BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul Penelitian ini berjudul “Kemandirian Rumah Singgah Anak Jalanan (Studi tentang Rumah Singgah Girlan Nusantara dalam Penanganan Masalah Sosial Anak di Yogyakarta). Pemilihan judul tugas akhir tersebut bukanlah tanpa alasan. Judul yang peneliti pilih berdasarkan beberapa pertimbangan seperti aktualitas, orisinalitas,
dan
relevansi
dengan
keilmuan
pembangunan
sosial
dan
kesejahteraan. Pertama, berkenaan dengan aktualitas bahwa fenomena keberadaan LSM sudah ada sejak munculnya masalah sosial. Masalah sosial hingga kini pun belum bisa terselesaikan, dalam arti lain masih adanya masalah sosial sehingga keberadaan LSM pun masih ada. Salah satu contoh masalah sosial adalah anak jalanan. Anak-anak yang seharusnya berada di sekolah, di rumah mendapatkan kasih sayang, tetapi kenyataannya masih ada anak-anak yang mengamen di pinggir jalan dan terminal. Adanya anak jalanan tersebut menyebabkan muncul perhatian dari LSM untuk mencoba mengatasi masalah itu. LSM merupakan salah satu organisasi sosial yang melakukan upaya penyelesaian masalah sosial. Keberadaanya kini telah beraneka ragam mulai dari LSM yang berfokus pada penanganan anak jalanan, pemberdayaan perempuan, LSM yang berfokus pada bidang kesehatan, bahkan pendidikan. Tetapi fokus penelitian ini mengarah pada LSM yang berfokus pada penanganan anak jalanan. LSM tersebut adalah Rumah Singgah Girlan Nusantara. Keberadaan LSM
1
menjadi penting di kala satu pihak saja belum tentu bisa menyelesaikan sebuah masalah sosial. Keberadaan LSM bisa sebagai pelengkap dari berbagai pihak yang telah ada sebelumnya. LSM bisa sebagai pelengkap maupun mitra dari pemerintah dalam menangani masalah sosial. Hingga kini keberadaan LSM masih ada guna melaksanakan perannya di masyarakat. Kedua, berkenaan dengan orisinalitas penelitian tentang rumah singgah anak jalanan di Daerah Istimewa Yogyakarta telah banyak dilakukan. Penelitian itu baik dilakukan mahasiswa tingkat strata 1 (S1), mahasiswa tingkat strata 2 (S2) maupun peneliti yang ada di lembaga penelitian. Ada beragam sudut pandang kajian yang dilakukan oleh peneliti misalnya masalah anak jalanan dan kebijakan penanganan masalah anak jalanan. Namun, peneliti melalukan dalam sudut pandang kajian yang berbeda dari penelitian yang sudah ada. Sudut pandang yang peneliti lakukan dalam kajian ini adalah lembaga. Lembaga yang dimaksud adalah lembaga swadaya masyarakat, bukan pemerintah maupun lembaga lainnya. Peneliti ingin mengetahui lembaga tersebut yang berperan dalam menangani masalah anak jalanan. Penelitian yang berfokus pada LSM ini mengkaji tentang lembaga tersebut. Lebih tepatnya mengkaji tentang permasalahan-permasalahan
yang
dihadapi
LSM,
upaya-upaya
lembaga
menyelesaikan masalah tersebut, dan implikasi kemandirian lembaga terhadap fungsi rumah singgah anak jalanan. Penelitian ini dilakukan guna menambah keanekaragaman penelitian tentang anak jalanan dan LSM. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah ada. Ada banyak contoh penelitian tentang rumah singgah. Penelitian tentang rumah
2
singgah pernah dilakukan oleh Saiful Rahman Pasaribu, mahasiswa Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan angkatan 2009 Universitas Gadjah Mada. Penelitian itu dilakukan sebagai tugas akhir yaitu skripsi dengan judul “Implementasi Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) untuk Kemandirian Anak Jalanan di Rumah Singgah Anak Mandiri Umbulharjo, Yogyakarta”. Namun, inti penelitian tersebut terletak pada Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) yang terimplementasi dalam bentuk program pemberdayaan anak jalanan seperti pendidikan formal dan non-formal, kursus keterampilan, pemberian modal usaha, rujukan ke panti, dan reunifikasi. Penelitian tentang rumah singgah juga pernah dilakukan oleh Eko Darmanto pada tahun 2007 mahasiswa Program Studi Sosiologi Universitas Gadjah Mada. Penelitian yang dilakukan untuk tugas akhir tesis dengan judul “Perlindungan Anak Jalanan di Rumah Singgah Yogyakarta”. Berdasarkan hasil tesis tersebut dijelaskan bahwa upaya rumah singgah melakukan perlindungan anak jalanan melalui program penjangkauan, penyedian rumah, resosialisasi, pengupayaan pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Ada juga sebuah tesis yang berjudul “Model Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah di Kota Yogyakarta: Studi penelitian di wilayah Pemerintahan Kota Yogyakarta”. Tesis tersebut hasil karya Stepanus Wakur Program Studi Sosiologi Universitas Gadjah Mada tahun 2009. Penelitian tersebut menekankan dalam hal model-model pembinaan yang dilakukan di rumah singgah. Ketiga, berkenaan relevansi dengan keilmuan pembangunan sosial dan kesejahteraan. Masalah sosial anak adalah bagian dalam kajian keilmuan
3
pembangunan sosial dan kesejahteraan. Anak jalanan tergolong ke dalam masalah sosial khususnya dalam masalah sosial anak. Anak-anak yang menjadi anak jalanan sebenarnya akan mengalami kerugian dalam hidupnya. Mereka akan kehilangan hak-hak dan kebutuhan hidupnya. Secara tidak langsung kesejahteraan anak terabaikan atau tidak tercipta. Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pada pasal 2 menyebutkan hak anak diantaranya: pertama, anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Kedua, anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna. Ketiga, anak berhak atas pemeliharaan dan perlidungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Keempat, anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Salah satu upaya penyelesaian masalah anak jalanan dapat dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat. Upaya pemberdayaan masyarakat tersebut dapat dilakukan oleh berbagai pihak. Ada tiga pihak yaitu negara, dunia usaha (swasta), dan masyarakat (civil society). Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji salah satu dari tiga pihak yang berkepentingan tersebut yaitu masyarakat (civil society). Masyarakat (civil society) yang menjadi kajian peneliti adalah lembaga sosial masyarakat (LSM). LSM merupakan salah satu pihak yang berperan mengatasi masalah sosial yang ada dengan strategi pendekatannya.
