BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian ini membahas gerakan lingkungan yang dilakukan masyarakat dalam Program Kampung Hijau sebagai upaya mengatasi degradasi lingkungan. Penelitian ini menjadi penting mengingat kebijakan top-down yang dikeluarkan pemerintah terbukti masih mewariskan bencana, wabah penyakit dan penurunan kesehatan masyarakat di Kota Yogyakarta. Keberhasilan gerakan lingkungan Kampung Hijau dalam memperbaiki kondisi lingkungan menunjukkan perlunya pendekatan bottom-up dalam kajian kebijakan publik. Dengan adanya perspektif dari dua sisi komunitas masyarakat, Kampung Gambiran sebagai gerakan lingkungan yang masih konsisten dan Kampung Gondolayu Lor sebagai gerakan lingkungan yang telah mengalami penurunan, diharapkan adanya alternatif kebijakan sebagai upaya pengelolaan lingkungan hidup yang holistis dan berkelanjutan. Kajian tentang ilmu administrasi publik kontemporer mengalami pergeseran paradigma dari government ke governance. Dalam studi tentang governance, teori-teori administrasi publik tidak lagi dibatasi oleh birokrasi dan lembaga pemerintah, tetapi mencakup semua bentuk organisasi yang misi utamanya mewujudkan publicness (Haque, 2001: Dwiyanto, 2004: Pesch, 2008: Moulton, 2009). Organisasi semacam ini tidak lain adalah organisasi yang peduli pada shared problem dan beroperasi untuk mencapai public purpose. Pergeseran paradigma tersebut sangat relevan bila dikaitkan dengan isu-isu kontemporer yang
1
tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang internal birokrasi. Terlebih lagi, esensi dari kajian ilmu administrasi publik sebenarnya mengintepretasikan nilai dan preferensi dari masyarakat, komunitas dan warga negara secara keseluruhan (Bourgon, 2007). Implikasinya jelas, ilmu administrasi publik tidak lagi terlalu berorientasi kepada aktivitas negara, tetapi menjadi oleh, untuk dan kepada masyarakat (Utomo, 2009). Teorisasi tentang kebijakan publik yang dikelola oleh para pejabat pemerintah pada akhirnya dituntut konsisten dengan pergeseran paradigma ilmu administrasi publik seperti yang dijelaskan sebelumnya. Mainstream kajian tentang kebijakan publik di Indonesia selama ini memang cenderung memahami proses kebijakan sebagai proses internal pemerintah. Padahal, ketika proses kebijakan publik yang identik dengan proses birokrasi pemerintah maka konsep partisipasi publik dalam pengambilan keputusan yang banyak dituntut para penganjur demokrasi akan menjadi selogan kosong (Santoso, Hanif dan Gustomy, 2004). Kajian penelitian ini mengenai gerakan lingkungan dalam Program Kampung Hijau memperlihatkan kesulitan praktis maupun teoritis ketika sudut padang mainstream kebijakan publik tersebut sebelumnya dipertahankan. Hal ini karena Program Kampung Hijau hanya sebagai naungan pelembagaan gerakan lingkungan sehingga keberhasilan program sepenuhnya tergantung pada kapasitas gerakan lingkungan. Sifat publicness dalam penelitian ini melekat pada komunitas gerakan lingkungan yang berusaha menyelesaikan degradasi lingkungan (public interest). Pemerintah, melalui Badan Lingkungan Hidup (BLH), hanya melakukan
2
pendampingan terhadap masyarakat, atau pemerintah sebagai katalisator (Osborne dan Gaebler, 1996). Melalui perspektif gerakan lingkungan, proses kebijakan dipahami dari kerangka pikir masyarakat yang selama ini hanya sebagai alamat kebijakan, bukan pelaku kebijakan. Hal ini penting karena keberhasilan suatu kebijakan sosial adalah hasil yang dicapai komunitas, bukan merupakan produk dari kebijakan yang dibuat pemerintah (Cronbach, 1985). Parameter perkotaan dengan lingkungan terbaik di Pulau Jawa (Pulau dengan IKLH terendah di Indonesia) yaitu Kota Yogyakarta. Menurut data IKLH 2011, walaupun Kota Yogyakarta hanya mendapatkan sebesar 68,89% (standar mutu IKLH 80-90%) namun cukup untuk mengungguli kota-kota lain di Pulau Jawa seperti Jakarta (41,31%), Semarang (49,82%) dan Surabaya (54,49%). Tentu prestasi ini tidak bisa mengesampingkan dampak urbanisasi dan industrialisasi yang berbeda kapasitasnya dari kota-kota lain. Namun, Kota Yogyakarta sebagai kota yang memiliki kepadatan penduduk hampir sama dengan kota-kota lain di Pulau Jawa (BPS, 