1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam rangka mecapai tujuan pembangunan, adalah penting untuk menanggapi tantangan pembangunan
yang dapat timbul dalam kurun waktu
tertentu secara tepat. Pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang pesat memberi dorongan terhadap penggunaan ruang, dan tanah, serta pola pembangunan yang di lakukan oleh masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa ruang wilayah sebagai tempat atau wadah beraktifitas manusia untuk melakukan kegiatan, patut dijaga, dikelola, dikembangkan dan dilestarikan fungsinya secara berkelanjutan. Pemerintah Kota Denpasar dalam rangka'hal tersebut, secara yuridis telah menyusun Peraturan Daerah (selanjutnya ditulis Perda). Adapun Perda Kota Denpasar tersebut meliputi : Perda Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) serta Perda Kota Denpasar Nomor 6 Tahun 2001 tentang Ijin Bangun-Bangunan. Pada hakikatnya Perda tersebut dimaksudkan untuk melindungi serta menjaga tata ruang secara menyeluruh dan sebagai pedoman bagi Pemerintah Kota Denpasar dalam menyusun Perda tentang tata ruangnya maupun yang berkaitan dengan usaha penataan ruang wilayahnya, seperti Perda tentang Bangun-Bangunan, tentang Larangan Mendirikan Bangun-Bangunan pada Daerah Jalur Hijau.
1
2
Berdasarkan ketentuan tesebut diatas, maka jelaslah bahwa Pemerintah Kota Denpasar mewajibkan kepada setiap orang maupun Badan Hukum yang hendak mendirikan bangun-bangunan untuk mengajukan surat permohonan ijin bangun-bangunan yang terkenal dengan sebutan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Ketentuan ini ditetapkan sebagai langkah untuk terciptanya tertib administrasi dan tertib pembangunan, serta sebagai upaya untuk terciptanya keselamatan bangunan. Pemberian IMB ini akan dapat menciptakan keteraturan terhadap lingkungan serta memberi kepastian terhadap penggunaan tanah untuk bangunan bersangkutan. Denpasar merupakan salah satu kota besar di wilayah Indonesia bagian timur sama dengan kota-kota besar lainnya.Pembangunan terjadi di mana-mana. Pembangunan pemukiman, pusat-pusat perbelenjaan, ruko-ruko, hotel, restaurant dan lain-lain tumbuh subur, bangunan ini berdiri kokoh, megah dan terkesan berdesak-berdesakan atau padat. Salah satu cara pemerintah dapat mengontrol atau memantau perekembangan pembangunan Kota Denpasar, maka bagi setiap pembangun diharuskan untuk mengantongi perijinan terlebih dahulu, yaitu Ijin Mendirikan Bangunan. Penerbitan perijinan, Ijin Mendirikan Bangunan diperlukan guna mengatur pola pembangunan, menjaga dan meminimalkan kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap Ijin Mendirikan Bangunan yang di lakukan baik oleh orang pererongan atau badan hukum. Pelanggaran dapat berupa bermacam-macam hal baik pelanggaran dari segi tata ruang, pelanggaran fungsi bangunan, dan juga banyak bangunan yang didirikan tingginya melebihi peraturan yang ada, dan
3
banyak bangunan yang didirikan tidak ada unsur budaya bali, atau bahkan bangunan yang didirikan tanpa mengantongi Ijin Mendirikan Bangunan terlebih dahulu dan pelanggaran lain-lain. Pada dasarnya penerbitan Ijin Mendirikan Bangunan tentunya telah melalui proses permohonan yang sesuai dengan prosedur yang telah di tetapkan tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak sekali terjadi pelanggaran-pelanggaran akibat minimnya kesadaran dari berbagai pihak, khususnya pemohon (orang perorangan atan badan hukum). Pendirian bangunan baik untuk fungsi hunian ataupun lainnya