BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tesis ini bertujuan menganalisis komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dalam
meningkatkan
akses
publik
terhadap
informasi
penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Tema ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa pemerintah telah memformulasikan kebijakan yang mengatur hak publik untuk mengetahui dan mendapatkan informasi mengenai proses penyelenggaraan pemerintahan yang kemudian disahkan dalam bentuk UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Namun, persoalannya adalah hingga saat ini akses publik terhadap informasi penyelenggaraan pemerintahan masih begitu sulit dan sangat terbatas (Utomo, 2009; Pratikno, 2012; Dwiyanto, 2014). Dengan mengambil lokasi penelitian di Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman, penelitian ini berusaha membangun kerangka untuk memahami bagaimana upaya peningkatan akses publik terhadap informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan apa saja yang menjadi tantangan-tantangan dalam upaya meningkatkan akses warga terhadap informasi publik di pemerintahan daerah. Sebagai pendahuluan, perlu dijelaskan bahwa disahkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik yang kemudian berlaku efektif pada tanggal 30 April 2010, membawa konsekuensi kepada seluruh badan publik baik di pusat maupun di daerah untuk “wajib” menyampaikan dan menyediakan informasi mengenai proses penyelenggaraan pemerintahan secara terbuka kepada publik. Dengan demikian, hak publik atas 1
informasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan semakin mendapatkan legitimasinya. Pengesahan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik menjadi bukti bahwa Indonesia sebagai negara demokratis menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak publik atas informasi yang telah dijamin oleh konstitusi. Indonesia mengakui dan menjamin hak asasi atas informasi dalam konstitusi Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 28F yang berbunyi sebagai berikut. “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Hadirnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik menunjukkan bagaimana komitmen pemerintah untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang berdasarkan pada prinsip transparansi. Dengan demikian, wacana mengenai transparansi atau keterbukaan dalam proses penyelenggaraan negara bukan lagi hanya berada pada tataran konsep dalam usaha mengembangkan good governance, akan tetapi telah menjadi sebuah praktik yang telah memiliki kekuatan hukum bahwa pemerintah wajib membuka informasi penyelenggaraan negara seluas-luasnya kepada publik dan masyarakat berhak memperoleh informasi publik tersebut.
2
Hak publik untuk memperoleh informasi yang dijamin oleh perundang-undangan merupakan salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang terbuka. Hak atas informasi menuntut keterbukaan penyelenggaraan negara untuk diawasi publik, dan semakin terbuka penyelenggaraan suatu negara, semakin dapat dipertanggungjawabkan penyelenggaraan tersebut. Keberadaan undang-undang yang secara khusus menjamin kebebasan setiap warga untuk memperoleh informasi memiliki peran penting dalam sejumlah hal, sebagaimana yang dijelaskan Haryanto (2005) sebagai berikut: a. Merupakan kunci dalam demokrasi, pembentukan pemerintahan yang transparan dan bebas korupsi, serta pelaksanaan pembangunan yang partisipatif. b. Mengatur pemerintah dalam menjamin hak publik untuk mengakses informasi dan dokumen yang merupakan kepentingan publik (melindungi, menghormati dan memenuhi hak asasi manusia). c. Memberikan pedoman bagi pejabat publik dan badan publik yang megelola dan menyimpan informasi yang memiliki nuansa kepentinga publik dalam memberikan pelayanan bagi publik yang meminta informasi publik tersebut. d. Menjadi pedoman untuk menentukan informasi mana yang dapat dibuka untuk publik (accessible) dan yang dilarang untuk dibuka kepada publik, karenas sifatnya yang memang harus dirahasiakan (secret dan confidential).
