BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perkembangan retailing saat ini memberikan sudut pandang mengenai pentingnya experience yang konsumen rasakan di dalam lingkungan niaga. Perkembangan tersebut didasari pada argumen-argumen yang muncul pada beberapa dekade terakhir. Salah satunya dideskripsikan oleh Pine & Gilmore pada tahun 1999 mengenai experience economy. Menurutnya, pembeli pada periode tersebut dijelaskan sebagai konsumen yang antusias mencari experience baru (Quartier, 2011). Sesuai dengan sudut pandang mereka, retailer perlu menciptakan dan mengarahkan pengalaman yang mengesankan bagi konsumen. Maka, retailer perlu memahami 6 fitur dari experience (Petermans, Cleempoel, Nuyts, & Vanrie, 2009). Pertama, konsumen perlu mengingat experience yang diciptakan di dalam environment. Kedua, experience harus difokuskan pada tema tertentu, yang menggambarkan perusahaan dan dapat menarik perhatian pelanggan. Ketiga, elemen-elemen negatif, seperti: kebisingan dan kepadatan dalam toko yang mengalihkan perhatian pelanggan terhadap experience perlu dihilangkan. Keempat, experience perlu sebanyak mungkin dirasakan oleh indera pelanggan. Kelima, experience merupakan hal personal sebagai interaksi antara „kejadian‟ yang dikelola dengan kondisi emosional, mental, & fisik pelanggan pada waktu interaksi tersebut terjadi. Terakhir, konsumen perlu membayar experience tersebut (Petermans et al, 2009).
1
Konsep lainnya dirumuskan oleh Holbrook & Hirschman (1982) mengenai customer experience sebagai pendekatan experiential baru pada perilaku konsumen. Sebelumnya, konsumen dianggap sebagai rational decision-taker yang membeli produk terbaik pada harga yang reasonable (utilitarian approach). Tetapi, Holbrook & Hirschman (1982) menyatakan sebaliknya, bahwa kepuasaan tidak hanya diperoleh ketika mendapatkan produk terbaik pada harga yang reasonable. Secara intrinsik, kepuasan bisa didapatkan melalui interaksi dengan produk, jasa, atau lingkungan niaga. Publikasi tersebut memberikan perhatian mengenai pentingnya variabel emotions di dalam customer experience (Petermans et al, 2009). Konsep experience economy dan customer experience tersebut memberikan perspektif bagi retailer mengenai pentingnya menghadirkan experience di dalam lingkungan niaga. Dengan experience, retailer dapat mengubah konsumsi produk dan jasa menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan, lewat store environment yang menarik, teknologi, staff terlatih, dan hiburan yang mendukung kepuasan konsumen dalam pengalaman konsumsinya (Garvin, 2009). Experience yang diciptakan juga dapat menjadi strategi bagi retailer dalam memberikan identitas pada sebuah toko sehingga menjadi diferensiasi dari kompetitor di tengah intensitas persaingan yang semakin tinggi (Oh, Fiorito, Cho, & Hofacker, 2007; Petermans et al, 2009). Retailer kemudian mengarahkan desain sebuah toko agar dapat memberikan memorable experience yang menarik indera sensori, emosi dan nilai yang dapat berkontribusi pada terciptanya hubungan perusahaan dengan
pelanggannya
(Petermans et al, 2009). Pengarahan desain di dalam sebuah toko tersebut secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap perkembangan format retail. Sebuah 2
