk mendengarkan dan melakukan apa yang menjadi aspirasinya itu merupakan kredibilitas yang perlu dimiliki unit TCS. Kompleksitas isu dan masalah yang dihadapi negara ataupun tatanan global secara keseluruhan, menyebabkan kolaborasi internasional diperlukan untuk menangani dan mendapatkan solusi yang efektif. Kemajuan dalam teknologi komunikasi dan transportasi membuat peran dan aktivitas TCS berkembang secara signifikan, karena pada saat yang bersamaan masalah domestik ataupun global tidak mampu hanya diatasi oleh negara.81 Hal itu menjadikan transnational civil society sebagai aktor yang penting dalam arena internasional. 1.8 Metodologi Penelitian Metodologi dalam sebuah penelitian digunakan sebagai prosedur bagaimana pengetahuan tentang fenomena yang ada dapat diperoleh. Metode penelitian juga membantu peneliti untuk melakukan penelitian secara sistematis dan konsisten, sehingga nantinya didapatkan data dan hasil penelitian yang baik seperti yang diharapkan.
80
Ibid, 2. Srilatha Batliwala and L. David Brown (eds.), “Transnational Civil Society: An Introduction, Bloomfield”, CT’ Kumarian Press Inc, (2006). 81
32
1.8.1
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Berpedoman pada judul dalam penelitian ini, yaitu “Counter Hegemony Ikhwanul Muslimin terhadap Sekularisme di Era Pemerintahan Hosni Mubarak”, Peneliti menggunakan jenis metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode penelitian yang menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah. Adapun proses penelitian kualitatif melibatkan upaya-upaya penting,
seperti
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan
dan
prosedur-prosedur,
mengumpulkan data yang spesifik, menganalisis data secara induktif dan menafsirkan makna dari data yang telah didapat.82 Dengan menggunakan metode penulisan deskriptif, peneliti mencoba menjelaskan bagaimana upaya Ikhwanul Muslimin dalam proses Counter Hegemony terhadap sekularisme yang terjadi di era Hosni Mubarak. Penggunaan metode penulisan deskriptif ini ditujukan agar mampu menggambarkan, dan menyampaikan masalah yang diteliti secara cermat dan lengkap. 1.8.2
Batasan Penelitian
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah upaya Ikhwanul Muslimin dalam proses Counter Hegemony terhadap sekularisme di era pemerintahan Hosni Mubarak di Mesir. Batasan waktu yang penulis gunakan untuk melihat strategi pergerakan Ikhwanul Muslimin tersebut adalah selama masa pemerintahan Hosni Mubarak, khususnya dari keikutsertaan Ikhwanul Muslimin dalam pemilihan parlemen Mesir pada tahun 2005 sampai pada revolusi Mesir di tahun 2011. Dalam rentang waktu
John W. Creswell. “Reasearch Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Method Approaches 4th Edition”, California, SAGE Publications (2013). 82
33
tersebut peneliti menganalisis dinamika sosial-politik yang signifikan dan yang terkait dengan penelitian ini. Koteks-konteks yang dipelajari terdapat di berbagai tingkat nasional, regional dan internasional. Penelitian ini bersifat historis, artinya kejadian-kejadian yang sudah berlangsung di masa lalu menjadi referensi yang penting dalam analisis penelitian ini, karena penelitian neo-Gramsci menganggap bahwa suatu fenomena atau kejadian tidak serta merta terjadi tetapi terdapat penyebab dan proses kausalitas yang terjadi sebelumnya. Jadi mencari dan menyelidiki material historis dari isu dalam penelitian ini menjadi hal yang penting untuk dilakukan. 1.8.3
Unit dan Tingkat Analisis
Unit analisis merupakan unit yang perilakunya hendak dideskripsikan, dijelaskan, dan dianalisis dalam sebuah penelitian. Dalam penelitian ini unit analisisnya adalah Ikhwanul Muslimin sebagai transnational civil society dan tingkat analisisnya adalah Sistem Internasional.83 1.8.4
Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Peneliti menggunakan sumber data sekunder berupa jurnal, berita, artikel, rekaman pidato, dan dokumen serta publikasi yang berkaitan dengan penelitian ini. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah studi kepustakaan. Kegiatan penelitian yang dilakukan adalah pertama mencari dan mempelajari sumber-sumber informasi berupa penelitian-penelitian sebelumnya, jurnal-jurnal, referensi-referensi dan dokumen terkait penelitian ini. Kemudian yang
Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1994).42. 83
34
terakhir, setelah data terkumpul dan disaring, penulis menganalisis data dengan menggunakan konsep yang telah dijelaskan sebelumnya. 1.8.5
Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses berkelanjutan yang membutuhkan refleksi mendalam yang terus menerus terhadap data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan analitis dan menuliskan catatan singkat sepanjang penelitian. Teknik analisis data akan sangat peneliti butuhkan dalam penelitian ini dikarenakan data yang diperoleh dalam pencarian akan sangat banyak. Teknik analisis data dalam penelitian ini berangkat dari perjuangan sosialpolitik yang dilakukan oleh Ikhwanul Muslimin dalam upaya untuk menghilangkan sekularisme di Mesir pada masa Pemerintahan Hosni Mubarak. Peneliti melihat bahwa Ikhwanul Muslimin merupakan transnational civil society yang pergerakan dan pengaruhnya melewati lintas batas negara, dan Pemerintahan Hosni Mubarak dilihat sebagai representasi struktur hegemoni sekularisme global, dimana aktivitas dan perilakunya saling terkait dengan kondisi domestik, regional, dan internasional. Peneliti menggunakan Konsep Counter Hegemony yang ditawarkan neoGramsci dalam menganalisis perjuangan sosial-politik yang dilakukan oleh Ikhwanul Muslimin. Terdapat dua Cara dalam proses Counter Hegemony menurut neo-Gramsci, yaitu War of Maneuver contohnya adalah demonstrasi the Egyptian Movement for Change dan War of Position seperti pergerakan Islamic Trends yang dilakukan IM. Pemikiran dan asumsi dari konsep tersebut peneliti gunakan sebagai pisau analisis untuk membedah bentuk dan strategi pergerakan yang dilakukan oleh Ikhwanul Muslimin. 35
Di proses analisis data peneliti memakai metode penelitian kualitatif dengan penulisan yang deskriptif agar tercapainya penelitian yang fokus dan koheren. Dan penelitian ini bersifat historis yaitu data dan kejadian dimasa lalu yang berkaitan dengan variabel penelitian menjadi sangat penting untuk dijelaskan. Karena dalam penelitian neo-Gramsci suatu fenomena tidak serta merta terjadi, karena ada proses kausalitas yang terjadi sebelumnya yang menjadikan penemuan data historis material menjadi sangat penting. 1.9 Sistematika Penulisan BAB I
: Pendahuluan. Merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan
masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, studi pustaka, kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Struktur Sekularisme Global dan Pengaruhnya Terhadap Dinamika Sosial-Politik Mesir di Era Pemerintahan Hosni Mubarak. Bab ini menjelaskan tentang awal mula lahirnya sekularisme, dan proses perkembangan dan penyebaran paham sekular di tatanan global. Lalu proses masuknya paham Sekular ke mesir dan mempengaruhi dinamika sosial-politik yang terjadi di masa pemerintahan Hosni Mubarak dan hubungannya dengan aktor lain di lingkup internasional. Perilaku dan kebijakan-kebijakan yang diambil selama Hosni Mubarak berkuasa, dan bagaimana dampaknya terhadap kondisi masyarakat Mesir menjadi fokus analisis di Bab ini.
36
BAB III
: Internasionalisasi Gerakan Islam Ikhwanul Muslimin.
Menjelaskan secara menyeluruh tentang Ikhwanul Muslimin dalam konteks tindakan Counter Hegemony nya terhadap sekularisme di pemerintahan Hosni Mubarak, mulai dari apa itu Ikhwanul Muslimin, apa yang menjadi latar belakang dibentuknya organisasi tersebut, bagaimana bentuk-bentuk upayanya, hingga respon masyarakat terhadap Ikhwanul Muslimin. BAB IV
: Analisis Tindakan Counter Hegemony Ikhwanul Muslimin Terhadap Sekularisme di Era Pemerintahan Hosni Mubarak.
Merupakan bagian temuan data yang menyajikan hasil analisis mengenai Counter Hegemony Ikhwanul Muslimin terhadap sekularisme di era pemerintahan Hosni Mubarak di Mesir. Deskripsi tersebut dianalisis dengan memakai kerangka konseptual neo-Gramsci dengan konsep Counter Hegemony dan konsep Transnational Civil Society, sehingga didapatkan hasil penelitian yang menjawab pertanyaan besar penelitian yang diangkat dalam penelitian ini. BAB V
: Penutup.
Merupakan BAB penutup yang berisikan kesimpulan dan saran dari penelitian ini.
37