1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia.
Good governance atau
pemerintahan yang bersih dan penegakan hukum, khususnya di bidang korupsi, adalah agenda demokrasi yang paling dasar untuk mencegah terjadinya triple crisis of governance. Tiga krisis itu adalah kemandekan penegakan hukum, ketidakmampuan pemerintah menjaga perdamaian rakyat atau daerah, serta pertumbuhan ekonomi yang stagnan atau krisis sebagai akibat dari kegagalan kebijakan perekonomian dan rendahnya kapasitas dan integritas birokras pemerintah1. Salah satu faktor penghambat kesejahteraan negara berkembang disinyalir akibat dari praktek korupsi yang eksesif, baik yang melibatkan aparat di sektor publik, maupun melibatkan masyarakat yang lebih luas. Indikasi maraknya praktek korupsi di negara ini dapat terlihat dari tidak kunjung membaiknya angka persepsi korupsi Indonesia. Beberapa
survey
yang
dilakukan
oleh
lembaga
independen
internasional juga mengemukakan hal yang sama, walaupun dengan bahasa, instrumen atau pendekatan yang berbeda. Misalnya hasil studi yang dilakukan Transparency International, menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2006 adalah 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari 163 negara. Sebelumnya, pada tahun 2005 IPK Indonesia adalah 2,2, tahun 2004 1
Tri Agung Kristanto, 2009, Korupsi Kelembagaan Masih Ancaman, Kompas, Jakarta,
hlm. 21
1
2
(2,0) serta tahun 2003 (1,9)2. Sedangkan Pada tahun 2012 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat 118 dunia, lebih lanjut hasil survey Transparancy International menunjukkan skor 32 dari skor tertringgi yaitu 1003. Situasi ini jelas memprihatinkan banyak pihak, serta memunculkan berbagai macam pola reaksi mulai dari penolakan, pembenaran hingga penafsiran/analisis. Oleh karena itu, negara wajib bertanggungjawab untuk menghindarkan masyarakat dari tindak pidana korupsi dan segala akibat yang ditimbulkannya 4. Korupsi bukan lagi sekedar masalah negara berkembang seperti Indonesia, tetapi telah menjadi masalah dunia. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memandang perlu mengadopsi “ United Nations Convention Againts Corruption” (UNCAC) untuk memerangi korupsi di seluruh dunia. Indonesia menjadi salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption5. Beberapa Pengertian Korupsi berdasarkan UNCAC itu antara lain adalah: (a) Penyuapan, janji, tawaran, atau pemberian kepada pejabat publik/swasta,
permintaan
atau
penerimaan
oleh
pejabat
publik/swasta/internasional, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak semestinya untuk pejabat itu sendiri atau orang atau badan lain
2
Kompas, 7 November 2006. Jawa Pos, 30 September 2013. 4 Puraning M. Yanuar, 2007, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, Alumni, Bandung, hlm. 3
21. 5
Tjandra Sridjaja Pradjonggo, 2010, Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi,, Indonesia Lawyer Club, Surabaya , hlm. 2-3.