Keterbukaan informasi publik, dengan demikian menjadi salah satu isu yang mengemuka dewasa ini, sebagai pengejawantahan hak asasi manusia atas informasi yang dijamin oleh Undang-Undang, seiring dengan tuntutan masyarakat dunia akan pelaksanaan tata pemerintahan yang baik bagi negara-negara di seluruh dunia. Pengakuan bahwa kebebasan informasi merupakan hak asasi yang fundamental sebenarnya sudah ada sejak tahun 1946 di mana Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 59 (1) mengenai kebebasan informasi tersebut. Pasal 19 3
Deklarasi Universal HAM PBB menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat dan gagasan, mencakup hak untuk memegang pendapat tanpa campur tangan, dan mencari, menerima, dan menyebarkan
informasi
dan
gagasan
melalui
media
apapun
tanpa
mempertimbangkan garis batas negara (Febrianingsih, 2012). Indonesia, dalam konteks internasional menjadi negara ke-67 di dunia yang menyusun hak atas informasi dalam perundang-undangan guna menjamin hak warga negaranya dalam mengakses informasi yang dimiliki oleh organisasi publik (Erdianto, dkk, 2012). Berdasarkan riset yang dilakukan Center for Law and Democracy (CLD) Canada di akhir tahun 2011, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan nilai tertinggi di Asia Tenggara (120 poin) dalam aspek regulasi transpaaransi yang mengatur hak atas informasi (right to know). Selain itu, Indonesia juga masuk dalam 20 besar dari lebih 120 negara di dunia yang menerapkan Undang-Undang Kebebasan Informasi (Freedom of Information Act), (Laporan Tahunan Komisi Informasi Pusat Tahun 2012). Dengan semangat keterbukaan ini jugalah yang mendorong Pemerintah Indonesia untuk bergabung menjadi salah satu perintis gerakan global Open Government Partnership (OGP) pada bulan September 2011. Hanya dalam kurun waktu kurang lebih 1 tahun, gerakan OGP telah didukung oleh 58 negara yang mewakili lebih dari 2 milyar penduduk dunia. Negara-negara yang bermitra dalam OGP ini berkolaborasi melampaui batas batas politik dan mendekatkan hubungan masyarakat dengan pemerintah untuk bersamasama menciptakan negara yang lebih baik. Negara yang dicita-citakan OGP adalah negara yang membawa 4
perbaikan kualitas hidup masyarakatnya melalui pemerintahan yang terbuka, bersedia mendengar aspirasi masyarakat, partisipatif, dan memiliki semangat untuk memperbaiki diri terus-menerus. Secara
konseptual,
konteks
lahirnya
UU
KIP
merupakan
manifestasi
pertanggungjawaban penuh negara (Badan Publik) terhadap rakyatnya. Badan Publik bertanggungjawab untuk melaksanakan kewajibannya secara terbuka, di mana pertanggungjawaban ini merupakan dasar demokrasi dan hak publik untuk mendapat informasi merupakan manifestasi dari pertanggungjawaban tersebut (Erdianto, dkk., 2012). Secara substansial, konteks lahirnya UU KIP ini adalah memberikan jaminan konstitusional kepada publik untuk mengakses segala informasi
yang
berkenaan
dengan
kebijakan
pemerintah
agar
praktik
demokratisasi dan good governance dapat lebih bermakna bagi proses pengambilan kebijakan yang terkait dengan kepentingan publik, dengan bertumpu pada partisipasi masyarakat dan akuntabilitas Badan Publik bersangkutan (Pratikno, dkk., 2012). Pada kenyataannya, transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang hingga saat ini masih menjadi sesuatu yang langka. Hal ini terbukti dari hasil penilaian Komisi Informasi Pusat Tahun 2013 terhadap kepatuhan Badan Publik dalam menerapkan UU KIP yang menunjukkan nilai rata-rata tingkat keterbukaan informasi Badan Publik
masih
di
bawah
50
dari
skala
0-100
(Komisi
Informasi,
www.komisiinformasi.go.id/news/view/perlunya-grand-design-keterbukaaninformasi-publik, diakses pada 27 Juni 2014). 5
