BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang yang meninggal dunia, maka yang menjadi masalah adalah tentang harta peninggalan yang ditinggalkannya. Pada umumnya dalam pembagian harta peninggalan itu dapat diselesaikan secara musyawarah, namun apabila timbul sengketa antara ahli waris yang satu dengan ahli waris lainnya, maka pembagian harta peninggalan itu baru dapat diselesaikan melalui pengadilan. Menurut Wirjono Prodjodikoro : Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka dengan sendirinya timbul pertanyaan, apakah yang akan terjadi dengan perhubungan-perhubungan hukum yang mungkin sekali sangat erat sifatnya pada waktu si manusia itu masih hidup. Tidak cukup dikatakan, bahwa perhubungan-perhubungan hukum itu juga lenyap seketika itu, oleh karena biasanya pihak yang ditinggalkan oleh pihak yang meninggal itu, tidak merupakan seorang manusia saja atau sebuah barang saja, dan juga oleh karena hidupnya seorang manusia yang meninggal dunia itu, berpengaruh langsung pada kepentingan-kepentingan beraneka warna dari berbagai orang lain dari masyarakat, dan kepentingan-kepentingan ini, selama hidup orang itu, membutuhkan pemeliharaan dan penyelesaian oleh orang itu, kalau tidak dikehendaki kegoncangan dalam masyarakat. Maka dari itu, di tiaptiap masyarakat dibutuhkan suatu peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara kepentingan-kepentingan dalam masyarakat sendiri selamat, selaku tujuan dari segala hukum1.
1
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Cet. II, Sumur Bandung, Bandung, 1983, hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain2. Menurut A. Pitlo : “Hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana, berhubungan dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur yaitu : akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga.”3 Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan4 yang berwujud : perpindahan kekayaan si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak ketiga5. Di Indonesia terdapat aneka Hukum Waris yang berlaku bagi warga Negara Indonesia, dalam pengertian bahwa di bidang Hukum Waris dikenal adanya tiga macam Hukum Waris, yaitu6 : 1. Hukum Waris Barat
2
“bij versterf zouden hebben geerfd” oleh Soebekti, diterjemahkan : “dalam pewarisan sedianya harus diperoleh”. 3 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 7. 4 E.M. Meyers, hal. 1; H.F.A. Vollmar, hal 284; Jac Kalma, Privaatrecht, handeling by the studie van het Nederlands Privaatrecht”, cetakan ketiga, hal. 79. 5 J. Satrio, Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992, hal. 8. 6 Surini Ahlan Sjarif., Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (Kitab UndangUndang Hukum Perdata), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
Tertuang di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata 2. Hukum Waris Islam Merupakan ketentuan Alquran dan Hadits Penggunaan hukum Waris Islam tergantung pada keimanan seseorang, dengan demikian maka keyakinan akan ke-Imanan merupakan faktor utama. 3. Hukum Waris Adat Beraneka, tergantung di lingkungan mana masalah warisan itu terbuka. Sebagaimana diketahui di Indonesia faktor etnis mempengaruhi berlakunya aneka
hukum adat yang tentunya dalam masalah warisan pun mempunyai
corak sendiri-sendiri. Mengenai hukum waris di Indonesia, Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa: Di dalam Pasal 26 (1) UUD 1945 dikatakan, „Yang menjadi warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Orang-orang bangsa Indonesia asli yang dimaksud ialah yang di zaman Hindia Belanda disebut golongan penduduk „pribumi‟ (Inlanders) dan orang-orang bangsa lain yang dimaksud ialah yang disebut golongan penduduk keturunan Eropa (Europeanen) dan keturunan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen)7. Di dalam Pasal 29 (1-2) UUD 1945 dikatakan, „Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa‟, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kaidah hukum yang konstitusional ini berarti pula bahwa setiap keluarga Indonesia terjamin kemerdekaannya untuk melaksanakan hukum waris menurut ajaran agamanya masing-masing, apakah berdasarkan hukum waris Hindu/Budha, Kristen/Katolik dan Islam8. 7
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut : Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. II, 1996, hal. 1. 8 Ibid, hal. 1-2.
Universitas Sumatera Utara
Pada kenyataannya sampai saat ini bagi warga Negara Indonesia keturunan ;Eropa dan Timur Asing (Cina) masih tetap berlaku hukum waris barat yang diatur dalam KUH Perdata/BW buku II Bab. XII s/d Bab XVIII. Sedangkan bagi warga Negara Indonesia asli masih tetap berlaku hukum waris adat yang diatur menurut susunan masyarakat adat, yang bersifat patrilinial, matrilineal dan parental/bilateral. Di samping itu bagi keluarga-keluarga Indonesia yang menaati hukum agamanya melaksanakan pewarisan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing9. Pada masa penjajahan Belanda dulu, warga Negara dibagi atas beberapa golongan, dan masing-masing golongan mempunyai aturan hukumnya sendiri. Hukum waris yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau yang disingkat hukum waris BW tidak berlaku untuk semua golongan penduduk. Hukum waris BW tersebut hanya berlaku untuk10 : a. Golongan orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan golongan orang-orang tersebut; b. Golongan orang-orang Timur Asing Tionghoa; dan c. Golongan orang-orang Timur Asing lainnya dan orang-orang Pribumi yang menundukkan diri. Hukum yang mengatur tentang harta peninggalan akibat dari meninggalnya seseorang masih bersifat pluralistis. Juga di dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur soal warisan yang merupakan salah satu akibat daripada perkawinan.
