BAB III STRUKTUR PUISI
3.1
Struktur Fisik Puisi Struktur fisik puisi disebut pula metode puisi. Media pengucapan
yang hendak disampaikan penyair adalah bahasa. Bahasa puisi bersifat khas, tidak sama dengan prosa. Seringkali terjadi penyimpangan bahasa yang dilanggar oleh para penyair terhadap kaidah dalam puisi. Atmazaki
(1993
:
70-83)
menjelaskan
pendapatnya
yang
menjelaskan bahwa sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang memungkinkan pelanggaran terhadap kaidah bahasa dalam puisi. Pertama karena penyair ingin
menyampaikan
pengalaman puitiknya.
Kedua karena adanya
pemadatan bahasa dengan menghilangkan berbagai unsur yang dianggap penyair dapat mengganggu pengucapan puitik. Ketiga karena kepiawaian penyair sendiri. Sedangkan Leech dalam Waluyo (1987 : 68) menyebutkan adanya sembilan jenis penyimpangan bahasa yang sering dijumpai dalam puisi. Tidak setiap puisi memiliki sembilan aspek penyimpangan itu, tetapi hanya memiliki salah satu atau beberapa aspek penyimpangan yang dominan. Aspek-aspek penyimpangan tersebut antara lain:
1.
Penyimpangan Leksikal Kata-kata yang digunakan dalam puisi menyipang dari kata-kata yang kita pergunakan sehari-hari. Penyair memilih kata-kata yang sesuai
24
25
dengan pengucapan jiwanya atau kata-kata itu disesuaikan dengan tuntunan estetis.
2.
Penyimpangan Semantis Makna dalam puisi tidak menunjukkan dalam satu makna, namun menunjuk pada makna ganda. Maka kata-kata dalam puisi tidak selalu sama dengan makna dalam bahasa sehari-hari juga tidak ada kesatuan makna konotatif dari penyair satu dengan penyair lainnya.
3.
Penyimpangan Fonologis Untuk kepentingan rima, penyair sering melakukan penyimpangan bunyi. Misalnya, kata ‘perih’ dalam puisi berubah menjadi ‘peri’, kata ‘melayang’ berubah menjadi ‘melayah’, dan sebagainya.
4.
Penyimpangan Morfologis Penyair sering melanggar kaidah morfologis dengan sengaja. Biasanya kata-kata yang digunakan penyair dalam puisinya tidak baku.
5.
Penyimpangan Sintaksis Dalam pembuatan puisi, penyair sering melalaikan penggunaan huruf besar pada permulaan kalimatnya dan tanda titik untuk mengakhiri kalimat itu. Sering pula pembaca menjadi sulit mencari kesatuan manakah yang dapat disebut sebagai satu kalimat dalam puisi. Baris-
26
baris puisi tidak harus membangun kalimat karena makna yang dikemukakan mungkin jauh lebih luas dari satu kalimat tersebut.
6.
Penyimpangan dalam penggunaan Dialek Penyair ingin mengungkapkan isi hatinya secara tuntas. Pengucapan isi hati dalam bahasa nasional di sutatu negara dirasa belum mewakili ketuntasan itu. Oleh sebab itu, penyair menggunakan kata-kata yang menyimpang dengan menggunakan dialek dalam puisinya.
7.
Penyimpangan dalam penggunaan Register Register adalah ragam bahasa yang digunakan kelompok atau profesi tertentu dalam masyarakat. Register juga disebut dialek profesi. Seringkali dialek profesi ini tidak diketahui secara luas oleh pembaca, apalagi jika register itu diambil dari bahasa daerah. Misalnya anak yang dihasilkan dari hubungan gelap disebut lembu peteng, dan sebagainya.
8.
Penyimpangan Historis Penyimpangan historis berupa penggunaan kata-kata kuno yang sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaannya dimaksudkan untuk mempertinggi nilai estetis.
9.
