1
BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bahasa terdiri atas tanda-tanda. Tanda itu sendiri mempunyai dua aspek yang tidak dapat dipisahkan, yaitu konsep dan citra bunyi. Ferdinand de Saussure (1857-1913), peletak dasar linguistik modern dalam dikotominya mengistilahkan citra bunyi dengan signifier (penanda) dan konsep dengan signified (petanda). Penanda adalah lambang bunyi itu, sedangkan petanda adalah konsep yang dikandung oleh penanda. Tak satupun dari keduanya itu tanda karena tanda itu merupakan kesatuan dari keduanya yang tidak dapat diceraikan. Bagan berikut ini menjelaskan bahwa pada hakikatnya bahasa adalah sistem tanda.
Bahasa
Signifier
Signified
(penanda)
(petanda)
Tanda Linguistik
Hal penting yang perlu di garisbawahi adalah hubungan antara penanda dengan petanda itu disebut bersifat arbitrer dan konvensional. Arbitrer berarti sewenang-wenang, atau tidak ada hubungan wajib di antara keduanya. Lambang yang berupa bunyi itu tidak memberi saran atau petunjuk apa pun untuk mengenal konsep yang diwakilinya. Konvensional berarti hal yang mengabsahkan hubungan kearbitreran itu adalah mufakat (konvensi). Oleh sebab itu, bahasa sebagai sebuah sistem
dapat
dikatakan
lahir
dari
kemufakatan.
Gambar
berikut
ini
2
mengilustrasikan perbedaan antara penanda dan petanda serta hubungan yang bersifat sewenang-sewenang antara keduanya.
~ [pɔhɔn]
Petanda
Penanda
Citra akustik [pɔhɔn] (bagi penutur bahasa Indonesia) berkorespondensi dengan konsep ‘semacam tumbuh-tumbuhan yang mempunyai batang, dahan, dan ranting serta daun atau kadang-kadang tidak berdaun’. Urutan bunyi [pɔhɔn]
adalah penanda untuk membicarakan konsep ‘pohon’. Urutan bunyi [pɔŋ], [pada],
atau [pɔt] akan sama baiknya sebagai penanda konsep tersebut jika diterima oleh anggota masyarakat bahasa Indonesia. Tidak ada alasan instrinsik mengapa penanda [pɔhɔn] dikaitkan dengan konsep ‘pohon’, dan bukan penanda lain. Konsep ini bagi penutur bahasa Inggris dilambangkan dengan bunyi [tri:]. Ini secara gamblang menunjukkan kesewenang-wenangan yang kemudian menjadi konvensi yang dipatuhi oleh masyarakat pemakai bahasanya. Jadi kearbitreran bahasa terletak pada hubungan antara lambang-lambang bunyi dengan konsep yang dilambangkannya. Sedangkan kekonvesionalan bahasa terletak pada kepatuhan para penutur bahasa untuk menggunakan lambang itu sesuai dengan
3
konsep yang dilambangkannya. Sekelumit konsep inilah yang dianut oleh kaum konvensionalis. Namun demikian, apakah benar hubungan tiap petanda dan penanda dalam bahasa selalu sewenang-wenang dan tidak tersentuh oleh faktor instrinsik? Para ahli filsafat dan ahli bahasa sejak masa Plato telah memikirkan hubungan non-arbitrer antara lambang bunyi dan maknanya. Hal inilah yang menuntun pada teori simbolisme bunyi, yang mencakup banyak bidang kajian bawahan tentang hubungan non-arbitrer antara bunyi dan makna. Salah satu bidang cakupan dari simbolisme bunyi adalah onomatope, kata peniru bunyi. Disini kata-kata yang disebut onomatope, lambang bunyinya memberi “saran” atau “petunjuk” bagi konsep yang dilambangkan. Dengan demikian hubungan antara lambang dengan konsep yang dilambangkan tidak bersifat arbitrer. Namun, kalau diteliti lebih jauh, yang disebut onomatope ini pun, ternyata tidak persis sama antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya karena sistem fonologi setiap bahasa berbeda. Itulah sebabnya, orang Indonesia menirukan bunyi letusan senjata api sebagai [dɔr], sedangkan orang Inggris sebagai [bæŋ].
Selain onomatope, dikenal pula istilah mimetik yang juga termasuk dalam kelas kajian simbolisme bunyi, yaitu kata-kata yang secara fonetik mengungkapkan keadaan yang tidak menghasilkan bunyi, seperti emosi, gerakan dan keadaan benda-benda. Bahasa Jepang terbukti kaya akan mimetik (Tamori & Schourup:1999). Contoh, kata “shiinto” berarti kesunyian atau keheningan yang kemudian kata ini banyak dipinjam oleh bahasa-bahasa lain yang tidak
4
mempunyai perbendaharaan kosakata mimetik: “siing” dalam bahasa Indonesia dan “shiin” dalam bahasa Inggris. Terkait dengan onomatope, pakar-pakar semantik memastikan bahwa setiap bahasa tentu mempunyai kata-kata onomatope, tetapi dalam jumlahnya yang lebih sedikit dari bentuk-bentuk lingual yang bersifat arbitrer. Porsi yang sedikit itu seakan-akan membuatnya menjadi kelompok yang marjinal dalam langue sehingga tidak banyak peneliti bahasa yang menaruh perhatian secara khusus pada objek ilmiah ini. Terbukti, hasil penelitian dan karangan di Indonesia yang membahas onomatope masih bisa terhitung dengan jari sebelah tangan saja. Sementara itu, kajian mimetik bahasa Indonesia dan bahasa Inggris belum ada sejauh ini mengingat kedua bahasa itu tidak cukup kaya dengan khasanah mimetik. Sejalan dengan hal itu, dalam rangka pengkajian bahasa, ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan perihal kepentingan penelitian simbolisme bunyi, khususnya onomatope dan mimetik. Pertama, penelitian simbolisme bunyi berupaya mengimbangi penelitian linguistik masa kini yang perhatiannya lebih banyak terkonsentrasi pada bentuk-bentuk simbolik lingual yang bersifat arbitrer. Kedua, simbolisme bunyi mempunyai ‘hak hidup’ yang sama dengan kata-kata yang arbitrer, perlu dibicarakan, dibahas, dikuasai oleh pemakai bahasa. Ketiga, sebagai salah satu dari sekian banyak kajian simbolisme bunyi yang memposisikan diri sebagai oposisi terhadap keadaan status quo - kepercayaan yang menjunjung tinggi dalil hubungan kearbitreran antara tanda-tanda linguistik, dalam rangka menata kembali pengetahuan akan peran bunyi dan makna khususnya dalam onomatope dan mimetik.