9
Ibid, hal. 2. Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-pasal Hukum Perdata BW, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet. III, 2003, hal. 3. 10
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hukum waris yang berlaku sekarang di Indonesia adalah : 1. Untuk golongan Eropa dan Timur Asing Tionghoa berlaku hukum waris yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, 2. Untuk golongan Timur Asing Non Tionghoa berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata sepanjang mengenai pewarisan testamentair (wasiat). Akan tetapi sepanjang mengenai pewarisan ab intestato, berlaku hukum adatnya masing-masing, 3. Untuk golongan Bumi Putera berlaku hukum adatnya masing-masing, 4. Untuk golongan penduduk yang beragama Islam berlaku hukum waris Islam, sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam, yang berlaku bagi orangorang yang beragama Islam. Hukum kewarisan memegang peranan yang sangat penting, hal ini diungkapkan Mohd. Idris Ramulyo, dalam bukunya yang berjudul Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek), dikatakan :
Bahwa dari seluruh Hukum yang ada dan berlaku dewasa ini, di samping hukum perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari Hukum Kekeluargaan, memegang peranan yang sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan system kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat itu, seperti diungkapkan Hazairin : dari seluruh hukum maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan system kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini disebabkan, hukum kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Bahwa setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa yang sangat penting dalam hidupnya, yang merupakan peristiwa hukum dan lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang yang akibatnya keluarga dekatnya kehilangan seseorang yang mungkin sangat dicintainya sekaligus menimbulkan pula akibat hukum, yaitu tentang bagaimana caranya kelanjutan pengurusan hak-
Universitas Sumatera Utara
hak kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia itu. Penyelesaian dan pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh Hukum Kewarisan. Jadi Hukum Kewarisan itu dapat dikatakan sebagai “himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya”.11 Menurut Hilman Hadikusuma : Di dalam KUH Perdata (BW) tidak ada pasal tertentu yang memberikan pengertian tentang hukum waris. Kita hanya dapat memahami sebagaimana dikatakan dalam pasal 830 KUH Perdata bahwa „Pewarisan hanya berlangsung karena kematian‟. Dengan demikian pengertian hukum waris barat menurut KUH Perdata, ialah tanpa adanya orang yang mati dan meninggalkan harta kekayaan maka tidak ada masalah pewarisan12. Supaya terdapat pewarisan harus dipenuhi beberapa syarat yakni13 : 1. Harus ada orang yang meninggal dunia untuk menjadi pewaris. Pengertian meninggal dunia, pertama-tama tentulah apa yang dinamakan kematian alami (natuurlijke dood). 2. Harus ada orang yang mewaris (ahli waris) Ahli waris itu harus sudah ada pada saat kematian pewaris (pasal 836) dengan mengindahkan ketentuan pasal 2 bahwa anak yang masih dalam kandunganpun dianggap sudah lahir. Anak yang masih dalam kandungan sudah berhak mewaris asal saja tidak ternyata di kemudian hari bahwa anak itu lahir dalam keadaan mati.
11
Mohd. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek), Sinar Grafika, Jakarta, 1996. 12 Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hal. 5. 13 M.U. Sembiring, Beberapa Bab Penting Dalam Hukum Waris Menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Program Pendidikan Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1989, hal. 32-33.
Universitas Sumatera Utara
Dalam rangka syarat-syarat pewarisan ini perlu diperhatikan pasal 831 yang menentukan bahwa jika beberapa orang di mana yang seorang adalah (calon) ahli waris dari yang lainnya, meninggal dunia karena kecelakaan yang sama atau pada hari yang sama tanpa dapat diketahui siapakah di antara mereka yang terlebih dahulu meninggal dunia, maka mereka dianggap meninggal dunia pada saat yang sama dan karena itu tidak terjadi pewarisan dari yang seseorang kepada yang lainnya itu. 3. Orang yang seharusnya mewaris itu bukanlah orang yang tidak pantas untuk mewaris (onwaardig om te erven). Dalam hukum waris dikenal dua jenis ahli waris yaitu14 : I.
Ahli waris menurut undang-undang, disebut juga ahli waris tanpa wasiat atau ahli waris ab intestato. Yang termasuk dalam golongan ini ialah : 1. Suami atau isteri (duda/janda) dari si pewaris (si mati). 2. Keluarga-sedarah yang sah (wettige bloedverwanten) dari si pewaris. 3. Keluarga-sedarah alami (natuurlijke bloedverwanten) dari si pewaris.
II. Ahli waris menurut surat wasiat (ahli waris testamentair) Yang termasuk dalam golongan ini adalah semua orang yang oleh pewaris diangkat dengan surat wasiat untuk menjadi ahli warisnya.
14
Ibid, hal. 1-2.
Universitas Sumatera Utara
Yang diangkat menjadi ahli waris testamentair boleh saja keluarga sedarah, keluarga semenda, sahabat karib bahkan badan hukumpun boleh diangkat menjadi ahli waris. Keluarga semenda (aanverwanten) dari si pewaris tidak mewaris berdasarkan undang-undang.
Mereka
hanya
berhak
mewaris
jika
pewaris
menunjuk/mengangkatnya sebagai ahli waris dengan surat wasiat15. Pasal 1121 KUH Perdata berbunyi : “Para keluarga sedarah dalam garis ke atas diperbolehkan, dalam suatu wasiat atau dalam suatu akta notaris, membuat suatu pembagian dan pemisahan harta-benda mereka di antara para keturunannya atau di antara mereka ini dan suami atau isteri mereka yang hidup terlama.” Pasal 1122 KUH Perdata berbunyi : “Jika tidak semua benda yang ditinggalkan oleh keluarga sedarah dalam garis ke atas di kala meninggalnya, termasuk di dalam pembagian tersebut, maka benda-benda yang tidak telah terbagi itu harus dibagi menurut undang-undang.” Pasal 119 KUH Perdata berbunyi : (1) Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami-istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. (2) Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami-istri. Pasal 124 KUH Perdata berbunyi : 15
Ibid, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
(1)
Hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu.
