1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kehidupan dan kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifat hakiki yang dimaksud di sini adalah suatu sifat “tidak kekal” yang selalu menyertai kehidupan dan kegiatan manusia pada umumnya. Sifat tidak kekal termaksud, selalu meliputi dan menyertai manusia, baik ia sebagai pribadi, maupun ia dalam kelompok atau dalam bagian kelompok masyarakat dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya.1 Dewasa ini, sarana transportasi sebagai suatu kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan telah berkembang dengan pesat. Setiap hari bisa kita lihat jumlah kendaraan semakin banyak. Data dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) mencatat volume penjualan motor di Indonesia mencapai 4.073.813 unit sepanjang semester satu 2011. Peningkatan penjualan motor di Indonesia selama semester satu 2011 juga dipengaruhi penurunan suku bunga kredit motor. Berdasarkan data Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), 90% penjualan motor di Indonesia dibiayaai oleh kredit melalui perusahaan pembiayaan.2 Perkembangan
di
bidang
transportasi
tentunya
tidak
hanya
memberikan manfaat dan pengaruh positif terhadap masyarakat tetapi juga membawa pengaruh negatif. Dampak negatif dari perkembangan di bidang transportasi diantaranya adalah sering timbulnya kecelakaan lalu lintas dan pencurian kendaraan bermotor. Baik pemilik kendaraan bermotor maupun orang lain yang menjadi korban kecelakaan tentunya sangat membutuhkan 1
Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 2 2 Adm. 2011. Pasar Motor Indonesia Rp 40, 73 Triliun di Semester 2011, (Online), (www.antaranews.com, diakses 10 Agustus 2011)
2
biaya untuk keperluan pengobatan ataupun biaya perbaikan kendaraan bermotor yang rusak akibat kecelakaan ataupun perbuatan jahat. Laurentinus Iwan Pranoto Sutanto yang merupakan Head Marketing Communications & Public Relation PT. Asuransi Astra Buana mengatakan bahwa masih banyak pemilik kendaraan bermotor yang belum melindungi roda dua maupun mobilnya dengan asuransi untuk perawatan dan perlindungan terhadap kecelakaan. Menurut beliau alasan orang tidak mengasuransikan kendaraannya terbilang sepele seperti pengendara sudah merasa aman atau yakin tidak akan terjadi apa-apa. Padahal, masih menurut beliau, data kepolisian menunjukkan bahwa setiap empat menit sekali terdapat kecelakaan.3 Ditinjau dari segi hukum asuransi, kecelakaan atau perbuatan jahat inilah yang merupakan keadaan yang tidak dapat diramalkan terlebih dahulu secara pasti. Keadaan yang tidak pasti inilah akhirnya menimbulkan suatu kerugian yang jumlahnya tidak pasti pula. Keadaan tidak pasti terhadap setiap kemungkinan yang dapat terjadi baik dalam bentuk atau peristiwa yang belum tertentu menimbulkan rasa tidak aman lazim disebut sebagai risiko.4 Risiko adalah kewajiban menanggung atau memikul kerugian sebagai akibat suatu peristiwa di luar kesalahannya, yang menimpa benda yang menjadi miliknya. Risiko itu ada yang sudah pasti adanya, misalnya keusangan (“slijtage”), yaitu susutnya benda karena dipakai dan ada yang belum tentu adanya, misalnya kebakaran, kecurian, perampokan, karamnya kapal, tubrukan kapal dan lain-lain. Risiko tersebut terakhir ini disebabkan oleh peristiwa yang tidak dapat dipastikan lebih dulu tentang kapan terjadinya atau disebut peristiwa tak tentu (“onzekervoorval”).5 Upaya untuk mengatasi sifat alamiah yang berwujud sebagai suatu keadaan yang tidak pasti, antara lain dilakukan oleh manusia dengan cara
3
Adm. 2011. Pentingnya Asuransi Kendaraan Bermotor, (Online), (www.antaranews.com, diakses 10 Agustus 2011) 4 Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 2. 5 H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Hukum Pertanggungan (Jakarta: PT. Djambatan, 1990), hal. 24.
3
menghindari, atau melimpahkannya kepada pihak-pihak lain di luar dirinya sendiri.6 Secara umum, manusia lebih suka menghindari atau mengurangi atau kalau dapat meniadakan risiko yang mengancam jiwa atau kesejahteraan. Hal ini berlaku baik pada orang perorangan, maupun pada masyarakat, cara yang ditempuh antara lain dengan meningkatkan metode-metode penanganan risiko atau menyebarkan risiko.7 Salah satu metode yang paling baik untuk penanganan risiko tidak lain adalah dengan cara mentrasfernya/mengalihkannya kepada pihak lain dengan jalan mengadakan perjanjian asuransi.8 Pasal
246
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Dagang
(KUHD)
memberikan pengertian mengenai asuransi atau pertanggungan, yaitu: Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu. Selain dalam KUHD, pengertian asuransi juga dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, yaitu: Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. 6
Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 3. Ibid. hal. 68. 8 Ibid. hal. 70. 7
4
Lembaga atau institusi yang mempunyai kemampuan untuk mengambil alih risiko pihak lain ialah lembaga asuransi, dalam hal ini adalah perusahaan-perusahaan asuransi. Dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, perusahaan asuransi mempunyai peranan dan jangkauan yang sangat luas, karena perusahaan asuransi tersebut mempunyai jangkauan yang menyangkut kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan-kepentingan sosial. Di samping itu ia juga dapat menjangkau baik kepentingan-kepentingan individu maupun kepentingan-kepentingan masyarakat luas, baik risiko individu maupun risiko-risiko kolektif.9 Pada dasarnya perusahaan asuransi dalam kegiatannya, secara terbuka mengadakan penawaran/menawarkan suatu perlindungan/proteksi serta harapan pada masa yang akan datang kepada individu atau kelompokkelompok dalam masyarakat atau institusi-institusi lain, atas kemungkinan menderita kerugian lebih lanjut karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak tertentu atau belum pasti.10 Perjanjian pertanggungan di dalam pengertian yang murni mengandung suatu tujuan bahwa kerugian yang sungguh-sungguh diderita oleh pihak tertanggung akan diganti oleh pihak penanggung. Oleh karena di dalamnya terdapat suatu penggantian kerugian, maka pertanggungan ini disebut “Pertanggungan Kerugian”.11 Usaha asuransi kerugian meliputi beberapa jenis kegiatan usaha. Menurut Pasal 3 huruf a angka 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, jenis usaha yang dapat dilakukan oleh usaha asuransi kerugian yaitu memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti. Salah satu hal penting dalam perjanjian asuransi adalah mengenai pemberian ganti rugi pada saat terjadinya peristiwa tidak tentu yang telah diperjanjikan dan menimbulkan kerugian bagi tertanggung. Dalam menentukan 9
Ibid. hal. 5-6. Ibid. hal. 6. 11 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan (Pokok-Pokok Pertanggungan Kerugian, Kebakaran dan Jiwa) (Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1990), hal. 8 10
5
besarnya jumlah ganti rugi bukanlah hal yang mudah. Terkadang tertanggung masih merasa tidak puas atas besarnya jumlah ganti rugi yang diberikan oleh penanggung. Hal ini bisa jadi dikarenakan ketidaktahuan tertanggung mengenai mekanisme pembayaran ganti rugi. Terdapat salah satu asas dalam asuransi yang harus dipegang dalam memberikan ganti kerugian. Asas yang dimaksud adalah asas “indemnitas”. Asas “indemnitas” adalah salah satu asas dalam asuransi yang mendasari mekanisme kerja dan memberi arah tujuan dari perjanjian asuransi itu sendiri (khusus untuk asuransi kerugian). Perjanjian asuransi mempunyai tujuan utama dan spesifik ialah untuk memberi suatu ganti kerugian kepada pihak tertanggung oleh pihak penanggung. Pengertian kerugian itu tidak boleh menyebabkan posisi keuangan pihak tertanggung menjadi lebih diuntungkan dari posisi sebelum menderita kerugian. Jadi terbatas sampai pada keadaan/posisi awal, artinya hanya mengembalikannya pada posisi semula.12 Perjanjian asuransi jumlah tidak mempunyai tujuan untuk mengganti suatu kerugian, sehingga asas “indemnitas” tidak berlaku bagi asuransi ini. Hal yang ingin dicapai oleh asas “indemnitas” adalah keseimbangan antara risiko yang dialihkan kepada penanggung dengan kerugian yang diderita oleh tertanggung sebagai akibat dari terjadinya peristiwa yang secara wajar tidak diharapkan terjadinya.13Pengaturan mengenai asas “indemnitas” atau asas keseimbangan oleh undang-undang tidak diberikan dengan jelas, namun demikian asas ini tersiratdalam beberapa pasal yaitu Pasal 250, 252, 253 KUHD. Perjanjian pertanggungan mempunyai arti yang sangat penting bagi penanggung sejak saat perjanjian itu diadakan, yaitu untuk mengetahui berapakah jumlah maksimum dari prestasinya. Jumlah ini disebutuang pertanggungan. Di dalam suatu pertanggungan kerugian mengenai berapakah maksimum dari penggantian kerugian yang harus diberikan oleh penanggung, sangat perlu diketahui sebelumnya. Uang pertanggungan berfungsi sebagai jumlah maksimum terhadap mana penanggung terikat untuk menggantikannya apabila kerugian telah terjadi (Pasal 253 ayat (1) KUHD).14
12
Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 98. Ibid. hal. 99. 14 Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1990. Op. Cit. hal. 43. 13
6
Pasal 253 ayat (1) KUHD menyebutkan bahwa: Suatu pertanggungan yang melebihi jumlah harga atau kepentingan yang sesungguhnya, hanyalah sah sampai jumlah tersebut. Selanjutnya, disamping berfungsi sebagai jumlah maksimum dari ganti kerugian, jumlah yang dipertanggungkan ini pun dapat berfungsi sebagai dasar perhitungan dalam hal ada kerugian sebagian dalam pertanggungan di bawah nilai benda sesungguhnya. Apabila tertanggung hendak mempertanggungkan kepentingannya itu secara penuh, maka haruslah jumlah yang dipertanggungkan kepentingannya itu sama nilainya dengan nilai benda yang dipertanggungkan sejauh itu dapat dipertanggungkan. Tetapi sering pula bahwa yang dipertanggungkan itu tidaklah nilai penuh, akan tetapi hanya sebagian saja, sehingga si pemilik memikul risiko sendiri untuk bagian lain yang tidak dipertanggungkan itu, dan tentunya akibatnya bahwa jumlah yang dipertanggungkan itu akan menjadi lebih kecil dari nilai benda sesungguhnya.15 Pertanggungan dengan nilai sebagian diatur dalam Pasal 253 ayat (2) KUHD, yaitu: Apabila harga penuh sesuatu barang tidak dipertanggungkan, maka apabila
timbul
menggantinya
kerugian, menurut
si
penanggung
imbangan
hanyalah
daripada
diwajibkan
bagian
yang
dipertanggungkan terhadap bagian yang tidak dipertanggungkan. Terkait dengan risiko dan besarnya kerugian yang mungkin dialami oleh pemilik kendaraan bermotor, PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto, sebagai salah satu perusahaan asuransi yang bergerak dalam asuransi kerugian, telah menawarkan solusi melalui asuransi kendaraan bermotor yang dapat meringankan pemilik dalam menghadapi risiko kerugian akibat peristiwa yang tidak tentu seperti pencurian, tabrakan, terbalik, kebakaran dan lain-lain. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menulis skripsi 15
Ibid. 43.
7
yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN GANTI KERUGIAN PADA ASURANSI PAKET MOTORKOEDI PT. ASURANSI UMUM BUMIPUTERA MUDA 1967 CABANG PURWOKERTO”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan “Bagaimana pemberian ganti kerugian pada asuransi paket Motorkoe di PT. Asuransi Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto?”.
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemberian ganti kerugian pada asuransi paket Motorkoe di PT. Asuransi Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto.
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan wacana, referensi dan acuan penelitian yang sejenis dari permasalahan yang berbeda dan diharapkan juga dapat memajukan perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan bidang hukum asuransi khususnya. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memacu perkembangan informasi dan pengetahuan masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada
8
khususnya terkait dengan mekanisme pembayaran ganti kerugian pada asuransi paket Motorkoe di PT. Asuransi Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. ASURANSI 1. Pengertian dan Pengaturan Asuransi Secara umum terdapat dua istilah yang sering digunakan dalam asuransi. Kedua istilah tersebut yaitu pertanggungan dan asuransi. Istilah pertanggungan dalam bahasa Belanda adalah “verzekering” dan “assuranntie” sementara dalam bahasa Inggris dipakai istilah “insurance”. Prof. Soekardono menerjemahkan “verzekering” itu dengan pertanggungan. Dalam hukum pertanggungan, orang yang mempertanggungkan disebut tertanggung sebagai terjemahan dari bahasa aslinya bahasa Belanda “verzekerde” dan dalam bahasa Inggris dipakai istilah “the insured”. Orang yang menanggung disebut penanggung sebagai terjemahan dari bahasa aslinya bahasa Belanda “verzekeraar” dan dalam bahasa Inggris dipakai istilah “the insurer”.16 Istilah pertanggungan dipakai dalam literatur ilmu pengetahuan hukum, misalnya pertanggungan kerugian, pertanggungan jiwa, benda pertanggungan dan jumlah pertanggungan. Prof. Subekti umumnya juga menggunakan istilah pertanggungan dalam terjemahannya Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.17 Istilah “assurantie” dalam bahasa Indonesia menjadi asuransi. Istilah asuransi lebih banyak dikenal dan dipakai dalam praktek perusahaan pertanggungan sehari-hari. Orang yang mengasuransikan dalam bahasa Belanda disebut “geassureerde” sementara dalam bahasa Inggris disebut “the assured”. Penerima asuransi dalam bahasa Belanda disebut “assuradeur” dan bahasa Inggris “the assurer”. Istilah asuransi dipakai terbatas pada nama jenis usaha dan nama perusahaan, misalnya asuransi kebakaran, asuransi jiwa dan PT. Asuransi Bumiputera. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 dipakai istilah perasuransian.18 16 Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Asuransi (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 5-6. 17 Ibid. hal. 6. 18 Ibid. hal. 6.
10
Prof. Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah asuransi untuk penanggung dan terjamin untuk tertanggung. Walaupun istilah yang dimaksud itu ada persamaan pengertiannya, istilah penjamin dan terjamin lebih tepat dipakai dalam hukum perdata yang membicarakan tentang perjanjian penjaminan “garantie”, “borgtocht”dan “hoofdelijkheid”. J.E. Kaihatu menjelaskan penggunaan istilah bahasa Inggris “insurance” dan “assurance” dalam praktik pertanggungan di Inggris. Menurut beliau, istilah “insurance” dipakai untuk pertanggungan kerugian, sedangkan istilah “assurance” dipakai untuk pertanggungan jumlah “sommenverzekering”.19 Untuk selanjutnya, apabila penulis menggunakan istilah asuransi atau pertanggungan, maksudnya adalah sama. Dalam penelitian ini yang digunakan adalah istilah tertanggung untuk orang yang mempertanggungkan dan penanggung untuk orang yang menanggung. Asuransi dilihat dari segi ekonomi merupakan suatu lembaga keuangan, sebab melalui asuransi dapat dihimpun dana yang besar, yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan, disamping bermanfaat bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam bisnis asuransi yang bertujuan untuk memberikan perlindungan “proteks” atas kerugian keuangan “finansiil loss”, yang ditimbulkan oleh peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya “fortuitius event”.20 Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa asuransi merupakan suatu perjanjian yang berdasarkan pada motif ekonomi, artinya tertanggung menyadari bahwa ancaman bahaya terhadap harta benda miliknya dan jiwa raganya. Apabila bahaya itu menimpa dirinya, maka ia akan mengalami kerugian. Secara ekonomi menderita kerugian atau menderita materiil dan menderita korban jiwa, akan mempengaruhi jalan hidupnya ataupun ahli warisnya. Tertanggung sebagai pihak yang diancam bahaya merasa berat memikul beban tersebut, tertanggung berusaha mencari jalan bila ada pihak lain yang ingin mengambil oper beban ancaman bahaya itu dan ia sanggup membayar kontra prestasi yang disebut dengan premi.21 Dari usaha pertanggungan itu dapat dijelmakan bahwa usaha asuransi itu berarti memasukkan premi yang kemudian merupakan 19
Ibid. hal. 7. Eti Purwiyantiningsih, Tesis: Kajian Yuridis Tentang Prinsip Itikad Baik Berdasarkan Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Dalam Asuransi Kerugian (Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 2008), hal. 56. 21 Ibid. 20
11
dana.dana yang tersimpan dalam perusahaan dapat digunakan oleh perusahaan tersebut untuk membiayai suatu usaha yang mendatangkan suatu keuntungan baginya disamping membantu masyarakat. Usaha ini semuanya sudah jelas membantu pembangunan ekonomi negara kita, yang kemudian dapat dinikmati oleh anggota masyarakat. Jadi semua premi yang kemudian terkumpul itu dapat dipakai sebagai usaha investasi dalam proyek-proyek ekonomi.22 Pengertian asuransi dari segi hukum dapat dilihat dari beberapa ketentuan undang-undang yang mengaturnya. Secara umum, peraturan mengenai asuransi di Indonesia diatur dalam dua peraturan umum yang sudah ada sejak lama yaitu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). KUH Perdata merupakan peraturan yang bersifat umum di bidang keperdataan. Sementara itu, KUHD merupakan peraturan yang mengatur lebih khusus daripada KUH Perdata. Apabila dalam KUHD tidak mengatur, maka KUH Perdata sebagai peraturan yang bersifat umum akan mengisi kekosongan hukum atas apa yang tidak diatur dalam KUHD. Adanya peraturan khusus yang mengatur, maka peraturan yang khusus tersebutlah yang digunakan “lex specialis derogat legi generaly”. Dengan kata lain, terkait asuransi maka yang digunakan adalah aturan yang ada di KUHD, karena KUHD telah mengatur secara khusus mengenai asuransi. Di dalam KUH Perdata, asuransi diklasifikasikan sebagai perjanjian untung-untungan sebagaimana yang tercantum pada Pasal 1774. Pasal 1774 KUH Perdata Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun 22
Ibid.
12
bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. Demikian adalah: perjanjian pertanggungan; bunga cagak hidup; perjudian dan pertaruhan. Perjanjian yang pertama diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Meskipun perjanjian asuransi atau perjanjian pertanggungan secara umum oleh KUH Perdata disebutkan sebagai salah satu bentuk perjanjian untung-untungan, sebenarnya merupakan satu penerapan yang sama sekali tidak tepat. Perjanjian untung-untungan mempunyai kecenderungan yang besar menuju pada pertaruhan atau perjudian. Tujuan perjanjian untung-untungan tersebut, selalu berkaitan dengan kepentingan keuangan yang berkaitan dengan terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa yang belum pasti, dan keberadaan dari peristiwa tersebut baru dimulai setelah ditutupnya perjanjian termaksud.23 Karakteristik dari perjanjian untung-untungan ini adalah berdasarkan pada kemungkinan yang sangat bersifat spekulatif. Oleh karena itu pada perjanjian untung-untungan tujuan utama hanya kepentingan keuangan yang sangat spekulatif. Lain halnya dengan perjanjian asuransi atau pertanggungan yang pada dasarnya sudah mempunyai tujuan yang lebih pasti ialah memperalihkan risiko yang sudah ada yang berkaitan pada kemanfaatan ekonomi tertentu sehingga tetap berada pada posisi yang sama. Posisi atau keadaan ekonomi yang sama tersebut dipertahankan dengan memperjanjikan pemberian ganti rugi karena terjadinya suatu peristiwa yang belum pasti. Jadi peristiwa yang belum pasti terjadi itu merupakan syarat baik dalam perjanjian untung-untungan maupun dalam perjanjian asuransi atau pertanggungan.24 Meskipun demikian peristiwa yang belum pasti terjadi pada perjanjian untung-untungan yang bersifat pertaruhan atau perjudian tidak sama tepat dengan yang terjadi pada perjanjian asuransi. Pada perjanjian pertaruhan dan perjudian, risiko itu justru diciptakan oleh perjanjian itu sendiri. Lain halnya pada perjanjian pertanggungan, risiko itu sudah ada sebelum perjanjian dibuat dan justru perjanjian pertanggungan ditutup dengan tujuan memperalihkan risiko yang sudah ada.25 23
Sri Rejeki Hartono. 2001 Op. Cit. hal. 81. Ibid. 25 Ibid. hal. 82. 24
13
Pada perjanjian untung-untungan peristiwa yang belum pasti itu andaikata tak terjadi sama sekali tidak menyebabkan kerugian ekonomi pada salah satu atau para pihak. Sedangkan pada perjanjian asuransi apabila peristiwa yang belum pasti itu benar terjadi pasti menimbulkan kerugian ekonomi pada salah satu pihak ialah pihak tertanggung.26 Purwosutjipto mengemukakan adanya perbedaan antara perjanjian asuransi dengan perjanjian perjudian atau pertaruhan sebagai berikut27: 1. Pada pertanggungan, hubungan antara kemungkinan untung-rugi dengan peristiwa tak tentu itu masih bisa diperhitungkan atau diperkirakan, artinya bila kemungkinan terjadinya peristiwa tak tentu itu dekat atau kemungkinan timbulnya kerugian atau kerusakan itu tidak jauh, maka penanggung dapat menolak pertanggungan atau menaikan preminya. 2. Pada perjudian atau pertaruhan, hubungan antara kemungkinan untungrugi dengan peristiwa tak tentu itu tidak dapat diperhitungkan atau diperkirakan sebelumnya. Adanya untung-rugi itu sama sekali tergantung pada nasib orang yang melakukan perjudian atau pertaruhan.