3
yang ditujukan agar pejabat itu bertindak atau berhenti bertindak dalam pelaksanaan tugas-tugas resmi mereka untuk memperoleh keuntungan dari tindakan tersebut; (b) Penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain oleh pejabat publik/swasta/internasional; (c) Memperkaya diri sendiri dengan tidak sah. Sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam memerangi korupsi, maka Indonesia
perlu
melakukan
harmonisasi
menghilangkan kesenjangan dan perbedaan
perundangan
agar
dapat
substansi yang ada serta
konsistensi penegakan hukum itu sendiri. Upaya penanganan korupsi yang sistematis dan berkelanjutan di beberapa negara tampak begitu kontras dengan realitas yang terjadi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan kasus korupsi di Indonesia masih sangat lambat dan belum mampu membuat jera para koruptor. Walaupun telah terdapat sejumlah lembaga yang memiliki peran dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi, antara lain: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, BPK, serta BPKP dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi. Pentingnya pembentukan lembaga khusus pemberantasan tindak pidana korupsi (spcialized anti-corruption agencies) juga dipersyaratkan dalam ketentuan internasional yakni Pasal 6 Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Menentang Korupsi pada tahun 2003 yang berbunyi sebagai berikut:
4
Article 6 (1) Preventive Anti-Corruption Body or Bodies. “Each State Party shall, in Accordance with the fundamental principles of its legal system, ensure the existence of body or bodies, as appropriate, that prevent corruption by such means as:” ( Setiap negara peserta wajib, sesuai dengan prinsipprinsip dasar dan sistem hukumnya, memastikan keberadaan suatu badan atau badan- badan, sejauh diperlukan, untuk mencegah korupsi dengan cara-cara seperti….. ). Selain itu, dengan dibentuknya lembaga khusus pemberantasan tindak pidana korupsi (spcialized anti-corruption agencies) terdapat beberapa keuntungan, yakni6: 1. A high degree of specialization and expertise can be achieved; 2. A high degree of autonomy can be established to insulate the institution from corruption and other undue influences;The institution will be separate from the agencies and departments that it will be responsible for investigating; 3. A completely new institution enjoys a "fresh start", free from corruption and other problems that may be present in existing institutions, 4. It has greater public credibility, 5. It can be afforded better security protection; 6. It will have greater political, legal and public accountability; 7. There will be greater clarity in the assessment of its progress, successes and failures; and 8. There will be faster action against corruption. Task-specific resources will be used and officials will not be subject to the competing priorities of general law enforcement, audit and similar agencies.
Berdasarkan ketentuan tersebut mengisyaratkan pentingnya lembaga khusus yang memiliki kewenangan untuk memberantas korupsi, bukan hanya di Indonesia, tetapi semua Negara peserta (state party). Namun lemahnya
6
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), 2004 , The Global Programme Against Corruption: Un Anti-Corruption Toolkit, UN. Viena. hlm. 89.
5
institusi penegak hukum menjadi permasalahan tersendiri dalam penanganan tindak pidana korupsi. Kenyataan pahit lainnya adalah kuatnya intervensi dari intstitusi/ lembaga lain atau pihak yang mempunyai kepentingan, khususnya kepentingan hukum yang dialaminya. Akhirnya barter kepentingan pun terjadi antara penegak hukum dengan pihak yang sedang tersangkut kasus hukum. Oleh karena itu, penyelesaian korupsi tidak dapat dilaksanakan hanya dengan menggunakan metode dan lembaga yang konvensional, tetapi harus dengan metode baru dan lembaga baru7. Dengan demikian tidak salah jika masyarakat menjadi tidak percaya terhadap kinerja penegak hukum yang penuh dengan intervensi kepentingan, kurangnya itikad baik dan jauh dari independensi serta keseriusan dalam menangani kasus korupsi. Oleh karena itu untuk menanggulangi lemahnya penegakan hukum, menghindari intervensi dan perebutan kewenangan antara institusi dan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, maka perlu adanya institusi khusus yang mempunyai kewenangan ekstra-khusus memberantas penyakit yang telah lama menggagu stabilitas keuangan bangsa ini. akankah harapan tersebut terwujud
dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan tindak pidana Korupsi (KPK). Secara historikal KPK lahir dari sebuah asumsi bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan tidak berjalan secara efektif. Komisi yang dibentuk khusus untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi ini didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik 7
Romli Atmasasmita, 2002, Korupsi, Good Governance, dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Percetakan Negara RI, Jakarta. hlm. 40.
6
Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tertanggal 27 Desember 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan komisi ini merupakan implementasi dari pasal 43 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi yang selanjutnya disebut KPK merupakan lembaga Superbody yang dibentuk sebagai lembaga independen, transparan dan akuntabel. Profesionalisme, etika berstandar tinggi dan integritas para komisioner dari lembaga tersebut membuat masyarakat percaya kepada lembaga yang berdiri sejak tahun 2003 tersebut.