cenderung terkesan tidak memperhatikan lingkungan sekitar atau sering disebut dengan pola pembangunan berwawasan lingkungan, sehingga banyak terjadi bentuk pelanggaran yang terjadi di Kota Denpasar. Pendirian bangunan dilakukan tanpa adanya pertimbangan untuk mematuhi peraturan yang berlaku baik dari segi tata ruang Tata hijau kota, ketentuan Ijin Mendirikan Bangunan,sempadan dan ketentuan Tata ruang dan peruntukan (kegunaan bangunan). Bagi masyarakat yang membangun hanya memikirkan dari segi keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan dampak kerugian yang dapat timbul terhadap sektor-sektor lainnya yang berkaitan. Berdasarkan Perda Kota Denpasar Nomor
6 tahun 2001 tentang Ijin
Bangun-Bangunan di Kota Denpasar, pada prinsip membangun, menetapkan Ijin Mendirikan Bangunan sebagai ijin prinsip yang di keluarkan oleh instansi yang berwenang di daerah untuk permohonan Ijin Mendirikan Bangunan, yang akan membangun di suatu lahan yang sesuai dengan tata guna tanah. Dengan
4
mengantongi ijin ini maka pengusaha atau badan usaha baru bisa merencanakan pembangunan usaha atau investasi di suatu daerah.1 Berdasarkan hal tersebut diatas perlu adanya suatu kajian mengenai permasalahan tersebut.dalam hal ini penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai pelaksanaan tentang perda No 6 tahun 2001 tentang ijin Bangun – bangunan di Kota Denpasar sekaligus aspek pelanggaran Ijin Mendirikan Bangunan khususnya untuk pemerintahan Kota Denpasar
1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Bagaimanakah pelaksanaan perda No 6 Tahun 2001 tentang ijin BangunBangunan di Kota Denpasar ? 2. Bagaimana Tindakan Hukum yang diterapkan oleh Pemerintah Kota Denpasar terhadap pelanggaran ijin bangun – bangunan di Kota Denpasar?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Guna membatasi materi isi uraian dari persoalan di atas tidaklah menyimpang dari inti persoalan, maka perlu dikemukakan ruang lingkup masalah, tentang
Proses pemberian ijin mendirikan bangunan di Kota Denpasar dan
Tindakan Hukum yang diterapkan oleh Pemerintah Kota Denpasar terhadap pelanggaran ijin bangun – bangunan di Kota Denpasar? 1
Henry S.Siswosoediro 2007, panduan praktis mengurus surat-surat perizinan. Jakarta, visimedia, hlm.73.
5
1.4 Orisionalitas Penelitian Dengan berlakunya perda No 6 Tahun 2001 tentang ijin bangun-bangunan di Kota Denpasar.Perda ini di buat agar bangunan di Kota Denpasar harus memiliki ijin untuk mendirikan bangunan.Banyaknya pelanggaran bangunan yang belum memiliki Ijin
Mendirikan Bagunan
yang terjadi di Kota Denpasar.
Mendirikan bangunan tanpa mempunyai surat Ijin Mendirikan Bagunan atau di sebut dengan bangunan illegal yaitu perorangan atau badan yang melakukan pelanggaran, tidak mengantongi atau tidak mempunyai surat Ijin Mendirikan Bagunan. Dengan banyaknya bangunan-bangunan yang tidak memiliki Ijin Mendirikan Bagunan di Kota Denpasar. Pemerintah Kota Denpasar harus sering melakukan sidak terhadadap bangunan yang liar dan di kenai sanksi-sanksi sesuai dengan perda yang berlaku.Dalam acuan ini penulisan ini, ada beberapa karya tulis yang di temukan sebagai perbandingan. No 1
2
Judul Pelaksanaan pengaturan izin mendirikan bangunan (IMB) dan implikasinya terhadap tata ruang di kabupaten Batang
Penulis Amirudin rohman Universitas islam negeri sunan kalijaga Yogyakarta. Fakultas hukum 2013
Pelaksanaan perda nomor 15 Tahun 2004 tentang tata bangunan kota Makasar
Marthley N P H Universitas Hasanudin Makasar Fakultas Hukum 2013.
Rumusan Masalah 1. Apa saja hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pengaturan izini mendirikan banguna (IMB) dan implikasinya terhadap tata ruang di kabupaten Batang 2. Bagaimana pelaksanaan pengaturan izin mendirikan bangunan (IMB) dan implikasinya terhadap tata ruang di kabupaten Batang 1. Bagaimana pelaksanaan pemberian izin mendirikan bangunan (IMB) berdasrkan perda nomor 15 Tahun 2004 tentang tata bangunan kota Makasar 2. Apa faktor penghambat dalam menerapkan perda no 15 Tahun 2004 tentang tata bangunan
6
1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1
Tujuan Umum Untuk mengetahui pelaksanaan Perda Kota Denpasar Nomor 6 Tahun
2001 Tentang Ijin Bangunan-bangunan di Kota Denpasar. 1.5.2
Tujuan Khusus a. Guna mengetahui lebih jelas tentang Ijin Mendirikan Bagunan sebagai persyaratan mendirikan bangunan dan apakah pelaksanaan Ijin Mendirikan Bangunan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak, khususnya di Kota Denpasar. b. Guna mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan Ijin Mendirikan Bagunan khususnya di Kota Denpasar, serta upaya-upaya di dalam meminimalisir terjadinya pelanggaranpelanggaran.
1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mahasiswa agar lebih
mampu bercakap secara hukum sehingga mampu menerapkan pengembangan ilmu hukum di luar bangku perkuliahan. 1.6.2
Manfaat Praktis Secara praktis penulisan penelitian ini di harapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran, khusunya yang berhubungan dengan Ijin
Mendirikan
7
Bagunan
di Kota Denpasar dan prosedur mendirikan ijin bangunan di Kota
Denpasar.
1.7 Landasan Teoritis Dalam penulisan skripsi ini terdapat beberapa teori yang di gunakan sebagai landasan yang antara lain sebagai berikut : 1.7.1
Teori Negara Hukum Dalam konsep negara hukum seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1 (3)
Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Indonesia merupakan negara hukum, penguasa Negara dan pemerintah sesunguhnya hanyalah pelaksana dari hukum, baik yang diciptakan oleh negara sendiri maupun oleh rakyat sendiri. Oleh karena itu siapapun yang malakukan pelanggaran hukum harus dikenakan sanksi hukum, baik penyelenggara Negara/ Pemerintah termasuk para penegak hukum itu sendiri, maupun masyarakat harus dikenakan sanksi hukum. Jadi dalam suatu negara hukum, tidak ada seseorang pun yang kebal akan hukum, baik anggota masyarakat maupun penyeienggara pemerintahan, serta para penegak hukumnya. Itulah konsep equality before the law (persamaan didepan hukum) dalam konsep rule of law. Konsep rule of law itu sendiri seperti diterangkan oleh A.V Dicey, memiliki unsur utama yaitu : supremacy of law, equality before the law dan the constiution based on individual right.2 Unsur pertama, yaitu supremacy of law atau supremasi hukum, di Inggris tempat dicetuskannya konsep tersebut merupakan hal yang tidak dapat ditawar-
2
Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI Press, Jakarta, hal: 20
8
tawar lagi, hal ini merupakan unsur yang diperjuangkan rakyat inggris lebih awal jika dibandingkan dengan negar-negara barat lainnya. Unsur kedua, yaitu equality before the law atau persamaan di depan hukum. Semua warga baik selaku pejabat negara maupun sebagai individu biasa tunduk pada hukum dan di adili di pengadilan biasa yang sama. Jadi setiap warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum dan apabila melanggar hukum baik secara individu maupun selaku pejabat negara, ia akan diadili dengan hukum yang sama dan dalam pengadilan yang sama pula. Unsur ketiga, yaitu constiution based on individual right, disini tidak seperti yang umum terdapat di negara lain yang berupa sebuah dokumen yang disebut constition atau Undang-undang dasar, melainkan constition disini menunjuk pada sejumlah dokumen yang isinya bersifat fundamental.3 Dalam konsep negara hukum, penguasa Negara dan pemerintah sesunguhnya hanyalah pelaksana dari hukum, baik yang diciptakan oleh negara sendiri maupun oleh rakyat sendiri. Oleh karena itu siapapun yang malakukan pelanggaran hukum harus dikenakan sanksi hukum, baik penyelenggara Negara/ Pemerintah termasuk para penegak hukum itu sendiri, maupun masyarakat harus dikenakan sanksi hukum. Jadi dalam suatu negara hukum, tidak ada seseorang pun yang kebal akan hukum, baik anggota masyarakat maupun penyelenggara pemerintahan, serta para penegak hukumnya. Konsep rule of law bukan satu-satunya konsep negara hukum, selain itu masih banyak konsep negara hukum dari negara-negara lain yang dikenal dengan
3
Ibid, hal. 51.
9
konsep Rechsstaat. Pemahaman mengenai negara hukum dengan konsep rule of law umumnya berkembang di negara-negara eropa kontinental, pemahaman terhadap negara hukum mengikuti konsep rechsstaat. Konsep rechsstaat menurut beberapa sarjana dikenal dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Menurut Friedich Julius Stahl, rechsstaat memiliki unsur utama,4 sebagai berikut: a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, b. Pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip Trias Politika, c. Penyelenggaraan Pemerintah menurut Undang-undang (wetmatig bestuur), dan d. Adanya peradilan administrasi negara. 2. Menurut Scheltema, unsur utama rechsstaat,5 meliputi: a. b. c. d.
Kepastian hukum, Persamaan, Demokrasi, dan Pemerintahan yang melayani kepentingan umum.
3. Menurut H.D.Van Wijk dan Konijnenbelt6, dengan unsur utama : a. b. c. d.
Pemerintahan menurut hukum (wetmatig bestur); Hak-hak asasi, Pembagian kekuasaan, dan Pengawasan oleh kekuasaan peradilan.
4. Menurut zippenlius, unsur utama negara hukum adalah : a. b. c. d.
Pemerintahan menurut hukum, Jaminan terhadap hak-hak asasi, Pembagian kekuasaan dan Pengawasan yustisial terhadap pemerintah.
Selanjutnya Bagir Manan mengemukakan ciri-ciri minimal dari negara
4
Ibid, hal. 66. Ibid, hal. 66. 6 A. Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, hal. 311. 5
10
yang berdasarkan hukum,7 yaitu : 1. Semua tindakan harus berdasarkan hukum. 2. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya 3. Ada kelembagaan yang bebas untuk meniliai perbuatan penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas) 4. Adanya pembagian kekuasaan. Selain itu Sri Soemantri juga mengungkapkan bahwa unsur-unsur yang terpenting dari negara hukum ada 4,8 yaitu : 1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum. 2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia 3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara. 4. Adanya pengawasan dan badan-badan peradilan (Rechterlijke Controle) Demikian pula seperti yang diunkapkan oleh Philipus M. Hadjon yang mendasarkan diri pada sifat-sifat liberal dan demokratis yang dikemukakan oleh S.W. Couwenberg berpendapat bahwa ciri-ciri rechsstaat,9 adalah : 1. Adanya Undang-Udang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat. 2. Adanya pembagia kekuasaan negara yang meliputi kekuasaan pembuat undang-undang yang ada pada parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas yang tidak hanya menangani sengketa antara individu rakyat tetapi juga antara penguasa dan rakyat, dan pemerintah yang mendasarkan tindakannya atas Undang-undang. 3. Diakui serta dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat. Ditambahkan oleh Philipus M Hadjon, bahwa atas ciri-ciro tersebut diatas, maka rechsstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi 7
Bagir Manan; tanggal 3 September 1994, hal.19; Dasar- dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945; Makalah Ilmiah Disampaikan Pada Mahasiswa Pasca Sarjana UNPAD, Tahun 1994-1995, di Bandung. 8 Sri Soemantri M; 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung, hal. 29. 9 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 76.
11
manusia yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan. Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus didasarkan pada norma-norma hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Seperti yang tersirat dalam Pasal 1 ayat (3) amandemen UUD 1945 menyatkan bahwa " Negara Indonesia adalah negara Hukum". Sehingga jika dikaitkan deng ruang lingkup Pengadilan Pajak maka secara filosofis konstitusional jelas di nyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip Negara Hukum yang dinamis atau welfare state (negara kesejahteraan), sebab negara wajib menjamin kepastian hukum serta kesejahteraan sosial masyarakat.10 Dalam Konsep Negara Hukum, suatu Negara dapat dikatakan sebagai negara hukum “rechstaat” menurut Burkens, (sebagaimana dikutip Yohanes Usfunan) apabila memenuhi syarat-syarat:11 1. Asas legalitas. Setiap pihak pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan (wettelijke gronslag). Dengan landasan ini, undangundang dalam arti formil dan undang-undang sendiri merupakan tumuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentukan undang-undang merupakan bagian penting Negara hukum. 2. Pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan. 10
S.F. Marbun, Moh.Mahfud MD, 2000, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Cet.Kedua, Liberty, Yogyakarta, hal.52 11 Burkens, M.C., et.al. 1990, Beginselen van de Democratiche Rechtasstaat, Dalam Yohanes Usfunan, 1988, Kebebasan Indonesia, Disertasi dalam meraih Doktor pada Program Pasca Sarjana UNAIR Surabaya, hal.111.
12
3. Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan diri pemerintahan terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk undang-undang. 4. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia. Bagir Manan, lebih lanjut mengetengahkan ciri-ciri minimal Negara hukum sebagai berikut:12 1. Semua tindakan harus berdasarkan hukum. 2. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya. 3. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas). 4. Adanya pembagian kekuasaan. Negara Indonesia adalah Negara Hukum (rechstaat) berdasarkan Pancasila. Ini berarti bahwa setiap tindakan pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus didasarkan pada norma-norma hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Secara konstitusional Negara Indonesia adalah Negara Hukum, yang diketahui dalam Pasal 1 ayat (3) Amandemen UUD 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Dengan demikian semua tindakan pemerintahan harus menurut hukum yang dalam hal ini pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 6 Tahun 2001 tentang Ijin Bangunan.
12
Bagir Manan; tanggal 3 September 1994, h.19. Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, Makalah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Sarjana, Unpad, Tahun 1994-1995, di Bandung.
13
1.7.2
Teori Kewenangan Dalam beberapa sumber menerangkan, bahwa istilah kewenangan
(wewenang) disejajarkan dengan bevoegheid dalam istilah Belanda, menurut Philipus M. Hadjon salah seorang guru besar Fakultas Hukum Unair mengatakan, bahwa “wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya mempunyai 3 komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum dan komformitas hukum”.13 Komponen pengaruh, bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum; dasar hukum dimaksudkan, bahwa weenang itu haruslah mempunyai dasar hukum; sedangkan komponen komformitas hukum dimaksud, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai standar. Kewenangan secara teoritik dapat diperoleh melalui 3 cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.14 Atributie (atribusi) adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan; Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lain; sedangkan mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Atmaja menjelaskan, bahwa “wewenang inilah sesungguhnya yang merupakan “legal power” yang didalamnya melekat 3 (tiga) unsur, yaitu pengaruh yang memiliki katagori yang eksklusif (keluar) wajib dipatuhi oleh orang lain dan 13
Emil J. Sady, 1962, Improvement Local Government for Development Purpose, in Journal of Local Administration Overseas, hal.135. 14 Hadjon, Philipus M., 1991, Peradilan Tata Usaha Negara, Tantangan Awal di Awal Penerapan UU No.5 Tahun 1986, Majalah FH Unair, No.2-3 Tahun VI, Surabaya, (selanjutnya disebut Philipus M.III), hal.2.
14
atau pejabat serta jabatan atau lembaga lainnya, unsur dasar hukum dan unsur komformitas.15 Sementara itu menurut Hardjon, bahwa “cara memperoleh wewenang, yaitu melalui: atribusi dan delegasi kadang-kadang juga mandat ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang”.16 Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dari undangundang yang berlaku. Dengan kata lain, organ pemerintahan tidak dapat menganggap, bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Sebenarnya kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang; pembuat undang-undang dapat memberi wewenang pemerintahan, tetapi dapat juga kepada pegawai tertentu atau kepada badan khusus tertentu. Dalam konstitusi Indonesia UUD 1945 (setelah amandemen yang keempat kalinya), ditemukan beberapa pasal yang melahirkan kewenangan, baik diberikan kepada eksekutif, yudisial maupun legislatif dalam pasal-pasal tersebut. 1.7.3
Teori Penegakan Hukum Menurut Badudu dan Zain dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
efektivitas berarti keefektifan, keefektifan artinya sifat atau keadaan efektif. Efektif artinya mulai berlaku (tentang undang-undang), jadi efektivitas adalah sifat atau keadaan mulai berlakunya undang-undang.17 Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa efektivitas berarti keefektifan. Keefektifan artinya hal mulai berlakunya (tentang 15
Ridwan, HR., 2002, Hukum Administrasi Negara, UII-Press, Yogyakarta, hal.74. Atmaja, 2003, Hukum Antar Wewenang (Konsep dan Cara Penyelesaian), Makalah Lepas (bahan Kuliah S2) FH-UNUD, Denpasar, hal.5. 17 J.S. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, 2001, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 371. 16
15
undang-undang, peraturan), jadi efektivitas adalah hal mulai berlakunya undangundang atau peraturan.18 Soerjono Soekanto mengemukakan, bahwa inti dan arti penegakan hukum, secara konsepsional terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.19 Berbicara efektivitas hukum Soerjono Soekanto berpendapat, bahwa “salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Masalah penegakan hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum, tapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif atau negatif.20 Ketaatan seseorang berperilaku sesuai harapan pembentuk undang-undang, Friedman menyatakan bahwa21 : Compliance is, in other words, knowing conformity with a norm or command, a deliberate instance of legal behavior that bens toward the legal act that evoked it. Compliance and deviance are two poles of a continuum. Of the legal behavior frustrates the goals of a legal act, but falls short of noncompliance or, as the case may be, legal culpability.
18
Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 284. 19 Soerjono Soekanto I, loc. cit. 20 Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 88. 21 Lawrence, Friedman M., The Legal System A Social Science Perspective, Russell Sage Foundation, New York, 1975, dalam Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 88.
16
Berdasarkan pendapat Friedman tersebut bahwa pengaruh hukum terhadap sikap tindak atau perilaku, dapat diklasifikasikan sebagai ketaatan (compliance), ketidaktaatan atau penyimpangan (deviance) dan pengelakan (evasion). Konsepkonsep ketaatan, ketidaktaatan atau penyimpangan dan pengelakan berkaitan dengan hukum yang berisikan larangan atau suruhan.22 Masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, yaitu : a) Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang. b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.23 Kelima faktor di atas saling berkaitan erat satu dengan yang lainnya, karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang merupakan faktor pertama yang menjadi tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum. Undangundang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan
22 23
Siswantoro Sunarso, loc.cit. Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 8.
17
dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang, dapat disebabkan24 : a) tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, seperti undangundang tidak berlaku surut (artinya undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut di dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang dinyatakan berlaku; b) belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang (adanya berbagai undang-undang yang belum juga mempunyai peraturan pelaksanaan, padahal di dalam undang-undnag tersebut diperintahkan demikian); c) ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya. Kemungkinan hal itu disebabkan karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan secara luas sekali, atau karena soal terjemahan dari bahasa asing (Belanda) yang kurang tepat. Faktor kedua yakni, penegak hukum yang meliputi mereka yang bertugas di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan. Penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (status) merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dimana kedua unsur tersebut merupakan peranan (role). Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Ada berbagai halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peran yang seharusnya dari penegak hukum yang berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan, yaitu25 : a) keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi; b) tingkat aspiraasi yang relatif belum tinggi; c) kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi; d) belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material; 24 25
Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 17-18. Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 34-35.
18
e) kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. Faktor ketiga, yakni sarana dan fasilitas yang sangat penting peranannya dalam penegakan hukum. Sarana dan fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa adanya sarana dan fasilitas tidak mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Jalan pikkiran yang sebaiknya dianut, khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut, yaitu : a) b) c) d) e)
yang tidak ada –diadakan yang baru betul; yang rusak atau salah –diperbaiki atau dibetulkan; yang kurang –ditambah; yang macet – dilancarkan; yang mundur atau merosot –dimajukan atau ditingkatkan.26
Masyarakat merupakan faktor keempat yang mempengaruhi penegakan hukum. Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Salah satu arti hukum yang diberikan oleh masyarakat Indonesia yakni : hukum diartikan sebagai petugas (polisi, jaksa, hakim). Anggapan dari masyarakat bahwa hukum adalah identik dengan penegak hukum mengakibatkan harapan-harapan yang tertuju pada peranan aktual penegak hukum menjadi terlampau banyak, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kebingungan pada diri penegak hukum, oleh karena terjadinya berbagai konflik dalam dirinya. Keadaan demikian juga dapat memberikan pengaruh yang baik, yakni penegak hukum merasa perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari 26
Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 44.
19
masyarakat. Masalah lain yang timbul dari anggapan tersebut adalah mengenai penerapan perundang-undangan. Jika penegak hukum menyadari bahwa dirinya dianggap hukum oleh masyarakat, maka tidak mustahil bahwa perundangundangan ditafsirkan terlalu luas atau terlalu sempit. Disamping itu, mungkin juga timbul kebiasaan untuk kurang menelaah perundang-undangan yang kadangkala tertinggal dengan perkembangan di dalam masyarakat. Disamping itu, ada golongan masyarakat yang mengartikan hukum sebagai tata hukum atau hukum positif tertulis. Akibat dari anggapan bahwa hukum adalah hukum positif tertulis belaka adalah adanya kecenderungan kuat satu-satunya tugas hukum adalah kepastian hukum. Dengan demikian, akan muncul anggapan yang kuat bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah ketertiban. Lebih menekankan pada kepentingan ketertiban berarti lebih menekankan pada kepentingan umum, sehingga timbul gagasan kuat bahwa semua bidang kehidupan akan dapat diatur dengan hukum tertulis. Kecenderungan ini pada akhirnya akan menemukan kepuasan pada lahirnya perundang-undangan yang belum tentu berlaku secara sosiologis.27 Faktor kelima kebudayaan. Setiap kelompok sosial yang ingin menyebut dirinya sebagai masyarakat, haruslah menghasilkan kebudayaan yang merupakan hasil karya, rasa, dan cipta. Kebudayaan tersebut merupakan hasil dari masyarakat manusia, sangat berguna bagi warga masyarakat tersebut, karena kebudayaan melindungi diri manusia terhadap alam, mengatur hubungan antara manusia, dan sebagai wadah dari segenap persaan manusia. Dari sekian banyak kegunaan kebudayaan bagi manusia khususnya, akan diperhatikan aspek yang mengatur 27
Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 54-55.
20
hubungan antarmanusia, karena aspek tersebut bertujuan untuk menghasilkan tata tertib di dalam pergaulan hidup manusia dengan aneka warna kepentingan yang tidak jarang berlawanan satu dengan lainnya. Hasil dari usaha-usaha manusia untuk mengatur pergaulan hidupnya, merupakan hasil rasa masyarakat yang mewujudkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai masyarakat. Hasil rasa tersebut merupakan daya upaya manusia untuk melindungi dirinya terhadap kekuatan lain di dalam masyarakat. Kekuatan dalam masyarakat tidak selamanya baik dan untuk menghadapi kekuatan yang buruk.28
1.8 Metode Penelitian 1.8.1
Jenis Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan kosntruksi yang di lakukan secara metedelogis, sistematis dan konsisten.29 penelitian yang di lakukan dalam kaitannya dengan penulisan skripsi ini termasuk jenis penelitian hukum empiris, Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa penelitian hukum empiris adalah data yang langsung di peroleh langsung dari masyrakat sebagai sumber pertama/primer dengan melalui penelitian di lapangan, yang di lakukan baik melaui pengamatan, wewancara, ataupun penyebaran kuisioner dan data yang di peroleh dari kepustakaan sebagai sumber kedua/sekunder”.30 Karena penelitian ini merupakan suatu upaya untuk mendeskrpsikan tentang pelaksanaan perda Kota Denpasar No 6 Tahun 2001.
28
Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Penerbit : PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, hal. 203. 29 Bambang Sugono, 1996, Metodelogi Penelitian Hukum, PT, Raja Grafindo persada, Jakarta hal 52 30 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Cetakan I, Hal, 35.
21
1.8.2
Jenis Pendekatan Pendekatan yang di gunakan dalam penulisan skripsi ini dalah pendekatan
menggunakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, baik dalam bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, dan juga menggunakan pendapat para ahli di bidang hukum, terutama yang berkaitan dengan masalah penelitian, sedangkan pendekatan empiris dilakukan karena penelitian ini membutuhkan penelitian lapangan sebagai bahan tambahan untuk memertajam ketentuan-ketentuan yang berlaku di Indonesia. 1.8.3
Data dan Sumber Data Sumber data Yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari
penelitian hukum empiris dan lapangan,dengan data sekunder bersumber dari penelitian kepustakaan , sedangkan data lapangan berupa pengajuan pertanyaanpertanyaan yang di ajukan kepada pihak pejabat suatu instansi yang berwenang menetapkan perijinan tersebut sebagai pelengkap dalam menganalisa pengaturan pengaturan dan singkronisasi pelaksanaan sistim perijinan tersebut didalam msayarakat, khusunya masyarakat Kota Denpasar. Adapun sumber data tersebut diperoleh melalui dua sumber data yaitu : 1. Data primer diperoleh melaui penelitian lapangan,penelitian ini dilakukan dengan pengamatan langsung dilapangan dan diperoleh melalui penelitian dikantor
instansi
pemerintahan
pertanyaan-pertanyaan,
langsung
Kota
Denpasar
kepada
pihak
dengan yang
mengadakan
terkait
dengan
permasalahan perijinan Ijin Mendirikan Bangunan dan dengan meminta informasi yang berhubungan dengan masalah tersebut diatas. 2. Data Sekunder adalah data yang di peroleh dari penelitian kepustakaan yang terdiri dari :
22
a. Bahan hukum Primer meliputi undang-undang dasar Negara Republik Indonesia,1945
Peraturan Daerah Kota Denpasar No 6 Tahun 2001
tentang ijin bangun-bangunan di Kota Denpasar. b. Bahan hukum sekunder, meliputi : Buku-Buku, literature yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam skripsi ini. 1.8.4
Teknik Pengumpulan Data Di dalam pengumpulan data menggunakan teknik wawancara atau
interview, yakni suatu proses tanya jawab lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik, yang satu dapat melihat muka dan mendengarkan, yang lain dengan telinganya sendiri dan suaranya sebagai alat informan yang langsung tentang beberapa data sosial baik yang terpandang maupun yang bermanfaat. Informan adalah orang-orang yang memberikan data atau keterangan dimana ia mengalami langsung permasalahan yang dibahas. Sedangkan untuk bahan-bahan bacaan digunakan teknik telaahan dokumen yaitu membaca serta menganalisa bahan-bahan bacaan yang terkait dan relevan dengan skripsi ini. 1.8.5
Teknik Analisis Untuk menganalisis data yang telah terkumpul maka teknis analisis yang
digunakan adalah dengan analisis kualitatif, maka selanjutnya data tersebut diolah dan dianalisa secara kualitatif dan selanjutnya disajikan secara deskrtif analisis, yaitu berupa uraian dan bahasan secara lengkap terarah, dan sisitimatis yang menggambarkan permasalahan penelitian, sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang bersifat umum