Dari hasil kajian implementasi keterbukaan informasi publik di pemerintahan lokal yang dilakukan FISIPOL UGM bekerja sama dengan Yayasan TIFA pada tahun 2012 menunjukkan bahwa proses perwujudan keterbukaan informasi publik selama ini cenderung masih dipengaruhi oleh seberapa besar kemauan (good will) dan komitmen dari badan publik sebagai pemegang otoritas dan penyedia informasi publik. Permasalahan yang ada adalah seberapa jauh Badan Publik membuka diri agar akses publik atas informasi dalam tata kelola urusan publik bisa terlaksana. Keterbukaan informasi publik dapat dikatakan terlaksana jika informasi yang disediakan Badan Publik bersifat bukan hanya lengkap, namun juga dijamin akurasinya, tidak bersifat manipulatif, dan relevan (Pratikno, dkk., 2012). Implementasi UU KIP seharusnya menjamin tersedianya informasi publik yang lengkap, valid, akurat dan relevan, sekaligus menjamin proses pelayanannya sehingga publik dapat mengakses informasi tersebut dengan mudah, murah, dan sederhana. Adanya kekurangan dalam implementasi UU KIP bisa jadi akan menimbulkan sengketa antara Badan Publik sebagai penyedia informasi dengan publik itu sendiri sebagai pengguna informasi. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 5 UU KIP, sengketa informasi publik adalah sengketa yang timbul antara Badan Publik dengan Pengguna Informasi Publik berkaitan dengan hak memperoleh dan menggunakan informasi menurut ketentuan yang diatur dalam UU KIP. Sesuai dengan Pasal 37 UU KIP, sengketa informasi yang terjadi diajukan upaya penyelesaiannya kepada Komite Pusat Informasi (KIP) baik di tingkat pusat, provinsi, maupun di tingkat daerah. 6
Terjadinya sengketa informasi ini bisa diakibatkan oleh beberapa faktor seperti (a) Penolakan
atas
permintaan
informasi
berdasarkan
alasan
pengecualian
sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; (b) Tidak tersedianya informasi secara berkala, serta merta, dan setiap saat yang wajib disediakan dan diumumkan oleh Badan Publik; (c) Tidak ditanggapinya permintaan informasi; (d) Permintaan Informasi ditanggapi tidak sebagaimana yang diminta pemohon informasi; (e) Tidak dipenuhinya permintaan informasi; (f) Pengenaan biaya yang tidak wajar sesuai ketentuan Undang- Undang; dan (g) Penyampaian informasi yang melebihi waktu yang diatur dalam Undang- Undang. Berdasarkan data Komisi Informasi Pusat, dalam kurun waktu empat tahun sejak UU Keterbukaan Informasi Publik dilaksanakan yakni sejak tahun 2010 hingga tahun 2014, jumlah sengketa informasi antara badan publik (pemerintah) dengan masyarakat yang ditangani Komisi Informasi (KI) Pusat mencapai 1.037 kasus. Dari seribuan lebih kasus sengketa informasi yang terjadi, jumlah kasus terbanyak rata-rata adalah terkait persoalan anggaran dan kinerja badan publik (Data Komisi Informasi Pusat, http://www.komisiinformasi.go.id/). Dengan demikian, keterbukaan informasi publik menjadi awal baru bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia di dalam memproses informasi, khususnya terkait proses penyelenggaraan pemerintahan. Paradigma lama yang menyatakan “informasi hanya merupakan milik pemerintah” kini telah menjadi “informasi juga milik masyarakat”. Kondisi ini tentu menjadi tantangan bagi aparatur pemerintah agar mampu mengelola informasi publik dengan baik kepada publik. 7
