BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Permasalahan Latar Belakang Masalah Ariestoteles mengungkapkan bahwa manusia sebagai mahkluk bermasyarakat yang dikenal dengan istilah ”zoon politicon”1. Dalam masyarakat pada hakekatnya diperlukan adanya kaedah yang dapat menjaga ketertiban masyarakat tersebut. Cicerio dalam hal ini mengistilahkan dengan istilah ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat disana ada hukum), dengan demikian peranan hukum dalam kehidupan bermasyarakat akan menjadi sangat penting, itu ditunjukkan dengan iahirnya konsepsi Negara hukum baik formil maupun materiil. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara yang bercita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur secara merata baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. seperti halnya dapat dilihat melalui bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa: "Indonesia adalah Negara Hukum" berdasarkan tujuan Negara sebagaimana tercantum dalam alenia IV Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara Hukum material bertujuan untuk :
1
Sudikno Mertodikusumo, 1985, Mengenal hukum (Suatu Pengantar) Liberty, Yogyakarta,
hal.3
"...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial . . ." Seiring dengan perkembangan zaman, pembangunan di Indonesia semakin meningkat mencakup segala aspek kehidupan. Pembangunan itu sendiri pada hakekatnya memang tidak bersifat kriminogen, khususnya apabila hasil-hasil tersebut didistribusikan secara pantas dan adil kepada semua rakyat serta menunjang seluruh kondisi sosial. Dalam perkembangan masyarakat dengan segala permasalahannya, ada sebagian anggota masyarakat yang dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan hidupnya, dan sebaliknya ada sebagian masyarakat lainnya yang justru mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dampaknya timbullah kecendrungan dilakukannya kejahatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, yang tentunya akan sangat mengganggu dan meresahkan masyarakat, seperti dikatakan oleh Bonger bahwa "Kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial, yang oleh Negara ditentang dengan sadar.2 Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Guna mencapai tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan harus senantiasa memperhatikan keserasian, keselarasan dan keseimbangan .berbagai unsur pembangunan, termasuk di bidang ekonomi dan keuangan.
2
Bonger, W.A.,1977, Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan A. Koesnoen, Ghalia Indonesia, Hal.23
Perkembangan ekonomi nasional dewasa ini menunjukkan arah yang semakin menyatu dengan ekonomi regional dan internasional yang dapat menunjang sekaligus mendatangkan dampak negatif dan positif. Sementara itu, perkembangan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks, oleh karena itu, diperlukan berbagai penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi termasuk sektor perbankan sehingga diharapkan akan dapat memperbaiki dan memperkokoh perekonomian nasional. Sektor Perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi dan penunjang sistem pembayaran merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses penyesuaian dimaksud. Sehubungan dengan itu, diperlukan penyempurnaan terhadap sistem perbankan nasional yang bukan hanya mencakup upaya penyehatan bank secara individu, melainkan juga penyehatan sistem perbankan secara menyeluruh. Upaya penyehatan Perbankan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, bank-bank itu sendiri, dan masyarakat pengguna jasa bank. Adanya tanggung jawab bersama tersebut dapat membantu memelihara tingkat kesehatan Perbankan nasional, sehingga dapat berperan secara maksimal dalam perekonomian nasional. Kegiatan perbankan dimulai dari jasa penukaran uang, oleh karena itu bank dikenal sebagai tempat menukar uang atau sebagai meja tempat menukar uang. Dalam sejarah para pedagang dari berbagai kerajaan melakukan transaksi dengan menukarkan uang, dimana penukaran uang dilakukan antar mata uang kerajaan yang satu dengan mata uang kerajaan yang lain. Kegiatan penukaran uang ini sekarang dikenal dengan pedagang valuta asing (money changer). Dalam
perkembangan selanjutnya, kegiatan operasional perbankan bertambah fungsinya sebagai tempat penitipan uang atau disebut sekarang ini kegiatan simpanan. Kemudian kegiatan perbankan berkembang dengan kegiatan peminjaman uang yaitu dengan cara yang semula disimpan oleh masyarakat, oleh perbankan dipinjamkan kembali ke masyarakat yang membutuhkannya. Akibat dari kebutuhan masyarakat akan jasa keuangan semakin meningkat dan beragam, maka peranan dunia perbankan semakin dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat, baik yang berada di negara maju maupun negara berkembang. Dewasa ini perkembangan dunia perbankan semakin pesat dan modern baik dari segi ragam produk, kualitas dan teknologi yang dimiliki. Perbankan semakin mendominasi perkembangan ekonomi dan bisnis suatu negara. Bahkan aktivitas dan keberadaan perbankan sangat menentukan kemajuan suatu negara dalam bidang ekonomi,oleh karena itu tidak heran apabila perbankan suatu negara hancur, maka akan mengakibatkan kehancuran perekonomian negara yang bersangkutan seperti yang terjadi di Indonesia tahun 1998 dan 1999.3 Sebagaimana kita ketahui, bank merupakan lembaga keuangan yang sangat penting sekali. Lembaga bank sebagai prasarana institusional dan sebagai agent of development mempunyai peranan yang sangat vital dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi. Dalam berbagai aturan yang mengatur pembinaan dan pengembangan usaha bank terdapat kelemahan dan kekurangan khususnya dalam pengamanannya. Kelemahan Bank dalam system pengamanan yaitu dalam bentuk kelemahan prosedur berupa identifikasi dan validasi calon nasabah dikarenakan di
3
Kasmir, 2000, Manaiemen Perbankan. PT. Raja Grafmdo Persada, Jakarta, hal. 16
Indonesia belum diterapkan single identity number (SIM) sehingga memudahkan pemalsuan identitas dan mengecoh system validasi bank sehingga berakibat pada penyalahgunaan kartu kredit. Dewasa ini untuk melakukan transaksi dapat digunakan berbagai sarana pembayaran, mulai dari cara yang paling tradisional sampai dengan yang paling modern. Pada awal mula sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran setiap transaksi dilakukan melalui cara pertukaran baik antara barang dengan barang atau barang dengan jasa, ataupun jasa dengan jasa. Transaksi pada waktu ini dikenal dengan nama sistem barter Dalam perkembangan selanjutnya ditemukan cara yang paling efisien dan efektif untuk melakukan transaksi, yaitu dengan menggunakan "uang". Penggunaan uang sebagai alat untuk melakukan pembayaran sudah dikenal luas dan penggunaan uang sebagai sarana pembayaran sudah merupakan kebutuhan pokok hampir di setiap kegiatan masyarakat Namun dalam perjalanannya, penggunaan uang mengalami berbagai hambatan tertentu. Jika penggunaan dalam jumlah besar hambatannya adalah resiko membawa uang tunai sangat besar. Resiko yang timbul dan harus dihadapi adalah seperti resiko kehilangan, pemalsuan atau terkena perampokan. Akibatnya kegiatan penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran mulai berkurang penggunaannya. "Kartu plastik" atau yang lebih dikenal dengan nama 'kartu kredit" (credit card) atau "uang plastik" yang mampu menggantikan fungsi uang sebagai alat pembayaran.