4
B. Latar Belakang Kehadiran lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau istilah lainnya organisasi sosial (orsos) tidak terlepas dari munculnya fenomena masalah sosial.1 Begitu pula dengan fenomena masalah sosial anak. Masalah sosial anak yang kompleks
dan
semakin
sulit
untuk
diselesaikan
mengakibatkan
LSM
berpartisipasi menyelesaikan masalah tersebut. Bagi LSM tidak mampu menyelesaikan secara tuntas, minimal mampu mengurangi jumlah penderita masalah tersebut. Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki lima kota/kabupaten dengan jumlah LSM yang berbeda-beda. Hal tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Jumlah Organisasi Sosial di Daerah Istimewa Yogyakarta 2008-2012
Tahun 2012 2011 2010 2009 2008
Kulon Progo 48 47 43 40 40
Bantul 70 64 63 57 57
Gunungkidul 36 37 36 29 29
Sleman 99 102 84 67 67
Yogyakarta 100 95 90 80 80
Sumber: Dinas Sosial DIY
Berdasarkan tabel di atas, masing-masing jumlah LSM selalu mengalami kenaikkan dari tahun 2008-2011. Namun, ada dua kabupaten/kota yang mengalami penurunan jumlah LSM pada tahun 2012, yaitu Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Sleman. Kabupaten Gunungkidul berkurang 1 LSM, sedangkan Kabupaten Sleman berkurang 3 LSM. Jumlah LSM selalu mengalami
1
Pada dasarnya antara LSM dan Orsos merupakan lembaga/organisasi dari masyarakat. Beberapa referensi menunjukkan istilah/konsep LSM banyak digunakan oleh masyarakat pada umumnya (akademisi, jurnalis, dan masyarakat awam). Lihat Fakih Mansour “Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial Pergolakan Ideologi LSM Indonesia” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal.3). lstilah Orsos secara khusus digunakan oleh pemerintah (negara) seperti halnya dalam menunjukkan data jumlah organisasi sosial, buku, atau laporan-laporan dari pemerintah. Penulis dalam penelitian ini menggunakan istilah LSM.
5
peningkatan kecuali pada tahun 2012. Setiap LSM tersebut memiliki program penanganan masalah sosial masing-masing. Ada LSM yang bergerak pada pemberdayaan masyarakat miskin, masalah lansia, kesehatan, pendidikan, penyandang disabilitas, gelandangan dan pengemis, waria, penderita narkoba dan masalah anak. Masalah anak tersebut misalnya mencakup anak jalanan, anak terlantar dan anak yatim piatu. Tabel 2. Daftar Rumah Singgah di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2015
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Nama Rumah Singgah Girli Tabernakel Pambudi I Pambudi II Girlan Nusantara Diponegoro Ahmad Dahlan Hafara Tunas Mataram Anak Mandiri I Anak Mandiri II Ceria Al Ghifari I Al Ghifari II
Tahun Berdiri 1990 2000 2000 2000 1993 1999 2000 2006 2001 1997 1997 2001 1999 1999
Status Tidak aktif (2011) Tidak aktif (2006) Tidak aktif (2010) Tidak aktif (2010) Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif Tidak aktif (2006) Tidak aktif (2007) Tidak aktif (2011) Tidak aktif (2011)
Sumber: Data diolah dari wawancara pimpinan Rumah Singgah Girlan Nusantara dan pemerintah Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman
Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman menyebutkan bahwa pada tahun 2012 ada 99 LSM di Kabupaten Sleman, tetapi hanya ada 4 LSM yang fokus pada penanganan anak jalanan. Empat LSM tersebut adalah Persatuan EBEN EZER, Rumah Anak Indonesia, Rumah Singgah Diponegoro, dan Rumah Singgah Girlan Nusantara. Namun, hanya ada 2 LSM yang berbentuk rumah singgah di Kabupaten Sleman. Berdasarkan tabel di atas juga, sebelumnya ada 6
6
rumah singgah yang aktif di Kabupaten Sleman, tetapi kini hanya ada 2 rumah singgah yang aktif. Tabel 3. Data Jumlah Anak Jalanan di Kabupaten Sleman Berdasarkan Tahun
Tahun
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
2011
68
19
87
2012
57
16
73
2013
52
15
67
2014
37
17
54
Sumber: Data diolah dari Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Jumlah rumah singgah merosot dan kini hanya ada 2 rumah singgah di Kabupaten Sleman. Padahal, anak-anak jalanan masih bertebaran di wilayah Kabupaten Sleman. Biasanya anak jalanan berada pada perempatan-perempatan jalan untuk mengamen atau mengemis atau juga di daerah keramaian seperti Seturan. Berdasarkan tabel di atas, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman menyebutkan jumlah anak jalanan mengalami penurunan sejak tahun 2011 dan pada tahun 2014 berjumlah sebanyak 54 orang. Jumlah anak jalanan tersebut merupakan jumlah yang masih relatif banyak. Sejak merebaknya fenomena anak jalanan di Yogyakarta, maka bermunculan rumah singgah anak jalanan. Jumlah rumah singgah semakin sedikit saat ini. Ada faktor penyebab menurunnya jumlah rumah singgah seperti berkurangnya bahkan berhentinnya pemberian bantuan dari donatur (Maruli, 2010). Walaupun jumlahnya menurun, rumah singgah tetap dipandang sebagai salah satu stakeholder yang mampu berperan mengatasi masalah anak jalanan. Maka dari itu, keberadaannya menjadi penting karena permasalahan anak jalanan saat ini masih belum selesai. Suyatna (2011: 42) menyatakan rumah singgah itu