Pengertian asuransi atau pertanggungan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 246 KUHD yang menyebutkan bahwa: Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu. Menurut H.M.N Purwosutjipto ada tiga unsur mutlak dalam Pasal 246 KUHD, yaitu28: 1. Adanya kepentingan sebagai yang dimaksud dalam undang-undang (Pasal 250 dan 268 KUHD); 2. Adanya peristiwa tak tentu; 3. Adanya kerugian. 26
Ibid. H.M.N Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 6. 28 Ibid. 27
14
H.M.N Purwosutjipto juga berpendapat, bahwa ketentuan Pasal 246 dimaksudkan
oleh
pembentuk
undang-undang
sebagai
definisi
pertanggungan umum. Beliau berpendapat bahwa ketentuan Pasal 246 KUHD mengandung unsur-unsur bagi pertanggungan kerugian, tetapi tidak mengandung
unsur-unsur
pertanggungan
jiwa.
Dengan
demikian,
menurutnya Pasal 246 KUHD hanya tepat sebagai definisi pertanggungan kerugian.29 Abdulkadir Muhammad memberikan unsur-unsur asuransi atau pertanggungan berdasarkan definisi Pasal 246 KUHD sebagai berikut30: a. Pihak-Pihak Subjek asuransi adalah pihak-pihak dalam asuransi, yaitu penanggung dan tertanggung yang mengadakan perjanjian asuransi. Penanggung dan tertanggung adalah pendukung kewajiban dan hak. Penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak memperoleh pembayaran premi, sedangkan tertanggung wajib membayar premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya yang diasuransikan. b. Status Pihak-Pihak Penanggung harus berstatus sebagai perusahaan badan hukum, dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Perseroan (Persero) atau Koperasi. Sedangkan tertanggung dapat berstatus sebagai perseorangan, persekutuan atau badan hukum, baik sebagai perusahaan 29 30
Ibid. hal. 9. Abdulkadir Muhammad. 2002. Op. Cit. hal. 8-10.
15
ataupun bukan perusahaan. Tertanggung berstatus sebagai pemilik atau pihak berkepentingan atas harta yang diasuransikan. c. Objek Asuransi Objek asuransi dapat berupa benda, hak atau kepentingan yang melekat pada benda dan sejumlah uang yang disebut premi atau ganti kerugian. Melalui objek asuransi tersebut ada tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak. Penanggung bertujuan memperoleh pembayaran sejumlah
premi
sebagai
imbalan
pengalihan
risiko.
Sedangkan
tertanggung bertujuan bebas dari risiko dan memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya. d. Peristiwa Asuransi Peristiwa asuransi adalah perbuatan hukum (“legal act”)berupa persetujuan atau kesepakatan bebas antara penanggung dan tertanggung mengenai objek asuransi, peristiwa tidak pasti (“evenemen”) yang mengancam benda asuransi dan syarat-syarat yang berlaku dalam asuransi. Persetujuan atau kesepakatan bebas tersebut dibuat dalam bentuk tertulis berupa akta yang disebut polis. Polis ini merupakan satusatunya alat bukti yang dipakai untuk membuktikan telah terjadi asuransi. e. Hubungan Asuransi Hubungan asuransi yang terjadi antara penanggung dan tertanggung adalah keterikatan (“legally bound”) yang timbul karena persetujuan atau kesepakatan bebas. Keterikatan tersebut berupa kesediaan secara sukarela dari penanggung dan tertanggung untuk
16
memenuhi kewajiban dan hak masing-masing terhadap satu sama lain (secara timbal balik). Artinya sejak tercapai kesepakatan asuransi, tertanggung terikat dan wajib membayar premi asuransi kepada penanggung, dan sejak itu pula penanggung menerima pengalihan risiko. Jika terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian atas benda asuransi, penanggung wajib membayar ganti kerugian sesuai dengan ketentuan polis asuransi. Jika tidak terjadi evenemen, premi yang sudah dibayar oleh tertanggung tetap menjadi milik penanggung. Selain dalam KUHD, pengertian asuransi atau pertanggungan juga bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian (UU No. 2 Tahun 1992), yang menyebutkan bahwa: Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Rumusan Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 1992 ternyata lebih luas jika dibandingkan dengan rumusan Pasal 246 KUHD karena tidak hanya melingkupi asuransi kerugian, tetapi juga asuransi jiwa. Hal ini dapat diketahui dari kata-kata akhir rumusan, yaitu “ untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”. Dengan demikian, objek asuransi tidak hanya meliputi harta kekayaan, tetapi juga jiwa/raga manusia.31
31
Ibid. hal. 11.
17
Molengraaf memberikan definisi mengenai asuransi yaitu asuransi kerugian ialah persetujuan dengan mana satu pihak, penanggung mengikatkan diri terhadap yang lain, tertanggung untuk mengganti kerugian yang dapat diderita oleh tertanggung, karena terjadinya suatu peristiwa yang telah ditunjuk, dan yang belum tentu serta kebetulan, dengan mana pula tertanggung berjanji untuk membayar premi.32 Hukum asuransi atau pertanggungan di Indonesia diatur dalam KUHD dan di luar KUHD. Peraturan pertanggungan dalam KUHD ialah33: 1. Buku I, Bab IX tentang asuransi atau pertanggungan pada umumnya (Pasal 246 sampai dengan 286). 2. Buku I, Bab X tentang pertanggungan terhadap bahaya kebakaran, terhadap bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum dipaneni dan tentang pertanggungan jiwa (Pasal 287 sampai dengan 308). 3. Buku II, Bab IX tentang pertanggungan terhadap segala bahaya laut (Pasal 592 sampai dengan 685). 4. Buku II, Bab X tentang pertanggungan terhadap bahaya dalam pengangkutan di daratan dan di sungai dan di perairan darat (Pasal 686 sampai dengan 695). Walaupun dalam Pasal 248 KUHD dinyatakan bahwa ketentuanketentuan yang bersifat umum diberlakukan terhadap pertanggungan yang telah diatur dalam Buku I dan Buku II KUHD, pasal tersebut hendaknya ditafsirkan juga berlaku bagi pertanggungan khusus di luar KUHD. Ketentuan-ketentuan yang bersifat umum dalam Buku I Bab 32
H. Mashudi dan Moch. Chidir Ali, Hukum Asuransi (Bandung: PT. Mandar Maju, 1998). hal. 3. 33 H.M.N. Purwosujtipto. 1990. Op. Cit. hal. 11.
18
IX KUHD adalah ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan karena memuat syarat-syarat umum yang berlaku bagi setiap pertanggungan.34 Timbulnya bermacam jenis pertanggungan khusus dalam praktek menunjukkan bahwa masyarakat makin berkembang, sehingga makin menyadari pula adanya bermacam bahaya yang mengancam keselamatan harta kekayaan atau jiwa dan raga, terhadap bahayabahaya tersebut lalu diadakan pertanggungan. Pada waktu KUHD dirancang lebih dari satu abad yang lalu, bahaya-bahaya semacam itu belum diatur, misalnya bahaya yang disebabkan oleh kesibukan lalu lintas, bahaya kemungkinan tidak membayar hutang, dan bahaya kecelakaan kerja.35 Peraturan pertanggungan di luar KUHD antara lain36: 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. 2. Undang-undang Asuransi Sosial. Perundang-undangan yang mengatur asuransi sosial sebagai berikut: a. Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Jasa Raharja): 1. Undang-Undang Pertanggungan
Nomor Wajib
33
Tahun
Kecelakaan
1964
tentang
Penumpang.
Dana
Peraturan
pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965. 2. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965. b. Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek): 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). 34
Abdulkadir Muhammad.2002. Op. Cit. hal. 19. Ibid. hal. 19. 36 Ibid. hal. 19-21. 35
19
2. Peraturan
Pemerintah
Nomor
18
Tahun
1990
tentang
Penyelenggaraan Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977). 3. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1991 tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI). 4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil (ASPNS). c. Asuransi Sosial Pemeliharaan Kesehatan (Askes) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 tentang Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil (PNS), Penerima Pensiun, Veteran, Perintis Kemerdekaan Beserta Keluarganya. 2. Tujuan Asuransi Tujuan perjanjian pertanggungan adalah untuk mengalihkan risiko si tertanggung kepada si penanggung, yang berarti bahwa penanggung berkewajiban untuk mengganti kerugian tertanggung bila terjadi evenemen. Sebagai kontra prestasinya tertanggung harus membayar uang premi kepada penanggung. Berapa jumlah uang premi yang harus dibayar oleh tertanggung, penanggung harus memperhitungkan berdasarkan statistik dan pengalaman yang cermat. Dengan perhitungan jumlah uang premi yang tepat, maka perusahaan pertanggungan tidak akan merugi dan dapat memelihara perusahaannya dengan baik.37 Menurut Emmy Pangaribuan, pertanggungan itu mempunyai tujuan mengalihkan segala risiko yang ditimbulkan peristiwa-peristiwa yang tidak dapat diharapkan terjadinya itu kepada orang lain yang mengambil risiko untuk mengganti kerugian.38
37 38
H.M.N. Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 25. Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1990. Op. Cit. hal. 5.
20
Menurut Abdulkadir Muhammad ada beberapa tujuan asuransi, yaitu39: 1. Teori Pengalihan Risiko Menurut teori pengalihan risiko “risk transfer theory”tujuan perjanjian pertanggungan adalah untuk mengalihkan risiko si tertanggung kepada si penanggung, yang berarti bahwa penanggung berkewajiban untuk mengganti kerugian tertanggung bila terjadi evenemen. Sebagai kontra prestasinya tertanggung harus membayar uang premi kepada penanggung. 2. Pembayaran Ganti Rugi Dalam hal tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka tidak ada masalah terhadap risiko yang ditanggung oleh penanggung.
Dalam
praktiknya
tidak
senantiasa
bahaya
yang
mengancam itu sungguh-sungguh terjadi. Ini merupakan kesempatan baik bagi penanggung mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa tertanggung yang mengikatkan diri kepadanya. Jika suatu ketika sungguh-sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung yang bersangkutan akan dibayarkan ganti kerugian seimbang dengan jumlah asuransinya. Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi yang bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh-sungguh dideritanya.
39
Abdulkadir Muhammad. 2002. Op. Cit. hal. 12-15.
21
3. Pembayaran Santunan Asuransi kerugian dan asuransi jiwa diadakan berdasarkan perjanjian bebas (sukarela) antara penanggung dan tertanggung “voluntary insurance”. Akan tetapi, undang-undang mengatur asuransi yang bersifat wajib “compulsory insurance”, artinya tertanggung terikat dengan penanggung karena perintah undang-undang, bukan karena perjanjian. Asuransi jenis ini disebut asuransi sosial “social security insurance”. Tujuan mengadakan asuransi sosial menurut pembentuk undang-undang adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat, dan mereka yang terkena musibah diberi santunan sejumlah uang. 4. Kesejahteraan Anggota Apabila beberapa orang berhimpun dalam suatu perkumpulan dan
membayar
kontribusi
(iuran)
kepada
perkumpulan,
maka
perkumpulan itu berkedudukan sebagai penanggung, sedangkan anggota perkumpulan berkedudukan sebagai tertanggung. Jika terjadi peristiwa yang mengakibatkan kerugian atau kematian bagi anggota (tertanggung), perkumpulan
akan
membayar
sejumlah
uang
kepada
anggota
(tertanggung) yang bersangkutan. Prof. Wirjono Prodjodikoro menyebut asuransi seperti ini mirip dengan “perkumpulan koperasi”. Asuransi ini merupakan asuransi saling menanggung “onderlinge verzekering” atau asuransi bersama “mutual insurance” yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anggota.
22
3. Jenis-Jenis Asuransi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang di dalam Pasal 247 ayat (1) menyebutkan bahwa: Pertanggungan-pertanggungan itu antara lain dapat mengenai: bahaya kebakaran; bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum dipaneni; jiwa; satu atau beberapa orang; bahaya laut dan pembudakan; bahaya yang mengancam pengangkutan di daratan, di sungaisungai dan di perairan darat. Jenis-jenis pertanggungan yang disebut dalam Pasal 247 ayat (1) itu tidak tertutup, ternyata dari adanya kata “antara lain”. Ini berarti bahwa pembentuk undang-undang masih membuka kesempatan bagi jenis-jenis pertanggungan baru, yang timbul berdasar perkembangan dunia perusahaan.40 Pembedaan asuransi atau
pertanggungan
berdasarkan
ilmu
pengetahuan terdiri dari Pertanggungan Kerugian dan Pertanggungan Sejumlah Uang. Cara untuk mengetahui apakah suatu pertanggungan itu tergolong pertanggungan kerugian atau pertanggungan jumlah adalah dilihat dari “prestasi penanggung”. Dikatakan Pertanggungan Sejumlah Uang apabila penanggung mengikatkan dirinya untuk melakukan prestasi memberikan sejumlah uang yang telah ditentukan sebelumnya. Pada Pertanggungan Sejumlah Uang, pemberian sejumlah uang yang telah ditentukan sebelumnya itu bergantung pada peristiwa yang pada umumnya tidak pasti akan terjadi, yang ada hubungannya dengan hidup atau jiwa atau bahkan kesehatan seseorang. Dengan demikian, tujuan dari Pertanggungan Sejumlah Uang ialah
40
H.M.N. Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 14.
23
membayar sejumlah uang tertentu, tidak tergantung pada persoalan pada apakah “evenemen” menimbulkan kerugian atau tidak. Santunan diberikan kepada penikmat meskipun dia dengan matinya si badan tertanggung tidak menderita kerugian suatu apapun. Prestasi penanggung di sini sama sekali tidak bisa disebut memberi penggantian kerugian, sebagai yang disebut dalam Pasal 246 KUHD.41 Dikatakan
Pertanggungan
Kerugian
apabila
penanggung
mengikatkan dirinya untuk melakukan prestasi dalam bentuk mengganti rugi sepanjang ada kerugian. Dengan demikian, tujuan dari Pertanggungan Kerugian ialah mengganti kerugian yang mungkin timbul pada harta kekayaan tertanggung. Dalam hal ini, tertanggung ingin mengamankan kepentingan harta kekayaannya.42 Pertanggungan dapat juga dibedakan menurut kriteria “ada tidaknya persesuaian kehendak” dari kedua belah pihak dalam menutup pertanggungan itu. Apabila pertanggungan itu ditutup atas dasar kehendak yang bebas dari kedua belah pihak maka kita menghadapi pertanggungan sukarela atau “voluntary insurance”. Biasanya “voluntary insurance” ini ditutup atas keinginan perorangan sehingga disebut juga sebagai “voluntary private insurance”. Sebaliknya bilamana pertanggungan itu ditutup oleh pihak tertanggung karena diwajibkan oleh suatu peraturan (pihak penanggung) maka pertanggungan demikian adalah termasuk pertanggungan wajib atau “compulsary insurance”. Oleh karena biasanya pertanggungan yang demikian ini adalah diwajibkan oleh pemerintah kepada seluruh atau sebagian tertentu dari anggota masyarakat untuk suatu tujuan memberikan perlindungan “sosial security” maka pertanggungan ini dinamakan juga sebagai “social insurance” atau “social goverment insurance”.43
41
Ibid. hal. 16. Ibid. hal. 15 43 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya (Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1990), hal. 40-41. 42
24
Pertanggungan sukarela sebagian besar dikenal orang dalam dunia pertanggungan sebagai usaha pertanggungan yang mengandung unsur bisnis, karena pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pertanggungan dalam masyarakat. Hal itulah juga yang menyebabkan bahwa biasanya pertanggungan itu disebut dengan nama “commercial insurance”. Perusahaan-perusahaan pertanggungan yang melaksanakan usahanya dengan tujuan memperoleh keuntungan dari penutupan-penutupan pertanggungan melaksanakan usahanya itu dengan pemasaran jasa dalam masyarakat, mencari langgananlangganan yang rela menjadi tertanggung. Jadi kelihatan sifat “commercial” atau sifat perdagangannya itu. Namun demikian, “voluntary insurance” dalam menjalankan kegiatannya tidak sematamata hanya dalam usaha-usaha yang mencari keuntungan. “Voluntary insurance” mungkin saja dilaksanakan oleh suatu perusahaan pertanggungan dengan tujuan sekedar memberi perlindungan kepada anggota-anggota masyarakat tertentu sebagai suatu kumpulan. Oleh penulis David L. Bicklehaupt, voluntary insurance yang demikian ini disebut dengan nama “cooperative insurance”.44 “Voluntary” atau “Commercial Insurance” dapat dibedakan atas dua bagian besar menurut sifat obyek yang dipertanggungkan yaitu45: a. “Personal Insurance” Pada umumnya memang yang dimaksud sebagai “personal insurance” adalah yang menyangkut pemberian perlindungan kepada seseorang atau keluarga berhubung timbulnya suatu kerugian, sehingga mengakibatkan seseorang kehilangan kemampuan mencari nafkah atau kehilangan sumber nafkah karena suatu peristiwa mati, cacat, sakit, usia tua atau kehilangan pekerjaan. Oleh karena itulah bahwa pada pokoknya personal insurance ini ditujukan pada pemberian perlindungan atas hidup seseorang atau atas sakitnya seseorang sehingga terdapat “life insurance” dan “health insurance”.
44 45
Ibid. hal. 41. Ibid. hal. 42.
25
b. “Property Insurance” “Property Insurance”adalah pertanggungan yang ditutup atas harta benda yang menjadi milik seseorang atau yang dipertanggungkan adalah kerugian yang menimpa harta milik seseorang. Sehubungan dengan kerugian yang menimpa harta benda mungkin saja seseorang itu tidak hanya rugi karena miliknya ditimpa suatu peristiwa, melainkan juga karena harta orang lain yang ditimpa kerugian sedangkan dia menurut hukum bertanggung jawab atas keselamatan dari barang itu. Kerugian seperti ini dapat dipertanggungkan dan masih tetap tergolong pada “property insurance” dan disebut dengan “liability insurance”. 4. Syarat Sah Perjanjian Asuransi Secara tegas dikatakan dalam Pasal 246 KUHD, bahwa asuransi didasarkan atas suatu
perjanjian dan perjanjian yang dimaksud adalah
perjanjian antara tertanggung dengan penanggung. Sehubungan dengan asuransi sebagai perjanjian, maka perjanjian asuransi, sebagaimana perjanjian pada umumnya, harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata
1. 2. 3. 4.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; Suatu hal tertentu; Suatu sebab yang halal. Perjanjian asuransi sebagai bentuk perjanjian khusus, mempunyai
syarat-syarat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,
26
seperti yang tersebut dalam Pasal 251 KUHD mengenai kewajiban pemberitahuan yang benar.46 Syarat perjanjian asuransi yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad adalah47: 1. Kesepakatan “Consensus” Kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi: a. Benda yang menjadi objek asuransi; b. Pengalihan risiko dan pembayaran premi; c. Evenemen dan ganti kerugian; d. Syarat-syarat khusus asuransi; e. Dibuat secara tertulis yang disebut polis. Pengadaan perjanjian antara tertanggung dan penanggung dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Dilakukan secara langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi tanpa perantara. Dilakukan secara tidak langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi melalui jasa perantara. Perantara dalam KUHD disebut makelar sementara dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 disebut pialang. 2. Kewenangan “Authority” Kedua pihak, tertanggung dan penanggung wenang melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Kewenangan berbuat ada yang bersifat sebjektif dan ada yang bersifat objektif. Kewenangan 46 47
Abdulkadir Muhammad. Op. Cit. hal. 49. Ibid. hal. 49-54.
27
subjektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada di bawah perwalian “trusteeship”, atau pemegang kuasa yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan yang sah dengan benda objek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan miliknya sendiri. 3. Objek Tertentu “Fixed Object” Objek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah objek yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan, dapat pula berupa jiwa atau raga manusia. Karena yang mengasuransikan objek itu adalah tertanggung, maka dia harus mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan objek asuransi itu. 4. Kausa yang Halal “Legal Cause” Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian itu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. 5. Pemberitahuan “Notification” Tertanggung
wajib
memberitahukan
kepada
penanggung
mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat mengadakan asuransi. Apabila tertanggung lalai, maka akibat hukumnya asuransi batal. Pasal 251 KUHD menyebutkan bahwa: Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal-hal yang tidak diketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya, sehingga, seandainya si penanggung telah mengetahui
28
keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutp atau tidak ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan. Kewajiaban pemberitahuan itu berlaku juga apabila setelah diadakan asuransi terjadi pemberatan risiko atas objek asuransi. 5. Prinsip-Prinsip Asuransi Terkait dengan prinsip-prinsip asuransi terdapat asas-asas dan ketentuan-ketentuan umum perjanjian asuransi. Untuk itu, penulis akan mengklasifikasikan menjadi dua bagian, bagian pertama ialah asas dan syarat yang berkaitan dengan terjadi dan sahnya perjanjian asuransi sedangkan bagian kedua ialah syarat yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian asuransi. a. Asas dan syarat yang berkaitan dengan terjadinya dan sahnya perjanjian asuransi Secara umum, sahnya suatu perjanjian diatur dan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Pasal 1320 KUH Perdata beserta pasal-pasal yang lain yaitu Pasal 1321-1329 KUH Perdata. Setiap perjanjian, termasuk perjanjian asuransi harus memenuhi syarat-syarat umum sebagai berikut48: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. 48
Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 97.
