BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makna dan arti penting pekerjaan bagi setiap orang tercermin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap warganegara Republik Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kenyataannya, keterbatasan akan lowongan pekerjaan di dalam negeri menyebabkan banyaknya tenaga kerja Indonesia yang mencari pekerjaan ke luar negeri. Dari tahun ke tahun jumlah tenaga kerja yang bekerja ke luar negeri semakin meningkat. Jumlah TKI yang bekerja ke luar negeri berdasarkan 1 data Badan Nasional Penempatan
dan
Perlindungan
TKI
(BNP2TKI)
yang
dikutip
oleh
KabarBisnis.com pada Januari-Oktober 2014 jumlah TKI yang diberangkatkan sebanyak 360.063 orang dengan rincian 199.172 TKI formal dan 160.891 TKI informal dan pada kurun waktu Januari-Mei 2015 jumlah penempatan TKI yang dilayani oleh BNP2TKI mencapai 120.667 orang dengan rincian 67.954 TKI formal dan 52.723 TKI informal. Dengan data tersebut peningkatan mencapai sekitar 29%. Banyaknya TKI yang bekerja di luar negeri sebenarnya merupakan tanda bahwa 1
Pemerintah
Indonesia
telah
gagal
memberikan
solusi terhadap
Tegar Arief, “Januari-Mei, Jumlah TKI Bertambah 120.667 Orang,” diakses dari http://kabar24.bisnis.com/read/20150619/15/445248/januari-mei-jumlah-tki-bertambah-120.667orang, pada 30 September 2015 Pukul 15.11 WIB.
permasalahan
pengangguran
dan
peningkatan
kesejahteraan
rakyatnya.
Berdasarkan dari apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, khususnya yang dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (2), pasal tersebut dapat dipahami bahwa negara sebenarnya memiliki kewajiban untuk merealisasikan hak-hak warganegaranya untuk memperoleh pekerjaan di dalam negeri. Kenyataannya negara hanya melulu memberikan kesempatan sebesarbesarnya kepada para pemilik modal, terutama para pemilik modal asing (kapitalis) untuk mengeruk kekayaan di Indonesia sementara itu negara kebingungan mencari solusi terhadap semakin banyaknya permasalahan pengangguran di Indonesia. Satu sisi Indonesia telah terperangkap dalam sistem kapitalisme, dan bersamaan dengan itu negara juga gagal memberikan solusi terhadap masalah pengangguran. 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa penempatan tenaga kerja terdiri dari penempatan tenaga kerja di dalam negeri dan penempatan tenaga kerja di luar negeri. Undang-Undang Ketenagakerjaan ini mengamanatkan bahwa ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri harus diatur dengan undang-undang, dengan demikian undang-undang tentang penempatan tenaga kerja Indonesia yang selanjutnya
2
Ismantoro Dwi Yuwono, 2011, Hak dan Kewajiban Hukum Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Di Luar Negeri, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hlm. 11-12.
disebut dengan TKI di luar negeri adalah sebuah keniscayaan dalam konteks ketenagakerjaan. 3 Fenomena TKI yang bekerja ke luar negeri yang kemudian dilegitimasi oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri sebenarnya merupakan fenomena dari pertemuan antara dua kepentingan yakni kepentingan TKI itu sendiri
dan
kepentingan
negara
sebagai
pengemban
tanggung
jawab
merealisasikan hak asasi manusia (warganegara Indonesia) untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pada satu sisi TKI membutuhkan pekerjaan di luar negeri untuk mengejar impian, merengkuh hidup enak dan berkecukupan dan di sisi lainnya fenomena TKI sesungguhnya memberikan sumbangan solusi alternatif bagi Pemerintah Indonesia dalam menghadapi kebuntuan terhadap pencarian solusi permasalahan pengangguran di Indonesia. 4 Secara yuridis negara bersinergi atau bekerjasama dengan pihak swasta untuk melakukan tindakan perlindungan terhadap TKI. Pembentukan UndangUndang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri sebagai suatu wadah hukum yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia dalam usaha menempatkan dan melindungi TKI yang bekerja di luar negeri. Salah satu bukti nyata dari pemerintah untuk melindungi TKI adalah dengan menerbitkan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri yang
3
Hadi Subhan,” Perlindungan TKI Pada Masa Pra Penempatan, Selama Penempatan Dan Purna Penempatan”, Laporan Akhir, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta,2012, hlm. 53. 4 Ibid., hlm. 13-14.