1.2 Rumusan Masalah Sebagaimana telah dijelaskan di awal, bahwa akses publik terhadap informasi penyelenggaraan pemerintahan hingga hari ini masih begitu sulit dan sangat terbatas. Informasi mengenai proses penyelenggaraan pemerintahan masih dianggap milik pemerintah sebagai penguasa informasi dan bukan untuk konsumsi publik. Di satu sisi pemerintah sebagai penguasa informasi memiliki banyak informasi sedangkan di sisi lain publik menderita minim informasi. Adanya ketimpangan penguasaan informasi tersebut (information asymmetry), merupakan suatu keadaan patologis karena hal inilah yang mengakibatkan terjadinya perilaku korupsi dan berbagai jenis kejahatan penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Pemerintahan yang terbuka (open government) dengan Undang-Undang kebebasan
informasi
merupakan
cara
yang
efektif
untuk
mengurangi
kemungkinan politik transaksional, korupsi dan pelanggaran hukum (Wilcox, 2001; Weil, dkk, 2006;. Schumann, 2007). Atas dasar itulah Pemerintah Indonesia pun memiliki komitmen yang kuat terhadap isu keterbukaan informasi publik dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bahkan Indonesia termasuk delapan negara deklarator inisiatif Kemitraan Pemerintahan Terbuka (Open Government Partnership) merupakan wadah kerjasama internasional yang didirikan pada tahun 2011 dengan tujuan mempromosikan transparansi, memberdayakan warga, memerangi korupsi, dan memanfaatkan teknologi baru untuk memperkuat pemerintahan. 8
Pemerintah Kabupaten Sleman sebagai salah satu badan publik, memiliki konsekuensi untuk mengimplementasikan kebijakan Keterbukaan Informasi Publik dalam bentuk pelayanan informasi publik. Sebagai langkah awal, Pemerintah Kabupaten Sleman telah menyusun Pedoman Pengelolaan Informasi Publik dan Dokumentasi sebagai upaya menciptakan dan menjamin kelancaran dalam pelayanan informasi publik melalui Peraturan Bupati Sleman Nomor 29 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Sleman. Berdasarkan data register sengketa informasi pada Komisi Informasi Provinsi D.I.Y., menunjukkan bahwa jumlah sengketa informasi terbanyak terjadi pada wilayah
Pemerintah
Daerah
Kabupaten
Sleman
dari
lima
pemerintah
kabupaten/kota yang ada di Provinsi D.I. Yogyakarta. Dari 15 kasus sengketa informasi di wilayah Provinsi D.I.Y. dalam kurun waktu antara tahun 2013 hingga tahun 2014, terdapat 5 kasus sengketa informasi yang terjadi di Pemerintah Kabupaten Sleman. Secara umum kasus sengketa informasi yang terjadi adalah pada persoalan pertanahan. Hal ini menunjukkan bahawa pelayanan informasi publik sebagai bagian dari implementasi kebijakan keterbukaan informasi publik di Kabupaten Sleman masih terdapat banyak kekurangan sehingga berujung pada terjadinya beberapa sengketa informasi.
9
Tabel 1. Register Sengketa Informasi Publik pada Komisi Informasi Provinsi DIY 2013 - 2014 No.
Register Sengketa
Nama Pemohon
Nama Termohon
Jenis Informasi yang diminta
Kepada Desa 001/VII/KIPDIYWedomartani Kec. 1 Bardjiyan Pertanahan PS/2013 Ngemplak Kab. Sleman Kepada Camat 002/VII/KIPDIY2 Ngatirun Ngemplak Kab. Pertanahan PS/2013 Sleman Kepada Kepala Desa 003/VII/KIPDIYWedomartani, 3 Ngatirun Pertanahan PS/2013 Ngemplak Kab. Sleman 004/X/KIPDIYDr. Martan Kepada Camat Administrasi 4 PS/2013 Kiswoyo, M.Si. Depok Kab. Sleman Kependudukan Kepada Ka Dians PU 001/I/KIPDIYDr. Bambang 5 dan Perumahan Kab. Pertanahan PS/2014 Setiawan Sleman Sumber: Data Sengketa Informasi Publik Komisi Informasi Provinsi D.I.Y.
Terjadinya beberapa sengketa informasi menunjukkan bahwa akses informasi publik masih tidak mudah di Pemerintah Kabupaten Sleman. Meskipun UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mengatur hak masyarakat untuk mengetahui informasi mengenai proses penyelenggaraan pemerintahan telah berlaku efektif sejak tahun 2010, akan tetapi pada kenyataannya akses terhadap informasi tersebut masih cukup sulit. Hal tersebut juga sebagaimana pernyataan Ketua Komisi Informasi D.I.Y. sebagai berikut.