(2) Ia boleh menjualnya, memindah tangankannya dan membebaninya tanpa bantuan istrinya, kecuali dalam hal yang diatur dalam pasal 140 (3) Ia tidak boleh memberikan harta bersama sebagai hibah antara mereka yang sama-sama masih hidup, baik barang tak bergerak maupun keseluruhannya atau suatu bagian atau jumlah tertentu dari barang bergerak, apabila bukan kepada anak yang lahir dari perkawinan mereka, untuk memberi suatu kedudukan. (4) Bahkan ia tidak boleh menetapkan ketentuan dengan cara hibah mengenai suatu barang yang khusus, apabila ia memperuntukkan untuk dirinya hak pakai hasil dari barang itu. UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan mengatur tentang harta bersama yaitu pada Pasal 35 sampai Pasal 37, yaitu : Pasal 35 berbunyi : (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 berbunyi : (1) Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Universitas Sumatera Utara
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 berbunyi : “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun pada tanggal 5 Nopember 1998 telah menerima dan mendaftarkan kasus pembagian harta bersama milik orang tua yang dilakukan anak di kala kedua orang tua masih hidup. Pada Tahap PN Kab. Madiun (Putusan PN Madiun No. 24/Pdt.Plw/1998/PN Kb.Mn) : Pihak-pihaknya adalah : 1. Ny. Tan Jong Nio sebagai Pelawan I 2. Hadianto Utomo sebagai Pelawan II Melawan : 1. Jap Hong Tjiang sebagai Terlawan I 2. Hadi Soetjipto sebagai Terlawan II 3. Susan Cahya Dewi (anak luar kawin Jap Hong Tjiang dengan U I Hwa), umur 14 tahun, dalam hal ini diwakili oleh Ny. Tan Jong Nio (berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Kodya Madiun No.42/Pdt.P/1993/PN Kd.Mn. tanggal 22 September 1993) Tuan U Lee Moy
menikah dengan Ny. Tan Jong Nio (Pelawan I), di
Surakarta pada tanggal 5 Maret 1952 dengan akta perkawinan No. 72/1952. Dari perkawinan tersebut dilahirkan 3 orang anak, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Hadi Soetjipto dahulu bernama U Ek Tjoo (Terlawan II), lahir pada tanggal 3 Juni 1955. 2. Hadianto Utomo dahulu bernama U I Hoo (Pelawan II), lahir pada tanggal 10 Desember 1956. 3. Maria Ifi Hwariana Utomo dahulu bernama U I Hwa, sudah meninggal dunia lebih dahulu pada tanggal 27 Februari 1988. Dengan Akta Kematian No. 7/WNI/1988 tertanggal 18 Agustus 1993. Dari perkawinan Tn. U Lee Moy dan Ny. Tan Jong Nio, telah diperoleh harta bersama yang berupa tanah dan bangunan Toko Agung yang terletak di Desa Pandean, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun dengan sertifikat Hak Milik No. 89/Desa Pandean, luas 233 m2. Semasa hidupnya U Lee Moy membeli tanah dan bangunan toko tersebut dengan akta jual beli diatasnamakan anaknya, yaitu Hadi Soetjipto (Terlawan II), karena Hadi Soetjipto adalah WNI dan merupakan anak tertua, sedangkan U Lee Moy masih berstatus WNA. Pada tanggal 29 Juni 1991, Tn. U Lee Moy telah meninggal dunia di rumahnya di Madiun, sesuai Akta Kematian tertanggal 8 Juli 1991 No. 14/WNI/1991. Dengan meninggalnya Tn. U Lee Moy, maka yang menjadi ahli waris sesuai surat keterangan waris yang dibuat oleh Notaris Abdullah Rosid, tanggal 16 Oktober 1998, No.335/X/1998 adalah : 1. Ny. Tan Jong Nio (isteri/Pelawan I) 2. Hadi Soetjipto dahulu U Ek Tjoo (anak/Terlawan II)
Universitas Sumatera Utara
3. Hadianto Utomo dahulu U I Hoo (anak/Pelawan II) Pada tahun 1986, tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari orang yang paling berhak (yaitu Tn. U Lee Moy dan Ny. Tan Jong Nio), Hadi Soetjipto (Terlawan II) secara diam-diam telah melakukan pembagian bersama dengan U I Hwa tanah dan bangunan toko tersebut dengan akta perjanjian No. 6 tanggal 16 November 1986 di hadapan Notaris Liliana Handoyo, padahal dalam perjanjian tersebut secara tegas disebutkan bahwa tanah dan bangunan toko tersebut adalah berasal dari orang tuanya, yaitu Tn. U Lee Moy (ayah) dan Ny. Tan Jong Nio (ibu). Semasa hidupnya Maria Ifi Hwariana Utomo (U I Hwa) telah mempunyai anak luar kawin dengan Jap Hong Tjiang (Terlawan I), yaitu Susan Cahya Dewi. U I Hwa semasa hidupnya telah membuat surat wasiat di hadapan Notaris Liliana Handoyo, No. 45 tanggal 17 Januari 1987, yang isinya mengangkat Jap Hong Tjiang (Terlawan I) dan Susan Cahya Dewi (anak luar kawinnya/Turut Terlawan) sebagai ahli warisnya, dan berhak atas setengah dari tanah dan bangunan toko yang merupakan harta bersamanya dengan Hadi Soetjipto, sesuai akta perjanjian No. 6 tanggal 16 November 1986 yang dibuat di hadapan Notaris Liliana Handoyo tersebut. Menurut J. Satrio : “Pemberian melalui testamen kepada orang tertentu atas barang-barang tertentu disebut legaat dan si penerima legaat disebut legataris.”16 Berdasarkan definisi tersebut, maka Wasiat yang dibuat U I Hwa adalah legaat, karena testamen yang dibuatnya adalah untuk memberikan barang tertentu 16
J. Satrio, Op. Cit., hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
(tanah yang menjadi bagiannya) kepada orang tertentu (Susan Cahya Dewi dan Jap Hong Tjiang). Susan Cahya Dewi dan Jap Hong Tjiang adalah legataris. Maka setelah U I Hwa meninggal, Jap Hong Tjiang memohon sita jaminan atas tanah dan bangunan toko tersebut kepada Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun dan telah dikabulkan dan diputus oleh PN Kab, Madiun No. 14/Pdt.G/1993/PN K.Mn dan
dikuatkan
dengan
Keputusan
Pengadilan
Tinggi
Jawa
Timur
No.
59/PDT/1994/PT. SBY tanggal 20 Maret 1995. Ny. Tan Jong Nio dan Hadianto Utomo, (Para Pelawan) merasa putusan PN dan PT tersebut sangat merugikan mereka, karena tanah dan bangunan tersebut sebagian besar juga merupakan hak mereka. Oleh sebab itu mereka memohon agar sita jaminan tersebut diangkat. Putusan PN ini adalah: 1. Mengabulkan perlawanan para pelawan 2. Menyatakan perbuatan Hadi Soetjipto (Terlawan II) yang melakukan pembagian adalah perbuatan melawan hukum 3. Menyatakan ahli waris yang berhak adalah Ny. Tan Jong Nio, Hadi Soetjipto dan Hadianto Utomo, sesuai surat keterangan waris yang dibuat oleh Notaris Abdullah Rosid. 4. Menyatakan sita jaminan yang diputuskan PN Kab, Madiun No. 14/Pdt.G/1993/PN K.Mn dan dikuatkan dengan Keputusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur No. 59/PDT/1994/PT. SBY tanggal 20 Maret 1995 tersebut tidak berharga dan tidak sah.
