BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Penelitian tesis ini dilakukan untuk menganalisis sengketa batas wilayah
antara Pemerintah P rovinsi Kepulauan Bangka Belitung (Pemprov B abel) dan Pemerintah Provinsi Kepulauan R iau (Pem prov Kepri) dalam mem perebutkan gugusan P ulau Tujuh serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi berlarut-larutnya konflik perbatasan w ilayah administrasi dua pemerintah daerah tersebut. A nalisis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemahaman yang lebih kom prehensif tentang akar, dinam ika, dan dam pak dari
sengketa
perbatasan w ilayah sebagai masukan dalam menem ukan solusi strategis supaya masalah itu tidak perlu dibawa ke M ahkamah Konstitusi. Penelitian mengenai sengketa batas w ilayah antar pemerintahan daerah yang baru dimekarkan sangat penting. Tanpa manajemen konflik yang memadai, konflik yang terjadi mengenai klaim batas wilayah yang berbeda di antara dua pemerintahan daerah yang berdekatan dapat mengham bat pembangunan daerah di perbatasan w ilayah tersebut. M asalah sengketa perbatasan w ilayah ini banyak bermunculan ketika UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah diberlakukan terutama terkait dengan soal penentuan batas w ilayah, kewenangan daerah dan ketentuan mengenai pungutan atau retribusi, serta perizinan. Dalam konflik perbatasan wilayah di antara pemerintahan provinsi, yang diributkan biasanya berupa batas dan hak atas satu wilayah. Salah kasus terjadi dalam mem perebutkan kawasan Pulau Tujuh dari perbatasan antara Pemerintah
1
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Pemerintah Provinsi K epulauan R iau. Pulau Tujuh atau lebih dikenal dengan nama Pulau Pekajang merupakan gugusan kepulauan yang terdiri dari tujuh pulau. W ilayah ini berasal dari gugusan tujuh pulau besar yang terdapat di kawasan tersebut, selain beberapa pulau karang kecil. Pulau Pekajang Besar, Pulau Pekajang Kecil, Pulau Cibiak, Pulau Penyaman, Pulau Tokungyu, Pulau K umbung, dan Pulau Pasir Keliling adalah nama -nama yang diberikan di kawasan Pulau Tujuh. Pulau Pekajang Besar adalah pulau yang berpenghuni dan menjadi tempat tinggal warga dengan jumlah penghuni mencapai 137 KK dengan jumlah penduduk 489 jiwa sesuai data tahun 2012 (Tribun Batam, 18 Januari 2013). Perebutan Pulau Tujuh antara Kepulauan Bangka Belitung dan Kepulauan Riau (Kepri) sudah berlangsung lama, dan berdasarkan pada UU N o. 27/2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung wilayah kepulauan kaya timah dan bahan tambang lainnya tersebut jelas masuk ke wilayah Pemerintahan Provinsi K epulauan Bangka Belitung. Sementara itu, Pem erintah Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan UU No. 31/2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga juga mengklaim memasukkan gugusan Pulau Tujuh ke wilayah teritorialnya, padahal secara de jure Pulau Tujuh jelas sudah termasuk ke dalam wilayah Pemerintahan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Persoalan sengketa batas w ilayah antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau semakin rum it karena secara de facto, masyarakat Pulau Tujuh memang menjadi bagian dari Kepulauan Riau. Desa Pekajang sendiri adalah pusat pemerintahan di Pulau Tujuh. Semua fasilitas dan prasarana penunjang kehidupan masyarakat maupun pemerintahan di
2
sini dilayani oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Bangka Post, 23 /9/2013). Suasana makin memanas ketika kapal isap bijih timah milik Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau melakukan penambangan di wilayah gugusan Pulau Tujuh yang kaya sumber daya mineral dan minyak bumi (Bangka Post, 20 Oktober 2013). Hal ini mengindikasikan bahwa akar utama permasalahan konflik batas wilayah ini adalah perebutan sumberdaya alam yang besar di kawasan Pulau Tujuh. Sengketa batas wilayah tersebut terjadi pada tingkat pemerintah provinsi dan um umnya terjadi antardaerah setelah terjadi pemekaran w ilayah. Banyaknya konflik di antara pemerintahan daerah tersebut karena UU No. 22/1999 ternyata tidak jelas mengatur penyelesaian sengketa antardaerah. K onsekuensinya banyak sengketa antardaerah hingga kini masih terkatung-katung, kendati sudah berubah menjadi konflik terbuka. Upaya penyelesaian sengketa batas wilayah di antara pemerintahan daerah yang ditentukan dalam Pasal 89 U U N o. 22/1999 tidak bias memberikan solusi terbaik. Pasal tersebut anya menentukan bahwa perselisihan antardaerah diselesaikan oleh pemerintah pusat setem pat secara m usyawarah dan bila penyelesaian perselisihan secara musyawarah tersebut tidak diterima salah satu pihak, pihak tersebut dapat mengajukan penyelesaian ke M ahkamah A gung. Pada kurun waktu lebih dari satu dekade terakhir, pemerintah pusat tidak ikut cam pur tangan dalam penyelesaian sengketa antardaerah otonom di tingkat provinsi antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Pemerintah Provinsi Kepulauan R iau tersebut. Penyelesaian sengketa batas w ilayah tersebut cenderung diserahkan kepada G u bernur sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah, karena dianggap mengetahui persoalan di daerahnya . Nam un kenyataan
3