Kartu Kredit merupakan sejenis kartu sebagai pengganti fisik dari uang, sebagai alat tukar dalam berbagai kebutuhan.4 Di samping itu kartu kredit digunakan untuk berbagai keperluan, sehingga kegunaannya menjadi multi fungsi. Resiko seperti diatas sedikit banyak dapat dieliminir dengan penggunaan kartu kredit ini. Penggunaannya dirasakan lebih aman dan praktis untuk segala keperluan, seperti untuk bepergian, apalagi kartu kredit dewasa ini sudah dapat dipergunakan untuk segala kegiatan secara internasional. Kartu kredit merupakan kartu yang dikeluarkan oleh bank atau lembaga pembiayaans, yang diberikan kepada nasabah untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran di berbagai tempat seperti supermarket, pasar, hotel, restaurant, tempat hiburan, dan tempat-tempat lainnya. Disamping itu, dengan kartu ini juga dapat diuangkan di berbagai tempat seperti di ATM (Automated Teller Machine). ATM yang dewasa ini dikenal dengan istilah Anjungan Tunai Mandiri biasanya tersebar di berbagai tempat yang strategis seperti di pusat perbelanjaan, hiburan, dan perkantoran. Penggunaan kartu kredit di Indonesia dapat dikatakan masih relatif baru, namun sudah sangat luas digunakan sebagai instrumen pembayaran sejak memasuki
dekade 1980-an. Terutama setelah deregulasi, Deregulasi adalah
kebijakan pemerintah yang mengurangi berbagi faktor yang melindungi industri perbankan dari masalah suatu perekonomian.(Eric. R. Reidenbach dan Robert E. Pitts, 1986:232)5
4
Info Bank, Edisi No. 144 Tahun 1989 hal. 62
Dimana bisnis kartu kredit ini digolongkan sebagai kelompok usaha jasa pembiayaan
berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK/
013/1988 tanggal 20 Desember 1988. Citibank dan Bank Duta (merger dengan bank Danamon) dapat dikatakan sebagai bank yang cukup berperan dalam mempelopori pengembangan atau pemasyarakatan penggunaan kartu kredit di Indonesia
dengan menerbitkan Visa dan Master Card kemudian diikuti oleh
beberapa bank
yang bertindak sebagai penerbit atau pengelola kartu kredit
tersebut Jenis kartu kredit yang telah beredar dan dapat digunakan oleh masyarakat sebagai alat pembayaran saat ini di Indonesia disamping Visa dan Master Card adalah Amex Card, International Diners, BCA Card, Procard, Exim Smart, Duta Card, Kassa Card dan beberapa kartu lainnya yang diterbitkan oleh bank-bank. Umumnya kartu kredit tersebut dikeluarkan oleh bank-bank umum dan perusahaan pembiayaan. Penerbitan kartu kredit oleh bank harus melalui prosedur yang diatur oleh bank Indonesia. Sedangkan ijin penerbitan kartu kredit oleh perusahaan pembiayaan diberikan oleh Departemen Keuangan. Misalnya Diners Card oleh PT. Diners Jaya Indonesia Internasional dan Kassa Card oleh PT. Kassa Multi Finance.6 Penggunaan kartu kredit untuk pembayaran sebagai pengganti uang tunai sejak diperkenalkannya kartu kredit pertama tersebut semakin banyak dikenal dan digunakan oleh orang. Pada awal-awal diperkenalkannya kartu kredit ini,
5
http://thimutz.blogspot.com/2010/10/pengertian-dan-dampak-deregulasi-dari.html pada tanggal 3 Februari 2011 6
diakses
Dahlan Siamat, 2001, Manaiemen Lembaga Keuangan, Edisi III, Lembaga Penerbit FE Ul, Hal. 309.
pemakainya terbatas pada kalangan tertentu. Namun, beberapa dekade kemudian industri kartu kredit terutama memasuki akhir dekade 1970-an, telah merambah hampir ke seluruh bagian dunia, termasuk Indonesia. Kartu Kredit yang dikeluarkan paling umum digunakan oleh masyarakat dan berlaku Internasional saat ini terdiri atas berbagai merek, antara lain yang sangat populer adalah Visa dan Master Card yang masing-masing dikeluarkan oleh perusahaan kartu kredit Internasional dan Master Card Internasional.7 Ada berbagai perundang-undangan lain yang dengan tegas menyebut dan memberi landasan hukum terhadap penerbitan dan pengoperasian kartu kredit ini yaitu sebagai berikut : a. Keppres No.61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan - Pasal 2 ayat 1 dari Keppres No.6 1 ini antara lain menyebutkan bahwa salah satu kegiatan dari Lembaga Pembiayaan adalah melakukan usaha kartu kredit - Sementara dalam Pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan perusahaan Kartu Kredit adalah badan usaha yang melakukan dengan mempergunakan kartu kredit. - Menurut Pasal 3 dari Keppres No.61 ini yang dapat melakukan kegiatan lembaga pembiayaan tersebut termasuk kegiatan kartu kredit adalah : 1. Bank. 2. Lembaga Keuangan Bukan Bank (sekarang sudah tidak ada lagi dalam sistem hukum keuangan kita). 3. Perusahaan pembiayaan. b. Keputusan Menteri Keuangan no.1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana telah berkali-kali diubah, terkhir denagn Keputusan Menteri Kuangan RI No.448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan.8 - Pasal 2 dari Keputusan Menkeu No.1251 ini kembali menegaskan bahwa salah satu dari kegiatan Lembaga pembiayaan adalah usaha kartu kredit.
7
8
Ibid, hal. 400
Leden Marpaung.1994.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi. Sinar Grafika. Jakarta. hal.130.
-
Selanjutnya dalam pasal 7 ditentukan bahwa pelaksaan kegiatan kartu kredit dilakukan denagn cara penerbitan kartu kredit yang dapat dipergunakan oleh pemegangnya untuk pembayaran pengadaan barang/jasa. c. Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan seperti yang telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998. Sehubungan dengan perbankan, kertu kredit mendapatkan legitimasinya dalam UndangUndang No.7 Tahun1992 seperti yang telah diubah dengan UndangUndang No.10 Tahun 1998. Pasal 6 huruf I nya dengan tegas menyatakan bahwa salah satu kegiatan bank adalah melakukan usaha kartu kredit.9
Adapun prosedur untuk mendapatkan kartu kredit, antara lain: Dari sisi pemegang 1. calon pemegang diwajibkan untuk mengisi formulir permohonan dan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: -
KTP Keterangan gaji dan masa kerja dari perusahaan tempat pemohon bekerja.