format retail yang berbeda hadir menawarkan suatu bentuk new type of experience sebagai jawaban dari kebutuhan dan tuntutan konsumen yang semakin meningkat, yaitu concept store (Lapinska, 2011). Concept store merupakan sebuah bentuk retail yang proses pembeliannya memiliki arti yang berbeda dan melibatkan arti filosofis. Pelanggan memiliki kesempatan tidak hanya untuk membeli produk tetapi juga diberikan pengalaman emosional dan sensori yang penuh. Setiap store harus memiliki karakter tersendiri dan memiliki tema (leit-motiv) yang diasosiasikan dengan orang tertentu, ide, atau situasi. Keunikan pada store ditampilkan lewat layout yang merepresentasikan karakter pada produk yang dijual sehingga menjadi sebuah identitas bagi store (Lapinska, 2011). Menurut Mesher (2010) dalam Quartier (2011), concept store merupakan sebuah tempat dimana ide baru pada retail diuji atau digunakan. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah ide baru tersebut diterima secara positif oleh pelanggan yang lebih luas (clientele) atau bahkan menghasilkan clientele baru. Jika ide tersebut berhasil, konsep tersebut digunakan sebagai pola dasar (archetype) untuk diimplementasikan di lokasi yang berbeda sehingga memberikan keseragaman pada setiap toko. Beberapa dekade lalu, concept store mulai bermunculan di berbagai sudut di dunia. Berfokus pada penyediaan berbagai macam kategori produk atau jasa, seperti: pakaian, musik, film, art, aksesoris, benda koleksi, dan lainnya. Tidak sedikit pula yang menggabungkan concept store dengan bar restaurants, performance area dan gallery space (Doran, 2011). Berikut adalah contoh-contoh concept store dengan konsep tematiknya yang berada di kota-kota besar dunia: 3
Gambar 1.1 Muji Store & Muji Meal – Tokyo Sumber: www.superpotato.jp
4
Gambar 1.2 Urbanoutfitters – New York Sumber: www.vmsd.com, www.laracked.com, www.chainstoreage.com 5
Gambar 1.3 Monocle Shop & Monocle Café – London Sumber: www.selectism.com, www.superfuture.com, www.graphic-exchange.com 6
Keberhasilan format tersebut di berbagai negara membuat retailer di Indonesia mengadopsi pola tersebut dengan tujuan menarik konsumen pada lingkungan niaga. Berbagai toko di pusat kota (urban area) menggunakan pendekatan multisensoris terhadap tokonya. 707 - Boutique Shop, Monka Magic Record Store, Casa - Café & Restaurant, Cyclo - Bike Shop merupakan contohcontoh concept store yang berada di Jakarta yang telah mengaplikasikan format tersebut. Visualisasi keempat concept store tersebut dapat dilihat pada gambar 1.4. Dengan beragam produk dan jasa yang ditawarkan sebuah toko, saat ini toko buku merupakan contoh yang menarik. Sebelumnya kita mengenal toko buku bukanlah tempat yang menyenangkan untuk dikunjungi, kecuali oleh peminat buku. Tetapi, saat ini kita bisa melihat bagaimana sebuah toko buku menawarkan experience yang mampu menarik pelanggan lebih luas (Tardiyana, 2006). Bahkan bagi sebagian orang, toko buku merupakan destinasi untuk menghabiskan waktu luang yang menyenangkan dan nyaman karena atmosphere yang tenang (Abe, 2008). Bagi toko buku, menghadirkan pengalaman multisensoris yang memberikan touch secara emosional dalam format tokonya merupakan alasan strategis. Melihat data penjualan buku (termasuk buku impor) yang dihimpun oleh Gabungan Asosiasi Toko Buku Indonesia (GATBI) pada tahun 2009 mencapai Rp. 2,1 Trilyun (Anggraini, 2011). Kedepannya, nilai penjualan buku tersebut akan terpengaruh oleh konsumsi digital yang semakin membatasi penjualan cetakan fisik. Maka, pengaplikasian format retail yang memberikan pengalaman emosional dan sensoris penuh dapat menjadi salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mendatangkan
7
lebih banyak konsumen dan diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kesuksesan sebuah toko.
