1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena penerapan prinsip syariah dalam lembaga keuangan yang semakin berkembang pesat tidak hanya diperbankan tetapi juga lembaga keuangan bukan bank (LKKB). Disektor lembaga keuangan bank dikenal dengan perbankan syariah, sedangkan pada lembaga keuangan bukan bank dengan mengacu pada Penjelasan Pasal 49 huruf i Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, terdiri dari lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah1. Realitasnya, operasional bank syariah belum dapat secara optimal menjangkau sektor ekonomi riil di tingkat akar rumput. Hal ini disebabkan karena bank syariah sebagai perantara keuangan (Intermediari financial) dalam menjalankan fungsinya menyalurkan dana kepada masyarakat berupa memberikan pembiayaan masih mensyaratkan adanya jaminan yang itu tidak mudah bisa dipenuhi oleh nasabah, khususnya nasabah kecil. Disisi lain fakta
1
Ketentuan mengenai BMT, http:/www.Google.co.id, 03Desember, 19.00 WIB
2
menunjukkan bahwa operasional bank syariah juga terbatas dikota-kota, sedangkan pelaku ekonomi riil juga sebagian berada di desa-desa, dengan demikian layanan yang diberikan oleh bank syariah belum dapat menjangkau sektor ekonomi riil secara optimal2. Kondisi tersebut menjadi latar belakang munculnya lembaga-lembaga keuangan mikro yang sudah menjangkau hingga kepedesaan-pedesaan atau yang dikenal dengan sebutan BMT (Baitul Maal Tamwil). BMT dalam operasional usahanya pada dasarnya hampir mirip dengan perbankan yaitu melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk pembiayaan, serta memberikan jasa-jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. BMT lahir ditengah-tengah masyarakat dengan tujuan memberikan solusi pendanaan yang mudah dan cepat, terhindar dari jerat rentenir, dan mengacu pada prinsip syariah, namun realitas keberadaan BMT ini masih belum selaras dengan tatanan hukum yang ada. Masalah utamanya adalah adalah faktor kelembagaan yang sering menjadi kendala. Sampai saat ini kelembagaan BMT masih belum diatur secara spesifik sebagaimana lembagalembaga mikro lainya. Kebanyakan BMT menyatakan dirinya sebagai koperasi, artinya secara badan hukum BMT tunduk pada undang-undang perkoperasian. BMT yang menyatakan dirinya sebagai koperasi simpan pinjam harus mampu memenuhi persyaratan-persyaratan legalitas sebagai
2
Ibid
3
koperasi, seperti Anggaran Dasar, keanggotaan permodalan, tata organisasi, dan cara kerja lainya. Segmen masyarakat yang biasanya dilayani BMT adalah masyarakat kecil yang kesulitan berhubungan dengan bank. Perkembangan BMT semakin marak setelah mendapat dukungan dari Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (YINBUK) yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lahirnya BMT ini sendiri dilatar belakangi oleh beberapa alasan sebagai berikut3: 1. Agar masyarakat dapat terhindar dari pengaruh sistem ekonomi kapitalis dan sosialis yang hanya memberikan keuntungan bagi mereka yang mempunyai modal banyak, sehingga ditawarkanlah sebuah sistem ekonomi yang berbasis syariah. Ekonomi syariah yang dimaksud adalah suatu sistem yang dibangun atas dasar adanya nilai etika yang tertanam seperti pelarangan tentang penipuan dan bentuk kecurangan, adanya hitam diatas putih ketika terjadi transaksi, dan adanya penanaman kejujuran terhadap semua orang dan lain-lain. 2. Melakukan pembinaan dan pendanaan pada masyarakat menengah kebawah secara intensif dan berkelanjutan. 3. Agar masyarakat terhindar dari rentenir-rentenir yang memberikan pinjaman modal dengan sistem bunga yang sangat tidak manusiawi. 4. Agar ada alokasi dana yang merata pada masyarakat yang fungsinya untuk menciptakan keadilan sosial. 3