10
“Memang kalo kita lihat di D.I.Y. ini untuk informasi kita sangat mudah untuk mendapatkan tetapi kalo sudah menyangkut pada detail dari informasi itu, tidak mudah untuk kita dapatkan. Misalnya ada anggaran dan X di media muncul, tetapi kita secara detail anggarannya itu dimana, di SKPD mana, untuk apa, itu tidak mudah setiap orang untuk mendapatkan informasinya. Masyarakat gimana mengaksesnya prosedurnya harus apa, tidak ada petunjuk untuk itu. Ketika kita melakukan FGD, ketika kita diskusi dengan masyarakat ternyata akses untuk mendapatkan informasi juga tidak mudah. Sehingga memang bisa di bilang ya komitmen pemerintah dalam hal ini memang masih rendah ya” (Wawancara, 17 Februari 2015).
Dari data-data awal di atas menunjukkan bahwa akses terhadap informasi publik masih menjadi persoalan dalam implementasi kebijakan keterbukaan informasi publik. Data tersebut kemudian mengkonfirmasi beberapa studi sebelumnya bahwa proses perwujudan keterbukaan informasi publik di daerah selama ini masih sangat dipengaruhi oleh seberapa besar kemauan (good will) dan komitmen dari pemerintah daerah sebagai penguasa informasi publik untuk membuka akses informasi tentang proses penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada publik (Pratikno, dkk., 2012: 2). Ketersediaan informasi publik yang bukan hanya lengkap, tetapi terjamin akurasi dan relevan dengan kepentingan publik menjadi variabel penting keberhasilan implementasi kebijakan keterbukaan informasi publik secara substantif.
11
Oleh sebab itu, perlu dilakukan sebuah penelitian mengenai implementasi kebijakan keterbukaan informasi publik. Terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait dengan implementasi kebijakan keterbukaan informasi publik. Diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Feri Firdaus (2014) melakukan penelitian dengan mengambil judul “Implementasi Kebijakan Komunikasi di Indonesia (Studi Kasus atas Implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di Provinsi Lampung)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana implementasi atau pelaksanaan UU KIP di Provinsi Lampung dengan melihat berbagai capaian, kendala, keterbatasan, serta peta masalah penyelenggaraan keterbukaan informasi publik yang terjadi sehingga menyebabkan
keterbukaan
informasi
publik
berhasil
atau
gagal
diimplementasikan secara optimal. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi UU KIP di Provinsi Lampung tahun 2010-2013 relatif belum begitu berhasil dilaksanakan. Implementasi UU KIP di Provinsi Lampung secara umum baru menyentuh aspek formal yang ditandai dengan terbentuknya struktur pendukung berupa KID dan PPID, belum sampai pada level perubahan sikap atau paradigma dalam birokrasi yang lebih berorientasi ke luar dan lebih bersifat terbuka dalam melayani masyarakat. Kedua, Agusly Irawan Aritonang (2011) yang melakukan penelitian dengan judul “Kebijakan Komunikasi di Indonesia (Studi Deskriptif Mengenai Pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik oleh Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika DIY Selama Tahun 2008-2011)”. 12
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan secara rinci pelakasanaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Oleh Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika DIY Selama Tahun 2008-2011. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menemukan bahwa pemerintah daerah masih juga enggan untuk serius dalam mengimplementasikan UU KIP. Dishubkominfo Yogyakarta yang menjadi objek fokus penelitian, belum atau tidak secara maksimal menjalankan perannya sebagai bagian dari implementor UU KIP yakni sebagai penyiap strategi implementasi, peran pengorganisasi, peran pemimpin dan penggerak, dan peran pengendali. Penelitian ini juga menemukan adanya faktor sosial politik dalam proses implementasi UU KIP di Yogyakarta. Hal tersebut diantaranya berupa adanya beberapa elit-elit partai di DIY yang mempersoalkan proses seleksi calon anggota KI DIY yang ditangani tim ad hoc. Hal ini membuat terbengkalai dan berlarut-larutnya proses pembentukan KI DIY sehingga banyak waktu yang terbuang. Ketiga, Endang Retnowati (2012) melakukan penelitian dengan mengambil judul “Keterbukaan Informasi Publik dan Good Governance (Antara Das Sein dan Das Sollen)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan keterbukaan informasi publik khususnya dalam rangka Good Governance, serta untuk mengetahui perangkat apakah yang harus dipersiapkan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan keterbukaan informasi publik dalam rangka Good Governance. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan dalam negara hukum demokrasi seperti Indonesia, keterbukaan informasi publik dalam penyelenggaraan negara atau 13