selanjutnya disebut dengan KTKLN sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, ayat (11) dijelaskan pengertian dari KTKLN adalah kartu identitas bagi TKI yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri. Kemudian untuk dapat ditempatkan di luar negeri, calon TKI harus memiliki dokumen yang meliputi antara lain KTKLN sebagaimana diatur pada Pasal 51 ayat (1). Berdasarkan uraian ayat-ayat di atas, sangat jelas bahwa setiap calon TKI yang akan berangkat ke luar negeri harus memiliki sejumlah dokumen, salah satunya KTKLN. Ketentuan mengenai KTKLN ini selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 62, bahwa: (1)Setiap TKI yang ditempatkan di luar negeri, wajib memiliki dokumen KTKLN yang dikeluarkan oleh Pemerintah. (2)KTKLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai kartu identitas TKI selama masa penempatan TKI di negara tujuan. Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri di atas, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor
PER.14/MEN/X/2010
Tentang
Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 2010 yang telah dirubah
dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Peraturan Menteri tersebut menyebutkan bahwa setiap calon TKI yang akan bekerja ke luar negeri wajib memiliki KTKLN yang diterbitkan oleh Kepala BNP2TKI
pada Pasal 38. KTKLN sebagaimana dimaksud sekurang-
kurangnya memuat keterangan jati diri TKI (nama dan alamat, tempat dan tanggal lahir, dan sidik jari), dokumen perjalanan dan dokumen kerja TKI, Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang selanjutnya disebut dengan PPTKIS, mitra usaha dan/atau pengguna, dan kepesertaan asuransi, hal ini dijelaskan pada Pasal 39 ayat (2). 5 Penerbitan KTKLN tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah untuk melindungi TKI dengan pengumpulan data diri TKI yang berangkat ke luar negeri agar jika suatu saat terjadi suatu peristiwa yang tidak diinginkan pada diri TKI tersebut, pemerintah dapat menelusuri dengan cepat data yang diperlukan dari KTKLN tersebut, contohnya perusahaan tempat TKI tersebut bekerja, dan kelengkapan dokumen-dokumen TKI tersebut dalam upaya untuk bekerja secara legal di negara tersebut. Seiring dengan manfaat yang dirasakan TKI dari KTKLN, muncul juga side effect yang bersifat negatif dari program tersebut, adanya pungutan liar dari pihakpihak tertentu terhadap TKI dalam pengurusan pembuatan KTKLN dan prosedur
5
Ibnu Purna, “Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN)Tidak Bisa Dihapus Begitu Saja,”http://www.kompasiana.com/ibnupurna/kartu-tenaga-kerja-luar-negeri-ktkln-tidak-bisadihapus-begitu-saja_54f3b6d3745513a42b6c7d, diakses pada tanggal 15 Oktober 2015, Pukul 08.45 WIB.
yang rumit menjadi faktor utama munculnya efek negatif tersebut. Hal tersebut menjadikan TKI mempunyai pemikiran negatif terhadap KTKLN yang pada tujuan awalnya adalah untuk melindungi hak-hak TKI itu sendiri. Munculnya wacana agar KTKLN dihapuskan kemudian disampaikan oleh para TKI tersebut kepada Presiden Joko Widodo yang menggelar video conference dengan para TKI yang berada di 7 (tujuh) negara, yaitu Singapura, Malaysia, Mesir, Taiwan, Hongkong, Korea Selatan, dan Brunei Darussalam pada 30 November 2014. Presiden Jokowi akhirnya memutuskan untuk menghapuskan KTKLN yang sebelumnya wajib dimiliki TKI yang bekerja di luar negeri. Meskipun usulan TKI tersebut disetujui, namun dalam pelaksanaannya, penghapusan KTKLN tersebut tidak bisa langsung diwujudkan, karena kendalinya tidak semata-mata berada dalam tangan pemerintah. Untuk menghapus KTKLN, seperti yang didesak sejumlah TKI dalam video conference tersebut, pemerintah harus melakukan pembahasan bersama dengan DPR, mengingat ketentuan mengenai KTKLN tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. 6 Penghapusan KTKLN oleh Presiden Joko Widodo memunculkan Elektronik Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri, selanjutnya disebut dengan e-KTKLNsebagai pengganti KTKLN. Penggunaan e-KTKLN ini diatur dalam Peraturan Menteri KetenagakerjaanNomor 7 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pemberian e-KTKLN.