2010), terlebih dengan pariwisata massalnya tentu akan berdampak pada degradasi lingkungan kota. Kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam mengatasi degradasi lingkungan dapat dilihat dari program yang sebenarnya terkesan project and reward oriented, jangka pendek serta cenderung mencerminkan ego-sektoral, seperti: program Prokasih (Program Kali Bersih), penataan RTH (Ruang Terbuka Hijau), program swakelola sampah, persiapan penilaian penghargaan Adipura dan sebagainya. Kebijakan lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta pada akhirnya tidak serta merta merubah cara hidup masyarakat yang berpotensi memperparah
3
degradasi lingkungan. Dampak nyata terjadinya degradasi lingkungan akan banyak masalah yang ditimbulkan mulai dari bencana, wabah penyakit, hingga penurunan kualitas masyarakat (Cohen, et. al, 2012). Kutanegara (2014) menyoroti fungsi sungai di Kota Yogyakarta telah berubah menjadi drainase raksasa atau seperti tempat pembuangan sampah dan limbah perkotaan. Gubernur DIY hingga merasa perlu menerbitkan Surat Keputusan Gubernur No 317/Kep/2013 tentang penetapan status siaga darurat bencana banjir dan tanah longsor dengan status siaga bencana dimulai tanggal 3 Desember 2013 sampai tanggal 28 Februari 2014. Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup (BLH) Propinsi DIY (2013), sejak awal tahun 2000-an banjir selalu mendatangi kampung-kampung di Kota Yogyakarta yang dilewati Sungai Gajah Wong, Sungai Code dan Sungai Winongo. Data terakhir tahun 2012 digambarkan sebagai berikut: Tabel 1.1 Bencana Banjir, Korban dan Kerugian di Kota Yogyakarta
Sumber: Data Status Lingkungan Hidup Derah (SLHD) Kota Yogyakarta 2012
4
Laporan SLHD (2012) menggambarkan dampak banjir lebih luas seperti aspek psikologis, kesehatan (wabah demam berdarah) dan lumpuhnya kegiatan sosial ekonomi. Banjir terjadi disamping karena faktor alam juga karena ulah tangan manusia, diantaranya karena banyak sampah yang dibuang sembarangan ke saluran air dan sungai yang menyebabkan terjadinya pendangkalan, sehingga aliran air terhambat menjadi meluap dan menggenang (Rencana Aksi Daerah (RAD) Pengurangan Resiko Bencana 2007-2011). Pemerintah Kota Yogyakarta sepenuhnya merubah proses kebijakan lingkungan dari top-down ke bottom-up setelah gerakan lingkungan bermunculan di berbagai Kampung di Kota Yogyakarta. Gerakan lingkungan, walaupun tidak terlembaga, mulai merubah cara pandang Pemerintah Kota Yogyakarta mengenai pentingnya keterlibatan masyarakat khususnya komunitas peduli lingkungan dalam mengatasi degradasi lingkungan dan dampak yang ditimbulkannya. Lane (2003) mengatakan pentingnya reposisi peran masyarakat, tidak hanya sebagai objek terkena dampak, tapi juga menjadi bagian integral yang tak terpisahkan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat bergerak secara swadaya melalui berbagai kegiatan kolektif seperti Bank Sampah, gerakan kali bersih dan berbagai kampanye lingkungan. Program Kampung Hijau di kampung bantaran sungai pada tahun 2007 dikeluarkan pemerintah kota Yogyakarta bertujuan sebagai pelembagaan gerakan lingkungan (adanya payung hukum, lembaga formal dan afirmasi anggaran). Dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut, pemerintah sepenuhnya menyerahkan seluruh proses pengelolaan lingkungan kepada masyarakat, dalam hal ini gerakan
5
lingkungan. Masyarakat menjadi sentral dalam proses kebijakan dimulai dari perumusan masalah hingga evaluasi program. Upaya yang dilakukan masyarakat merupakan titik sentral pengelolaan lingkungan perkotaan utamanya berawal dari bantaran sekitar sungai (Laurens, 2012). Program ini kemudian diklaim sebagai kunci keberhasilan Pemerintah Kota Yogyakarta meraih Penghargaan Adipura tujuh kali berturut-turut dalam kurun waktu tahun 2007 hingga tahun 2013. Selain itu, kondisi lingkungan khususnya di perkampungan perlahan berubah menjadi lebih baik dan lepas dari ancaman bencana. Dari seluruh komunitas yang menerapkan Kampung Hijau, Kampung Gambiran dan Kampung Gondolayu Lor menjadi komunitas kampung dengan capaian paling memuaskan baik dari aspek prestasi, kegiatan, infrastruktur dan peran aktif masyarakat. Gerakan lingkungan