Penyimpangan Grafologis Dalam menggunakan kata-kata, larik dan baris, penyair sengaja melakukan penyimpangan dari kaidah bahasa yang biasa berlaku. Huruf
27
besar dan tanda-tanda baca tidak lagi dipergunakan sebagaimana mestinya. Hal itu digunakan penyair untuk memperoleh efek estetis.
Dalam struktur fisik puisi, terdapat unsur-unsur berupa kesatuan yang utuh. Unsur-unsur bentuk atau struktur fisik puisi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
3.1.1 Diksi Diksi disebut juga pemilihan kata. Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata, sebab kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu ditengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu, Waluyo (1987 : 72). Di samping memilih kata yang tepat, penyair juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan atau daya magis dari katakata tersebut. Kata-kata diberi makna baru dan yang tidak bermakna diberi makna menurut kehendak penyair. Leech dalam Djojosuroto (2005 : 16) menyatakan bahwa diksi yang dihasilkan oleh menyair memerlukan proses yang panjang. Penyair tidak menentukan sekali jadi diksi yang akan digunakan dalam puisi. Seorang penyair puisi menggunakan pemilihan kata yang cermat dan sistematis untuk menghasilkan diksi yang cocok dengan suasana. Kata-kata dalam puisi biasanya bersifat konotasi, dengan kata lain memiliki kemungkinan makna yang lebih dari satu. Kata-katanya dipilih yang puitis artinya mempunyai efek keindahan dan berbeda dari kata-kata
28
yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata-kata yang cermat ini, orang akan langsung tahu bahwa itu adalah puisi, sebab setelah membaca kata-kata yang dibacanya itu kata-kata yang tepat untuk puisi. Dalam pembuatan puisi, penyair harus cermat dalam pemilihan kata-kata yang akan dipakai. Pemilihan kata-kata tersebut tidak terlepas dari perbendaharaan kata, urutan kata-kata, dan daya sugesti dari kata-kata.
1.
Perbendaharaan Kata Perbendaharaan kata penyair disamping sangat penting untuk
kekuatan ekspresi, juga menunjukkan ciri khas penyair. Dalam memilih katakata, penyair selain memilih berdasarkan makna yang akan disampaikan dan tingkat perasaan serta suasana batinnya, juga dilatarbelakangi oleh faktor sosial budaya penyair. Suasana perasaan penyair juga menentukan pilihan kata. Dalam suasana perasaan marah yang meledak-ledak penyair akan memilih kata-kata yang mewakili kemarahannya. Begitupun ketika penyair dalam suasana cita atau rindu, penyair akan memilih kata-kata yang mewakilinya. Intensitas perasaan penyair, kadar emosi, cinta, rindu, benci, marah, dan sebagainya menentukan pemilihan kata.
2.
Urutan Kata Dalam puisi, urutan kata tidak dapat dipindah-pindahkan tempatnya
meskipun maknanya tidak berubah oleh perpindahan tempat itu dengan kata lain bersifat baku. Cara menyusun urutan kata-kata itu bersifat khas karena
29
penyair yang satu berbeda caranya dengan penyair lainnya, baik dalam teknik menyusun urutan dalam tiap baris maupun urutan dalam suatu bait puisi.
3.
Daya Sugesti Kata-kata Sugesti timbul oleh makna kata yang dipandang sangat tepat
mewakili perasaan penyair. Karena ketepatan pilihan dan ketepatan penempatannya, maka kata-kata itu seolah menyamparkan daya gaib yang mampu memberikan sugesti kepada pembaca untuk ikut sedih, terharu, bersemangat, marah, dan sebagainya.