7
penting karena mampu berperan menangani masalah anak jalanan. Rumah singgah mampu menjalankan perannya dengan menjalani fungsinya. Suyatna menyebutkan ada 3 fungsi rumah singgah yaitu sebagai tempat aman bagi anak jalanan dari tindak kekerasan, sebagai tempat rehabilitasi, dan sebagai tempat akses pelayanan. Fungsi rumah singgah tersebut dapat berjalan efektif, jika rumah singgah didukung oleh organisasi yang mandiri. Maka dari itu, diperlukan rumah singgah yang memiliki keswadayaan/kemandirian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mandiri adalah keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Kemandirian adalah hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain.2 Kemandirian rumah singgah berarti upaya sendiri yang dilakukan rumah singgah dalam menjalankan fungsinya tanpa bantuan orang lain. LSM sebagai salah satu bentuk dari organisasi non-profit mengedepankan perannya mengatasi masalah anak jalanan. Hal itu berbeda dengan LSM yang orientasinya profit, kegiatan utama mengumpulkan uang untuk kepentingan pribadi atau sekelompok orang. Pembentukan LSM dilakukan oleh masyarakat yang bersifat mandiri yaitu “orang-orang yang tidak menggantungkan diri pada pemerintah/negara, terutama dalam dukungan finansial dan sarana/prasaranana” (Gaffar, 2006: 200). Namun, mewujudkan kemandirian itu tidaklah mudah. Rumah singgah dalam perjalanannya mendapatkan berbagai tantangan dan masalah. Masalah dan tantangan yang dihadapi LSM misalnya keterbatasan dana, 2
Definisi tersebut dapat diakses pada situs : http://kbbi.web.id/mandiri
8
keterbatasan sumber daya manusia atau pekerja, dan pelaksanaan program yang kurang optimal. Kartjono (dikutip oleh Suaib, 1997:27-28) menyatakan bahwa LSM masih memiliki kelemahan dalam hal keuangan, SDM, dan manajemen organisasi. Kartjono lebih lanjut menjelaskan “LSM itu kemandiriannya kurang, kurangnya partisipasi, rendahnya taraf hidup, lemahnya sistem komunikasi personal, kurangnya wawasan transformatif, secara umum lemahnya lembaga swadaya masyarakat yang ada”. Keterbatasan dana yang dimiliki rumah singgah menyebabkan eksistensi rumah ringgah terganggu. Rumah singgah seakan-akan tidak ada dana, maka program pun tidak bisa jalan. Pemberian bantuan dari pemerintah yang minim penyebab banyak rumah singgah yang menurun aktivitasnya dan harus menutup kegiatannya. Hal itulah menyebabkan pada tahun 2010 hanya 30-40 persen dari sekitar 500 rumah singgah yang masih eksis di setiap provinsinya (Suyatna, 2011:43). Hal serupa dapat dilihat pada Rumah Singgah Tabayun yang dikelola oleh Yayasan Nurul Taubat di Bogor. Pengurus rumah singgah yang memiliki rasa kepedulian terhadap masalah anak jalanan akhirnya tidak mampu kembali melakukan kegiatannya karena keterbatasan dana. Pengurus rumah singgah hanya mengandalkan bantuan pemerintah pusat dan Provinsi Jawa Barat. Pemerintah daerah Kabupaten Bogor selama ini belum pernah memberikan bantuan. Anakanak jalanan binaan Rumah Singgah Tabayun hanya mendapat bantuan dari pemerintah pusat melalui program kesejahteraan sosial anak (PKSA) sebesar Rp 1,5 juta per tahun. Uang sebesar itu dirasa tidaklah cukup, padahal kegiatan yang
9
dilakukan di rumah singgah cukup banyak seperti pembinaan kerohanian, ada juga pelajaran PKBM, paket A paket B serta paket C serta pengembangan bakat dan minat seperti kesenian, olahraga, menggambar dan etika, bahkan pelayanan kesehatan (Ginting, 2013). Rumah singgah yang pendanaannya terbatas memiliki beberapa dampak bagi organisasi. Menurut Suyatna (2011:43) minimnya dana berakibat pada program rumah singgah yang sudah disusun tidak dapat dilaksanakan. Beberapa rumah singgah akhirnya mencari sponsorship dari para donatur. Namun, kegiatan tersebut berdampak pada pengurus rumah singgah berfokus mencari dana, mengesampingkan fungsi substansial rumah singgah dalam menangani anak jalanan. Rumah singgah merupakan salah satu contoh bentuk “LSM”, dari kepanjangan nama tersebut terdapat kata “swadaya”. Kata swadaya melekat pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berarti bertumpu pada kekuatan sendiri (Supriyanto, 1995). LSM harusnya mampu mandiri, seperti yang diungkapkan oleh Suaib bahwa keberadaan LSM itu seharusnya tidak bergantung pada pemberian bantuan dari luar (Suaib, 1997:26). Namun, adanya keterbatasan dana dan SDM yang dimiliki rumah singgah sehingga membutuhkan orang/organisasi lain agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Pencarian dana (fundraising) dan pengembangan kapasitas organisasi adalah langkah yang dilakukan rumah singgah pada umumnya untuk menutupi permasalahanpermasalahannya.