Ahmad Sumiyanto, BMT Menuju Koperasi Modern, PT.ISES Consulting Indonesia, Yogyakarta, 2008, hlm. 23-24
4
Sebagai lembaga keuangan syariah, BMT memberikan layanan transaksi keuangan berbasis syariah yang salah satunya adalah adanya pembiayaan yang berdasarkan pada prinsip bagi hasil, seperti pembiayaan musyarakah dan Mudharabah Secara
ekonomis
BMT
ini
dirancang
untuk
membantu
mengembangkan dana, memobilisasi sumber-sumber ekonomi umat islam Indonesia. Lebih khusus lagi, BMT dimaksudkan untuk membuka kesempatan-kesempatan bisnis baru dengan berperan sebagai penyedia dana dengan menggunakan metode bagi hasil. Lembaga-lembaga keuangan yang berasaskan syariah diharapkan benar-benar dapat menyalurkan dana kepada pengusaha muslim yang benar-benar membutuhkan dana untuk usaha atau yang kesulitan untuk
mendapatkan dana
pinjaman dari bank-bank
konvensional karena tidak ada jaminan (material) yang dipersyaratkan atau apabila
diharuskan dengan adanya jaminan, maka jaminan tersebut tidak
terlalu memberatkan anggota atau nasabah4. BMT sebagai lembaga keuangan syariah yang berbentuk koperasi dalam memberikan layanaan keuangan syariah merupakan gardu utama bagi masyarakat khususnya masyarakat golongan ekonomi menengah yang membutuhkan
dana
untuk
kegiatan
usahanya.
Dalam
pelaksanaan
operasionalnya BMT selain penghimpunan dana dari masyarakat juga menyediakan berbagai macam pembiayaan syariah antara lain adalah
4
Ibid, hlm. 30
5
pembiayaan mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, ijarah waiqtina, dan produk perbankan syariah lainnya. Musyarakah merupakan jenis pembiayaan berdasarkan akad kerjasama permodalan usaha antara lembaga keuangan syariah dengan satu pihak atau beberapa pihak sebagai pemilik modal pada usaha tertentu, untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah bagi hasil sesuai kesepakatan para pihak. Dalam Pasal 1 angka 17 Keputusan Menteri Negara Usaha Kecil Dan Menengah Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah No. 91 Tahun 2004 disebutkan nisbah adalah proporsi pembagian keuntungan (bagi hasil) antara pemilik dana dan pengelola dana. sedangkan bagi hasil sendiri adalah bagian keuntungan dari usaha antara lembaga keuangan syariah dengan anggota. Musyarakah sebagai salah satu jenis pembiayaan dalam BMT diharapkan mampu menjadi jalan keluar maupun jalan alternatif bagi para pengusaha yang mengalami masalah dan atau kemunduran dalam usahanya akibat krisis moneter yang melanda bangsa Indonesia. Pengusaha-pengusaha yang mempunyai keterbatasan dana atau modal dapat bergabung atau bermitra dengan BMT yang memiliki produk pembiayaan musyarakah ini, sehingga dapat menguntungkan kedua belah pihak (pihak pengusaha maupun pihak BMT), dengan sistem bagi hasil diharapkan dapat memicu para pengusaha untuk dapat meningkatkan kegiatan produksi atau usahanya.