3.1.2 Pengimajian Pengimajian merupakan kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensori, seperti penglihatan, pendengaran dan perasaan, Waluyo (1987 : 78). Ada hubungan erat antara diksi, pengimajian dan kata konkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajian, karena itu kata-kata menjadi lebih konkret seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran dan cita rasa. Baris atau bait puisi itu seolah mengandung gema suara (imaji auditif), benda yang nampak (imaji visual), atau sesuatu yang dapat kita rasakan, raba atau sentuh (imaji taktil). Ungkapan perasaan penyair dijelmakan ke dalam gambaran konkret mirip musik atau gambar atau cita rasa tertentu. Jika penyair menginginkan imaji pendengaran (auditif), maka jika akan menghayati puisi itu, seolah-olah mendengarkan sesuatu. Jika penyair ingin melukiskan imaji penglihatan (visual), maka puisi itu seolah-
30
olah melukiskan sesuatu yang bergerak-gerak, dan jika imaji taktil yang ingin digambarkan, maka pembaca seolah-olah merasakan sentuhan perasaan. Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata yang konkret dan khas. Imaji yang ditimbulkan ada tiga macam, yakni imaji visual, imaji auditif dan imaji taktil (cita rasa). Ketiganya digambarkan atas bayangan apa yang kita hayati secara nyata.
Contoh imaji visual:
(3) うみは ゆれて
大なみ あおいなみ どこまで つづくやら (うみ)
Umi wa oonami aoinami yurete dokomade tsutzukuyara (Umi) Laut itu ombak yang besar dan biru bergelombang terus entah ke mana (Laut)
Contoh imaji auditif:
(4) きょうは おもちゃの おまつりだ みんな たのしく うたいましょ こひつじ メエメエ こねこはニャー こぶたブースカ チャチャチャ (おもちゃのチャチャチャ) Kyou wa omocha no omatsuri da Minna tanoshiku utaimasho Kohitsuji ‘meemee’ koneko wa ‘nyaa’ Kobuta ‘buusuka’ Chachacha (Omocha No Chachacha) Sekarang adalah festival para mainan
31
Semuanya bernyanyi dengan gembira Si anak kambing ‘mengembik’ anak kucing ‘mengeong’ Si anak babi ‘mengorok’ Chachacha (Omocha No Chachacha)
Contoh imaji taktil:
(5) うみは ひろいな 大きな 月が のぼるし 日がしずむ (うみ) Umi wa hiroi na ooki na Tsuki ga noborushi hi ga shizumu (Umi) Laut itu luas dan besar Sementara sang bulan naik sang matahari tenggelam (Laut)
3.1.3 Kata Konkret Untuk membangkitkan imajinasi pembaca, maka kata-kata harus dikonkretkan atau diperjelas. Jika penyair mahir mengkonkretkan kata-kata, pembaca seolah-olah melihat, mendengar atau merasakan apa yang dilukiskan penyair dan dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan penyair. Dengan demikian pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam puisinya. Seperti pada salah satu lirik lagu Nosaka Akiyuki dalam memperkonkret gambaran keceriaan dan kegembiraan suasana:
(6) なまりの
へいたい
トテチテタ
32
ラッパ ならして こんばんは フランスにんぎょう すてきでしょ はなのドレス チャチャチャ (おもちゃのチャチャチャ) Namari no heitai totechiteta Rappa narashite konbanwa Furansu ningyou suteki desho Hana no doresu de Chachacha (Omocha No Chachacha) Mainan prajurit baja pemain terompet membunyikan terompetnya mengucapkan selamat malam Semua suka boneka Perancis Yang memakai jam bermotif bunga (Omocha No Chachacha)
3.1.4 Bahasa Figuratif Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Riffaterre mengatakan bahwa: Puisi mengatakan sesuatu tetapi artinya lain. Artinya, terdapat ketidakberlangsungan arti dalam puisi. Ketidakberlangsungan itu disebabkan oleh penggantian arti, penyimpangan arti, atau penciptaan arti. Atmazaki (1993 : 49) Majas atau bahasa kiasan termasuk kepada ketidakberlangsungan ucapan berupa penggantian arti. Majas adalah penggantian arti dari apa yang kita pahami sebagai arti standar atau asli menjadi arti lain untuk mendapatkan arti atau efek tertentu, Abraham dalam Atmazaki (1993 : 49).
33
Terdapat bermacam-macam bahasa kiasan di dalam puisi. Namun ada beberapa bahasa kiasan yang pemakaiannya lebih dominan, yaitu bahasa kiasan
atau
majas
metafora,
perbandingan,
metonimi,
sinekdoke,
personifikasi dan alegori. Setiap bahasa kiasan tersebut mengalihkan suatu pengertian kepada pengertian lain sehingga muncul pengertian baru, Atmazaki (1993 : 50).