29
Keempat hal tersebut di atas tidak boleh dilakukan karena adanya kekhilafan, paksaan ataupun karena tipuan49. Sedangkan untuk syarat khusus bagi perjanjian asuransi harus memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Buku I Bab IX KUHD ialah50: a. Asas indemnitas“principle of indemnity”. b. Asas kepentingan “principle of insurable interest”. c. Asas kejujuran yang sempurna “utmost good faith”. d. Asas subrogasi pada penanggung. Ad. a. Asas Indemnitas“Principle of Indemnity" Perjanjian pertanggungan mempunyai tujuan untuk mencegah tertanggung dari menderita kerugian atau supaya risiko yang dihadapinya diperalihkan kepada si penanggung. Di dalam penggantian kerugian itu dipakai suatu asas yaitu asas perseimbangan, yaitu perseimbangan antara risiko yang akan diperalihkan kepada penanggung dengan kerugian yang di derita oleh tertanggung sebagai akibat suatu peristiwa yang tidak dapat diharapkan akan terjadinya.51 Asas indemnitas ini merupakan ketentuan lebih lanjut dari adanya kepentingan. Jadi harus ada hubungan kesinambungan antara kepentingan dan asas indemnitas, bahwa tertanggung benar-benar mempunyai kepentingan terhadap kemungkinan menderita kerugian karena terjadinya peristiwa yang tidak diharapkan.52 Masih terkait dengan asas indemnitas atau prinsip keseimbangan, Pasal 252 KUHD menentukan bahwa: Kecuali dal hal-hal yang disebutkan dalam ketentuanketentuan undang-undang, maka tak bolehlah diadakan suatu pertanggungan kedua, untuk jangka waktu yang sudah
49
Ibid. Ibid. 51 Emmy Pangaribuan. 1990. Op. Cit. hal. 64. 52 Sri Rejeki Hartono.2001. Op. Cit. hal. 99. 50
30
dipertanggungkan untuk harganya penuh, dan demikian itu atas ancaman batalnya pertanggungan yang kedua tersebut. Berdasarkan ketentuan di atas bahwa adalah batal pertanggungan kedua atas suatu kepentingan yang telah dipertanggungkan untuk nilai penuh pada saat di mana pertanggungan kedua itu diadakan. Dengan tegas ketentuan ini bertujuan untuk mencegah adanya penggantian kerugian yang menjadi melebihi daripada kerugian yang diderita dan mengharuskan adanya perseimbangan antara penggantian kerugian dan nilai benda itu. Tetapi, di dalam Pasal 252 KUHD disebutkan pula tentang adanya perkecualian menurut undang-undang yang terhadapnya dibolehkan adanya pertanggungan yang rangkap itu.53 Menurut
Prof.
Emmy
Pangaribuan
Simanjuntak,
pengecualian yang dimaksud oleh Pasal 252 KUHD adalah Pasal 277 KUHD. Pasal 277 KUHD menyebutkan: Pasal 277 ayat (1) KUHD Apabila berbagai penanggungan, dengan itikad baik, telah diadakan mengenai satu-satunya barang, sedangkan dalam pertanggungan yang pertama harga sepenuhnya telah dipertanggungkan, maka hanya pertanggungan pertama itu sajalah mengikat, sedangkan para penanggung yang berikutnya dibebaskan. Pasal 277 ayat (2) KUHD Apabila dalam pertanggungan yang pertama itu tidak dipertanggungkan harga sepenuhnya, maka para penanggung yang berikut bertanggung jawab untuk harga yang selebihnya, menurut tertib waktu ditutupnya pertanggungan-pertanggungan yang berikut itu. Ketentuan Pasal 277 KUHD ini adalah tepat sebagai pengecualian Pasal 252 KUHD, karena beberapa pertanggungan atas benda yang sama dengan kepentingan yang sama dan untuk waktu yang sama dengan nilai penuh daripada benda. Bagaimanapun juga larangan yang disebutkan di dalam Pasal 252 KUHD itu harus pertama-tama 53
Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1990. Op. Cit. hal. 66.
31
diartikan bahwa undang-undang melarang tertanggung untuk memperoleh penggantian kerugian berlipat ganda “double” atau yang lebih daripada yang diderita. Kemungkinan tertanggung menerima ganti rugi berlipat ganda inilah yang sebenarnya ingin dicegah oleh pembentuk undang-undang dengan ketentuan Pasal 252 KUHD itu.54 Ad. b. Asas Kepentingan“Principle of Insurable Interest” Batasan atau pengertian kepentingan di dalam perjanjian asuransi atau pertanggungan dapat dimulai dari pengertian yang tidak langsung sebagai berikut yaitu seseorang dapat dianggap mempunyai kepentingan di dalam perjanjian asuransi ialah apabila orang tersebut dapat atau mungkin menderita kerugian yang bersifat kerugian ekonomi, sehingga dengan demikian kepentingan dapat pula diartikan sebagai keterlibatan kerugian keuangan karena suatu peristiwa yang belum pasti.55 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, mengenai kepentingan, mengaturnya dalam dua pasal yaitu Pasal 250 dan Pasal 268 KUHD. Pasal 250 KUHD Apabila seorang yang telah mengadakan suatu pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seorang, yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai suatu kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka si penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi. Pasal 268 KUHD Suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yang dapat dinilaikan dengan uang, dapat diancam oleh
54 55
Ibid. hal. 65-67. Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 101.
32
sesuatu bahaya, dan tidak dikecualikan oleh undangundang. Jadi pada hakikatnya, setiap kepentingan itu dapat diasuransikan/dipertanggungkan, baik kepentingan yang bersifat kebendaan atau kepentingan yang bersifat hak, sepanjang memenuhi syarat yang diminta oleh Pasal 268 KUHD tersebut di atas, yaitu bahwa kepentingan itu dapat dinilai dengan uang, dapat diancam bahaya dan tidak dikecualikan oleh undang-undang.56 Ketentuan lain yang masih berkaitan dengan asas kepentingan antara lain: 1) Pertanggungan mengikuti kepentingan Pada dasarnya tiap-tiap pertanggungan terdapat adanya unsur kepentingan, jika kepentingan tidak ada, maka penanggung tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian (Pasal 250 KUHD). Dari ketentuan ini maka timbul asas pertanggungan mengikuti kepentingan, yang berarti bila kepentingan yang dipertanggungkan itu pindah kepada orang lain, maka mulai saat itu pertanggungan berjalan untuk keuntungan orang yang berkepentingan baru itu (Pasal 263 KUHD).57 2) Pertanggungan untuk kepentingan pihak ketiga Pasal 264 KUHD berbunyi: Suatu pertanggungan tidak saja dapat ditutup atas tanggungan sendiri, tetapi juga dapat ditutup atas tanggungan seorang ketiga, baik berdasarkan suatu kuasa umum atau khusus, maupun di luar pengetahuan si yang berkepentingan sekalipun, dan demikian itu mengindahkan ketentuan-ketentuan yang berikut. Ketentuan perjanjian
56 57
pasal
pertanggungan
Ibid. hal. 101. H.M.N Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 74.
di
atas
juga
menunjukkan
dapat
dilakukan
bahwa untuk
33
kepentingan pihak ketiga berdasarkan pemberian kuasa ataupun di luar pengetahuan si yang berkepentingan. Pertanggungan untuk kepentingan pihak ketiga ini tentunya harus tunduk pada ketentuan yang lainnya, dalam hal ini harus melihat ketentuan Pasal 265, 266 dan 267 KUHD. Pasal 265 KUHD pada intinya menekankan bahwa pertanggungan untuk kepentingan pihak ketiga harus tegas dinyatakan dalam polis apakah berdasarkan pemberian kuasa atau tanpa sepengetahuan si yang berkepentingan. Pasal 266 KUHD berisi batalnya pertanggungan
pihak
ketiga,
yaitu
apabila
berkepentingan
juga
mempertanggungkan
si
sebelum
yang ia
mengetahui tentang pertanggungan yang ditutup di luar pengetahuannya itu. Sementara itu, Pasal 267 KUHD menjelaskan bahwa jika dalam polis tidak disebutkan atas tanggungan pihak ketiga, maka dianggap bahwa si tertanggung telah membuat pertanggungan untuk dirinya sendiri. Ad. c. Asas Kejujuran yang Sempurna“Utmost Good Faith” Untuk istilah kejujuran yang sempurna dalam perjanjian asuransi, lazim juga dipakai istilah-istilah lain yaitu itikad baik yang sebaik-baiknya, “principle of utmost good faith atau uberrimae fidei”.58 Asas kejujuran ini sebenarnya merupakan asas bagi setiap perjanjian, sehingga harus dipenuhi oleh para pihak 58
Sri Rejeki Hartono. 2001 Op. Cit. hal. 103.
34
yang mengadakan perjanjian. Tidak dipenuhinya asas ini pada saat akan menutup suatu perjanjian akan menyebabkan adanya cacat kehendak, sebagaimana makna dari keseluruhan ketentuan-ketentuan dasar yang diatur oleh Pasal-Pasal 13201329 KUH Perdata. Bagaimanapun juga itikad baik merupakan satu dasar utama dan kepercayaan yang melandasi setiap perjanjian dan hukum pada dasarnya juga tidak melindungi pihak yang beritikad buruk.59 Meskipun secara umum itikad baik sudah diatur sebagaimana ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata, khusus untuk perjanjian asuransi, masih dibutuhkan penekanan atas itikad baik sebagaimana diminta oleh Pasal 251 KUHD.60 Pasal 251 KUHD Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya, sehingga seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan. Secara umum, itikad baik yang sempurna dapat diartikan bahwa masing-masing pihak dalam suatu perjanjian yang akan disepakati, menurut hukum mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan atau informasi yang selengkap-lengkapnya, yang akan dapat mempengaruhi keputusan pihak yang lain untuk memasuki perjanjian atau tidak, baik keterangan yang demikian itu diminta atau tidak. Jadi sebenarnya, secara adil kewajiban memberikan keterangan dan informasi sebagai pencerminan itikad baik yang sempurna itu harus dipenuhi kedua belah pihak, baik pihak I/Penanggung/Perusahaan Asuransi maupun Pihak II/Tertanggung/Pengambil Asuransi mempunyai beban kewajiban sama dan seimbang.61 Pasal 251 KUHD secara sepihak hanya memberikan kewajiban untuk memberikan keterangan dan informasi yang 59
Ibid. hal. 103. Ibid. hal. 103. 61 Ibid. hal. 104. 60
35
benar kepada pihak II yaitu tertanggung atau pengambil asuransi saja. Sedangkan pihak I/Penanggung sebaliknya mendapat perlindungan terhadap pelanggaran asas itikad baik yang sempurna dari tertanggung.62 Ad. d. Asas Subrogasi pada Penanggung Asas subrogasi diatur secara tegas dalam Pasal 284 KUHD, yaitu: Seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang yang dipertanggungkan, menggantikan si tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut; dan si tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak si penanggung terhadap orang-orang ketiga itu. Asas subrogasi bagi penanggung, seperti diatur pada Pasal 284 KUHD tersebut di atas adalah suatu asas yang merupakan konsekuensi logis dari asas indemnitas.63 Mengingat tujuan perjanjian asuransi itu adalah untuk memberi ganti kerugian, maka tidak adil apabila tertanggung, karena dengan terjadinya suatu peristiwa yang tidak diharapkan menjadi diuntungkan. Artinya tertanggung di samping sudah mendapat ganti kerugian dari penanggung masih memperoleh pembayaran lagi dari pihak ketiga (meskipun ada alasan untuk itu).64 Subrogasi dalam asuransi adalah subrogasi berdasarkan undang-undang.65 Dengan subrogasi ini penanggung yang telah membayar ganti kerugian kepada tertanggung berdasarkan perjanjian pertanggungan, dapat menuntut ganti kerugian itu kepada orang yang oleh tertanggung dapat dituntut bertanggung 62
Ibid. hal. 104. Ibid. hal. 107. 64 Ibid. hal. 107. 65 Ibid. hal. 107. 63
36
jawab atas kerugian yang diderita dan yang tuntutannya ini sudah dilepaskannya karena ia telah menuntut dari penanggung.66 Oleh karena itu, asas subrogasi hanya dapat ditegakkan apabila memenuhi dua syarat berikut67: 1. Apabila tertanggung disamping mempunyai hak terhadap penanggung masih mempunyai hak-hak terhadap pihak ketiga. 2. Hak tersebut timbul, karena terjadinya suatu kerugian. Permasalahan lain terkait dengan asas subrogasi adalah apabila perjanjian pertanggungan tersebut ditutup dengan pertanggungan dengan nilai sebagian. Artinya tertanggung hanya mempertanggungkan sebagian saja dari kepentingannya dan kerugian yang diderita oleh tertanggung tersebut tidak semuanya diganti oleh penanggung. Apabila ketentuan di atas mutlak diterapkan pada keadaan bahwa semua hak-hak dari tertanggung terhadap orang lain itu, diperalihkan kepada penanggung walaupun penanggung hanya membayar kerugian sebagian saja, maka secara logis tidak dapat diterima. Dengan demikian, penanggung menjadi dapat menuntut lebih dari orang yang bersalah itu daripada apa yang telah dibayarkannya kepada tertanggung. Maka setelah melihat adanya kemungkinan yang tidak baik di atas, tidaklah ada jalan lain yang lebih adil lagi untuk menerapkan subrogasi itu terbatas, yang berarti kalau penggantian kerugian itu hanya untuk sebagian saja dibayar oleh penanggung, maka hanyalah dapat disubrogasikan untuk sejumlah kerugian yang telah dibayarnya itu dan hak-hak selebihnya tertanggung terhadap orang-orang yang bersalah itu masih tetap dipegang tertanggung sendiri.68
66
Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1990. Op. Cit. hal. 75. Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 107. 68 Emmy Pangaribuan Simanjuntak.1990. Op. Cit. hal. 76. 67
37
Subrogasi
tidak
hanya
dikenal
dalam
hukum
pertanggungan. Di dalam hukum perdata juga terdapat ketentuanketentuan mengenai subrogasi yaitu dalam Pasal-Pasal 1400, 1401 dan 1403 KUH Perdata. Pasal 1400 KUH Perdata Subrogasi atau penggantian hak-hak si berpiutang oleh seorang pihak ketiga, yang membayar kepada si berpiutang itu, terjadi baik dengan persetujuan maupun demi undangundang. Berdasarkan ketentuan Pasal 284 KUHD dan 1400 KUH Perdata yang sama-sama mengatur mengenai subrogasi, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan diantara kedua ketentuan tersebut. Pada Pasal 1400 KUH Perdata bahwa hak subrogasi berada pada pihak ketiga (setelah ia membayar), sedang dalam pertanggungan subrogasi itu ada pada tangan penanggung yang menjadi pihak lawan dari tertanggung di dalam perjanjian pertanggungan itu, jadi bukan pada pihak ketiga. Tehadap pihak ketigalah penanggung dapat melaksanakan hak subrogasinya.69 b. Syarat yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian asuransi Syarat-syarat agar penanggung bersedia memenuhi tanggung jawabnya dengan melaksanakan prestasinya adalah sebagai berikut70: 1. Adanya peristiwa yang tidak tertentu. 2. Hubungan sebab akibat. 3. Apakah ada yang memberatkan risiko. 4. Apakah ada cacat atau kebusukan atau sifat kodrat dari barang.
69 70
Ibid. hal.77. Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 108.
38
5. Kesalahan tertanggung. 6. Nilai yang diasuransikan. Ad. 1. Adanya Peristiwa yang Tidak Tentu Peristiwa tidak tentu merupakan suatu peristiwa yang menurut pengalaman manusia normaliter tidak dapat diharapkan akan terjadinya. Di samping itu, peristiwa tersebut secara subjektif sama sekali tidak dapat dipastikan apakah terjadi atau tidak.71 Kerugian yang timbul di dalam pertanggungan itu haruslah kerugian yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa yang tidak tertentu (peristiwa yang tidak pasti terjadi). Apabila seorang tertanggung menuntut dari penanggung penggantian kerugian, maka supaya ia dapat menerima ganti kerugian itu, haruslah kerugian yang ditimbulkan suatu peristiwa tidak tertentu itu.72 Beberapa pasal dalam KUHD menyebutkan sejumlah bahaya-bahaya. Pasal 290 KUHD misalnya, menyebutkan mengenai pertanggungan kebakaran dan Pasal 637 KUHD untuk bahaya pertanggungan laut. Penyebutan peristiwa tidak tentu yang disebutkan di dalam beberapa pasal di dalam KUHD pada asasnya adalah bukan limitatif melainkan numerik. Artinya di luar peristiwa yang disebutkan itu masih dimungkinkan mengadakan pertanggungan atas peristiwaperistiwa lainnya.73 Ad. 2. Hubungan Sebab Akibat Hubungan sebab akibat dalam asuransi adalah penanggung hanya wajib membayar ganti rugi, apabila kerugian atau kerusakan itu disebabkan oleh peristiwa yang telah diperjanjikan. Jadi kerugian itu adalah sebagai akibat dari suatu peristiwa yang tidak tertentu yang telah diperjanjikan.74 Dalam hukum asuransi, dikenal beberapa teori yang terkait dengan hubungan sebab akibat, yaitu: 71
Ibid. hal.109. Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1990. Op. Cit. hal. 51. 73 Ibid. hal. 52. 74 Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 112. 72
39
1) Teori Causa Proxima (penyebab yang terdekat) Teori ini berpijak pada adagium “causa proxima non remota spectatur”, yang berarti bahwa penyebab yang paling dekat, paling akhir dengan kerugian yang dipakai sebagai faktor penentu untuk dipertimbangkan dan bukan penyebab terjauh.75 Menurut P.L Wery, teori ini mengandung kelemahan karena di dalam beberapa kasus dapat menghilangkan fakta yang terjadi dan dapat meniadakan tanggung jawab. Misalnya fakta yang berkaitan dengan kesalahan sendiri atau kekurang hati-hatian dari tertanggung sendiri.76 2) Teori Conditio Sine Qua Non (syarat yang tidak dapat dihindari) Menurut teori ini bahwa setiap fakta atau peristiwa merupakan suatu hal yang tidak dapat ditiadakan, tanpa meniadakan kerugian itu sendiri, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanpa kenyataan/fakta termaksud, kerugian tidak akan terjadi. Jadi bahwa setiap kenyataan yang terjadi merupakan penyebab dalam arti yuridis.77 Teori ini mengandung kelemahan, karena melibatkan setiap fakta/kenyataan yang terjauh sekalipun sebagai penyebab. Secara yuridis, penentuan fakta sebagai faktor penyebab haruslah sesuatu yang bersifat normatif, yang ternyata sangat sulit andaikata sampai mundur pada suatu sebab yang terjauh.78 3) Teori Adequat Menurut teori ini suatu peristiwa adalah penyebab kerugian apabila terdapat hubungan yang wajar/pantas dengan kerugian, yaitu merupakan suatu akibat yang pantas dan patut diduga berdasarkan peraturan atau pengalaman yang ada atau berdasarkan kepantasan. Pendapat ini juga menimbulkan berbagai kesulitan untuk menentukan suatu peralihan di antara rentetan fakta yang 75
Ibid. hal. 113. Ibid. hal. 113. 77 Ibid. hal. 114. 78 Ibid. hal. 114. 76
40
terjadi. Apabila rentetan fakta yang pantas adalah yang paling jauh maka dapat berkembang sebagai teori sebab yang terjauh atau “causa remota”.79 4) Teori Pembebasan Teori ini menekankan sifat yang normatif dari hubungan sebab akibat yang bersifat yuridis, artinya di antara peristiwa-peristiwa dan kerugian harus ada/terdapat suatu hubungan yang sedemikian rupa, sehingga sesuatu kerugian menurut keadilan adalah sebagai akibat dari suatu peristiwa yang dapat dibebankan kepada seseorang yang bertanggung jawab. 80 Ad. 3. Apakah Ada yang Memberatkan Risiko Pada hakikatnya, setiap perjanjian harus dilaksanakan atas adanya itikad baik, demikian pula dengan perjanjian asuransi. Kelalaian dari pihak tertanggung, dapat mengakibatkan penanggung merasa tidak bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian dengan alasan karena kesalahan sendiri dari pihak tertanggung. Jadi sesuai dengan ketentuan Pasal 251 KUHD, tertanggung tetap dalam kewajiban sebagai “bapak yang baik” bagi benda/obyek pertanggungan, supaya obyek tetap dalam konsidi yang aman. Pengertian ini mencakup hal-hal bahwa ia tidak diperkenankan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat memberatkan risiko yang sudah dialihkan kepada penanggung berdasarkan perjanjian asuransi.81 Akibat lebih lanjut dari terdapatnya keadaan yang memberatkan risiko adalah tidak dibayarnya ganti kerugian sama sekali oleh penanggung, meskipun tertanggung benarbenar secara nyata memang menderita kerugian. Oleh karena itu, tertanggung mempunyai kewajiban sedemikian rupa, bahwa agar dengan sungguh-sungguh telah berusaha mencegah atau paling tidak mengurangi risiko yang mungkin terjadi.82
79
Ibid. hal. 114. Ibid. hal. 115. 81 Ibid. hal. 115. 82 Ibid. hal. 116. 80
41
Ad. 4. Apakah Ada Cacat atau Kebusukan atau Sifat Kodrat dari Barang Terkait cacat atau kebusukan dari obyek pertanggungan dapat kita lihat dalam Pasal 249 KUHD, yaitu: Terhadap kerugian atau kehilangan yang langsung timbul karena suatu cacat, kebusukan sendiri, atau karena sifat dan kodrat dari barang-barang yang dipertanggungkan sendiri, penanggung tidak pernah berkewajiban mengganti kecuali bilamana dengan tegas dipertanggungkan terhadap itu. Pasal ini bermaksud memberikan perlindungan kepada penanggung terhadap bahaya-bahaya yang tidak datang dari luar, tetapi berasal dari sifat-sifat yang secara alamiah terkandung pada benda obyek asuransi/pertanggungan. Ketentuan umum semacam ini, berlaku bagi semua jenis asuransi, kecuali asuransi yang tidak mempunyai obyek bahaya, misalnya asuransi kebakaran tidak menanggung kerugian atas kerusakan pada barang-barang yang disebabkan sifat kodrat dari barang-barang itu sendiri.83 Pada dasarnya kepada para pihak masih mempunyai kebebasan untuk mengatur sendiri sesuai dengan kebutuhannya. Dalam hal ini dengan tegas dapat diperjanjikan bahwa kerugian yang disebabkan atau ditimbulkan karena adanya cacat atau kebusukan sendiri atau karena sifat dan kodrat dari barang yang bersangkutan, masih tetap dapat dipertanggungkan atau diasuransikan. Oleh penanggung ketentuan tersebut lazim dicantumkan sebagai pengecualian tertentu atas tanggung jawab penanggung.84 Ad. 5. Kesalahan Tertanggung Pada dasarnya batasan kesalahan tertanggung meliputi cakupan yang relatif luas, karena dapat meliputi kemungkinan kekurangan sendiri dan atau kesalahan sendiri. Apabila terdapat kekurangan sendiri yang disebabkan karena kelalaian (karena kurang hati-hati atau lengah atau tidak seksama), dan atau kesalahan sendiri dari pihak tertanggung, maka penanggung dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian tetapi tetap masih berhak atas premi yang telah ia terima.85 83
Ibid. hal. 117. Ibid. hal. 117. 85 Ibid. hal. 118. 84
42
Pasal 276 KUHD menyebutkan bahwa: Tiada kerugian atau kerusakan yang disebabkan karena kesalahan si tertanggung sendiri harus ditanggung oleh si penanggung. Bahkan berhaklah si penanggung itu memiliki premi ataupun menuntutnya, apabila ia sudah mulai memikul sesuatu bahaya. Ad. 6. Nilai yang Diasuransikan Sehubungan dengan adanya asas indemnitas atau perseimbangan dalam asuransi, maka penanggung pada hakikatnya hanya dapat mengikat dirinya tidak lebih dari nilai riil yang dapat diasuransikan atau dipertanggungkan, atau dengan perkataan lain, bahwa penanggung tidak dapat mengikat dirinya lebih besar dari nilai kepentingan yang sudah dinyatakan dengan uang. Disamping itu, penanggung tidak boleh memberikan ganti rugi lebih dari nilai yang dapat diasuransikan, apalagi tertangggung menjadi memperoleh posisi ekonomi yang jelas lebih menguntungkan.86 Sehubungan dengan nilai yang dapat diasuransikan, maka dapat dibedakan empat kemungkinan keadaan sebagai berikut87: 1) asuransi dengan nilai penuh 2) asuransi di atas harga/asuransi lebih 3) asuransi di bawah harga 4) asuransi ganda. 6. Polis Undang-undang menentukan bahwa perjanjian asuransi harus ditutup dengan suatu akta. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 255 KUHD yang menyebutkan bahwa:
86 87
Ibid. hal. 119. Ibid. hal. 119-120.