Gambar 1.4 Concept Stores - Jakarta Sumber: www.manual.co.id, www.dailywhatnot.com, casa page, fixiebikiemarket 8
Spesifik pada toko buku di dalam negeri, beberapa nama bookstore chain yang memiliki konsep tematik pada environment-nya adalah Periplus dan Aksara Bookstore. Periplus merupakan toko buku lokal yang memulai bisnisnya pada tahun 1999, menyediakan berbagai cakupan buku dan majalah yang berkualitas. Konsep retail yang dimilikinya adalah konsep boutique bertema Indonesia kontemporer. Dengan tagline ‘the bookshops with style’, pelanggan dapat merasakan environment pada toko bukunya yang atraktif dengan atmosphere yang nyaman, staff bersahabat, dan café kecil didalamnya. Saat ini, Periplus memiliki 45 toko yang tersebar di Indonesia, diantaranya Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Semarang, Surabaya, Lombok, Balikpapan, dan Bali. Sedangkan, Aksara Bookstore memulai bisnisnya pada tahun 2001 dan memiliki cakupan produk yang ekstensif, meliputi: books, gifts, & music. Dimulai dari stationaries hingga homewares, dari CD, DVD, vinyls, music merchandise, hingga camera & accessories, dan deretan buku-buku new best-sellers, all-time classics, maupun judul-judul lain yang tidak bisa didapatkan di tempat lain. Space yang dimilikinya pun digunakan untuk menyelenggarakan berbagai event, seperti: music gig, discussion, exhibition, maupun kids event (Surewicz, 2011). Pada beberapa store-nya, Aksara Bookstore berafiliasi dengan Canteen yang merupakan café di dalam toko bukunya sebagai pelengkap kebutuhan gastronomi. Saat ini, Aksara Bookstore memiliki 4 cabang yang berlokasi di Jakarta, yaitu: Kemang, Cilandak Town Square, Pacific Place, dan Plaza Indonesia. Gambar 1.5 memperlihatkan perbandingan environment kedua toko buku tersebut.
9
Gambar 1.5 Contemporary Bookstore Chain - Jakarta Sumber: www.periplus.com & Aksara Bookstore page
Untuk mengevaluasi value yang diberikan dari masing-masing toko buku tersebut, konsep total retail experience yang dideskripsikan oleh Berman & Evans
10
(2010) dapat menjelaskan elemen-elemen penting mengenai experience yang konsumen rasakan di dalam sebuah retail. Menurut Berman & Evans (2010), total retail experience merupakan keseluruhan elemen yang ditawarkan oleh sebuah retail yang mendorong atau justru menghambat konsumen selama melakukan interaksi dengan retailer. Elemen-elemen yang dapat dikontrol oleh retailer tersebut mencakup environment, salespeople, price, brands carried, & inventory on hand. Tabel 1.1 menunjukkan perbandingan total retail experience antara Periplus dengan Aksara Bookstore berdasarkan penilaian penulis secara pribadi.
Tabel 1.1 Total Retail Experience Periplus dan Aksara Bookstore Total Retail Experience Products Brands carried
Price Inventory on hand Environment Layout Display Comfort Signage Architecture Color Material Style of décor Music Lighting Scent Temperature Noise Cleanliness Behavior of Salespeople Appearance of Salespeople
Periplus
Aksara Bookstore
Moderate (Books, Novel, & Magazine) Superior (Rp. 75,000 to >Rp. 800,000) Moderate
Superior (Books, Novel, Magazine, Stationaries, Music, Movies, Gift, & Homewares) Moderate (Rp. 85,000 to >Rp. 1,000,000) Moderate
Moderate Moderate Moderate Moderate Moderate Moderate Moderate Moderate Moderate Moderate Moderate Moderate Moderate Moderate
Superior (Size) Superior (Attractive) Superior (Interior) Moderate Superior Moderate Moderate Superior (Attractive) Superior Moderate Moderate Moderate Moderate Moderate Moderate
11
Tabel 1.1 (Lanjutan) Number of Salespeople Others Events (Discussion, Exhibition, Music Gig, & kids’ event)
Moderate
Moderate
-
Superior
Sumber: Observasi penulis
Berdasarkan tabel 1.1, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Aksara Bookstore memaksimalkan elemen-elemen yang dimilikinya dan memberikan fungsi lebih luas sebagai toko buku. Penggunaan elemen-elemen store environment yang lebih kompleks menghasilkan pengalaman emosional dan sensoris penuh yang dirasakan oleh konsumen. Selain itu, penyelenggaraan event (discussion, exhibition, music gig, & kids’ event) pada space yang dimilikinya merupakan bentuk valuecreation dan new retailing ideas yang mampu menarik pelanggan yang lebih luas pada lingkungan niaganya.