Keadaan ini
mendorong suatu opini publik untuk mempermanenkan eksistensi KPK. Bahkan beberapa ahli menyarankan agar kedudukan KPK diatur dalam konstitusi seperti negara-negara lain misalnya Afrika Selatan. Namun sampai saat ini keberadaan (eksistensi) KPK masih sebagai lembaga negara yang berbentuk komisi independen sebagaimana dalam penjelasan MK disebutkan bahwa: Komisi Independen yang lahir ini memang merupakan sebuah konsekuensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check and balances untuk kepentingan yang lebih besar8. Di tengah carut marutnya kinerja jajaran kepolisian dan kejaksaan dalam menangani kasus-kasus korupsi, keberadaan (eksistensi) KPK harus tetap dipertahankan. Sebab, menyelamatkan KPK sama artinya dengan
8
Keputusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 005/PUU-I/2003 tentang Perkara Permohonan Pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Terhadap UUD 1945. hlm. 2122.
7
menyelamatkan negara dari kehancuran, oleh karena itu KPK tidak boleh kehabisan semangat (spirit) dan motivasi/ dorongan (stimulant) memberantas korupsi agar tidak berkembang menjadi tindak pidana yang bersifat sistemik 9. Tanpa mengurangi makna dan arti kehadiran KPK dalam sistem penegakan hukum pidana di Indonesia, sebagaimana juga eksistensinya di berbagai negara seperti Thailand, Singapura , Malaysia dan Australia, tentunya KPK perlu mendapat dukungan serta kejelasan eksistensi, mengingat begitu banyak instansi/ lembaga bahkan individu yang berusaha melemahkan lembaga yang dihadirkan untuk memberantas penyakit yang telah mengakar di bangsa ini. Besarnya intervensi yang ditujukan pada KPK menjadi tantangan tersendiri
bagi
komisioner
KPK
dalam
menjalankan
tugas
dan
Kewenangannya. Terkait dengan kewenangan KPK tersebut dalam hal kebijakan mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, akan terbatas pada beberapa hal saja. Ketentuan tersebut dapat dilihat pada pasal 11 Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, menyatakan bahwa tindak pidana korupsi yang masuk dalam kewenangan KPK adalah: a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. Mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
9
James E. Alt and David Dreyer Lassen, 2010 , Enforcement and Public Corruption: Evidence from US States, EPRU Working Paper Series, hlm. 1.
8
Dengan ini KPK dihadirkan hanya menangani kasus korupsi yang memenuhi kriteria tersebut sehingga kewenangannya pun terbatas. Walaupun pada pasal lain di tentukan bahwa KPK dapat mengambil alih perkara yang ditangani aparat penegak hukum lainnya dengan beberapa alasan, salah satunya adalah dengan alasan penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi. Pembatasan seperti ini secara langsung mempersempit dan mengurangi porsi kewenangan KPK sebagai komisi yang dibentuk khusus memberantas korupsi, meskipun dalam hal tertentu KPK bisa saja mengesampingkan beberapa ketentuan tersebut. Namun hal ini tetap saja menjadi kendala tersendiri bagi KPK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Misalnya adanya kewenangan Kejaksaan dan KPK dalam hal melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, maka telah terjadi dualisme penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. padahal dalam ketentuan undang-undang yang memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana adalah jaksa di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia, akan tetapi secara khusus terhadap tindak pidana korupsi, KPK juga diberi wewenang untuk melakukan penuntutan. Hal itu tentunya memberi kesan negatif terkait tidak adanya jaminan kepastian hukum, yang pada akhirnya membuat masyarakat bingung dan tidak percaya lagi kepada hukum dan aparat penegak hukum. Perlu diketahui bahwa salah satu tantangan terbesar penegak hukum adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan publik kepada hukum dan
9