43
Suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Namun
demikian,
ketentuan
Pasal 257
ayat (1)
KUHD
menyebutkan bahwa: Perjanjian pertangggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup; hak-hak
dan
kewajiaban-kewajiban
bertimbal
balik
dari
si
penanggung dan si tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani. Berdasarkan dua ketentuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa polis bukan merupakan syarat adanya perjanjian pertanggungan, tetapi hanya sebagai alat bukti adanya perjanjian pertanggungan, karena perjanjian pertanggungan bersifat konsensuil dan sudah terjadi pada saat perjanjian ditutup sebelum polis ditandatangani. Pasal 258 KUHD menyebutkan bahwa: Untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut, diperlukan pembuktian dengan tulisan; namun demikian bolehlah lain-lain alat pembuktian dipergunakan juga, manakala sudah ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan. Namun demikian bolehlah ketetapan-ketetapan dan syarat-syarat khusus, apabila tentang itu timbul suatu perselisihan, dalam jangka waktu antara penutupan perjanjian dan penyerahan polisnya, dibuktikan dengan segala alat bukti; tetapi dengan pengertian bahwa segala hal yang dalam beberapa macam pertanggungan oleh ketentuan-ketentuan undang-undang, atas ancaman-ancaman batal, diharuskan penyebutannya dengan tegas dalam polis, harus dibuktikan dengan tulisan. Polis sebagai suatu akta yang formalitasnya diatur di dalam undang-undang, mempunyai arti yang sangat penting pada perjanjian asuransi, baik pada tahap awal, selama perjanjian berlaku dan dalam
44
masa pelaksanaan perjanjian. Jadi polis tetap mempunyai arti yang sangat penting di dalam perjanjian asuransi.88 Undang-undang
menentukan
bahwa
polis
dibuat
dan
ditandatangani oleh penanggung sebagaimana diatur pada Pasal 256 ayat (2) KUHD yaitu polis tersebut harus ditandatangani oleh tiap-tiap penanggung. Polis yang telah ditandantangani penanggung harus diserahkan kepada tertangggung sesuai dengan ketentuan Pasal 259 dan 260 KUHD. Tenggang waktu penyerahan polis dari penanggung kepada tertanggung adalah 24 jam. Apabila dengan perantara makelar harus diserahkan paling lambat dalam waktu 8 hari. Pasal 259 KUHD Apabila suatu pertanggungan ditutup langsung antara si tertanggung, atau seorang yang telah diperintahnya untuk itu atau mempunyai kekuasaan untuk itu dan si penanggung maka haruslah polisnya dalam waktu 24 jam setelah dimintanya ditandatangani oleh pihak yang terakhir ini, kecuali apabila dalam ketentuan-ketentuan undang-undang dalam suatu hal tertentu, ditetapkan suatu jangka waktu yang lebih lama. Pasal 260 KUHD Apabila pertanggungan ditutup dengan perantaraan seorang makelar, maka polis yang telah ditandatangani harus diserahkan di dalam waktu delapan hari setelah ditutupnya perjanjian. Undang-undang menentukan bahwa untuk setiap polis harus memenuhi syarat-syarat minimal sebagaimana diatur oleh Pasal 256 KUHD sebagai syarat-syarat umum. Disamping syarat-syarat umum setiap jenis polis sesuai dengan jenis asuransi masih harus ditambah dengan syarat-syarat khusus pula.89
88 89
Ibid. hal. 124. Ibid. hal. 125.
45
Pasal 256 ayat (1) KUHD menyebutkan: Setiap polis, kecuali yang mengenai suatu pertanggungan jiwa, harus menyatakan: 1. Hari ditutupnya pertanggungan; 2. Nama orang yang menutup pertanggungan atas tanggungan sendiri atau atas tanggungan seorang ketiga; 3. Suatu uraian yang cukup jelas mengenai barang yang dipertanggungkan; 4. Jumlah uang untuk berapa diadakan pertanggungan; 5. Bahaya-bahaya yang ditanggungkan oleh si penanggung; 6. Saat pada mana bahaya mulai berlaku untuk tanggungan si penanggung dan saat berakhirnya itu; 7. Premi pertanggungan tersebut, dan 8. Pada umumnya, semua keadaan yang kiranya penting bagi si penanggung untuk diketahuinya, dan segala syarat-syarat yang diperjanjikan antara para pihak. 7. Premi Pada definisi asuransi/pertanggungan disebutkan tentang “premi” sebagai suatu prestasi dari pihak tertanggung kepada penanggung. Premi ini biasanya ditentukan dalam suatu persentase dari jumlah yang dipertanggungkan, di mana tercermin penilaian risiko dari penanggung. Perusahaan pertanggungan akan menentukan besarnya premi itu dengan pertimbangan-pertimbangan yang dihubungkan dengan jumlah yang dipertanggungkan. Biasanya premi ini dipenuhi oleh tertanggung lebih dulu. Kalau pertanggungan ini adalah untuk jangka waktu lama, maka diadakanlah pembayaran premi yang periodik.90 Apabila premi tidak dibayar pada waktunya maka penanggung dapat meminta pemecahan dari perjanjian pertanggungan itu seperti yang ditentukan oleh Pasal 1266 KUH Perdata. Akan tetapi, di dalam praktik selalu diusahakan jangan sampai pemecahan perjanjian itu dilakukan berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata, karena jika mendasarkan pada Pasal 1266 KUH Perdata, setiap kali ada kelalaian pembayaran premi dari pihak-pihak tertanggung yang mungkin saja sering terjadi, setiap kali itu pulalah penanggung harus menghadap di muka hakim. Untuk mencegah itu, maka dalam praktik dipakailah suatu klausula yang disebut “polis klausula” yang berisikan bahwa pertanggungan itu tidak akan berjalan apabila premi tidak dibayar pada waktunya.91
90 91
Emmy Pangaribuan Simanjuntak.1990. Op. Cit. hal. 41. Ibid. hal. 41.
46
Fungsi dari premi itu merupakan harga pembelian dari tanggunagn yang wajib diberikan oleh penanggung atau sebagai imbalan dari risiko yang diperalihkan kepada penanggung, yang termasuk di dalamnya ialah92: 1. Banyaknya kerugian yang mungkin akan diderita itu, yang kebanyakan dipastikan di dalam suatu persentase dari jumlah pertanggungan. 2. Sejumlah uang sebagai penggantian dari ongkos-ongkos perusahaan dari penanggung. 3. Provisie untuk orang perantara misalnya makelar dan juga untung bagi penanggung serta suatu jumlah cadangan. Premi yang telah dibayar oleh tertanggung kepada penanggung dapat dituntut pengembaliannya, baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagian jika asuransi gugur atau batal, sedangkan tertanggung telah bertindak dengan itikad baik “in good faith”. Premi yang harus dibayar kembali oleh penanggung itu disebut “premi restorno”. Istilah “restorno” atau “ristorno” berasal dari bahasa Italia yang artinya kembali. Jadi premi restorno artinya pengembalian uang premi. Premi restorno adalah pembayaran kembali uang premi, karena batalnya atau gugurnya perjanjian pertanggungan. Menurut Pasal 1359 KUH Perdata, bila suatu perjanjian pertanggungan batal, maka uang premi tidak perlu dibayar atau kalau sudah terlanjur dibayar, dapat diminta kembali. Peraturan dalam hukum perdata umum tersebut akan menyulitkan penanggung, karena tertanggung dengan itikad jahatnya dapat menipu penanggung untuk merugikannya. Kalau hal tersebut ketahuan, maka perjanjian pertanggungan menjadi batal dan kalau batal maka segala hal harus dipulihkan sebagai semula, sedangkan apabila itikad jahat itu tidak ketahuan maka penanggung dapat dirugikan.93
92 93
Ibid. hal. 41-42. H.M.N. Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 100.
47
Pengaturan dalam hukum perdata, apabila dihubungkan dengan pertanggungan, ternyata bahwa aturan yang demikian itu tidak dapat diterima dalam hukum pertanggungan, sebab akan menghadapkan penanggung dalam risiko yang sangat besar. Hal tersebut akan memungkinkan seorang tertanggung dengan daya upayanya sedemikian rupa tanpa akan dihukum untuk memperoleh suatu kesempatan membawa penanggung itu dalam suatu keadaan yang menyebabkan tidak sahnya perjanjian pertanggungan itu. Penanggung mungkin tidak akan dapat mengajukan pembuktian.94 Undang-undang mengatur tentang premi restoro yakni dalam Pasal 281 KUHD, yang menyebutkan bahwa: Dalam segala hal dimana perjanjian pertanggungan itu untuk seluruhnya atau sebagian gugur atau menjadi batal, sedangkan si tertanggung telah beritikad baik, maka si penanggung diwajibkan mengembalikan preminya untuk seluruhnya, ataupun untuk sebagian yang sedemikian untuk mana ia tidak telah menghadapi bahaya.
B. ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR 1. Pengertian dan Pengaturan Asuransi Kendaraan Bermotor Menurut Bab I Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Lalu Llintas dan Angkutan Jalan, yang dimaksud dengan kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa bensin selain yang berjalan di atas rel. Pengertian dari pertanggungan kendaraan bermotor menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak adalah pertanggungan yang menutup semua bahaya-bahaya yang dapat menimbulkan kerugian bagi seseorang sebagai pemilik mobil, pemeliharaan mobil dan kerugian-kerugian yang timbul karena pemakaian mobil itu sendiri. Biasanya kerugiankerugian yang timbul karena bahaya-bahaya atas mobil itu dapat ditutup masing-masing dalam satu pertanggungan atas satu polis, atau beberapa polis menanggung tiap-tiap peristiwa dalam satu perjanjian dengan suatu polis umum atau yang luas “comprehensive”yang menggabungkan beberapa pertanggungan.95
94 95
Emmy Pangaribuan Simanjuntak.1990. Op. Cit. hal. 78. Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1990. Op. Cit. hal. 93.
48
Dalam pertanggungan kendaraan bermotor ini kerugian yang dapat dipertanggungkan dapat dibedakan atas96: a. Kerugian yang diderita oleh orang lain, misalnya: - Kerugian karena luka-luka badan pada orang lain dan ini menjadi tanggung jawab pemilik mobil. - Kerugian membayar semua biaya pengobatan dari orang yang luka. - Kerugian atas harta kekayaan orang lain dan ini menjadi tanggung jawab pemilik mobil/kendaraan. b. Kerugian atau kerusakan mobil/kendaraan sendiri: - Kerugian karena tabrakan. - Kerugian karena kebakaran, kilat atau halilintar dan pengangkutan. - Karena pencurian - Karena banjir dan gempa bumi. Tidak seperti asuransi kebakaran yang mendapat pengaturan khusus dalam KUHD, asuransi kendaraan bermotor adalah asuransi kerugian yang tidak mendapat pengaturan khusus dalam KUHD. Karena tidak mendapat pengaturan khusus, maka semua ketentuan umum asuransi kerugian dalam KUHD berlaku terhadap asuransi kendaraan bermotor. Disamping ketentuan umum mengenai asuransi kerugian, kesepakatan bebas yang dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis, menjadi dasar hubungan asuransi kendaraan bermotor antara tertanggung dan penanggung. Polis ditandatangani oleh penanggung dan menjadi alat bukti
96
Ibid. hal. 94.
49
tertulis bagi kedua pihak untuk memenuhi kewajiban dan memperoleh hak secara timbal balik. 2. Tujuan Asuransi Kendaraan Bermotor Sejalan dengan tingginya mobilitas masyarakat dalam melakukan kegiatannya, maka masyarakat dituntut untuk bergerak serba cepat. Dalam rangka
memenuhi
kebutuhan
membutuhkan alat transportasi.
mobilitasnya,
masyarakat
sangat
Kebutuhan masayarakat akan alat
transportasi terutama kendaraan bermotor menjadi semakin tinggi. Permintaan yang tinggi akan kendaraan bermotor mengakibatkan tingginya jumlah kendaraan bermotor yang beredar di masyarakat. Jalanan menjadi dipenuhi
kendaraan
bermotor
sehingga
menyebabkan
kemacetan,
kecelakaan dan maraknya tindak kriminalitas. Pemilik kendaraan bermotor tidak menginginkan sesuatu hal yang buruk menimpa kendaraannya, seperti kerusakan ataupun hilang. Pemilik kendaraan berusaha untuk menghindari kerugian dari peristiwa-peristiwa yang tidak tentu. Cara yang dapat ditempuh untuk menghindari risko tersebut adalah mengadakan perjanjian asuransi dengan perusahaan asuransi. Asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian yang bermotif ekonomis, artinya tertanggung menyadari betul bahwa ancaman bahaya terhadap jiwa raganya. Apabila bahaya itu menimpa harta benda miliknya atau jiwa raganya, maka tertanggung akan menderita rugi atau menderita jiwa raganya. Untuk mengurangi atau menghilangkan beban tersebut, tertanggung berusaha mencari jalan apabila ada pihak lain yang ingin mengambil oper beban ancaman bahaya itu dan ia sanggup membayar kontra prestasi yang disebut premi. Adanya perjanjian pertanggungan yang didasarkan pada motif ekonomis tersebut, bertujuan untuk memperalihkan risiko dari
50
tertanggung kepada penanggung dengan imbalan bahwa penanggung menerima sejumlah uang sebagai premi dari tertanggung.97 Sebagaimana tujuan asuransi pada umumnya, yaitu mengalihkan risiko yang mungkin diderita oleh tertanggung kepada penanggung, maka hal tersebut pun terjadi pada asuransi kendaraan bermotor. Pada asuransi kendaraan bermotor, tertanggung mengalihkan risikonya kepada pihak penanggung.
Manakala
terjadi
evenemen
atas
mana
dilakukan
pertanggungan, maka tertanggung berhak meminta ganti kerugian kepada pihak penanggung. Dengan demikian, asuransi kendaraan bermotor bertujuan untuk menjamin kerugian atau kerusakan pada harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan yang secara langsung disebabkan oleh peristiwa yang tidak pasti atas mana dilakukan pertanggungan, yang biasanya berupa tabrakan, benturan, terperosok, pencurian dan kebakaran. Tujuan pertanggungan kendaraan bermotor menurut Emmy Pangaribuan adalah untuk menutup semua bahaya-bahaya yang dapat menimbulkan kerugian bagi seseorang sebagai pemilik mobil, pemeliharaan mobil dan kerugian-kerugian yang timbul karena pemakaian mobil itu sendiri.98 3. Polis Asuransi Kendaraan Bermotor Polis asuransi kendaraan bermotor selain harus memenuhi syaratsyarat umum Pasal 256 KUHD, juga harus memuat syarat-syarat khusus yang hanya berlaku bagi asuransi kendaraan bermotor. Dengan demikian syarat umum dan syarat khusus yang harus ada dalam polis asuransi kendaraan bermotor yaitu99:
97
Abdulkadir Muhammad. 1994. Op. Cit. hal. 23. Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1990. Op. Cit. hal. 93. 99 Abdulkadir Muhammad. 2002. Op. Cit. hal. 181. 98
51
1. Hari dan tanggal kapan serta tempat dimana asuransi kendaraan bermotor diadakan. 2. Nama tertanggung yang mengasuransikan kendaraan bermotor untuk diri sendiri atau untuk kepentingan pihak ketiga. 3. Keterangan yang cukup jelas mengenai kendaraan bermotor yang diasuransikan terhadap bahaya (risiko) yang ditanggung. 4. Jumlah yang diasuransikan terhadap bahaya (risiko) yang ditanggung. 5. Waktu asuransi kendaraan bermotor mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan penanggung. 6. Premi asuransi kendaraan bermotor yang dibayar oleh tertanggung. 7. Janji-janji khusus yang diadakan antara tertanggung dan penanggung. Dalam polis standar asuransi kendaraan bermotor selain ketentuan mengenai risiko yang ditanggung dan risiko yang tidak ditanggung, dimuat juga syarat-syarat khusus tersebut adalah sebagai berikut100: 1. Wilayah negara berlakunya asuransi kendaraan bermotor. 2. Pembayaran premi. 3. Pemberitahuan kecelakaan, tindakan pencegahan, tuntutan dari pihak ketiga, tuntutan pidana terhadap tertanggung. 4. Kerugian, ganti kerugian, asuransi rangkap, laporan tidak benar, subrogasi Pasal 284 KUHD dan hilangnya hak ganti kerugian. 5. Perselisihan dan arbitrase. 6. Berakhirnya asuransi kendaraan bermotor. 100
Ibid. hal. 181-182.