6
Ibid.
e-KTKLN yang berfungsi menyimpan seluruh identitas TKI, identitas pengguna atau majikan, dan data tentang perusahaan pengirim, fungsi ini sama seperti KTKLN yang telah ada sebelumnya. 7 e-KTKLN yang diberlakukan secara resmi pada bulan Agustus 2015 diharapkan dapat memenuhi kekurangan yang sebelumnya muncul pada saat program KTKLN masih berlaku, namun berdasarkan fakta di lapangan banyak TKI yang berangkat ke luar negeri tidak mau lagi mengurus e-KTKLN karena beranggapan tidak diperlukan. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam penerapan eKTKLN tersebut. Sejauh ini penulis telah melakukan pra penelitian di kantor BP3TKI Daerah Istimewa Yogyakarta dan menemukan beberapa permasalahan terkait e-KTKLN tersebut. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan terkait dengan perlindungan terhadap TKI dengan penerbitan e-KTKLN sebagai pengganti KTKLN dan meneliti lebih jauh melalui sebuah penelitian hukum yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Adapun judul yang penulis angkat adalah “Tinjauan Yuridis Mengenai Elektronik Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (e-KTKLN) Sebagai Pengganti Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) Dalam Upaya Perlindungan Terhadap Tenaga kerja Indonesia yang Bekerja di Luar Negeri.”
7
Tegar Arief, “Pemerintah Terbitkan KTKLN Elektronik,”http://industri.bisnis.com/read/20150212/12/402118/pemerintah-terbitkan-ktklnelektronik, diakses pada tanggal 15 Oktober 2015, pukul 09.24 WIB.
B. Rumusan Masalah 1. bagaimanakahpelaksanaan e-KTKLN sebagai alat perlindungan bagi TKI yang bekerja di luar negeri setelah adanya penghapusan KTKLN? 2. Apakah hambatan yang dialami oleh pemerintah dalam penerapan eKTKLN sebagai perlindungan terhadap TKI yang bekerja di luar negeri? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini antara lain sebagai berikut: a. Untuk mengetahui dan mengkaji pelaksanaane-KTKLNsebagai alat perlindungan bagi TKI yang bekerja di luar negeri setelah adanya penghapusan KTKLN. b. Untuk mengetahui dan mengkaji hambatan-hambatan yang dialami oleh pemerintah dalam penerapan e-KTKLN sebagai perlindungan terhadap TKI yang bekerja di luar negeri. 2. Tujuan Subjektif Tujuan subjektif yang ingin dicapai dari penyusunan penelitian ini adalah untuk memenuhi persyaratan memperoleh derajat strata dua pada Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi dua manfaat yaitu manfaat teoritis dan praktis.
1. Manfaat Teoritis Penelitan yang penulis lakukan ini diharapkan dapat melengkapi ilmu pengetahuan tentang hukum, khususnya hukum ketenagakerjaan yang sudah ada dan berlaku, serta dapat menjadi acuan bagi civitas akademika untuk mempelajari keilmuan di bidang hukum ketenagakerjaan. 2. Manfaat Praktis Penelitian yang penulis lakukan ini digunakan sebagai sarana untuk mengetahui dan mengkaji pelaksanaane-KTKLNsebagai alat perlindungan bagi TKI yang bekerja di luar negeri setelah adanya penghapusan KTKLN dan hambatan-hambatan yang dialami oleh pemerintah dalam penerapan eKTKLN tersebut. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengetahuan dan penelusuran penulis dalam data kepustakaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tidak ditemukan penelitian yang secara khusus membahas mengenai tema yang penulis angkat namun penulis menemukan penulisan yang membahas mengenai perlindungan hukum bagi TKI dalam pengajuan klaim asuransi TKI yang mengalami kecelakaan kerja: 1. Penulisan hukum dengan judul 8 “Peran Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Yogyakarta Dalam Memberikan Perlindungan
8
Samsul Wahyudi, “Peran Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Yogyakarta Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Tenaga Kerja INDONESIA (TKI) Formal di Malaysia Yang Mengalami Kecelakaan Kerja”, Penelitian Hukum,Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010.