1.
Metafora Metafora berasal dari bahasa Yunani metaphore yang berarti
‘memindahkan’. Metafora membuat perbandingan antara dua hal atau benda untuk menciptakan suatu kesan mental yang hidup walaupun tidak hanya dinyatakan secara eksplisit dengan penggunaan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, serupa seperti pada perumpamaan, Dale dalam Tarigan (2009 : 15). Beberapa pengertian metafora antara lain: (1) Metafora adalah kiasan langsung, dengan kata lain benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan. Jadi ungkapan itu langsung berupa kiasan, Waluyo (1987 : 84). (2) Metafora adalah ungkapan kebahasaan yang tidak dapat diartikan secara langsung dari lambang yang dipakai, karena makna yang dimaksud terdapat pada ungkapan kebahasaan itu, Wahab dalam Djojosuroto (2005 : 19).
34
2.
Perbandingan Kiasan yang tidak langsung disebut perbandingan atau simile. Benda
yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasnya dan digunakan katakata seperti, bagaikan, bak dan sebagainya. Dengan kata lain ada yang dibandingkan dan ada pula pembanding. Unsur yang dibandingkan dikenal dengan istilah tenor, sedangkan pembanding dikenal dengan istilah vehicle. Pada kedua unsur tersebut terdapat persamaan sifat atau keadaan yang disebut dengan motif. Persamaan motif inilah yang memungkinkan kedua unsur itu dibandingkan.
3.
Metonimia Metonimia berasal dari bahasa Yunani (meta + onym) yang berarti
‘bertukar
nama’.
Metonimia
adalah
sejenis
gaya
bahasa
yang
mempergunakan nama sesuatu barang bagi sesuatu yang lain yang berkaitan erat dengannya. Dalam metonimia suatu barang disebutkan tetapi yang dimaksudkan adalah barang lain, Dale dalam Tarigan (2009 : 121). Metonimia adalah majas yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang, atau hal sebagai penggantinya. Kita dapat menyebut pencipta atau pembuatnya jika yang kita maksudkan ciptaan atau buatannya ataupun kita menyebut bahannya jika yang kita maksudkan barangnya, Moeliono dalam Tarigan (2009 : 121).
35
4.
Sinekdoke Sinekdoke adalah majas yang menyebutkan nama bagian sebagai
pengganti nama keseluruhannya, atau sebaliknya, Moeliono dalam Tarigan (2009 : 123). Kata Sinekdoke berasal dari bahasa Yunani synekdechesthai (syn ‘dengan’ + ex ‘keluar’ +dechesthai ‘mengambil, menerima’) yang secara kalamiah berarti ‘menyediakan atau memberikan sesuatu kepada apa yang baru disebutkan’. Dengan kata lain, sinekdoke adalah gaya bahasa yang mengatakan sebagian untuk pengganti keseluruhan, Dale dalam Tarigan (2009 : 123). Sinekdoke terdiri atas pars pro toto (menyebutkan sebagian untuk keseluruhan) dan totem pro parte (menyebutkan keseluruhan untuk sebagian).
5.
Personifikasi Personifikasi berasal dari bahasa Latin persona (orang, pelaku, aktor)
dan fie (membuat). Oleh karena itu, apabila kita menggunakan majas personifikasi, kita memberikan ciri-ciri kualitas, yaitu kualitas pribadi orang kepada benda yang tidak bernyawa ataupun kepada gagasan-gagasan, Dale dalam Tarigan (2009 : 17). Menurut Djojosuroto (2005 : 19), personifikasi adalah jenis bahasa kias yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dapat berbuat, berpikir sebagaimana seperti manusia. Sedangkan Atmazaki (1993 : 53) menuturkan bahwa personifikasi adalah bahasa kiasan yang memberikan sifat-sifat benda hidup (bernyawa) kepada benda-benda yang tidak bernyawa.
