BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Badan hukum nirlaba dikenal sebagai badan hukum yang berorientasi pada pelayanan masyarakat dengan mengacu pada penyelesaian isu-isu dan permasalahan yang tengah terjadi dalam komunitas tertentu atau di masyarakat luas. Badan hukum nirlaba bersifat non-profit yang tidak bertujuan komersil atau bersifat tidak mencari keuntungan. Karakter dasar dari berbagai kegiatan di badan hukum nirlaba adalah kepentingan sosial dan sebagai agen perubahan di masyarakat. Salah satu contoh badan hukum nirlaba di Indonesia adalah yayasan. Nirlaba dalam konteks yayasan diartikan hanya sebagai istilah yang biasa digunakan sebagai sesuatu yang bertujuan sosial, kemasyarakatan atau kelestarian lingkungan yang tidak semata-mata untuk mencari keuntungan materi (uang).
1
Jika dilihat
dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (selanjutnya disebut UU Yayasan), istilah nirlaba tersebut tidak ditemukan. Istilah nirlaba ini digunakan sebagai mewakili dari suatu institusi atau lembaga yang tujuannya tidak diperuntukkan untuk mencari untung sebesar-besarnya seperti halnya badan usaha yang bergerak di bidang profit. Laju pertumbuhan badan hukum nirlaba dalam kehidupan masyarakat di Indonesia dapat dikatakan cukup revolusioner dengan berbagai alasan dan motivasi.
1
85.
Hendra Nurtjahjo, 2004, Perkembangan Hukum Nirlaba di Indonesia, Ghalia, Jakarta, h.
Di Bali, setiap tahunnya bermunculan badan hukum nirlaba dengan fokus pelayanan yang beragam, mulai dari pendidikan, kesehatan, lingkungan, kesetaraan gender dan juga disabilitas. Yayasan yang bergerak di bidang pemenuhan hak dan akses bagi disabilitas merupakan salah satu jenis yayasan yang mengalami perkembangan jumlah amat pesat. Keberadaan yayasan-yayasan ini dilihat sebagai semacam jalan keluar dari berbagai macam bentuk tekanan dan pembatasan baik pembatasan secara politik, maupun keterbatasan secara ekonomi. Yayasan atau organisasi nirlaba juga berperan kuat dalam menghadapi berbagai masalah yang tengah bergejolak khususnya di Bali. Ketimpangan antara perkembangan pesat pariwisata Bali dengan pemenuhan hak-hak dasar dari kaum disabilitas di Bali telah mulai dijembatani melalui keberadaan yayasan atau organisasi nirlaba. Sebagai sebuah laboratorium dan inkubator solusi dan inovasi yang mampu mendukung pengetasan permasalahan sosial di Bali, yayasan sangat bergantung pada sumber daya manusianya. Sumber daya manusia yang lebih dikenal sebagai para pekerja sosial ini merupakan aset utama yayasan karena merekalah yang menciptakan, mengembangan dan menjalankan berbagai program pelayanan sesuai visi dan misi masing-masing yayasan. Para pekerja yayasan berasal dari berbagai latar belakang pendidikan dan keahlian. Sebagai sebuah pekerjaan yang menuntut komitmen dalam kegiatan sosial, berdampak pada kualifikasi pekerja yang sangat fleksibel, tanpa menuntut jenjang pendidikan dan pengalaman kerja tertentu. Namun, seiring perkembangan teknologi di era globalisasi ini, posisi-posisi yang
membutuhkan keterampilan tertentu seperti managerial atau medis, tetap diisi oleh para pekerja yang memiliki keterampilan dan jenjang pendidikan tinggi. Yayasan sebagai salah satu badan hukum sosial termasuk ke dalam pengertian perusahaan menurut ketentuan umum dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan). Pada ketentuan umum undang-undang tersebut disebutkan pengertian dari perusahaan adalah: a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dari pengertian di atas maka yayasan sebagai salah satu badan hukum sosial tunduk pada UU Ketenagakerjaan. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara yayasan dalam hal ini diwakili oleh pengurus dengan pihak pekerja. Sebagai salah satu badan hukum sosial yang tunduk pada UU Ketenagakerjaan, maka yayasan wajib menjamin pemenuhan hak-hak para pekerja yayasan. Sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku pada saat ini disebutkan dengan jelas mengenai perlindungan terhadap penyandang cacat, perlindungan
terhadap
perempuan,
perlindungan
terhadap
waktu kerja,
keselamatan dan kesehatan kerja, juga perlindungan dalam hal pengupahan dan dalam hal kesejahteraan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga telah disebutkan bahwa Negara telah menjamin bahwa setiap warga negaranya berhak memperoleh hak asasi. Salah satunya adalah hak memperoleh pekerjaan seperti yang tercantum dalam UndangUndang Dasar 1945 Bab XA Pasal 28 D ayat (2) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Mengacu pada Pasal tersebut dapat terlihat dengan jelas bahwa dalam hak dan perlindungan kerja merupakan hal mutlak yang harus diberikan kepada setiap orang yang bekerja tanpa mengenal dikriminasi dan membeda-bedakan seseorang atas dasar status, ras, agama maupun kondisi fisik seseorang.2 Berkaitan dengan kondisi fisik seseorang, dikenal adanya istilah penyandang cacat. Menurut Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (selanjutnya disebut UU Penyandang Cacat), pada Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunya kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental dan penyandang cacat fisik dan mental.