5
Adapun onomatope dan mimetik yang diselidiki dalam penelitian ini adalah onomatope dan mimetik dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi pemilihan kedua bahasa tersebut sebagai bahasa sasaran penelitian. Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris adalah dua bahasa yang berasal dari rumpun bahasa yang berbeda. Bahasa Indonesia (yang kemudian akan disingkat B.Indo disepanjang pembahasan) adalah bahasa yang berada dikawasan keluarga bahasa-bahasa rumpun Austronesia, sedangkan bahasa Inggris (akan disingkat B.Ing) adalah anggota bahasa-bahasa germanic yang termasuk ke dalam keluarga besar rumpun bahasa-bahasa Indo-Eropa. Diduga kedua bahasa ini memiliki kosakata onomatope yang bersifat konvergen karena faktor kesemestaan bahasa, khususnya kesemestaan fonologis dan divergen karena perbedaan asal mula rumpun bahasa. Hal yang bersifat konvergen dapat diamati pada stratum fonologi. Misalnya B.Ing mempunyai onomatope meow, knock knock yang maknanya berturut-turut adalah suara kucing, dan aktivitas mengetuk (pintu). Apabila ditranskrip secara fonemik menjadi /miau/, dan /nɔk nɔk/ yang hampir mirip dengan onomatope B.Indo meong /meoŋ/, dan tok tok /tok tok/. Kata-kata kognat ini bukan karena kedua bahasa diturunkan dari bahasa induk yang sama, atau B.Indo meminjam kata dari B.Ing dan sebaliknya, tetapi lebih karena sifat dasar onomatope itu adalah suka meniru bunyi-bunyi sehingga bahasa-bahasa yang hubungannya jauh, potensial memiliki lambang yang identik atau hampir mirip untuk fenomena bunyi yang sama.
6
Oleh karena itu, tugas utama penelitian ini adalah membuktikan faktafakta tersebut untuk menyoroti perbedaan dan persamaan karakteristik dari onomatope dan mimetik B.Indo dan B.Ing yang bertujuan untuk menemukan unsur-unsur simbolisme bunyi yang ada dalam tiap bahasa, baik yang bersifat konvergen maupun divergen.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penelitian ini merumuskan masalah seputar onomatope dan mimetik, dengan menjawab pertanyaan; 1.2.1 Bagaimana korespondensi bunyi onomatope dan mimetik antara B.Indo dan B.Ing? 1.2.2 Mengapa terdapat persamaan pada onomatope dan mimetik antara B.Indo dan B.Ing? 1.2.3 Mengapa terdapat perbedaan pada onomatope dan mimetik antara B.Indo dan B.Ing?
1.3 Tujuan Penelitian Dengan memperhatikan latar belakang penelitian dan masalah yang telah dirumuskan diatas, penelitian ini bertujuan untuk: 1.3.1 mendeskripsikan korespondensi bunyi onomatope dan mimetik B.Indo dan B.Ing
7
1.3.2 menjelaskan sebab-sebab adanya persamaan pada onomatope dan mimetik B.Indo dan B.Ing 1.3.3 menjelaskan sebab-sebab adanya perbedaan pada onomatope dan mimetik B.Indo dan Bing
1.4 Manfaat Penelitian Manakala masalah-masalah yang dirumuskan telah dijawab, penelitian ini akan membawa dua manfaat sebagai berikut. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kajian linguistik pada umumnya, terutama pada ranah simbolisme bunyi. Lebih khusus lagi, hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi typologist/ahli tipologi untuk upaya lanjutan dalam pengelompokkan bahasa-bahasa ke dalam kekhasan ciri fonemik simbolisme bunyi dari aspek fonologi. Secara praktis, hasil penelitian ini potensial bermanfaat untuk: (1) kepentingan komunikasi antar penutur yang berbahasa ibu berbeda, yakni penutur yang mempelajari B.Ing sebagai bahasa kedua atau sebaliknya penutur yang mempelajari B.Indo sebagai bahasa kedua, (2) kepentingan alih bahasa dalam komik atau cerita-cerita karena beberapa di antara kata-kata onomatope dan mimetik tidak tercantum dalam kamus biasa, (3) kepentingan penelitian selanjutnya mengenai pembentukan kata-kata konvensional yang berasal dari tiruan-tiruan bunyi langsung.
8
1.5 Tinjauan Pustaka Kajian mengenai simbolisme bunyi, khususnya onomatope dan mimetik telah banyak dilakukan oleh para ahli yang mencakup mikrolinguistik dan makrolinguistik. Khusus kajian mimetik, pembahasan bahasa Jepang cukup banyak mendominasi. Beberapa di antara penelitian-penelitian itu dapat dipaparkan di sini. Sebuah monograf yang berjudul “Onomatopoeia in Tamil” oleh Gnanasundaram (2008). Monograf ini merupakan kumpulan leksikon onomatope dalam bahasa Tamil. Gnanasundaram mengumpulkan leksikon bahasa Tamil sebanyak 117.762 leksikon yang 580 leksikonnya merupakan kata-kata onomatope. Penelitian kuantitatif ini berhasil membuktikan bahwa 0,5% kosakata dalam bahasa Tamil adalah onomatope. Reuven Tsur (2001) dengan makalahnya berjudul “Onomatopoeia: Cuckoo Language and Tick-tocking, The Constraints of Semiotic Systems”, menguraikan tentang pengkodean akustik dalam pembentukan kata-kata onomatope khususnya kata cuckoo dan tick tock dengan menggunakan analisis instrument spektograf. Dalam kajian fonetik akustis ini, Reuven Tsur mengamati dan mengukur ciri-ciri tinggi rendahnya bunyi-bunyi akustik yang dikonversikan dalam potongan-potongan cahaya dan corak pada spektograf. Tsoi Wan Chuen Thomas & Chung Hoi Wai Clara (2004), dalam penelitian yang berjudul
“Characteristics
of
Onomatopoeia”
berupaya
menemukan
ciri
kesemestaan bahasa. Adapun bahasa yang diteliti berjumlah dua belas bahasa dari rumpun yang berbeda-beda, diantaranya bahasa Kanton, Mandarin, Italia, Spanyol, Jerman, Inggris, Lithuania, Finlandia, Turki, Swahili, Korea dan Jepang.