52
C. PT. ASURANSI UMUM BUMIPUTERA MUDA 1967 PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 (selanjutnya disebut BUMIDA) didirikan atas ide pengurus AJB Bumiputera 1912 sebagai induk perusahaan yang diwakili oleh Drs. H.I.K Suprakto dan Mohammad S. Hasyim, MA sesuai dengan akte No. 7 tanggal 8 Desember 1967 dari Notaris Raden Soerjono Wongsowidjojo, SH yang berkedudukan di Jakarta dan diumumkan dalam tambahan Berita Negara Republik Indonesia No. 15 tanggal 20 Februari 1970.101 Bumida memperoleh ijin operasional dari Direktorat Lembaga Keuangan, Direktorat Jenderal Moneter Dalam Negeri, Departemen Keuangan Republik Indonesia No. KEP. 350/DJM/111.3/7/1973 tanggal 24 Juli 1973102. Sebagai suatu perusahaan asuransi yang besar, Bumida mempunyai visi dan misi dalam menjalankan kegiatan usahanya. Visi Bumida yaitu Menjadi Asuransi Umum yang memberikan nilai lebih bagi “stakeholder”. Sementara Misinya yaitu menghasilkan bisnis dengan kualitas: menciptakan SDM yang unggul; mengintegrasikan sistem dan teknologi informasi; melakukan inovasi terus-menerus; mengembangkan jaringan layanan yang luas; mengoptimalkan BUMIPUTERA group103. Produk-produk asuransi yang dikeluarkan oleh PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda bermacam-macam, yaitu104:
101
NN. 2011. Sejarah (Online), (www.bumida.co.id, diakses 10 Agustus 2011) Ibid. 103 NN. 2011. Visi Misi Budaya (Online), (www.bumida.co.id, diakses 10 Agustus 102
2011) 104
NN. 2011. Produk (Online), (www.bumida.co.id, diakses 10 Agustus 2011)
53
1. Produk Perorangan a. Romahkoe b. Mobilkoe c. Motorkoe d. Sehatkoe 2. Produk Korporasi a. Siswakoe b. Karyawankoe c. Asuransi Kebakaran d. Asuransi Kecelakaan Diri e. Asuransi Kendaraan Bermotor f. Asuransi Pengangkutan g. Asuransi Kesehatan h. Asuransi Mesin i. Asuransi Aneka j. Bonding (“Surety Bond & Customs Bond”) 3. Produk Khusus a. Asuransi Kecelakaan Di Luar Hubungan Kerja b. Asuransi Tanggung Gugat Dokter c. Wargakoe.
54
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode merupakan cara kerja yang bersistem yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.105 Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan.106 Dalam penelitian ini peneliti mengkonsepsikan hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom dan tertutup serta terlepas dari kehidupan hukum masyarakat.107 Metode pendekatan di atas digunakan dengan mengingat bahwa permasalahan yang diteliti berkisar pada peraturan perundangan yaitu hubungan peraturan satu dengan peraturan lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktik.
B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah deskriptif108 yaitu penelitian yang hanya menggambarkan objek atau
105
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal. 652. 106 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 14. 107 Ronny Hanitijo Soemitro, Metododologi Penelitian Hukum dan Jurumetri (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 13-14. 108 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2007), hal. 7.
55
masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum. Penelitian ini berusaha menggambarkan peristiwa “in concreto” yang dikonsultasikan pada seperangkat peraturan hukum positif yang berlaku dan kaitannya dengan masalah yang menjadi objek penelitian.
C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Universitas Jenderal Soedirman, Pusat Informasi Ilmiah Fakultas HukumUniversitas Jenderal Soedirman dan PT. Asuransi Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto.
D. Jenis Data Dalam penelitian ini, penulis hanya menggunakan data sekunder saja untuk membangun penelitian dan untuk mendapatkan hasil yang obyektif dari penelitian. Data sekunder dibagi ke dalam tiga bagian yaitu: 1. Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Primer adalah semua aturan hukum yang dibentuk dan/atau dibuat secara resmi lemabaga negara, dan/atau badan-badan pemerintahan yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat negara. Dalam penulisan ini, bahan hukum primer yang digunakan berupa peraturan perundang-undangan yang
mengatur
mengenai
asuransi
atau
pertanggungan.
Peraturan
perundang-undangan yang digunakan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum
56
Dagang (KUHD) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder adalah seluruh informasi tentang hukum yang berlaku atau yang pernah berlaku di suatu negara. Bahan hukum ini terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana dan kasus-kasus hukum.109 Dalam penulisan ini, bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku-buku teks yang berkaitan dengan pertanggungan atau asuransi dan artikel-artikel yang berasal dari situs-situs internet serta materi kuliah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 3. Bahan Hukum Tersier Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Di sini penulis menggunakan kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia untuk mempermudah dalam memahami penelitian.
E. Metode Pengumpulan Data Data sekunder diperoleh dengan menggunakan studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari peraturan-peraturan, dokumen resmi, buku-buku literatur, jurnal, makalah ilmiah dan karya tulis ilmiah yang telah diinventarisasi. Pengumpulan bahan hukum tersebut akan 109
142.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Kencana, 2005), hal.
57
penulis klasifikasikan atau kategorisasikan bentuk-bentuk atau format bahan hukum agar lebih mudah dipahami dalam penelitian.
F. Metode Penyajian Data Data dalam penelitian ini akan disajikan dengan cara teks naratif. Keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan antara satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang menjadi objek penelitian, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh.
G. Metode Analisis Data Analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini menggunakan metode analisis normatif kualitatif, yaitu analisis atau pembahasan yang dilakukan dengan cara menjabarkan dan memberikan interpretasi terhadap bahan-bahan hukum yang diperoleh dengan mendasarkan pada norma-norma yang berlaku atau pada kaidah-kaidah hukum yang berlaku untuk dihubungkan dengan pokok permasalahan. Norma hukum diperlukan sebagai premis mayor, kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta yang relevan “legal facts” yang dipakai sebagai premis minor dan melalui proses silogisme akan diperoleh kesimpulan terhadap permasalahan yang menjadi obyek penelitian.
58
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis pada asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe” di PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto, diperoleh data-data sebagai berikut: 1. Para Pihak Berdasarkan Polis Motorkoe Umum Ikhtisar Pertanggungan, maka dapat diketahui bahwa para pihak dalam asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe” di PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto, yaitu: 1.1 Pihak Tertanggung Pihak
Tertanggung
adalah
pemilik
yang
mempunyai
kepentingan terhadap kendaraan bermotor yang dipertanggungkan. Pada asuransi “Motorkoe” ini yang berhak menjadi tertanggung adalah hanya orang perorangan atau pribadi. 1.2 Pihak Penanggung Pihak Penanggung adalah PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto.
59
2. Objek Pertanggungan Objek pertanggungan atau benda pertanggungan dalam asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe” adalah kendaraan bermotor beroda dua. Berdasarkan Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA), kendaraan yang tidak dijamin dalam asuransi ini adalah kendaraan beroda dua yang digunakan untuk pemakaian untuk disewakan atau komeril dan motor gede. 3. Tujuan Pertanggungan Tujuan Pertanggungan adalah untuk memperalihkan risiko kendaraan bermotor beroda dua milik tertanggung kepada penanggung yaitu PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto terhadap peristiwa tidak tentu yang telah disepakati kedua belah pihak. 4. Besarnya Pertanggungan Besarnya harga pertanggungan ini adalah sesuai dengan harga pasar kendaraan pada saat dipertanggungkan. Penentuan harga kendaraan sesaat sebelum dilakukan perjanjian pertanggungan dilakukan oleh penanggung. 5. Jangka Waktu Pertanggungan Lamanya jangka waktu pertanggungan pada asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe” adalah 366 (tiga ratus enam puluh enam) hari. 6. Ketentuan Asuransi Kendaraan Bermotor Motorkoe Manfaat
atau jaminan
pada asuransi kendaraan
bermotor
“Motorkoe” adalah kerugian total atau “total loss only”(TLO). Selain itu, manfaat atau jaminan lain yang dijamin dalam asuransi “Motorkoe” terdiri
60
dari tanggung jawab hukum pihak ketiga, santunan meninggal dunia akibat kecelakaan bagi pengemudi, santunan meninggal dunia akibat kecelakaan bagi penumpang, santunan biaya pengobatan akibat kecelakaan bagi pengemudi, santunan biaya pengobatan akibat kecelakaan bagi penumpang, santunan cacat tetap bagi pengemudi dan santunan pengurusan dokumen. 6.1
Jaminan Berdasarkan Pasal 1 tentang Jaminan Terhadap Kendaraan Bermotor pada Polis Standar Kendaraan Bermotor Indonesia, Pertanggungan atau asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe” ini menjamin: Ayat 1: Kerugian dan atau kerusakan pada kendaraan bermotor dan atau kepentingan yang dipertanggungkan yang secara langsung disebabkan oleh: 1.1 tabrakan, benturan, terbalik, tergelincir atau terperosok; 1.2 perbuatan jahat; 1.3 pencurian, termasuk pencurian yang didahului atau disertai atau diikuti dengan kekerasan ataupun ancaman kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362, 363 ayat (3), (4), (5) dan Pasal 365 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 1.4 kebakaran, termasuk:
61
1.4.1 kebakaran akibat kebakaran benda lain yang berdekatan atau tempat penyimpanan Kendaraan Bermotor; 1.4.2 kebakaran akibat sambaran petir; 1.4.3 kerusakan karena air dan atau alat-alat lain yang dipergunakan untuk mencegah atau memadamkan kebakaran; 1.4.4 dimusnahkannya seluruh atau sebagian Kendaraan Bermotor atas perintah pihak yang berwenang dalam upaya pencegahan menjalarnya kebakaran itu. Ayat 2: Kerugian dan atau kerusakan yang disebabkan oleh peristiwa yang tersebut dalam ayat (1) Pasal ini selama Kendaraan Bermotor yang bersangkutan berada di atas kapal untuk penyeberangan yang berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, termasuk kerugian dan atau kerusakan yang diakibatkan kapal bersangkutan mengalami kecelakaan. Pasal 2 tentang Jaminan Tanggung Jawab Hukum Terhadap Pihak Ketiga pada Polis standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia, menyebutkan: Penanggung memberikan ganti rugi atas:
62
Ayat 1: Tanggung jawab hukum Tertanggung terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga yang secara langsung disebabkan oleh Kendaraan Bermotor sebagai akibat risiko yang dijamin Pasal 1 ayat (1) butir 1.1 dan 1.4, baik penyelesaiannya melalui proses musyawarah, mediasi, arbitrase atau pengadilan, dengan syarat telah mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penanggung, yaitu: 1.1 kerusakan atas harta benda; 1.2 biaya pengobatan, cidera badan dan atau kematian; maksimum sebesar harga pertanggungan untuk jaminan Tanggung
Jawab
Hukum
terhadap
Pihak
Ketiga
sebagaimana yang dicantumkan dalam polis. Ayat 2: Biaya perkara atau biaya bantuan para ahli yang berkaitan dengan tanggung jawab hukum Tertanggung dengan syarat mendapat
persetujuan
tertulis
terlebih
dahulu
dari
Penanggung. Tanggung Jawab Penanggung atas biaya tersebut, setinggi-tingginya 10% (sepuluh persen) dari limit pertanggungan Tanggung Jawab Hukum terhadap Pihak Ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini. 6.2
Pengecualian Berdasarkan BAB II tentang Pengecualian pada Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia, Pasal 3 menyebutkan bahwa:
63
Ayat 1: Pertanggungan ini tidak menjamin kerugian, kerusakan, biaya atas Kendaraan Bermotor dan atau tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, yang disebabkan oleh: 1.1 kendaraan digunakan untuk: 1.1.1 menarik atau mendorong kendaraan atau benda lain, memberi pelajaran mengemudi; 1.1.2 turut serta dalam perlombaan, latihan, penyaluran hobi kecakapan atau kecepatan, karnaval, pawai, kampanye, unjuk rasa; 1.1.3 melakukan tindak kejahatan; 1.1.4 penggunaan selain yang dicantumkan dalam polis: 1.2 penggelapan, penipuan, hipnotis dan sejenisnya; 1.3 perbuatan jahat yang dilakukan oleh: 1.3.1 suami atau istri, anak, orang tua atau saudara sekandung Tertanggung; 1.3.2 orang yang disuruh Tertanggung bekerja pada Tertanggung, orang yang sepengetahuan atau seizin Tertanggung; 1.3.3 orang yang tinggal bersama Tertanggung; 1.4 kelebihan muatan dari kapasitas kendaraan yang telah ditetapkan pabrikan. Ayat 3: Pertanggungan ini tidak menjamin kerugian, kerusakan dan atau biaya atas Kendaraan Bermotor dan atau tanggung jawab
64
hukum terhadap pihak ketiga yang langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh, akibat dari, ditimbulkan oleh: 3.1 kerusuhan, pemogokan, penghalangan bekerja, tawuran, huru-hara,
pembangkitan
rakyat,
pengambilalihan
kekuasaan, revolusi, pemberontakan, kekuatan militer, invansi, perang saudara, makar, terorisme, sabotase, penjarahan; 3.2 gempa bumi, letusan gunung berapi, angin topan, badai tsunami, hujan es, banjir, genangan air, tanah longsor atau gejala geologi atau meteorologi lainnya; 3.3 reaksi nuklir, termasuk tetapi tidak terbatas pada radiasi nuklir atau pencemaran radio aktif, tanpa memandang apakah itu terjadi di dalam atau di luar Kendaraan Bermotor dan atau kepentingan yang dipertanggungkan. Ayat 4: Pertanggungan ini tidak menjamin kerugian, kerusakan dan atau biaya atas Kendaraan Bermotor dan atau tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga jika: 4.1 disebabkan oleh tindakan sengaja Tertanggung dan atau pengemudi; 4.2 pada saat terjadinya kerugian atau kerusakan, Kendaraan Bermotor dikemudikan oleh seseorang yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
65
4.3 dikemudikan oleh seorang yang berada di bawah pengaruh minuman keras, obat terlarang atau sesuatu bahan lain yang membahayakan; 4.4 dikemudikan secara paksa walaupun secara teknis kondisi kendaraan dalam keadaan rusak atau tidak layak jalan; 4.5 memasuki atau melewati jalan tertutup, terlarang, tidak diperuntukkan
untuk
Kendaraan
Bermotor
atau
melanggar rambu-rambu lalu-lintas. Ayat 5: Pertanggungan ini tidak menjamin kerugian dan atau kerusakan atas: 5.1 perlengkapan tambahan yang tidak disebutkan pada Polis; 5.2 ban, velg, dop yang tidak disertai kerusakan pada bagian lain Kendaraan Bermotor kecuali yang disebabkan oleh risiko yang dijamin pada Pasal 1 ayat (1) butir 1.2, 1.3 dan 1.4; 5.3 kunci dan bagian lainnya dari Kendaraan Bermotor pada saat tidak melekat atau berada di dalam kendaraan tersebut; 5.4 bagian atau material Kendaraan Bermotor yang aus karena pemakaian, sifat kekurangan material sendiri atau salah dalam pemakaiannya;
66
5.5 Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dan surat-surat lain Kendaraan Bermotor. 6.3
Penentuan Nilai Ganti Rugi Berdasarkan Pasal 15 tentang Penentuan Nilai Ganti Rugi pada Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia, pada ayat (2) menyebutkan: Ayat 2: Kerugian total adalah berdarakan harga sebenarnya. 2.1 Kerugian Total terjadi jika: 2.1.1 kerusakan dan atau kerugian karena suatu peristiwa yang dijamin oleh Polis dimana biaya perbaikan, penggantian atau pemulihan ke keadaan semula sesaat sebelum terjadinya kerugian dan atau kerusakan sama dengan atau lebih tinggi dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari harga sebenarnya, atau 2.1.2 hilang karena pencurian sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (1) butir 1.3 dan tidak diketemukan dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak terjadinya pencurian; 2.2 Jika terjadi Pertanggungan di bawah harga sebagaimana dimaksud Pasal 17 dan Tertanggung telah menerima pembayaran ganti rugi dari Penanggung sebesar Harga
67
Pertanggungan, Tertanggung berhak atas sebagian nilai jual sisa barang yang dihitung secara proporsional antara selisih harga sebenarnya dengan Harga Pertanggungan terhadap harga sebenarnya. 2.3 Jika
suatu kerugian tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir 2.1 pasal ini, kerugian tersebut dianggap sebagai kerugian sebagian. 6.4
Cara Penyelesaian dan Penetapan Ganti Rugi Berdasarkan Pasal 16 tentang Cara Penyelesaian dan Penetapan Ganti Rugi pada Polis Strandar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia, menyebutkan bahwa: Ayat 1: Dalam hal terjadi kerugian dan atau kerusakan atas Kendaraan
Bermotor
dipertanggungkan,
dan
atau
Penanggung
kepentingan berhak
yang
menentukan
pilihannya atas cara melakukan ganti rugi sebagai berikut: 1.1 perbaikan di bengkel yang ditunjuk atau disetujui oleh Penanggung; 1.2 pembayaran uang tunai; 1.3 penggantian suku cadang atau kendaraan sesuai dengan merk, tipe, model dan tahun yang sama sebagaimana tercantum pada polis. Ayat 2: Tanggung jawab Penanggung atas kerugian dan atau kerusakan terhadap kendaraan dan atau kepentingan yang
68
dipertanggungkan setinggi-tingginya adalah sebesar Harga Pertanggungan. Ayat 3: Perhitungan besarnya kerugian setinggi-tingginya sebesar selisih antara harga sebenarnya sesaat sebelum dengan harga sebenarnya sesaat setelah terjadinya kerugian dan atau kerusakan. Ayat 4: Dalam hal terjadi kerugian, Tertanggung wajib melunasi premi yang masih terhutang untuk masa pertanggungan yang masih berjalan. 6.5
Kewajiban dan Hak Para Pihak 6.6.1 Kewajiban Tertanggung a. Berdasarkan
Pasal
Mengungkapkan
6
Fakta
tentang pada
Kewajiban
Polis
Standar
Untuk Asuransi
Kendaraan Bermotor Indonesia, menyebutkan bahwa: Ayat 1: Tertanggung wajib: 1.1 Menggunakan fakta material yaitu informasi, keterangan, mempengaruhi dalam
keadaan
dan
fakta
pertimbangan
menerima
atau
yang
Penanggung
menolak
suatu
permohonan penutupan asuransi dan dalam menerapkan suku premi apabila permohonan dimaksud diterima;
69
b. Berdasarkan Pasal 7 tentang Pembayaran Premi pada Polis Standar
Asuransi
Kendaraan
Bermotor
Indonesia,
menyebutkan bahwa: Ayat 1: Merupakan syarat dari tanggung jawab Penanggung atas jaminan asuransi berdasarkan polis ini, setiap premi terhutang harus sudah dibayar lunas secara nyata telah diterima seluruhnya oleh Penanggung, dalam hal: 1.1 jangka waktu pertanggungan 30 (tiga puluh) hari atau lebih, maka pelunasan pembayaran premi harus dilakukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak tanggal mulai berlakunya polis. Ayat 2: Pembayaran premi dapat dilakukan dengan cara tunai, cek, bilyet giro, transfer atau dengan cara lain yang
disepakati
antara
Penanggung
dan
Tertanggung. Penanggung dianggap telah menerima pembayaran premi, pada saat: 2.1 diterimanya pembayaran tunai, atau 2.2 Premi bersangkutan sudah masuk ke rekening bank Penanggung, atau
70
2.3 Penanggung telah menyepakati pelunasan premi bersangkutan secara tertulis. c. Berdasarkan Pasal 11 tentang Kewajiban Tertanggung Dalam Hal Terjadi Kerugian Dan Atau Kerusakan pada Polis Standar
Asuransi
Kendaraan
Bermotor
Indonesia,
menyebutkan bahwa: Ayat 1: Tertanggung setelah mengetahui atau seharusnya mengetahui adanya kerugian dan atau kerusakan atas Kendaraan Bermotor dan atau kepentingan yang dipertanggungkan, wajib: 1.1 memberitahu Penanggung secara tertulis atau secara lisan yang diikuti dengan tertulis kepada Penanggung selambat-lambatnya 5 (lima) hari kalender sejak terjadinya kerugian dan atau kerusakan; 1.2 melaporkan
kepada
dan
mendapat
surat
keterangan dari serendah-rendahnya Kepolisian Sektor (Polsek) di tempat kejadian, jika terjadi kerugian dan atau kerusakan sebagian yang disebabkan oleh pencurian atau melibatkan pihak ketiga; 1.3 melaporkan
kepada
dan
mendapat
surat
keterangan dari Kepolisian Daerah (Polda) di
71
tempat kejadian dalam hal kerugian total akibat pencurian. Ayat 2: Jika
Tertanggung
dituntut
oleh
pihak
ketiga
sehubungan dengan kerugian dan atau kerusakan yang disebabkan oleh Kendaraan Bermotor, maka Tertanggung wajib: 2.1 memberitahu
Penanggung
tentang
adanya
tuntutan tersebut selambat-lambatnya 5 (lima) hari kalender sejak tuntutan tersebut diterima; 2.2 menyerahkan dokumen tuntutan pihak ketiga dan menyerahkan surat laporan Kepolisian Sektor (Polsek) di tempat kejadian; 2.3 memberikan surat kuasa kepada Penanggung untuk mengurus tuntutan ganti rugi dari pihak ketiga, jika Penanggung menghendaki; 2.4 Tidak
memberikan
janji,
keterangan
atau
melakukan tindakan yang menimbulkan kesan bahwa Tertanggung mengakui suatu tanggung jawab. Ayat 3: Pada waktu terjadi kerugian dan atau kerusakan, Tertanggung wajib: 3.1 melakukan segala usaha yang patut guna menjaga,
memelihara,
menyelamatkan
72
Kendaraan Bermotor dan atau kepentingan yang dipertanggungkan serta mengizinkan pihak lain untuk menyelamatkan Kendaraan Bermotor dan atau kepentingan tersebut; 3.2 memberikan
bantuan
dan
kesempatan
sepenuhnya kepada Penanggung atau Kuasa Penanggung atau pihak lain yang ditunjuk oleh Penanggung untuk melakukan penelitian atas kerugian dan atau atas kerusakan yang terjadi atas Kendaraan Bermotor sebelum dilakukan perbaikan atau penggantian; 3.3 mengamankan Kendaraan Bermotor dan atau kepentingan yang dipertanggungkan yang dapat diselamatkan. 6.6.2 Hak Penanggung a. Berdasarkan
Pasal
Mengungkapkan
Fakta
6
tentang pada
Polis
Kewajiban Standar
Untuk Asuransi
Kendaraan Bermotor Indonesia, menyebutkan bahwa: Ayat 2: Jika Tertanggungtidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam ayat (1), Penanggung tidak wajib membayar kerugian yang terjadi dan berhak menghentikan pertanggungan serta tidak wajib mengembalikan premi.