36
Benda-benda mati dibuat dapat berpikir, atau dapat disuruh melakukan sesuatu seperti dilakukan oleh benda-benda hidup.
6.
Eufemisme Kata eufemisme berasal dari bahasa Yunani euphemizein yang berarti
‘berbicara dengan kata-kata yang jelas dan wajar’ dan diturunkan dari eu ‘baik’ + phanai ‘berbicara’. Jadi secara singkat eufemisme adalah pandai berbicara, ‘berbicara baik’, Dale dalam Tarigan (2009 : 125). Eufemisme ialah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar yang dianggap merugikan, atau yang tidak menyenangkan. Misalnya meninggal, bersenggama, tinja, tunakarya. Namun eufemisme dapat juga dengan mudah melemahkan kekuatan diksi karangan. Misalnya
penyesuaian
harga,
kemungkinan
kekurangan
makan,
membebastugaskan, Moeliono dalam Tarigan (2009 : 125-126).
7.
Alegori Alegori berasal dari bahasa Yunani allegorein yang berarti ‘berbicara
secara kias’. Alegori adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang yang merupakan merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, tempat atau wilayah objek-objek atau gagasan yang diperlambangkan. Alegori biasanya mengandung sifat-sifat moral atau spiritual manusia. Biasanya alegori merupakan cerita-cerita yang panjang dan rumit dengan maksud dan tujuan yang terselubung namun bagi pembaca yang jeli justru jelas dan nyata, Tarigan (2009 : 24).
37
3.1.5 Verifikasi Bunyi dalam puisi menghasilkan rima dan ritma. Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Digunakan kata rima untuk mengganti istilah persajakan pada sistem lama karena diharapkan penempatan bunyi dan penanggulangannya tidak hanya pada akhir setiap baris, namun juga untuk keseluruhan baris dan bait. Dalam ritma, pemotongan-pemotongan naris menjadi frasa yang berulang-ulang, merupakan unsur yang memperindah puisi itu.
1.
Rima Rima adalah persamaan bunyi akhir kata. Bunyi itu berulang secara
terpola dan biasanya terdapat di akhir baris sajak, tetapi kadang-kadang juga terdapat di awal atau di tengah baris. Disebabkan rima berkaitan dengan baris, maka rima sebuah sajak dapat dilihat pada persamaan bunyi antara baris yang satu dengan yang lain. Dan dengan sendirinya, pembicaraan rima terbatas pada sajak yang mengutamakan unsur formal sajak (bait dan baris). Dalam rima terdapat onomatope, bentuk intern pola bunyi, dan pengulangan kata atau ungkapan.
(1) Onomatope adalah tiruan terhadap bunyi-bunyi yang ada. Dalam puisi, bunyi-bunyi yang dipilih oleh penyair diharapkan dapat memberikan gema atau memberikan warna suara tertentu seperti yang diharapkan penyair
38
(2) Dalam hal ini bentuk internal pola bunyi ini yang ditinjau adalah unsur pengulangan atau persamaan bunyi (konsonan dan vokal), sedangkan dalam onomatope yang ditinjau adalah efek yang ditimbulkan oleh bunyi tadi. Peranan bunyi juga berhubungan erat dengan perlambangan bunyi. Di samping itu, pengulangan bunyi sangat erat hubungannya dengan ritma karena pengulangan yang teratur akan menimbulkan gelombang yang teratur dan berirama jika puisi itu dibaca. Bunyi dalam puisi baru akan membentuk musikalitas dan orkestrasi jika dioralkan. Musikalitas dan orkestrasi itu erat hubungannya dengan ritma. (3) Pengulangan tidak terbatas pada bunyi, namun mungkin kata-kata atau ungkapan. Boulton dalam Waluyo (1987 : 93) menyatakan, bahwa pengulangan bunyi atau kata atau frasa memberikan efek intelektual dan efek magis yang murni.
2.
Ritma Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan
pengulangan bunyi, kata, frasa dan kalimat. Ritma berasal dari bahasa Yunani rheo yang berarti gerakan-gerakan air yang teratur, terus-menerus dan tidak putus (mengalir terus). Muljana dalam Waluyo (1987 : 94) menyatakan bahwa ritma merupakan pertentangan bunyi: tinggi atau rendah, panjang atau pendek, keras atau lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan.