10
Pencarian dana (fundraising) dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan dana bagi LSM. Dana itu penting dimiliki karena sebagai faktor pendukung berjalannya kegiatan-kegiatan lembaga. Menurut Juwaini (dikutip oleh Syaputra, 2012) ketersediaan dana yang cukup merupakan pendukung bertahannya LSM dalam membiayai kegiatan lembaga. Ada LSM yang memiliki dana cukup karena persiapan sejak awal yang baik. Ada juga LSM yang dana awalnya sangat minim. Selain itu, ada LSM yang bermodal semangat melakukan penanganan masalah sosial, tanpa ada dana awal. Penyelesaian
masalah
selanjutnya
dengan
peningkatan
kapasitas
organisasi. Permasalahan yang berkaitan dengan sumber daya manusia dan kepengurusan dapat dibenahi dengan peningkatan kapasitas organisasi. LSM dapat menyelesaikan masalah-masalahnya dengan fundraising dan peningkatan kapasitas organisasi. Namun, cara yang dilakukan tersebut belum tentu sepenuhnya masalah yang ada dapat terselesaikan. Di sisi lain, kemandirian rumah singgah belum tentu terwujud jika pun masalah-masalah yang dihadapi dapat terselesaikan. Rumah singgah yang mandiri tentu dambaan bagi semua orang. Tetapi, ada beberapa hal yang bisa mendukung terwujudnya kemandirian rumah singgah. Kemandirian tersebut dapat terwujud tentu membutuhkan waktu, proses dan membutuhkan manajemen organisasi yang baik. Kemandirian dapat terwujud membutuhkan waktu dan proses yang tidak sebentar. Terwujudnya kemandirian dengan arti lain tidak bisa seperti membalikkan kedua telapak tangan. Ada rumah singgah yang mungkin dalam waktu 5 tahun, 10 tahun, atau 15 tahun dapat
11
mandiri. Selain itu, manajemen organisasi sebagai sebuah sistem yang baik berperan dalam mewujudkan kemandirian dalam rentang waktu tersebut. Salah satu rumah singgah di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta yang sedang menuju mandiri atau meningkatkan kemandirian adalah Rumah Singgah Girlan Nusantara. Rumah Singgah Girlan Nusantara sejak awal berdirinya tahun 1993 hingga sekarang memiliki perhatian pada masalah anak jalanan. Rumah Singgah Girlan Nusantara awalnya hanya mengalihkan perhatian agar anak-anak jalanan tidak tidur di jalanan. Rumah Singgah Girlan Nusantara kemudian berlanjut ke program-program pendidikan, kesehatan, pengembangan seni, dan pemberdayaan anak jalanan. Selain itu, kini Rumah Singgah Girlan Nusantara adalah mitra pemerintah dalam menangani masalah anak jalanan.
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Apa masalah-masalah yang dihadapi dalam mewujudkan kemandirian Rumah Singgah Girlan Nusantara?
2.
Bagaimana upaya-upaya pengurus dalam mewujudkan kemandirian Rumah Singgah Girlan Nusantara?
3.
Bagaimana implikasi peningkatan kemandirian Rumah Singgah Girlan Nusantara terhadap pelaksanaan fungsi rumah singgah tersebut?
12
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu 1. Tujuan Substansial 1) Mengetahui masalah-masalah yang dihadapi dalam mewujudkan kemandirian Rumah Singgah Girlan Nusantara. 2) Mengetahui upaya-upaya pengurus dalam mewujudkan kemandirian Rumah Singgah Girlan Nusantara. 3) Mengetahui implikasi peningkatan kemandirian Rumah Singgah Girlan Nusantara terhadap pelaksanaan fungsi rumah singgah tersebut.
2. Tujuan Operasional 1) Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi syarat pencapaian gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM. 2) Mampu
memberikan
mengembangkan
kontribusi
keilmuan
di
pengetahuan
Jurusan
dalam
Pembangunan
rangka
Sosial
dan
Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada. 3) Mampu memberikan kontribusi pengetahuan tentang kelembagaan secara khusus peningkatan kemandirian rumah singgah anak jalanan bagi LSM dan pemerintah di Daerah Istimewah Yogyakarta. 4) Sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak yang akan melakukan penelitian selanjutnya.
13
3. Manfaat Penelitian Ada pun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pengetahuan dalam rangka mengembangkan keilmuan di Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada. 2) Penelitian ini diharapkan mampu dijadikan referensi bagi pihak yang akan melakukan penelitian selanjutnya. 3) Penelitian ini diharapkan mampu dijadikan sumber pengetahuan bagi LSM dan pemerintahan di Daerah Istimewah Yogyakarta.