1.2 Rumusan Masalah Konsep experience economy dan consumer experience memberikan pemahaman mengenai pentingnya store environment bagi retailer (Pine & Gilmore, 1999; Holbrook & Hirschman, 1982 dalam Petermans et al, 2009). Penciptaan environment yang menyenangkan dapat menjadi strategi kompetitif retailing untuk meningkatkan experience di dalam toko yang dapat menarik pelanggan pada lingkungan niaga (Frasquet et al, 2002). 12
Retailer kemudian melakukan perencanaan pada elemen-elemen store environment secara komprehensif, mencakup: design factors, ambient factors, & social factors sesuai dengan variabel store environment yang dipublikasikan oleh Baker pada tahun 1987. Ketiga elemen tersebut selanjutnya diarahkan dengan memperhatikan hal-hal yang menyenangkan bagi konsumen sehingga memberikan dampak positif bagi respon emosional konsumen. Elemen pertama, yaitu: design factors, terdiri dari elemen-elemen functional (store layout, display, comfort, & signage) dan aesthetic (architecture, color, materials, & style) (Marans & Spreckelmeyer, 1982 dalam Oh et al, 2007; Baker, 1987 dalam Bohl, 2012). Berbagai penelitian mendukung bahwa design factors memiliki pengaruh terhadap emotions. Penelitian yang dilakukan oleh Wakefield & Blodgett (1999) dalam Lin & Chiang (2009) menyebutkan bahwa desain sebuah toko mempengaruhi suasana hati pelanggan. Penelitian Baker et al (2002) dalam Lin & Chiang (2009) mengungkapkan bahwa ketika fungsi desain pada sebuah toko kurang efisien, seperti layout yang tidak praktis, akan menimbulkan kemarahan dan ketidaksabaran konsumen. Hal tersebut membuat pengalaman berbelanja konsumen menjadi tidak menyenangkan/tidak puas. Tetapi sebaliknya, desain environment yang konsisten akan mendorong terciptanya hubungan konsumen dengan brand atau toko. Mencermati hal tersebut, Aksara Bookstore mendesain lingkungan fisiknya dengan memperhatikan layout & display yang mampu memfasilitasi konsumen ketika berbelanja secara efisien. Penempatan ruang dan interior di dalamnya secara fungsional dapat memberikan ruang gerak yang cukup dan mendukung kenyamanan.
13
Penggunaan signage untuk pembagian kategori produk juga memudahkan konsumen untuk mendapatkan produk buku (fiction, non-fiction, art, design & architecture, music, movies, fashion, travel, economic, newspaper, & magazine) maupun produk non-buku (gifts & homeware). Pada elemen aesthetic, tampilan fisik arsitekturnya dibuat secara artistik. Material dan bentuk yang digunakan pada eksterior dan interior dipilih semenarik mungkin sehingga mampu menginspirasi konsumen serta dapat membuat konsumen bersemangat untuk mengeksplorasi seluruh bagian ruangan. Selain itu, warna sebagai komponen visual yang penting disesuaikan agar menciptakan kesenangan bagi konsumen saat berbelanja. Dominasi warna pada eksterior Aksara Bookstore menggunakan warna merah dan abu-abu. Secara psikologis, warna merah merupakan warna cerah yang dapat memunculkan emosi yang kuat seperti perasaan gembira. Warna merah juga diasosiasikan dengan kehangatan dan kenyamanan (Cherry, 2013). Sedangkan pada interiornya, dominasi warna coklat memberikan kesan kuat dan handal serta dapat menimbulkan perasaan hangat, nyaman, dan aman (Cherry, 2013). Elemen kedua, yaitu: ambient factors juga terbukti memiliki pengaruh terhadap emotions. Penelitian Aylott & Mitchell (1999) dalam Lin & Chiang (2009) menyatakan bahwa berbagai elemen ambient factors, seperti musik, pencahayaan, dan temperatur mempengaruhi emotions di dalam toko. Bagi sebuah toko, setiap elemen tersebut sangat penting untuk disesuaikan. Musik, pencahayaan, ataupun temperatur yang terlalu tinggi dapat menimbulkan kecemasan dan tekanan terhadap konsumen. Di dalam tokonya, Aksara Bookstore memainkan musik-musik
14
kontemporer, instrumental, jazz dan elektronika dengan memperhatikan volume dan tempo disetiap lagunya sehingga konsumen bersemangat saat berbelanja dan mendapatkan pengalaman berbelanja yang menyenangkan. Atmosphere di dalamnya diperkuat lewat penataan pencahayaan yang detil, memperhatikan keselarasan dengan material eksterior & interior sehingga mampu menciptakan keindahan lewat kombinasi tersebut. Tidak hanya memberikan impresi secara estetika, namun secara fungsional dapat memberikan penerangan yang cukup di dalam ruangan untuk mempermudah konsumen membaca & berbelanja. Kondisi temperatur di dalam toko juga disesuaikan agar mendukung konsumen untuk berada lebih lama di dalam lingkungan niaga. Selain itu, kebersihan area belanja juga menjadi faktor penting yang memperkuat ambient di dalam toko. Elemen terakhir pada store environment adalah social factors. Komunikasi interpersonal yang dilakukan salespeople di dalam environment dapat menimbulkan emotions yang dirasakan oleh konsumen (Baker et al, 2002 dalam Lin & Chiang, 2009). Konsep emotional contagion pada penelitian Hatfield et al (1994) dalam Lin & Chiang (2009) menjelaskan bahwa konsumen cenderung meniru sikap yang ditunjukkan oleh salespeople, baik emosi, perhatian kepada konsumen, ataupun perilaku lainnya. Hal tersebutlah yang „ditangkap‟ oleh konsumen dan kemudian menimbulkan perasaan senang, puas, atau terstimulasi sebagai respon konsumen. Oleh sebab itu, untuk menunjang komunikasi interpersonal dengan pelanggan, Aksara Bookstore melatih staff personnel-nya agar dapat berkomunikasi dengan baik, memiliki pengetahuan mengenai produk yang dijual, membantu konsumen secara
15
responsif, dan berpenampilan dengan baik dengan harapan bentuk asistensi tersebut menimbulkan respon positif yang konsumen rasakan secara emosional di dalam pengalaman berbelanjanya. Jumlah salespeople juga menjadi kajian di dalam social factors (Wicker, 1973 dalam Baker, 2002). Bentuk-bentuk perasaan, seperti: senang, puas, bahagia, gembira, dan bersemangat merupakan respon afektif yang konsumen rasakan di dalam store environment. Respon afektif tersebut digambarkan oleh Mehrabian & Russell (1974) sebagai dimensi emosional dasar yang mencakup pleasure & arousal. Penelitian yang dilakukan Donovan & Rossiter (1982) dalam Kaltcheva & Weitz (2003) mengungkapkan bahwa emotions, khususnya pleasure memiliki hubungan positif terhadap satisfaction. Penelitian yang dilakukan Bigné et al (2005) dalam Andreu et al (2006) juga mendukung bahwa emotions memiliki hubungan positif dengan satisfaction. Pengalaman yang dirasakan konsumen di dalam environment akan menentukan penilaian konsumen terhadap produk dan jasa yang diberikan secara keseluruhan dan meningkatkan satisfaction dalam berbelanja (Bigné et al, 2005 dalam Andreu et al, 2006). Satisfaction dianggap sebagai salah satu outcome yang sangat penting di dalam aktivitas pemasaran karena satisfaction yang dirasakan oleh konsumen dapat memprediksi secara kuat perilaku konsumen di masa yang akan datang (Cronin et al, 2000 dalam Abdallat, 2008). Satisfaction merupakan hal dasar yang harus dipenuhi untuk menjaga konsumen agar tetap loyal (Abdallat, 2008). Ketika konsumen mendapatkan kesempatan untuk mengevaluasi produk/jasa yang telah dirasakannya,
16
satisfaction memiliki pengaruh yang kuat yang mengarah kepada customer loyalty. Bagi perusahaan, customer loyalty merupakan tujuan strategis; karena pelanggan yang loyal dapat memaksimalkan keuntungan perusahaan lewat: (1) pembelian secara berkala, (2) membeli secara eksklusif pada satu brand, dan (3) merekomendasikan produk/jasa kepada orang lain (Lovelock & Wirtz, 2011). Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, maka penulis ingin melakukan penelitian yang berjudul: “Pengaruh Store Environment Terhadap Customer Loyalty Melalui Emotions dan Satisfaction pada Concept Store: Aksara Bookstore Kemang”.