9
Akan tetapi, jumlah onomatope yang menjadi data hanya tiga puluh kata onomatope, dan tidak semua bahasa yang diteliti itu mempunyai kelengkapan data. Pamela J. Tonge (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Basic Reading of Sound Words – Onomatopoeia” mengkaji onomatope dari perspektif pedagogik. Pamela memanfaatkan onomatope untuk mengajarkan anak-anak kemampuan membaca dan menulis dengan media pembelajaran puisi dan lagu. Khusus mengenai analisis kontrastif, ditemukan tiga kajian onomatope yang memanfaatkan analisis ini, yaitu Dedi Yanti (2007) dalam thesisnya yang berjudul “Analisis Kontrastif Onomatope Gerakan Manusia Bahasa Jepang dan B.Indo”. Thesis Dedi menelisik onomatope bahasa Jepang dan Indonesia khusus gerakan manusia dengan memanfaatkan teori komponen makna. Penelitian lain oleh Tamori Ikuhiro dan Lawrence Schourup (1999) yang berjudul “Onomatope: Keitai To Imi”. Tamori dan Lawrence meneliti onomatope bahasa Jepang dan B.Ing yang beroperasi pada subsistem fonologis/morfologis dan subsistem sintaksis beserta aspek-aspek semantisnya. Onomatope juga telah di kontrastifkan oleh Dofs Elin (2008) dengan judul “Onomatope and Iconicity: A Comparative Study of English and Swedish Animal Sounds”. Elin mengkontrastifkan onomatope B.Ing dan Swedia khusus tentang bunyi-bunyi hewan saja. Ada Sembilan belas bunyi hewan yang diteliti oleh Elin. Untuk penelitian mimetik, tidak semua penelitian yang ada tentang bahasa Jepang akan dipaparkan disini. Beberapa di antaranya adalah penelitian Hiroko Inose yang berjudul “Translating Japanese Onomatopoeia and Mimetic Words”. Dalam penelitiannya Hiroko mengidentifikasi dan menganalisis metode
10
yang digunakan untuk menerjemahkan kata-kata mimetik dan onomatope bahasa Jepang ke dalam bahasa Spanyol dan B.Ing. “Phonomimesis and Directional Predication in the Acquisition of L1 Japanese and L2 English” oleh David Stringer. David Stringer mengusung sebuah perspektif baru dari segi sintaksis simbolisme bunyi dengan menguji pengetahuan pembelajar bahasa dengan batasan-batasan universal yang dimiliki pembelajar bahasa atas penggabungan onomatope (phonomimesis) kedalam sintaksis simbolisme bunyi. Selain bahasa Jepang, terdapat satu penelitian tentang bahasa Turki, dengan judul “Turkish Mimetic Word Formation” oleh Shinji Ghaeyri Ido (2006). Penelitian Shinji berkisar pada korespondensi sistematis yang ada dalam kata-kata mimetik bahasa Turki. Hasil temuan penelitiannya berupa korespondensi fonologis seperti alternasi seperangkat vokal dan konsonan. Sementara itu, penelitian ini mempunyai misi yang sama dengan penelitian-penelitian terdahulu, yakni berusaha untuk menempatkan onomatope dan mimetik sejajar dengan derap ramainya penelitian satuan-satuan lingual yang bersifat arbitrer, tetapi dengan sedikit perbedaan dalam penekanannya. Sebuah disertasi yang berjudul What’s in a Word? Studies in Phonosemantics (2001) oleh Margaret Magnus menjadi acuan utama dalam penelitian ini tentang bagaimana fonem berhubungan dengan makna. Data yang digunakan dalam disertasi Magnus hanya mencakup kata-kata arbitrer saja, dan tidak mengikutsertakan onomatope dan mimetik. Maka penelitian kontrastif simbolisme bunyi ini memadukan semuanya, simbolisme bunyi dalam onomatope dan mimetik antara dua bahasa yang tidak sama asal.
11
1.6 Landasan Teori Menentukan suatu dasar teoretis yang kokoh adalah penting sekali bagi setiap usaha deskriptif. Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori analisis kontrastif, teori tentang onomatope, mimetik, teori fonologi B.Indo dan B.Ing. 1.6.1 Analisis Kontrastif Sifat universal bahasa memungkinkan adanya persamaan dan sebaliknya idiosinkresi tiap bahasa menciptakan adanya perbedaan. Untuk menemukan persamaan dan perbedaan antara dua bahasa atau lebih, dilakukanlah penelitian dengan memanfaatkan metode analisis kontrastif. Analisis kontrastif adalah disiplin bawahan linguistik yang menelaah perbandingan dua bahasa (subsistem bahasa) atau lebih untuk menentukan persamaan dan perbedaan diantara bahasabahasa (Fisiak,1971:7). Fisiak membedakan analisis linguistik kontrastif atas linguistik kontrastif teoretis dan linguistik kontrastif terapan. Analisis kontrastif teoretis umum mengkaji secara mendalam perbedaan dan persamaan dua bahasa dengan tujuan untuk mencari kategori tertentu yang ada atau tidak ada dalam kedua bahasa. Dengan demikian, hasil analisis ini harus dapat memberikan keterangan lengkap dari perbedaan dan persamaan antara dua sistem bahasa. Telaah linguistik terapan adalah bagian dari linguistik terapan yang bertujuan mencari suatu kerangka perbandingan dari dua sistem bahasa dengan menyeleksi informasi yang
12
diperlukan untuk suatu tujuan khusus, misalnya untuk pengajaran bahasa, penerjemahan dan penulisan kamus. Sementara Trager dalam Fisiak (1980) mengadakan pengelompokkan sendiri linguistik kontrastif atas interlingual dan intralingual, yang masingmasingnya terbagi lagi atas analisis sinkronis dan diakronis. Analisis kontrastif intralingual meliputi perbedaan dan persamaan dalam satu bahasa, sedangkan analisis kontrastif interlingual meliputi dua bahasa atau lebih. Intralingual sinkronis misalnya dialek bahasa, sedangkan intralingual diakronis misalnya perkembangan penguasaan bahasa seseorang. Sementara itu, interlingual sinkronis misalnya tipologi bahasa, interlingual diakronis misalnya aspek historis komparatif. Analisis kontrastif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kontrastif teoretis interlingual karena cakupan analisis meliputi, yaitu B.Indo dan B.Ing. Pendekatan yang digunakan adalah sinkronis karena fakta B.Indo dan B.Ing yang diteliti merupakan fakta dalam suatu masa yang terbatas, dan tidak melibatkan telaah perkembangan historis. 1.6.2 Onomatope dan Mimetik Seperti yang tersurat pada judul penelitian ini, maka perlulah kiranya dikemukakan definisi simbolisme bunyi dan wilayah cakupannya sebelum masuk pada pembahasan onomatope dan mimetik. Simbolisme bunyi adalah kajian mengenai hubungan langsung antara bunyi dan makna. Ada berbagai istilah yang dipakai untuk merujuk pada “simbolisme bunyi”. Bagi orang Perancis kajian ini
13
dikenal sebagai mimologique sedangkan orang Afrika lebih suka menyebutnya ideophone karena istilah ideophone diciptakan oleh seorang Afrika, Clement Doke pada tahun 1935. Roger Williams Wescott menyebut simbolisme bunyi dengan phonesemics, sedangkan Margareth Magnus menamainya dengan phonosemantics dalam disertasinya. Terlepas dari varian penanda tersebut, hal yang mendasar tentang petandanya adalah hubungan non-arbitrer antara bunyi dan makna dalam bahasa. Leanne Hinton, Johanna Nichols dan John J. Ohala dalam buku mereka yang berjudul Sound Symbolism (1994:1-5) membagi konsep simbolisme bunyi kedalam empat kategori yang tersusun menurut skala tingkat hubungan antara bunyi dan makna, dari yang non-arbitrer ke paling arbitrer. Penjelasan dibawah ini disadur dari buku tersebut, dan meliputi beberapa ulasan tambahan. 1.
Corporeal Sound Symbolism, adalah penggunaan bunyi-bunyi tertentu atau pola-pola intonasi untuk mengungkapkan keadaan internal penutur; keadaan emosi dan fisik. Kategori ini meliputi bunyi-bunyi simtomatik yang tidak disengaja seperti batuk, sedakan, suara perasaan, interjeksi, dan bunyi-bunyi yang erat kaitannya dengan keadaan emosional dan fisik. Di dalam komik, intonasi perasaan dan kualitas suara dilukiskan dengan efek visual seperti ukuran huruf, bentuk dan warna,dan bentuk-bentuk seperti “Aaaargh”, “auw”, “brrr” adalah upaya untuk menuliskan ungkapan-ungkapan corporeal.