E. Tinjauan Pustaka 1. Masalah Sosial Anak Masalah sosial tidak hanya terjadi pada sekelompok masyarakat atau keluarga yang identik dengan orang dewasa. Masalah sosial juga dapat terjadi pada anak-anak sehingga disebut sebagai masalah sosial anak. Suyanto (2010:4) mengistilahkan masalah sosial anak sebagai anak rawan yaitu anak-anak yang hak-haknya terabaikan karena kondisi, tekanan kultur, dan struktur. Pada orang dewasa masalah sosial yang dihadapi beragam misalnya kemiskinan, lansia dan pengangguran. Begitu juga pada masalah sosial anak ada beragam jenisnya. Ada beragam jenis masalah sosial anak. Suyanto (2010:2) menyebutkan masalah sosial anak diantaranya kekerasan terhadap anak (child abuse), pekerja anak, anak-anak yang dilacurkan, anak jalanan, perdagangan dan penculikan anak, anak putus sekolah dan siswa rawan drop out, serta pengungsi anak.
14
Salah satu bentuk masalah sosial anak adalah anak jalanan. Anak jalanan menjadi suatu masalah karena hak-haknya sebagai anak tidak dapat terpenuhi dengan baik. Ketika anak-anak seumurnya dapat merasakan dunia pendidikan, anak jalanan waktunya dihabiskan di jalanan. Anak-anak seumurnya dapat makan sehari-hari lima sehat empat sempurna di rumah, anak jalanan harus berusaha mencari uang agar dapat makan. Anak-anak yang lain dapat kasih sayang dan tidur yang nyenyak di rumah, anak jalanan tidur seadanya di pinggiran jalan dan jauh dari kasih sayang orang tua. Ada berbagai definisi untuk menjelaskan tentang anak jalanan. Menurut Suyanto (2010:185) anak jalanan adalah anak-anak yang tersisih, marginal, dan teralienasi dari kasih sayang orang tua dan menjalani kehidupan di kota. Menurut Mulandar (dikutip oleh Suyanto, 2010) anak jalanan adalah anak-anak marginal di perkotaan yang mengalami proses dehumanisasi. Marginal menjadi kata kunci dalam definisi anak jalanan di atas. Anak jalanan merupakan bagian dari komunitas kota. Anak jalanan adalah anak laki-laki maupun perempuan yang waktunya dihabiskan dengan melakukan kegiatan di kota dan menjadikan kehidupan kota sebagi tumpuan hidup (Anasiru, 2011:177; Suharto, 2011: 231). Kushartati (2004:46) mendefinisikan anak jalanan adalah seseorang berumur di bawah 18 tahun yang melakukan kegiatan di jalanan untuk tempat mempertahankan hidup. Anak jalanan yang tersebar di kehidupan kota merupakan kelompok yang heterogen. Anak jalanan dapat dibedakan atas hubungannya dengan orang tua, waktu dan jenis kegiatannya di jalanan. Suyanto (2010:186) membedakan anak
15
jalanan menjadi tiga kelompok. Pertama, children on the street yaitu anak-anak yang melakukan kegiatan di jalan dan hubungan dengan orang tua masih kuat. Sebagian penghasilan anak jalanan tersebut diberikan kepada orang tua. Kedua, children of the street yaitu anak-anak yang secara penuh berada di jalanan. Anak dan orang tua hubungan masih ada, tetapi pertemuannya tidak sering. Ketiga, children from families of the street yaitu anak-anak yang hidup di jalan karena keluarganya juga hidup di jalanan. Anak-anak ini hubungan dengan keluarga kuat karena bersama keluarganya ikut hidup berpindah-pindah tempat. Anak jalanan tidak akan terlepas dari masalah yang dihadapinya. Berbagai macam masalah anak jalanan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4. Masalah yang Dihadapi Anak Jalanan
Aspek
Permasalahan yang Dihadapi
Pendidikan
Sebagian besar putus sekolah karena waktunya dihabiskan di jalan.
Kekerasan fisik
Menjadi sasaran tindak kekerasan anak jalanan yang lebih dewasa, kelompok lain, petugas dan razia.
Penggunaan obat-obatan terlarang
Menghirup lem, minuman keras, narkoba dan sejenisnya.
Kesehatan
Rentan penyakit kulit, PMS (penyakit menular seksual), gonorhoe, paru-paru.
Tempat tinggal
Umumnya di sembarang tempat, di gubukgubuk, atau di pemukiman kumuh.
Pekerjaan
Tertabrak kendaraan.
Hubungan dengan keluarga
Umumnya renggang atau sama sekali tidak ada hubungan.
Makanan
Seadanya, kadang mengais dari sampah atau beli.
Sumber: Hadi Utomo, 1997 (dikutip oleh Bagong Suyanto, 2010:190)
16
Beragam masalah yang dihadapi anak jalanan di atas perlu upaya penyelesaian. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan penanganan anak jalanan. Menurut Suharto (2011: 233) ada beberapa pendekatan yang biasa dilakukan
oleh
stakeholder.
Pertama,
street-centered
intervention
yaitu
penanganan yang yang dilakukan di tempat kegiatan anak-anak jalanan. Kedua, family-centered intervention yaitu penanganan anak jalanan yang dilakukan dengan pemberian bantuan atau pemberdayaan keluarga agar anak-anak tidak menjadi
anak
jalanan.
Ketiga,
institutional-centered
intervention
yaitu
penanganan yang dipusatkan di lembaga baik secara sementara maupun permanen. Pendekatan ini sebagai contohnya tempat berlindung sementara (drop in), rumah singgah (open house). Keempat, community-centered intervention yaitu penanganan anak jalanan yang dilakukan di sebuah komunitas (masyarakat). Pendekatan dapat dilakukan melalui program community development untuk memberdayakan masyarakat atau penguatan kapasitas lembaga sosial di masyarakat.
2. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) LSM yang dalam operasionalnya dijalankan dengan cara organisasi. Sebuah organisasi di dalamnya terdapat orang-orang, unsur kerja sama, dan tujuan. Faktor tersebut tidak dapat berdiri sendiri atau berjalan sendiri, tetapi satu dengan yang lainnya saling berkaitan yang membentuk sebuah sistem. Maka dari itu, organisasi merupakan sebuah sistem. Sutarto (2006:40) mendefinisikan organisasi adalah sebuah sistem kerja sama yang dilakukan orang-orang dalam kelompok untuk mencapai tujuan. Organisasi sebagai sebuah sistem jika berjalan 17
dengan baik dapat mencapai tujuan-tujuannya bahkan mencapai kemandirian organisasi.
Kemandirian
organisasi
dipengaruhi
sistem
organisasi
yang
menjalankannya, artinya orang-orang yang berada dalam struktur organisasi memiliki peran untuk mencapai kemandirian organisasi. Organisasi berbentuk LSM partisipasinya muncul sekitar tahun 1970-an pada masa pemerintahan Soeharto. Pada saat itu pemerintahan Soeharto sedang melakukan pembangunan. Pembangunan membutuhkan biaya yang sangat besar. Negara sendiri tidak mampu sepenuhnya membiayai pembangunan. Disini peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi melakukan pembangunan. Seiring waktu pertumbuhan LSM semakin meningkat dan pemerintah kewalahan mengawasinya sehingga muncul kebijakan pemerintahan Soeharto yang mengontrol aktivitas LSM (Antlov, Ibrahim & Tuijl, 2009: 226-227). Ada dua bentuk badan hukum untuk organisasi seperti LSM yaitu yayasan dan perkumpulan. Yayasan dibentuk dari inisiatif para pendirinya yang mendapatkan Akte Notaris dari sebuah pengadilan. Yayasan tidak memiliki status keanggotaan. Perkumpulan dibentuk oleh sejumlah orang guna memenuhi kepentingan anggotanya maupun kepentingan publik. Perkumpulan memiliki status keanggotaan (Antlov, Ibrahim & Tuijl, 2009: 232-233). Ada beragam LSM yang berkembang saat ini. Ada LSM yang fokus pada Hak Asasi Manusia (HAM), ada yang fokus pada pemeliharaan lingkungan hidup, ada juga LSM yang bergerak bidang hukum (Antlov, Ibrahim & Tuijl, 2009: 228). Namun, ada juga LSM bergerak pada penanganan masalah sosial anak yaitu anak jalanan yang bernaung di rumah singgah. Rumah singgah sebagai wadah aktivitas-
18
aktivitas pengelolanya yang terorganisasi untuk membantu menyelesaikan masalah anak jalanan. Dengan demikian, rumah singgah beserta pengelolalnya merupakan bagian dari LSM yang berbentuk yayasan atau perkumpulan. Definisi rumah singgah secara terminologi, rumah berarti bangunan untuk tempat tinggal, sedangkan singgah adalah mampir atau berhenti sebentar di suatu tempat ketika dalam perjalanan3. Memahami dua defisini tersebut dapat disimpulkan rumah singgah adalah suatu bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal sementara ketika dalam perjalanan. Departemen Sosial RI tahun 2000 (dikutip oleh Nur, 2014:12) mendefinisikan rumah singgah sebagai suatu tempat perantara bagi anak jalanan dan pihak yang mau membantu. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial pada pasal 46 definisi rumah singgah mengacu pada sebagai suatu tempat tinggal sementara bagi penerima pelayanan yang dipersiapkan untuk pelayanan lebih lanjut. Menurut Departemen Sosial RI tahun 1999 (dikutip oleh Nur, 2014:12) rumah singgah merupakan tempat pertama seorang anak jalanan sebelum mendapatkan palayanan selanjutnya. Rumah singgah sebagai salah satu LSM tentu memiliki fungsi. Departemen Sosial RI tahun 1999 (dikutip oleh Nur, 2014:14-15) menjelaskan bahwa rumah singgah didirikan mempunyai beberapa fungsi. Fungsi rumah singgah dapat sebagai tempat mengkaji masalah dan kebutuhan bagi anak jalanan. Rumah singgah dapat sebagai pusat informasi dan media perantara dengan
3
Definisi tersebut dapat dilihat pada KKBI Offline dengan kata kunci rumah dan singgah
19
keluarga, panti, dan lembaga lainnya. Rumah singgah dapat juga sebagai tempat perlindungan bagi anak jalanan dari kekerasan/penyalahgunaan seks, ekonomi, dan bentuk lainnya yang terjadi di jalanan. Selain itu, rumah singgah dapat berfungsi sebagai tempat mengakses berbagai pelayanan. Rumah singgah juga berfungsi sebagai tempat mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial anak serta mengupayakan resosialisasi anak jalanan. Rumah singgah tidak hanya memiliki fungsi, tetapi keberadaanya memiliki tujuan. Badan Kesejahteraan Sosial Nasional tahun 2000 (dikutip oleh Nur, 2014:12) menyebutkan ada dua tujuan rumah singgah yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum rumah singgah adalah membantu anak jalanan menyelesaikan masalahnya dan mencari cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tujuan khusus rumah singgah adalah memperbaiki sikap dan perilaku anak jalanan seperti pada manusia umumnya. Selain itu, mengupayakan anakanak kembali ke keluarganya atau ke panti dan lembaga lainnya. Tujuan khusus terakhir adalah memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga masyarakat yang produktif.
3. Kemandirian Organisasi Marten (dikutip oleh Wicaksono, 2006) mengartikan LSM adalah organisasi yang independen dan bermasyarakat. LSM melakukan aktivitasnya tidak jauh dari unsur-unsur organisasi seperti kepemimpinan, pembagian kerja, adanya visi misi, dan tujuan. Hal tersebut mendukung keberadaam LSM sebagai sebuah organisasi. 20
Seiring tumbuh dan berkembangnya, organisasi diharapkan dapat mencapai pada kemandirian organisasi. Ada beberapa penjelasan tentang kemandirian organisasi. Sulaeman (2008:2) menjelaskan bahwa suatu organisasi yang sudah mempunyai orientasi nilai, peran, dan tugas yang jelas seharusnya sudah mencapai pada mandiri. Selain itu, ciri-ciri lain organisasi mandiri jika adanya sikap independen dan bebas dari berbagai kekuatan yang mengganggu kemandirian. Menurut Cannon (2004:8) organisasi-organisasi yang mandiri memiliki beberapa ciri. Organisasi yang mandiri memiliki misi yang jelas dan arah yang strategis. Adanya kepemimpinan, manajemen
yang kuat, menarik dan
mempertahankan staff yang memenuhi syarat serta adanya dukungan dan keterlibatan pengurus organisasi. Selain itu, adanya keterampilan untuk menarik sumber daya dari sumber lokal, nasional, dan internasional dan cara mengelolanya secara efisien untuk mendapatkan manfaat maksimum bagi masyarakat. Organisasi mandiri mampu untuk cepat membaca lingkungan, menyesuaikan diri dengannya, dan meraih peluang-peluang yang ditawarkan. Hal lainnya, keterampilan mengkomunikasikan dampak manfaat keberadaanya demi manggali sumber daya lanjutan. Beberapa kriteria yang digunakan untuk melihat kemandirian suatu lembaga diantaranya pertama adanya kepemimpinan. Kedua, manajemen organisasi yang baik. Ketiga, adanya kemampuan menarik dan mempertahankan staff. Keempat, adanya kemampuan menarik sumber daya dan mengelolanya.
21
Kelima, adanya independensi lembaga. Namun, tentu sebuah lembaga membutuhkan waktu dan proses agar kriteria tersebut dapat tercapai. Kemandirian organisasi tidak dapat dengan sendirinya tercapai. Mencapai kemandirian organisasi diperlukan suatu proses dan upaya. Salah satu upaya yang bisa dilakukan dengan fundraising (penggalangan sumber daya). Juwaini (dikutip oleh Syaputra, 2012) mengartikan fundraising sebagai upaya menghimpun dana dan sumber daya lainnya dari masyarakat (baik individu, kelompok, organisasi, perusahaan ataupun pemerintah) yang dimanfaatkan untuk kelangsungan kegiatan organisasi. Menurut Norton (dikutip oleh Kalida, 2004:152) fundraising adalah suatu cara dengan menawarkan program unggulan atau kualitas kinerja lembaga agar donatur menyalurkan dana, sumber daya non-dana, simpati atau dukungan. Berdasarkan definisi di atas, inti fundraising adalah menghimpun dukungan masyarakat (dana maupun non-dana) untuk membiayai kegiatan organisasi. Fundraising memiliki beberapa tujuan pokok. Juwaini (dikutip oleh Syaputra, 2012) menyebutkan ada lima tujuan pokok fundraising, yaitu menghimpun
dana,
menghimpun
donatur,
menghimpun
simpatisan
dan
pendukung, membangun citra lembaga, dan memuaskan donatur. Selain itu, kegiatan fundraising dengan menghimpun dana dan sumber daya lainnya penting bagi sebuah organisasi. Norton (dikutip oleh
Kalida, 2004:152) menjelaskan
pentingnya fundraising. Fundraising penting karena dana tersebut digunakan untuk mendanai kegiatan lembaga dan pengembangan organisasi dan programnya. Norton (dikutip oleh pentingnya
fundraising
untuk
Kalida, 2004:152) lebih lanjut menjelaskan mendapatkan
dukungan
masyarakat
dan
22
mengurangi hidup tergantung. Para penggalang sumber daya dapat melakukan tidak pada satu donatur, tetapi kepada banyak donatur untuk mendapatkan sumber daya dana dan sumber daya non-dana. Selain itu, pentingnya fundraising untuk menciptakan organisasi yang kuat dan mempunyai posisi tawar. Hal itu dapat dilakukan dengan menciptakan jaringan, mendapatkan donatur yang besar dan aktif, mencari mitra kerjasama dalam periode yang lama. Fundraising dapat dilakukan dengan beberapa metode. Saidi (dikutip oleh Huda, 2011:166) menyebutkan ada dua metode fundraising yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu langsung (direct fundraising) dan tidak langsung (indirect fundraising). Pertama, metode fundraising langsung yaitu salah satu teknik penggalangan dengan melibatkan partisipasi donatur secara langsung, proses interaksi dan respon donatur bisa saat itu juga dilakukan. Contoh dari metode ini adalah direct mail, direct advertising, telefundraising dan presentasi langsung. Kedua, metode fundraising tidak langsung yaitu suatu teknik penggalangan dengan cara tidak melibatkan partisipasi dan respon donatur secara langsung. Metode ini misalnya dilakukan dengan metode promosi yang mengarah kepada pembentukan citra lembaga yang kuat, tanpa diarahkan untuk transaksi donasi pada saat itu. Contoh dari metode ini adalah advertorial, image compaign dan penyelenggaraan kegiatan, melalui perantara, dan menjalin relasi.
4. Pengembangan Kapasitas Organisasi (Capacity Building Organization) Secara umum konsep capacity building dimaknai sebagai proses membangun kapasitas individu, kelompok atau organisasi. Morrison (dikutip oleh Kamariah, dkk. 2012:21) menjelaskan pengembangan kapasitas organisasi sebagai 23
suatu upaya perubahan multi level mulai dari individu, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi dan sistem-sistem yang memiliki tujuan meningkatkan kemampuan kepekaan individu dan organisasi terhadap perubahan lingkungan. Pengembangan kapasitas memiliki dimensi, fokus, dan tipe kegiatan. Menurut Grindle (dikutip oleh Kamariah, dkk. 2012:11) dimensi, fokus dan tipe kegiatan tersebut ada tiga. Pertama, dimensi pengembangan SDM dengan fokus pegawai yang profesional yang memiliki kemampuan teknis serta tipe kegiatan seperti training, praktek langsung, pengaturan lingkungan kerja, dan rekruitmen yang tepat. Kedua, dimensi penguatan organisasi dengan cara manajemen organisasi untuk meningkatkan keberhasilan peran dan fungsi, serta tipe kegiatan seperti penataan sistem upah, perlengkapan pegawai, kepemimpinan, budaya organisasi, komunikasi, dan struktur manajerial. Ketiga, reformasi kelembagaan dengan fokus perubahan sistem dan institusi-institusi yang ada dengan tipe kegiatan perubahan aturan main dari sistem ekonomi dan politik yang ada, perubahan kebijakan dan aturan hukum. Pengembangan kapasitas organisasi lebih lengkapnya Eade (dikutip oleh Kamariah, dkk. 2012:21) jelaskan, diantaranya: structure (struktur organisasi) yaitu perubahan struktur kelembagaan organisasi, physical resources (sumber daya fisik: sarana dan prasarana) yaitu melalui penggunaan teknologi sebagai sarana dan prasarana dalam menunjang pekerjaan, system (sistem kerja) yaitu melalui perubahan rancangan prosedur kerja, human resources (sumber daya manusia) yaitu melalui peningkatan pegawai secara kualitas maupun kuantitas, dengan cara mengadakan program pendidikan dan pelatihan, financial resources
24
(sumber daya finansial/anggaran) yaitu melalui manajemen keuangan yang baik dan pengalokasiannya, culture (budaya kerja) yaitu penciptaan suasana kerja yang nyaman bagi pegawai agar dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, dan leadership melalui peran pimpinan organisasi dimaksimalkan dalam menjalankan tugas dan fungsinya agar membantu tercapainya tujuan yang telah ditentukan.
5. Kemandirian
Rumah
Singgah
melalui
Upaya
Fundraising
dan
Pengembangan Kapasitas Organisasi dalam Menangani Masalah Sosial Anak Masalah anak jalanan tidak dapat dengan sendirinya dapat terselesaikan. Masalah anak jalanan diantaranya pendidikan, intimidasi, penyalahgunaan obat dan zat adiktif, kesehatan, tempat tinggal, hubungan dengan keluarga, resiko kerja, dan makanan. Menyelesaikan masalah tersebut dibutuhkan peran stakeholder dengan pendeketannya. Suharto menjelaskan (2011:235) bahwa salah satu pendekatan yang bisa digunakan untuk menangani masalah anak jalanan adalah institutional-centered intervention. Pendekatan tersebut menerapkan penanganan anak jalanan di lembaga sebagai contoh rumah singgah. Pengelola rumah singgah dalam operasionalnya dengan menerapkan prinsip organisasi. Hasibuan (1984) menjelaskan bahwa salah satu unsur organisasi adalah adanya tujuan yang hendak dicapai. Tujuan rumah singgah adalah membantu anak jalanan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Selain itu, tujuan rumah singgah bisa tertulis dalam visi misinya.
25
Mencapai tujuan, visi dan misi menangani masalah anak jalanan membutuhkan proses dan waktu. Seiring hal itu, organisasi tersebut akan mengarah
pada
kemandirian
organisasi.
Kemandirian
organisasi
akan
memperjelas visi, misi, dan program yang dilakukan oleh organisasi. Selain itu, kemandirian organisasi meliputi kepemimpinan dan manajemen yang kuat, keterampilan menarik sumber daya, keterampilan mengkomunikasikan dampak manfaat, dan adanya pegawai yang memenuhi syarat. Kemandirian organisasi dapat diupayakan dengan fundraising dan pengembangan kapasitas organisasi. Upaya fundraising yang dilakukan pengurus rumah singgah bertujuan untuk mendukung ketahanan lembaga dari sisi penyedian sumber daya dana dan sumber daya non-dana. Hal itu dapat dilakukan dengan keterampilan menarik sumber daya. Selain itu, kemandirian organisasi dengan pengembangan kapasitas organisasi. Fokus upaya kemandirian ini lebih ke internal lembaga. Grindle (dikutip oleh Kamariah, dkk. 2012:11) menjelaskan pengembangan kapasitas organisasi pada beberapa lingkup seperti SDM dengan cara pelatihan, pengaturan kondisi dan lingkungan kerja, dan rekruitmen yang tepat, penguatan organisasi dengan manajemen yang baik, dan reformasi kelembagaan dengan fokus perubahan sistem dan institusi-institusi yang ada. Jadi, pengembangan kapasitas organisasi membantu mencapai kemandirian organisai. Organisasi yang mandiri akan dapat mencapai tujuan, visi dan misi organisainya sehingga masalah anak jalanan dapat terselesaikan.
26