Universitas Sumatera Utara
5. Menyatakan mengangkat sita jaminan atas tanah dan bangunan tersebut. 6. Menyatakan akta perjanjian dan akta wasiat tersebut batal demi hukum pula dengan segala akibat hukumnya. Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 3 Agustus 1999 No. 367/Pdt/1999 Jap Hong Tjiang melawan : 1. Tan Jong Nio 2. Hadianto Utomo 3. Hadi Soetjipto 4. Susan Cahya Dewi ( diwakili oleh Ny. Tan Jong Nio ) Putusan PT ini Menguatkan Putusan PN Madiun tersebut. Putusan MA tanggal 27 Oktober 2004, No. 1187 K/Pdt/2000 : Jap Hong Tjiang (Pemohon Kasasi) melawan : 1. Tan Jong Nio 2. Hadianto Utomo 3. Hadi Soetjipto 4. Susan Cahya Dewi ( diwakili oleh Ny. Tan Jong Nio ) Alasan yang diajukan Pemohon Kasasi : 1. Bahwa subjek hukum yang digugat belum lengkap, karena para pelawan tidak menggugat Notaris, karena yang dibatalkan adalah surat otentik, seharusnya Notaris harus jadi pihak dalam perkara ini sebagai terlawan. Oleh sebab itu perlawanan yang diajukan para pelawan tak dapat diterima (Putusan MA tgl 27 Maret 1975 No. 216 K/Sip/1974).
Universitas Sumatera Utara
2. Bahwa PN Kab Madiun tidak memperhatikan hal yang bertentangan dengan hukum acara perdata, karena Ny. Tan Jong Nio, dalam posisinya sebagai Pelawan I dalam perkara ini juga bertindak mewakili kepentingan Susan (Turut Terlawan). 3. Bahwa tanah dan bangunan toko tersebut adalah atas nama Hadi Soetjipto, maka Hadi Soetjipto berhak membagi kepada siapa saja. Putusannya adalah : Menolak Kasasi dari Jap Hong Tjiang. Peneliti merasa tertarik untuk meneliti kasus ini karena di masyarakat terdapat orang tua-orang tua membeli tanah atau rumah atas nama anaknya, terutama atas nama anak laki-laki tertua, karena dianggap sebagai penerus keluarga. Kalau antara anggota keluarga tidak keberatan maka tidak akan masalah, karena dianggap tanah dan rumah tersebut nantinya juga akan diwariskan kepada anaknya tersebut. Kalau orang tua tersebut mempunyai beberapa anak dan masing-masing anak telah mendapat bagian maka tidak begitu bermasalah. Tetapi bagaimana jika ternyata harta orang tua ternyata hanya sebidang tanah atau sebuah rumah dan diatasnamakan pada seorang anak saja, dan anak tersebut merasa sudah menjadi miliknya sehingga dapat bertindak sesuka hatinya atas harta orang tuanya tesebut, maka hal tersebut tentunya akan merugikan anak-anaknya yang lain dan akan timbul permasalahan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam tesis ini adalah :
Universitas Sumatera Utara
1. Mengapa hanya seorang anak saja yang diberikan hak milik atas harta bersama berupa tanah dan bangunan Toko “Agung”? 2. Bagaimana akibat hukum pembagian harta bersama milik orang tua yang dilakukan anak di kala kedua orang tua masih hidup ? 3. Bagaimana kedudukan anak luar kawin terhadap pewarisan dalam kasus Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Oktober 2004 No. 1187 K/PDT/2000 antara Ny. Tan Jong Nio dan Hadianto Utomo melawan Jap Hong Tjiang, Hadi Soetjipto dan Susan Cahya Dewi ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui mengapa hanya seorang anak saja yang diberikan hak milik atas harta bersama berupa tanah dan bangunan Toko “Agung”. 2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum pembagian harta bersama milik orang tua yang dilakukan anak di kala kedua orang tua masih hidup. 3. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan anak luar kawin terhadap pewarisan dalam kasus Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Oktober 2004 No. 1187 K/PDT/2000 antara Ny. Tan Jong Nio dan Hadianto Utomo melawan Jap Hong Tjiang, Hadi Soetjipto dan Susan Cahya Dewi. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu : 1. Secara teoritis
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum perdata yang berkaitan dengan hukum waris. 2. Secara praktis Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan berbagai permasalahan yang timbul dalam hukum waris, khususnya mengenai pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris di kala pewaris masih hidup. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi serta penelusuran yang dilakukan di kepustakaan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul Analisis Yuridis Pembagian Harta Bersama Milik Orang Tua Yang Dilakukan Anak di Kala Kedua Orang Tua Masih Hidup
(Putusan MA tanggal 27 Oktober 2004, No. 1187
K/Pdt/2000) belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya, sehingga dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan. Judul-judul tesis yang berkaitan dengan masalah pewarisan KUH Perdata juga pernah ditulis sebelumnya, antara lain : 1. Denilah Shofa Nasution, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Nomor induk Mahasiswa 017011010, dengan judul tesis “Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Yang Diakui Atas Harta Peninggalan Orang Tuanya (Kajian Pada Etnis Tionghoa di Kota Tebing Tinggi), dengan permasalahan yang dibahas : a. Bagaimana kedudukan hukum antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang perkawinannya dilakukan secara adat Tionghoa ?
Universitas Sumatera Utara
b. Bagaimanakah kedudukan anak luar kawin yang diakui dalam hukum keluarga ? c. Bagaimana hak waris anak luar kawin yang diakui atas harta peninggalan orang tuanya ? Kesimpulan yang diperoleh adalah : a. Bahwa kedudukan hukum antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang perkawinannya dilakukan secara adat Tionghoa tidak dapat dijadikan acuan untuk menentukan status perkawinan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa tersebut. Akan tetapi sebuah perkawinan terutama perkawinan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa harus dilihat dari perspektif hukum yang berlaku, apabila perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan secara adat Tionghoa telah diakukan pencatatan maka perkawinan tersebut membawa akibat-akibat hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi apabila sebuah perkawinan yang dilakukan oleh seorang lakilaki dan seorang perempuan yang dilakukan secara adat Tionghoa tidak dilakukan pencatatan maka secara yuridis normatif perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada yang membawa konsekwensi antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tersebut tidak menimbulkan akibatakibat hukum sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang No.1 Tahun 1974.