2.
Imitative Sound Symbolism. Kategori ini terdiri dari kata-kata onomatope dan frasa-frasa yang mewakili bunyi-bunyi alam dan lingkungan sekitar, seperti bang, woof-woof, knock (‘dor’, ‘guk guk’, ‘tok’: dalam B.Indo). Dalam terminologi Richard Rhodes kategori imitatif ini diistilahkan dengan onomatope liar (wild) dan onomatope jinak (tame) (Hinton,1994:279).
14
Onomatope liar secara akustik lebih akurat tapi menyangkut bunyi-bunyi yang tidak terdapat dalam inventarisasi bunyi yang digunakan dalam bahasa konvensional (conventional speech) sehingga sulit untuk diungkapkan dalam bentuk tulisan, sedangkan onomatope jinak adalah kebalikan dari onomatope liar, secara akustik tidak akurat tapi menyangkut bunyi-bunyi yang digunakan dalam bahasa konvensional. Contoh: seorang penutur bahasa Jepang dan seorang penutur B.Ing yang mencoba menirukan bunyi babi, akan menghasilkan bunyi yang sama tetapi onomatope jinak untuk bunyi babi dalam kedua bahasa tersebut berbeda: B.Ing “oink-oink” dan bahasa Jepang “buu-buu”. Gejala ini muncul karena adanya proses pembentukan bunyi yang berbeda antara onomatope liar dan onomatope jinak untuk peniruan bunyi babi. Bunyi meniru suara babi pada onomatope liar dihasilkan dari arah udara masuk kedalam paru-paru melalui rongga mulut dan rongga hidung. Bunyi ini disebut bunyi ingresif. Kebalikannya adalah bunyi egresif, yaitu bunyi yang dihasilkan dari arah udara menuju keluar melalui rongga mulut atau rongga hidung. Onomatope jinak yang sifatnya bisa dituliskan, dihasilkan melalui bunyi egresif ini. 3.
Synesthetic
Sound
Symbolism,
adalah
penggunaan
bunyi
untuk
menyimbolkan fenomena non-akustik seperti gerakan, ukuran dan bentuk. Gerakan sering disertai dengan bunyi, dan benda-benda dengan ukuran dan bentuk tertentu sering mendapatkan bunyi-bunyi yang khas, sehingga katakata onomatope seringkali diperluas pada penggunaan non-akustik. Contoh, banyak bahasa-bahasa didunia nampak memanfaatkan hubungan antara ukuran kecil dengan vokal /i/, dan antara ukuran besar dengan vokal /a/. Jadi, hubungan ikonik didasarkan pada sinyal akustik yang dihasilkan dari cara pengucapan atau pergerakan artikulatoris. 4.
Conventional Sound Symbolism, adalah asosiasi analogis atas fonem dan gugus tertentu dengan makna tertentu. Kategori ini bersifat arbitrer dan konvensional. Contoh dalam B.Ing, gugus
gl dalam kata glitter, glow,
glisten, glimmer, dihubungkan dengan makna cahaya. Kasus
ini tidak
15
ditemui pada bahasa-bahasa yang tidak mempunyai gugus konsonan. Oleh karena itu kasus ini bersifat language-specific. Fenomena ini biasa disebut fonestemik. Khusus berkenaan dengan onomatope, Stephen Ullman (Semantic Universals) dalam buku Universals of Language (Greenberg,1961:225) membedakan onomatope menjadi onomatope primer dan onomatope sekunder. Tipe primer adalah peniruan bunyi oleh bunyi, sedangkan tipe sekunder adalah ketika pengalaman-pengalaman non-akustik seperti gerakan, ukuran, nada emotif dilambangkan dengan bunyi. Apabila ditarik garis linear dengan tipologi Hinton, Nichols dan Ohala di atas, tipe onomatope primer sama dengan imitative sound symbolism atau yang lebih sering dikenal dengan onomatope, sedangkan tipe sekunder sepadan dengan synesthetic sound symbolism atau mimetik. Dari tipologi itu, penelitian ini memanfaatkan kategori kedua, ketiga dan keempat; imitative, synesthetic dan conventional sound symbolism dan tidak mencakup kategori pertama. Khusus mengenai simbolisme bunyi imitatif, terkait dengan dikotomi istilah Richard Rhodes, ruang lingkup onomatope dalam penelitian ini hanya mengenai onomatope jinak, yakni yang dapat ditulis sehingga dapat ditranskripsikan secara fonetik. Salah satu kajian bawahan lainnya dari simbolisme bunyi adalah mimetik. Istilah ‘mimetik’ berasal dari bahasa Yunani mímēsis yang artinya mimicry, imitation, art1. Secara tradisional kata B.Ing ‘imitation’ dipakai untuk
1
Lihat Peters F.E dalam Philosophical Terms: A historical Lexicon, halaman 118-119
16
menerjemahkan kata mímēsis dan pembahasan filsafat atas perilaku yang ditunjukkan oleh mímēsis biasa disebut teori imitasi/peniruan (Sorbom,2002:19). Dalam ranah simbolisme bunyi, mimetik sering disebut-sebut dalam kajian bahasa Jepang karena bahasa Jepang sangat kaya akan kata-kata mimetik. Mimetik bahasa Jepang dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori utama, yaitu: 1.
giseigo atau
phonomimes, kata-kata yang meniru bunyi-bunyi nyata,
yakni bunyi manusia, suara hewan dan macam-macam suara yang sifatnya dapat didengar. Contoh: rintik hujan – zaa zaa, anjing menggonggong – wan wan 2.
gitaigo atau phenomimes, kata-kata mimetik yang mewaliki fenomena non-akustik. Contoh: kilau – kira kira, tersenyum lebar – niko niko
3.
gishougo atau psychomimes, kata-kata mimetik yang mewakili keadaan psikologis atau perasaaan. Contoh : perasaan gugup – ira ira, perasaan bahagia – uki uki Ketiga istilah di atas sepadan dengan istilah-istilah Hinton, Nichols dan
Ohala yaitu phonomimes dengan imimative sound symbolism atau yang biasa disebut dengan onomatope, phenomimes dengan synesthetic sound symbolism, dan psychomimes hampir sama dengan corporeal sound symbolism. Penelitian ini tidak akan mengikut-sertakan psychomimes karena B.Indo dan B.Ing diduga tidak mempunyai perbendaharaan ini, yang berbeda dari B.Jepang, dan juga tidak mengikut-sertakan corporeal sound symbolism karena kata-kata yang mewakili keadaan fisik seperti batuk, sedakan, interjeksi, pasti mempunyai unsur-unsur universal pada bahasa-bahasa manusia dan pada semua rumpun manusia (Hinton,1994:2).