2
Majda El-Muhtaj, 2012, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.94. ( Selanjutnya disebut Majda El-Muhtaj I)
Dalam dasawarsa terakhir, sebutan penyandang cacat mengalami perubahan menjadi penyandang disabilitas seiring dengan perubahan stigma di kalangan penyandang disabilitas dan organisasi terkait, yang menganggap bahwa istilah cacat merupakan istilah yang merendahkan kondisi dan kemampuan penyandang disabilitas bersangkutan.3 Isu-isu disabilitas juga kian banyak dibicarakan sehubungan dengan meningkatnya jumlah penyandang disabilitas di Indonesia. Hampir di seluruh dunia diketahui bahwa 80 persen dari penyandang disabilitas hidup di bawah garis kemiskinan.4 Sebagian besar dari mereka tinggal di daerah pedesaan yang terpencil dan jauh dari pusat kota. Hal ini menyebabkan penyandang disabilitas menghadapi kesulitan yang lebih besar dibandingkan masyarakat pada umumnya sebab mereka memiliki hambatan dalam mengakses layanan umum. Penyandang disabilitas seringkali tidak memiliki akses untuk pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan, dan kegiatan perekonomian. Kurangnya akses dalam transportasi, bangunan, pendidikan, dan pekerjaan merupakan beberapa contoh yang menjadi penghambat dalam kehidupan seharihari para penyandang disabilitas. Para penyandang disabilitas juga memiliki kemungkinan kecil untuk dipekerjakan dibandingkan dengan mereka yang tanpa disabilitas. Selain itu ketika mereka dipekerjakan, seringkali mereka bekerja untuk pekerjaan yang dibayar rendah dengan kemungkinan promosi yang sangat kecil
3
Siradj Okta, Irwanto , 2010, Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia, FISIP UI-AusAID, Jakarta, h. 2. 4 UN Enable Fact sheet on Persons with Disabilities, diakses pada 28 September 2013, tersedia pada http://www.un.org/disabilities/default.asp?id=18
serta kondisi kerja yang buruk.5 Banyak hak-hak para penyandang disabilitas yang dilanggar dengan berbagai cara di seluruh dunia ini termasuk di Indonesia.6 Penyetaraan hak merupakan hal mutlak yang wajib dilakukan, termasuk dalam penyamaan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan, hak atas hasil pekerjaan dan hak perlindungan selama melakukan pekerjaan. Jim Ife menyatakan: “ In many cases they are simply claims for human rights that are denied to particular groups: people with disabilities, for example, may find it especially difficult to obtain employment, and hence the right to meaningful work (recognised as a universal human right) takes on extra significance for people with disabilities and is included as part of statement of their specific rights. in this case the right itself is no different from the right of other member of the population, but the point is that oppressive structures and discourses mean that it is hard for this particular group to exercises that right, and hence special provision needs to be made.” 7 Penyetaraan hak penyandang disabilitas dalam hal memperoleh pekerjaan juga dijamin dalam Pasal 14 UU Penyandang Cacat yang telah mengatur adanya kuota satu persen bagi penyandang disabilitas dalam ketenagakerjaan, artinya ada kewajiban bagi perusahaan untuk mempekerjakan satu orang penyandang disabilitas untuk setiap 100 orang pegawai. Dengan demikian, tak ada alasan bagi perusahaan untuk menutup lapangan pekerjaan bagi penyandang disabilitas yang mempunyai keinginan untuk bekerja dalam rangka meningkatkan taraf kualitas kehidupannya.
5
International Labour Office, 2013,Mempromosikan Pekerjaan Layak bagi Semua Orang: Membuka Kesempatan Pelatihan dan Kerja bagi penyandang Disabilitas, ILO Publication, Jakarta, h.4. (selanjutnya disebut International Labour Office I ) 6 Action on Disability and Development, http://www.add.org.uk/disability_facts.asp 7
p.13.
diakses
pada
28
September
2013,
Jim Ife, 2008, Human Rights And Social Work, Cambrige University Press, Port Melbourne,
Terjaminnya kesamaan hak dan kedudukan penyandang disabilitas dalam dunia kerja seperti yang telah diatur dalam Pasal 5 UU Penyandang Cacat, ternyata tidak disertai dengan pelaksanaannya di lapangan. Dalam bidang ketenagakerjaan masih banyak yang menganggap bahwa penyandang disabilitas sama dengan tidak sehat, sehingga tidak dapat diterima sebagai pekerja karena syarat untuk menjadi pekerja salah satunya adalah sehat jasmani dan rohani. Disabilitas tidaklah dapat dijadikan alasan untuk mengebiri atau mengeliminasi para penyandang disabilitas dalam memperoleh hak atas pekerjaan atau hak-haknya selama bekerja,8 sebagaimana hal ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM). Selain itu, masalah aksesibilitas bagi penyandang disabilitas juga masih banyak terjadi di berbagai tempat dan bidang kehidupan. Banyak fasilitas umum yang belum ramah terhadap mereka. Begitupun di dalam dunia kerja. Masih sangat minim pemberian fasilitas kerja yang menunjang dan mempermudah kinerja dari penyandang disabilitas tersebut seperti tidak adanya jalur bagi pengguna kursi roda dan tidak adanya kamar mandi khusus untuk penyandang disabilitas pada sebuah gedung. Kondisi-kondisi tersebut tentunya sangat menghambat akses dan partisipasi para penyandang disabilitas tersebut di berbagai bidang pekerjaan. Cara pandang yang salah terhadap penyandang disabilitas dan minimnya fasilitas yang diberikan untuk menjamin kelancaran pekerjaan para penyandang disabilitas di dunia pekerjaan memperlihatkan bahwa masih lemahnya penyetaraan
8
Majda El-Muhtaj, 2009, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,Rajawali Pers, Jakarta, h.275. ( Selanjutnya disebut Majda El-Muhtaj II)