6
Pelaksanaan prinsip bagi hasil dalam pembiayaan musyarakah didukung oleh hukum. Hal ini penting karena banyak orang
memiliki
kelebihan modal tapi tidak memiliki ketrampilan atau kesempatan untuk mengelolanya, sedangkan dipihak lain banyak pula orang yang mempunyai ketrampilan atau keahlian tetapi mengalami kesulitan dalam hal modal atau kekurangan modal untuk meningkatkan usahanya. Syariat membolehkan jenis muamalat ini, agar kedua belah pihak dapat mengambil manfaat atau keuntungan bagi kedua belah pihak yang saling bekerjasama atau bersekutu dalam pembiayaan musyarakah, yaitu pemilik modal (dalam hal ini BMT) mendapatkan manfaat dari keahlian pengelola sedangkan pengelola dapat memperoleh manfaat dari pemberian modal dari pemilik modal (BMT). Dengan demikian terciptalah kerjasama yang saling menguntungkan antara BMT dengan anggota. Pelaksanaan prinsip atau sistem bagi hasil sesuai dengan prinsipprinsip syariah Islam terkait dengan situasi dan kondisi di Indonesia maka penggunaan sistem atau prinsip bagi hasil dalam lembaga keuangan syariah bertujuan sebagai berikut5: 1. Meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat terbanyak bangsa Indonesia, sehingga semakin berkurang kesenjangan sosial dan ekonomi, yang kemudian akan berimplikasi pada pembangunan nasional antara lain melalui :
5
Karnaen Purwataatmadja dan Muhammad Syafi’I Antonio, Apa Dan Bagaimana Bank Islam, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1997, hlm. 18
7
a. Peningkatan kualitas dan kuantitas kegiatan usaha. b. Peningkatan dalam bidang lapangan pekerjaan. c. Peningkatan penghasilan masyarakat. 2. Meningkatkan partisipasi masyarakat banyak dalam proses pembangunan terutama dalam bidang ekonomi keuangan, yang selama ini diketahui masih banyak masyarakat yang enggan berhubungan dengan bank atau lembaga keuangan seperti BMT karena adanya anggapan bahwa bunga bank itu merupakan atau sama dengan riba. 3. Mengembangkan lembaga keuangan syariah yang sehat berdasarkan efisiensi dan keadilan, mampu meningkatkan partisipasi masyarakat banyak sehingga menggalakkan usaha-usaha ekonomi rakyat dengan antara lain memperluas jaringan lembaga keuangan syariah kedaerahdaerah terpencil. 4. Ikhtiar ini akan sekaligus mendidik dan membimbing masyarakat untuk berfikir secara ekonomi, berperilaku bisnis dan meningkatkan kualitas kerja hidup mereka. Kerjasama merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi islam. Nilai kerjasama dalam islam harus dapat dicerminkan dalam semua tingkat kegiatan ekonomi, produksi dan distribusi barang maupun jasa. Kerjasama atau pembiayaan musyarakah dengan prinsip bagi hasil terdapat banyak persamaan pada karateristik utama, kemitraan usaha dengan sistem
8
mudharabah dan musyarakah banyak dipraktekkan dalam dunia bisnis modern, namun yang menjadi masalah adalah adanya kriteria-kriteria dan persyaratan tertentu dalam penerapan dari sistem bagi hasil berdasarkan nisbah yang telah disepakati oleh kedua belah pihak baik pada awal kesepakatan maupun pada saat pelaksanaan nisbah itu sendiri. Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan diatas penulis tertarik untuk membahas dan meneliti mengenai pelaksanaan prinsip bagi hasil dalam pembiayaan musyarakah yang diterapkan lembaga keuangan syariah dalam hal ini BMT yang sedang berkembang di Indonesia saat ini. Terkait dengan hal tersebut diatas maka penulis mengambil judul “PELAKSANAAN PRINSIP BAGI HASIL DALAM PEMBIAYAAN MUSYARAKAH PADA BMT AL-IKHLAS YOGYAKARTA”
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pelaksanaan nisbah bagi hasil dalam pembiayaan musyarakah? 2. Bagaimana cara penyelesaianya jika terjadi sengketa antara pihak BMT Al-Ikhlas dengan anggota dalam pembiayaan musyarakah?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan nisbah bagi hasil dalam pembiayaan musyarakah.