73
b. Berdasarkan Pasal 7 tentang Pembayaran Premi pada Polis Standar
Asuransi
Kendaraan
Bermotor
Indonesia,
memenuhi
kewajiban
menyebutkan bahwa: Ayat 3: Jika
Tertanggung
tidak
sebagaimana dimaksud ayat (1), polis ini berakhir dengan sendirinya sejak berakhirnya tenggang waktu tersebut tanpa kewajiban bagi Penanggung untuk menerbitkan
endosemen
dan
Penanggung
dibebaskan dari semua tanggung jawab berdasarkan polis. Namun demikian Tertanggung tetap berkewajiban membayar premi sebesar 20% (dua puluh persen) dari premi satu tahun. c. Berdasarkan Pasal 9 tentang Pemeriksaan pada Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia, menyebutkan bahwa Penanggung berhak melakukan pemeriksaan atas Kendaraan Bermotor setiap saat selama jangka waktu pertanggungan. 6.7
Manfaat atau Jaminan Plus Asuransi Kendaraan Motorkoe Berdasarkan Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA), selain Kerugian Total yang dijamin dalam Asuransi Kendaraan Bermotor Motorkoe, manfaat atau jaminan lain yang dijamin dalam polis Asuransi Motorkoe yaitu:
74
Tabel 1. Manfaat atau Jaminan Plus Asuransi Kendaraan Motorkoe No.
Manfaat atau Jaminan Plus
Nominal
1.
Tanggung jawab hukum Pihak Ketiga.
2.
Santunan
meninggal
dunia
Rp 1.000.000,-
akibat Rp 2.000.000,-
kecelakaan bagi Pengemudi. 3.
Santunan
meninggal
dunia
akibat Rp 1.000.000,-
kecelakaan bagi Penumpang 4.
Santunan
biaya
pengobatan
akibat Rp 150.000/thn
kecelakaan bagi Pengemudi 5.
Santunan
biaya
pengobatan
akibat Rp 150.000/thn
kecelakaan bagi Penumpang 6.
Santunan cacat tetap bagi Pengemudi
Rp 1.000.000,-
7.
Santunan pengurusan dokumen
Rp 350.000,-
Sumber : PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto. Risiko yang harus ditanggung sendiri dalam Asuransi Motorkoe, yaitu: 1. Risiko sendiri akibat kecelakaan
Nol
2. Risiko sendiri akibat kecurian
Rp 100.000,-
Penjelasan manfaat atau jaminan plus yaitu: 1. Tanggung jawab hukum yang timbul dari tuntutan Pihak Ketiga yang dirugikan dan dapat dibuktikan secara tertulis akibat
75
kecelakaan dari kendaraan yang dijamin dalam polis maksimum Rp 1.000.000,-/tahun dan sebatas kerugian harta benda dan kerugian cedera badan. 2. Santunan meninggal dunia bagi pengendara dan penumpang (satu orang) akibat kecelakaan dalam mengendarai kendaraan yang dijamin dalam polis untuk mengemudi sebesar Rp 2.000.000,- dan penumpang Rp 1.000.000,- maksimal satu kali dalam satu tahun. 3. Santunan biaya pengobatan bagi pengemudi dan penumpang yang diakibatkan kecelakaan masing-masing sebesar Rp 150.000,maksimal satu kali dalam satu tahun. 4. Santunan pengurusan dokumen/surat untuk kehilangan kendaraan yang dijamin dalam polis Rp 350.000,- (dibayarkan bersama pembayaran klaim). 6.8
Premi Tabel 2. Premi Asuransi Motorkoe Harga Kendaraan No.
Premi Umum
Premi Khusus
(pembulatan ke atas) 1.
5.000.000
170.000
155.000
2.
6.000.000
200.000
182.000
3.
7.000.000
230.000
209.000
4.
8.000.000
260.000
236.000
5.
9.000.000
290.000
263.000
6.
10.000.000
320.000
290.000
76
Lanjutan 7.
11.000.000
350.000
317.000
8.
12.000.000
380.000
344.000
9.
13.000.000
410.000
371.000
10.
14.000.000
440.000
398.000
11.
15.000.000
470.000
425.000
12.
16.000.000
500.000
452.000
13.
17.000.000
530.000
479.000
14.
18.000.000
560.000
506.000
15.
19.000.000
590.000
533.000
16.
20.000.000
620.000
560.000
17.
21.000.000
650.000
587.000
18.
22.000.000
680.000
614.000
19.
23.000.000
710.000
641.000
20.
24.000.000
740.000
668.000
21.
25.000.000
770.000
695.000
22.
26.000.000
800.000
722.000
23.
27.000.000
830.000
749.000
24.
28.000.000
860.000
776.000
25.
29.000.000
890.000
803.000
26.
30.000.000
920.000
830.000
27.
31.000.000
950.000
857.000
77
Lanjutan 28.
32.000.000
980.000
884.000
29.
33.000.000
1.010.000
911.000
30.
34.000.000
1.040.000
938.000
31.
35.000.000
1.070.000
965.000
32.
36.000.000
1.100.000
992.000
33.
37.000.000
1.130.000
1.019.000
34.
38.000.000
1.160.000
1.046.000
Sumber : PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto. 6.9
Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA) Penutupan asuransi kendaraan bermotor Motorkoe di PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto dilakukan dengan cara pemohon atau calon tertanggung mengisi formulir SPPA. Adapun isi SPPA adalah sebagai berikut: 1. Nomor polis Bumiputera/Bumida. 2. Nomor rekening Bank Bumiputera. 3. Data calon pemegang polis/peserta: a. Nama lengkap. b. Alamat. c. Tanggal lahir. d. Email. e. Nomor telepon/handphone.
78
f. Pekerjaan. g. Penghasilan per tahun. h. Sumber penghasilan. i. Kewarganegaraan. j. Nama dan nomor rekening bank. 4. Data Kendaraan a. Merk. b. Jenis. c. Tahun. d. Nomor polisi. e. Nomor rangka. f. Nomor mesin. g. Harga kendaraan. 5. Pilihan Paket a. Jenis paket. b. Jangka waktu. 6. Tempat dan tanggal dibuat SPPA. 7. Nama dan tanda tangan pemohon. 6.10 Dokumen Pendukung Klaim Asuransi 1. Dalam Hal Total Loss Karena Pencurian a. Klaim form yang ditandatangani tertanggung (form dari Bumida). b. Polis asli dan kwitansi polis asli.
79
c. Copy SIM dan KTP pengendara pada saat terjadi kecelakaan. d. STNK asli dan kunci kontak. e. BPKB asli. f. Faktur pembelian. g. Laporan polisi setempat (tempat lokasi kejadian). h. Berita Acara Pemeriksaan dari kepolisian setempat. i. Laporan kejadian dari Polres. j. Laporan Kemajuan (LAPJU) dari Polwil. k. Surat blokir STNK. l. Tiga lembar kwitansi kosong yang sudah ditandatangani oleh tertanggung (satu lembar bermaterai cukup). m. Letter of Subrogation (surat penyerahan subrogasi). 2. Dalam Hal Total Loss Karena Kecelakaan a. Klaim form yang ditandatangani tertanggung atau ahli waris keluarga (form dari Bumida). b. Polis asli, kwitansi polis asli c. Copy SIM dan atau KTP pengendara pada saat terjadi kecelakaan. d. STNK asli dan kunci kontak. e. BPKB asli. f. Faktur pembelian. g. Surat keterangan kejadian dari polisi setempat. h. Denah tempat terjadinya kejadian.
80
i. Foto fisik kendaraan yang rusak. j. Estimasi perbaikan bengkel. k. Tiga lembar kwitansi kosong yang sudah ditandatangani oleh tertanggung (satu lembar bermaterai cukup). l. Letter of Subrogation (surat penyerahan subrogasi). 3. Dalam Hal Tanggung Jawab Hukum Pihak Ketiga a. Klaim form yang ditandatangani tertanggung (form dari Bumida). b. Copy polis dan copy kwitansi polis. c. Copy SIM pengendara saat terjadi kejadian. d. Copy SIM atau KTP dan STNK pihak ketiga. e.Laporan polisi setempat yang juga menegaskan mengenai pihak yang bersalah. f. Surat tuntutan pihak ketiga bermaterai cukup dan tercantum besar nilai tuntutan. 4. Meninggal Dunia Akibat Kecelakaan a. Klaim form yang ditandatangani tertanggung atau ahli waris yang mempunyai hubungan keluarga (form dari Bumida). b. Surat keterangan kecelakaan dari yang berwenang (polisi). Baik asli atau copy legalisir. c. Surat keterangan rumah sakit (asli atau copy legalisir). d. Foto copy SIM pengendara saat terjadi kejadian. e. Copy polis dan copy kwitansi polis
81
5. Klaim Cacad Tetap Akibat Kecelakaan a. Klaim yang ditandatangani tertanggung (form dari Bumida). b. Surat keterangan rumah sakit atau dokter yang menyatakan tertanggung mengalami cacad selama-lamanya dan tidak mungkin disembuhkan lagi, serta dijelaskan mengenai kondisi cacadnya. c. Foto untuk yang menderita cacadnya. d. Foto copy SIM tertanggung. 6.11 Polis Bentuk perjanjian pertanggungan yang dibuat oleh PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto secara tertulis tercantum dalam polis pertanggungan Motorkoe yang berisi perihal: a. Nama perusahaan pertanggungan yang tercantum adalah PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto. b. Judul polis yaitu Polis Motorkoe Umum Ikhtisar Pertanggungan. c. Nama para pihak yaitu nama penanggung dan nama tertanggung yang mengadakan perjanjian pertanggungan. d. Uraian singkat mengenai barang yang dipertanggungkan yaitu terdiri dari merk atau tipe kendaraan, nomor polisi kendaraan, penggunaan kendaraan, tahun pembuatan kendaraan, nomor rangka kendaraan dan nomor mesin kendaraan.
82
e. Jangka waktu pertanggungan yaitu selama 366 (tiga ratus enam puluh enam) hari. f. Besarnya nilai pertanggungan g. Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh penanggung. h. Besarnya premi yang harus dibayar tertanggung. i. Hari ditutupnya pertanggungan yang disertai dengan materai, cap dan tanda tangan. B. Pembahasan Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menentukan bahwa: Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa tak tertentu. Abdulkadir Muhammad memberikan unsur-unsur asuransi atau pertanggungan berdasarkan definisi Pasal 246 KUHD sebagai berikut110: a. Pihak-Pihak Subjek asuransi adalah pihak-pihak dalam asuransi, yaitu penanggung dan tertanggung yang mengadakan perjanjian asuransi. Penanggung dan tertanggung adalah pendukung kewajiban dan hak. Penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak memperoleh pembayaran premi, sedangkan tertanggung wajib membayar premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya yang diasuransikan. 110
Abdulkadir Muhammad. 2002. Op. Cit. hal. 8-10.
83
b. Status Pihak-Pihak Penanggung harus berstatus sebagai perusahaan badan hukum, dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Perseroan (Persero) atau
Koperasi.
Sedangkan
tertanggung
dapat
berstatus
sebagai
perseorangan, persekutuan atau badan hukum, baik sebagai perusahaan ataupun bukan perusahaan. Tertanggung berstatus sebagai pemilik atau pihak berkepentingan atas harta yang diasuransikan. c. Objek Asuransi Objek asuransi dapat berupa benda, hak atau kepentingan yang melekat pada benda dan sejumlah uang yang disebut premi atau ganti kerugian. Melalui objek asuransi tersebut ada tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak. Penanggung bertujuan memperoleh pembayaran sejumlah premi sebagai imbalan pengalihan risiko. Sedangkan tertanggung bertujuan bebas dari risiko dan memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya. d. Peristiwa Asuransi Peristiwa asuransi adalah perbuatan hukum “legal act”berupa persetujuan atau kesepakatan bebas antara penanggung dan tertanggung mengenai objek asuransi, peristiwa tidak pasti “evenemen”yang mengancam benda asuransi dan syarat-syarat yang berlaku dalam asuransi. Persetujuan atau kesepakatan bebas tersebut dibuat dalam bentuk tertulis berupa akta yang disebut polis. Polis ini merupakan satu-satunya alat bukti yang dipakai untuk membuktikan telah terjadi asuransi.
84
e. Hubungan Asuransi Hubungan
asuransi
yang
terjadi
antara
penanggung
dan
tertanggung adalah keterikatan “legally bound” yang timbul karena persetujuan atau kesepakatan bebas. Keterikatan tersebut berupa kesediaan secara sukarela dari penanggung dan tertanggung untuk memenuhi kewajiban dan hak masing-masing terhadap satu sama lain (secara timbal balik). Artinya sejak tercapai kesepakatan asuransi, tertanggung terikat dan wajib membayar premi asuransi kepada penanggung, dan sejak itu pula penanggung menerima pengalihan risiko. Jika terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian atas benda asuransi, penanggung wajib membayar ganti kerugian sesuai dengan ketentuan polis asuransi. Tetapi jika tidak terjadi evenemen, premi yang sudah dibayar oleh tertanggung tetap menjadi milik penanggung. Pengertian asuransi menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian (UU No. 2 Tahun 1992) adalah: Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
85
Purwosutjipto mengemukakan pengertian pertanggungan yaitu suatu perjanjian (timbal balik) dalam mana kedua belah pihak masing-masing mempunyai kewajiban yang senilai.111 Menurut Emmy Pangaribuan, pertanggungan merupakan suatu perjanjian dimana penanggung dengan menikmati premi mengikatkan dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskannya dari kerugian karena kehilangan, kerugian, atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan yang akan dapat diderita olehnya karena suatu kejadian yang tidak pasti112. Molengraaf memberikan definisi mengenai asuransi yaitu asuransi kerugian ialah persetujuan dengan mana satu pihak, penanggung mengikatkan diri terhadap yang lain, tertanggung untuk mengganti kerugian yang dapat diderita oleh tertanggung, karena terjadinya suatu peristiwa yang telah ditunjuk, dan yang belum tentu serta kebetulan, dengan mana pula tertanggung berjanji untuk membayar premi.113 Berdasarkan data nomor 1 tentang para pihak dalam asuransi Motorkoe, data nomor 2 tentang objek pertanggungan, data nomor 6 tentang ketentuan asuransi kendaraan bermotor Motorkoe dan data nomor 6.6 tentang kewajiban dan hak para pihak, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 246 KUHD, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian serta pendapat Purwosutjipto, Emmy Pangaribuan dan Molengraaf tentang pengertian asuransi atau pertanggungan serta pendapat Abdulkadir Muhammad tentang unsur-unsur asuransi atau pertanggungan, maka dapat dideskripsikan bahwa dalam asuransi kendaraan Motorkoe di PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto telah memenuhi unsur-unsur pertanggungan, yaitu:
111
Purwosutjipto. 1990.Op. Cit. hal. 1. Emmy Pangaribuan. 1999. Op. Cit. hal. 7. 113 H. Mashudi dan Moch. Chidir Ali, Hukum Asuransi (Bandung: PT. Mandar Maju,1998), hal. 3. 112
86
1. Pihak-Pihak Para pihak dalam asuransi adalah tertanggung dan penanggung. Tertanggung adalah pihak yang mempunyai kepentingan dengan obyek yang dipertanggungkan, dalam hal ini obyek yang dipertanggungkan adalah kendaraan bermotor beroda dua. Tertanggung mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah premi yang telah disepakati kepada penanggung dan tertanggung berhak menerima ganti rugi atas obyek yang dipertanggungkan apabila menderita kerugian akibat peristiwa tidak tentu yang telah diperjanjikan sebelumnya. Pada asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe”, yang dapat menjadi tertanggung adalah orang atau individu perorangan. Sementara itu, penanggung dalam asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe” adalah PT. Asuransi Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto. Penanggung mempunyai kewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada tertanggung sesuai dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan apabila peristiwa tidak tentu terjadi dan menimbulkan kerugian pada tertanggung. Hak penanggung adalah menerima premi dari tertanggung sebagai imbalan atas risiko yang ditanggungnya. Dalam hal ini, penanggung berstatus sebagai perusahaan badan hukum. 2. Objek Asuransi Obyek asuransi atau benda pertanggungan pada asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe” adalah kendaraan beroda dua. Adapun yang dipertanggungkan atas benda pertanggungan tersebut adalah kerugian dan
87
atau kerusakan pada kendaraan bermotor dan atau kepentingan daripada kendaraan bermotor beroda dua. 3. Peristiwa Tidak Tentu Peristiwa tidak tentu yang diperjanjikan dalam asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe” diantaranya adalah tabrakan, benturan, tergelincir, terperosok, pencurian, kebakaran, tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, meninggal dunia akibat kecelakaan dan biaya pengobatan akibat kecelakaan. 4. Adanya kerugian PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto selaku penanggung, baru akan memberikan ganti rugi apabila akibat terjadinya peristiwa tidak tentu yang telah disepakati, menimbulkan kerugian bagi tertanggung dimana antara peristiwa tidak tentu tersebut ada hubungan sebab akibat dengan kerugian yang ditimbulkan. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa Pasal 246 KUHD secara jelas mengatakan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan demikian perjanjian asuransi sebagaimana perjanjian pada umumnya harus memenuhi syarat sahnya perjanjian. Syarat sahnya perjanjian dirumuskan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang merumuskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
88
3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Kedua syarat yang pertama yaitu sepakat dan cakap, dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian, sedangkan kedua syarat terakhir yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal merupakan syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya perjanjian tersebut tetap sah sepanjang tidak ada pembatalan. Jika syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak adalah tidak sah, artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada. Untuk mengetahui lebih jauh dari keempat persyaratan tersebut, maka syarat-syarat tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri Kata sepakat mengandung petunjuk bahwa setifak-tidaknya ada dua pihak yang saling memberikan persetujuan. Dikatakan saling memberikan persetujuannya kalau mereka memang menghendaki apa yang disepakatinya secara timbal balik. Sepakat merupakan pertemuan antara dua kehendak yang saling mengisi.114 Supaya sepakat tersebut bisa saling bertemu, maka kehendak tersebut harus dinyatakan. Meskipun undang-undang tidak menentukan secara tegas tetapi dari ketentuan-ketentuan yang ada, antara lain Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUH Perdata, orang menyimpulkan bahwa pada asasnya, kecuali ditentukan lain, undang-undang tidak menetapkan secara baku bagaimana atau dengan cara apa orang harus menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu, asasnya orang boleh dengan ragam cara dalam menyatakan/menyampaikan kehendaknya dalam mencapai 114
Nur Wakhid, Syarat Sah Perjanjian(Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 2008), hal. 8.
89
sepakat asal ragam cara tersebut sampai dan dimengerti oleh kedua belah pihak.115 2. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan Menurut Pasal 1329 KUH Perdata, pada asasnya semua orang itu dianggap cakap membuat perjanjian kecuali oleh undang-undang dinyatakan tak cakap. Berangkat dari prinsip seperti itu maka yang harus diketahui bukannya siapa saja yang cakap akan tetapi siapa saja yang oleh undangundang dinyatakan tidak sah bila mereka membuat perjanjian. Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa mereka yang tak cakap (sehingga tidak sah) membuat perjanjian yaitu: orang-orang yang belum dewasa; mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu. 3. Suatu Hal Tertentu Salah satu syarat sahnya perjanjian yang apabila tidak terpenuhi akan berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum adalah syarat “hal tertentu” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 sub 3 KUH Perdata. Untuk memahami syarat tersebut harus diketahui mengenai apa yang dimaksud dengan kata “hal” dan “tertentu”. Kata “hal” maksudnya adalah pokok suatu perjanjian maka dalam kenyataannya tidak semua perjanjian mempunyai pokok perjanjiannya berupa barang. Ada pula yang menafsirkan bahwa kata “hal” dalam Pasal 1320 KUH Perdata artinya tidak lain adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diperjanjikan oleh para pihak. Hak dan 115
Ibid. hal. 8.