Hukum Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Formal di Malaysia Yang Mengalami Kecelakaan Kerja.” Permasalahan dalam penulisan ini mengenai bentuk perlindungan hukum dari Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Yogyakarta bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) formal di Malaysia yang mengalami kecelakaan kerja. Kesimpulan dari penelitian tersebutadalah: Bentuk perlindungan hukum dari Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Yogyakarta bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) formal di Malaysia yang mengalami kecelakaan kerja terdiri dari dua bentuk yaitu: a. Menerbitkan Surat Rekomendasi Klaim Asuransi b. Memberikan bantuan berupa mediasi penyelesaian kasus TKI berupa pelanggaran hak yang berhubungan dengan klaim asuransi Dalam pelaksanaan bentuk perlindungan hukum dari BP3TKI Yogyakarta bagi TKI formal di Malaysia yang mengalami kecelakaan kerja belum dilakukan secara maksimal yaitu dalam Mediasi Penyelesaian kasus TKI. Belum maksimalnya mediasi penyelesaian kasus TKI tersebut dikarenakan terdapat penyimpangan dalam pelaksanaannya, antara lain: a. Penyerahan klaim asuransi ke pihak TKI tidak diawasi oleh BP3TKI secara langsung. b. BP3TKI Yogyakarta tidak menindak lanjuti mengenai laporan dari TKI bahwa terjadi kesepakatan antara PT pemberi kerja dengan TKI
mengenai penyerahan sejumlah klaim asuransi yang tidak sesuai dengan ketentuan. c. BP3TKI Yogyakarta tidak menindaklanjuti adanya laporan dari TKI bahwa PT pemberi kerja tidak memberikan keterangan kepada TKI mengenai ketentuan apabila terdapat dua permintaan klaim asuransi yang berbeda, maka diambil klaim asuransi yang paling besar jumlahnya, hal ini membuat TKI tersebut menjadi dirugikan karena TKI hanya memperoleh satu klaim asuransi yaitu asuransi kecelakaan. Faktor penghambat dalam pelaksanaan bentuk perlindungan hukum dari BP3TKI Yogyakarta bagi TKI di Malaysia yang mengalami kecelakaan kerja, antara lain: a. TKI tidak mentaati prosedur klaim asuransi dengan benar b. Data-data atau dokumen yang diberikan TKI tidak lengkap sesuai syarat administrasi c. TKI atau pihak lain yang bersengketa tidak memberikan informasi yang lengkap dan benar d. Peran lembaga asuransi TKI yang menjadi penanggung TKI tidak memberikan pelayanan yang baik e. Adanya dualisme kekuasaan dan kewenangan antara BP3TKI Yogyakarta dan Disnakertrans Yogyakarta. f. Kerjasama yang buruk dengan PPTKIS.
2. Jurnal Administrasi Publik yang berjudul 9 “Pelaksanaan Program Asuransi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Sebagai Upaya Pemenuhan Hak-Hak TKI (Studi pada Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Surabaya)”. Fokus permasalahan dalam penelitian ini yaitu pelaksanaan program asuransi TKI yang dilakukan oleh Konsorsium Asuransi TKI dibawah pengawasan UPT P3TKI Surabaya, pelaksanaan program asuransi TKI sebagai bentuk perlindungan UPT P3TKI Surabaya dalam upaya pemenuhan hak-hak TKI, dan faktor yang mempengaruhi pelaksanaan program asuransi TKI di UPT P3TKI Surabaya. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu dalam pelaksanaannya, program asuransi TKI tersebut diatur dalam Peraturan Menteri TenagaKerja dan TransmigrasiNomor 7 Tahun 2010 tentang Asuransi TKI, yang di dalamnya mengatur tentang: a. Pelaksanaan
program
asuransi
TKI
yang
dilaksanakan
oleh
Konsorsium Asuransi TKI yang beranggotakan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) perusahaan asuransi dan peraturan yang mengikat konsorsium asuransi TKI sebagai landasan memberikan pelayanan asuransi TKI b. Jenis pelayanan yang diberikan oleh konsorsium asuransi TKI berupa: 9
Citra Berlian Butsi, “Pelaksanaan Program Asuransi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Sebagai Upaya Pemenuhan Hak-Hak TKI (Studi pada Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Surabaya)”, Jurnal Administrasi Publik, Universitas Brawijaya, Malang, 2013.
1) Pelayanan pendaftaran kepesertaan asuransi TKI 2) Pelayanan perpanjangan kepesertaan asuransi TKI 3) Pelayanan pengajuan klaim asuransi TKI Untuk mendukung program asuransi TKI tersebut, peran UPTP3TKI Surabaya, Konsorsium asuransi TKI, PPTKIS, dan TKI untuk sektor wilayah Jawa Timur memiliki peran yang besar. UPTP3TKI Surabaya sebagai pengawas program asuransi TKI, Konsorsium Asuransi TKI yang memiliki peran sebagai penyelenggara program asuransi TKI, PPTKIS berperan sebagai perusahaan yang menempatkan TKI, dan calon TKI/TKI yang merasakan manfaat besar jalannya program asuransi ini. Seluruh bagian ini memiliki peran penting terselenggaranya program asuransi TKI ini. Dalam implementasinya, pelaksanaan program asuransi TKI ini masih memiliki beberapa permasalahan yang timbul seperti ketidakpahaman calon TKI/TKI terhadap program asuransi TKI tersebut, proses, prosedur dan mekanisme klaim asuransi calon TKI/TKI atau ahli waris pada perusahaan Konsorsium Proteksi Asuransi TKI yang sulit, masih banyaknya klaim yang tidak mampu dicairkan, KPA yang masih belum diserahkan oleh PPTKIS kepada calon TKI/TKI, dll. Selanjutnya timbul dengan pelaksanaan program ini persoalan dan pertanyaan yang mewarnai program asuransi TKI ini. Pertanyaan meliputi keefektifan program asuransi ini dipertanyakan kembali. Hal ini dikarenakan: a. Pengajuan klaim yang susah untuk dicairkan
b. Jumlah klaim yang mampu dicairkan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah klaim yang tidak mampu dicairkan c. Masih adanya praktek-praktek kecurangan yang dilakukan oleh pihak konsorsium asuransi TKI dan PPTKIS seperti jumlah dana klaim yang dicairkan tidak sesuai, alasan penolakan klaim yang tidak jelas, KPA dan Nomor Polis yang tidak diberikan kepada TKI oleh PPTKIS d. Masih terdapat risiko yang tidak mampu diklaimkan seperti pelecehan seksual/pemerkosaan, dan kekerasan fisik. e. Pola hubungan stakeholder (UPTP3TKI Surabaya, Konsorsium asuransi TKI, PPTKI dan TKI) yang belum tertata. Perlunya evaluasi terhadap program ini agar kemudian bisa dilihat sejauh mana keefektifan program asuransi TKI tersebut. Fakta di lapangan menjelaskan proses pembuatan dan pengurusan KPA berjalan lancar, karena proses dan syarat yang mudah namun ketika ahli waris akan mengajukan klaim, masih timbul permasalahan seperti sulitnya mengajukan klaim dan gagalnya pengajuan klaim serta jumlah dana klaim yang dicairkan tidak sesuai dengan polis asuransi. Permasalahan seperti ini yang nantinya memberikan dampak yang besar terhadap penerima manfaat asuransi TKI ini, yakni calon TKI/TKI maupun ahli warisnya. Mengingat adanya peraturan ini ditujukan untuk calon TKI/TKI itu sendiri. Dalam pelaksanaannya hingga tahun 2011, menurut data UPTP3TKI Surabaya, masih banyak kasus yang terjadi pada TKI pada pra, masa dan purna penempatan. Terkait jumlah pencairan dana klaim
asuransi masih jauh memenuhi tujuan program asuransi TKI tersebut. Sehingga program ini belum bisa berjalan dengan efektif melihat masih terjadinya permasalahan yang kompleks dalam implementasinya, sehingga diperlukan evaluasi yang nantinya mampu mengatasi permasalahan yang timbul dan tentunya terdapat pula faktor yang menjadi penghambat dan pendukung jalannya program asuransi ini. Faktor pendukung jalannya program ini lebih sedikit dibandingkan faktor yang menghambat program asuransi TKI ini. Faktor pendanaan dari negara merupakan salah satu faktor pendukung jalannya program ini, selain itu peran konsorsium asuransi Jawa Timur, PPTKIS dan