9
b. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaianya jika terjadi sengketa antara pihak BMT Al-Ikhlas dengan anggota dalam pembiayaan musyarakah. 2. Tujuan Subyektif Untuk memperoleh data dalam penulisan hukum yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka Dalam Pasal 1 angka 3 Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Dan Menengah No. 91 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Yang dimaksud dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah adalah koperasi yang kegiatan usahanya bergerak dibidang pembiayaan, investasi, dan simpanan sesuai pola bagi hasil (syariah). Dalam Kepmen yang sama angka 8 disebutkan bahwa pembiayaan adalah kegiatan penyediaan dana untuk investasi atau kerjasama permodalan antara koperasi dengan anggota atau calon anggota, koperasi lain dan atau anggotanya, yang mewajibkan penerima pembiayaan itu melunasi pokok pembiayaan kepada pihak koperasi sesuai akad disertai pembayaran sejumlah bagi hasil dari pendapatan atau laba dari kegiatan yang dibiayaai atau penggunaan dana pembiayaan tersebut. Dalam pasal 1 angka 10 Keputusan Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia disebutkan pembiayaan musyarakah adalah akad kerjasama permodalan usaha antra koperasi dengan
10
satu pihak atau beberapa pihak sebagai pemilik modal pada usaha tertentu, untuk menggabungkan modal atau menyertakan modal dan melakukan usaha bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah bagi hasil sesuai kesepakatan para pihak, sedang kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha,atau kegiatan lainya yang dinyatakan sesuai dengan syariah , antara lain pembiayaan yang berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)6 Prinsip bagi hasil (mudharabah) merupakan alternatif bagi masyarakat yang masih ragu akan usaha perbankan konvesional, juga merupakan peluang bagi umat islam yang akan berhubungan dengan lembaga keuangan syariah baik bank maupun non bank dengan tenang tanpa keraguan dan didasari motivasi keagamaan yang kuat dalam memobilisasi dana masyarakat untuk pembiayaan
dan
pembangunan
ekonomi
umat.
Lembaga
keuangan
berdasarkan syariah mempunyai beberapa keunggulan antar lain7: 1. Lebih adil dan mendorong pemerataan. 2. Terbuka dan transparan. 3. Berorientasi pada pertumbuhan atau perkembangan disektor riil. 4. Diperluas social security system.
6
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syarah Di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 221-222 7 Zainudi Ali, Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 7
11
BMT sebagai salah satu jenis lembaga keuangan syariah bukan bank yang bergerak dalam skala mikro sebagaimana koperasi simpan pinjam (KSP). Perbedaan antara BMT dengan Bank Umum Syariah (BUS) atau juga Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) adalah dalam bidang pendampingan dan dukungan. Berkaitan dengan dukungan, BUS dan BPRS terikat dengan peraturan pemerintah dibawah Departemen Keuangan atau juga peraturan Bank Indonesia. Sedangkan BMT dengan badan hukum koperasi, secara otomatis dibawah pembinaan Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Dengan demikian, peraturan yang mengikat BMT juga dari departemen ini. Sampai saat ini selain peraturan tentang koperasi dengan segala bentuk usahanya, BMT dapat mengacu pada Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 91 Tahun 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah, dengan keputusan ini, segala sesuatu yang terkait dengan pendirian dan pengawasan BMT berada di bawah Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah8. Dengan hadirnya Kepmen No. 91 Tahun 2004 tersebut, maka yang menjadi tujuan pengembangan KSPS, KJKS, dan UJKS yang merupakan wadah BMT, harus diarahkan pada9: 1. Peningkatan program pemberdayaan ekonomi, khususnya dikalangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi melalui sistem syariah.