dan pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas dalam dunia kerja, meskipun telah ada perlindungan hukum dari beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah. Penyandang disabilitas juga masih terbukti sulit untuk meraih kesempatan dalam dunia kerja. Jika pun ada yang mempekerjakan penyandang disabilitas, hal tersebut belum dapat dipastikan apakah segala hak para penyandang disabilitas dalam dunia kerjanya telah terpenuhi. Hal ini berkaitan dengan status para penyandang disabilitas yang dianggap sebagai kaum minoritas sehingga mereka hanya dipandang sebelah mata dan hak-hak mereka pun tidak jarang dilupakan. Dari hasil penelitian di lapangan, ditemukan bahwa hanya sedikit dari sekian banyak perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas. Kondisi yang memprihatinkan ini kemudian mendorong berkembangnya beberapa badan hukum nirlaba yang umum disebut yayasan, yang bergerak di bidang pemberdayaan penyandang disabilitas di Bali. Beberapa yayasan di Bali yang memiliki tenaga kerja berkebutuhan khusus atau dengan disabilitas tersebut antara lain Yayasan Pusat Penyandang Cacat (Puspadi) Bali, Yayasan So Rehab Bali dan Yayasan Bunga Bali. Yayasan-yayasan tersebut merupakan badan hukum nirlaba atau badan hukum non-profit yang memiliki misi sosial dan program pelayanan yang dijalankan tidak untuk mencari keuntungan. Dengan demikian, pada umumnya yayasan-yayasan tersebut memiliki sumber pendanaan dan bantuan yang berasal dari sumbangan para donatur dan sponsor. Puspadi Bali merupakan badan hukum nirlaba yang telah berdiri sejak tahun 1999. Tujuan didirikannya yayasan ini adalah untuk membantu para penyandang disabilitas
mencapai
kemakmuran
melalui
rehabilitasi,
pendidikan
dan
pemberdayaan. Puspadi Bali menyediakan layanan bantuan berupa pembuatan alat bantu gerak seperti kaki palsu dan sepatu reposisi serta pendistribusian kursi roda adaptif. Yayasan ini juga memiliki program pelatihan siap kerja khusus bagi penyandang disabilitas usia produktif untuk membantu mereka mendapatkan kesempatan magang di beberapa perusahaan di sekitar Kota Denpasar dan Mangupura. Yayasan Puspadi Bali yang telah terdaftar secara resmi di Kementerian Hukum dan HAM dengan Nomor : AHU – 5479.AH.01.04.Tahun 2013 yang didirikan dan dipimpin oleh Bapak I Nengah Latra merupakan yayasan yang hampir 80% dari karyawannya adalah penyandang disabilitas fisik. Para penyandang disabilitas fisik inilah yang membuat berbagai alat bantu gerak tersebut dan mendistribusikannya kepada para penerima manfaat di berbagai pelosok daerah di Bali dan Nusa Tenggara. Hal ini pun sesuai dengan slogan Puspadi Bali yaitu “For Us, By Us”. Mempertimbangkan produk yang dihasilkan oleh para pekerja di Yayasan Puspadi Bali, aspek keterampilan dan pengetahuan akan anatomi tubuh manusia memang sangat diperlukan guna menghasilkan produk yang baik dan bukannya mencelakai penerima manfaat. Untuk itulah, Yayasan Puspadi Bali menyediakan dukungan bagi para penyandang disabilitas fisik yang bekerja di yayasan tersebut dan sebagian besar dari mereka merupakan lulusan sekolah dasar, melalui pelaksanaan pelatihan hingga beasiswa ke perguruan tinggi. Keselamatan kerja bagi para penyandang disabilitas di Puspadi Bali juga diberikan dalam bentuk akses bagi para pengguna kursi roda seperti jalur kursi roda
atau ramp, kamar mandi khusus untuk penyandang disabilitas, akses ruangan yang sangat mudah dijangkau bagi pengguna kursi roda dan tongkat serta fasilitas penunjang lainnya seperti meja dan kursi yang dipilih untuk memastikan keamanaan para pekerja di Puspadi Bali. Kesehatan selama bekerja juga tidak luput dari perhatian managemen Puspadi Bali dengan menyediakan jas pelindung dan masker selama bekerja. Serupa dengan Yayasan Puspadi Bali yang berlokasi di Denpasar, Yayasan So Rehab Bali di Kabupaten Buleleng yang juga telah terdaftar resmi di Dinas Sosial Provinsi Bali dengan Nomor : 466.3/91/DINSOS/2010 dan Yayasan Bunga Bali
dengan Nomor
pendaftaran
pada
Dinas
Sosial
Provinsi
Bali
:
466.3/945/DINSOS/2010 yang terletak di Denpasar dan Bangli juga memiliki tenaga kerja berkebutuhan khusus atau dengan disabilitas. Ketiga yayasan tersebut sama-sama memiliki tujuan untuk membantu para penyandang disabilitas memperoleh akses kesehatan dan pendidikan serta tidak terisolasi dari masyarakat. Sebagai organisasi yang bergerak di bidang disabilitas, tentu fasilitas dan aksesibilitas telah diperhitungkan dengan sangat baik. Tak hanya itu, pelatihan penunjang keterampilan juga menjadi prioritas pihak pengelola yayasan. Pemaparan kondisi kerja di berbagai yayasan tersebut memang memperlihatkan bahwa para penyandang disabilitas yang bekerja di tempat-tempat tersebut telah mendapat sarana yang sesuai dan mendukung pekerjaan para penyandang disabilitas tersebut. Namun dalam dunia kerja, fasilitas yang baik dan lengkap tentunya bukan satu-satunya tolak ukur keadilan dalam pekerjaan dan pemenuhan hak-hak dalam bekerja. Terdapat beberapa aspek penting lainnya yang
perlu dikaji lebih mendalam seperti jaminan keselamatan kerja, pembayaran gaji sesuai dengan upah minimum regional serta sistem pengelolaan tenaga kerja yang meliputi jam kerja, jam istirahat, sistem komunikasi dan yang lainnya. Dalam penjaminan keselamatan dan kesejahteraan kerja, hal mendasar yang wajib diberikan adalah jaminan sosial ketenagakerjaan yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Pengaturan program kepesertaan BPJS adalah wajib melalui UndangUndang No.24 Tahun 2011 tentang BPJS (selanjutnya disebut UU BPJS). Dengan demikian setiap badan yang menyediakan lapangan kerja wajib mengikutsertakan tenaga kerja dalam program publik BPJS yang menjamin perlindungan bila ada kecelakaan kerja, kematian dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Pemenuhan atas pemberian gaji sesuai upah minimum regional dan penerapan sistem pengelolaan tenaga kerja yang baik dan sesuai ketentuan hukum yang berlaku juga patut diperhatikan. Yayasan yang memperkerjakan para penyandang disabilitas wajib menjamin bahwa setiap tenaga kerja yang bekerja mendapat gaji yang telah diatur pemerintah setempat. Selain itu, pihak yayasan juga wajib menjamin bahwa sistem pengelolaan tenaga kerja yang diterapkan pengurus yayasan tidak bertentangan dengan hukum. Kemudian perlu juga dilakukan promosi terhadap keselamatan dan kesehatan kerja termasuk pencegahan kecelakaan, pencegahan penularan penyakit dan pengadaan fasilitas kesejahteraan. Semua pekerja berhak atas perlindungan yang sama sepanjang mereka terlibat dalam kerja, tanpa menghiraukan status hubungan kerja mereka terlebih lagi keterbatasan fisik mereka selama bekerja.
