BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pasca peristiwa 11 September 2001 berbagai teks media yang ditampilkan oleh film-film Hollywood mengenai “Islam” dan “teroris” bermunculan di seluruh dunia. Melalui ekskomunikasi atau pengeluaraan salah satu kelompok sosial pada teks berita, dalam hal ini umat “Islam”, sebagaian besar media Barat seperti Amerika seringkali menyajikan berita yang tidak seimbang dengan menampilkan masyarakat “Islam” sebagai umat yang tidak berbudaya, “teroris” dan tidak menjunjung nilai-nilai demokrasi. Hal ini biasa disaksikan dalam beberapa karya film Hollywood yang diproduksi dan dirilis pasca peristiwa serangan 11 September
2001
menggambarkan secara tidak adil dan cenderung rasis terhadap pribadi bangsa “Arab” yang sekaligus membawa identitas “Islam”. Film-film seperti Fahrenheit 9/11 dirilis tahun 2004, The Kingdom dirilis tahun 2007, Taken 2 dirilis tahun 2012, dan American Sniper yang dirilis pada tahun 2015 merepresentasikan “Arab” / “Islam” sebagai tokoh antagonis yang barbar, “teroris” dan tidak mempunyai perasaan sedangkan pihak Amerika selalu ditampilkan sebagai pihak yang benar, Amerika selalu memposisikan dirinya dalam media dengan citra yang baik bak “pahlawan” yang berjuang untuk melindungi masyarakat dunia
dari segala teror yang dilakukan oleh pihak “Arab” / “Islam” (Kellner, 2003 : 75 & 86). Kecenderungan film-film Hollywood dalam merepresentasikan “Islam” juga dapat disaksikan dalam film Black Hawk Down yang dirilis pada pertengahan tahun 2002. Film yang menceritakan pertempuran antara milisi Somalia dan pasukan-pasukan khusus Amerika Serikat ini menampilkan “umat Islam” dicitrakan sebagai umat yang suka berperang, militan serta tidak memiliki rasa kemanusiaan. Citra “umat Islam” suka berperang digambarkan dalam film ini bahwa berbagai kekacauan dan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Somalia merupakan akibat dari munculnya peperangan antar suku-suku yang mendiami wilayah Somalia yang nota bene merupakan mayoritas suku-suku yang memeluk agama “Islam”. Secara eksplisit dalam film tersebut divisualisasikan bahwa orang-orang Somalia bebas membawa senjata kemanapun ia pergi, bahkan pada saat menjalankan sholat sekalipun. Selanjutnya dalam film Black Hawk Down juga merepresentasikan citra “umat Islam” sebagai umat yang tidak memiliki rasa kemanusiaan, dikarenakan dalam film ini “umat Islam” divisualisasikan sebagai umat yang kejam dan pembunuh yakni dengan melakukan penyiksaan dan pembunuhan terhadap prajurit-prajurit dari pasukan Amerika Serikat yang tidak bersenjata, mereka dipukuli, dilempari dengan batu, bahkan prajurit Amerika Serikat yang telah tewas pun diarak keliling kota Mogadishu.
Sebagian
besar
film-film
Hollywood
memang
cenderung
merepresentasikan “Islam” penuh dengan kekerasan dan “teroris” seperti yang peneliti paparkan di atas. Hollywood cenderung menggambarkan Amerika sebagai “pahlawan” sedangkan “Islam” sebagai musuh dunia yang harus dilawan oleh sang “pahlawan” karena selalu membuat teror di tengah-tengah masyarakat. Fenomena bagaimana Barat memandang bangsa Timur / “Islam” sebagai bangsa yang biadab dan penuh dengan kekerasan ini tidak hanya muncul pasca Serangan 11 September namun telah muncul dari dahulu. Para kolonialis Barat memandang bangsa Timur sebagai bangsa yang perlu untuk dididik menjadi bangsa yang mengerti akan keadilan dan kedisiplinan. Gaya Barat untuk mendominasi, menata dan menguasai Timur inilah yang didefinisikan sebagai orientalisme, yakni pemahaman maupun representasi Barat terhadap Timur. Dalam bukunya yang berjudul „Orientalisme‟, Edward Said mencoba membongkar hegemoni Barat dan menunjukan bagaimana para orientalis Barat memandang Timur. Menurut Said (2010:51), dalam pandangan Barat, masyarakat Timur adalah masyarakat yang irasional dan kekanak-kanakan, yang berbeda dengan masyarakat Barat yang rasional, berbudi luhur dan dewasa. Dalam pandangan Barat, bangsa Barat adalah bangsa yang lebih unggul dari pada bangsa Timur (Said, 2010:9). Sehingga menyebabkan ketetapan Barat menjalin hubungan dengan Timur tidak lepas dari hubungan kekuasaan, dominasi dan hubungan secara hegemoni yang kompleks (Suratno, 2013:189). Penjelasan
tentang orientalisme secara lebih jelas akan peneliti paparkan dalam bab ke-dua penelitian ini. Namun ada salah satu film Hollywood yang diproduksi di Indonesia berjudul Java Heat1 tampil berbeda bila dibandingkan dengan film-film Hollywood lainnya. Film Hollywood ber-genre action yang menjadikan budaya “Jawa” sebagai latar dalam film ini merupakan film besutan sutradara muda dari Amerika Serikat bernama Conor Allyn yang sempat dirilis pada tanggal 18 April 2013. Selain menggunakan budaya “Jawa” sebagai latar dalam film ini, sang sutradara Conor Allyn juga mengkolaborasikan para 500 crew dan artis dari dua negara sekaligus yakni Indonesia dan Hollywood dalam produksinya. Dalam sebuah wawancara di sebuah berita online, Conor Allyn menyatakan bahwa film Java Heat merupakan film Hollywood pertama yang diproduksi seluruhnya di Indonesia. Film ini menggabungkan bintang-bintang Hollywood seperti Mickey Rourke dan Kellan Lutz dengan aktor dan aktris terbaik dari Indonesia seperti Ario Bayu dan Atiqah Hasiholan dalam sebuah action thriller yang menegangkan.2 Selain itu Conor Allyn yang juga pernah bekerja sama dengan Hashim Djojohadikusumo dalam pembuatan film trilogi Merah Putih ini mengungkapkan bahwa biaya produksi filmnya kali ini
1
Selain dirilis di Indonesia, Film Java Heat juga dirilis di luar negeri dengan judul yang berbeda, yakni: Java Heat- Insel der Entscheidung di Jerman dan Java Karstis di Lithuania (www.Wikepediacom, diakses 18 Desember 2014). 2 http://www.cinemags-id.com/interview/detail/java-heat-feature/, diakses pada 1 Agustus 2015.
berasal dari Amerika Serikat.3 Sekedar data bahwa dana yang dihabiskan dalam memproduksi film Java Heat adalah sebesar 15 juta dollar Amerika atau dalam Rupiah sebesar Rp.145 Milyar. 4 Film ini bercerita tentang sebuah peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di sebuah pesta kesultanan yang menewaskan seorang putri bernama Sultana yang merupakan anak dari Sri Sultan “Jawa”. Kasus ini telah meresahkan masyarakat “Jawa”, ini terlihat dari visual masyarakat “Jawa” yang melakukan aksi demonstrasi di kantor kepolisian untuk menuntut polisi menemukan pelaku teror yang telah membunuh putri Sultana. Jake yang merupakan orang asing (baca: Amerika) yang terlihat di cctv sebagai orang terakhir yang bertemu dan berkomunikasi dengan putri Sultana sempat dicurigai sebagai
dalang
pembunuhan sang putri oleh seorang anggota polisi dari kesatuan Densus 88 bernama Hashim yang memang ditunjuk untuk mencari pelaku dari peristiwa tersebut. Jake yang sebenarnya merupakan mantan anggota Marinir Amerika Serikat mencoba untuk memburu buronan bernama Malik yang diketahui sedang berada di wilayah “Jawa”. Setelah mengetahui latar belakang Jake dan kesamaan tujuan yakni untuk menangkap Malik, maka Jake dan Hashim bekerja sama
3
4
http://www.jpnn.com/read/2013/02/27/160266/Java-Heat-Tayang-di-60-Negara-, diakses pada 1 Agustus 2015. http://www.21cineplex.com/slowmotion/produksi-film-java-heat-habiskan-dana-sebesar-rp-145milyar,3604.htm, diakses pada 1 Agustus 2015.
dalam usaha mereka menangkap Malik serta mencari motif sebenarnya atas kasus teror yang terjadi di wilayah “Jawa”.5 Bagi peneliti, film ini sangat menarik untuk diteliti secara lebih mendalam tentang berbagai aspek yang ditampilkan teks dan visual6 dalam film ini. Salah satunya yang menjadi fokus perhatian peneliti adalah tentang posisi film ini sebagai salah satu film Hollywood tentang Amerika Serikat dalam memandang “Islam” yang cenderung berbeda dari sebagian besar film Hollywood lainnya dalam menampilkan “Islam”. Jika selama ini sebagian besar film Hollywood cenderung menampilkan “Islam” sebagai penyebab / dalang utama kasus “teroris” yang terjadi di seluruh dunia semenjak kasus 11 September dan Amerika menjadi tokoh “pahlawan”, film ini menampilkan sesuatu yang cenderung berbeda tentang “mitos7” tersebut. “Islam” yang dikonstruksi oleh sang sutradara Connor Allyn memiliki perbedaan dengan film-film Hollywood lainnya. Selain menampilkan figur “good muslim” dan “bad muslim” secara bersamaan, film ini juga cenderung menggambarkan bahwa pelaku teror di dunia tidak hanya dilakukan oleh orang “Islam” melainkan orang “Barat” juga ikut serta menciptakan teror. Selanjutnya, 5
www.21cineplex.com, diakses pada tanggal 18 Desember 2014. Menurut Barthes dalam mengkaji foto atau gambar kita harus mulai dari tataran makna denotasi menuju makna konotasi, dengan demikian foto atau gambar memiliki segala kemungkinan untuk menjadi mitos. Hal ini disebabkan gambar telah diseleksi, diposisikan, ditampilkan dalam ukuran tertentu berdasarkan nilai-nilai professional sekaligus ideologi tertentu (sebagaimana yang dikutip Sunardi, 2002:184) 7 Mitos dalam film berkaitan dengan teori oposisi biner, dimana terdapat penempatan antara dua sisi di dalam scene (Thwaites, Davis and Mules, 2002:65). Dua sisi ini ditampakan layaknya hitam dan putih, setan dan malaikat, yang satu sisi diposisikan sebagai pihak yang benar sedangkan yang lain adalah yang salah. 6
“umat Islam” tidak hanya selalu tentang “teroris” seperti yang ditampilkan oleh film-film Hollywood lainnya, namun di film ini “umat Islam” juga digambarkan menjadi tokoh penegak hukum (aparat kepolisian) yang tegas dalam menegakkan hukum termasuk ikut serta bersama Amerika menjadi “pahlawan” dalam memburu pelaku teror. Tokoh polisi “Islam” dalam film ini juga digambarkan sebagai sosok polisi yang relegius namun memiliki sikap yang pluralis
8
dalam
menjalin toleransi dengan orang-orang yang menganut agama yang berbeda dengannya. Seperti yang telah dijelaskan oleh sang sutradara Connor Allyn dalam sebuah wawanacara di sebuah berita online : “Aku pikir orang-orang tidak akan khawatir ketika mereka sudah melihat filmnya. Trailer film ini tidak menunjukan keseluruhan cerita. Faktanya, aku mungkin memasukkan twists, jadi tokoh jahatnya mungkin saja bukan orang “muslim”. Who knows. Mickey Rourke is a tricky dude dan bisa saja menipu anda. Jangan lupa juga, “muslim” bisa menjadi baik dan jahat, dan di “java heat” “pahlawan”nya juga seorang “muslim”. Aku tidak berbicara tentang Kellan Lutz. Polisi Indonesia, Ario Bayu, adalah “pahlawan” di film ini, dan dia „muslim‟.” 9
Selain itu Film ini juga menampilkan berbagai penanda tentang keIslam”an, seperti penggambaran negara Indonesia sebagai negara “muslim” terbesar di dunia, “teroris Islam” yang manusiawi dan sebagainya. Hal inilah
8
penggambaran “Islam” pluralis dalam film ini ditegaskan oleh statement sang sutradara dalam sebuah wawancara di situs berita online "Ini film terpenting di dunia, karena ada berbagai agama, dan kita membuatnya mengedepankan nilai-nilai pancasila. Kami ingin menunjukkan keberagaman di Indonesia.”(http://life.viva.co.id/news/read/404215-film-java-heat-dibajak--ini-tanggapan-sutradara, diakses pada 1 Agustus 2015). 9 www.detik.com, diakses 5 Februari 2015
yang akan menjadi fokus penelitian ini dengan menggunakan pendekatan semiotika. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana Hollywood merepresentasikan ke-“Islam”an dalam film Java Heat? 2. Bagaimana makna denotasi, konotasi dan mitos yang muncul pada teks audio dan visual dalam film Java Heat tentang berbagai penanda ke“Islam”an yang dimunculkan oleh Hollywood ?
1.3 Tujuan Penelitian Berangkat dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut : 1. Untuk mengungkapkan representasi ke-“Islam”an dalam film Hollywood Java Heat. 2. Untuk mengetahui makna denotasi, konotasi, dan mitos yang muncul pada teks audio dan visual dalam film Java Heat tentang penanda ke-“Islam”an yang dimunculkan oleh Hollywood.
1.4 Tinjauan Pustaka Pasca peristiwa Serangan 11 September 2001 lalu, wajah “Islam” kian menjadi sorotan di dunia. Berbagai media gencar membuat opini bahwa otak dari serangan tersebut adalah “teroris muslim”. Akibat dari pemberitaan tersebut telah membawa khalayak kepada konstruksi identitas agama “Islam” sebagai agama yang penuh dengan kekerasan dan radikalisme hingga pada suatu kesimpulan “Islam” adalah “teroris”. Film sebagai salah satu media massa juga menggambarkan hal tersebut dengan cara yang berbeda. Beberapa perusahaan film Hollywood memproduksi film yang di dalamnya menampilkan bagaimana “muslim” melalukan perbuatan kekerasan tersebut. Misalnya membunuh dengan menyebut nama “Allahu Akbar”, atau tokoh “teroris” yang merupakan orang “Islam”. Fenomena tersebut menarik perhatian berbagai akademisi / peneliti untuk meneliti lebih dalam bagaimana kecenderungan film-film Hollywood dalam merepresentasikan penanda keislaman. Berikut beberapa penelitian terdahulu yang signifikan dengan penelitian ini yang mengkaji mengenai representasi ke“Islam”an yang diproduksi oleh media Barat (baca: Amerika) khususnya penelitian pada film Hollywood berjudul Java Heat : Penelitian Wisnu Agung Febriana (2013) yang berjudul “Stereotip Budaya Jawa dalam Film Hollywood; Analisis semiotika pada film Java Heat yang membahas tentang proses penggambaran unsur-unsur budaya Jawa dalam film Java Heat. Dalam skripsinya, Wisnu ingin menjelaskan peran dari sutradara
Connor Allyn dalam menggali dan menampilkan unsur-unsur lokal budaya Jawa melalui pendekatan semiotika yang ditampilkan melalui bentuk fisik dan non fisik yakni meliputi bahasa, seni, agama Islam Jawa dan nilai-nilai luhur yang dianut masyarakat Jawa. Tetapi Wisnu lebih banyak menghadirkan serta menganalisis data-data yang berkaitan dengan konteks budaya Jawa yang menjadi latar dalam film ini dan sedikit membahas di awal konteks yang berkaitan tentang “Islam”. Selain lebih fokus meneliti tentang konteks budaya Jawa, dalam penelitian ini juga terlihat jelas bagaimana Wisnu berusaha melakukan vokasi / pembelaan kepada “Islam” atas beberapa adegan yang ia anggap telah merusak citra agama “Islam”, hal ini bisa terlihat dari pernyataan Wisnu yang mengatakan bahwa “Islam” adalah agama yang cinta damai bukan umat yang menyelesaikan masalah dengan demo ataupun kekerasan seperti yang ditampilkan dalam film Java Heat. Berbeda dengan peneliti yang dalam hal ini berusaha menghadirkan dan menguji data-data dari setiap adegan yang merepresentasikan Islam. Selain itu peneliti juga berusaha memposisikan diri untuk tidak membela salah satu pihak yang dimunculkan dalam film ini. Sebaliknya peneliti berusaha untuk mengkritisinya, baik itu tentang mitos-mitos yang berkaitan tentang Islam, film Hollywood maupun Amerika Serikat. Penelitian selanjutnya adalah Tri Asih Munaji (2014) melalui skripsinya yang berjudul “Representasi Islam dalam film Java Heat; Analisis Semiotik Roland Barthes”. Dalam skripsinya, Tri ingin menjelaskan bahwa beberapa
adegan yang ditampilkan dalam film Java Heat merupakan bentuk counter argument terhadap wacana “Islam” dalam film Hollywood yang selama ini selalu merepresentasikan “Islam” penuh dengan kekerasan dan teroris. Hasil dari skripsinya menyimpulkan bahwa film Java Heat berupaya meluruskan pandangan negatif Amerika tentang “Islam” adalah teroris, hal tersebut diperlihatkan oleh tokoh Hashim dan keluarganya yang menggambarkan sikap saling menghormati antar muslim dan non muslim yang menunjukkan sikap toleransi antarumat beragama. Selain itu Tri juga menyimpulkan bahwa film Java Heat merepresentasikan “Islam” sebagai agama yang cinta damai. Persamaan penelitian Tri dengan penelitian Wahyu yang sekaligus menjadi perbedaan dengan peneliti adalah melalui argumen-argumen yang dibangun, posisi dari kedua peneliti tersebut berusaha untuk membela ”Islam” dan cenderung mengganggap bahwa Amerika salah merepresentasikan “Islam” sebagai agama yang penuh dengan kekerasan tanpa mencoba mengkritisi “Islam”, selain itu kedua peneliti tersebut tidak memperhatikan berbagai identitas yang ditampilkan dalam film ini yang begitu mirip dengan identitas “Islam” dari Timur Tengah seperti pelabelan nama-nama figur, simbol-simbol yang digunakan oleh figur serta perilaku-perilaku dan bahasa dari figur-figur yang disajikan dalam film Hollywood berlatar Jawa ini. Sebelum memutuskan untuk meneliti tentang film Java Heat, Pada dasarnya peneliti sangat menyadari bahwa tidak semua film Hollywood selalu menampilkan “Islam” adalah teroris dan Amerika selalu menjadi “pahlawan”
karena faktanya masih ada perusahaan-perusahaan film Hollywood yang memproduksi film yang isinya cenderung mengkritik dan juga menjatuhkan negara Amerika Serikat. Namun sebagai seorang mahasiswa Cultural Studies, peneliti sudah sepantasnya harus tetap mencoba “mencurigai” posisi film Java Heat yang merupakan salah satu film Hollywood yang selama ini cenderung selalu mengkonstruksi mitos bahwa “Islam” adalah agama yang penuh dengan kekerasan, selain itu menurut peneliti konstruksi agama “Islam” sebagai agama yang cinta damai yang simpulkan oleh Tri juga merupakan sebuah mitos, karena pada dasarnya kekerasan dan radikalisme juga sering terjadi di dalam dunia Islam. Dalam tesis ini peneliti akan fokus pada menganalisis teks dan visual pada film Java Heat yang berkaitan dengan penanda ke-“Islam”an yang ditampilkan Hollywood, dan memeriksa representasi “Islam” yang ingin disampaikan Hollywood melalui film ini.
1.5 Landasan Teori 1.5.1 Teori Identitas Menurut Hall dalam memahami konsep identitas terdapat asumsi-asumsi esensialisme dan non-esensialisme. Esensialisme berasumsi bahwa deskripsi tentang diri kita mencerminkan suatu identitas esensial. Berdasarkan logika ini maka akan ada esensi feminitas, maskulinitas, Asia, remaja, dan segala kategori sosial lainnya (sebagaimana yang dikutip Barker, 2011: 174). Asumsi kaum
esensialisme meyakini bahwa kebudayaan terdiri dari nilai-nilai dan normanorma yang telah selesai, mantap, baku dan berdiri sendiri. Dalam pandangan mereka, tingkah laku sekelompok orang akan tergantung kepada nilai-nilai dan kebudayaan yang dianut. Pada pandangan aliran esensialisme norma-norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat sesuai kebudayaan masyarakat tersebut merupakan hal yang mutlak dan sudah baku sehingga jika ada individu yang tingkah lakunya tidak sesuai dari nilai-nilai dan norma tersebut dianggap perilaku menyimpang. Sebaliknya, kita telah menyatakan bahwa identitas bersifat kultural dalam “segala aspeknya”, bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu. Menurut pandangan aliran non-esensialisme identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan kultural. Identitas adalah konstruksi diskursif yang berubah maknanya menurut ruang, waktu, dan pemakaiannya (sebagaimana yang dikutip Barker, 2011: 174-175). Dalam artikelnya yang berjudul The Question of Cultural Identity, Stuart Hall (sebagaimana yang dikutip Barker, 2011: 176-178) mengidentifikasi adanya tiga cara berbeda dalam memahami dan mengkonseptualisasikan identitas, yaitu : a. Subyek Pencerahan Dalam perspektif era pencerahan berkembang pandangan tentang pribadi (person) sebagai agen yang terpadu dan unik telah menyatu dan bersekutu dengan pencerahan (Enlightenment). Bahwa pada dasarnya manusia memiliki segala „kemampuan‟ untuk membebaskan diri dan menentukan
bagaimana sesungguhnya eksistensi diri; sebagai diri yang mendapat pencerahan. b. Subyek Sosiologis Identitas dalam subyek sosiologis adalah dimana identitas itu tidak membangun dirinya sendiri atau berada di dalam diri melainkan „aspek yang seluruhnya kultural‟ sebab terbangun melalui proses akulturasi. Yang dimaksud subyek sosiologis oleh Hall disini adalah „diri‟
yang
disosialisasikan. Asumsi dasar dari pandangan subyek sosiologis bahwa manusia adalah makhluk sosial dimana aspek sosial melalui interaksi antar individu akan mempengaruhi pembentukan identitasnya dan identitas itu semata-mata tidak membangun atau berdiri sendiri namun ada proses akulturasi. c. Subyek Pascamodern Menurut pandangan subyek pascamodern bahwa identitas individu tidak hanya satu melainkan terfragmentasi dalam beberapa identitas yang kadang identitas-identitas tersebut kontradiktif. Sedangkan identitas menurut Anthony Giddens merupakan proyek. Identitas adalah diri sebagaimana yang dipahami secara reflektif oleh orang dalam konteks biografinya. Yang dia maksud adalah bahwa identitas merupakan sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan. Proyek identitas membentuk apa yang kita pikir tentang diri kita saat ini dari sudut situasi masa lalu dan masa kini kita,
bersama dengan apa yang kita pikir, kita inginkan, lintasan harapan kita kedepan (sebagaimana yang dikutip Barker, 2011 : 175). Oleh karena itu, sesuatu yang kita pikirkan berubah dari situasi ke situasi lain sesuai ruang dan waktu sehingga identitas dimaknai sebagai proyek. Dimana identitas tersebut merupakan kemampuan individu dalam menarasikan dirinya bukanlah kumpulan sifat-sifat individu maupun sesuatu yang entitas. Seperti yang telah diungkapkan Giddens (1991: 75), identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri, sehingga membentuk perasaan terus-menerus tentang adanya kontinuitas biografis. Cerita identitas berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis: „Apa yang harus dilakukan? Bagaimana bertindak? Dan ingin jadi siapa?‟ Individu berusaha mengkonstruksi suatu narasi identitas koheren dimana „diri‟ membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan. Oleh karena itu, identitas diri bukan sifat yang distingtif, atau merupakan kumpulan sifat-sifat yang dimiliki oleh individu. Identitas diri adalah diri sebagai pengertian secara refleksi oleh seorang dalam biografi dia (Giddens, 1991:53). Film memiliki unsur-unsur figur atau karakter yang memainkan cerita, identitas selalu melekat pada unsur figur ini. Pemilihan pemeran dalam mengisi suatu figurpun biasanya melibatkan penyocokan identitas yang serupa. Misalnya dalam hal identitas rasial, tidak mungkin mengisi suatu figur pria pendeta gereja berkebangsaan Amerika asli dengan seorang pria Arab berjanggut lebat. Karena kebiasaan yang umum tidak mengenal pria pendeta kulit putih berkebangsaan
Amerika seperti itu, ada simbol-simbol identitas yang harus ada seperti jubah pendeta, kulit putih atau rambut kuning, badan tinggi dan sebagainya (Samavor, 2010:156). Salah satu identitas yang penting bagi manusia adalah identitas keagamaan. Identitas keagamaan sudah menjadi isu konflik antarbudaya. Konflik yang terjadi baru-baru saja pasca 11 September saat Amerika menyatakan perang terhadap “terorisme” namun mengarahkan telunjuknya kepada setiap identitas keislaman termasuk bangsa Arab. Permasalahannya adalah kebanyakan orang muslim sendiri tidak membenarkan tindakan “teroris” tersebut, namun Amerika sudah terlanjur menunjuk pada “Islam” secara keseluruhan yang memunculkan streotipe dan prejudice10 terhadap umat muslim di muka dunia (Martin & Nakayama, 2007: 182).
1.5.2 Dasar-dasar Semiotika Di dalam Couse in General Linguistics, Saussure mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial (sebagaimana yang dikutip Fiske, 1990:15). Implisit dalam definisi tersebut adalah sebuah relasi bahwa jia tanda menjadi bagian dari kehidupan sosial, maka tanda juga menjadi bagian dari aturan-aturan sosial yang berlaku. Ada sistem tanda dan ada sistem sosial, yang keduanya saling berkaitan. Dalam
10
Prejudice atau prasangka adalah perasaan negatif yang tersimpan mendalam sehubungan dengan keberadaan grup tertentu. Rasa ini mengarah kepada sentimen kemarahan, ketakutan, kebencian dan kegelisahan kepada grup lain (Samavor, 2009:173).
hal ini, Saussure berbicara mengenai konvensi sosial yang mengatur penggunaan tanda secara sosial, yaitu pemilihan, pengombinasian, dan penggunaan tandatanda dengan cara tertentu, sehingga ia mempunyai makna dan nilai sosial. Saussure mengusulkan dua model analisis bahasa, yaitu bahasa sebagai sebuah sistem (langue), dan bahasa sebagaimana ia gunakan secara nyata oleh individu-individu dalam berkomunikasi secara sosial (parole). (Saussure, 1966:9, Barthes, 1981:13-14). Langue merupakan bahasa sebagai objek sosial yang murni, dengan demikian keberadaannya di luar individu, yaitu sebagai seperangkat konvensi-konvensi sistemik yang berperan penting di dalam komunikasi (Budiman, 2011:24). Langue juga merupakan institusi sosial yang otonom, tidak tergantung kepada materi-materi tanda-tanda pembentuknya. Sebagai sebuah institusi sosial, langue sama sekali bukan tindakan dan tidak bisa dirancang, diciptakan atau diubah secara pribadi karena ia pada hakekatnya merupakan kontrak kolektif yang sungguh-sungguh mesti dipatuhi apabila ingin bisa berkomunikasi. Singkatnya adalah bahasa dalam wujudnya sebagai sebuah sistem, (Saussure, 1966:9, 14-15; Barthes, 1981:13-14). Berkebalikan dengan langue, parole menurut pengertian Saussure adalah apa yang dikomunikasikan orang pada saat dan masa tertentu atau penggunaan aktual bahasa sebagai suatu tindakan yang sepenuhnya individual. Parole bisa dipandang
sebagai
kombinasi
yang
memungkinkan
penutur
mampu
menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan pikiran pribadinya, serta dapat
dipandang sebagai mekanisme psikofisik yang memungkinkan penutur menampilkan kombinasi tertentu. Jika dikaitkan dengan langue, langue merupakan struktur yang ada „di dalam‟ keseluruhan sistem tanda yang mendasari parole (Saussure, 1966:13-14; Barthes, 1981:14-15; Budiman, 2011:25). Perbedaan antara langue dan parole ini sangat sentral dalam pemikiran bahasa Saussure, oleh karena sebagaimana dikemukakan oleh Jonathan Culler, ia mempunyai konsekuensi lebih luas pada bidang-bidang di luar linguistik, disebabkan secara esensial ia merupakan perbedaan antara „institusi‟ dan „event’, antara sistem yang memungkinkan berbagai tindak tanduk sosial, dan contohcontoh aktual tingkah laku itu sendiri (Culler, 1976:33), atau dengan analogi yang lebih ekstrem, antara sebuah „kitab suci‟ dan bagaimana setiap orang mengamalkannya. Dalam kerangka langue, Saussure menjelaskan „tanda‟ sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang, seperti halnya selembar kertas yakni bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan „bentuk‟ atau „ekspresi‟ dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan „konsep‟ atau „makna‟. Dalam melihat relasi pertandaan ini, Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial yang mangatur pengombinasian tanda dan maknanya (sebagaimana yang dikutip Culler, 1976:19). Saussure melukiskan hubungan antara penanda dan petanda seperti selembar kertas, yang tidak mungkin untuk memisahkan antara
satu sisinya dengan sisinya yang lain. Begitulah Saussure menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang keduanya membentuk tanda, seperti seikat bunga yang diberikan pada seseorang (penanda) tidak bisa dipisahkan dari konsep „cinta‟ atau „kasih sayang‟ dibaliknya (petanda). Relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi inilah yang disebut sebagai signifikasi. Dengan demikian semiotika signifikasi adalah semiotika yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu (sebagaimana yang dikutp Fiske, 1990:85). Tabel 1.1 Kesatuan tanda, penanda dan petanda Signifier
Sifnified Sign
Menurut Hodge & Kress (1944:41-42) berbagai kategori di atas perlu dipahami sebagai suatu skema yang utuh serta sebagai tahapan-tahapan yang bersifat suksesif, sebagai sebagai sesuatu yang terisolasi satu dengan yang lain. Berdasarkan dengan model dyadic Saussure ini (tanda/penanda/petanda), Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa (sebagaimana yang dikutip Culler, 1976:19)
Semiotika signifikasi, dalam hal ini menaruh perhatian pada „relasi‟ sistemik antara perbendaharaan tanda, aturan pengombinasiannya (code), serta konsep-konsep (signified) yang berkaitan dengannya (Eco, 1976:48). Cara pengombinasian tanda-tanda biasanya dilandasi oleh kode tertentu yang berlaku di dalam sebuah komunitas bahasa. „Kode‟ adalah seperangkat aturan atau konvensi bersama yang di dalamnya tanda-tanda dapat dikombinasikan, sehingga memungkinkan pesan dikomunikasikan dari seseorang kepada orang lain. „Kode‟, menurut Umberto Eco dalam A theory of Semiotics adalah aturan yang menghasilkan tanda-tanda sebagai penampilan konkritnya di dalam hubungan komunikasi (Eco, 1979:48). Implisit dalam pengertian kode tersebut di atas adalah adanya „kesepakatan sosial‟ di antara „anggota komunitas bahasa‟ tentang kombinasi seperangkat tanda-tanda dan maknanya. Menurut Saussure, bahasa dibentuk semata oleh prinsip „perbedaan‟. „Perbedaan‟ hanya dimungkinkan lewat beroperasinya dua aksis bahasa yang disebutnya aksis paradigmatik dan aksis sintagmatik. „Paradigmatik‟ adalah satu perangkat tanda yang melaluinya pilihan-pilihan dibuat, dan hanya satu dari pilihan tersebut yang dapat dipilih. Sintagmatik adalah kombinasi tanda dengan tanda lainnya dari perangkat yang ada berdasarkan aturan tertentu, sehingga menghasilkan ungkapan bermakna (Saussure, 1976: 190-192). Dalam semiotika signifikasi, tanda tidak dapat dilihat hanya secara individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda lainnya
di dalam sebuah sistem. Menurut Roland Barthes, analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi yang lebih besar ini melibatkan apa yang disebut aturan pengombinasian, yang terdiri dari dua aksis, yaitu paradigmatik yaitu pembendaharaan tanda atau kata, serta aksis sintagmatik yaitu cara pemilihan dan pengombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan atau kode tertentu, sehingga dapat menghasilkan ekspresi bermakna (Barthes, 1967:125). Di dalam semiotika signifikasi terdapat berbagai tingkatan tanda, yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna juga bertingkat-tingkat. Barthes menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan pertama yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Denotasi adalah tingkatan pertandaan yang paling konvensional di dalam masyarakat, yaitu elemen-elemen tanda yang maknanya cenderung disepakati secara sosial. Konotasi adalah tingkat pertandaan kedua yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan tafsiran). Ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan, yang disebut makna konotatif. Selain itu, Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang
berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah (lih. Barthes, 1967). Tabel 1.2 Bagan yang menunjukkan tanda bekerja 1. Signifier Language
2. Signified
3. Sign I. Signifier
Myth
II. Signified
III. Sign
1) Di dalam tataran bahasa, yaitu sistem semiologis lapis pertama, penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda. 2) Selanjutnya, di dalam tataran mitos yakni sistem semiologis lapis kedua, tanda-tanda pada tataran pertama tadi menjadi penandapenanda yang berhubungan lagi dengan petanda-petanda (Budiman, 2011:38-39, Barthes, 1981:94). Untuk memperjelas proses signifikasi lapis ganda ini dengan perangkat konseptual yang lebih familiar, yakni denotasi dan konotasi, Barthes meminjam teori dari Hjelmslev. Barthes dengan teori tersebut, pertama ia membedakan lapis ekspresi (expression : E) dari lapis isi (content : C) sebagai pengganti konsepkonsep seperti penanda dan petanda yang ia ambil dari Saussure. Ekspresi dan isi
saling berelasi (relation : R) sehingga menghasilkan signifikasi yang disingkat menjadi ERC. Sistem ini pada tingkat pertama, pada gilirannya hanya akan menjadi sebuah unsur saja dari sistem tingkat kedua. Maka sebagai akibatnya berdasarkan sistem ini akan muncul dua buah sistem signifikasi yang rumit, terpisah dan tak-serentak. Derivasi yang kemudian dihasilkan tergantung kepada titik penyusupan dari sistem pertama ke dalam sistem kedua sehingga diperoleh dua perangkat yang satu sama lainnya berbeda. Penjelasan tersebut oleh Budiman digambarkan melalui bagan sebagai berikut (Budiman, 2011:39-40). II
I
E
E
R
R
C
C
Melalui diagram di atas, menunjukkan sistem pertama (ERC) menjadi lapis ekspresi (atau penanda) dari sistem kedua (ERC)RC. Kasus inilah yang kemudian oleh Hjemslev dinamakan sebagai semiotik konotatif. Sistem pertama merupakan lapisan denotasi, dan sistem kedua (yang merupakan perluasannya) merupakan lapisan konotasi. II
I
E
R
C
E
R
C
Adapun diagram selanjutnya di atas, menggambarkan sistem bahasa pertama (ERC) menjadi lapis isi (atau penanda) dari sistem kedua ER (ERC).
Kasus ini pasti terjadi pada setiap metabahasa, yakni sebuah sistem yang lapis isisnya sendiri tersusun oleh sebuah sistem signifikasi, atau singkatnya sebagai bahasa tentang bahasa, sebuah semiotik tentang semiotik (Budiman, 2011: 40; Barthes, 1983:115).
1.5.3 Representasi Media memiliki pengaruh besar dalam mempresentasikan identitas. Representasi merupakan sebuah bagaian dari proses makna yang dihasilkan atau diproduksi dan diubah antara anggota kulturnya (Hall, 1997:16). Kemudian representasi dapat dipahami sebagai suatu sistem yang menghubungkan makna bahasa dan kultural. Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi, yaitu: a. Representasi Mental, yaitu dimana konsep tentang suatu yang ada di kepala kita masing-masing dan representasi ini masih berbentuk abstrak. b. Representasi Bahasa, yaitu menjelaskan konstruksi makna sebuah simbol. Bahasa berperan penting dalam proses komunikasi makna. Konsep abstrak yang ada dikepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim supaya dapat menghubungkan konsep dan ide-ide tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu (Hall, 1997: 16). Selain dua proses representasi diatas, Hall menambahkan tiga teori pendekatan untuk memahami bagaimana kinerja dari representasi sebagai produksi melalui bahasa, yaitu:
a. Pendekatan reflektif, merupakan makna tentang representasi pandangan sosial dan kultur diluar realitas kita. b. Pendekatan intensional, merupakan makna dari kreator/produser memaknai suatu hal. c. Pendekatan
konstruksionis,
merupakan
pandangan
yang
dibuat
menggunakan teks dan oleh pembaca dapat memandang menggunakan kodekode visual dan verbal, kode teknis, dan sebagainya (Hall, 1997: 24-25). Penelitian ini ditekankan pada keberadaan identitas untuk mengetahui representasi ke-”Islam”an dalam film Hollywood Java Heat. Media sebagai alat komukasi massa yang sangat efektif melakukan perubahan yang signifikan pada sebuah ruang lingkup publik. Untuk itu para pekerja media dituntut untuk memberikan suguhan pesan yang jelas dan terang kepada publik, meski terkadang ada kesalahpahaman atau ketidaktepatan dalam penyampainnya kepada kelompok tertentu dengan penggambaran yang berbeda dari masingmasing kelompok. Realitas
media
inilah
yang
sering
disebut
sebagai
representasi.
Representasi bukan penjiplakan atas kenyataan yang sesungguhnya, Barker juga menegaskan bahwa representasi adalah ekspresi estetis, rekonstruksi dari situasi sesungguhnya (Hall, 1997:15). Stuart Hall pun mendefinisikan representasi sebagai penggunaan bahasa sebagai bentuk gambaran untuk menyampaikan makna terhadap orang lain.
Representasi adalah produksi dari makna bahasa, yang mana representasi membentuk argumen, menggunakan tanda-tanda yang diorganisasikan ke dalam bahasa-bahasa
dari
berbagai
jenis
untuk
mengkomunikasikan
atau
menyampaikan makna tersebut kepada khalayak (Hall, 1997:15). Konsep representasi sering digunakan dalam hubungan antara teks media (termasuk juga dalam film) dengan realitas atau kenyataan dan representasi dalam teks media tersebut dikatakan berfungsi secara ideologis sepanjang berperan untuk membentuk hubungan sosial yang berhubungan dengan dominasi dan ekspoitasi (Fairclough sebagaimana dikutip Burton, 2011:36). Ada beberapa hal yang perlu diketahui di dalam film terdapat kode-kode representasi film yang menjadi acuan dalam menentukan simbol-simbol atau tanda-tanda yang menggambarkan identitas ke-”Islam”an lewat film Hollywood, seperti yang dikemukakan oleh Dennis McQuail berikut: a. Penyajian image, kehidupan sehari-hari dan nilai-nilai dari beberapa kelompok. b. Penyajian image masyarakat secara garis besar yang tersusun berdasarkan elemen dan aspek kehidupan sehari-hari yang terseleksi ke dalam suatu pola uang koheren dan digerakkan oleh suatu tatanan asumsi-asumsi yang melatar belakanginya. c. Film berfingsi sebagai sarana dimana suatu komunitas mengekspresikan apa yang menjadi keyakinan mereka tentang nilai-nilai yang baik dan buruk.
d. Film memiliki kecenderungan untuk mempromosikan konformitas bukan hanya melalui gaya berpakaian, model rambut dan perbendaharaan kata-kata saja sikap-sikap dan pandangan hidup dengan cara yang lebih halus (McQuail, 1991:161-168). John Fiske (sebagaimana dikutip Wibowo, 2011:123) merumuskan tiga proses yang terjadi dalam representasi melalui table di bawah ini : Tabel. 1.3 Proses Representasi PERTAMA
REALITAS
Dalam bahasa tulis, seperti dokumen, wawancara transkrip dan sebagainya. Dalam televisi seperti perilaku, make up, pakaian, ucapam, gerak-gerik dan sebagainya. KEDUA
REPRESENTASI
Elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya. Dalam televisi seperti kamera, musik, tata cahaya,
dan
lain-lain.
Elemen-elemen
tersebut
trasmisikan ke dalam kode representasional
di
yang
memasukkan diantaranya bagaimana obyek digambarkan (karakter, narasi setting, dialog, dan lain-lain). KETIGA
IDEOLOGI
Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode ideologi, seperti individualism, liberalism, sosialisme, patriarki, ras, kelas dan sebagainaya.
Pertama, realitas dalam proses ini baik peristiwa atau ide dikonstruksikan sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar. Ini umumnya berhubungan dengan aspek seperi pakaian, lingkungan, ucapan, ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas selalu siap ditandakan. Kedua, representasi, dalam proses ini realitas digambarkan dalam perangkat teknis, seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi dan lain-lain. Ketiga, tahap ideologis, dalam proses ini peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode direpresentasikan dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat (Wibowo, 2011:123).
1.6 Metodologi Penelitian Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Menurut Bodgan dan Taylor, metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis / lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (sebagaimana yang dikutip Meleong, 2004:10). Dalam hal pemilahan, data penelitian kualitatif penelitian ini akan berfokus pada data auditif, teks dan data audio visual. Teks dalam penelitian ini digolongkan kepada teks yang mewakili pengalaman,
yang
dapat
dianalisis
dengan
teknik
elisitasi
sistematis
(mengidentifikasi unsur-unsur teks yang merupakan bagian dari suatu kebudayaan dan mengkaji hubungan di antara unsur-unsur itu) atau analisis teks
dengan bertolak dari analisis kata atau teks sebagai sistem tanda (Ryan dan Bernard, 2000: 769-802). Selanjutnya, Pengamatan akan menjadi metode pengumpulan data yang diutamakan dalam penelitian ini. Di dalam kajian media, pengamatan atas teksteks media ini dapat disepadankan dengan apa yang dinamakan sebagai pembacaan (reading) oleh Hall (1993:99), yaitu kapasitas untuk mengidentifikasi dan men-decode sejumlah tanda tertentu, sekaligus kapasitas subjektif untuk menempatkan tada-tanda tersebut dalam hubungan kreatif dengan tanda-tanda lain. Maka pada tahap ini dilakukan pengamatan langsung terhadap film Java Heat yang telah didokumentasikan. Adapun yang akan diamati secara lebih dalam adalah berbagai sequence scene dan shot yang memuat berbagai penanda tentang keislaman dalam film Java Heat. Selain itu penelitian ini akan menggunakan data primer yang diperoleh dengan cara mendokumentasikan berbagai scene dan shot dalam film Java Heat. Serta untuk mempertajam analisis, peneliti menggunakan studi pustaka mengenai topik-topik seputar identitas keislaman, stereotipe Barat terhadap “Islam”, dan perfilman Hollywood agar mendapatkan data yang relevan. Data ini selanjutnya ditelaah dengan menggunakan semiotika. Peneliti menggunakan Semiotika sebagai metodologi penelitian untuk memaknai berbagai tanda yang muncul dalam film Java Heat. Analisis semiotik menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan tempat teks
beroperasi (Stokes, 2006:56). Tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipankutipan, penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. Semiotika memecahmecah kandungan teks menjadi bagian-bagian dan menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Semiotika diturunkan dari karya Ferdinand De Saussure yang menyelidiki properti-properti bahasa dalam Couse In General Linguisti (Saussure sebagaimana dikutip Stokes, 2006:76). Bahasa adalah sebuah praktek signifikasi (Hall, 1997:5) atau sistem yang bekerja berdasarkan prinsip representasi. Melalui sistem representasi, proses produksi makna dari konsep (pikiran) serta tanda-tanda dihubungkan melalui bahasa sebagai sistem representasi kedua untuk memproduksi makna (Hall, 1997:19). Makna dapat ditemukan melalui sistem signifikasi denotasi dan konotasi dengan mengurai hubungan antara aspek dari tanda (teks dan visual) yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Sebagai salah satu bentuk kritik terhadap budaya, pendekatan semiotika mitos Roland Barthes secara khusus memusatkan pada kritik ideologis. Bagi Barthes ideologi tidak lain adalah sistem penandaan tingkat kedua (konotasi). di dalam pembahasan myth today, sebagai bagian akhir dari buku mytologies, secara etimologis Barthes menyebut mitos sebagai sistem komunikasi, sebuah pesan. Sebagai
sistem
semiologis,
mitos
menghadirkan
tanda
(sign)
untuk
menghubungkan secara asosiatif antara petanda dan penanda. Selain itu untuk memperoleh arti (meaning). Barthes melakukan pemisahan terhadap ketiga unsur tersebut (tanda, penanda dan petanda) (Barthes, 1983:109). Oleh karena mitos
adalah sistem komunikasi maka metode yang akan digunakan adalah pengungkapan sistem penandaan (signifikasi) di dalam analisis semiotika. Tahap awal analisis mitos adalah menguraikan sistem semiologi dari citra yang berupa dua penandaan, yakni level denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, berupa relasi antara penanda dan petanda, sedangkan sistem signifikasi tingkat kedua berupa konotasi yang terbangun dari tanda-tanda sistem denotasi. Penanda dan petanda dari level denotasi menjadi penanda level konotasi, sedangkan petanda level konotasi kemudian mengacu mitos (Barthes, 1983:114-115). Penanda (signifier-Sr, expression) dan petanda (signified-Sd content) terkait dengan komponen-komponen tanda. Penanda merupakan aspek material dari tanda, citra akustik, sifatnya terindera, memiliki wujud seperti bunyi, kata dan gambar, sedangkan petanda merupakan aspek konseptual tanda. Sebuah tanda memiliki penanda dan petanda, dan proses produksi makna disebut signifikasi (Barthes, 1985:35-48). Proses lain dalam produksi makna dalam citra adalah sintagma dan paradigma, yakni terkait dengan aspek relasi tanda-tanda. sintagmatik adalah relasi tanda-tanda yang bersifat kombinatif. di sisi lain, relasi tanda paradigmatik adalah relasi asosiatif, yaitu produksi makna dari keterkaitan tanda dengan tanda-
tanda lain yang tak disertakan dalam tuturan, menurut prinsip seleksi, tapi saling berasosiasi (Barthes, 1985:58-59). 1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa bab yang disertai dengan sub bab. Berikut uraian bab yang akan peneliti bahas dalam penelitian ini : BAB I berisi pendahuluan yang menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka yang terkait penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian yang peneliti akan teliti, selanjutnya pemaparan landasan teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II berupa pembahasan tentang orientalisme, yakni tentang bagaimana bangsa Barat merepresentasikan bangsa Timur, khususnya dalam film Hollywood. BAB III adalah bab yang menganalisis sistem tanda dalam film Java Heat dengan metode analisis Semiotika. Analisis ini dibatasi hanya kepada sistemsistem tanda atau bagian film yang mengarah pada penanda ke-“Islam”an yang ditampilkan oleh Hollywood dan rangkaian scene yang menyusunnya memunculkan nilai-nilai dari hasil pembacaan film tersebut. BAB IV adalah bab yang akan menjelaskan permasalahan ini secara menyeluruh tentang “Islam” cita rasa Hollywood dalam film Java Heat sesuai dengan hasil analisis yang ditemukan di bab ke-empat.
BAB V Penutup. Pada bab terakhir ini berisi tentang berbagai kesimpulan yang peneliti temukan dalam hasil analisis terkait dengan penanda ke-“Islam”an dalam film Hollywood analisis semiotika pada film Java Heat.