90
kewajiban yang diperjanjikan dan karenanya menjadi isi perjanjian oleh para pihak. Hak dan kewajiban yang diperjanjikan dan karenanya menjadi isi perjanjian tersebut tidak lain adalah apa yang dinamakan perikatan menurut Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu, yang kesemua itu dalam hukum perikatan dinamakan prestasi.116 Suatu perjanjian yang menimbulkan hak bagi kreditur dan kewajiban bagi debitur akan menjadi tidak dapat dilaksanakan apabila objek perjanjiannya atau isi prestasinya tidak tertentu. Bagi debitur, ia sudah merasa memenuhi kewajiban prestasinya sebaliknya bagi si kreditur dapat saja merasa belum mendapatkan haknya sebagaimana mestinya. Dengan demikian, kata “tertentu” memiliki makna sebagai tertentu secara individual dalam arti tertuju pada isi prestasi tertentu yang tidak dapat lagi ditafsirkan lain selain sebagaimana dimaksud.117 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa maksud dari hal tertentu adalah tidak lain dari objek perjanjian dimana objek perjanjian itu adalah suatu prestasi yang dapat berupa memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Terkait dengan prestasi itu bisa menyangkut barang seperti yang dimaksud dalam Pasal 1333 KUH Perdata ataupun tidak menyangkut barang misalnya perjanjian untuk melantunkan lagu tertentu. 4. Suatu Sebab yang Halal Sekalipun dari bunyi Pasal 1320 sub 4 beserta pasal-pasal penjabarannya tidak didapatkan gambaran yang jelas mengenai apa itu “sebab yang halal”, akan tetapi para sarjana sepakat bahwa kata “sebab” dalam pasal tersebut bukanlah berkaitan dengan pengertian sebab-akibat. Kata “sebab” halal atau “justa causa” juga bukan berarti motif, karena yang namanya motif adalah daya pengaruh yang paling jauh mengapa seseorang itu menutup perjanjian dan dalam hal ini, motif itu tidak dipedulikan oleh hukum perjanjian.118 Hogge Raad dalam Arrestnya tanggal 17 November 1922 menyatakan bahwa kausa suatu perjanjian adalah apa yang menjadi 116
Ibid. hal. 50. Ibid. hal. 50. 118 Ibid. hal. 55. 117
91
tujuan para pihak yaitu apa yang dituju oleh para pihak yang menutup perjanjian tersebut. Dalam hal ini H.R mencari satu kausa yang menjadi tujuan bersama para pihak.119 Menurut Subekti, yang dinamakan sebab atau “oorzak” atau “causa” tidak lain selain isi perjanjian itu sendiri. Dengan penafsiran seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian itu harus mempunyai hal tertentu yaitu isi prestasinya (objek perjanjian) maka isi prestasi tersebut juga harus halal.120 Berdasarkan uraian di atas, adapun yang harus diperhatikan adalah bahwa tujuan perjanjian tidak sama dengan isi perjanjian. Jika tujuan perjanjian adalah sama dengan isi perjanjian, maka semua perjanjian bernama yang diatur dalam KUH Perdata, tidak mungkin mempunyai tujuan yang terlarang dan karenanya tidak mungkin batal atas dasar kausanya bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, sebab undang-undang sendiri yang mengaturnya dan karenanya membolehkan adanya perjanjian seperti itu, tetapi dalam kenyataanya tidaklah demikian. Ada perjanjian yang termasuk dalam perjanjian bernama dan karenanya isinya sesuai dengan ketentuan perjanjian khusus, tetapi mempunyai tujuan yang terlarang, misalnya orang yang menyewakan tangga kepada seorang maling untuk melakukan pencurian. Isi perjanjian yang demikian tidak melahirkan perikatan bagi para pihak, dalam arti para pihak tidak terikat untuk memenuhi kewajiban yang telah dijanjikannya karena tujuannya terlarang.121 Syarat perjanjian asuransi yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad adalah122: 1. Kesepakatan “Consensus” Tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi:
119
Ibid. hal. 57. Ibid. hal. 58. 121 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari PerjanjianBuku II (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 74-75. 122 Abdulkadir Muhammad. 2002. Op. Cit. hal. 49-54. 120
92
a. Benda yang menjadi objek asuransi; b. Pengalihan risiko dan pembayaran premi; c. Evenemen dan ganti kerugian; d. Syarat-syarat khusus asuransi; e. Dibuat secara tertulis yang disebut polis. Pengadaan perjanjian antara tertanggung dan penanggung dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Dilakukan secara langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi tanpa perantara. Dilakukan secara tidak langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi melalui jasa perantara. Perantara dalam KUHD disebut makelar sementara dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 disebut pialang. 2. Kewenangan “Authority” Kedua pihak, tertanggung dan penanggung wenang melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Kewenangan berbuat ada yang bersifat sebjektif dan ada yang bersifat objektif. Kewenangan subjektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada di bawah
perwalian
“trusteeship”,
atau
pemegang
kuasa
yang
sah.
Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan yang sah dengan benda objek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan miliknya sendiri. 3. Objek Tertentu “Fixed Object”
93
Objek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah objek yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan, dapat pula berupa jiwa atau raga manusia. Karena yang mengasuransikan objek itu adalah tertanggung, maka dia harus mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan objek asuransi itu. 4. Kausa yang Halal “Legal Cause” Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian itu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. 5. Pemberitahuan “Notification” Tertanggung
wajib
memberitahukan
kepada
penanggung
mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat mengadakan asuransi. Apabila tertanggung lalai, maka akibat hukumnya asuransi batal. Berdasarkan data nomor 1 tentang para pihak dalam asuransi Motorkoe, data nomor 2 tentang objek pertanggungan, data nomor 3 tentang tujuan pertanggungan, data nomor 4 besarnya pertanggungan, data nomor 6.6 tentang kewajiban dan hak para pihak serta data nomor 6.9 tentang Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA), apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 246 KUHD, Pasal 1320, 1329 dan 1330 KUH Perdata dan pendapatnya Nur Wakhid, J. Satrio dan Abdulkasir Muhammad tentang syarat perjanjian asuransi, maka dapat dideskripsikan bahwa asuransi kendaraan
94
bermotor “Motorkoe” di PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto telah memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu: 1. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri Para pihak dalam asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe” di PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto, yaitu pihak tertanggung dan penanggung telah sepakat untuk mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan kedua belah pihak dapat dilihat dari diisinya SPPA oleh pihak calon tertanggung yang kemudian disetujui oleh pihak penanggung yang tidak lain adalah PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto. Selain disetujuinya SPPA oleh kedua belah pihak, kesepakatan untuk mengadakan perjanjian asuransi tersebut juga dapat dilihat dari disetujuinya ketentuan-ketentuan yang ada dalam polis oleh pihak calon tertanggung dan pihak penanggung. Dengan disepakatinya SPPA dan polis maka kedua belah pihak telah sepakat untuk menutup perjanjian pertanggungan 2. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan Para pihak baik tertanggung maupun penanggung adalah pihak yang cakap untuk melakukan perjanjian pertanggungan tersebut. Kecakapan kedua belah pihak dapat dilihat pada identitas mereka masing-masing. Pihak penanggung adalah perusahaan asuransi yang berstatus badan hukum Perseroan Terbatas, dengan demikian perusahaan asuransi tersebut, yaitu PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto, adalah pihak yang cakap untuk melakukan perjanjian pertanggungan. Sementara
95
itu, kecakapan dan kewenangan pihak tertanggung dapat dilihat pada identitas
yang
harus
ia
beritahukan
untuk
menutup
perjanjian
pertanggungan, misalnya dari kartu tanda penduduk (KTP), “passport”, SIM. Pihak penanggung tidak akan pernah menyetujui apabila tertanggung adalah pihak yang tidak cakap untuk menutup perjanjian serta apabila tertanggung juga tidak bisa membuktikan bahwa ia adalah pihak yang mempertanggungkan kendaraan bermotornya, artinya ia tidak memiliki kepentingan terhadap kendaraan beroda dua yang akan dipertanggungkan. 3. Suatu Hal Tertentu Objek perjanjian pada asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe” adalah mempertanggungkan kendaraan beroda dua non komersil dan kepentingan
yang
melekat
pada
kendaraan
bermotor
yang
dipertanggungkan. Pada perjanjian pertanggungan tersebut, tertanggung dengan membayar sejumlah premi kepada penanggung, maka apabila peristiwa yang tidak tentu terhadap mana benda itu dipertanggungkan terjadi, penanggung akan membayar sejumlah ganti rugi. Segala ketentuan dan kewajiban serta hak masing-masing pihak yang merupakan prestasi dari perjanjian pertanggungan telah disetujui oleh para pihak. Hal tersebut telah diuraikan pada data nomor 6 tentang ketentuan asuransi bermotor Motorkoe. 4. Suatu Sebab yang Halal Tujuan para pihak dalam asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe” adalah untuk mempertanggungkan kendaraan beroda dua milik tertanggung terhadap peristiwa tidak tentu yang telah disepakati. Peristiwa yang tidak
96
tentu tersebut antara lain tabrakan, benturan, terbalik, tergelincir, pencurian dan kebakaran. Berdasarkan tujuan dari para pihak dalam membuat perjanjian pertanggungan tersebut dapat disimpulkan bahwa, suatu sebab yang halal sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian adalah telah dipenuhi. Tujuan para pihak tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian yang diatur secara khusus dalam KUHD, oleh karena itu selain syarat sah perjanjian harus dipenuhi, dalam perjanjian asuransi juga harus dipenuhi pripsip-prinsip yang harus ada dalam suatu perjanjian asuransi. Prinsip-prinsip asuransi yang dimaksud yaitu: 1. Asas Kepentingan “Principle of Insurable Interest” Pasal 250 KUHD menyebutkan bahwa apabila seorang yang telah mengadakan suatu pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seorang, yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai suatu kepentingan terhadap barang yang dipertanggungakan itu, maka si penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi. Pasal 268 KUHD menyebutkan bahwa suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yang dapat dinilaikan dengan uang, dapat diancam oleh sesuatu bahaya dan tidak dikecualikan oleh undang-undang.
97
Sri Rejeki Hartono mengemukakan pendapat bahwa batasan atau pengertian kepentingan di dalam perjanjian asuransi atau pertanggungan dapat dimulai dari pengertian yang tidak langsung sebagai berikut yaitu seseorang dapat dianggap mempunyai kepentingan di dalam perjanjian asuransi ialah apabila orang tersebut dapat atau mungkin menderita kerugian yang bersifat kerugian ekonomi, sehingga dengan demikian kepentingan dapat pula diartikan sebagai keterlibatan kerugian keuangan karena suatu peristiwa yang belum pasti.123 Molengraaf
berpendapat
bahwa
ynag
dimaksud
dengan
kepentingan ialah harta kekayaan atau sebagian dari harta kekayaan tertanggung yang dipertanggungkan yang mungkin diserang bahaya.124 Menurut Puwosutjipto, kepentingan adalah hak atau kewajiban yang dipertanggungkan.125 Artinya, kepentingan merupakan hak subjketif yang mungkin akan lenyap atau berkurang karena terjadinya suatu peristiwa tidak tentu. Berdasarkan data nomor 6.1 tentang jaminan, data nomor 6.9 tentang SPPA dan data nomor 6.10 tentang dokumen pendukung klaim, apabila dihubungkan dengan Pasal 250, Pasal 268 KUHD serta pendapat dari Sri Rejeki Hartono, Molengraaf dan Purwosutjipto tentang pengertian dari kepentingan, maka dapat dideskripsikan bahwa kepentingan yang dipertanggungkan dalam asuransi Motorkoe adalah berupa hak tertanggung terhadap kendaraan bermotor roda dua miliknya dan kewajiban tertanggung 123
Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 101. H.M.N Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 36. 125 Ibid. hal. 36. 124
98
mengganti kerugian kepada pihak ketiga yang menderita kerugian karena perbuatannya atau yang jadi tanggung jawabnya. Tertanggung adalah pihak yang memang benar memiliki kepentingan terhadap benda yang dipertanggungkan, hal ini dapat dilihat kebenarannya pada dokumen yang menyatakan bahwa tertanggung adalah benar pemilik kendaraan yang dipertanggungkan. Dokumen tersebut dapat berupa SIM, STNK asli, BPKB asli dan faktur pembelian. Dengan demikian, asas kepentingan pada asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe” telah dipenuhi. 2. Asas Indemnitas “Principle of Indemnity” Kata indemnitas berasal dari bahasa latin yang artinya ganti kerugian. Jadi, prinsip indemnitas artinya prinsip ganti kerugian. Inti prinsip indemnitas adalah seimbang, yakni seimbang antara kerugian yang betul-betul diderita oleh tertanggung dengan jumlah ganti kerugiannya.126 Perjanjian pertanggungan mempunyai tujuan untuk mencegah tertanggung dari menderita kerugian atau supaya risiko yang dihadapinya diperalihkan kepada si penanggung. Di dalam penggantian kerugian itu dipakai suatu asas yaitu asas perseimbangan, yaitu perseimbangan antara risiko yang akan diperalihkan kepada penanggung dengan kerugian yang di derita oleh tertanggung sebagai akibat suatu peristiwa yang tidak dapat diharapkan akan terjadinya.127 Berdasarkan data nomor 6.3 tentang penentuan nilai ganti rugi dan data 6.4 tentang cara penyelesaian dan penetapan ganti rugi, apabila dihubungkan dengan prinsip indemnitas sebagaimana telah diuraikan di atas maka dapat dideskripsikan bahwa asuransi kendaraan bermotor Motorkoe telah menerapkan asas indemnitas dimana batas maksimal tanggung jawab penanggung adalah setinggi-tingginya sebesar harga pertanggungan. 126 127
Ibid. hal. 58. Emmy Pangaribuan. 1990. Op. Cit. hal. 64.
99
Dengan demikian, antara ganti rugi yang menjadi tanggung jawab penanggung dengan kerugian yang benar-benar di derita tertanggung telah disesuaikan menurut prinsip keseimbangan. 3. Asas Kejujuran yang Sempurna “Utmost Good Faith” Penanggung selaku pihak yang menerima peralihan risiko dari tertanggung harus mengetahui berat ringannya risiko yang telah diambil alih. Penanggung perlu mengetahui secara jelas tentang benda pertanggungan. Kewajiban pemberitahuan ini dibebankan kepada tertanggung, sebab benda tanggungan itu adalah milik tertanggung dan dikuasai oleh sepenuhnya oleh tertanggung.128 Biasanya, hal-hal yang harus diketahui oleh penanggung atas benda pertanggungan telah ditulis dalam formulir atau daftar isian yang telah disediakan oleh penanggung untuk diisi oleh tertanggung. Namun demikian, daftar isiian tersebut tidak menjadikan apa yang tidak dicantumkan dalam daftar isiian tersebut atau tidak ditanyakan, tidak perlu diberitahukan kepada penanggung. Tertanggung tetap wajib memberitahukan hal-hal lain yang dapat mempengaruhi besarnya risiko kepada penanggung. Pasal 251 KUHD menyebutkan bahwa setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya, sehingga seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup dengan syaratsyarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan.
128
H.M.N Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 52.
100
Tujuan Pasal 251 KUHD ialah untuk melindungi penanggung atau membebaskan risiko yang tidak tepat diperalihkan kepadanya, sehingga dalam Pasal 251 KUHD tidak menjadi pertimbangan apakah tertanggung itu ada itikad baik atau buruk. Berdasarkan data nomor 6.6 tentang kewajiban dan hak para pihak, pada Pasal 6 Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia bahwa tertanggung wajib mengungkapkan fakta material mengenai obyek pertanggungan, yaitu berupa segala bentuk informasi, keterangan keadaan maupun hal-hal yang benar yang mempengaruhi pertimbangan penanggung dalam penutupan asuransi, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 251 KUHD maka dapat dideskripsikan bahwa perjanjian asuransi kendaraan bermotor Motorkoe telah menerapkan asas kejujuran yang sempurna “utmost good faith”. 4. Asas Subrogasi pada Penanggung “Principle of Subrogation” Apabila peristiwa tidak tentu yang telah disepakati para pihak terjadi dan hal itu disebabkan oleh pihak ketiga, maka tertanggung akan mengalami kerugian. Dalam hal yang demikian, maka tertanggung akan mendapat kemungkinan untuk menuntut kepada pihak penanggung dan pihak ketiga yang bersalah yang telah menimbulkan kerugian pada tertanggung. Jika tertanggung mendapat ganti rugi baik dari penanggung dan pihak ketiga yang bersalah, maka hal ini tidak sesuai dengan asas pertanggungan yaitu asas indemnitas. Di satu sisi, apabila tertanggung sudah mendapat ganti rugi dari penanggung, sementara tertanggung tidak boleh
101
mendapat penggantian kerugian dua kali, maka sangatlah tidak adil apabila pihak ketiga yang bersalah dibebaskan dari tanggung jawabnya. Oleh karena itu, dalam hal ini berlakulah asas subrogasi pada penanggung. Asas subrogasi secara umum diatur dalam KUH Perdata yaitu Pasal 1400. Pasal 1400 KUH Perdata menyebutkan bahwa: Subrogasi atau penggantian hak-hak si berpiutang oleh pihak ketiga, yang membayar kepada si berpiutang itu, terjadi dengan persetujuan maupun demi undang-undang. Berdasarkan isi pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila seorang pihak ketiga melunaskan utang seorang debitur kepada kreditur yang asli, maka lenyaplah hubungan hukum antara debitur dengan kreditur asli. Akan tetapi, pada saat yang sama hubungan hukum tadi beralih kepada pihak ketiga yang melakukan pembayaran kepada kreditur asli. Dengan pembayaran tersebut maka perikatan itu sendiri tidak lenyap, tetapi yang terjadi ialah pergeseran kedudukan kreditur kepada orang lain.129 Subrogasi dalam asuransi adalah penggantian hak atau kedudukan tertanggung oleh penanggung terhadap pihak ketiga yang menimbulkan kerugian. Asas subrogari di atur dalam Pasal 284 KUHD yang menyebutkan bahwa: Seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang yang dipertanggungkan, menggantikan si tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut; dan si tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak si penanggung terhadap orang-orang ketiga itu. Berdasarkan asas subrogasi tersebut, maka jika tertanggung berhak meminta ganti kerugian kepada penanggung, sebaliknya penanggung berhak 129
Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 126-127.
102
meminta ganti kerugian kepada pihak ketiga yang bersalah. Tujuan dari subrogasi adalah untuk mencegah tertanggung mendapat ganti kerugian dua kali dan mencegah pihak ketiga membebaskan diri dari kewajibannya membayar ganti kerugian. Berdasarkan data nomor 6.10 tentang dokumen pendukung klaim asuransi dimana salah satu dokumen yang harus dilampirkan pada saat mengajukan klaim adalah “letter of subrogation” atau surat penyerahan subrogasi, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 284 KUHD tentang asas subrogasi, maka dapat dideskripsikan bahwa perjanjian asuransi kendaraan bermotor Motorkoe, telah menerapkan ketentuan asas subrogasi. Menurut ketentuan Pasal 255 KUHD, suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Dalam ketentuan lebih lanjut yaitu dalam Pasal 257 KUHD, bahwa perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup, hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan si tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani. Artinya, perjanjian pertanggungan adalah perjanjian yang bersifat konsensuil, perjanian sudah terjadi secara sah bila sudah memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan demikian, polis adalah sebagai salah satu bukti adanya perjanjian pertanggungan. Pasal 256 KUHD menyebutkan bahwa: Setiap polis, kecuali yang mengenai suatu pertanggungan jiwa, harus menyatakan: 1. hari ditutupnya pertanggungan;
103
2. nama orang yang menutup pertanggungan atas tanggungan sendiri atau atas tanggungan seorang ketiga; 3. suatu uraian yang cukup jelas mengenai barang yang dipertanggungkan; 4. jumlah uang untuk berapa diadakan pertanggungan; 5. bahaya-bahaya yang ditanggung oleh si penanggung; 6. saat pada mana bahaya mulai berlaku untuk tanggungan si penanggung dan saat berakhirnya itu; 7. premi pertanggungan tersebut, dan 8. pada umumnya, semua keadaan yang kiranya penting bagi si penanggung untuk diketahuinya, dan segala syarat yang diperjanjikan para pihak. Polis tersebut harus ditandatangani oleh tiap-tiap penanggung. Berdasarkan data nomor 6.9 tentang Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA) dan data nomor 6.11 tentang polis, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 255 KUHD, 256 KUHD dan 257 KUHD, maka dapat dideskripsikan bahwa polis pada asuransi kendaraan bermotor Motorkoe di PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto telah menerapkan syarat-syarat isi polis. Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi ....”, demikian pengertian asuransi menurut Pasal 246 KUHD. Sementara itu, menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima suatu premi...”. Berdasarkan kedua aturan diatas mengenai pengertian asuransi atau pertanggungan, maka salah satu hal yang penting dalam perjanjian pertanggungan adalah premi. Premi merupakan kewajiban tertanggung, sebagai imbalan dari kewajiban penanggung untuk mengganti kerugian tertanggung.130 Hubungan asuransi yang terjadi antara penanggung dan tertanggung adalah keterikatan “legally bound” yang timbul karena perestujuan atau kesepakatan bebas. Keterikatan tersebut berupa kesediaan secara sukarela dari penanggung dan tertanggung untuk memenuhi kewajiban dan hak masing-masing terhadap satu sama lain (secara timbal balik). Artinya, 130
H.M.N Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 51.
104
sejak tercapai kesepakatan asuransi, tertanggung terikat dan wajib membayar premi asuransi kepada penanggung dan sejak itu pula penanggung menerima pengalihan risiko. Jika terjadi “evenemen” yang menimbulkan kerugian atas benda asuransi, penanggung wajib membayar ganti kerugian sesuai dengan ketentuan polis asuransi. Akan tetapi, jika tidak terjadi “evenemen”, premi yang sudah dibayar oleh tertanggung tetap menjadi milik penanggung.131 Premi ini biasanya dinyatakan dengan persentase dari jumlah pertanggungan, yang menggambarkan penilaian penanggung terhadap risiko yang ditanggungnya. Biasanya premi di bayar di muka secara tunai, tetapi apabila pertanggungan itu akan berlaku lama, maka pembayaran premi itu dapat diperjanjikan secara angsuran.132 Berdasarkan data nomor 6.6 tentang kewajiban dan hak para pihak, pada Pasal 7 Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia bahwa tertanggung wajib membayar premi, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 246 KUHD, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, pendapat Abdulkadir Muhammad dan Pursowutjipto tentang premi, maka dapat dideskripsikan bahwa pembayaran premi pada asuransi kendaraan bermotor Motoekoe di PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto telah sesuai. Pembayaran premi dalam asuransi kendaraan bermotor Motorkoe di PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto dapat dilaksanakan dengan dua cara yaitu: 1. Premi dibayar tunai Pembayaran premi dapat dilakukan secara tunai baik pada saat pengisian SPPA atau pada saat polis diterbitkan. Khusus untuk
131 132
Abdulkadir Muhammad. 2002. Op. Cit. hal. 9. H.M.N Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 51.