39
3.2
Struktur Batin Puisi Struktur batin puisi mengungkapkan apa yang hendak dikemukakan
oelh penyair dengan perasaan dan suasana jiwanya. Richards dalam Djojosuroto (2005 : 15) menyebut makna atau struktur batin puisi itu dengan istilah hakikat puisi. Beliau menambahkan sebelum membaca puisi, pembaca harus menyadari bahwa makna puisi itu harus ditafsirkan dan bukan makna secara langsung yang dapat diketahui (2005 : 23-24) Ada empat unsur batin atau hakikat dalam puisi, yakni tema (sense), rasa (feeling), nada (tone) dan amanat (litention). Keempat unsur itu menyatu dalam wujud penyampaian bahasa penyair.
3.2.1 Tema (sense) Tema merupakan pokok pikiran penyair yang dikemukakan oleh penyair. Pokok persoalan atau gagasan pokok itu begitu kuat mendesak ke dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan yang kuat berupa rasa belas kasih atau kemanusiaan, maka puisi bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongan memprotes keadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial. Pikiran imajinasi juga dapat melahirkan tema imajinatif untuk perkembangan pola pikir anak-anak. Tema yang terdapat dalam lirik lagu karya Hayashi Ryuuha yang penulis teliti adalah imajinasi tentang laut. Seperti yang terungkap pada lirik di bawah ini:
40
(7) うみに いって
おふねを みたいな
うかばせて よそのくに (うみ)
Umi ni ofune wo ukabasete Itte mitaina yosonokuni (Umi) Perahu mengapung di laut Ingin pergi melihat ke negara lain (Laut)
3.2.2 Rasa (feeling) Dalam menciptakan puisi suasana hati sang penyair ikut diekspresikan
dan
harus
dapat
dihayati
oleh
pembaca.
Untuk
mengungkapkan tema yang sama, penyair yang satu dengan penyair yang lainnya menggunakan perasaan yang berbeda pula. Oleh sebab itu, penyair mengerahkan segenap kekuatan bahasa untuk memperkuat ekspresi perasaan yang bersifat total itu, Tarigan (2011 : 12).
3.2.3 Nada (tone) Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca, apakah dia ingin bersikap menggurui, menasihati, menggejek, menyindir atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada para pembaca tersebut. Waluyo (1987 : 125) berpendapat jika nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca.
41
Apabila kita baca tentang sikap penyair, maka kita berbicara tentang nada. Jika berbicara tentang suasana jiwa pembaca yang timbul setelah membaca puisi, maka kita berbicara tentang suasana. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Pada lirik lagu karya Nosaka Akiyuki di bawah ini tersirat nada gembira:
(8) そらに キラキラ おほしさま みんな すやすや ねむるころ おもちゃは はこを とびだして おどる おもちゃの チャチャチャ (おもちゃのチャチャチャ) Sora ni kira kira ohoshi sama Minna suya suya nemuru koro Omocha wa hako wo tobidashite Odoru omocha no Chachacha (Omocha No Chachacha) Ketika di langit bintang berkelip-kelip Ketika semua sedang tertidur lelap Para mainan loncat dari kotak Sambil menari-nari (Omocha No Chachacha)
3.2.4 Amanat (litention) Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah kita memahami tema, rasa dan nada puisi itu. Waluyo (1987 : 130131) berpendapat bahwa tujuan dan amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun, dan juga berada di balik tema yang diungkapkan. Amanat yang
42
hendak disampaikan oleh penyair itu mungkin secara sadar berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang diberikan. Richards dalam Djojosuroto (2005 : 27) mengutarakan bahwa penyair, sebagai pemikir dalam karyanya, memiliki ketajaman perasaan dan intuisi yang kuat untuk menghayati rahasia kehidupan dan misteri yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu, puisi mempunyai makna yang tersembunyi yang harus diterjemahkan oleh pembacanya.