aparat penegak hukum. Salah satu upaya yang harus dilakukan khusunya di bidang peradilan pidana adalah menerapkan konsep sistem peradilan pidana terpadu (Integrated criminal justice system/ ICJS). Namun harus diakui beberapa kelemahan baik pada tataran aturan maupun tataran aplikatif. Dari sisi aturan sistem peradilan pidana terpadu memerlukan keterpaduan, keselarasan dan sinkronisasi. Seperti yang dikemukakan Muladi10 bahwa makna sistem peradilan pidana terpadu (Integrated criminal justice system/ ICJS) adalah sinkronisasi dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam hal, pertama Sinkronisasi Struktural yaitu keserempakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Kedua sinkronisasi Substansial yaitu keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertical horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif. Ketiga, sinkronisasi kultural yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandanganpandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sistem peradilan pidana merupakan suatu sistem peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai dasar dan sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun pelaksanaan pidana. Sebagai suatu sistem, maka peradilan pidana harus mempunyai perangkat struktur atau subsistem yang seharusnya bekerja secara koheren, kordinatif dan terintegrasi. Masuknya KPK kedalam sistem peradilan pidana yang mempunyai kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan memang menjadi 10
hlm. 34.
Rusli Muhammad, 2011, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta,
10
dilema tersendiri. Perlu disadari bahwa pembentukan KPK beranjak dari asumsi bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime)11 yang belum tersentuh dan terselesaikan dengan baik sehingga dibutuhkan lembaga yang luar biasa dengan kewenangan yang luar biasa pula. Di beberapa negara khususnya di Hongkong, patokan dasar pemberantasan korupsi dimulai pada saat pembentukan komisi pemberantasan korupsi, oleh karena itu semua pihak harus berkorban dan dikorbankan, demi kelancaran tugas mulia tersebut. Upaya memasukkan KPK kedalam sistem peradilan pidana dan menjadikan KPK sebagai lembaga tunggal merupakan langkah nyata (konkret) untuk memberantas korupsi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi warga negara yang kurang mampu dan lemah12. Diharapkan dengan masuknya KPK kedalam subsistem peradilan pidana dapat membawa angin segar dan memicu lembaga penegak hukum lainnya (kepolisian dan kejaksan) agar dapat berusaha menjadi lebih baik, sehingga asumsi negatif masyarakat terhadap kedua lembaga tersebut dapat hilang dan Indonesia dapat terbebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme
11
Korupsi adalah kejahatan Transnasional Crime Terhitung Sejak Tanggal 1 Oktober 2003 dimana 107 Negara Peserta Konferensi (State Party) Ad Hoc Committee for the Negotiation of the United Nations Conventions against Corruption, Termasuk Indonesia Telah Menyetujui dan Mengadopsi Convention Against Corruption Yang Telah Diselenggarakan di Wina. Lihat Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi: Aspek Nasional dan Aspek Internasional. Mandar Maju, Bandung, hlm. 5. 12 Eddy. O.S. Hiariej, 2008, Mega Skandal Korupsi di Indoensia, PUKAT Korupsi, Yogyakarta, hlm. 59.
11
sebagaimana yang telah diamanahkan dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Berdasarkan latar belakang tersebut , maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Penguatan Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi Di Indonesia”. B. Rumusan Permasalahan Bertolak dari latar belakang pemikiran di atas, adapun permasalahan penulisan tesis ini adalah: 1. Bagaimana kebijakan strategi yang diperlukan dalam upaya penguatan eksistensi komisi pemberantasan korupsi (KPK) di Indonesia? 2. Bagaimana eksistensi KPK sebagai lembaga penegak hukum dalam konsep sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System)? C. Tujuan Penelitian Penulisan ini pada dasarnya adalah mencoba untuk mengkaji landasan pembentukan dan penguatan eksistensi KPK sebagai lembaga tunggal pemberantasan tindak pidana korupsi. Bertolak dari permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Untuk merumuskan konsep kebijakan strategi penguatan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia. 2. Untuk Memahami eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) di Indonesia.
12
D. Manfaat Penelitian Hasil
penelitian
tentang
Pemberantasan korupsi (KPK)
“Penguatan
Eksistensi
Komisi
Di Indonesia”, ini diharapkan dapat
bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun pembangunan masyarakat luas. Dengan kata lain, penulisan ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan akademik maupun kegunaan praktis. 1. Kegunaan Akademik Penulisan ini diharapkan dapat menambah bahan-bahan informasi kepustakaan dan bahan ajar di bidang hukum pada umumnya, terutama hukum pidana khusus yang berkaitan dengan eksistensi komisi pemberantasan korupsi di Indonesia. 2. Kegunaan Praktis Penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi KPK, peneliti, penggiat anti korupsi dan berbagai pihak yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi perihal strategi yang dilakukan dalam rangka penguatan eksistensi komisi pemberantasan korupsi. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau rekomendasi dalam menetapkan dan merumuskan kebijakan legislasi yang lebih baik lagi sebagai bahan penyempurnaan atau penyusunan kembali sejumlah undang-undang yang berkaitan dengan lembaga atau komisi pemberantasan tindak pidana korupsi.
13
E. Keaslian Penelitian Untuk akurasi data penelitian, terlebih dahulu penulis melakukan penelusuran berbagai hasil penelitian pada perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Hasil penelusuran tersebut peneliti tidak menemukan fokus permasalahan penelitian yang sama dengan penelitian yang akan dikaji. Tidak begitu banyak penulisan yang mengkaji mengenai eksistensi lembaga KPK. Namun, ditemukan beberapa penelitian yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang dikaji oleh peneliti, yakni: 1. Tesis tentang Dualisme penuntutan Tindak Pidana Korupsi Antara
Kejaksaan dan Komisi Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi 13. Fokus permasalahan dalam tesis ini yaitu. a. Bagaimana dualisme penuntutan tindak pidana korupsi antara Kejaksaan dan komisi pemberantasan tindak pidana korupsi dalam perspektif penegakan hukum pidana? b. Bagaimana seharusnya pengaturan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi di masa mendatang? Berdasarkan penelitian diperoleh kesimpulan yaitu: a. Keberadaan Kejaksaan yang lebih dulu memiliki kewenangan dalam hal penuntutan tindak pidana korupsi, kemudian munculnya KPK sebagai lembaga baru yang mempunyai peran yang sama dengan Kejakasaan di dalam hal melakukan 13
Yuhermansyah, Tesis, 2010, Dualisme penuntutan Tindak Pidana Korupsi Antara Kejaksaan dan Komisi Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
14
penuntutan tindak pidana korupsi bukanlah suatu kesalahan. Apabila dilihat dalam regulasi peraturan perundang-undangan masing-masing lembaga akan terlihat tugas dan wewenang masing-masing lembaga terhadap penangan tindak pidana korupsi. b. Keberadaan KPK mesti dipertahankan dengan segala tugas dan wewenang yang dimilikinya khususnya dalam hal penuntutan tindak pidana korupsi. Dengan pertimbangan efisiensi lembaga dan efisiensi keuangan negara.
Upaya penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi melalui mekanisme penegakan hukum pidana yang ada secara faktual belumlah mencapai hasil yang diharapkan. Oleh karena itu dibutuhkan penegakan hukum yang lebih memadai dan sarana prasarana yang mendukung lainnya. 2. Tesis dengan Judul Rekayasa Pengumpulan Barang Bukti Tindak
Pidana
Korupsi
“Studi
Kasus
Putusan
Nomor:
179/Pid.B/2009/PN.WT”14. Masalah yang diteliti dalam tesis ini adalah: a. Bagaimana rekayasa pengumpulan barang bukti tindak pidana korupsi terjadi?