105
pertanggungan yang jangka pertanggungannya satu tahun, maka premi harus dibayar tunai pada saat polis diterbitkan. 2. Setelah penutupan perjanjian pertanggungan Tertanggung diberikan jangka waktu untuk pelunasan pembayaran premi yaitu dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal mulai berlakunya polis. Penanggung tidak akan membayar ganti kerugian manakala tertanggung belum melunasi kewajibannya yaitu membayar premi. Dengan demikian, pertanggungan baru berjalan setelah tertangggung melaksanakan kewajibannya membayar premi. Kewajiban utama penanggung dalam perjanjian pertanggungan adalah memberikan ganti kerugian, sedangkan kerugian yang akan ditanggung adalah kerugian sebagai akibat dari “evenemen”yang ditanggung dalam polis. Besarnya ganti kerugian yang menjadi tanggungan penanggung tersebut sangat erat kaitannya dengan jumlah yang dipertanggungkan. Agar prinsip indemnitas dapat dilaksanakan, maka antara kerugian dan jumlah ganti rugi haruslah ada keseimbangan. Pemberian ganti rugi penanggung kepada tertanggung ketika terjadi peristiwa tidak tentu dan menimbulkan kerugian, adalah jumlah maksimum ganti kerugian. Jumlah maksimum ini berguna agar penanggung tidak dirugikan atas besarnya kerugian yang harus diganti. Jumlah yang dipertanggungkan “verzekerde som atau the sum insured” adalah jumlah yang dipakai sebagai ukuran untuk menentukan jumlah maksimum ganti kerugian yang harus dibayar oleh penanggung dalam suatu pertanggungan kerugian. Jumlah yang dipertanggungkan erat sekali hubungannya dengan nilai benda pertanggungan. Dengan ditentukan jumlah yang dipertanggungkan dan nilai benda
106
pertanggungan, dapat diketahui apakah pertanggungan itu di bawah nilai benda bertanggungan “onder verzekering atau under insured”, sama dengan nilai benda pertanggungan “volledig verzekering atau full insurance” atau melebihi nilai benda pertanggungan “over verzekering” atau “over insurance”. Dengan demikian, dapat ditentukan jumlah maksimum ganti kerugian yang dapat dibayar jika timbul kerugian akibat dari peristiwa yang menjadi tanggungan penanggung.133 Pasa 253 ayat (1) KUHD menyebutkan bahwa: Suatu pertanggungan yang melebihi jumlah harga atau kepentingan yang sesungguhnya, hanyalah sah sampai jumlah tersebut. Apabila jumlah yang dipertanggungkan lebih besar daripada nilai benda sesungguhnya, penanggung hanya bertanggung jawab membayar ganti kerugian sampai jumlah nilai benda sesungguhnya dalam hal terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian atas seluruh benda pertanggungan “total loss”. Misalnya, sebuah rumah dipertanggungkan terhadap bahaya kebakaran dengan jumlah pertanggungan Rp 15.000.000,00. Nilai penuh rumah sesungguhnya Rp 10.000.000,00. Jika rumah tersebut terbakar habis, penanggung berkewajiban membayar ganti kerugian hanya sampai jumlah Rp 10.000.000,00.134 Pasal 253 ayat (2) KUHD menyebutkan bahwa: Apabila harga penuh sesuatu barang tidak dipertanggungkan, maka apabila
timbul
menggantinya
kerugian, menurut
si
penanggung
imbangan
hanyalah
daripada
diwajibkan
bagian
yang
dipertanggungkan terhadap bagian yang tidak dipertanggungkan.
Sebagai contoh, sebuah rumah dipertanggungkan terhadap bahaya kebakaran sejumlah Rp 8.000.000,00. Nilai rumah sesungguhnya Rp 10.000.000,00. Kemudian, terjadi kebakaran yang menimbulkan kerugian Rp 6.000.000,00. Perbandingan antara jumlah yang dipertanggungkan dan jumlah yang tidak dipertanggungkan adalah 8 : 2, jumlah perbandingan = 10. Ganti kerugian yang harus dibayar oleh penanggung adalah 8/10 x Rp 6.000.000,00 = Rp 4.800.000,00.135 133
Abdulkadir Muhammad. 1994. Op. Cit. hal. 70-71. Ibid. hal. 71. 135 Ibid. hal. 71-72. 134
107
Berdasarkan ketentuan Pasal 253 ayat (2) di atas, maka dapat disimpulkan rumus yaitu: Ganti Rugi =
Uang Pertanggungan Nilai Benda Pertanggungan
X Kerugian
Ketetentuan Pasal 253 ayat (2) KUHD masih dapat disimpangi oleh pihak-pihak, asalkan diperjanjikan dengan tegas di dalam polis bahwa tanpa memperhatikan keseimbangan, kerugian yang menimpa benda pertanggungan itu akan diganti sepenuhnya sampai jumlah yang dipertanggungkan (Pasal 253 ayat (3) KUHD). Klausula yang demikian ini disebut “premier risque” dan harus dinyatakan dengan tegas di dalam polis.136 Klausula “premier risque” ini dimungkinkan karena sulit menentukan batas-batas nilai penuh kepentingan dalam jenis pertanggungan itu. Dengan demikian, sulit pula menentukan batas-batas risiko seluruhnya. Klausula “premier risque” ini biasanya diadakan dalam pertanggungan terhadap bahaya yang jarang menimbulkan kerugian total benda pertanggungan, melainkan hanya sebagian saja.137 Berdasarkan kedua ketentuan Pasal 253 ayat (1) dan ayat (2) KUHD tersebut, maka dapat dilihat bahwa pada pertanggungan yang melebihi nilai benda “over verzekering”, seluruh risiko diperalihakn sementara pada pertanggungan di bawah nilai benda pertanggungan “onder verzekering”, tidak semua risiko diperalihkan. Oleh karena itu, pada pertanggungan “onder verzekering” ganti kerugian adalah berdasarkan perseimbangan dan pada “over verzekering”, ganti kerugian adalah sesuai kerugian. Pada pertanggungan sama dengan nilai benda pertanggungan atau “volledig verzekering” atau “full insurance”, semua risiko obyek pertanggungan juga diperalihkan dari tertanggung kepada penanggung. Dengan
136 137
Ibid. hal. 72. Ibid. hal. 72.
demikian, ganti kerugian pada
108
“volledig verzekering” juga sama dengan ganti kerugian pada “over verzekering” yaitu ganti kerugian sesuai dengan kerugian yang diderita. Berdasarkan data nomor 4 tentang besar pertanggungan, data nomor 6.3 tentang penentuan nilai ganti rugi, dan data nomor 6.4 tentang cara penyelesaian dan penetapan nilai ganti rugi, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1) dan (2), serta pendapat Abdulkadir Muhammad, maka dapat dideskripsikan bahwa jenis pertanggungan pada asuransi kendaraan bermotor paket “Motorkoe” di PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto adalah berupa pertanggungan nilai penuh atau “volledig verzekering” dengan penggantian kerugian berupa kerugian total atau “total loss only”. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data-data sekunder, yaitu: 1. Besarnya Nilai Pertanggungan Berdasarkan nilai pertanggungan yang tercantum dalam Polis Motorkoe Ikhtisar Pertanggungan dan harga kendaraan dalam SPPA atau harga kendaraan yang tercantum dalam data 6.8 tentang premi asuransi motorkoe, maka besarnya nilai pertanggungan adalah sesuai dengan harga pasar kendaraan pada saat yang dipertanggungkan. Penentuan harga kendaraan sesaat sebelum dilakukan perjanjian pertanggugngan dilakukan oleh penanggung. Sebagai contoh, dipertanggungkan
adalah
jika
harga
sebesar
Rp
pasar kendaraan 11.000.000,00,
yang akan maka
nilai
pertanggungan adalah sebesar Rp 11.00.000,00. Pada asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe”, besarnya harga kendaraan untuk dipertanggungkan
109
sangat
erat
kaitannya
dengan
usia
kendaraan.
Penanggung
akan
memperhitungkan pula nilai penyusutan kendaraan berdasarkan usia kendaraan tersebut. Sebagai contoh, kendaraan yang dipertanggungkan tahun
pembuatannya
adalah
pada
tahun
2010
sementara
baru
dipertanggungkan pada PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda Cabang Purwokerto pada tahun 2011. Dengan demikian, nilai dari kendaraan tersebut ada penyusutan selama setahun yaitu dari tahun 2010 hingga tahun 2011. Harga pasar kendaraan yang akan dipertanggungkan pada saat akan dipertanggungkan yaitu pada tahun 2011 adalah sebesar Rp 15.000.000,00. Berdasarkan nilai penyusutan maksimal yang dijadikan standar pada PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda Cabang Purwokerto sebesar 10% tiap tahunnya,
maka
dapat
diperhitungkan
nilai kendaraan
pada
saat
dipertanggungkan adalah sebesar Rp 13.500.000,00. Nilai tersebut diperoleh berdasarkan perhitungan 10% x Rp 15.000.000,00 = Rp 1.500.000,00. Maka Rp 15.000.000,00 – Rp 1.500.000,00 = Rp 13.500.000,00. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda Cabang Purwokerto selaku penanggung, sebelum mengadakan perjanjian pertanggungan terlebih dahulu memeriksa dan mempertimbangkan besarnya harga kendaraan yang akan dipertanggungkan serta selalu mengikuti harga pasar kendaraan sebagai referensi untuk menilai harga kendaraan secara layak. Oleh karena harga kendaraan pada saat akan dipertanggungkan adalah sebesar Rp 13.500.000,00 maka nilai pertanggungan yang tercantum dalam polis pun sebesar Rp 13.500.000,00.
110
2. Batas Maksimal Ganti Rugi Pasal 16 tentang Cara Penyelesaian dan Penetapan Ganti Rugi, tepatnya pada ayat (2) menyebutkan bahwa tanggung jawab penanggung atas kerugian dan atau kerusakan terhadap kendaraan dan atau kepentingan yang
dipertanggungkan
pertanggungan.
setinggi-tingginya
adalah
sebesar
harga
Berdasarkan pasal tersebut bahwa pertanggungan paket
Motorkoe adalah pertanggungan dengan nilai penuh atau “volledig verzekering”, karena batas maksimal penggantian ganti rugi adalah sebesar harga pertanggungan. Hal ini tidak berlaku pada pertanggungan dengan nilai sebagian atau “onder verzekering”, karena besarnya ganti rugi adalah menurut imbangan antara bagian yang dipertanggungkan dengan bagian yang tidak dipertanggungkan. 3. Jaminan Berdasarkan Pasal 15 tentang Penentuan Nilai Ganti Rugi pada Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia, tepatnya pada ayat (2), bahwa asuransi kendaraan bermotor Motorkoe hanya menjamin atas kerugian total atau “total loss only”. Kerugian total sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya adalah bahwa jika: a. kerusakan dan atau kerugian karena suatu peristiwa yang dijamin oleh polis dimana biaya perbaikan, penggantian atau pemulihan ke keadaan semula sesaat sebelum terjadinya kerugian dan atau kerusakan sama dengan atau lebih tinggi dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari harga sebenarnya.
111
b. hilang karena pencurian dan tidak diketemukan dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak terjadinya pencurian. Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa PT. Asuransi Umum Bumiputera Cabang Purwokerto baru akan mengganti kerugian apabila terjadi kerugian total atau “total loss only”. Besarnya kerugian yang menentukan adalah dari pihak penanggung sendiri, bukan dari pihak tertanggung. Apabila terjadi peristiwa tidak tentu yang menimbulkan kerugian
bagi
tertanggung,
maka
kendaraan
beroda
dua
yang
dipertanggungkan akan diperiksa atau dinilai kerusakannya di bengkel yang biasanya telah ditunjuk sebagai bengkel rekanan penanggung. Berdasarkan hasil pemeriksaan dari bengkel itulah dapat diketahui apakah kerugian yang diderita tertanggung melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari harga sebenarnya kendaraan tersebut. Jika tertanggung mengalami kerugian total, barulah tertanggung akan mendapat ganti rugi. Besarnya ganti kerugian maksimum adalah sebesar harga pertanggungan. Oleh karena yang dijamin adalah hanya kerugian total, tidak termasuk kerugian sebagian, maka seumpama kendaraan bermotor tertanggung setelah melakukan perbaikan di bengkel dan kerusakannya tidak melebihi dari 75% dari harga sebenarnya, maka tertanggung tidak akan mendapat ganti kerugian. Pemberian ganti kerugian dengan syarat “total loss only” ini sesungguhnya bertentangan dengan prinsip pemberian ganti kerugian pada pertanggungan
dengan
nilai
penuh
atau
“volledig
verzekering”.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa, pada pertanggungan dengan
112
nilai penuh, semua risiko atas obyek pertanggungan telah dialihkan pada penanggung dan oleh karena itu pemberian ganti kerugian sesuai dengan kerugian yang senyatanya diderita oleh tertanggung, meskipun kerugian tersebut hanya kerugian sebagian. 4. Premi Pada Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA) terdapat beberapa ketentuan premi yang disesuaikan dengan harga kendaraan. Terdapat dua jenis premi dalam asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe” yaitu premi umum dan premi khusus. Premi umum adalah premi dikenakan terhadap calon tertanggung yang untuk pertama kalinya mengadakan perjanjian pertanggungan dengan PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda Cabang Purwokerto. Sementara itu, premi khusus adalah premi yang dikenakan terhadap calon tertanggung yang telah pernah mengadakan perjanjian pertanggungan dengan PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda Cabang
Purwokerto
sebelumnya,
biasanya
tertanggung
tersebut
mengadakan pertanggungan untuk kedua kalinya atau dengan kata lain perjanjian pertanggungannya diperpanjang. Penentuan premi baik premi umum maupun premi khusus tersebut telah disesuaikan dengan harga kendaraan. Harga kendaraan yang dapat dipertanggungan pada asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe” di PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto adalah mulai dari harga kendaraan sebesar Rp 5.000.000,00 hingga Rp 40.000.000,00. Harga kendaraan tersebut adalah untuk kendaraan yang biasa digunakan
113
untuk keperluan pribadi bukan kendaraan bermotor roda dua seperti motor gede atau “harley davidson” ataupun sepeda khusus balap. Berdasarkan tabel 2 tentang premi asuransi Motorkoe, maka dapat disimpulkan bahwa pihak penanggung telah merumuskan harga kendaraan dan besarnya premi yang wajib dibayar. Dengan demikian, pada asuransi kendaraan bermotor Motorkoe, pihak penanggung telah melakukan penawaran perjanjian pertanggungan terutama dari segi besarnya premi yang wajib dibayar. Oleh karena pihak penanggung telah merumuskan penawaran maka tertanggung tidak dapat memberikan penawaran lain lagi untuk
menutup
perjanjian
pertanggungan. Maksudnya adalah jika
tertanggung memang sudah setuju dengan penawaran yang ditawarkan oleh penanggung, maka perjanjian pertanggungan akan dilakukan. Tetapi, jika tertanggung memang tidak setuju dengan penawaran yang ditawarkan oleh penanggung maka tertanggung tersebut tidak perlu mengadakan perjanjian pertanggungan. Perhitungan harga kendaraan yang dipertanggungkan adalah sama seperti perhitungan yang telah dikemukakan sebelumnya. Sebagai contoh, kendaraan yang akan dipertanggungkan dibuat pada tahun 2010 sementara perjanjian pertanggungan diadakan pada tahun 2011, maka nilai kendaraan tersebut telah terjadi penyusutan. Harga pasar kendaraan tersebut pada saat akan dipertanggungkan adalah sebesar Rp 15.000.000,00. Maka dengan kisaran penyusutan sebesar 10% pertahun, dapat kita hitung nilai atau harga kendaraan tersebut yaitu 10% x Rp 15.000.000,00 = Rp 1.500.000,00.
114
Dengan
demikian,
nilai
atau
harga
kendaraan
pada
saat
akan
dipertanggungkan adalah Rp 13.500.000,00 dengan perhitungan harga pasar kendaraan sebesar Rp 15.000.000,00 dikurangi nilai penyusutan sebesar Rp 1.500.000,00. Setelah diperoleh harga kendaraan dengan pembulatan ke atas, maka dapat kita sesuaikan jumlah premi yang harus dibayar oleh tertanggung. Berdasarkan tabel harga kendaraan dan jumlah premi yang harus dibayar sebagaimana tercantum dalam SPPA, yang juga dapat dilihat pada data 6.8 tentang premi, maka harga kendaraan sebesar Rp 13.500.000,00 dengan pembulatan ke atas menjadi Rp 14.000.000,00 dan premi yang harus dibayar adalah untuk premi umum sebesar Rp 440.000,00 dan untuk premi khusus sebesar Rp 398.000,00. Salah satu hal yang perlu diingat adalah bahwa harga kendaraan tersebut adalah sama dengan nilai pertanggungan yang tercantum di dalam polis. 5. Manfaat atau Jaminan Plus Asuransi Kendaraan Bermotor Motorkoe Penawaran harga kendaraan dan jumlah premi yang harus dibayar yang dibuat oleh penanggung, dan oleh karenanya tidak ada perhitungan premi yang dilakukan secara bersama-sama dengan tertanggung karena tertanggung tinggal menerima atau tidak atas penawaran penanggung tersebut, membuat penanggung menawarkan kelebihan jaminan lain yang sudah termasuk dalam premi yang harus dibayar oleh tertanggung. Kelebihan jaminan tersebut yaitu sebagaimana yang tercantum pada data tabel 1 yaitu jaminan terhadap tanggung jawab hukum pihak ketiga,
115
santunan meninggal dunia bagi pengendara dan penumpang,santunan biaya pengobatan bagi pengemudi dan penumpang serta santunan pengurusan dokumen atau surat untuk kehilangan kendaraan. Jaminan plus ini adalah jaminan yang akan didapat tertanggung diluar ganti rugi karena kerugian total atau “total loss only”. Artinya, seumpama tertanggung menderita kecelakaan yang menimbulkan kerugian total dan memerlukan biaya pengobatan, maka tertanggung akan mendapat ganti kerugian dari kerugian total atau “total loss” yang memang dijamin secara tegas di dalam polis juga tertanggung akan mendapat santunan biaya pengobatan yang merupakan jaminan plus. Jaminan plus ini sudah termasuk dalam perhitungan premi yang harus dibayar tertanggung, artinya dengan membayar premi sesuai dengan kategori harga kendaraan, tertanggung juga mendapat jaminan lebih tidak hanya terhadap kerugian total atau “total loss” saja. Sistem penawaran yang seperti ini, menurut PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto lebih menguntungkan tertanggung, karena jika menggunakan perhitungan premi seperti biasa jaminan yang ditanggung hanyalah terhadap kerugian total atau “total loss” saja. Jika tertanggung ingin mendapat jaminan lebih, maka tertanggung diharuskan membayar tambahan premi yang biasanya sebesar 3% (tiga persen).
116
BAB V PENUTUP
A. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan pada asuransi kendaraan bermotor Motorkoe di PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwoketo memberi jaminan kerugian total atau “total loss only” dan manfaat atau jaminan plus yaitu jaminan terhadap tanggung jawab hukum pihak ketiga, santunan meninggal dunia bagi pengendara dan penumpang, santunan biaya pengobatan bagi pengemudi dan penumpang serta santunan pengurusan dokumen. Berdasarkan jumlah yang dipertanggungkan dan nilai benda pertanggungan, maka dapat disimpulkan bahwa asuransi paket Motorkoe menerapkan pertanggungan nilai penuh (“volledig verzekering” atau “full insurance”) dengan penggantian kerugian berupa kerugian total atau “total loss only”. Manfaat atau jaminan yang ditanggung pada asuransi kendaraan bermotor Motorkoe adalah kerugian total (“total loss only”) sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia. Oleh karena jaminan yang ditanggung hanya kerugian total, maka pihak penanggung hanya akan mengganti kerugian apabila terjadi kerugian dan atau kerusakan pada obyek pertanggungan sama dengan atau lebih tinggi dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari harga sebenarnya atau hilang karena
117
pencurian. Artinya, penanggung tidak memberikan penggantian kerugian sesuai dengan kerugian yang diderita oleh tertanggung seandainya kerugian yang sesungguhnya dialami tertanggung adalah berupa kerugian sebagian. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan prinsip pemberian ganti rugi pada pertanggungan nilai penuh (“volledig verzekering” atau “full insurance”) yaitu seharusnya tertanggung menerima ganti rugi sesuai dengan kerugian yang diderita karena seluruh risiko obyek pertanggungan telah dialihkan pada penanggung. B. SARAN PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto sebagai perusahaan asuransi, selaku penanggung hendaknya memberikan ganti kerugian kepada tertanggung sesuai dengan kerugian yang senyatanya diderita oleh tertanggung meskipun kerugian itu berupa kerugian sebagian karena tertanggung
telah
mempertanggungkan
pertanggungan dengan nilai penuh.
benda
yang
menjadi
objek