Status yayasan sebagai badan hukum nirlaba yang mengemban misi sosial sering membuat pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan ketenagakerjaan lupa akan pentingnya pengawasan terhadap sistem pengelolaan sumber daya manusia yang bekerja untuk badan hukum nirlaba tersebut. Terlebih lagi, apabila badan hukum nirlaba tersebut bergerak dalam bidang disabilitas dan memberdayakan para penyandang disabilitas tersebut dengan memberi kesempatan kepada mereka untuk bekerja, maka peninjauan ulang akan pemenuhan dan penjaminan atas hak dalam dunia kerja sering terabaikan. Untuk memperkecil kemungkinan pengurangan akan hak dalam dunia kerja yang dihadapi para penyandang disabilitas di Bali serta menjamin tak adanya diskriminasi maka pengawasan dan penelaahan lebih mendalam mengenai pemberian hak dan fasilitas kerja merupakan hal mutlak yang wajib dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah yang menjadi bahasan penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah perlakuan terhadap tenaga kerja penyandang disabilitas dalam badan hukum nirlaba di Bali? 2. Bagaimanakah upaya pihak yayasan dan Pemerintah Provinsi Bali dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagai tenaga kerja badan hukum nirlaba? 1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang
Lingkup
penelitian
merupakan
bingkai
penelitian,
yang
menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi areal penelitian.9 Untuk mencegah agar isi dan uraian tidak menyimpang dari pokok-pokok permasalahan, maka perlu diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas. Pembatasan dari ruang lingkup masalah ini yaitu peneliti hanya akan membahas mengenai bentuk pemenuhan dan penjaminan hak para penyandang disabilitas yang bekerja di badan hukum nirlaba di Bali. Serta upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak yayasan dan dinas terkait di Pemerintah Provinsi Bali dalam menjamin pemenuhan hak dan penyelenggaraan sistem kerja yang sesuai dengan hukum yang berlaku juga akan termasuk dalam lingkup permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. 1.4.1 Tujuan Umum Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan pemikiran yang konseptual tentang hak-hak penyandang disabilitas dan pemberian fasilitas kerja yang menunjang mereka dalam bekerja, mengingat sering terabaikannya pengawasan terhadap perusahaan, yayasan atau badan usaha lainnya yang memiliki tenaga kerja berkebutuhan khusus atau dengan disabilitas.
9
Bambang Suggono, 2005, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet.7, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.111.
1.4.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui bentuk pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam dunia kerja badan hukum nirlaba yang dilakukan oleh pihak yayasan di Bali. 2. Untuk mengetahui upaya pihak yayasan dan dinas terkait di Pemerintah Provinsi Bali dalam menjamin pemenuhan hak dan penyelenggaraan sistem kerja yang sesuai dengan hukum yang berlaku.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman dan pengembangan wawasan terhadap pengetahuan di bidang hukum ketenagakerjaan khususnya di bidang hak pekerja penyandang disabilitas. 1.5.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai informasi untuk para pendiri pelaku usaha maupun pendiri yayasan dan juga para penyandang disabilitas itu sendiri dalam pemberian hak-haknya yang harus dipenuhi dan diberikan di tempatnya bekerja.
1.6 Orisinalitas Penelitian Dari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau hasil penelitian tentang “Pemenuhan Hak Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas Pada Badan Hukum Nirlaba di Bali “, belum pernah ada yang melakukan penelitian
sebelumnya. Akan tetapi pernah ada yang meneliti yang terkait tentang tenaga kerja pada penyandang disabilitas, yaitu : 1. Tesis Saru Arifin, pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jogjakarta, 2007, yang berjudul “Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat dalam Meraih Pekerjaan (Studi Kasus di Jogjakarta)” Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah : (1) Bagaimana perlindungan hukum terhadap kesetaraan hak-hak penyandang cacat. (2) Bagaimanakah kebijakan pemerintah dan kalangan pengusaha terhadap hak-hak penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan. (3) faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat kesetaraan hak para tenaga kerja penyandang cacat dalam meraih peluang kerja.10 2. Tesis Suwarto Nasucha, pada Program Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Administrasi Universitas Diponogoro, Semarang,2004, yang berjudul “ Upaya Memperluas Lapangan Kerja Di Organisasi Formal Bagi Penyandang Cacat Di Jawa Tengah Studi Tentang Implementasi UndangUndang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat.Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah: Apakah rendahnya rekrutmen penyandang cacat sebagai tenaga kerja di Jawa Tengah ada hubungannya dengan tidak efektifnya komunikasi UU 4/1997 dari pemerintah kepada pengusaha, persepsi pengusaha terhadap
10
Saru Arifin, 2007, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat dalam Meraih Pekerjaan (Studi Kasus di Jogjakarta),diakses pada tanggal 14 September 2013, tersedia di http://dppm.uii.ac.id/datainformasi/uploads/f050205.pdf
penyandang cacat dan spesifikasi jabatan yang ada di perusahaan tidak sesuai dengan kemampuan penyandang cacat.11 3. Tesis Sariman, pada Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2005, yang berjudul “ Kajian Yuridis Jaminan Hak Atas Pekerjaan Bagi Penyandang Cacat Tubuh Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat Di Surakarta. Adapun permasalahan yang diangkat adalah : (1) Mengapa kuota 1 (satu) persen tentang jaminan hak atas pekerjaan di perusahaan bagi penyandang cacat tubuh sebagaimana diatur didalam Pasal 14 Undangundang Nomor 4 Tahun 1997 tidak terpenuhi. (2) Apakah yang seharusnya dilakukan agar hak atas pekerjaan di perusahaan bagi penyandang cacat tubuh tersebut bisa terpenuhi sesuai kuota yang ada.12
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.7.1 Landasan Teoritis Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Teori Hak Asasi Manusia
11
Suwarto Nasucha, Semarang,2004,Upaya Memperluas Lapangan Kerja Di Organisasi Formal Bagi Penyandang Cacat Di Jawa Tengah Studi Tentang Implementasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat), diakses pada tanggal 14 September 2013, tersedia pada http://eprints.undip.ac.id/13269/1/2004MAP3537.pdf 12 Sariman, Surakarta, 2005, Kajian Yuridis Jaminan Hak Atas Pekerjaan Bagi Penyandang Cacat Tubuh Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat Di Surakarta, diakses pada tanggal 14 September 2013, tersedia pada http://dglib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=showview&id=1922
Pada dasarnya terdapat dua hak dasar pada manusia yaitu pertama, hak manusia ( human right) yakni hak yang melekat pada manusia dan secara asasi ada sejak manusia itu dilahirkan.13 Ia berkaitan dengan eksistensi hidup manusia, bersifat tetap dan utama, tidak dapat dicabut, tidak dapat digantungkan dengan ada atau tidaknya orang lain disekitarnya. Kedua, hak undang-undang ( legal rights) yaitu hak yang diberikan oleh undang-undang secara khusus kepada pribadi manusia.14 Oleh karena diberikan, maka sifat pengaturannya harus jelas tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Dengan dasar filosofi demikian, maka dapatlah kiranya dimengerti kalau hak yang diberikan dengan cara demikian ini sewaktu-waktu dapat dicabut menurut peraturan yang ditetapkan sebelumnya. Hak-hak manusia disebut hak asasi, karena dianggap sebagai fundamen yang diatasnya seluruh organisasi hidup bersama harus dibangun dan merupakan asasasas undang-undang.15 Dalam perspektif teori, menurut Teori Hukum Alam, mengakui bahwa setiap manusia dilahirkan sebagai individu yang mempunyai hak alamiah yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga. Hak alamiah ini salah satunya mencakup hak untuk hidup bebas dari penyiksaan dan diskriminasi serta tumbuh berkembang sebagai layaknya manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Teori Hukum Alam ini berasal dari Thomas Hobes yang muncul pada abad pertengahan dan mendapat
13
H. Muladi, 2007, Hak Asasi Manusia-Hakekat, Konsep ,dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Utama, Bandung, h.229 14
Ibid.
15
Ibid, h. 230
dukungan dari Grotius.16 Teori Hukum Alam didukung oleh John Locke yang menyatakan bahwa semua individu dikaruniai Tuhan sejumlah hak atas kehidupan kebebasan, dan harta yang merupakan milik mereka sendiri, dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh negara. Selanjutnya John Locke menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.17 Penyandang disabilitas sering dianggap sebagai warga masyarakat yang tidak produktif, tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sehingga hak-haknya pun sering diabaikan. Indonesia memang telah mempunyai UU Penyandang Cacat. Selain implementasinya yang lemah, undang-undang ini dipandang kurang memberdayakan subyek hukumnya. Istilah “penyandang cacat” yang
digunakan
dianggap
menstigmatisasi
karena
kata
“penyandang”
menggambarkan seseorang yang memakai “label atau tanda-tanda negatif” kecacatan itu pada keseluruhan pribadinya.18 Penyetaraan hak penyandang disabilitas merupakan hal mutlak dan selalu menjadi isu penting di masyarakat. Penyetaraan ini dapat dilakukan dengan pemberian hak mendapatkan pekerjaan dan pemenuhan hak-haknya selama bekerja untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya. Yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial dalam UU Penyandang Cacat adalah suatu tata kehidupan dan
16
Idrus Affandi dan Karim Suryadi, 2007, Hak Asasi Manusia, Universitas Terbuka, Jakarta,
17
Ibid.
h.18.
18
Siradj Okta, Irwanto, Loc.cit.
penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir dan batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara sesuai dengan Pancasila. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan mengenai kedudukan, hak, dan kewajiban warga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 perlu dilakukan upaya-upaya yang lebih memadai, terpadu, dan berkesinambungan guna mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat. Bagian II pada Konvensi International Labour Organisation (ILO) 159 juga memperkuat dengan memastikan bahwa tindakan rehabilitasi keterampilan diberikan kepada semua penyandang disabilitas, tanpa melihat jenis atau kategori disabilitas mereka, dan bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama dengan mereka yang tidak penyandang disabilitas pada dunia kerja. Selain itu, di dalam rekomendasi yang menyeluruh dan melihat jauh ke depan, ILO menyatakan secara tegas bahwa: “Para pekerja dengan disabilitas, apapun asal usul disabilitas mereka, haruslah diberikan peluang sepenuhnya untuk mendapatkan rehabilitas, bimbingan vokasional khusus, pelatihan dan pelatihan kembali, dan melakukan pekerjaan yang berguna. Mereka dengan disabilitas hendaknya, jika dimungkinkan, dilatih bersama para pekerja lainnya, dengan kondisi yang sama, dan pembayaran yang sama, dan menghimbau adanya kesetaraan peluang kerja untuk pekerja penyandang disabilitas dan adanya tindakan afirmatif untuk mendorong terwujudnya pekerjaan bagi penyandang disabilitas serius.”19
19
International Labour Office I, Op.cit, h. 12
Hak untuk bekerja bagi semua orang, termasuk juga para penyandang disabilitas, juga dijadikan ketentuan yang mengikat oleh PBB. Pasal 23 Deklarasi Hak Asasi Manusia (diadopsi oleh Sidang Umum pada tanggal 10 Desember 1948) sudah sangat jelas menyatakan: “Setiap orang memiliki hak untuk bekerja, untuk memilih secara bebas pekerjaannya, untuk kondisi kerja yang adil dan baik dan untuk dilindungi dari pengangguran. Setiap orang, tanpa ada diskriminasi, memiliki hak yang bayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama. Setiap orang yang bekerja memiliki hak untuk remunerasi yang adil dan baik untuk memastikan keberadaan dirinya dan keluarganya sesuai dengan martabat manusia, dan didukung, jika dimungkinkan, dengan cara-cara jaminan sosial lainnya. Setiap orang memiliki hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.”20
Instrumen pokok dalam hukum internasional yang mengatur hak kerja penyandang disabilitas yaitu UN Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi PBB mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) atau disingkat UNCRPD yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia pada bulan November 2011 menegaskan hal penting yang terdapat pada Pasal 27 yaitu melarang diskriminasi atas dasar disabilitas pada semua tahapan pekerjaan misalnya ketika perekrutan, pemekerjaan dan pensiun.21 Pasal tersebut turut mempromosikan kesempatan pekerjaan dan pemajuan karir bagi para penyandang disabilitas di pasar kerja serta memberikan bantuan dalam mencari, mendapatkan, mempertahankan dan kembali ke pekerjaan mereka. Juga memastikan bahwa penyandang disabilitas dapat menjalankan hak tenaga kerja dan serikat pekerja
20
International Labour Office I, Loc.cit
21
Better Work Indonesia-AusAID dan The United State Departemen of Labour, 2012, Memperkerjakan penyandang disabilitas, Jakarta, h. 4.
mereka setara dengan yang lain dan penyesuaian yang sewajarnya diberikan kepada penyandang disabilitas di tempat kerja. Pasal tersebut juga memastikan akomodasi yang layak bagi pekerja dengan disabilitas.
Akomodasi yang layak berarti
modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan dan cocok, dengan tidak memberikan beban tambahan yang tidak proporsional atau tidak semestinya, apabila diperlukan dalam kasus tertentu, guna menjamin kenyamanan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental penyandang disabilitas berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.22 2. Teori Keadilan Sosial Berkaitan dengan keadilan sosial, John Rawls dalam bukunya a Theory of Justice menjelaskan teori keadilan social sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity : “First : each person is have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for other. Second : social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be everyone’s advantage, and (b) attached to positions an offices open to all.23” Inti the difference principle, adalah perbedaan sosial dan ekonomi yang harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosial-ekonomi dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seseorang untuk mendapatkan unsur kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang
22
23
Ibid.
John Rawls, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard of Harvard University Press, Cambrige Massachusetts, p.60.
untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberikan perlindungan khusus. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat. Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan ini harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang minoritas. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama, dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak. Lebih lanjut
John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang
berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu : pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan social ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberikan
keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.24 Dengan demikian, prinsip perbedaan menurut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukan bagi keuntungan orangorang yang paling kurang beruntung dalam hal ini tenaga kerja penyandang disabilitas. Ini berarti keadilan social harus diperjuangkan untuk melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum kurang beruntung yang dalam hal ini tenaga kerja penyandang disabilitas dan menghadirkan lembagalembaga social dan ekonomi untuk menjamin kesejahteraan mereka.25 3. Teori Hak Hukum Jika hak seseorang adalah kewajiban orang lain, maka hak adalah bagian dari kewajiban (the correlative of duty). Austin menyebut sebagai kewajiban relative (relative duty) dengan menyatakan : “ Terma hak dan terma kewajiban relative adalah ekspresi yang berhubungan. Keduanya memiliki nuansa yang sama dalam aspek yang berbeda “26
24
Jhon Rawls, 1973, A Theory of Justice, Oxford University Press, yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, 2006, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, h. 25. 25
H. Salim dan Erlies Septiani Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi Dan Tesis, Rajawali Press, Jakarta, h.31. 26 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Seketariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h.68.
Teori Austin tidak mengakui konsep yang berbeda antara hak dan kewajiban. Inilah hak dalam arti sempit bahwa hak selalu merupakan kewajiban orang lain, sedangkan kewajiban tidak selalu mengakibatkan hak orang lain. Dari sisi hukum, hak hukum adalah norma hukum dalam hubungannya dengan individu tertentu yang ditentukan oleh norma itu sendiri. Norma hukum harus menentukan secara spesifik isi hak yang ditentukan secara teknis. Hak sebagai hukum dalam arti subyektif terkait erat dengan otorisasi baik bagi seseorang yang ditentukan secara khusus oleh hukum atau kepada organ tertentu untuk melakukan sesuatu.27 Hak hukum tidak ditafsirkan sebagai suatu keinginan atau kepentingan yang tidak dikualifikasi, tetapi sebagai kepentingan yang dilindungi oleh aturan hukum, atau suatu keinginan yang diakui dan dibuat efektif oleh aturan hukum. Jika aturan hukum tidak dapat menciptakan tetapi menjamin hak, maka konsekuensinya hukum juga tidak dapat menghapuskan hak yang telah ada, dimana hak-hak dari tenaga kerja penyandang disabilitas telah diatur di berbagai undang-undang yang berlaku di Indonesia. 4. Teori Negara Kesejahteran Teori Negara kesejahateraan (welfare State), yang dicetuskan oleh Prof. Mr. R. Kranenburg, merupakan perwujudan dari Grand Theory Montesquieu yaitu ajaran pemisahan kekuasaan (speration of power) yang terdiri dari kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-
27
Ibid, h.69.
undang) dan kekuasaan yudikatif (mengadili pelanggaran undang-undang). Trias Politika tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen. Dalam perkembangannya ajaran Trias Politika ini mendapat berbagai modifikasi terutama melalui pembagian kekuasaan (distribution of power).28 Seiring dengan perkembangan kenegaraan dan pemerintahan, ajaran negara hukum yang kini dianut oleh negara-negara di dunia khususnya setelah perang dunia kedua adalah negara kesejahteraan (welfare state). Konsep negara ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsep negara hukum atau negara penjaga malam. Dalam konsep negara hukum terdapat prinsip staats onthouding atau pembatasan peran negara dan pemerintah dalam bidang politik yang melahirkan dalil “the least government is the best government” dan terdapat prinsip laissez faire, laissez aller dalam bidang ekonomi yang melarang negara dan pemerintah mencampuri kehidupan ekonomi masyarakat (staatbenoeienis). Akibat pembatasan ini pemerintah atau administrasi negara menjadi pasif dan oleh karenanya sering disebut negara penjaga malam (nachwakerstaad). Adanya pembatasan negara, gagasan yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya yaitu welfare.29 Negara kesejahteraan (welfare state) menurut istilah Lemaire, disebut bestuuszorg (negara berfungsi menyelenggarakan kesejahateraan umum) atau welvaarsstaat atau verzorgingsstaat merupakan konsepsi negara hukum modern, menempatkan peranan negara pada posisi yang kuat dan besar.
28
H.R.Ridwan, 2007, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kedua, UII Pres, Yogyakarta,
29
Ibid, h.4.
h.12.
Konsep Negara Kesejahteraan (welfare state) berkembang di negara-negara Eropa bahkan meluas hampir ke seluruh negara-negara di dunia. Konsep negara kesejahteraan tercantum dalam pembukaan alinea ke empat UUD 1945 yang menyatakan: “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial …” Konsep welfare state tersebut di dalam perundang-undangan kita untuk pertama kali dikenal dengan istilah “negara pengurus”. Negara Indonesia menganut paham sebagai negara kesejahteraan berarti terdapat tanggungjawab negara untuk mengembangkan kebijakan negara di berbagai bidang kesejahteraan dengan meningkatkan taraf hidup dari semua lapisan masyarakatnya dalam berbagai bidang. Tidak terkecuali tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan para penyandang disabilitas. Hal ini telah dilakukan dengan melindungi hak-hak penyandang disabilitas dengan menjamin hak-hak penyandang disabilitas dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam melaksanakan negara kesejahteraan (welfare state) ini pemerintah pusat, tidak mungkin bisa optimal untuk mengurus warganya secara sentralistik karena faktor luas wilayah, banyaknya penduduk, penduduk yang ber-bhineka maka untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat di daerah dibentuklah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota untuk mempercepat mewujudkan tujuan negara untuk mensejahterakan rakyatnya. Dengan demikian akan lebih cepat mewujudkan kesejahteraan di daerah-daerah Indonesia.
Berbagai undang-undang dan konvensi yang dibuat untuk menjamin pemenuhan tersebut serta adanya berbagai teori hukum yang menunjangnya, kenyataannya masih sangat lemah dalam implementasinya. Hal ini pun turut mendorong tumbuh dan berkembangnya badan hukum nirlaba yang bergerak khusus di bidang rehabilitasi, edukasi dan pemberdayaan penyandang disabilitas. Bermunculannya badan hukum nirlaba ini sangat membantu para penyandang disabilitas mendapatkan pekerjaan dan terpenuhi hak-haknya. Karakter dasar dari badan hukum nirlaba adalah tidak mencari keuntungan atau laba, dan semata-mata untuk kepentingan sosial dan tidak melakukan aktivitas politik.30 Dalam lapangan badan hukum kemasyarakatan, nirlaba biasanya mengacu kepada sifat badan hukum yang non pemerintah, sukarela, dan mandiri. Secara umum badan hukum semacam itu termasuk dalam kategori filantropis karena sifat dasarnya untuk berbagai kasih sayang sesama manusia melalui kegiatan amal. Karena sifat dasarnya tersebut, badan hukum ini kemudian bergerak dengan tanpa mencari keuntungan ekonomis, secara sukarela membantu memberdayakan masyarakat.31 Berdasarkan prinsip yayasan sebagai badan hukum yang tidak mencari laba, maka menjadi pertanyaan dari mana yayasan tersebut memperoleh laba. Laba tidak dicari sebagaimana mencari laba layaknya sebuah perseroan. Untuk itu, yayasan ada juga memungut biaya operasional yang wajar sebagai biaya-biaya operasional,
30 Chatarrasjid, 2000, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 146. 31
Hendra Nurtjahjo, Op.cit, h.82.
selain itu juga dimungkinkan menerima sumbangan dari para donatur yang sematamata tidak bermaksud untuk menanam sahamnya pada yayasan terkait.32 Sehubungan dengan mulianya tujuan badan hukum nirlaba ini dalam membantu penyelesaian masalah sosial, terlebih lagi dengan pendanaan yang terbatas, sering membuat pengawasan terhadap pemenuhan hak penyandang disabilitas yang bekerja di badan hukum nirlaba menjadi terabaikan. Padahal badan hukum nirlaba tetaplah berstatus sama dengan perusahaan laba lainnya sepanjang mereka mengelola tenaga kerja khususnya dalam hal ini adalah tenaga kerja dengan disabilitas. Dalam UU Penyandang Cacat telah disebutkan mengenai ketentuan pidana kepada perusahaan negara dan swasta yang terbukti tidak memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat yang bekerja di perusahaan terkait yaitu: “Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 14 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda setinggitingginya Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”
1.7.2 Kerangka Berpikir Berdasarkan landasan teoritis dan landasan teori yang digunakan untuk membahas masalah penelitian, dapat disusun kerangka berpikir sebagai berikut :
1.8 Metode Penelitian
1. Bagaimanakah perlakuan terhadap tenaga kerja penyandang disabilitas pada badan hukum nirlaba di Bali?
Teori Hak Asasi Manusia
32
Gunawan Widjaya, 2005, Yayasan Di Indonesia Suatu Panduan Komprehensif, PT. Elexmedia Komputindo, Jakarta, h. 11.
Pemenuhan Hak Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas Pada Badan Hukum Nirlaba Di Bali
Teori Keadilan Sosial
Dalam rangka memperoleh, kemudian mengumpulkan, serta menganalisis setiap data atau informasi yang bersifat ilmiah, tentunya dibutuhkan suatu metode dengan tujuan agar suatu karya tulis ilmiah memiliki susunan yang sistematis, terarah, dan konsisten. Adapun metode penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.8.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum empiris, yaitu suatu metode pendekatan yang dipergunakan untuk memecahkan objek penelitian dengan meneliti data sekunder (bahan pustaka) terhadap data primer dilapangan karena hukum yang pada kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat artinya keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosial masyarakat serta perilaku masyarakat yang terkait dengan lembaga hukum tersebut.33 Penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan perundangan), kemudian mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat.34 Melakukan pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji berbagai aspek hukum baik dari segi ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku. Meneliti atau menelaahnya dari segi pelaksanaannya, sehingga dapat diimplimentasikan dalam praktek dilapangan.35
33
Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, UI Press,Jakarta,h.3. 34 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 47. 35
Soerjono Soekanto, Op.cit, h. 14.
Studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturanperaturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.36 Dengan metode pendekatan analitis (analytical approach) yaitu menganalisa bahan hukum untuk mengetahui makna yang terkandung dalam istilah-istilah yang digunakan oleh peraturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktek.37 Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam penelitian ini akan dilakukan penelitian pendahuluan dan penelitian itu sendiri. Penelitian pendahuluan dilakukan sebelum pengambilan data primer dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi tempat dan obyek penelitian serta penentuan narasumber yang relevan untuk memperoleh informasi yang tepat dan akurat. Selanjutnya akan dilakukan penelitian yang bertujuan untuk memperoleh data primer. Selain penelitian, wawancara dan penyebaran angket juga akan dilakukan guna memperoleh data-data penunjang penelitian. 1.8.2
Sifat Penelitian Berdasarkan ruang lingkup penelitian, maka sifat penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif. Pada umumnya, penelitian deskriptif, termasuk pula di dalamnya penelitian ilmu hukum bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu atau kelompok tertentu, keadaan, gejala, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada atau tidaknya hubungan antara
36
Ibid, h. 63.