Universitas Sumatera Utara
b. Bahwa kedudukan anak luar kawin yang diakui dalam hukum keluarga berbeda dengan seorang anak sah. Anak sah yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah adalah selalu di bawah kekuasaan orang tuanya dan telah manjadi ahli waris secara otomatis dari orang tuanya. Sedangkan anak luar kawin yang diakui hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sedangkan terhadap Bapaknya timbul hubungan keperdataan setelah dilakukan pengakuan anak dengan akta authentic dan selalu berada di bawah perwalian ibunya. c. Bahwa hak waris anak luar kawin yang diakui atas harta peninggalan orang tuanya dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, hak anak luar kawin atas harta peninggalan ibunya adalah sama dengan kedudukan anak sah. Kedua, hak anak luar kawin atas harta peninggalan orang tua yang mengakuinya adalah apabila orang tua yang meninggal (pewaris) tidak meninggalkan ahli waris yang sah, maka sekalian anak luar kawin mendapat seluruh warisan. Apabila orang tua yang meninggal (pewaris) ada meninggalkan ahli waris yang sah selain dari pada anak luar kawin yang diakui maka dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 863 KUH Perdata, portie anak luar kawin yang diakui adalah sebagai berikut : -
Jika mewaris bersama ahli waris golongan I, maka bahagian anak luar kawin yang diakui adalah 1/3 (sepertiga)
Universitas Sumatera Utara
-
Jika mewaris bersama ahli waris golongan II, maka bagian anak luar kawin yang diakui adalah ½ (seperdua)
-
Jika mewaris bersama ahli waris golongan III, maka bahagian anak luar kawin yang diakui adalah ½ (seperdua)
-
Jika mewaris bersama ahli waris golongan IV, maka bahagian anak luar kawin yang diakui adalah ¾ (tiga perempat)
Dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa pembagian warisan anak luar kawin yang diakui cenderung dilakukan secara kekeluargaan dengan memperhatikan kondisi atau tingkat ekonomi masing-masing ahli waris. Di sisi yang lain anak luar kawin lebih menginginkan pembagian warisan di depan notaris atau melalui penetapan pengadilan untuk lebih mendapatkan jaminan dan kepastian hukum. 2. Subur Nauli, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Nomor Induk Mahasisa 017011058, dengan judul tesis “Hak Waris Anak Dalam Kandungan dan Kaitannya Dengan Profesi Notaris (Suatu Tinjauan Menurut Burgerlijk Wetboek)”, dengan permasalahan yang dibahas : a. Apa yang menjadi ukuran atau kapankah janin yang ada dalam kandungan seorang wanita (buah kandungan) memperoleh status sebagai ADK? b. Bagaimana persyaratan yang harus dipenuhi agar ADK menjadi pendukung hak dan kewajiban (subjek hukum) ? c. Bagaimana menentukan bagian dan realisasi hak waris ADK ?
Universitas Sumatera Utara
d. Bagaimana pembuatan akta Notaris yang berkaitan dengan hak waris ADK ? Kesimpulan yang diperoleh adalah : 1. Keberadaan ADK mempunyai status hukum yang jelas setelah dipenuhi syarat-syarat materil dan formil. Syarat materil berupa bukti hamilnya janda, syarat formil berupa pemberian keterangan atau pengakuan janda mengenai kehamilannya pada Balai Harta Peninggalan setempat dalam tempo selambat-lambatnya 300 hari setelah kematian suami. 2. Sebagai subjek hukum, ADK harus memenuhi persyaratan : a. Telah dikandung, b. dilahirkan hidup, c. ada kepentingannya. Meskipun ADK diakui sebagai subjek hukum, namun BW tidak mengatur dengan jelas dan tegas beberapa aspek hukum yang berkaitan, seperti antara lain : mutu (penuh tidaknya) subjek hukum ADK, ruang lingkup berlakunya Pasal 2 BW, cara menentukan bagian dan realisasi hak waris ADK. Keadaan kehampaan hukum ini menimbulkan berbagai pendapat yang tidak jarang saling bertolak belakang dalam berbagai aspek tentang ADK. Doktrin menunjukkan adanya perbedaan pendapat tentang berlakunya Pasal 2 BW yaitu sebagian menyatakan terbatas, sedangkan sebagian menyatakan umum. 3. Secara yuridis formil tidak ada hambatan untuk menentukan bagian dan realisasi hak waris ADK. Meskipun dalam pengalaman para responden, termasuk
informan,
belum
pernah
melayani
urusan
ADK
dan
Universitas Sumatera Utara
penerapannya secara praktis lebih sulit dari pada pembahasannya secara teoritis, sebagian responden bersedia melayani urusan ADK sesuai ketentuan hukum positif dengan berbagai variasinya. Dengan demikian selama ADK belum lahir, meski belum dapat ditentukan bagian hak warisnya dan bila perlu sampai pada pemisahan dan pembagian harta warisan. Selanjutnya realisasi hak waris ADK akan menjadi definitif setelah jelas kehadirannya, dengan kemungkinan dilakukan penyesuaian seperlunya. 4. Dengan bertitik tolak pada pokok pikiran kesimpulan angka 3 di atas, maka tidak ada hambatan pula dalam pembuatan akta yang berkaitan dengan ADK. Ketrampilan Notaris sangat berperan dalam mewujudkan hak waris ADK dan sekaligus pengamalan Pasal 7 PJN. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Dalam suatu penelitian diperlukan teori, pengertian dari teori adalah sebagai berikut : Suatu teori berusaha untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak, sesuatu yang belum jelas, sehingga menjadi konkrit. Jika penjelasan yang diuraikan itu tidak memakai metode maka sifatnya spekulatif seperti halnya dengan firasat atau suatu pengetahuan yang hanya diskriptif saja. Jadi fungsi dari teori dalam ilmu pengetahuan ialah menyimpulkan fakta-fakta yang diketahui, dari fakta-fakta itu diberikannya kerangka orientasi untuk dianalisa dan diklasiifikasikan. Dengan begitu suatu teori akan dapat memberikan ramalan tentang sesuatu yang akan terjadi atau mengisi
Universitas Sumatera Utara
kekurangan pengetahuan kita tentang apa yang sudah terjadi dan sedang terjadi17
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,18 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya19. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis20 Hukum merupakan (permintaan) integritas hakim untuk mengasumsikan, sejauh hal itu mungkin, bahwa hukum distrukturisasi oleh prinsip-prinsi keadilan dan kewajaran juga due process yang terpadu, dan meminta mereka untuk menegakkan/menyelesaikan
kasus
yang
baru
sebelumnya.
Itu
merupakan
penghormatan, ambisi, serta menjadi prinsip masyarakat21. Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUH Perdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat lapangan hukum kekayaan
17
Untuk mengetahui lebih jauh tentang metode penelitian, perhatikan buku karangan KOENTJARANINGRAT berjudul “Metode-metode penelitian masyarakat”, P.T. Gramedia, Jakarta, 1977. 18 J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.. 27, menyebutkan bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengamatan empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasa n rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. 19 Ibid, hal.16. 20 M. Solly Lubis, op. cit., hal. 80. 21 Ronald Dworkin, Law’s Empire, Harvard University Press, Cambridge, 1986, hal. 243.