8 9
Ahmad Sumiyanto, Op cit, hlm. 16 Ibid, hlm. 27
12
2. Pemberian dorongan bagi kehidupan ekonomi syariah dalam kegiatan usaha mikro, kecil, dan menengah khususnya dan ekonomi Indonesia pada umumnya. 3. Peningkatan semangat dan peran serta anggota masyarakat dalam kegiatan Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Dengan adanya Kepmen KUKM No. 91 Tahun 2004 maka ruang lingkup kerja BMT dapat berbeda-beda tegantung perijinan yang dilakukan. Artinya jika ijin pendirian BMT dilakukan sebatas di Dinas Koperasi Kabupaten atau Kota, maka ruang lingkup kerjanya sebatas Kabupaten atau Kota tersebut. Adapun BMT yang meminta ijin usahanya di Dinas Koperasi Propinsi maka secara otomatis ruang lingkup kerjanya mencakup satu propinsi tersebut, apabila BMT mendapatkan ijin langsung dari Menteri, maka wilayah operasionalnya dapat diseluruh wilayah Indonesia. Salah satu aspek terpenting dalam lembaga keuangan syariah adalah pembiayaan yang sehat, yang dimaksud dengan proses pembiayaan yang sehat adalah proses pembiayaan yang berimplikasi pada investasi halal dan baik serta menghasilkan return (keuntungan) sebagaimana yang diharapkan. Pada lembaga keuangan syariah (dalam hal ini BMT) proses pembiayaan yang sehat tidak hanya berimplikasi pada kondisi bank atau BMT sebagai mitra bank syariah dalam memberikan pelayanan keuangan yang sehat tetapi juga berimplikasi pada peningkatan kinerja riil yang dibiayai. Kualitas pembiayaan sangat berpengaruh terhadap efektivitas pendapatan yang diterapkan. Oleh sebab itu kualitas ini harus tetap dijaga agar jangan sampai menjadi
13
pembiayaan yang bermasalah, yang akibatnya bukan saja menyebabkan tidak efektifnya pendapatan tetapi lebih dari itu dapat menyebabkan kerugian lembaga keuangan syariah karena tidak terbayarnya kembali dana yang ditanamkan dalam pembiayaan tersebut. Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional DSN NO: 08/DSN-MUI IV/2000 Tentang pembiayaan musyarakah, menyebutkan bahwa pembiayaan musyarakah, yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih pemilik modal (Syarik) untuk suatu usaha tertentu, dimana masingmasing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Pembiayaan
musyarakah
yang
memiliki
keunggulan
dalam
kebersamaan dan keadilan, baik dalam berbagi keuntungan maupun resiko kerugian, kini telah dilakukan oleh lembaga keuangan syariah (LKS) dalam pembiayaan musyarakah. Pada musyarakah terdapat beberapa ketentuan, antara lain10: 1. Musyarakah dapat dilakukan untuk transaksi umum atau khusus dalam jangka waktu tertentu, yang bisa diperpanjang jika para mitra setuju. 2. Semua mitra harus menerima informasi berkala mengenai operasi bisnis dan pembiayaannya. 3. Para mitra harus melakukan kesepakatan lebih dahulu sebelum membuat akad atau perjanjian musyarakah baru dengan yang lainnya.
10
Norhasyimah Mohammad Yasin, 1997, dikutip dari buku karangan Mervyn K. Lewis & Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah Prinsip, Praktek Dan Prospek, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2005, hlm. 78-79
14
4. Proporsi keuntungan yang akan dibagikan harus disepakati pada saat membuat akad atau perjanjian. 5. Bagi hasil dalam kerugian harus benar-benar sesuai dengan proporsi investasi. 6. Idealnya modal harus berupa uang, bukannya barang. Jika dalam bentuk barang, maka nilai moneternya harus dihitung. 7. Perjanjian atau akad musyarakah berakhir apabila para mitranya meninggal dunia atau ada pemberitahuan bahwa akad tersebut telah berakhir atau diakhiri. Setiap pembiayaan pastilah memiliki resiko, salah satu resiko tersebut adalah terjadinya sengketa atau juga adanya pembiayaan bermasalah hal ini disebabkan karena kurangnya kehati-hatian dari pihak bank maupun BMT dalam melakukan analisis pembiayaan sebelum menyertakan modalnya pada usaha angggota atau nasabah, selain itu faktor lain yang menyebabkan pembiayaan bermasalah adalah faktor kesulitan keuangan yang dihadapi oleh nasabah. Penyebab dari kesulitan keuangan perusahaan anggota dapat dibagi dalam dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal11. 1. Faktor Internal Yaitu faktor yang ada didalam perusahaan sendiri dan faktor utama yang paling dominan adalah faktor manajerial. Timbulnya kesulitan-kesulitan keuangan perusahaan yang disebabkan oleh faktor manajerial dapat dilihat dari beberapa hal, seperti kelemahan dalam kebijakan pembelian dan