14
Baryanto, Tesis, 2011, Rekayasa Pengumpulan Barang Bukti Tindak Pidana Korupsi; Studi Kasus Putusan Nomor: 179/Pid.B/2009/PN.WT, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
15
b. Faktor apa saja yang mempengaruhi praktek rekayasa pengumpulan barang bukti pidana korupsi? Adapun kesimpulan tesis ini adalah: a. Perilaku merekayasa pengumpulan barang bukti tindak pidana korupsi telah terjadi pada penegakan hukum di wilayah
hukum
kabupaten
Kulonprogo.
Perilaku
merekayasa barang bukti terjadi dengan modus mengadaadakan barang bukti yang tidak pernah ada. Seperti nilai kerugian Negara dihitung sendiri oleh penuntut umum bukan oleh BPK selaku instansi yang paling berwenang dalam hal perhitungan kerugian Negara. b. Faktor perilaku rekayasa barang bukti tindak pidana korupsi yaitu, faktor pemahaman penyidik yang keliru mengenai
kerugian
negara
kaitannya
dengan
asset
recovery/ pengembalian kerugian negara dan faktor pemahaman landasan filosofis yang keliru terhadap target penanganan tindak pidana korupsi oleh kejaksaan Agung. 3. Tesis tentang Koordinasi Penyidik Dalam Melakukan Penyidikan
Tindak Pidana Korupsi. (Studi Keterkaitan Antara Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “KPK”)15. Fokus permasalahan dalam tesis ini adalah.
15
Aria Juliatman Syamsir , Tesis, 2012, Koordinasi Penyidik Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi ; Studi Keterkaitan Antara Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “KPK”, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
16
a. Bagaimana koordinasi lembaga penegak hukum antara kepolisian, kejaksaan dan KPK dalam hal penangan perkara penyidikan tindak pidana korupsi? b. Faktor apa saja yang menjadi kendala yang dihadapi oleh kepolisian,
kejaksaan
dan
KPK
dalam
melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi? Berdasarkan penelitian kesimpulan tesis ini adalah : a. Sistem koordinasi yang dilakukan kepolisian mmlki semacam kerjasama dengan instansi lain demikian juga dengan kejaksaan dimana setelah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi koordinssi dengan lembaga penegak hukum antara kepolisisan, kejaksaan dan KPK dalam hal penanganan perkara penyidikan tindak pidana korupsi berjalan dengan lancar. Demikian halnya pada lembaga KPK setelah melakukan penyidikan, KPK juga melakukan koordinasi dan fungsi supervisi bahkan dikenal MoU/nota kesepahaman antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. b. Faktor yang menjadi kendala
yang dihadapi oleh
kepolisian, kejaksaan dan KPK, yaitu terutama adanya ketentuan daloam Undang-undang Nomor 31 tahun1999 tentag
pemberantasan
korupsi
yang
memberikan
17
kewenangan penyidikan tidak hanya kepada polri, tetapi juga kejaksaan dan KPK. Dengan demikian, penelitian dengan judul: Urgensi Penguatan Eksistensi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Di Indonesia” dapat
dijamin keasliannya secara akademis. Penulis juga berkeyakinan bahwa permaslahan
yang
akan
dikaji
dalam
penelitian
ini
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akademis. Perbedaan
pokok
penelitian
ini
dengan
beberapa
penelitian
sebelumnya adalah fokus dari penelitian ini yaitu untuk membahas dan mendeskripsikan kondisi komisi pemberantasan korupsi saat ini sekaligus membahas strategi yang diperlukan dalam upaya penguatan eksistensi komisi pemberantasan korupsi (KPK) di Indonesia. Penulisan ini juga nantinya diharapkan dapat menjadi Ius Constituendum terhadap perbaikan lembaga serta instrument hukum pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.