17
1.6.2.1 Definisi Onomatope Dalam Penelitian Ini Istilah Onomatope (Onomatopoeia) berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu Onomatopoiía, yang berarti pembentukan nama atau kata yang berbunyi menyerupai acuannya, seperti buzz, crack, cuckoo (Peters dalam Clark:2000). Kata Onomatopoeia tersusun dari dua kata ónoma yang berarti name dan poieín yang berarti to act, action2. Ini segaris dengan definisi onomatope oleh Kridalaksana (2008:167), bahwa onomatope adalah penamaan benda atau perbuatan dengan peniruan bunyi yang diasosiasikan dengan benda atau perbuatan itu; misalnya, berkokok, suara dengung, deru, aum, cicit, dsb. Kata-kata yang dicetak tebal menunjukkan persamaan pada kedua definisi, yaitu persamaan konsep pada pembentukan nama atau kata dari definisi Peters dan konsep penamaan benda atau perbuatan dari definisi Kridalaksana. Konsep ini mengacu onomatope pada kata-kata/nama-nama yang sudah dibentuk setelah melalui fase peniruan bunyi, jadi bukan merupakan tiruan bunyi langsung. Bunyi alam
Tiruan bunyi
Kata bentukan
Bahasa
ngung ngung
de + ngung = dengung
(Indonesia)
buzz
buzz
(Inggris)
Skema di atas menjelaskan tentang konsep onomatope yang terkandung dalam kedua definisi bahwa yang disebut dengan onomatope adalah kata yang berada dalam kolom ‘kata bentukan’. Ini mengisyaratkan bahwa onomatope
2
Lihat Peters F.E dalam Greek Philosophical Terms: A Historical Lexicon, halaman162
18
menurut Peters dan Kridalaksana adalah kata yang telah jadi, bukan bunyi-bunyi yang mencoba meniru bunyi acuan secara langsung. Kata dengung dalam B.Indo adalah nama bunyi yang dibentuk dengan proses prefiksasi de- , sama seperti denting, dentum, deru. Sementara kata buzz dalam B.Ing dibentuk dari tiruan bunyi buzz, sehingga dapat dikatakan kata buzz mengalami suatu proses morfologi derivasi kosong. Dalam B.Ing, terdapat banyak kata-kata yang seperti ini - tiruantiruan bunyi yang berderivasi kosong menjadi verba dan nomina, contoh: crack, clap, slap, smash, sniff, dsb. Selain dua definisi di atas, terdapat definisi lain yang bersifat dikotomis. Didalam grammar.about.com, ditemukan pembedaan atas onomatope dan onomatopoeia. Onomatope adalah kata yang meniru bunyi yang diacu, sedangkan onomatopoeia adalah pembentukan kata atau penggunaan kata yang meniru bunyi, terkait dengan benda atau perbuatan yang diacu. Definisi ini sama dengan definisi yang terdapat dalam Kamus Besar Ilmu Pengetahuan yang juga membuat dikotomi atas definisi onomatope. Onomatope adalah kata yang dibentuk berdasarkan suara-suara di alam, misalnya kata “kokok” merupakan tiruan bunyi ayam, kata “cicit” merupakan tiruan bunyi tikus, sedangkan onomatopea adalah pembentukan kata dengan meniru bunyi-bunyi alamiah, misalnya: dengung lebah, meong kucing, aum harimau, deru angin (Dagun, 2000:744). Apabila dikaitkan dengan dua definisi sebelumnya, yakni definisi Peters dan Kridalaksana, maka definisi mereka itu sepadan dengan onomatopoeia (grammar.about.com) dan onomatopea (Dagun,2007:744).
19
Berdasarkan dualitas definisi onomatope dari grammar.about.com dan Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, penelitian ini hanya berkonsentrasi pada onomatope yaitu kata yang meniru bunyi acuan secara langsung, bukan onomatopea/onomatopoeia. 1.6.2.2 Mengapa Onomatope Tiap Bahasa Berbeda? Semua bahasa di dunia mempunyai kosakata onomatope. Meskipun onomatope ditegaskan sebagai pengecualian terhadap hal yang bersifat arbitrer, penciptaan kata-kata ini ternyata harus melalui proses mufakat bersama, yakni konvensi yang harus dipatuhi oleh segenap masyarakat bahasa yang bersangkutan. Untuk suara lebah yang berdengung, B.Ing menirukannya dengan [bz] atau [bzzzzz] sebagai pengaruh unsur prosodi, sedangkan B.Indo menirukan dengan [ŋuŋ ŋuŋ] atau [ŋuuuŋŋŋ] ketika dipengaruhi pula oleh unsur prosodi. Pada B.Ing, peniruan suara lebah melibatkan bunyi [z] yang bersifat frikatif bersuara, sedangkan B.Indo tidak mempunyai bunyi ini dalam sistem fonologi awal yang berasal dari bahasa Melayu. Oleh karena itu, suara lebah ditirukan dengan menggunakan bunyi konsonan nasal [ŋ] untuk menciptakan efek resonansi. Terkait dengan adanya variasi fisik onomatope pada bahasa-bahasa yang berbeda untuk satu acuan bunyi yang sama, pada dasarnya mencakup tiga aspek. Pertama, aspek fisik bunyi. Kedua, aspek persepsi bunyi. Ketiga, aspek produksi bunyi. Rangkaian tiga aspek ini dapat diamati pada gambar berikut.
20
[ŋuuuuŋ ŋuuuuuŋ]
Fisik Bunyi
Aspek Persepsi Bunyi
Aspek Akustik Bunyi
Skema fase pengonomatopean bunyi
Gambar di atas mengilustrasikan pengonomatopean bunyi lebah bagi penutur B.Indo. Bunyi lebah di sini adalah salah satu contoh dari segala suara alam yang merupakan bunyi fisik ditangkap oleh indra pendengaran, kemudian ditransmisikan ke otak. Di dalam otak, terjadilah proses kognitif, yang dalam proses ini bunyi lebah tersebut dikonversikan kedalam serangkaian kategori fonetik, dengan mengadaptasi seperangkat fonem yang ada dalam sistem fonologi bahasa terkait. Apabila tidak ditemukan padanan fonem yang tepat untuk bunyi alam/bunyi yang terdengar tersebut, maka diambillah fonem yang dianggap paling dekat atau cukup merepresentasi bunyi tersebut. Setelah fonem-fonem itu dirangkai lalu dionomatopekan. Dengan demikian, citra akustik untuk acuan bunyi lebah bagi penutur B.Indo adalah [ŋuuuŋ]. 1.6.2.3 Fungsi Onomatope dan mimetik Berikut ini adalah fungsi onomatope dan mimetik yang diadaptasi dari fungsi onomatope yang dipaparkan oleh Thomas & Clara (2004).
21
1. Untuk memperkaya kandungan tulisan dengan cara memberikan deskripsi suasana yang hidup. 2. Untuk meningkatkan tingkat musikalitas mengingat onomatope adalah kata-kata yang meniru suara-suara alam. 3. Untuk memperdalam kesan pembaca terhadap pesan karena onomatope dan mimetik mengubah citra visual menjadi citra akustik. 4. Untuk
memaksimalkan
realitas
situasi
sehingga
pembaca
dapat
memperoleh citra akustik yang nyata atas keseluruhan citra visual yang meliputi serangkaian gambar dan balon kata-kata. Ini segaris dengan salah satu fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Buhlersi (Newmark, 1988:42), yakni fungsi estetik. Fungsi ini bermain untuk menyenangkan indra. Dalam puisi, sajak anak-anak, iklan televisi, kreasi cerita gambar seperti komik, efek bunyi onomatope memainkan peran yang sangat penting. Kata-kata kerja yang mendeskripsikan gerakan dan tindakan, biasanya kaya dalam efek bunyi, seperti ‘menggaruk’, ‘menendang’, ‘tidur’, ‘jatuh ke air’, ‘makan’, dll. Demikian halnya seperti bunyi-bunyi yang dihasilkan dari mesin, hewan, alat musik dan benda-benda lain yang berpadu dan berbenturan. 1.6.3 Sistem Fonologi B.Indo dan B.Ing Setiap bahasa mempunyai khasanah bunyi yang dipilih dari semua kemungkinan bunyi yang bisa diucapkan manusia, dan berbeda dengan khasanah bunyi bahasa-bahasa lain. Jadi, B.Ing mempunyai bunyi dental frikatif [] dan [ð], sedangkan B.Indo tidak memilikinya. Pada dua bahasa yang tidak memiliki hubungan genetik ini, di samping terdapat perbedaan-perbedaan pola bunyi, juga terdapat kesamaan-kesamaan yang dinamakan kesemestaan fonologis. Misalnya,
22
dalam sistem konsonan, kedua bahasa sama-sama mempunyai bunyi hentian, dan dalam sistem vokal sama-sama mempunyai bunyi oral depan tinggi, tidak bulat [i], bunyi oral belakang tinggi bulat[u], dll. Sebelum menjelaskan kesemestaan fonologis dari kedua bahasa, sistem konsonan dan vokal masing-masing bahasa akan dipaparkan disini sedangkan pemerian alofon tidak akan diikutsertakan. 1.6.3.1 Inventarisasi Fonem B.Indo Dalam buku Generative Approach to the Phonology of Bahasa Indonesia, dikatakan bahwa fonem B.Indo berjumlah sekitar enam fonem vokal, dua puluh tiga fonem konsonan dan tiga diftong. Fonem-fonem tersebut terklasifikasi dalam peta berikut (Lapoliwa, 1981:12-28). 1.
Fonem Vokal
Tabel 1. Fonem vokal B. Indo
Stop
p b
t d
Afrikatif Frikatif
(f)
s (z)
c j (∫)
Glotal
Velar
palatal
Palatoalveolar
Dental/ Alveolar
Labio dental
Cara artikulasi
Bilabial
2. Fonem Konsonan
k g
?
(x)
h
23
Lateral Flap Nasal
m
Semi vokal
w
l r n
ñ
ŋ
y
Tabel 2. Fonem konsonan B. Indo
Perhatikan simbol-simbol yang diapit tanda kurung. Fonem-fonem tersebut adalah fonem-fonem yang sebenarnya bukan fonem B.Indo asli. Keempat fonem itu masuk kedalam sistem bunyi B.Indo karena kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan Inggris. 3. Diftong B.Indo mempunyai tiga diftong, yaitu /ai/, /au/ dan /oi/, seperti dalam kata-kata berikut ini. [ai] pandai damai sampai
[au] kerbau pulau kemarau
[ɔi] sepoi amboi koboi
Tabel 3. Diftong B. Indo
1.6.3.2 Inventarisasi Fonem B.Ing Khasanah fonem berbeda-beda dari satu bahasa ke bahasa yang lain, dan juga dari satu aksen ke aksen yang lain. Dalam sistem konsonan B.Ing, jumlah fonemnya relatif sama diseluruh B.Ing aksen manapun. Perbedaan hanyalah terkait dengan sistem vokal. Giegerich dalam bukunya English Phonology:An Introduction (1992:43-87) memberikan ulasan yang komprehensif mengenai sistem fonem fonologi dari tiga aksen B.Ing, yaitu B.Ing yang dituturkan di Britania disebut Received Pronunciation (RP), yang dituturkan di Skotlandia
24
disebut Scottish Standard English (SSE) dan yang dituturkan di Amerika disebut General American (GA). Penelitian ini tidak akan berkiblat pada ketiga aksen tersebut, melainkan salah satu dari ketiganya yakni RP. RP mempunyai dua belas fonem vokal, dua puluh empat fonem konsonan dan delapan diftong (Oxford Learner’s Dictionary:1991). 1.
Fonem Vokal
Tabel 4. Fonem vokal B. Ing (RP)
Stops
p b
Lateral Nasals Semi vowels
f v m w
ð
s z l n r
Tabel 5. Fonem konsonan B. Ing (RP)
Glottal
Velar
palatal
t d
Affricates Fricatives
Alveo palatal
Alveolar
Dental
Labiod dental
Bilabial
2. Fonem Konsonan
k g t∫ dʒ ∫ ʒ
h
ŋ j
25
3.Diftong Dalam Giegerich (1992:45) diterangkan bahwa RP mempunyai enam diftong, sedangkan dalam Oxford Learner’s Dictionary delapan diftong. Pemerian Giegerich dianggap kurang memadai karena dua diftong tidak dimasukkan, yakni /eI/ dan /əƱ/. Oleh karena itu, diftong RP dalam penelitian ini akan diperikan dalam delapan diftong seperti dalam kata-kata berikut ini. /eI/ page rate
/əƱ/ /aI/ home bite open buy
/aƱ/ bout brow
/ɔI/ coin boy
/Iə/ near weird
/eə/ hair bear
/Ʊə/ pure tour
Tabel 6. Diftong B. Ing (RP)
1.6.3.3 Persamaan Sistem Fonologis Dari sistem fonologi B.Indo dan B.Ing (RP) yang telah dijabarkan, untuk sistem konsonan, B.Indo tidak mempunyai fonem frikatif //, /ð/ dan /ʒ/, sedangkan B.Ing tidak mempunyai fonem nasal palatal /ñ/. Untuk sistem vokal, B.Indo secara signifikan tidak mempunyai fonem /æ/, /D/, dan //. Kemudian untuk diftong, B.Ing mempunyai khasanah diftong yang lebih kaya dari B.Indo. Berikut ini dapat dicermati tabel korespondensi yang mengilustrasikan kesamaan fonem B.Indo dan B.Ing. B.Indo
B.Ing
/a/
~
/α/
/i/
~
/e/
~
/i/ /I/ /e/
26
/ə/
~
/ə/ /ɜ/
/u/
~
/u/ /Ʊ/
/o/
~
/ɔ/
/ai/
~
/aI/
/au/
~
/aƱ/
/oi/
~
/oI/
/p/
~
/p/
/b/
~
/b/
/t/
~
/t/
/d/
~
/d/
/k/
~
/k/
/g/
~
/g/
/c/
~
/t∫/
/j/
~
/dʒ/
/h/
~
/h/
/s/
~
/s/
/r/
~
/r/
/l/
~
/l/
/m/
~
/m/
/n/
~
/n/
/ŋ/
~
/ŋ/
/w/
~
/w/
/y/
~
/j/
Tabel 7. Persamaan Fonem
27
Beberapa dari fonem-fonem dalam tabel 7 mempunyai realisasi pengucapan yang berbeda antara B.Indo dan B.Ing. Contoh fonem-fonem afrikat dalam B.Ing diartikulasikan sedikit berbeda dari padanannya dalam B.Indo, yaitu diartikulasikan dengan bibir yang lebih ditonjolkan keluar (lip protrusion). Fonem lain yang juga mengalami perbedaan pengucapan adalah fonem /r/. B.Ing cenderung menggolongkan fonem /r/ ke dalam kategori fonem hampiran (approximant), yakni kira-kira menghampiri konsonan dan kira-kira menghampiri fonem vokal. Sementara itu, B.Indo cenderung menggolongkannya dalam fonem konsonan yang bersifat flap. Jadi, /r/ dalam B.Indo diartikulasikan secara lebih bergetar (flap) daripada trill seperti dalam B.Ing. 1.6.3.4 Fonotaktik B.Indo dan B.Ing B.Indo dan B.Ing adalah dua bahasa yang mempunyai khasanah fonem yang hampir mirip, tapi penyusunan fonem-fonem itu untuk membentuk silabe dan kata sangat mematuhi tata aturan yang dimiliki masing-masing bahasa, seperti: gugus konsonan dan rangkaian vokal konsonan apa saja yang diperkenankan, dan pada posisi apa gugus dan rangkaian ini di tempatkan dalam silabe dan kata. Aspek fonologi yang mengurusi persoalan ini disebut dengan fonotaktik, yang menjadi pijakan dasar dalam bab III dan IV untuk dapat menjawab mengapa terdapat persamaan dan perbedaan rangkaian bunyi pada onomatope dan mimetik pada B.Indo dan B.Ing.
28
1. Silabe Silabe termasuk dalam ranah kajian fonotaktik, yakni satuan runtutan bunyi yang ditandai dengan satu satuan bunyi yang paling nyaring, yang dapat disertai atau tidak oleh bunyi lain di depannya, di belakangnya atau sekaligus di depan dan di belakangnya (Chaer, 1994:101). Adanya puncak kenyaringan atau sonoritas inilah yang menandai silabe itu. Puncak kenyaringan itu biasanya ditandai dengan sebuah bunyi vokal. Berdasarkan struktur organisasi internal pembentuk silabe, puncak kenyaringan yang selalu ditandai dengan bunyi vokal ini disebut nukleus. Berikut ini adalah skala sonoritas yang mensyaratkan susunan fonem dalam suatu silabe. Afri katif
Stop Tan suara
Frikatif
Nasal
Ber suara
Tan suara
Ber suara
p
b
f
v
m
t
d
c
*
*ð
n
k
g
j
s
z
ŋ
Likuida
l r
Semi vokal
Vokal Tinggi
Rendah
*j
i
a
w
u
*α / o
Sonoritas Tabel 8. Skala sonoritas
Skala sonoritas ini diadaptasi dari buku Giegerich (1992:133) dan berlaku juga untuk B.Indo. Keterangan selanjutnya yang membedakan berlakunya skala tersebut bagi B.Indo dan B.Ing adalah fonem yang didampingi dengan tanda asterisk adalah bukan fonem B.Indo, melainkan fonem B.Ing, sedangkan fonem tanpa tanda asterisk adalah fonem B.Indo yang beberapa di antaranya juga
29
termasuk fonem B.Ing. Skala tersebut dapat dibaca sebagai berikut: fonem paling kiri adalah fonem hambat yang merupakan kelompok yang paling tidak sonoran/tidak nyaring, dan fonem paling kanan yang berupa vokal merupakan fonem dengan tingkat sonoritas yang paling tinggi dari semua bunyi. Jadi, semakin ke kiri, semakin tidak sonoran, dan semakin ke kanan, akan semakin sonoran. 2. Fonotaktik Onset Onset adalah satu konsonan atau serangkaian konsonan yang mengawali suatu silabe atau mendahului nukleus. Gugus konsonan biasanya menempati posisi ini. Berikut ini adalah tabel gugus konsonan yang diperkenankan dalam onset yang berlaku pada B.Ing. w
p
t
k
m
n
ŋ
f
j
Awal
l
r
Contoh
p
pl
pr
pj
play, prey, pure
b
bl
br
bj
blue, break, beauty
f
fl
fr
fj
floor, frog, few
v
vj
view
m
mj
mute, amuse
n
nj
new
t
tr
tw
tj
try, twin, tune
d
dr
dw
dj
dry, dwarf, due
r
w
s
sl
sp
st
sk
sm
sn
slow, swan, spot, stick, skip, small, sniff, sphere
sf
∫r
∫ k
sw
throw, thwart
kl
kr
shrink kw
kj
clue, crew, queen, cute
30
g
gl
gr
gw
glue, grey, Gwen, hj
h
huge, human
Tabel 9. Gugus konsonan B.Ing
Gugus konsonan awal yang mengisi onset dalam B.Ing dapat terdiri dari tiga segmen bunyi. Pola gugusnya dapat dirumuskan sebagai berikut.
p s
t k
l r j w
Dari rumusan itu, dapat dibaca bahwa apabila gugus konsonan terdiri atas tiga segmen bunyi, segmen pertama adalah pasti bunyi [s], segmen kedua [p], [t] atau [k] dan segmen ketiga [l], [r], [j] atau [w]. Susunannya adalah sebagai berikut: [spl] splash, split, splendid [skl] sclerosis [spr] spring, spray [str] strong, structure [skr] screen, screw [skw] squeak, squeeze [spj] spew [stj] steward [skj] skewer Untuk B.Indo, berikut ini adalah tabel gugus konsonan yang diperkenankan dalam onset.
31
w
l
r
p
pl
pr
taplak, pria
b
bl
br
gamblang, obral
f
fl
fr
flu, frustasi
t
tr
sastra
d
dr
dw
s
sr
sw
c
cl
k
kl
kr
g
gl
gr
p
t
k
m
n
ŋ
Awal
Contoh
drama, dwibahasa sp
sk
Sriwijaya, swasembada, spanduk, skala kinclong
kw
klinik, krupuk, kwitansi global, granat
ŋ Tabel 10. Gugus konsonan B.Indo
Sementara itu, inventarisasi gugus konsonan awal yang terdiri dari tiga segmen bunyi dalam B.Indo tidak lain adalah akibat pengaruh dari unsur serapan. Jika tiga segmen bunyi konsonan berderet pada posisi onset, maka konsonan pertama selalu [s], yang kedua [p], [t], atau [k] dan segmen ketiga [l], atau [r]. Pola gugusnya dapat dirumuskan sebagai berikut.
p s
t k
[spr]
sprei
[str]
struktur, strategi
[skr]
skripsi
[skl]
sklerosis
l r
32
3. Fonotaktik Nukleus Giegerich mengistilahkan nukleus dengan sebutan puncak (peak), yakni batas volume bunyi tertinggi yang dibentuk oleh vokal. Dalam sebuah silabe, keberadaan nukleus bersifat wajib karena keberadaannya merupakan tanda bunyi puncak sonoritas suatu suku kata. Dengan demikian, bunyi vokal dan diftong apapun dapat menempati posisi nukleus sesuai dengan khasanah fonem vokal dan diftong masing-masing bahasa. 4. Fonotaktik Koda Koda adalah akhir dari silabe yang selalu berupa konsonan atau konsonan yang mengikuti nukleus. Dalam B.Ing, koda yang berupa gugus konsonan dapat terdiri dari dua hingga empat segmen bunyi3. Contoh koda yang terdiri dari empat segmen bunyi seperti dalam kata “texts” [teksts]. Sementara itu, B.Indo tidak mempunyai gugus konsonan yang menempati akhir silabe atau kata (Dardjowidjojo,2009:55). Pemerian kesemestaan fonologis ini akan menjadi acuan utama dalam upaya penelitian untuk melakukan generalisasi empiris tentang perilaku dan pola onomatope dan mimetik dari B.Indo dan B.Ing.
3
Untuk penjelasan yang panjang dan lengkap, lihat Hultzén, Lee S. (1965) Consonant Clusters in English.
33
1.7 Metode Penelitian Penelitian ini memanfaatkan metode analisis kontrastif yang termasuk dalam cakupan penelitian kualitatif. Penelitian menempuh tiga tahapan strategis, yaitu tahapan penyediaan data, analisis data, dan pemaparan hasil analisis data. 1.7.1 Metode Pengumpulan Data Mengingat penelitian ini bertujuan untuk mencari persamaan dan perbedaan onomatope dan mimetik antara B.Indo dan B.Ing, maka sumber data dalam penelitian ini adalah sumber tertulis yang diperkuat dengan sumber lisan. Sumber tertulis adalah komik dan sumber lisan adalah wawancara dengan beberapa informan. Data onomatope dan mimetik B.Ing dijaring dari sumber tertulis yang berupa komik dan dari sumber lisan yang berupa wawancara dengan dua orang informan penutur asli B.Ing berkewarganegaraan Australia. Komik berbahasa Inggris yang dijadikan sumber data adalah The Adventures of Tintin edisi 1 - 30, Asterix 17 edisi, Donald Duck edisi 3 - 37, Franquis Black Ideas, dan Garfield. Demikian halnya dengan penjaringan data pada B.Indo. Beberapa komik berbahasa Indonesia yang dijadikan sebagai sumber data adalah Kungfu Komang 20 komik, Kungfu Boy edisi 20, dan Fight Ippo edisi 1. Komik-komik yang bertema kekerasan ini dipilih karena mengandung tiruan-tiruan bunyi yang lebih banyak
daripada
komik-komik
serial
cantik.
Selanjutnya,
data
B.Indo
diperkuat/didukung oleh hasil wawancara dengan 26 informan yang terdiri dari sebelas informan dewasa berusia antara 20 – 30 dengan latar belakang daerah
34
yang berbeda-beda dan lima belas informan anak-anak kelas 3 dan 4 di suatu sekolah dasar swasta di kota Yogyakarta. Hasil wawancara ini dimaksudkan untuk memperkuat data yang diperoleh dan juga untuk menggugurkan beberapa satuan lingual yang dicurigai merupakan hasil pinjaman dari bahasa asing. Langkah ini diambil karena adanya kendala dalam mencapai tingkat kesempurnaan data yang sahih. Sebagai sumber data tambahan, sumber-sumber tertulis lain seperti artikel, dan hasil penelitian terdahulu, juga dimanfaatkan. Adapun onomatope dan mimetik yang dihimpun dalam penelitian ini adalah bunyi-bunyi yang sering digunakan dalam pemakaian sehari-hari, misalnya data onomatope hewan hanya mencakup hewan-hewan yang suaranya dapat didengar yang sering dijumpai dan sering muncul dalam cerita bergambar atau dongeng. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode observasi dengan teknik catat dan metode wawancara dengan teknik catat. Adapun langkahlangkah penjaringan data untuk sumber tertulis adalah sebagai berikut: 1.
Scanning adalah upaya pengamatan cepat pada komik-komik/cerita dongeng yang dijadikan sebagai sumber pengambilan data.
2.
Skimming adalah upaya pengamatan cepat dengan secara khusus memperhatikan kata-kata onomatope dan mimetik, dan disini dilakukan pencatatan sekaligus. Pencatatan pada tahap ini dilakukan dengan menggunakan traskripsi ortografis.
3.
Klasifikasi data berdasarkan kategori onomatope dan mimetik yang telah ditentukan lalu dilakukan transkripsi fonetik.
35
Selanjutnya langkah-langkah penjaringan data melalui wawancara adalah sebagai berikut: 1.
Menyiapkan daftar tanyaan sejumlah data yang telah diperoleh melalui sumber tertulis
2.
Mencatat jawaban yang diberikan oleh informan
3.
Setelah semua terkumpul, lalu satuan-satuan lingual yang dicurigai merupakan pinjaman dari bahasa daerah dan bahasa asing disisihkan atau tidak diikutsertakan dalam analisis
1.7.2 Metode Analisis Setelah data terhimpun dalam kategorinya, langkah selanjutnya menangani masalah yang terkandung dalam data. Penanganan masalah memanfaatkan teknik hubung banding, yaitu teknik analisis data dengan cara membandingkan satuan-satuan kebahasaan yang dianalisis dengan alat penentu berupa hubungan banding antara semua unsur penentu yang relevan dengan semua unsur satuan kebahasaan yang ditentukan (Mastoyo,2007:53).
Tujuan
hubung banding dalam penelitian ini adalah untuk mencari (a) kesamaan, (b) perbedaan, dan (c) kesamaan hal-hal pokok diantara kosakata onomatope dan mimetik B.Indo dan B.Ing. Tahap analisis adalah sebagai berikut: 1.
setelah setiap satuan-satuan lingual ditranskrip secara fonetik, dilakukan segmentasi silabe dengan tujuan mempermudah identifikasi fonem-fonem, dan gugus konsonan/vokal yang terdapat dalam tiap struktur internal tersebut
36
2.
mengkorespondensikan fonem atau gugus konsonan/vokal dengan mengacu pada sistem fonologi dua bahasa yang bersifat universal
3.
dari hasil korespondensi, kemudian akan diketahui pola onomatope dan mimetik yang bersifat sama dari kedua bahasa, dilihat dari distribusi fonem yang sama, atau gugus fonem yang sama pada posisi yang sama dalam struktur internal pembentuk silabe
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Dalam tahapan penyajian hasil analisis data, hasil analisis data disajikan dengan menggunakan lambang-lambang seperti lambang fonetik, lambang fonemik, diagram pohon segmentasi silabe, dan tabel-tabel. Selain itu, hasil analisis didukung pula dengan penjelasan-penjelasan yang memadai.
1.8 Sistematika Penyajian Masalah, analisis dan pemaparan hasil analisis ditata dalam susunan bab per bab. Bab I mengandung pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II merupakan hasil analisis data terhadap rumusan masalah yang pertama, yaitu deskripsi korespondensi bunyi onomatope dan mimetik B.Indo dan B.Ing.
37
Bab III membahas hasil analisis data terhadap rumusan masalah kedua, yaitu faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konvergensi onomatope dan mimetik antara B.Indo dan B.Ing. Bab IV berisi pembahasan hasil analisis data terhadap rumusan masalah ketiga, yaitu faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya divergensi onomatope dan mimetik antara B.Indo dan B.Ing. Bab V berupa penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.