masyarakat Komunitas Kampung Hijau Gambiran terletak di bantaran Sungai Gajah Wong, RW 08 Gambiran, Kelurahan Pandeyan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Gerakan ini diawali dari keresahan terhadap bencana banjir, wabah demam berdarah dan penurunan kesehatan masyarakat tahun 2005. Keinginan mengelola lingkungan secara swadaya mendapatkan respon positif dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Badan Lingkungan Hidup (BLH), dua lembaga lingkungan ini secara aktif mendampingi upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan masyarakat Kampung Gambiran. Kampung Hijau Gambiran yang dideklarasikan pada April 2007 ini, selalu menjadi tolak ukur keberhasilan pengelolaan lingkungan oleh masyarakat terbukti dengan berbagai prestasi tingkat nasional seperti pemenang
6
MDG’s Award 2012, penghargaan sebagai Desa/ Kelurahan terbaik 2013 dari Kementerian Lingkungan Hidup dengan menyisihkan 8.309 kelurahan seIndonesia, dan menjadi titik sorot dalam setiap penghargaan Adipura. Kampung Gondolayu Lor yang terletak di RW 10, Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis memiliki perbedaan dalam proses awal pembentukan. Komunitas Kampung Gondolayu Lor ini terbentuk berawal dari penyampaian ide dalam penyuluhan yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan, Keindahan dan Pemakaman (sejak januari 2006 berubah menjadi Badan Lingkungan Hidup) pada tahun 2005. Penyuluhan ini berawal dari kegelisahan masyarakat terhadap masalah lingkungan terutama sampah yang tidak terselesaikan dengan program-program pemerintah kota. Sampah yang dihasilkan oleh masyarakat tidak hanya berdampak pada kampung, namun juga mengendap di sungai yang masih dimanfaatkan untuk kegiatan sehari-hari. Kampung Gondolayu Lor ditetapkan menjadi Kampung Hijau (pilot project) di Kecamatan Jetis pada januari 2007 setelah pendampingan selama dua tahun melalui pelatihan, studi banding dan pembangunan fasilitas. Kampung Gondolayu Lor mendapat predikat berhasil dari BLH karena menerima penghargaan tamanisasi dan kebersihan wilayah sepanjang Sungai Code dan peraih penghargaan Kalpataru. Gerakan lingkungan lain yang terinstitusionalisasi dalam
Kampung
Hijau,
seperti
di
Kampung
Bumijo,
Karanganyar,
Pringgokusuman, tidak dapat menjalankan pengelolaan lingkungan hidup walaupun sudah dibekali pengetahuan dan pendanaan.
7
Secara lebih spesifik dapat dikatakan urgensi dari penelitian terhadap gerakan lingkungan Kampung Hijau untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan dari upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan degradasi lingkungan di perkotaan. Karena setelah tujuh tahun terbentuknya Kampung Hijau Gondolayu Lor, evaluasi oleh BLH menyatakan mulai adanya penurunan gerakan masyarakat, yang ditandai oleh turunnya partisipasi, keikutsertaan dalam program-program lingkungan baik dari pemerintah maupun swasta dan mulai diabaikannya nilai serta norma menjaga lingkungan oleh masyarakat. Hal ini berbeda dengan Kampung Hijau Gambiran yang masyarakatnya konsisten dengan komitmen menjaga lingkungan hidup. Penurunan kondisi lingkungan juga terlihat dari kegagalan Kota Yogyakarta dalam meraih penghargaan Adipura tahun 2014, evaluasi pemerintah kota mengindikasikan terjadi penurunan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan yang berimplikasi pada penurunan kualitas lingkungan kampung dan bertambahnya beban Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan (Harian Tribun Jogja, 10 Juni 2014). Keberhasilan dan kegagalan Kampung Hijau menunjukkan adanya faktorfaktor yang mempengaruhi dinamika gerakan lingkungan. Broadbent dan Brockman (2011) mengatakan gerakan lingkungan muncul tidak hanya dipengaruhi oleh refleksi sosial dari masyarakat, namun juga tercipta dari aktor dalam struktur politik. Suharko (2006) memberikan pandangan yang tegas mengenai dinamika perjuangan aktor dalam gerakan masyarakat yang sangat tergantung pada sumberdaya internal dan aspek-aspek eksternal. Sumberdaya internal yang dimaksudkan adalah ideologi diri, nilai-nilai bersama, komitmen,
8
kemampuan (pengetahuan, pendanaan, waktu dan lain-lain) serta esprit de corps. Sedangkan aspek-aspek eksternal, meliputi dukungan pemerintah, kodisi sosial politik, strategi pembangunan dan lain-lain. Tanpa mengabaikan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi gerakan masyarakat, dinamika yang terjadi dalam gerakan ini banyak dipengaruhi faktor internal atau yang biasa disebut modal sosial. Broadbent dan Brookman (2011) mengatakan mobilisasi sumberdaya melalui modal sosial sangat berpengaruh pada keberhasilan gerakan masyarakat. Sukses tidaknya gerakan masyarakat sangat tergantung dari berhasil tidaknya mengembangkan jaringan (Suharko, 2006). Botetzagias dan Schuur (2012) menjelaskan nilai dan kepercayaan merupakan sumberdaya potensial untuk dimobilisasi dalam gerakan lingkungan, potensi tersebut akan mendorong terbentuknya identitas bersama, partisipasi dan perluasan jaringan baik secara internal maupun eksternal. Hal tersebut berarti apabila gerakan lingkungan mampu memperkuat modal sosial, khusunya memiliki jaringan yang lebih luas, maka gerakan masyarakat akan memiliki peluang keberhasilan yang tinggi. Modal sosial dalam bingkai gerakan kolektif, menjadi faktor penentu mobilisasi masyarakat dengan prinsip tiap entitas masyarakat melakukan kegiatan yang menghasilkan manfaat bersama. Modal sosial merupakan suatu institusi sosial yang melibatkan jaringan, norma-norma dan kepercayaan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan terkoordinasi (Putnam, 2000). Jaringan sosial ini dapat memberi anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif yang keuntungannya dapat dirasakan setiap
9
anggota. Dalam gerakan masyarakat, modal sosial berfungsi untuk menyelidiki sumber daya dalam aksi kolektif, mengetahui elemen yang paling dibutuhkan untuk mencapai tujuan gerakan dan menentukan keberlanjutan gerakan (Coleman dikutip oleh Field, 2014). Modal sosial juga penting dikaji lebih dalam karena dapat menjadi stimulus keberhasilan sebuah kebijakan (Field, 2014). Kajian gerakan lingkungan dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup melalui kebijakan tepat sasaran nantinya memberikan rekomendasi dalam mewujudkan pembangunan kota yang berkelanjutan. Selain itu, penting untuk mengkaji modal sosial masyarakat dalam upaya menyiasati keterbatasan dengan inovatif dan efektif. Cakupan spasial yang terbaik untuk melihat pengelolaan lingkungan di perkotaan yaitu mencakup areal yang relatif tidak terlalu luas seperti komunitas perkampungan dan suatu wilayah aliran sungai, yang manfaat dan dampaknya bisa diketahui dengan cepat dan maksimal oleh penduduk sekitar (Mitchell, 2007). Dengan dua lokasi penelitian di Kampung Gambiran dan
kampung Gondolayu Lor diharapkan terciptanya solusi pengelolaan lingkungan hidup yang holistis dan berkelanjutan dimulai dari kampung perkotaan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini seharusnya dapat menjawab pertanyaan besar seperti yang telah dikemukakan sebelumnya yaitu: “Bagaimana pengaruh modal sosial masyarakat dalam gerakan lingkungan Kampung Hijau Gambiran dan Kampung Gondolayu Lor Kota Yogyakarta?”
10
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu: a. Memahami gerakan lingkungan Kampung Hijau oleh masyarakat Kampung Gambiran dan Kampung Gondolayu Lor dalam mengelola lingkungan hidup. b. Melihat sejauh mana capaian keberhasilan dari kedua gerakan lingkungan Kampung Hijau dalam mengelola lingkungan hidup. c. Memahami pengaruh dan mobilisasi modal sosial dalam gerakan lingkungan oleh komunitas masyarakat. 1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: a. Penelitian
ini
diharapkan
mampu
memberikan
masukan
kepada
pemerintah Kota Yogyakarta dalam memanfaatkan modal sosial untuk mengatasi masalah lingkungan. b. Hasil penelitian ini, diharapkan memberi informasi kepada pihak-pihak dalam hal ini yang berkepentingan untuk mengetahui bagaimana masyarakat kota memanfaatkan modal sosial dalam gerakan masyarakat. c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dalam memahami bagaimana kebijakan publik memanfaatkan modal sosial dan juga menggerakkan masyarakat perkotaan. Terlebih bermanfaat dalam ranah ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Manajemen dan Kebijakan Publik (Ilmu Administrasi Negara).
11