1.3 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah Design Factors memiliki pengaruh positif terhadap Emotions? 2. Apakah Ambient Factors memiliki pengaruh positif terhadap Emotions? 3. Apakah Social Factors memiliki pengaruh positif terhadap Emotions? 4. Apakah Emotions memiliki pengaruh positif terhadap Satisfaction? 5. Apakah Satisfaction memiliki pengaruh positif terhadap Customer Loyalty?
17
1.4 Tujuan Penelitian
Sedangkan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengaruh Design Factors terhadap Emotions. 2. Untuk mengetahui pengaruh Ambient Factors terhadap Emotions. 3. Untuk mengetahui pengaruh Social Factors terhadap Emotions. 4. Untuk mengetahui pengaruh Emotions terhadap Satisfaction. 5. Untuk mengetahui pengaruh Satisfaction terhadap Customer Loyalty.
1.5 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah 1. Manfaat akademis Penelitian ini dapat dijadikan masukan atau referensi untuk materi retailing, store environment, emotions, satisfaction & customer loyalty sehingga dapat digunakan untuk para pengajar ataupun mahasiswa manajemen lainnya. 2. Manfaat Kontribusi Praktis Bagi retailer, penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi retailer agar memiliki perencanaan pada store environment sehingga dapat menghadirkan experience bagi konsumen yang menjadi strategi diferensiasi dan stimuli terhadap perilaku konsumen pada retail.
18
Bagi penulis, menjadi pembelajaran dan dapat menjadi masukan ketika penulis memasuki dunia usaha.
1.6 Batasan Penelitian
Aksara Bookstore memiliki 4 retail outlet yang berlokasi di Cilandak Town Square, Pacific Place, Plaza Indonesia, & Kemang - Jakarta. Aksara Bookstore Kemang merupakan pusat (flagship store) yang berdiri secara independen, tidak seperti ketiga cabang lainnya yang berada di dalam mall sebagai tenant. Melihat hal tersebut, elemen-elemen store environment yang dimiliki Aksara Bookstore Kemang lebih komprehensif & mencakup dimensi-dimensi penelitian secara lengkap. Pada elemen social factors khususnya, yang mencakup dimensi behavior, type, & number tidak dapat digeneralisasi untuk semua chain toko. Oleh sebab itu, penulis melakukan penelitian spesifik pada Aksara Bookstore – Kemang.
1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini dibagi menjadi lima bab dengan sistematika penyajian sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Berisi latar belakang penyusunan penelitian dan hal-hal yang mendasari
pengangkatan
tema
Store
Environment,
Emotions,
19
Satisfaction & Customer Loyalty dan memilih Aksara Bookstore Kemang sebagai objek penelitian. Pada bab ini disampaikan juga pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian untuk menggambarkan pengaruh Store Environment terhadap Customer Loyalty melalui Emotions dan Satisfaction. Serta, manfaat penelitian ini bagi akademis dan kontribusi praktis. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini mengemukakan juga konsep-konsep mengenai Retailing, Store Environment, Emotions, Satisfaction, & Customer Loyalty yang menunjang penelitian. Uraian tentang konsep-konsep di atas diperoleh melalui studi kepustakaan dari literatur, buku, dan jurnal yang berkaitan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN Berisi tentang gambaran secara umum objek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik dan prosedur pengambilan sampel serta teknik analisis yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah.
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Berisi tentang gambaran umum mengenai subjek dan desain penelitian, kemudian paparan mengenai hasil kuesioner yang dilakukan serta deskripsi dari analisis output kuesioner yang telah disebar ke responden di Jabodetabek. Hasil tersebut kemudian
20
dihubungkan dengan teori dan hipotesis yang terkait yang ada pada Bab II. BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN Berisi tentang kesimpulan peneliti yang dibuat dari hasil penelitian yang menjawab hipotesis penelitian serta memuat saran-saran yang berkaitan dengan objek penelitian.
21