Dari sisi Penerbit -
Memeriksa keaslian KTP
-
Melakukan crosschecking kepada penerbit lain apabila pemohon mempunyai kartu kredit lain
-
Meneliti data rekening dan keterangan gaji yang ada untuk menetapkan apakah pemohon layak diberikan kartu kredit
Penggunaan kartu kredit dewasa ini sudah semakin meluas dan merupakan prestise serta kebanggaan tersendiri bagi pemegangnya, karena bersifat praktis 9
http://www.scribd.com/doc/22370900/Paper-Tentang-Kartu-Kredit diakses pada tanggal 31 Januari 2011
tanpa resiko tinggi. Perkembangan ini semakin dipacu dengan adanya deregulasi di bidang perbankan, sehingga beberapa Bank saling berlomba menawarkan fasilitas yang menggiurkan melalui penerbitan kartu kredit. Hal ini dapat menimbulkan suasana kompetitif antar Bank dalam menawarkan dan mengunggulkan produk perbankan (kartu kredit) masing-masing. Namun tidak jarang suasana tersebut merupakan peluang bagi pihak-pihak yang ingin menyalahgunakan kartu kredit yang dalam hal ini sangat bervariasi jenis dan kegunaannya. Dalam praktek banyak dijumpai perbuatan-perbuatan di bidang perbankan yang dapat dikenakan sanksi sebagaimana ditetapkan dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Jenis-jenis tindak pidana dimaksud dapat dikelompokkan berdasarkan kegiatan bidang perbankan, yaitu: a. Di bidang lalu lintas pembayaran giral dan peredaran uang, seperti pemalsuan warkat bank (Pasal 263 dan 264 KUHP), penggelapan (Pasal 372 KUHP), pemalsuan uang dan uang yang dimanipulasikan (Pasal 244 dengan 252 KUHP), memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak (Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 35 UU No.11 Tahun 2008) . b. Tindak pidana di bidang perkreditan, seperti penipuan (Pasal 378 KUHP) dan
pemalsuan dokumen (Pasal 263 dan 264 KUHP) serta Undang-
Undang No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.10
10
Marulak Pardede, 1955, Hukum Pidana Bank, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Hal. 17.
Bila dilihat pengertian kedua istilah tersebut diatas, maka terlihat perbedaan yang cukup jauh. Pengertian tindak pidana perbankan hanya menitik beratkan kepada pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yaitu masalah legalitas/ ijin pendirian bank. Namun sebenarnya yang dimaksudkan dengan pengertian tindak pidana perbankan tersebut bukan hanya yang menyangkut legalitas/ ijin pendirian bank, akan tetapi termasuk juga tindak pidana penipuan, penggelapan, pemalsuan, dan tindak pidana lainnya sepanjang berkaitan dengan lembaga perbankan . Pengertian ini berbeda dengan tindak pidana di bidang perbankan. Tindak pidana di bidang perbankan adalah segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha bank, baik bank sebagai sasaran maupun sarana. Pelakunya bisa perorangan, maupun badan hukum (korporasi) dimana pelakunya bertindak karena yakin sering terjadi ketidak hati-hatian pada perbankan serta penyembunyian perkara ini terjadi karena bila suatu bank kebobolan dianggapnya suatu aib yang tidak boleh diketahui oleh nasabahnya.11 Kelompok pertama disebut tindak pidana perbankan, berhubung perbuatanperbuatan tersebut secara langsung melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Meskipun Undang-Undang tentang pokok perbankan itu mengatur secara umum tentang lembaga bank serta fungsinya, tetapi di sisi lain memuat juga ketentuan-ketentuan pidana yang
11
Muhamad Djumhana. 1996. Hukum Perbankan Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. hal.281
melarang dan mengancam dengan sanksi beberapa perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan umum dalam Undang-Undang tersebut. Dalam Perundang-undangan, kejahatan di bidang perbankan dikelompokkan dalam tiga jenis perbuatan, yakni: a) Kejahatan di bidang perjanjian/legalitas bank, berupa menjalankan usaha yang serupa bank. b) Kejahatan pemalsuan dokumen yang dipakai sebagai jaminan kredit atau agunan berkali-kali sehingga mendapat kredit berulang kali dengan maksud melakukan penipuan. c) Pemalsuan yang menyangkut lalu lintas giral antara lain bentuknya pemalsuan dan penggunaan surat aplikasi transfer serta pemalsuan dan penggunaan alat/ warkat bank lainnya yang semuanya dengan maksud untuk melakukan penipuan.12 Diantara ketiga jenis kejahatan di bidang perbankan sebagaimana tersebut diatas maka tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit termasuk dalam jenis kejahatan pemalsuan yang menyangkut lalu lintas giral. Tindak pidana di bidang perbankan yang menggunakan kartu kredit terjadi dengan cara memalsukan kartu kredit dengan bantuan pejabat bank menyerahkan kartu kredit hasil curian/ temuan dan memalsukan tanda tangan pemegang sah kartu kredit tersebut. Mabes Polri mencatat pemalsuan kartu kredit mencapai angka 7.000 kasus. Kini, terdapat lebih dari sembilan juta kartu kredit beredar di Indonesia. Kartukartu itu diterbitkan oleh 20 bank yang tergabung dalam Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), baik domestik maupun asing. Kartu kredit yang diterbitkan bank-bank tersebut umumnya memakai lisensi internasional seperti Visa International, Mastercard International, American Express. Kejahatan kartu kredit
12
Ibid, hal. 73
terus meningkat dengan pertumbuhan mencapai 20-30% per tahun. Dari data AKKI, selama 2002 saja kerugian bank mencapai Rp 35 sampai Rp 50 miliar.13 Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) memperkirakan pada tahun 2007, kerugian akibat kejahatan kartu kredit di Tanah Air mencapai Rp 35 miliar.14 Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) terbaru per April 2010, nilai kerugian kartu atas fraud kartu kredit mencapai Rp 16,72 miliar. Kepala Biro Sistem Pembayaran Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran BI Aribowo menerangkan bahwa total nilai kerugian tersebut terdiri dari enam kasus fraud kartu kredit, yaitu pemalsuan kartu, kartu hilang atau dicuri, kartu tidak diterima, card not present (CNP), fraud aplikasi, dan kasus fraud lain-lain. Sejak Januari hingga April 2010, total kasus fraud tercatat sebanyak 2.829 kasus dengan nilai kerugian mencapai Rp 16,72 miliar. Adapun untuk volume transaksi kartu kredit mencapai 62,9 juta transaksi dengan nilai Rp 49,85 triliun. Untuk jumlah kartu beredar sendiri tercatat sebanyak 12,61 juta kartu.15 Manajer Umum Kartu Kredit PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. Muhammad Helmi mengatakan bahwa khusus bulan April 2010, jumlah kasus fraud kartu kredit mencapai 701 kasus. Perinciannya, sebanyak 255 kasus kartu palsu, 31
13
Anonim II, “Kejahatan Kartu Kredit Menggila”, http://blog-artikelmenarik.blogspot.com/2008/04/kejahatan-kartu-kredit-menggila.html, , diakses pada 20 November 2010. 14 Suara Merdeka, “Kejahatan Kartu Kredit Rp 35 Miliar”, http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/02/27/2653/Kejahatan-Kartu-Kredit-Rp35-Miliar, diakses pada 23 Juni 2011. 15
Bigswamp, Kasus-kasus Cyber Crime Part 3 Carding Fraud”, http://bigswamp.wordpress.com/2011/03/02/kasus-kasus-cyber-crime-part-3-carding-fraud/, diakses pada 23 Juni 2011.
kasus kartu hilang atau dicuri, 21 kasus kartu tidak diterima, 117 kasus card not present (CNP), dan 277 kasus fraud aplikasi. Jumlah kasus tersebut bertambah dibandingkan kasus akhir Maret 2010 yang hanya 221 kasus. Meskipun jumlah kasus naik, nilai kerugian tercatat mengalami penurunan. Per April 2010, nilai kerugian sebesar Rp 3,04 miliar atau turun 45,32% dibandingkan akhir Maret 2010 yang mencapai Rp 5,56 miliar. Saat ini, fraud kartu kredit yang berkaitan dengan teknologi sudah mulai berkurang.16 Adanya beberapa modus carding yakni counterfeiting, yaitu kartu asli atau palsu yang diubah menyerupai kartu asli. Pelaku counterfeiting adalah perorangan atau sindikat dengan dana besar dan jaringan luas. Modus lain adalah dengan menggunakan peranti lunak tertentu yang tersedia secara umum.17 Pelaku juga dapat mencuri data lewat telepon yaitu dengan menelepon seseorang dan mengabarkan bahwa penggunaan kartu sudah mencapai limit. Pemilik kartu tentu kaget dan komplain. Komplain ini ditanggapi pelaku dengan meminta nomor kartu dan data lain untuk dicek di databasenya. Jebakan hadiah juga sering berhasil menggaet orang untuk menyebutkan nomor kartu kredit miliknya. Kemajuan teknologi memberikan kemudahan, dimana apabila seseorang hendak berpergian, maka tidak perlu membawa uang tunai, melainkan cukup dengan membawa kartu kredit untuk melakukan suatu transaksi. Walaupun demikian, ada juga usaha-usaha atau niat yang tidak baik dari pihak-pihak untuk
16
17
Ibid.
Telkom, 15 Juni 2006, “Kejahatan Kartu Kredit via Internet Kian Marak”, http://www.telkom.net/index.php?option=com_content&task=view&id=412&Itemid=35, , diakses pada 20 November 2010.
melakukan penipuan atau pemalsuan terhadap penggunaan kartu kredit, dimana hal tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi pihak Bank maupun pemilik kartu kredit. Adapun contoh kasus penyalahgunaan kartu kredit yang telah mendapat putusan pengadilan tahun 2001 sebagai berikut: Pada hari jumat, tanggal 15 Juni 2001, Toyib, Naviyanto Andriany, dan Pria Agustian melakukan tindak pemalsuan yang bertempat di PT. Atlantik Tour Cabang Denpasar Jl. Diponegoro dan di Pertokoan Departement Store Tragia Kerta Wijaya dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang telah dipalsukan berupa 3 (tiga) buah kartu kredit palsu, yaitu membayar dengan menggunakan kartu kredit palsu untuk membeli tiket pesawat di Atlantik Tour dan membeli baju di Tragia sehingga Bank International Indonesia sebagai bank pengelola mengalami kerugian sebesar Rp. 4.913.100,- (empat juta Sembilan ratus tiga belas ribu seratus rupiah). Toyib dan Navianto pada hari jumat, tanggal 15 Juni 2001 mendatangi PT. Atlantik Tour di Jl. Diponegoro membeli tiket pesawat Garuda jurusan Denpasar – Surabaya, Surabaya – Jakarta, dan Jakarta- Denpasar. Masing – masing atas nama Denny K. dengan Nomor 4544.1620.0082.1269 dan pada hari sabtu tanggal 16 Juni 2001 pukul 12.30 WITA Toyib dan Navianto mendatangi kembali PT. Atlantik Tour Cabang Denpasar membeli 9 (sembilan) buah tiket Garuda dengan Jurusan Denpasar – Surabaya untuk 3 (tiga) orang masing-masing atas nama Denny K, Denny W., dan Mr. Setaean E., serta untuk jurusan Surabaya – Jakarta untuk 6 (enam) orang atas nama Denny K., Denny W., Romli, Setiawan, Widodo, dan Yanto yang jumlah keseluruhannya berjumlah Rp.