calon TKI/TKI dengan mendukung program pemerintah dengan mengikuti prosedur yang telah diatur. Permasalahan yang masih terjadi di dalam pemerintahan seperti kurangnya pengawasan, koordinasi, dan sosialisasi masih menjadi salah satu faktor penghambat yang harus segera ditangani oleh pemerintah. Faktor penghambat lainnya adalah pihak konsorsium asuransi, dan PPTKIS yang masih banyak melakukan kecurangan dan kurang mematuhi peraturan yang ada. Calon TKI/TKI faktor penghambatnya seperti kurangnya pemahaman tentang program asuransi TKI yang seharusnya bisa lebih mengerti tentang adanya program asuransi TKI
ini seperti hak dan
kewajibannya, lingkup pertanggung jawabannya, tatacara pencairan klaim asuransi dll.
3. Artikel ilmiah berjudul 10 “Pelaksanaan
Permenakertrans
Nomor
Per
07/Men/V/2010 Tentang Asuransi TKI Dalam Upaya Perlindungan Terhadap Hak - Hak Tenaga Kerja Indonesia Yang Bekerja Di Luar Negeri.” Permasalahan dalam penulisan ilmiah ini mengenai pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi Nomor PER 07/MEN/V/2010 Tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia, dalam hal pelaksanaan klaim asuransi TKI, sebagai upaya perlindungan terhadap hak-hak TKI yang bekerja di luar negeri di Kabupaten Malang dan faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan klaim asuransi TKI, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi Nomor PER 07/MEN/V/2010 Tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia tersebut. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam pembahasan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : a. Pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER 07/MEN/V/2010 Tentang Asuransi TKI belum efektif dalam melindungi hak-hak TKI yang bekerja di luar negeri, dinilai dari sisi substansi, struktur dan kultur. Dari sisi subtansi Permenakertrans dinilai tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat. Dari sisi struktur prosedur klaim asuransi yang diterapkan oleh Konsorsium Asuransi TKI tidak efisien, memakan waktu yang lama,
10
Rafi Himawan Narendra, “Pelaksanaan Permenakertrans Nomor Per 07/Men/V/2010 Tentang Asuransi TKI Dalam Upaya Perlindungan Terhadap Hak-Hak Tenaga Kerja Indonesia Yang Bekerja Di Luar Negeri”, Artikel Ilmiah, Universitas Brawijaya, Malang, 2013.
serta tidak transparan dalam menentukan indikator klaim yang diterima dan klaim yang ditolak. Sedangkan dari sisi kultur, pelayanan yang diberikan Konsorsium Asuransi TKI kepada TKI bukannya mempermudah tetapi malah mempersulit TKI ketika akan mengajukan klaim asuransi. b. Hambatan dalam pelaksanaan asuransi TKI ini adalah: 1) Persyaratan dan Prosedur Klaim yang sulit. 2) Minimnya kantor cabang perusahaan asuransi baik di dalam maupun di luar negeri. 3) Sosialisasi mengenai asuransi TKI dalam Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) tidak maksimal. 4) Tidak Ada Transparansi Mengenai Indikator Klaim yang Ditolak dan Klaim yang Diterima. Penelitian yang penulis lakukan ini memfokuskan pada E-KTKLN sebagai pengganti KTKLN yang telah dihapus berdasarkan pernyataan dari Presiden Republik
Indonesia
Joko
Widodo
yang
kemudian
ditanggapi
dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor7 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pemberian E-KTKLN. Sepanjang pengetahuan penulis, permasalahan tersebut belum pernah dijadikan objek penelitian. Dengan demikian penelitian yang
dilakukan
dengan permasalahan tersebut
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
adalah
asli dan
dapat