di lapangan pemerintah provinsi pada kedua belah pihak cenderung bersikukuh dengan posisinya masing-masing atau bahkan saling mendiamka n satu sama lain tanpa ada nya indikasi manajemen konflik perbatasan wilayah bersama . Resolusi sengketa batas wilayah tersebut pada dasarnya dapat diberikan, misalnya lew at arbitrase, mediasi, dan negoisasi. Langkah ini memungkinkan dilaksanakan nya penyelesaian sengketa batas wilayah antara dua pemerintahan provinsi tersebut. Namun, sengketa batas w ilayah tersebut masih berlarut-larut, dan terkesan tidak ada manajemen konflik antar-pemerintahan provinsi secara memadai. Berlarut-larutnya konflik perbatasan w ilayah antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau menjadi indikasi penyim pangan dari Pasal 89 U U No. 22/1999. Dalam UU N o. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa , pelaksanaan tugas-tugas arbitrase dan penyelesaian sengketa alternative sudah diatur melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, dan konsiliasi atau penilaian ahli. Dengan langkah ini, ada keuntungan, misalnya, waktunya singkat, biaya relatif murah, berorientasi masa depan, tidak menentukan siapa kalah dan menang, dan kesepakatan akan dibuat dengan menguntungkan kedua belah pihak. A kan tetapi, teknik ini ternyata tidak efektif m enyelesaikan konflik perbatasan w ilayah di antara P emerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Pemerintah Provinsi Kepulauan R iau tersebut. M enurut Haris (2006: 165), dalam perjalanannya u ndang-undang tentang otonomi daerah m ulai dari U U N o. 22/1999 sampai diamandemen menjadi UU No. 32/2004 mem punyai banyak kelemahan. Hal ini terbukti dari banyaknya konflik horizontal yang timbul, baik masalah pengelolaan atas sumber daya alam
4
maupun masalah per batasan wilayah antarkabupaten/kota maupun antarprovinsi. Dalam kasus ini, daerah yang baru dibentuk atau mengalami pemekaran wilayah sering menggunakan mobilisasi konflik batas wilayah dengan berbagai argumen, sehingga memperkeruh persoalan, seperti antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Provinsi Kepulauan R iau yang memper masalahkan posisi Pulau Tujuh. Polemik ini sudah lama menjadi sengketa batas wilayah dan hampir 10 tahun tanpa adanya penyelesaian yang berarti. Uraian latarbelakang masalah tersebut menunjukkan bahwa Pemerintahan Daerah seringkali memiliki egosentrisme daerah, yang muncul sebagai implikasi otonomi daerah. Egosentrisme daerah tidak jarang melahirkan berbagai benturan di berbagai w ilayah kepentingan yang menimbulkan konflik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Dalam konteks relasi antar pemerintahan daerah, konflik batas wilayah mengindikasikan adanya masalah konflik antar -pemerintahan daerah. Di sini, konflik mewujud dalam konteks lembaga, khususnya lembaga pemerintahan. Konflik tidak hanya terjadi dalam relasi individu, di antara masyarakat atau antara masyarakat dan pemerintah, melainkan di dalam tubuh pemerintahan sendiri dapat tersemai dan berkembang bibit konflik. Jika dibiarkan berlarut-larut, egosentrisme daerah berkembang menjadi sengketa batas w ilayah dengan implikasi munculnya konflik kepentingan antar daerah dan pemenuhan kebutuhan pelayanan publik masyarakat daerah terbengkalai (Pratikno, 2001). Fenomena sengketa perbatasan wilayah ini sangat relevan untuk dikaji, khususnya untuk memahami terjadinya sengketa batas wilayah dan faktor-faktor yang menyebabkan sengketa tersebut berlarut-larut.
5
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latarbelakang masalah tersebut, maka bisa dirumuskan pertanyaan ini sebagai berikut: 1. Bagaimana akar, dinamika dan dampak berlarut-larutnya sengketa batas wilayah di kawasan Pulau T ujuh antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau? 2. Bagaimana upaya Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam menyelesaikan sengketa batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh? 3. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan berlarut-larutnya sengketa batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau ?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat diketahui tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. M endeskripsikan akar, dinamika dan da mpak berlarut-larutnya sengketa batas w ilayah kawasan P ulau Tujuh antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau . 2. M enganalisis upaya Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam menyelesaikan sengketa batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh. 3. M engidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan berlarut-larutnya sengketa batas w ilayah di kawasan Pulau Tujuh antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau .
6
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. M anfaat teoretis. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi para akademisi dalam mengkaji dan mengembangkan model teoretis untuk memahami pola-pola konflik perbatasan wilayah yang berlarut-larut, yang bisa dijadikan sebagai dasar penyelesaian masalah sengketa batas w ilayah. 2. M anfaat praktis. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten untuk merumuskan kebijakan strategis yang akan diambil, terutama dalam menyelesaikan sengketa batas wilayah yang cenderung berlarut-larut.
1.5.
Landasan Teori
1.