4.913.100,- (empat juta Sembilan ratus tiga belas ribu seratus rupiah) dan setelah disetujui oleh petugas PT. Atlantik Tour, maka Novianto Andriani membayar dengan kartu kredit Visa Hongkong Bank dengan Nomor
Nomor
4544.1620.0082.1269 atas nama Denny K. Sedangkan kartu kredit yang digunakan untuk membayar tiket tersebut adalah pemberian. Pada hari Rabu tanggal 20 Juni 2001 Tayib, Novianto Andriany dan Pria Agustian membeli sebuah baju warna merah/biru kotak-kotak dengan merek Vercaro seharga Rp. 79.900,- (tujuh puluh Sembilan ribu Sembilan ratus rupiah) . Pada saat itu Pria Agustian membayar dengan menggunakan Kartu kredit jenis Visa Gold Wing Hongkong Bank LTD Nomor 5417800.1103.9372 masa berlaku sampai dengan bulan Maret 2002 atas nama P. Agustian dan setelah membeli baju di Tragia, para pelaku kembali ke PT. Atlantik Tour untuk memesan 20 tiket tetapi sebelum transaksi selesai para pelaku ditangkap oleh polisi. Maka terhadap kasus tersebut, Pengadilan Negeri Denpasar dalam Putusan Nomor 454/PID.B/2001/PN.Dps menyatakan bahwa para terdakwa terbukti bersalah telah melakukan penipuan dengan menggunakan kartu kredit palsu sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan kesatu yaitu Pasal 263 ayat (1), jo. Pasal 64 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP dan Pasal 378 jo. Pasal 64 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1 KUHP ) menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dikurangi selama para terdakwa berada dalam tahanan. Apabila dibandingkan antara putusan pengadilan di atas dengan kenyataan yang terjadi pada saat ini dimana kasus mengenai penyalahgunaan kartu kredit pada masa sekarang hampir tidak ada yang masuk keranah pengadilan sedangkan
kasusnya sangat banyak terjadi di wilayah indonesia. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP tidak relevan untuk digunakan dalam menanggulangi / menjaring pelaku kejahatan kartu kredit karena memiliki beberapa kelemahan antara lain: 1. Kartu kredit tidak dapat diinterpretasikan sebagai surat 2. Hal yang dipalsukan dalam penyalahgunaan kartu kredit adalah pin orang lain yang telah berhasil dicuri melalui penipuan lewat telepon kepada si korban. Penyalahgunaan kartu kredit memberikan dampak ekonomi yang perlu dikuantifikasi karena menimbulkan kerugian milyaran rupiah. Sehingga perlu adanya tindakan-tindakan yang cermat dari aparat penegak hukum di Indonesia. Sebagai perbandingan pada negara yang telah maju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju Sebagai kiblat dari perkembangan aspek hukum ini, Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang telah memiliki banyak perangkat hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law termasuk mengenai tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit. Di Amerika, Cyber Law yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). Malaysia yang pernah dilanda aksi kejahatan kartu kredit, segera membuat aturan yang sangat ketat, seperti hukuman cambuk rotan bagi pelakunya, denda 300.000 ringgit (Rp 900 juta), dan hukuman penjara
maksimal 20 tahun.
18
Di samping itu, perangkat hukum di Malaysia sudah
dilengkapi dengan undang-undang kejahatan komputer, undang-undang digital. Dasar pemikiran dari penyusunan tesis ini adalah hukum positif yang berlaku saat ini di Indonesia yakni KUHP khususnya ketentuan Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP sudah tidak relevan digunakan untuk menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit, sehingga sangat diperlukan pembaruan KUHP untuk menjaring para pelaku kejahatan karena KUHP belum mengatur sementara kejahatannya yang menimbulkan kerugian hingga milyaran rupiah semakin marak terjadi. Makna dan hakikat pembangunan pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi pembaruan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosio politik, sosio – filosofik, sosio-kultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum). Bertitik tolak dari latar belakang pemikiran diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dalam “KEBIJAKAN
PEMBARUAN
rangka
penyusunan tesis dengan judul
HUKUM
PIDANA
DALAM
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT (CREDIT CARD).” Keaslian dari penelitian tesis ini dapat dilihat melalui perbandingan terhadap tesis sebelumnya yang juga mengangkat mengenai kartu credit (credit card. 18
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9767/perlu-undangundang-khusus-untuktanggulangi-kejahatan-kartu-kredit
Adapun
judul
tesis
sebelumnya
yaitu
Kajian
Aspek
Pidana
Dalam
Penyalahgunaan Kartu Kredit (Credit Card), dengan rumusan masalahnya : 1) Bagaimanakah kebijakan Hukum Pidana dalam penyelesaian tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit?, 2) Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit? Sedangkan penelitian tesis ini berjudul Kebijakan Pembaruan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu Kredit (Credit Card) dengan rumusan masalahnya : 1) Apakah pentingnya pembaruan hukum pidana (KUHP) terhadap tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit (credit card)? 2) Bagaimanakah kebijakan Hukum Pidana dalam tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit dalam RKUHP ? Dilihat dari judulnya Kajian aspek pidana itu berarti mengkaji pemasalahan dari sudut pandang hukum pidana berdasarkan ketentuan yang berlaku saat itu, sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian tesis sebelumnya berada pada dimensi ius constitutum sedangkan penelitian tesis ini berada pada dimensi ius constituendum. Dan dari rumusan masalah kedua antara tesis sebelumnya dengan Dalam tesis ini lebih mengkaji mengenai kelemahan KUHP khususnya ketentuan Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP karena sudah tidak relevan digunakan untuk menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit, sehingga sangat diperlukan pembaruan KUHP untuk menjaring para pelaku kejahatan karena KUHP belum mengatur sementara kejahatannya sangat banyak terjadi. Sedangkan didalam tesis sebelumnya tidak mengkaji hal tersebut.
1. 2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut : 3. Apakah pentingnya pembaruan hukum pidana (KUHP) terhadap tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit (credit card)? 4. Bagaimanakah kebijakan Hukum Pidana dalam tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit dalam RKUHP ? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum a. Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan Ilmu Hukum terkait dengan paradigma science as a prosses ( ilmu sebagai proses ). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam penggaliannya atas kebenaran.19 Adapun tujuan umum penulisan tesis ini adalah 1. pengembangan konsep, asas, doktrin, dan teori hukum pidana khususnya dalam kebijakan pembaruan hukum pidana (penal policy) dalam tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit (credit card). 2. Serta
mendistribusikan
penyalahgunaan
kartu
konsep kredit
pemikiran dalam
tentang
hukum Nasional
mendatang.
19
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Unud; 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana UNUD , hal. 25
1.3.2 Tujuan Khusus a. Untuk
mengetahui serta menganalisis pentingnya pembaruan hukum
pidana terhadap tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit. b. Memberikan
deskripsi
dan
analisis
yang
mendalam
tentang
penyalahgunaan kartu kredit. 1.4 Manfaat Hasil Penelitian Adapun manfaat hasil penelitian ini ada yang bersifat teoritis dan ada yang bersifat praktis. a. Manfaat yang bersifat teoritis yaitu untuk menemukan konsep serta teoriteori yang berhubungan dengan penyalahgunaan kartu kredit di bidang perbankan. b. Manfaat yang bersifat praktis yaitu memberikan sumbangan pemikiran bagi pembangunan dan pembaruan hukum khususnya bagi penegak hokum didalam menangani tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit (credit card. 1.5 Landasan Teoritis Sejak ditetapkannya paket kebijaksanaan tanggal 1 Juni 1983, Pakto, 27 Tahun 1988, Pakjun dan ketentuan lanjutannya tahun 1993, dunia perbankan semakin bergairah, terbukti dengan munculnya sejumlah bank-bank baru yang berhasil dalam meningkatkan pengerahan dana dan menyalurkannya kembali ke dalam masyarakat. Dibalik kesuksesan dunia perbankan tersebut semakin meningkat pula tindak pidana dalam dunia perbankan ini, baik dari segi kuantitas maupun
kualitasnya sehingga tentunya merupakan kendala yang serius di bidang perbankan pada khususnya dan terhadap pembangunan ekonomi pada umumnya. Dalam berbagai peraturan yang mengatur pembinaan dan pengembangan usaha bank memang masih terdapat kelemahan dan kekurangan, khususnya dalam pengamanannya. Kekurangan dan kelemahan dalam peraturan-peraturan itu memberikan kesempatan bagi segolongan orang yang mempunyai itikad tidak baik untuk melakukan tindak pidana seperti pencurian, penggelapan, korupsi, penipuan, pemalsuan, membuka rahasia bank, bank gelap, dan lain-lain. Tindak pidana dibidang
Perbankan pada hakekatnya merupakan
ancaman terhadap keamanan dan kesehatan sistem perbankan, sehingga dapat mengganggu sistem moneter yang pada gilirannya dapat membahayakan sendisendi kehidupan dalam pembangunan pada umumnya. Pelanggaran ketentuan-ketentuan
terhadap
di bidang perbankan dapat dikenakan sanksi dalam bentuk
administratif maupun sanksi pidana. Penentuan pelanggaran perbankan sebagai tindak pidana tersebut harus memperhatikan tingkat identitas gangguan terhadap sistem perbankan. Adapun yang menjadi masalah dewasa ini adalah belum adanya peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur masalah tindak pidana di bidang perbankan, sehingga tidak ada dasar hukum yang dapat dipakai untuk mengantisipasi tindak pidana ini. Dewasa ini peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan tindak pidana di bidang perbankan yaitu :
a. Undang Undang No. 7 Tahun 1992 jo. Undang Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. b. Kitab Undang Undang Hukum Pidana. c. Undang Undang No. 3 Tahun 1971 jo, Undang Undang No, 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. d. Undang Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. e. Undang Undang No. 32 Tahun 1964 jo. Undang Undang No. 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. f. Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik g. Rancangan Undang – Undang Tentang Transfer dana h. Ordonansi Riba ( Stbl. 1938 No. 534).20 Perkembangan masyarakat dan perubahan masyarakat membutuhkan pembaruan hukum. Ini menyangkut politik hukum, ialah yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu. Penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional untuk menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.
20
Marulak Pardede, op cit Hal. 39
Adapun teori-teori yang digunakan dalam menjawab permasalahan sesuai dengan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut: 1. Teori Kebijakan Hukum Pidana Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional, pendekatan ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang berorientasi pada nilai.21 Crime is designation, which means that crime is defined by other than criminals. Crime is behavior subject to judgment of other.22 Kejahatan adalah penunjukan, yang berarti kejahatan yang didefinisikan oleh selain penjahat. Kejahatan adalah perilaku tunduk pada penilaian lainnya. Sehingga kebijakan penegakan hukum sangat diperlukan untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan penegakan hukum
pidana
merupakan
serangkaian proses
yang terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu : a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh badan pembuat undang-undang. b. Tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
21
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebiiakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Penerbit: Universitas Diponegoro Semarang, hal. 61 22
Peter Hoefnagels G. 1973. The Other Side of Criminology. Kluwer – Deventer. Holland.hal.92
c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.23 Pada tahap kebijakan legislatif ditetapkan sistem pemidanaan,maka pada hakekatnya sistem pemidanaan itu merupakan sistem kewenangan/ kekuasaan menjatuhkan pidana. Pidana tidak hanya dapat dilihat dalam arti sempit/ formal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti luas/ material. Dalam arti sempit/formal, penjatuhan pidana berarti kewenangan menjatuhkan/ mengenakan sanksi pidana menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim). Sedangkan dalam arti luas/material, penjatuhan pidana merupakan mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana. Hal ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral. Oleh karena itu keseluruhan sistem/ proses/ kewenangan penegakan hukum pidana itupun harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Perumusan tujuan politik kriminal yang demikian itu pernah pula dinyatakan dalam salah satu laporan Kursus Latihan ke -34 yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo
23
Barda Nawawi Arief, 1998 Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. PL Citra Aditya Bakti Bandung, , hal.30
tahun 1973 yang dikutip dalam tesis Kajian Aspek Pidana Dalam Penyalahgunaan Kartu Kredit (Credit Card sebagai berikut: Most of group members agreed some dicussion that "protection of the society" could be accepted as the final goal of criminal policy, Although not the ultimate aim of society, which might perhaps be described by terms like "happiness of citizens", "a wholesome and cultural living", "social welfare" or equality".24(terjemahan biasa:Sebagian besar anggota kelompok setuju beberapa dicussion bahwa "perlindungan masyarakat" dapat diterima sebagai tujuan akhir dari kebijakan kriminal, Meskipun bukan tujuan utama masyarakat, yang mungkin dapat dijelaskan oleh istilah-istilah seperti "kebahagiaan warga", "sebuah sehat dan hidup budaya "," kesejahteraan sosial "atau kesetaraan) Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal yaitu : a. Dalam arti sempit yaitu keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana b. Dalam arti luas yaitu merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. c. Dalam arti paling luas, yaitu merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.25 Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa politik kriminal pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial (yaitu kebijakan/ upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial) Beberapa mengenai
kejahatan
yang
mendapat
The Prevention of Crime and The
perhatian Treatment
kongres
PBB
of Offenders,
dimana dalam Kongres ke-5 tahun 1979 di Geneva, menyebutkan antara lain :
24
Praniti, A.A. Sg.2003. dalam Tesis Kajian Aspek Pidana Dalam Penyalahgunaan Kartu Kredit (Credit Card).Pascasarjana Universitas Udayana.hal22 25
Sudarto. 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto II), hal. 114
1. "Crime as a business" yaltu kejahatan yang bertujuan mendapatkan material melalui kegiatan dalam bisnis atau industri, yang pada umumnya dilakukan secara terorganisir dan dilakukan oleh mereka yang mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat ; termasuk dalam kejahatan ini antara lain yang berhubungan dengan pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen dan dalam bidang perbankan, disamping kejahatan-kejahatan lainnya yang biasa dikenal dengan "organized crime", "white collar crime", dan korupsi. 2. Tindak pidana yang berhubungan dengan hasil pekerjaan seni dan kekayaan budaya, objek-objek budaya, dan warisan budaya. Kejahatan yang berhubungan dengan alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan. 3. Perbuatan kekerasan antara perorangan (interpersonal violence), khususnya di kalangan remaja. 4. Perbuatan kekerasan yang bersifat trans nasional dan internasional, yang biasa disebut dengan perbuatan-perbuatan terorisme. 5. Kejahatan yang berhubungan dengan lalu lintas kendaraan bermotor. 6. Kejahatan yang berhubungan dengan perpindahan tempat (migrasi) dan peralihan pengungsi akibat bencana alam dan peperangan ; masalah-masalah yang berhubungan dengan perpindahan tempat misalnya mengenai pelanggaran paspor dan visa, pemalsuan dokumen, mengeksploitir tenaga kerja, pelacur, dan sebagainya. Masalahmasalah yang berhubungan dengan pengungsi antara lain masalah pengalihan bantuan dan masalah spionase.26 Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian "kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana".
2. Teori Politik hukum pidana Politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan 26
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebiiakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti Bandung ,Hal. 15
untsuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Poltik hukum menurut Sudarto adalah: 1. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung di dalam masyarakat dan apa yang dicita-citakan. 2. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik, sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.27 Pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara yang dikutip dalam Bukunya Mulyana W. Kusumah mengajukan pandangan tentang politik hukum nasional yaitu : ”Politik hukum nasional secara harafiah diartikan sebagai kebijaksanaan hukum (Legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu”. Politik Hukum Nasional tersebut meliputi: 1. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten 2. Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada yang dianggap usang dan menciptakan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi perkembangan masyarakat 3. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya 4. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.28 Dengan demikian, sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan
27
28
M. Hamdan, 1997,Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, hal. 19
Mulyana W. Kusumah, Perspektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1986, hal.42
merumuskan suatu perundang-undangan yang baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Menurut Marc Ancel, Modern Criminal Science terdiri dari tiga komponen, yaitu : 1. Criminology 2. Criminal Law 3. Penal Policy Mengutip pendapat Sutherland and Cressey didalam buku “Introduction To Criminology (Theories, Methods, and Criminal Behavior)” There are four characteristic of criminal law: 1. It is assumed by political authority. The state assumes the role of plaintiff or the party bringing forth charges. Murder, for example, is no longer just an offense against a person, but against the state. In fact, the state prohibits individual revenge in such matters, perpetrators must pay their debt to society, not to the individual wronged (Hal ini diasumsikan oleh otoritas politik. Negara mengasumsikan peran penggugat atau pihak menelorkan biaya. Pembunuhan, misalnya, tidak lagi hanya sebuah pelanggaran terhadap seseorang, tetapi melawan negara. Bahkan, negara melarang aksi balas dendam individual dalam masalah seperti itu, pelaku harus membayar utang mereka kepada masyarakat, bukan pada individu dirugikan) 2. It must be specific, defining both the offense as well as the proscribed punishment.( Ini harus spesifik, mendefinisikan baik pelanggaran serta hukuman dilarang.) 3. The law is uniformly applied. That is, equal punishment and fairness to all, irrespective of social position, is intended (Hukum adalah seragam diterapkan. Artinya, hukuman yang sama dan keadilan untuk semua, terlepas dari posisi sosial, dimaksudkan) 4. The law contains penal sanctions enforced by punishment administered by the state.29 (Undang-undang memiliki sanksi pidana ditegakkan oleh hukuman dikelola oleh negara)
29
Hagan, Frank E. Introduction to Criminology. Nelson – Hall. Chicago. 1986. Hal.12
Penal Policy dikatakan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik, dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Mengutip pendapat A. Mulder didalam buku Bahan Bacaan Politik karangan Barda Nawawi, politik hukum pidana (Strafrechtpolitiek) ialah garis untuk menentukan: 1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui. 2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. 3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.30
Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktek perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak dipersoalkan. Permasalahannya sekarang adalah, garis-garis kebijakan atau pendekatan yang
bagaimanakah
sebaiknya
ditempuh dalam menggunakan hukum
pidana.
30
Barda Nawawi Arief, 1992, Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana. Pasca Sariana Universitas Indonesia. Jakarta, hal. 7.
Menurut Herbert L. Packer, sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar serta untuk menghadapi ancaman-ancaman. Selanjutnya Packer menyatakan bahwa : 1. (The criminal sanction is indispenable; we could not, now or in the foreseeable future get along, without it).Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa yang akan datang, tanpa pidana . 2. (The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross & immediate harms and threats from harms).Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki utk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta utk menghadapi ancamanancaman dari bahaya 3. ( The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used provedently and humanely, it i s Guarantor; used indiscriminately and, it is coercively threatene r)Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.31 Dengan demikian Packer berpendapat bahwa menggunakan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan harus dilakukan dengan hati-hati, sebab bukan tidak mungkin penggunaan sanksi pidana itu akan menjadi semacam "bumerang", dalam arti justru akan menimbulkan bahaya dan meningkatkan jumlah kejahatan dalam masyarakat.
31
Herbert L. Packer, 1967,The Limits of The Criminal Sanction, Stanford California University Press, hal. 344-346.
3. Teori Legislasi. Mengutip pendapat dari Fuller dalam buku karangan Satjipto Rahardjo yang berjudul Hukum dan Masyarakat, Hukum dikatakan sebagai suatu system harus memenuhi 8 (delapan) prinsip legalitas atau yang disebut dengan principles of legality. Kedelapan prinsip tersebut dapat menjadi acuan dalam penyusunan undang-undang. Adapun delapan prinsip tersebut meliputi: a.
Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu, hal ini berarti, bahwa tidak ada tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau tindakan-tindakan yang bersifat arbiter;
b.
Peraturan-peraturan itu dibuat harus diumumkan secara layak;
c.
Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut;
d.
Perumusan-perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci, ia harus dapat dimengerti oleh rakyat;
e.
Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin;
f.
Di antara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain;
g.
Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah;
h.
Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat.32
32
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Angkasa, 1980), hlm. 78, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I).
Agar hukum itu berfungsi maka hukum harus memenuhi syarat berlakunya hukum sebagai kaidah yakni: a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan. b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat. c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.33
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa: Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik yang meliputi: a. Kejelasan tujuan; Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundangundangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundangundangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Yang dimaksud dengan asas "kesesuaian antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa dalam Pembentakan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan. Perundang-undangannya.
33
H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94.
d. Dapat dilaksanakan; Yang dimaksud dengan asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; Yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara f. Kejelasan rumusan; Yang dimaksud dengan asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. g. Keterbukaan. Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundangundangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
4. Teori Pembaruan Hukum Pidana Berkaitan dengan pengertian pembaruan hukum pidana Barda Nawawi Arief mengemukakan yaitu: Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makana, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosiofilosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakkan hukum di Indonesia.34
34
Barda Nawawi Arief III, op.cit, hal. 27.
Pembaruan hukum pidana dapat dikatakan sebagai pembaruan terhadap masalah perbuatan yang dilarang atau perbuatan yang dapat dipidana; pelaku kejahatan; dan sanksi pidana yang diancamkannya,35 yang pada dasarnya hal itu terletak pada masalah mengenai perbuatan apa yang sepatutnya
dipidana;
syarat
apa
yang
seharusnya
dipenuhi
untuk
mempermasalahkan/ mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu; dan sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang itu.36 Akan tetapi hukum pidana dipandang sebagai suatu sistem yang mengatur keseluruhan dari aturan perundang-undangan hukum pidana, sehingga pembaruan system hukum pidana (penal system reform) meliputi pembaruan substansi hukum pidana, pembaruan struktur hukum pidana, dan pembaruan budaya hukum pidana. 6. Teori Hukum Progresif Mengutip pendapat Satjipto Rahardjo, terdapat 2 macam tipe penegakan hukum progresif : 1. Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif. Idealnya, mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif; 2. Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan ilmuan serta teoritisi hukum Indonesia.37
35
Djoko Prakoso, 1983,Pembaruan Hukum Pidana Di Indonesia, cet.I, Yogyakarta: Penerbit : Liberty, Hal. 48 36
Barda Nawawi Arief I,op.cit, hal.111.
37
http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif-Di-Indonesia
Munculnya Hukum progresif adalah untuk menegaskan bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya. “Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Dalam satu dekade terakhir, Satjipto Rahardjo menekankan satu hal penting, bahwa “tujuan hukum adalah membahagiakan manusia”. Dan mengingatkan bahwa letak persoalan hukum adalah di manusianya. Penegasan ini berbeda dengan Pemahaman hukum secara legalistikpositivistik dan berbasis peraturan (rule bound). Dalam ilmu hukum yang legalistik- positivistik, hukum sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Untuk lebih jelasnya, hukum progresif ini dapat dijelaskan melalui runutan pengidentifikasikan yang terdiri atas asumsi, tujuan, spirit, progresivitas, dan karakter. Asumsi
1. Hukum untuk manusia, bukan sebaliknya. Maka kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. 2. Hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making)
Tujuan : 1. Kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Spirit 1. Pembebasan terhadap tipe, cara berfikir, asas, dan teori yang selama ini dipakai. 2. Pembebasan terhadap kultur penegakan hukum (administration of justice) yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambat usaha hukum untuk menyelesaikan persoalan Progresivitas
1. Bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dan karenanya memandang hukum selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making). 2. Peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik lokal, nasional, maupun global. 3. Menolak status-quo manakala menimbulkan dekandensi, suasana korup
dan
sangat
merugikan
kepentingan
rakyat,
sehingga
menimbulkan perlawanan dan pemberontakan yang berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum.
Karakter
1. Kajian hukum progresif berusaha mengalihkan titik berat kajian hukum yang semula menggunakan optik hukum menuju ke perilaku.
2. Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat, meminjam istilah Nonet & Selznick, bertipe responsif. 3. Hukum progresif terbagi paham dengan legal realism, karena hukum tidak dipandang dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. 4. Hukum progresif
memiliki
kedekatan
dengan sociological
jurisprudence dari Roscoe Pound yang mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan tetapi keluar dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum. 5. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan teori hukum alam, karena peduli terhadap hal-hal yang meta-juridical. 6. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan Critical
Legal
Studies namun cakupannya lebih luas
1.6 Metode Peneiitian 1.6.1 Jenis Penelitian Selayaknya suatu karya ilmiah ,agar memiliki bobot ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan maka dalam melakukan penelitian tesis ini dipergunakan metoda penelitian yaitu penelitian normatif. Metode normatif yaitu pemecahan masalah yang didasarkan pada literatur – literatur dan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
1.6.2 Metode Pendekatan Adapun metode pendekatan yang dipakai terhadap masalah ini adalah beberapa metode yang dikenal dalam penelitian hukum normatif, yaitu pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan kasus (case Approach), pendekatan perbandingan. -
Metode pendekatan perundang-undangan dan analisis konsep hukum, dimana yang dikaji dalam penelitian ini adalah peraturan perundangundangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, maksudnya terhadap masalah yang timbul akan ditinjau dan dikaji berdasarkan teori-teori dan ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya dan kemudian dikaitkan dengan kenyataan dimasyarakat.
-
Metode pendekatan kasus yaitu untuk dapat memahami fakta-fakta materiil dengan cara memperhatikan abstraksi rumusan fakta yang terjadi.38
-
Metode pendekatan perbandingan digunakan untuk membandingkan hukum yang berlaku di Indonesia dengan hukum yang berlaku di Negara lainnya. Seperti dalam penanggulangan penyalahgunaan kartu kredit di Indonesia sampai saat ini menggunakan KUHP dan UU No.11 Tahun 2008 Tentang Transaksi Elektronik,sedangkan Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang telah memiliki banyak
38
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum , Cetakan ke -3, Jakarta, kencana, 2007, hal.119
perangkat hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law termasuk mengenai tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit. Di Amerika, Cyber Law yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA) sedangkan di Filipina menggunakan Philippines E-commerce Act Republic Of The Philippines.39
1.6.3 Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yang mana dalam penyusunan tesis ini yang dipakai adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Pokok Perbankan, Petunjuk Lapangan Kapolri No.POL : JUKLAP/ 017 I/ 1995 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang berhubungan dengan kartu kredit. b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.40
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
39
Asril Sitompul, 2004, Hukum Internet (Pengenalan Mengenai Masalah Hukum Di Cyberspace), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, ,hal.175 40
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 1985,Peneiitian Hukum Normatif Suatu Tiniauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, Hal. 13
Karena penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normatif, maka lebih menitik beratkan penelitian pada bahan hukum primer, sedangkan bahan hukum sekunder lebih bersifat menunjang. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dari sumber primer berupa perundang-undangan dan yurisprudensi, dan dari sumber sekunder berupa dokumen atau risalah perundangundangan, konsep rancangan undang-undang, sumber-sumber hukum lainnya, hasil-hasil penelitian dan kegiatan ilmiah, serta pendapat para ahli hukum dan ensiklopedi.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Di dalam penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data, melainkan melalui metode seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat kaitannya antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara deskriptif , interpretatif, evaluatif dan argumentatif. -
Teknik
deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk
memperoleh gambaran secara mendalam mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi pidananya. -
Teknik Interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran
historis,sistematis, dan lain-lain.
Selanjutnya bahan Hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif ,sistematis dan argumentatif. -
Teknik evaluative yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan, proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan,baik yang
tertera dalam baik dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder. -
Teknik Sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum atau konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun tidak sederajat.
-
Teknik Argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.41
41
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana.2008.hal14