Universitas Sumatera Utara
dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin, yang mengartikan : Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undangundang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu system yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk22
Cicero mengatakan bahwa ada masyarakat ada hukum, maka yang dia bicarakan sebenarnya adalah hukum hidup di tengah-tengah masyarakat (manusia). Hukum dan manusia memiliki kedekatan yang khas dan tidak dapat dipisahkan. Artinya tanpa manusia hukum tidak dapat disebut sebagai hukum23 Menurut Roscoe Pound dalam Sociological Jurisprudence sebagaimana dikutip oleh Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, mengemukakan bahwa : Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Jadi mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Hukum merupakan a tool of social engineering atau hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat. Hukum yang digunakan sebagai alat pembaharuan itu dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya. Jadi hukum merupakan pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan24.
22
hal. 55.
Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002,
23
H.R. Otje Salman S. dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 15. 24 H. Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 66-67.
Universitas Sumatera Utara
Yurisprudensi merupakan sumber hukum juga. Ini tidak berarti bahwa hakim terikat pada putusan mengenai perkara yang sejenis yang pernah diputuskan. Suatu putusan itu hanyalah mengikat para pihak (Pasal 1917 KUH Perdata)25. Sudikno Mertokusumo memberikan definisi dari keadilan, seperti yang ditulis dalam bukunya, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum : Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran"26. Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di dunia yang adil"27. Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya28 Menurut Plato, keadilan merupakan nilai kebajikan untuk semua yang diukur dari apa yang seharusnya dilakukan secara moral, bukan hanya diukur dari tindakan dan motif manusia29. Aristoteles menyatakan bahwa ukuran dari keadilan adalah bahwa30 :
25
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 38. 26 John Rawls, A Theory of Justice (revised edn, Oxford: OUP, 1999), p. 3 27 Thomas Nagel, 'The Problem of Global Justice', Philosophy and Public Affairs 33(2005): 113-47. p. 113. 28 http://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan 29 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hal. 83. 30 Aristoteles, Ethics, Terjemahan ke dalam bahasa Inggris : JAK Thomson, 1970. Harmondsworth, Middlesex, England : Penguin Books Ltd, hal. 140.
Universitas Sumatera Utara
1. Seseorang tidak melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti “lawful”, yaitu hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus diikuti; dan 2. Seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan berarti persamaan (equal) Teori keadilan kepentingan terbaik (best interest) dari pihak yang berperkara mengajarkan bahwa suatu putusan akan dianggap adil jika pengadilan telah mempertimbangkan kepentingan para pihak dengan sebaik-baiknya untuk dapat menarik putusan tersebut. Dengan cara begitu, pihak yang berperkara akan tersalurkan atau mendapatkan kepuasan (satisfiction), kesenangan (pleasure), kebutuhan (needs) dan aspirasinya31. Dalam memeriksa perkara, menerapkan, menemukan, bahkan membuat hukum jika diperlukan, pada prinsipnya hakim harus mandiri. Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh pihak-pihak lain, termasuk oleh pihak eksekutif sekalipun. Inilah yang diajarkan oleh teori kebebasan hakim32. Pada prinsipnya , teori kebebasan hakim ini menguatkan hal-hal sebagai berikut33 : 1. Hakim bebas dalam memutus perkara dan dapat menggunakan standar apapun yang dianggap layak, selama tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan sebagai hakim (abuse of power). 31
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 106. Ibid, hal. 155. 33 Ibid, hal. 155-156. 32
Universitas Sumatera Utara
2. Terutama untuk keperluan praktis, tidak begitu diperlukan diskusi yang mendalam bagi hakim untuk membenarkan putusan yang dibuatnya 3. Baik di Negara-negara yang menganut system Eropa Kontinental, maupun di Negara-negara yang menganut sistem Anglo Saxon, hakim dapat menyimpang dari putusan hakim sebelumnya 4. Putusan pengadilan yang sudah inkracht (berkekuatan pasti) bersifat final, tidak mungkin di-review oleh instansi manapun, kecuali oleh pengadilan sendiri melalui prosedur yang sangat khusus, yaitu melalui upaya peninjauan kembali 5. Hakim bebas memutuskan perkara karena pengangkatannya, terutama hakim agung yang dalam pengangkatannya melibatkan juga pihak parlemen (legislatif) dan pemerintah (eksekutif), sehingga hakim memiliki alas kewenangan yang kuat untuk bertindak mengatasnamakan kepentingan masyarakat. Perbuatan melawan hukum diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata yang isinya: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut” Yang dimaksudkan dengan melawan hukum diartikan seluas luasnya meliputi hal hal sebagai berikut34: 1. Perbuatan yang melanggar undang undang yang berlaku; 2. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum. 3. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 34
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
4. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan; 5. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain. Mengenai perbuatan melawan hukum, Munir Fuady dalam buku Perbuatan Melawan Hukum, mengatakan bahwa : Selain itu terdapat ajaran relativitas (schutnorm theorie) yang berasal dari Jerman. Teori schutnorm ini mengajarkan bahwa agar seseorang dapat dimintakan tanggung jawabnya karena melakukan perbuatan melawan hukum, maka tidak cukup hanya menunjukkan adanya hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul. Akan tetapi, perlu ditunjukkan bahwa norma atau peraturan yang dilanggar tersebut dibuat memang untuk melindungi terhadap kepentingan korban yang dilanggar. Penerapan teori ini membeda bedakan perlakuan terhadap korban dari perbuatan melawan hukum, dalam hal ini, jika seseorang melakukan suatu perbuatan dapat merupakan perbuatan melawan hukum bagi korban x, tetapi mungkin bukan merupakan perbuatan melawan hukum bagi korban y35. Perbuatan melawan hukum dapat dituntut di pengadilan, selanjutnya Munir Fuady berpendapat bahwa : Dalam memberi putusan tentang suatu perbuatan melawan hukum (ontechtmatige daad) misalnya, hakim berusaha secara kumulatif untuk mengumpulkan berbagai fakta independen dan argument hukum yang lepas dan inkonklusif, seperti fakta dan argument di sekitar jenis perbuatan yang dilakukan, kerugian bagi pihak korban, hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan kerugian, fakta di sekitar kesalahan pelaku, setelah itu baru ditarik kesimpulan dan putusan tentang adanya tindakan melawan hukum (perdata) yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku36.
35 36
Ibid, hal. 15. Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Op. Cit., hal. 162.
Universitas Sumatera Utara
Ada beberapa kemungkinan penuntutan yang dapat didasarkan pada pasal 1365 KUHPerdata, yaitu37 : a. Ganti rugi atas kerugian dalam bentuk uang; b. Ganti rugi atas kerugian dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam keadaan semula; c. Pernyataan bahwa perbuatan adalah melawan hukum; d. Larangan dilakukannya perbuatan tertentu; e. Meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum; f. Pengumuman keputusan dari sistem yang telah diperbaiki. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut38 : 1. 2.
Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian)
3.
Perbuatan melawan hukum karena kelalaian Syarat-syarat untuk dikategorikan perbuatan melawan hukum adalah :
Undang-Undang dan Yurisprudensi mensyaratkan untuk dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka pada pelaku harus mengandung unsur kesalahan (schuldelement) dalam melakukan perbuatan tersebut. Karena itu, tanggungjawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggungjawab dalam Pasal 1365 37
M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. II, 1982, hal 102. 38 Kurnianto Purnama, Apa Arti Perbuatan Melawan Hukum Itu?, http://www.progresifjaya.com/NewsPage.php?judul=APA%20ARTI%20PERBUATAN%20MELAW AN%20HUKUM%20ITU&kategori_tulisan=Opini, diakses tanggal 8 April 2010.
Universitas Sumatera Utara
Kitab UndangUndang Hukum Perdata Indonesia. Bilamana dalam hal-hal tertentu berlaku tanggungjawab tanpa kesalahan (strict liability), hal demikian bukan berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia39 Hukum waris dan Hukum Harta Perkawinan, merupakan dua hal yang tidak dapat diabaikan. Hukum waris tak dapat dipisahkan dari harta perkawinan, oleh karena itu untuk membicarakan hukum waris sama dengan membicarakan hukum perkawinan40. Hukum Waris sama halnya dengan Hukum Perkawinan merupakan bidang hukum yang sentitif atau rawan41. Keadaan inilah yang mengakibatkan sulitnya diadakan unifikasi di bidang Hukum Waris. Unifikasi yang menyeluruh dalam perkawinan khususnya yang berkaitan dengan Hukum Waris tidak mungkin dicapai 42 Di dalam sistematik Hukum Perdata Barat yang belaku sekarang Hukum Waris dimuat dalam Buku II. Dengan demikian maka hak waris dianggap sebagai hak kebendaan, terhadap hal ini ada beberpa sarjana yang menaruh keberatan antara lain Mr. A. Pitlo dan Mr. J.D. Veegens, Mr. A.S. Oppenheim43. Menurut Pitlo, sebabnya Hukum Waris dimuat dalam buku yang mengatur hak kebendaan, terjadi karena ada simpang siur dua prinsip. Menurut Hukum Romawi warisan dipandang sebagai benda yaaang tak bertubuh sebagai suatu barang yang berdiri sendiri, terhadap mana para waris mempunyai hak kebendaan. Lain dari pada itu para ahli waris mempunyai hak milik bersama yang bebas (vrije medeeigendom). Sebaliknya dalam hukum Jermania-Kuno, orang tidak mengenal 39
Ibid. G. Marpaung dan P. Sianturi, Hukum Waris dan Hukum Perkawinan, Fakultas Hukum Universitas Darma Agung, Medan, 1989, hal. 1. 41 R. Subekti, “Kaitan Undang-undang Perkawinan dengan Penyusunan Hukum Waris”, Kertas Kerja, Simposium Hukum Waris Nasional (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1989), hal. 97. 42 Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat (Pewarisan Menurut Undang-undang), Kencana Renada Media Group, Jakarta, Cet. II, 2006, hal. 4. 43 Ali Afandi, Op. Cit., hal. 9. 40
Universitas Sumatera Utara
suatu warisan sebagai benda yang berdiri sendiri. Juga tidak dikenal hak kebendaan khusus bagi para ahli waris. Dan di antara para ahli waris terdapat hak milik bersama yang terikat (gebondan medeeigendom)44. Mr. Pitlo selanjutnya menguraikan pandangannya sebagai berikut45 : Anggapan bahwa Hukum Waris adalah hukum kebendaan mungkin timbul berdasar atas dua pikiran yaitu : a)
Karena ahli-waris mempunyai suatu hak yang tidak dipunyai oleh pewaris yaitu hak-waris. (terhadap barang-barangnya pewaris punya hak milik, bukan hak waris). Jadi hak waris itu suatu hak yang berdiri sendiri.
b)
Karena harta warisan itu merupakan barang berdiri sendiri. Hukum Waris ditempatkan dalam Buku II KUH Perdata (tentang Benda), dengan alasan46 : 1. Hak mewaris diidentikkan dengan hak kebendaan sebagaimana diatur dalam Pasal 528 KUHPerdata47. 2. Hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan, yang dirumuskan dalam Pasal 584 KUHPerdata48
44
Ibid, hal. 9-10. Ibid. hal. 10. 46 Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op. Cit., hal. 9. 47 Pasal 528 KUH Perdata : Atas sesuatu kebendaan, seorang dapat mempunyai, baik suatu kedudukan berkuasa, baik hak milik, baik hak waris, baik hak pakai hasil, baik hak pengabdian tanah, baik hak gadai atau hipotik. 48 Pasal 584 KUH Perdata : Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu. 45
Universitas Sumatera Utara
Penempatan Hukum Waris dalam Buku II KUH Perdata tersebut di atas, menimbulkan reaksi di kalangan para ahli hukum. Para Ahli Hukum berpendapat, bahwa dalam Hukum Waris tidak hanya terdapat aspek hukum benda saja, tetapi juga aspek-aspek yang lainnya, meskipun tidak dapat disangkal bahwa sebenarnya Hukum Waris termasuk dalam hukum harta49. Aspek-aspek hukum lainnya yang terkait adalah50 : 1. Aspek Hukum Harta Kekayaan Tentang Perikatan Harta peninggalan selain berupa hak-hak kebendaan yang nyata ada, dapat juga berupa tagihan-tagihan atau piutang-piutang dan juga berupa sejumlah utangutang yang melibatkan pihak ketiga (hak perorangan). 2. Aspek Hukum Keluarga Pada pewarisan menurut undang-undang syarat utama untuk tampil sebagai ahli waris adalah adanya hubungan darah. Hal ini berarti terkait dengan aspek Hukum Keluarga. Hukum Waris, adalah bagian dari hukum kekayaan. Akan tetapi erat sekali hubungannya dengan hukum keluarga, karena seluruh pewarisan menurut undangundang berdasarkan atas hubungan keluarga sedarah dan hubungan perkawinan. Dengan demikian ia termasuk bentuk campuran antara bidang yang dinamakan
49
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, hal. 222. 50 Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op. Cit., hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
hukum kekayaan dan hukum kekeluarga. Oleh karena itu secara teoritis seharusnya mempunyai tempat tersendiri51. Terdapat beberapa Encylopaedi yang dikutip oleh Amir Martosedono (Hukum Waris, hal. 9-10) sebagai berikut52 : a) Menurut Geillusteerde Encylopaedi, A. Winkler Prins, halaman 311; hukum waris ialah : Seluruh peraturan yang mengatur pewarisan, menentukan sejauh mana dan dengan cara bagaimana hubungan-hubungan hukum dari seseorang yang telah meninggal dunia berpindah kepada orang lain, dan dengan demikian hal itu dapat diteruskan oleh keturunannya. b) H.D.M. Knol dalam bukunya Beginselen Van Het Privaatrecht , dikatakan : hukum waris mengatur ketentuan-ketentuan tentang perpindahan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal, kepada seorang ahli waris atau lebih. J. Satrio mengatakan bahwa : Besarnya harta keluarga, yang dengan meninggalnya si pewaris, seluruhnya atau paling tidak sebagian menjadi warisan, sedikit banyak ditentukan oleh hukum harta perkawinan yang berlaku bagi si pewaris. Bukankah banyaknya kelompok harta yang terbentuk dalam suatu keluarga bergantung dari Hukum Harta Perkawinan yang berlaku bagi pewaris? Bagi mereka yang tunduk pada K.U.H.Perdata, berdsarkan pasal 119, berlaku asas, bahwa dalam satu keluarga hanya ada satu kelompok harta saja, yaitu harta persatuan, kecuali para suami-istri yang bersangkutan sebelum kawin, dengan suatu akta notariil, telah membuat perjanjian-kawin (Pasal 147), yang isinya menyimpangi prinsip harta-persatuan ex Pasal 11953 tersebut54. 51
A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid I, PT. Intermasa, Jakarta, 1986. 52 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, Cet.III, 2005, hal. 252. 53 Pasal 119 KUH Perdata :
Universitas Sumatera Utara
2.