11
Ibid, hlm. 224
15
penjualan, lemahnya pengawasan biaya dan pengeluaran, kebijakan piutang yang kurang tepat, pengamatan yang berlebihan pada aktiva tetap, dan permodalan yang tidak cukup. 2. Faktor Eksternal Yaitu faktor-faktor yang berada diluar kekuasaan manajemen perusahaan, seperti bencana alam, peperangan, perubahan kondisi perekonomian dan perdagangan, perubahan-perubahan teknologi, dan lain-lain. Untuk menentukan langkah yang harus diambil dalam mengatasi pembiayaan bermasalah atau sengketa yang pertama harus dilakukan terlebih dahulu meneliti sebab-sebab terjadinya pembiayaan bermasalah tersebut. Apabila kemacetan disebabkan karena faktor eksternal seperti bencana alam, BMT tidak perlu lagi melakukan analisis lebih lanjut, yang perlu diteliti adalah faktor internal, yaitu permasalahan yang terjadi karena faktor manajerial. Apabila BMT telah melakukan pengawasan secara seksama dari bulan ke bulan, tahun ke tahun, tetapi masih saja terjadi pembiayaan bermasalah, maka pihak BMT dapat melakukan cara lain untuk menyelesaikan pembiayaan bermasalah atau macet, tergantung pada berat atau ringannya masalah yang dihadapi, serta penyebab dari kemacetan tersebut. Apabila pembiayaan itu masih dapat diharapkan bisa berjalan baik kembali, maka BMT dapat memberikan keringanan-keringanan seperti penundaan jadwal angsuran (menjadwal ulang) dan lain-lain. Apabila kemacetan tersebut terjadi akibat kelalaian, pelangaran atau kecurangan nasabah, maka lembaga keuangan syariah dapat meminta agar
16
nasabah menyelesaikan segera, salah satunya melalui musyawarah, termasuk menyerahkan barang yang diagunkan kepada lembaga keuangan syariah. Jika penyelesaian diluar pengadilan tidak selesai maka BMT dapat menempuh jalur hukum, yaitu melalui Pengadilan Agama (Pasca Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama), dimana
dalam pasal 49 disebutkan bahwa
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: a. Waris. b. Wasiat. c. Hibah. d. Wakaf. e. Zakat. f. Infaq. g. Shadaqah dan, h. Ekonomi Syariah.
Dalam penjelasan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 pasal 49 huruf i dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: a. Bank syariah. b. Lembaga keuangan mikro syariah. c. Asuransi syariah. d. Reasuransi syariah.
17
e. Reksa dana syariah. f. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah. g. Sekuritas syariah. h. Pembiayaan syariah. i. Dana pensiun lembaga keuangan syariah dan, j. Bisnis Syariah.
E. Metode Penelitian 1. Obyek Penelitian Pelaksanaan Prinsip Bagi Hasil dalam Pembiayaan Musyarakah pada BMT Al-Ikhlas Yogyakarta. 2. Subyek Penelitian a. Pimpinan BMT Al-Ikhlas b. Nasabah BMT Al-Ikhlas 3. Sumber Data a. Data Primer Yaitu : Data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian tentang permasalahan yang diteliti sehingga dapat memperoleh kejelasan kepastian serta lebih menjamin kebenaran data yang didapat.
18
b. Data Sekunder Yaitu : data yang diperoleh dari tulisan-tulisan, dokumen-dokumen, perundang-undangan dan peraturan lain yang ada hubunganya dengan tujuan penelitian. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Interview atau Wawancara Yaitu : Pengumpulan data dilakukan dengan jalan tanya jawab secara langsung dengan subyek penelitian yang dilakukan secara sistematis untuk memperoleh data. b. Studi Pustaka Yaitu : Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencari dan mengumpulkan data dengan mempelajari dokumen, literatur, majalah, makalah, dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 5. Metode Pendekatan Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan dengan cara menganalisis permasalah dari sudut pandang menurut ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku.
19
6. Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, yaitu dengan menyajikan data secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif dengan menjabarkan, menjelaskan, menginterprestasikan, dan menggambarkan data yang diperoleh dari penelitian yang telah dipilih dan dikelompokkan menurut kualitas dan kebenaranya untuk menjawab permasalahan dengan pendekatan yuridis normatif, dengan langkah sebagai berikut: a.
Data penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan penelitian.
b.
Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan, dan
c.
Data yang disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan.