BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Laporan keuangan merupakan hasil dari proses akuntansi yang bertujuan untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan (Ikatan Akuntan Indonesia, 2004). Pemakai informasi laporan keuangan meliputi: investor, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok, pelanggan, pemerintah, dan masyarakat umumnya.
Laporan keuangan memberikan manfaat yang sangat besar kepada pihakpihak pemakai informasi terutama dari informasi keuangan yang disampaikan. Informasi keuangan tersebut adalah mengenai posisi keuangan, laporan kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan. Laporan posisi keuangan disampaikan dalam bentuk Neraca, laporan kinerja disampaikan dalam bentuk Laporan Laba Rugi, dan laporan perubahan posisi keuangan disampaikan dalam bentuk Laporan Perubahan Ekuitas. Dari ketiga laporan ini, ditambah lagi laporan mengenai arus kas dari aktivitas operasi, investasi dan pendanaan dalam bentuk Laporan Arus Kas, dan laporan informasi kualitatif perusahaan berupa Catatan Atas Laporan Keuangan.
Dari ke lima bentuk laporan keuangan di atas, laporan laba rugi adalah laporan yang paling banyak diminati oleh pihak pemakai informasi laporan
keuangan, karena laporan laba rugi menyediakan informasi peningkatan atau penurunan kinerja keuangan suatu perusahaan. Menurut Kieso, Weygandt dan Warfield dalam bukunya Intermediate Accounting (Edisi 11:124): “The Income Statement, often called the statement of income or statement of earning, is the report that measure the success of enterprise operations for a given periode of time. The business and investment community uses this report to determine profitability, investment value and credit worthiness. It provides investors and creditors with information that help them predict the amount, timing, and uncertainty of future cash flow”. Karena besarnya manfaat yang diberikan oleh laporan keuangan inilah, maka dibentuk sebuah aturan dalam proses pelaporan keuangan (financial reporting)
yang disebut dengan Prinsip
Akuntansi Berterima Umum (PABU) atau Generally Accepted Accounting Principles (GAAP). PABU adalah rerangka pedoman yang terdiri atas standar akuntansi dan sumber-sumber lain yang didukung berlakunya praktik akuntansi secara resmi (yuridis), teoretis, dan praktis. Standar akuntansi berarti semua konsep, ketentuan, prosedur, metoda, dan teknik yang tersedia secara teoretis maupun praktis dalam proses pelaporan keuangan.
Tujuan dibentuknya Prinsip-Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU) adalah untuk mengukur tingkat keterbandingan (comparability) antara laporan keuangan entitas bisnis yang satu dengan yang lainnya, sehingga akan memperlihatkan keterbandingan (comparability) tingkat kinerja keuangannya. hal ini sesuai dengan pendapat Warren Reeve Fess dalam bukunya Pengantar Akuntansi yang dialih bahasakan oleh Aria Farahmita dkk (2005:16): “Jika manajemen perusahaan mencatat dan melaporkan data keuangan seperti
yang diinginkannya, maka perbandingan di antara perusahaan akan sulit, bahkan tidak mungkin. Oleh karena itu, akuntan keuangan mengikuti prinsip – prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP) dalam membuat laporan. Laporan – laporan tersebut memungkinkan investor dan para pemegang saham untuk membandingkan perusahaan yang satu dengan yang lainnya”.
Standar Akuntansi (sebagai salah satu aspek dari PABU) memiliki keterbatasan-keterbatasan yang dapat menjadikan laporan keuangan menjadi kurang andal (reliable). Salahsatu keterbatasan standar akuntansi adalah fleksibilitas penerapan metode akuntansi yang menyebabkan peluang bagi manajemen untuk melibatkan subyektifitas dalam menyusun metode akuntansi yang dipilih menurut Surifah (2005).
Keterbatasan laporan keuangan tersebut pada praktiknya, menimbulkan aktivitas manajemen laba (earnings management) oleh pihak manajemen perusahaan terhadap laporan keuangannya. Manajemen laba adalah tindakan yang ditujukan untuk memaksimumkan utilitas manajer dan cenderung untuk menguntungkan diri mereka (manajer) sendiri, dengan cara mempengaruhi proses pelaporan keuangan menurut Setiawati dan Na’im (2005). Dalam mempengaruhi angka laba tersebut, manajemen laba umumnya dilakukan dengan 4 (empat) pola, yaitu: taking a bath, minimisasi laba (income minimization), maksimisasi laba (income maximization), dan perataan laba (income smoothing) menurut Scott (2004).
Fenomena manajemen laba telah banyak terjadi di sejumlah perusahaan, seperti Enron Corporation, Xerox Corporation, WordCom, Walt Disney Company, dan lainnya. Enron Corporation terbukti melakukan manipulasi laba, yaitu melakukan manipulasi eksekutif Enron melalui lembaga auditornya sehingga dapat mendongkrak laba mendekati USD 1 miliar. WordCom terbukti melakukan manipulasi pengeluaran akuntansi, yaitu melakukan manipulasi pembukuan senilai USD 4 miliar pada sisi pengeluaran. Skandal ini diduga melibatkan Arthur Andersen dan Walt Disney Company terbukti telah melakukan manipulasi pendapatan akuntansi, yaitu melakukan manipulasi data akuntansi untuk dua tahun fiskal. Penurunan kualitas laporan keuangan merupakan dampak utama yang diakibatkan dari adanya manajemen laba.
Dari contoh kasus diatas ternyata banyak manajemen laba terjadi di perusahaan besar, hal ini membuat penulis berkeinginan untuk mengetahui apakah hanya perusahaan besar saja yang melakukan manajemen laba. Dari jurnal – jurnal akuntansi yang penulis baca terdapat dua pandangan tentang hubungan ukuran perusahaan terhadap manajemen laba.
Pandangan pertama menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan positif dengan manajemen laba, yakni semakin besar perusahaan maka kecendrungan manajer untuk melakukan manajemen laba tinggi dan sebaliknya, seperti hasil penelitian yang dilakukan Moses (1997) mengemukakan bahwa perusahaan – perusahaan yang lebih besar memiliki dorongan lebih besar untuk melakukan perataan laba (salah satu bentuk manajemen laba), dibandingkan
dengan perusahaan kecil, karena memiliki biaya politik lebih besar (salahsatu faktor pendorong manajemen laba).
Pandangan kedua menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan negatif dengan manajemen laba, yakni semakin besar perusahaan maka kecendrungan manajer untuk melakukan manajemen laba rendah dan sebaliknya, seperti hasil penelitian yang dilakukan Marachi (2004) di Amerika Serikat dengan menggunakan data sampel tahun 1999 menemukan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan negatif dengan manajemen laba. Perusahaan yang lebih besar kurang memiliki dorongan untuk melakukan manajemen laba dibandingkan perusahaan – perusahaan kecil, karena perusahaan besar dipandang lebih kritis oleh pemegang saham dan pihak luar. Perusahaan besar memiliki basis investor yang lebih besar, sehingga mendapat tekanan yang lebih kuat untuk menyajikan pelaporan keuangan yang kredibel.
Karena adanya perbedaan pandangan tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai hubungan antara ukuran perusahaan terhadap manajemen laba, juga Manajemen laba menjadi menarik untuk diteliti karena dapat memberikan gambaran akan perilaku manajer dalam melaporkan kegiatan usahanya pada suatu periode tertentu, yaitu adanya kemungkinan munculnya motivasi tertentu yang mendorong mereka untuk memanage atau mengatur data keuangan yang dilaporkan.
Sesuai dengan uraian penulis di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian atas fenomena tersebut guna menyelesaikan skripsi dengan judul: “PENGARUH UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP
MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BEI”.
1.2
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi dari masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimana pengaruh ukuran perusahaan terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. 1.3
Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud penulis mengadakan penelitian ini yaitu untuk memenuhi salahsatu persyaratan ujian sidang sarjana pada Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Widyatama. Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan bukti empiris apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI.
1.4
Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi Penulis Dengan adanya penelitian ini penulis dapat menambah wawasan penulis mengenai Manajemen Laba dan hubungannya dengan ukuran perusahaan. 2. Bagi Perusahaan Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi dan masukan pada perusahaan mengenai Manajemen Laba, sehingga
perusahaan dapat mengambil tindakan jika terjadi Manajemen Laba di perusahaannya. 3. Bagi Pihak Lain Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan pengetahuan dan wawasan, khususnya mengenai Manajemen Laba dan juga menjadi bahan referensi bagi para penulis yang akan membahas topik yang sama. 1.5
Kerangka Pemikiran
Salahsatu keterbatasan standar akuntansi yaitu fleksibilitas penerapan metode akuntansi, yang menyebabkan peluang bagi manajemen untuk melibatkan subyektifitas dalam menyusun metode akuntansi yang dipilih, mendorong timbulnya aktivitas manajemen laba (earnings management) oleh pihak manajemen perusahaan terhadap laporan keuangannya menurut Surifah (2005). Keterbatasan laporan keuangan tersebut mendorong manajemen untuk “memoles” laporan keuangannya agar terlihat “cantik” dimata pemakai laporan keuangan (media akuntansi edisi 32/April/Tahun X/2003). Praktek manajemen laba cukup banyak mengundang kontoversi, di satu sisi manajemen laba merupakan tindakan yang tidak menyalahi peraturan yang ada dan berlaku umum, sebagaimana dikemukakan oleh Poll (2004:72) bahwa “the practice of earnings management is facilitated in the flexibility of GAAP as well as the many possible interpretations of some of the principles put forward in GAAP”. Tetapi disisi lain, Hall (2005) mengatakan bahwa earning managements sebagai distorsi dari GAAP. sedangkan menurut Arthur Levitt (2004) menyebutkan bahwa manajemen laba didefinisikan sebagai suatu praktek pelaporan earning yang lebih merefleksikan keinginan manajemen daripada performa keuangan perusahaan.
Scoot (2003) membagi beberapa motivasi yang mendorong manajer untuk melakukan Manajemen laba yaitu:
1. Motivasi Bonus 2. Motivasi Kontrak 3. Motivasi Politik 4. Motivasi Pajak 5. Pergantian CEO (Chief Executive Officer) 6. Penawaran Saham Perdana (IPO)
Dengan berbagai macam motivasi untuk melakukan Manajemen laba, maka bukan suatu hal yang mengherankan apabila para manajer menggunakan fleksibilitas yang terkandung di dalam akun akrual agar benar-benar mampu mengatur laba.
Dalam mempengaruhi angka laba tersebut, manajemen laba umumnya dilakukan dengan 4 (empat) pola. Pola tersebut yaitu: taking a bath, minimisasi laba (income minimization), maksimalisasi laba (income maximization), dan perataan laba (income smoothing) dalam Scott (2004).
Taking a bath adalah pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara menjadikan laba perusahaan pada periode berjalan, menjadi sangat ekstrem rendah (bahkan rugi) atau sangat ekstrem tinggi dibandingkan dengan laba periode sebelumnya atau yang seharusnya.
Minimisasi laba (income minimization) adalah pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara, menjadikan laba pada laporan keuangan periode berjalan lebih rendah daripada laba sesungguhnya.
Maksimalisasi laba (income maximization) adalah pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara, menjadikan laba pada laporan keuangan periode berjalan lebih tinggi dari pada laba sesungguhnya.
Perataan laba (income smoothing) adalah pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara, menjadikan laba pada laporan keuangan periode – periode tertentu
menunjukan
fluktuasi
yang
normal,
dalam
rangka
mancapai
kecendrungan atau tingkat laba yang diinginkan.
Aktivitas
Manajemen Laba dapat
dideteksi dan diukur
dengan
menggunakan proksi discretionary accrual. Menurut Ardiati (2006): “Earning Managements melalui discretionary accrual dapat dilakukan karena, Pernyataan Standar Akuntansi memberikan berbagai pilihan kebijakan dan
prosedur
akuntansi
kepada
manajemen
perusahaan
serta
membutuhkan judgment dari manajer dalam mempersiapkan laporan keuangan, sehingga tercipta fleksibilitas yang dapat dimanfaatkan manajer untuk kepentingannya, oleh karena itu kebijakan yang timbul karena adanya niat manajemen, bukan karena kondisi perusahaan yang menghendaki perubahan judgment dan metode akuntansi serta pergeseran biaya dan pendapatan disebut Discretionary Accrual ”. Menurut Scott (2003): “Pilihan akan kebijakan akuntansi dapat dibedakan dalam 2 kelompok yaitu yang pertama kelompok metode
akuntansi, seperti metode penyusutan akuntansi yg terdapat beberapa alternatif metode (garis lurus, jumlah angka tahun, saldo menurun dan lain - lain), metode pengakuan pendapatan (persentase penyelesaian, kontrak selesai, angsuran dan lain - lain), metode penilaian persediaan. kelompok yang kedua adalah kelompok discretionary accrual. kelompok ini menghasilkan suatu nilai yang akrual, yang tidak ada pengaruh kasnya, dimana pihak manajemen perusahaan dapat mengendalikannya, seperti beban garansi, beban piutang tak tertagih, nilai persediaan yang usang, kewajiban kontijensi. Diantara kedua kelompok tersebut yang umum banyak digunakan oleh perusahaan sebagai alat untuk melakukan manajemen laba adalah kelompok kedua, sebab kelompok pertama terdapat hal yang membatasi ruang gerak manajemen, yaitu adanya prinsip konsistensi yang tidak memperkenankan sering berganti-ganti metode akuntansi. akibatnya hanya saat pertama kali suatu metode akuntansi dipilih untuk diterapkan, perusahaan memiliki kesempatan untuk memilih metode akuntansi yang dapat menghasilkan angka sesuai dengan yang diinginkannya, setelah itu dia harus konsisten, sedangkan kelompok kedua lebih sulit dikenali oleh pihak luar perusahaan bahwa suatu kebijakan akuntansi
dipilih
untuk
motif
tertentu.