Konsepsi Selain dari teori ada pengertian lain yang disebut konsepsi yang merupakan unsur pokok dalan usaha penelitian atau untuk membuat karya ilmiah. Sebenarnya yang dimaksud dengan konsepsi adalah suatu pengertian mengenai sesuatu fakta atau dapat berbentuk batasan (definisi) tentang sesuatu yang akan dikerjakan55. Kegunaan dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam melakukan
penelitian
atau
penguraian,
sehingga
dengan
demikian
memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan56. Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang sering kali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang mejadi pegangan konkrit dalam proses penelitian57. Dalam rangka untuk lebih mengarahkan penelitian ini, ada beberapa istilah yang didefinisikan sebagai landasan konsepsi, yaitu : (1) Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara hartakekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. (2) Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan isteri. 54 J. Satrio, Hukum Waris Tentang Pemisahan Boedel, PT. Citra Adidtya Bakti, Bandung, 1998, hal. 9. 55 H. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 5. 56 Ibid. 57 Samadi Surya Barata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
a. Analisis yuridis adalah menganalisa secara hukum b. Pembagian adalah : Menurut Schemer, pembagian/verdeeling lebih ditujukan kepada pembagian atas pemilikan-bersama yang atas dasar lain dimilikibersama oleh beberapa orang58 c. Harta Bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan59 d. Milik adalah kepunyaan, hak60 e. Orang Tua adalah ayah ibu kandung61 f. Anak adalah keturunan yang kedua62 g. Kala adalah waktu, ketika, masa63 h. Masih adalah sedang dl keadaan belum selesai atau sedang berlangsung64 i. Hidup adalah masih terus ada, bergerak, dan bekerja sebagaimana mestinya65 G. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif atas studi kasus. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisa hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in
58
J. Satrio, Hukum Waris Tentang Pemisahan Boedel, Op. Cit., hal. 8. Pasal 35 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 60 www.Kamusbahasaindonesia.org 61 Ibid. 62 Ibid. 63 Ibid. 64 Ibid. 65 Ibid. 59
Universitas Sumatera Utara
the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process)66. Penelitian hukum seperti ini, lebih menekankan pada bahan-bahan hukum sehingga dapat dikatakan sebagai : library based, focusing on reading ang analysis of the primary and secondary materials67. Logika keilmuan dalam penelitian normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri68. 2.
Sumber Data Sumber data penelitian ini terdiri dari : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, yakni : 1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
b. Bahan hukum sekunder yaitu semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku, karya ilmiah69. Juga meliputi pendapat para sarjana, kasus hukum serta yurisprudensi.
66
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 118. 67 Jhonny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, hal. 46. 68 Ibid, hal. 57. 69 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2005, hal. 141.
Universitas Sumatera Utara
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan primer maupun bahan sekunder, yaitu internet. 3.
Alat Pengumpulan Data Berhubung penulisan ini bersifat yuridis normatif, maka alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan (library research), yaitu dengan mempelajari perundang-undangan, peraturanperaturan, buku-buku hukum, artikel, literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian ini. Selain dengan studi kepustakaan, maka juga diadakan wawancara dengan :
1. Syuhada, Anggota Tehnis Hukum Balai Harta Peninggalan Medan. 2. Notaris Cipto Soenaryo 3. Notaris Ferry Susanto Limbong. 4. Notaris Indra S. Tarigan 5. Notaris Yusrizal 6. Notaris Drs. Sudjono Sosilo 7. Notaris Deddy Iskandar Tjong 8. Notaris Rubianto Tarigan 9. Notaris Jasmi Rivai 10. Notaris Syamsurizul A. Bispo 11. Notaris Lili Suryati
Universitas Sumatera Utara
4.
Analisis Data Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan (library research)
dikumpulkan, kemudian ditelaah dan dianalisis secara kualitatif dan deskriptif dengan mempelajari seluruh jawaban kemudian diolah dengan menggunakan metode deduksi untuk menjawab dan memberikan solusi serta pendapat atas permasalahan yang sudah dikemukakan di atas. H. Jadwal Penelitian Agar dapat melaksanakan penelitian secara maksimal, maka perlu adanya perencanaan dan penggunaan waktu yang efisien. Penelitian ini direncanakan berlangsung selama 3 (tiga) bulan dan diharapkan dapat selesai tepat pada waktunya dengan perencanaan penggunaan waktu sebagai berikut : 1. Tahap I (Persiapan dan pengumpulan data)
: 4 (empat) minggu
2. Tahap II (Analisa data)
: 4 (empat) minggu
3. Tahap III (Perbaikan sebelum seminar)
: 2 (minggu) minggu
4. Tahap IV (Seminar Hasil)
: 2 (minggu) minggu
Universitas Sumatera Utara