pemerintahan merupakan hak rakyat. Pelaksanaan keterbukaan informasi publik dalam penyelenggaraan suatu negara atau pemerintahan, merupakan perwujudan adanya tata pemerintahan yang baik (Good Governance). Keberadaan UU KIP memberikan pencerahan dalam penyelenggaraan suatu negara atau pemerintahan dan jaminan kepastian hukum terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dan turut serta mengontrol penyelenggaraan negara atau
pemerintahan.
Keterbukaan
akan
informasi
publik
berdasarkan
pengaturannya bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi dengan beberapa pengecualian, yang ditetapkan di dalam UU KIP. Perangkat atau instrument yang harus dipersiapkan dalam rangka pelaksanaan keterbukaan informasi publik khususnya oleh pemerintah daerah adalah, SDM (keahlian, mental) dan sarana prasarana yang memadai sesuai perkembangan teknologi informasi. Dari hasil review beberapa penelitian terdahulu yang telah diuraikan sebelumnya, peneliti merasa tertarik dan ingin melakukan sebuah penelitian yang sama terkait dengan isu keterbukaan informasi publik. Namun, pada penelitian “Komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman Dalam Meningkatkan Akses Publik Terhadap Informasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah” ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di atas. Kajian ini berusaha mendalami dinamika implementasi kebijakan keterbukaan informasi publik di pemerintahan daerah, dengan fokus kajian membahas derajat komitmen pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan akses publik terhadap informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. 14
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, agar penelitian mampu disajikan secara sistematik maka disusun rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : “Bagaimanakah komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dalam meningkatkan akses publik terhadap informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah”. Untuk mempertajam rumusan masalah tersebut, permasalahan dalam penelitian ini dapat diturunkan menjadi beberapa pertanyaan yang lebih spesifik lagi, diantaranya: 1. Bagaimanakah upaya peningkatan akses publik terhadap informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah di Kabupaten Sleman? 2. Apa sajakah tantangan-tantangan dalam upaya meningkatkan akses publik terhadap informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah di Kabupaten Sleman? 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum, kajian ini berusaha mendalami dinamika implementasi kebijakan keterbukaan informasi publik di Kabupaten Sleman, dengan fokus kajian membahas derajat komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dalam upaya meningkatkan akses publik terhadap informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Adapun tujuan penelitian secara khusus adalah : 1. Menjelaskan upaya peningkatan akses publik terhadap informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah di Kabupaten Sleman. 2. Menjelaskan tantangan-tantangan dalam upaya meningkatkan akses publik terhadap informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah di Kabupaten Sleman. 15
1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Praktis, hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai evaluasi dan bahan informasi untuk menilai tingkat pencapaian implementasi kebijakan keterbukaan informasi publik di daerah, yang dilihat dari aspek peningkatan
akses
publik
terhadap
informasi
penyelenggaraan
pemerintahan daerah. 2. Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi pembanding dan referensi bagi pemerintah, serta sebagai wahana bacaan bagi penelitian yang akan dilakukan pada masa yang akan datang dengan judul dan topik yang sama.
16