Manajemen
laba
dengan
menggunakan discretionary accrual ini sukar diidentifikasikan tidak hanya oleh
pihak
luar
perusahaan,
auditor
eksternalnya
pun
sulit
mengidentifikasikannya. sekali pun hal itu ditemukan, auditor sangat sulit untuk membuat jurnal penyesuaiannya sebab semua masih dalam jalur yang diperkenankan oleh praktik akuntansi yang lazim berlaku ”.
Discretionary accrual dihitung dengan melakukan penyesuaian terhadap tingkat penjualan. Jika nilai discretionary accrual positif artinya perusahaan melakukan Manajemen laba dengan menggunakan pola income increasing. Jika nilai Discretionary accrual negatif artinya perusahan melakukan Manajemen laba dengan menggunakan pola income decreasing. Sedangkan bila discretionary accrual nol artinya perusahaan tidak melakukan Manajemen Laba, hal ini sesuai dengan model yang dikembangkan oleh DeAngelo. Ukuran perusahaan atau skala perusahaan pada dasarnya adalah pengelompokan perusahaan ke dalam beberapa kelompok, diantaranya adalah perusahaan besar, sedang dan perusahaan kecil. Ukuran perusahaan yang biasa dipakai untuk menentukan tingkatan perusahaan adalah: 1. Tenaga kerja, merupakan jumlah pegawai tetap dan kontaktor yang terdaftar atau bekerja di perusahaan pada suatu saat tertentu. 2. Tingkat penjualan, merupakan volume penjualan suatu perusahaan pada suatu periode tertentu misalnya satu tahun. 3. Total utang ditambah dengan nilai pasar saham biasa, merupakan jumlah utang dan nilai pasar saham biasa perusahaan pada saat atau suatu tanggal tertentu. 4. Total aktiva (asset), merupakan keseluruhan aktiva yang dimiliki perusahaan pada saat tertentu. Seperti ukuran skala yg dikemukakan diatas, Biro Pusat Statistik (BPS) mengelompokan tingkatan skala perusahaan berdasarkan jumlah tenaga kerja perusahaan yaitu sebagai berikut:
Skala perusahaan
Jumlah pekerja
industri rumah tangga
<5 orang
industri kecil
5-19 orang
industri menengah
20-99 orang
industri besar
>100 orang
pengelompokan perusahaan atas dasar tingkat penjualan adalah sebagai berikut : Skala perusahaan
Tingkat penjualan setahun
kecil
< 3 miliar
sedang
3-10 miliar
besar
>10 miliar
Small Busniness Administration (SBA), badan federal AS yang bertugas membantu bisnis-bisnis berskala kecil, mendefinisikan bisnis kecil sebagai bisnis yang dimiliki dan diatur secara independen yang tidak mendominasi pasarnya (Dalam Corry, 2007). Tabel 1.1 Klarifikasi Perusahaan Menurut SBA Small business
Employment size
Asset size
Sales size
Family size
1-4
Under $100,000
$100,000-500,000
Small
5-19
$100,000-500,000
$500,000-1 million
Medium
20-99
$500,000-5 million
$1
million-10
million Large
100-499
$5-25million
$10
million-50
million Sumber :Small Business Administration
Perusahaan yang lebih besar kurang memiliki dorongan untuk melakukan manajemen laba dibandingkan perusahaan-perusahaan kecil, hal ini didukung oleh hasil penelitian Sylvia Veronica dan Siddharta Utama (2006) dari hasil penelitiannya terbukti bahwa ukuran perusahaan mempunyai pengaruh negatif signifikan terhadap besaran pengelolaan laba, yang menunjukan bahwa semakin kecil perusahaan semakin besar pengelolaan laba yang dilakukan. Penelitian Marachi (2004) di Amerika Serikat dengan menggunakan data sampel tahun 1999 menemukan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan negatif dengan manajemen laba. Perusahaan yang lebih besar kurang memiliki dorongan untuk melakukan manajemen laba dibandingkan perusahaan – perusahaan kecil, karena perusahaan besar dipandang lebih kritis oleh pemegang saham dan pihak luar. Perusahaan besar memiliki basis investor yang lebih besar, sehingga mendapat tekanan yang lebih kuat untuk menyajikan pelaporan keuangan yang kredibel.
Dari paparan di atas penulis dapat diduga bahwa ukuran perusahaan mempengaruhi besaran pengelolaan laba perusahaan.
1.6
Metodologi Penelitian
Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode deskriptif verifikatif. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa dokumen dan laporan keuangan tahunan yg akan diolah, dianalisis, dan di proses lebih lanjut dengan dasar-dasar teori yang telah dipelajari. 1.7
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam homepage BEI (http://www.idx.co.id).
Sedangkan waktu penelitian akan dilaksanakan pada bulan november s.d selesai