37 Johnny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum, CV.Putra Media Nusantara, Surabaya, h.310.
suatu gejala dengan gejala lain alam masyarakat.38 Pada penelitian hukum ini dilakukan dimana pengetahuan atau teori sudah ada tentang obyek sudah ada dan ingin memberikan gambaran tentang obyek penelitian. Dilihat dari sifatnya, penelitian deskriptif kualitatif ini memang merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia atau keadaan dan gejala-gejala lainnya. Hal ini dikarenakan data yang tidak bisa dihitung bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus yang tidak dapat disusun ke dalam struktur klasifikasi.39 Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif ini diharapkan akan ditemukan makna-makna yang tersembunyi dibalik obyek ataupun subyek yang akan diteliti, dengan demikian bisa mengungkapkan rahasia sesuatu yang dilakukan dengan cara menghimpun informasi dalam keadaan sewajarnya mempergunakan cara kerja yang sistematik, terarah dan dapat dipertanggungjawabkan. 1.8.3 Data dan Sumber Data Dilihat dari sumbernya dapat dilihat atas data primer dan data sekunder. 1. Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber pertama, melalui penelitian40, yaitu data yang bersumber dari penelitian lapangan. Dimana suatu data yang diperoleh langsung dari sumber
38
Universitas Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Denpasar, h.57 39
J. Supranto, 2006, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, h. 21.
40 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Ed.1-4, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 30.
pertama di lapangan yaitu baik dari responden maupun informan yang berada di masing-masing yayasan. 2. Data sekunder Sumber data sekunder yaitu memberikan penjelasan mengenai sumber data primer (buku ilmu hukum, laporan hukum, dan media cetak atau elektronik).41Adapun data yang dibutuhkan dalam penelitian ini yang merupakan data sekunder, yaitu : a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat mulai dari dari Undang-Undang Dasar dan peraturan terkait lainnya. Dalam penelitian ini akan digunakan yang mengatur ketenagakerjaan serta peraturan lainnya terkait hukum ketenagakerjaan, penyandang disabilitas dan hak asasi manusia. b. Bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan penjelasan bahan hukum primer. Yang termasuk dalam bahan hukum sekunder ini meliputi dokumen perjanjian kerja antara para penyandang disabilitas dengan pihak pengurus Yayasan Puspadi Bali, Yayasan So Rehab Bali dan Yayasan Bunga Bali, kebijakan masing-masing yayasan terkait pengembangan dan perlindungan tenaga kerjanya dan dokumendokumen lainnya seperti asuransi ataupun jaminan ketenagakerjaan yang digunakan yayasan tersebut.
41 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.82
c. Bahan hukum tersier yaitu yang memberikan petunjuk bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus, agenda resmi dan sebagainya. 1.8.4 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu : 1.
Teknik Studi Dokumen Studi dokumen adalah langkah awal setiap penelitian hukum (baik normatif maupun empiris), karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif.42 Terkait hal ini dengan mengumpulkan data yang bersumber dari kepustakaan yang relevan dengan permasalahan, dimana dengan membaca dan mencatat kembali data kemudian dikelompokkan secara sistematis.
2.
Teknik Wawancara Wawancara adalah cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.43 Dalam hal ini data diperoleh melalui proses interview kepada pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan penelitian di lapangan. Pada penelitian ini data akan diambil di tiga tempat berbeda yaitu di Yayasan Puspadi Bali, Yayasan So Rehab Bali dan Yayasan Bunga Bali. Ketiga tempat tersebut dipilih sebagai tempat pengumpulan data karena yayasan-yayasan tersebut merupakan yayasan pionir dalam memberikan kesempatan kepada para
42
43
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Op.Cit, h. 68.
Burhan Ashshofa, 2007, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kelima, PT Rineka Cipta, Jakarta, h. 95.
penyandang disabilitas di dunia kerja serta banyak memperkerjakan penyandang disabilitas. Untuk memperoleh data penelitian sesuai dengan tujuan penelitian, maka data yang dikumpulkan melalui teknik studi lapangan dan studi dokumen. Pada studi lapangan, data diperoleh melalui penyebaran kuesionair terhadap responden yang dijadikan sampel penelitian yang dalam hal ini adalah para penyandang disabilitas yang bekerja di yayasan. Angket atau kuesioner ini merupakan suatu teknik atau cara pengumpulan data secara tidak langsung (peneliti tidak langsung bertanya-jawab dengan responden).44Para responden diajukan kuesionair yang sama satu sama lain yang memuat daftar pertanyaan untuk mengungkap informasi terhadap hak-hak dan sistem kerja yang diberikan dan disediakan oleh pihak yayasan. Wawancara juga dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Mula-mula kepada informan maupun responden diajukan pertanyaan yang sudah terstruktur, kemudian beberapa butir dari pertanyaan tersebut diperdalam untuk mendapat keterangan lebih lanjut. Dengan demikian diharapkan diperoleh jawaban yang lengkap dan akurat. 1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian Pada penelitian ini, yang menjadi objek penelitian ini adalah semua lingkungan yang terkait dengan para pekerja penyandang disabilitas, yaitu
44 Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodelogi, Penelitian Hukum Empiris Murni, Sebuah Alternatif, Universitas Trisakti, Jakarta, h.86.
Pemerintah Provinsi Bali yang dalam hal ini akan dilakukan di Dinas Tenaga Kerja Provinsi Bali, dan yayasan yang ada di Bali. Dalam kaitannya dengan penentuan sampel, maka terdapat 2 (dua) cara atau teknik yang dapat dipergunakan yaitu teknik probability sampling dan teknik non probability sampling. Penelitian ini mempergunakan teknik non probability sampling, yaitu purposive sampling. Penelitian ini melakukan penarikan sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subyek didasarkan pada tujuan tertentu.45Teknik ini dipilih karena alasan keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, sehingga tidak dapat mengambil sampel dalam jumlah besar. Oleh karena keterbatasan biaya, waktu dan tenaga, maka populasi dalam penelitian ini dipilih sampel yang dijadikan informan yang benar-benar sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu : a) Kepala Dinas Tenaga Kerja Pemerintah Provinsi Bali b) Direktur masing-masing yayasan. Di samping penentuan sampel yang dijadikan informan seperti di atas, juga dilakukan penentuan sampel dari tenaga kerja yang bekerja di masing-masing yayasan termasuk tenaga kerja dengan dan tanpa disabilitas. 1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data Semua data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisa secara kualitatif, yaitu data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing
45
Burhan Ashshofa, Op.cit, h.91.
dan kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban penelitian.46 Setelah data diperoleh maka dikelompokkan sesuai dengan kategorinya. Penelusuran analisa bahan dimulai dari pengaturan hukum terhadap pemenuhan hak tenaga kerja penyandang disabilitas menurut UU Tenaga Kerja, UU HAM, UU BPJS, dan UU Yayasan. Selanjutnya melihat penerapan dari pengaturan undang-undang tersebut di masing-masing yayasan dan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Bali, kemudian dianalisis dengan teori hukum yang ada serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah itu ditarik suatu kesimpulan dari data yang telah dianalisis dan merupakan hasil dari penelitian.
46
Burhan Ashshofa, Op.cit, h.124.