Pemekaran Daerah dan Sengketa Batas W ilayah Pemekaran daerah seringkali bukan hanya merupakan hasil kebijakan dari
pemerintah pusat, melainkan juga menjadi hasil tuntutan pemerintah daerah yang berhasil membangun ekosistem politik lokalnya. M enurut M askun (2001;13), tuntutan pemekaran wilayah dapat dilakukan, baik dalam status Daerah Otonom maupun status Wilayah Administratif. Tuntutan menjadi daerah otonom diawali dengan terbentuknya beberapa Provinsi A dministratif maupun Kabupaten dan Kecamatan. Penetapan wilayah administratif ini merupakan proses penting untuk mendewasakan dan memperkuat kemampuan provinsi/kabupaten/kecamatan agar mereka dapat menjadi Daerah Otonom. Pertimbangan ini penting karena banyak Daerah Otonom, baik Pro vinsi maupun Kabupaten/Kecamatan, belum memiliki kemampuan mengurus rumah tangganya sendiri. Penerapan pemekaran wilayah
7
idealnya harus berorientasi pada perkembangan dan pertumbuhan wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa kemampuan mengurus rumah tangga sendiri, lembaga pemerintahan daerah tidak akan dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi, baik di dalam daerahnya sendiri m aupun di dalam konflik atau sengketa dengan daerah-daerah lain yang berdekatan, yang berdampak kurangnya perkembangan dan pertumbuhan wilayah yang dimekarkan. Salah satu proses dalam pembentukan daerah otonom baru adalah proses pembuatan batas wilayah (boundary m aking) untuk menetapkan dan menegaskan batas-batas daerah yang dibentuk. Proses pembuatan batas wilayah adalah bagian dari proses besar pemekaran wilayah yang berdimensi politik, hukum, ekonom i, sosial maupun teknis pemetaan (Chalid, 2005). Pembentukan daerah otonom baru sebagai akibat pemekaran berarti menambah jumlah segmen batas daerah. Apabila segmen-segmen batas daerah yang jumlahnya pada era otonom i daerah semakin meningkat ini tidak bisa dikelola dengan baik, maka potensi konflik atau sengketa batas wilayah di antara pemerintahan daerah yang terbentuk akan semakin besar. Tanpa adanya pengelolaan konflik yang baik melalui pendekatan kerjasama atau kolaborasi antar pemerintahan, sengketa batas wilayah akan berlarut-larut. Secara umum pengertian sengketa mengacu pada pengertian konflik, yang berarti pertentangan, perselisihan, atau percekcokan. Konflik adalah perwujudan dan/atau pelaksanaan aneka pertentangan antara dua pihak yang dapat merupakan dua orang, bahkan golongan besar seperti negara. Konflik dapat dimaknai sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki sasaran yang tidak sejalan (M itchell, 1981). Dalam konteks sistem, konflik dapat
8
terjadi diantara dua pihak yang berbeda dalam suatu sistem , yaitu unit-unit konflik ini bersifat independen satu sama lain, tetapi kedua unit konflik ini berada dalam entitas yang lebih besar (Kriesberg, 1982:14). Dalam penelitian ini, contoh dapat ditunjukkan bahwa unit-unit konflik yang bertikai adalah pemerintah kabupaten di suatu daerah dengan pemerintah kabupaten di daerah lainnya yang berdekatan dan kedua kabupaten tersebut berada dalam provinsi yang berbeda, tetapi kedua level pemerintahan ini sama-sama berada di negara yang sama, yaitu NKRI. Sengketa batas w ilayah sering terjadi dalam interaksi konfliktual diantara dua pemerintah daerah yang berbeda atau lebih. M enurut Carpenter (1998), sengketa dapat dimaknai sebagai pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang bisa menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa konflik dan sengketa mempunyai keserupaan, tetapi masing-masing memiliki ekspresi historis yang berbeda. Konflik identik dengan kondisi sosial yang merusak karena pihak-pihak yang bertikai itu cenderung akan menghancurkan satu sama lain. Dalam sengketa, perdamaian dapat diciptakan jika persepsi para pihak yang bertikai dapat dipersamakan tentang manfaat besar yang akan dapat dirasakan jika mereka mau menyelesaikan perbedaan persepsi tersebut dengan jalan kolaborasi satu sama lain. Sengketa juga dapat dimaknai pertentangan atas kepentingan, tujuan dan/ atau pemahaman di antara dua pihak atau lebih. Sengketa menjadi masalah hukum apabila pertentangan itu menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan terhadap hak yang dilanggar, dan/atau tuntutan terhadap kewajiban atau tanggung
9
jawab. M enurut Kriesberg (1982:141), perbedaan sumberdaya di antara para pihak yang berlawanan mempengaruhi alat yang digunakan ole h masing-masing pihak dalam memperlakukan konflik, di mana pihak yang mengontrol sumberdaya yang diinginkan oleh lawan mereka dapat menjanjikan keuntungan lebih besar. Dalam konteks wilayah, sengketa dapat mengacu pada ketidaksepahaman/pertentangan masalah hukum atas kepentingan dalam persoalan titik-titik batas yang terdapat di antara dua wilayah, baik itu batas darat, laut dan udara. Potensi terjadinya konflik atau sengketa batas wilayah muncul bila dua atau lebih aktor yang berkepentingan saling bersaing secara berlebihan atau apabila tidak ada kesesuaian tujuan dalam kondisi sumberdaya yang terbatas (M oore, 1986). Hal ini menunjukkan bahwa sengketa bukan ekspresi konflik murni yang tidak bisa diperdamaikan, melainkan ketidaksepahaman atau pertentangan ya ng masih dapat diredakan untuk mencapai kesepakatan, dalam konteks ini terkait batas wilayah, dengan pertimbangan kebaikan maksimal untuk kepentingan bersama. Dalam pandangan Carpenter dan Kennedy (1988), konflik atau sengketa dapat berkembang melalui fase-fase dinamis dan membentuk konflik spiral yang berlarut-larut. Sengketa tersebut berkembang dari munculnya konflik, perpecahan, perkuatan posisi, terhentinya kom unikasi, kom itmen sumber daya, penyebaran konflik ke luar, biasnya persepsi, munculnya krisis dan bermuara pada hasil akhir. Dalam kaitannya dengan sengketa batas wilayah, situasi dan kondisi konflik spiral dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain ( Zartman, 2001): a. Kelompok minoritas lintas-batas, seperti suku atau etnis tertentu. b. Sumberdaya lintas-batas di wilayah perselisihan untuk diperebutkan.
10
c. Perbatasan yang tidak jelas akibat daerah tersebut bekas daerah jajahan. d. M asalah implementasi kesepakatan di antara para pihak.
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa masalah sengketa bisa saja terjadi dalam banyak aspek kehidupan bersama di antara dua aktor yang berdekatan atau lebih. masalah sengketa ini muncul karena belum adanya kejelasan batas di antara para pihak yang bertikai, dan mereka belum bertemu untuk membuat kesepakatan yang dapat diterima bersama-sama. M enurut M oore (1986) ada lima penyebab utama terjadinya konflik , yaitu persoalan hubungan antara orang atau kelompok, persoalan dengan data, tidak diperhatikannya atau tidak adanya kesesuaian nilai, kekuatan terstruktur dari luar yang menekan para aktor dalam sengketa, dan persoalan kepentingan yaitu tidak diperhatikannya atau tidak adanya kesesuaian dalam hal keinginan. Pendekatan M oore (1986) ini sering digunakan untuk alat analisis konflik , terutama dalam hal menentukan penyebab sen gketa dan perilaku konflik. Pendekatan ini lebih mudah diterapkan untuk mencari kesepakatan mengenai akar penyebab sengketa , yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai titik-titik pijakan bersama guna mencapai manfaat yang dapat dirasakan bersama. Dalam menyelesaikan sengketa, pihak yang berkonflik perlu memahami penyebab terjadinya konflik (Furlong, 2005). Tanpa tahu secara persis penyebab sengketa, mereka sulit menemukan solusi yang tepat. Sengketa adalah salah satu bentuk perilaku persaingan di antara individu atau antar kelompok orang. Potensi sengketa akan ada bila dua atau lebih aktor bersaing secara berlebihan atau tidak ada kesesuaian tujuan dalam kondisi sumberdaya terbatas (M oore, 1986). Oleh
11
karena itu, penyelesaian sengketa dapat dimulai dari p enyamaan persepsi tentang penyebab utama konflik dan persepsi tentang solusi-solusi yang paling sama-sama menguntungkan para pihak yang terlibat dalam sengketa. Dari beberapa penjelasan tersebut, bisa disimpulkan bahwa sengketa batas wilayah terjadi apabila ada konflik dan perpecahan, penguatan posisi di masingmasing pihak yang bertentangan, tetapi komunikasi di antara para pihak tersebut terhenti sehingga dapat menimbulkan ketidaksepahaman, baik terkait kelom pok minoritas lintas-batas, seperti suku atau etnis tertentu, sumberdaya lintas-batas di wilayah perselisihan untuk diperebutkan, perbatasan tidak jelas akibat daerah itu bekas daerah jajahan atau m asalah implementasi kesepakatan di antara para pihak. Sengketa batas w ilayah ini dapat terjadi dalam hubu ngan antara orang/kelompok, persoalan dengan data, tidak diperhatikannya atau tidak adanya kesesuaian nilai, kekuatan terstruktur dari luar yang menekan aktor dalam sengketa, dan persoalan kepentingan yaitu tidak diperhatikannya atau tidak ada nya kesesuaian dalam hal keinginan. M asalah sengketa batas wilayah dapat diselesaikan dengan mencapai kesepakatan tentang akar penyebab sengketa, sebagai titik pijakan bersama untuk mencapai manfaat yang dapat dirasakan bersama.
2. Penyelesaian Konflik Berlarut-Larut a. Konflik Berlarut-Larut Konflik berlarut-larut jika tidak dapat ditangani dalam periode waktu yang sangat lama. Dalam situasi konflik, setiap pihak yang bertikai merasa diri benar dan melakukan upaya membangun argumen untuk menunjukkan bahwa dirinya benar. Hal ini seperti dikemukakan oleh Collier (dalam Crocker et al., 2001:144)
12
bahwa persepsi umum tentang konflik dibentuk oleh waca na yang dihasilkan oleh konflik itu sendiri, para pihak yang bertikai tidak tinggal diam dan memberikan berbagai penjelasan atas tindakan mereka, dan kedua belah pihak dalam suatu konflik akan melakukan usaha besar untuk memiliki relasi-relasi publik yang baik. M asalahnya adalah jika masing-masing pihak hanya menyampaikan pada publik bahwa dirinya benar tanpa ada usaha yang signifika n untuk menyelesaikan konflik melalui interaksi penyelesaian konflik satu sama lain, konflik di antara mereka tak akan pernah terkelola dengan baik, hanya bergerak pada level diskursus, dan akan berlarut-larut, dalam hitungan tahun, bahkan dekade. Dalam konflik yang melibatkan dua pihak dengan otoritas sama-sama kuat dan tidak mudah ditundukkan satu sama lain, suatu persepsi cenderung muncul di masing-masing pihak bahwa aspirasi dua belah pihak tidak sesuai satu sama lain atau muncul persepsi bahwa tidak ada alternatif yang dapat diterima semua pihak (Pruitt dan Rubin, 2011:38-39). Ini adalah masalah persepsi mengenai alternatif yang dapat digunakan untuk mencapai suatu keadaan yang dapat diterima semua pihak. Namun, dalam kenyataan masing-masing pihak yang bertikai sering merasa tampaknya tidak ada alternatif integratif yang mungkin akan berhasil dicapai oleh kedua belah pihak. Dalam konteks seperti itu, kondisi interaksi di antara dua pihak yang bertikai cenderung stabil karena konflik relatif dapat diteka n karena biasanya hanya bergerak pada level wacana. Namun, tidak ada satu sistem pun sepenuhnya stabil, yang betul-betul bebas-konflik atau bebas-ledakan-konflik. Jika tidak dapat dikelola dengan baik di antara para pihak yang bertikai sendiri, maka konfli k akan terjadi berlarut-larut dalam waktu lama, bahkan sangat lama.
13
Ada kondisi-kondisi tertentu yang dapat menyebabkan masalah konflik di antara pihak-pihak yang bertikai berlangsung berlarut-larut, dalam hitungan tahun, bahkan dekade. Di antara kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut (Pruitt dan Rubin, 2011:98): a. Suatu pihak peduli terhadap hasil sendiri, tetapi tidak peduli pada hasil di pihak yang lain. b. Suatu bersikap antagonistik terhadap pihak lain. c. Aspirasi suatu pihak tinggi dan enggan unt uk menurunkannya. d. Suatu pihak menganggap aspirasi pihak lain juga tinggi walau tidak terlalu resisten. e. Hanya ada sedikit potensi integratif akan muncul, sehingga alternatif yang sama-sama memuaskan kedua belah pihak juga tidak dapat dikembangkan. f.
Suatu pihak memiliki kapasitas untuk berkontestasi satu sama lain.
g. Perlawanan pihak lain untuk menurunkan aspirasinya dianggap tidak akan mungkin berkurang.
Beberapa kondisi tersebut perlu ditangani pihak ketiga yang bersifat netral, karena tanpa adanya pihak ketiga semacam itu, para pihak yang bertikai cenderung akan mempertahankan posisinya masing-masing tanpa peduli dengan kepentingan dari pihak lain yang sejak awal sudah dianggap sebagai musuh yang harus dikalahkan.
b. Penyelesaian Konflik Penyelesaian konflik perlu dilakukan lewat pengelolaan konflik. M enurut Arfani (2005:317), pengelolaan konflik sebenarnya adalah setiap upaya intervensi
14
(untuk mencegah aktualisasi, mendeeskalasi, menghentikan, dan menyelesaikan) dalam salah satu (atau lebih) tahap konflik. Tanpa pengelolaan konflik yang baik, maka konflik yang terjadi diantara para pihak yang tertikai cenderung akan terjadi berlarut-larut. Sebaliknya, jika pihak-pihak yang bertikai memiliki prakarsa positif untuk mengatasi konflik bersama-sama, konflik sebenarnya dapat diselesaikan dengan mengenalkan berbagai pendekatan yang dilakukan pada konflik. Penyelesaian sengketa melalui pengelolaan konflik perlu dilakukan secara efektif. M enurut Carpenter dan Kennedy (1988:52 -65), setidaknya ada 10 prinsip program manajemen konflik yang efektif, antara lain: a. Konflik adalah paduan prosedur, hubungan, dan substansi. Perhatian perlu diberikan pada hubungan manusia dan prosedur yang biasa digunakan oleh manusia untuk mengatasi ketidaksepakatan mereka tentang substansi isu, bukan hanya mengatasinya dengan kriteria teknis semata. b. Untuk menemukan solusi yang baik, para pihak harus memahami masalah. Para pihak yang bertikai perlu mengumpulkan informasi lewat kunjungan bersama orang-orang yang secara langsung terpengaruhi oleh perselisihan tersebut dan bersama orang-orang lain yang kurang terlibat tetapi sangat mengetahui situasinya. c. M eluangkan waktu untuk merencanakan strategi dan menindaklanjutinya. Strategi perlu direncanakan dengan memberikan perhatian yang hati-hati kompone n manajemen, diantaranya menemukan definisi umum masalah, menentukan prosedur-prosedur yang memuaskan kedua belah pihak untuk melaksanakan suatu negosiasi, mengidentifikasi isu dan kepentingan dari
15
setiap pihak, mengembangkan berbagai opsi untuk memecahkan masalah, menyepakati solusi, dan memutuskan secara tepat bagaimana kesepakatan akan diimplementasikan. d. Kemajuan menuntut hubungan kerja yang positif. Para pihak perlu segera mendiskusikan berbagai alternatif atau membuat pertimbangan bersama tanpa menonjolkan informasi yang mengedepankan posisi masing-masing agar polarisasi tidak semakin terjadi secara serius. e. Negosiasi mulai dengan definisi konstruktif atas masalah. Para pihak harus sepakat tentang apa masalahnya sebelum mereka mulai memecahkannya. f.
Para pihak harus membantu merancang proses dan solusinya. Pemerintah perlu memiliki tanggung jawab akhir untuk menemukan solusi, khususnya dalam memecahkan masalah konflik di antara unit-unit pemerintahan yang berada di bawah kewenangannya.
g. Solusi yang baik didasarkan pada kepentingan, bukan posisi. Posisi adalah dasar yang buruk bagi pengembangan penyelesaian masalah konflik yang sukses di antara perbedaan-perbedaan. Para pihak perlu menemukan solusi yang tidak biasa dengan berbicara satu sama lain tentang kepe ntingannya masing-masing atau berbicara tentang diri mereka bersama -sama. h. Proses harus fleksibel. Rencana dari proses penyelesaian masalah sengketa perlu dibuat sebagai cetak biru pendahuluan yang memberikan arah awal, tetapi harus terus dimodifikasi ketika metode-metode yang lebih tepat atau lebih spesifik teridentifikasi, karena fleksibilitas memungkinkan berbagai penyesuaian dapat dilakukan pada keadaan-keadaan yang berubah.
16
i.
Berpikir melalui apa yang berlangsung salah. Negosiasi merupakan proses yang dinamis, sehingga pendekatan diperlukan untuk memperbarui sikap positif sesuai perubahan yang terjadi pada arah yang mulai menyimpang dan kontroversial.
j.
Tidak merugikan. Penyelesaian konflik perlu dirancang bisa memecahkan masalah, bukan menciptakan masalah baru. Hal ini dapat dilakukan kalau solusi yang diberikan tidak merugikan para pihak yang bertikai, tidak akan menimbulkan kontroversi, atau tidak merusak kepentingan dari banyak orang, yang pada gilirannya hanya akan mempersulit penyelesaian konflik.
M enurut Kenneth W. Thomas (1976), penanganan konflik dapat dibagi ke dalam lima teknik utama, antara lain: a. Pengendalian. Ketika salah satu pihak dalam mencapai tujuannya tidak mempedulikan kepentingan pihak lain, bahkan cenderung mengalahkan pihak lain, maka akan terjadi pemaksaan. Dalam pendekatan ini, salah satu pihak yang berkonflik merasa mempunyai kekuatan yang lebih dibanding pihak yang lain, sehingga perlu ada upaya mengendalikan tendensi untuk mengabaikan pihak lain. Para pihak yang bersengketa perlu mempedulikan kepentingan satu sama lain. b. Penolakan. Pihak yang berkonflik menggunakan strategi untuk menolak, melarikan diri, menyangkal, mengabaikan, menarik diri, ataupun menunda saat diajak menyelesaikan konflik. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan bila pihak yang bersengketa mengurangi tendensi menolak satu sama lain.
17
c. Akomodasi. Pihak yang berkonflik lebih senang apabila pihak lain yang mengontrol situasi. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan strategi menyetujui, menenteramkan, mengurangi atau mengabaikan perbedaan pendapat, atau malah menyerah. d. Kompromi. Walaupun tidak memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lain, pihak yang berkonflik tetap membuka kemungkinan berdialog dan mengajak pihak lain untuk berkompromi. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan bila p ihak yang berkonflik mengurangi harapan-harapan yang mereka buat, melakukan tawar-menawar, saling memberi dan menerima. e. Pemecahan masalah. Pihak yang berkonflik mengajak pihak yang lainnya untuk memecahkan masalah bersama-sama. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan bila m ereka sama-sama mempunyai kepedulian dan komitmen untuk menyelesaikan masalah.
Beberapa langkah penyelesaian konflik tersebut sangat ideal, namun belum tentu efektif untuk mengatasi konflik di daerah-daerah tertentu, khususnya jika masingmasing pemerintah daerahnya bersikukuh dengan kepentingannya sendiri dan tak peduli sama sekali dengan kepentingan pemerintah daerah yang lain. Dalam konflik yang berlarut-larut, pihak ketiga yang netral sering sangat diperlukan sebagai fasilitator. Dalam konteks pemerintahan nasional, pemerintah pusat berperan sebagai representasi negara melalui fasilitasi dan koordinasi dalam pengelolaan berbagai hubungan yang konfliktual di antara unit-unit pemerintahan di bawahnya. Zartman (1997:1 2-13) mengemukakan bahwa konflik berlarut-larut dapat diselesaikan melalui enam langkah dan umumnya langkah-langkah itu dapat
18
dilaksanakan dengan baik apa bila terdapat pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah pusat, yang berperan sebagai fasilitator dalam penyelesaian konflik di antara unitunit pemerintahan di bawahnya. Enam langkah tersebut antara lain: a. Rekonsiliasi, yaitu pengelolaan konflik dengan cara membawa kelompok bersama untuk mengatasi perbedaan bersama . b. Alokasi, yaitu pengelolaan konflik dengan pemerintah secara langsung memberikan keputusan untuk memecahkan konflik. c. Institusionalisasi, yaitu pengelolaan konflik dimana dua belah pihak yang bersengketa membuat aturan main yang harus diikuti kedua belah pihak. d. Pengendapan, yaitu pengelolaan konflik di mana pemerintah berprakarsa mengatasi konflik dengan mengajukan program yang baru, tujuan -tujuan yang lebih luas, perhatian pada isu atau pengkerangkaan persepsi kembali. e. Ajudikasi, yaitu pemerintah mengurangi hak para pihak yang berkonflik untuk mengurangi akibat buruk. f. Represi, yaitu pemerintah memberikan hukuman fisik kepada para pihak yang berkonflik.
Dalam konteks pemerintahan, baik pusat maupun daerah, masalah konflik atau sengketa pada umumnya dan sengketa batas wilayah pada khususnya telah menjadi hal yang biasa terjadi dalam implementasi kebijakan otonomi daerah dan pemekaran wilayah. Penyelesaian masalah sengketa batas w ilayah perlu dilakukan secara intensif dengan melibatkan aktor-aktor yang terlibat dan berkepentingan, memahami dinamika isu k onflik, dan mengkaji berbagai faktor penyebab masalah konflik batas wilayah tersebut. Dalam demokrasi, penyelesaian masalah sengketa
19
batas w ilayah idealnya dilakukan dengan pendekatan musyawarah untuk mufakat dengan prinsip kolaboratif diantara para pihak yang terlibat sengketa. Namun, jika upaya integrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak bisa menyelesaikan masalah sengketa tersebut, pemerintah pusat harus dapat berperan fasilitator agar sengketa batas wilayah tidak sampai berlarut-larut. Akan tetapi, pemerintah pusat seringkali tidak mampu menyelesaikan konflik dengan mudah. Kebijakan otonomi daerah maupun pemekaran daerah mempunyai efek yang idealnya sangat positif dalam mendorong perkembangan dan pertumbuhan wilayah. Akan tetapi, kebijakan pemekaran wilayah dalam praktiknya sangat sulit diimplementasikan secara lancar sebagaimana diharapkan oleh para pihak yang berkepentingan, dalam konteks ini pemerintah pusat yang menetapkan pemekaran daerah maupun pemerintah-pemerintah daerah yang saling berdekatan. A lih-alih mendorong perkembangan dan pertumbuhan w ilayah, implementasi kebijakan otonomi daerah dan pemekaran wilayah justru dapat menyebabkan kelambatan perkembangan dan pertumbuhan wilayah karena terjadi sengketa batas w ilayah , apalagi jika masalah tersebut tidak terkelola dengan baik dan akibatnya berlarutlarut. Kasus semacam itu dapat terjadi di antara pemerintah daerah yang memiliki pemahaman yang berbeda atau berlawanan tentang batas wilayah dan sejak awal masing-masing memiliki persepsi, pandangan, keinginan dan kepentingan yang berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain. K ondisi tersebut sering diperburuk oleh kurangnya perhatian pemerintah pusat untuk berperan sebagai fasilitator dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di antara unit-unit pemerintah daerah yang berdekatan. Tanpa adanya peran fasilitasi dari pemerintah pusat, masalah
20
konflik antar pemerintahan daerah cenderung tidak akan terkelola dengan baik dan biasanya akan berlangsung lama atau berlarut-larut.
Peran Fasilitasi Pemerintah Pusat
Pemekaran Daerah
Sengketa Batas W ilayah
Konflik BerlarutLarut
Peran Negosiasi Pemerintah Daerah
Keterangan: Tidak ada peran fasilitasi pemerintah pusat Tidak optimalnya peran negosiasi pemerintah daerah
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
21
1.6. Metodologi Penelitian 1.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif.
M enurut Bogdan dan Taylor (2001), metode penelitian deskriptif kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata -kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian ini dirancang untuk menjelaskan kenyataan empiris tentang sengketa batas w ilayah khususnya tentang upaya penyelesaian konflik oleh Pemprov Babel dalam sengketa batas w ilayah di kawasan Pulau Tujuh antara Pemprov Babel dan dan Pemprov Kepri. Penelitian ini berfokus pada tigas aspek, yaitu: (a) akar, dinamika, dan dampak sengketa batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh, (b) upaya penyelesaian sengketa batas wilayah di kawasan P ulau Tujuh oleh Pemprov Babel, dan (c) faktor -faktor yang menyebabkan berlarut-larutnya sengketa batas w ilayah di kawasan Pulau Tujuh antara Pemprov Babel dan Pemprov Kepri.
2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah sengketa batas w ilayah di kawasan Pulau Tujuh. Lokasi ini menarik diteliti karena kawasan Pulau Tujuh sudah lebih dari satu dekade sejak 2000 hingga sekarang diperebutkan Pemprov Babel dan Pemprov Kepri tanpa adanya upaya, proses, dan hasil penyelesaian sengketa batas wilayah yang jelas, namun selama ini belum ada kajian akademis tentang akar, dinamika, dan dampak sengketa batas wilayah itu, upaya yang dilakukan Pemprov Babel untuk menyelesaikan masalah sengketa batas wilayah tersebut, dan faktor faktor yang menyebabkan berlarut-larutnya sengketa batas w ilayah tersebut.
22
3. Jenis dan Teknik Pengambilan Data Pengumpulan data merupakan prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam penelitian ini, data yang dipakai adalah data primer yang diperoleh melalui wawancara dan data sekunder yang diperoleh dari dokumen yang terkait dengan topik penelitian. Dalam menjawab rumusan masalah dan mencapai tujuan penelitan ini, maka d ata penelitian ini dikumpulkan dengan beberapa teknik antara lain: a. Observasi adalah kegiatan pengumpulan data melalui penelusuran lokasi oleh peneliti ke lokasi penelitian secara langsung. D i dalam penelitian ini, observasi dilakukan dengan mengamati kondisi umum batas w ilayah yang dipersengketakan di kawasan Pulau Tujuh. b. Wawancara dilakukan dengan cara mengadakan komunikasi interpersonal melalui metode tanya-jawab dengan responden sampai tujuan wawancara dapat tercapai. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam semi-terstruktur atau menggunakan pedoman wawancara yang terdiri dari daftar pertanyaan yang bersifat terbuka untuk menggali informasi secara lengkap dan mendalam dari responden. W awancara ini dilakukan dengan pertemuan tatap-muka antara peneliti dan informan untuk menanyakan secara langsung seluk-beluk fenomena sengketa batas w ilayah di kawasan Pulau Tujuh sejak 2000. Informan yang diwawancarai adalah: Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Babel, mantan Kepala Biro Pemerintahan, mantan Camat Belinyu, Kepala Bappeda Pemprov Babel, Ketua Komisi I DPRD
23
Pemprov Babel, anggota DPRD Kabupaten Bangka, serta beberapa tokoh masyarakat di sekitar lokasi penelitian. c. Dokumentasi dilakukan terhadap dokumen perkembangan sengketa batas, dokumen implementasi kebijakan otonom i daerah dan pemekaran w ilayah, dokumen penyelesaian sengketa batas wilayah Pemprov Babel, dan aneka dokumen lain yang berhubungan dengan topik penelitian.
4. Instrumen Penelitian Instrumen dari penelitian ini adalah peneliti sendiri yang dibantu dengan panduan wawancara dan check list observasi agar dapat diperoleh data sistematis berdasarkan jenis-jenis data yang memang diperlukan untuk menjawab pertanyaan yang sudah dirumuskan. Untuk mempermudah pengumpulan data, tidak menutup kemungkinan pelaksanaan wawancara dibantu dengan alat tape recorder, yang dilengkapi dengan kamera, alat tulis, dan lain-lain.
5. Teknik Analisis D ata Analisis, interpretasi, dan penyajian data penelitian kualitatif bertujuan untuk memberi makna pada data, mereduksi volume informasi, mengidentifikasi pola-pola yang bermakna, dan menyusun kerangka untuk mengambil esensi data yang dikumpulkan (M oleong, 2002). Analisis data penelitian ini dilakukan dengan interpretasi berbagai data, fakta dan informasi melalui pemahaman intelektual dan pengalaman empiris melalui langkah sebagai berikut:
24
a. Penilaian Data Data sekunder yang diperoleh pertama kali dinilai berdasarkan jenis data seperti akar, dinamika, dan dampak sengketa batas wilayah; upaya resolusi konflik dari Pemprov Babel; dan faktor-faktor penyebab berlarut-larutnya masalah sengketa batas wilayah tersebut. b. Penyajian Data Teknik penyajian data diterapkan secara deskriptif agar m emudahkan bagi peneliti maupun pembaca untuk melihat gambar menyeluruh atau bagian bagian penelitian. Data yang disajikan adalah ringkasan data primer (hasil wawancara) dan data sekunder (berbagai dokumen) dalam bentuk tabel, gambar, grafik, dan deskripsi. c. Analisa Kesimpulan Kesimpulan penelitian ini ditarik dari analisis data dengan pemahaman intelektual, yang dibangun berdasarkan pengetahuan empiris tentang data, fakta, dan informasi yang disederhanakan berdasarkan jenis dan pola data.
6. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini disajikan dengan sistematika terdiri dari lima bab dimulai dari Bab I memaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, kerangka pemikiran dan metodologi penelitian. Bab II mendeskripsikan dan mengajak kita untuk mengelaborasi akar sengketa batas w ilayah kawasan Pulau Tujuh, dinamika sengketa batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh dan dampak sengketa batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh. Bab III menganalisis upaya-upaya penyelesaian sengketa batas wilayah di
25
kawasan Pulau Tujuh yang dilakukan Pemprov Babel dalam interaksinya dengan Pemprov Kepri. Bab IV mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan berlarut-larutnya upaya penyelesaian sengketa batas wilayah di kawasan P ulau Tujuh, dengan argumen pokonya adalah kurangnya koordinasi, kebijakan pembiaran konflik tanpa kelola, dan strategisnya sumberdaya alam. Dan Bab V menyajikan kesimpulan dan implikasi penelitian itu sendiri.
26