BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Tanah merupakan benda tidak bergerak yang mutlak perlu bagi kehidupan manusia. Hal ini dapat diketahui dari cara manusia itu memperoleh bahan sandang dan pangan dalam kehidupannya, yaitu dengan mengolah dan mengusahakan tanah. Akibatnya, tanah menjadi objek jual beli yang sangat diminati oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena tanah itu mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti hak yang kuat jika tanahnya sudah bersertipikat, sulit digelapkan dan yang paling penting adalah tanah dapat dijadikan objek jaminan pada perjanjian kredit dengan dibebani hak tanggungan dengan memberikan hak preveren kepada krediturnya. Era demokratisasi di Indonesia ditandai dengan pelaksanaan otonomi seluas-luasnya di berbagai daerah. Daerah menginginkan agar Pemerintah Pusat menyerahkan sebesar-besarnya urusan yang selama ini ditangani oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai Daerah Otonom. Salah satu urusan yang diminta agar diserahkan kepada daerah adalah urusan di bidang pertanahan dengan cara mengambilalih urusan pertanahan yang selama ini ditangani oleh Pemerintah Pusat.5 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960/Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menegaskan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
5
Suriansyah, 2008, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus Bidang Pertanahan, LaksBang Justitia, Surabaya, hlm. 1.
dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Masyarakat adat Minangkabau juga memandang tanah sebagai penunjang hidup dan kehidupan keluarga. Suatu keluarga akan menggarap sendiri tanah milik mereka atau menyerahkan kepada orang lain untuk digarap dengan perjanjian bagi hasil yang dikenal dengan istilah “Mampaduoi” (memperduai).6 Menurut kenyataan yang ada tanah ulayat di Sumatera Barat dapat dikategorikan menjadi : 1. Tanah ulayat kaum. Tanah ulayat kaum ialah tanah ulayat yang dimiliki oleh sesuatu kaum7 dengan kepenguasaannya Kepala Kaum atau Mamak Kepala Waris8. 2. Tanah ulayat suku. Tanah ulayat yang dimiliki oleh sesuatu suku9 dengan penguasaannya Kepala Suku atau Penghulu Suku. 3. Tanah ulayat nagari. Tanah ulayat yang dimiliki oleh seluruh anak nagari 10 atau anak kemenakan dengan penguasaannya penghulu-penghulu suku yang ada di nagari11 bersangkutan.12 Dari ketiga golongan tanah ulayat tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa tanah ulayat adalah tanah milik bersama atau lebih dikenal dengan istilah “communal bezitrecht”, adapun yang berhak atas tanah ulayat tersebut 6
Leo Nardo, “Kedudukan Tanah Harta Pusaka Tinggi Kaum Sebagai Objek Jaminan Kredit dalam Praktek Perbankan di Kota Padang”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004, hlm. 5. 7 Kaum yaitu kelompok orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari nenek moyang yang sama melalui garis keturunan ibu. 8 Mamak kepala waris adalah laki-laki tertua dalam kaum suatu suku. 9 Suku adalah himpunan beberapa kaum atau payung dalam sistem kekerabatan yang berlaku dan tumbuh dalam masyarakat Minangkabau. 10 Anak nagari adalah warga masyarakat yang ada di nagari dan di rantau. 11 Nagari adalah pembagian wilayah administratif sesudah kecamatan di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Istilah nagari menggantikan istilah “desa”, yang digunakan di seluruh provinsi-provinsi lain di Indonesia. 12 Sjahmunir, 2006, Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat, Andalas University Press, Padang, hlm. 265.
adalah masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang menguasai ulayat tersebut. Penguasaan tanah ulayat
kaum dan tanah ulayat suku bersifat
komunal genealogis, pemiliknya adalah anggota kaum dan anggota suku secara bersama-sama, sedangkan tanah ulayat nagari bersifat komunal teritorial, sehingga teranglah bahwa pribadi/perseorangan tidak mempunyai hak milik terhadap hak komunal tersebut. Tanah ulayat merupakan tanah harta pusaka tinggi kaum. Tanah harta pusaka tinggi kaum dahulunya adalah tanah yang bersifat hak publik, yaitu tanah yang diperuntukkan untuk kebutuhan kaum dan hanya dapat dimanfaatkan oleh anggota kaum saja, orang di luar kaum tidak dapat memakai tanah tersebut. Hukum adat itu sendiri berkembang dan tumbuh sebagaimana dengan hidup manusia itu sendiri. Akibatnya telah terjadi pergeseran nilai-nilai dan norma-norma dari hukum adat itu sendiri. Pergeseran nilai dan norma hukum adat terjadi karena banyak faktor, seperti misalnya disebabkan oleh tuntutan kebutuhan masyarakat yang sudah berubah kearah kebutuhan ekonomis dan materialistis. Sifat hak publik yang melekat pada tanah harta pusaka tinggi kaum berangsur-angsur menipis dan menghilang.13 Dewasa ini pada tanah harta pusaka tinggi kaum telah melekat sifat hak keperdataan. Tanah tersebut telah dapat dialihkan atau dijual oleh kaum berdasarkan kesepakatan seluruh anggota kaum untuk kebutuhan anggota kaum yang dianggap penting oleh kaum tersebut. Kenyataan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum adat Minangkabau yang matrilineal bahwa tanah ulayat tidak boleh dipindahtangankan untuk selama-lamanya, kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak dan hal ini jarang terjadi. 13
Leo Nardo, Op.cit, hlm. 7.
Pada prinsipnya tanah pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan/ dialihkan, namun dalam situasi mendesak dan sesuai pula dengan prinsip kesejahteraan kaum, maka tanah pusaka tinggi dapat digadaikan kalau terjadi sebab-sebab yang empat perkara yaitu : 1. Rumah gadang katirisan (rumah gadang ketirisan) 2. Mayik tabujua ditangah rumah (mayat terbujur di tengah rumah) 3. Gadih gadang tak balaki (anak gadis belum kawin) 4. Mambangkik batang tarandam (menegakkan gelar pusaka).14 Segala perbuatan hukum atas tanah ulayat harus dengan adanya persetujuan anggota persekutuan dan mamak kepala waris sebagai pemilik dari tanah hak adat tersebut. Mamak kepala waris berwenang mewakili persekutuan dalam melakukan perbuatan dan hubungan hukum terhadap pihak ketiga yang menyangkut tanah tersebut, misalnya tindakan pendaftaran, menggadaikan atau bahkan tindakan jual beli (peralihan hak). Persyaratan adat tersebut dalam perkembangannya saat ini tidak begitu ketat lagi, dengan demikian dari hal tersebut dapat kita ketahui bahwa telah terjadi pergeseran nilai-nilai terhadap hukum adat itu sendiri. Hal tersebut karena nilai-nilai dan asas-asas hukum adat itu dapat mengembang dan atau menyempit yang disebabkan karena banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Di samping itu, UUPA mengharuskan setiap tanah yang ada di bumi Indonesia harus diregistrasi status pemiliknya yang berdasarkan milik perseorangan terhadap tanah. Lain halnya dengan struktur kepemilikan tanah adat Minangkabau seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, dimana kepemilikan tanah Minangkabau tidak berdasarkan perseorangan tetapi adalah berdasarkan kekeluargaan yaitu kolektif. Ketentuan UUPA tersebut akan memberikan implikasi untuk jangka waktu panjang memberi peluang yang sangat kuat untuk merombak struktur kepemilikan tanah komunal di Sumatera Barat. Hal ini dapat menimbulkan gejala terhadap tanah ulayat yaitu tanah tersebut harus didaftarkan dan dikeluarkan sertfikatnya, maka tanah adat tersebut akan jatuh menjadi hak milik yang tidak lagi tunduk kepada hukum adat. Jika 14
Mochtar Naim, 1968, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, Sri Dharma NV, Padang, hlm. 30.
tanah ulayat ini didaftarkan dan dinyatakan sebagai tanah milik maka akan dengan mudah jatuh ketangan orang lain, baik melalui pemindahan hak milik, jual beli, dan sebagainya. Bagi orang adat ini perlu dijaga, karena tanah ulayat adalah kekuatan untuk melindungi anggota dari kehilangan tali hidupnya.15 Tanah pada pengurusannya haruslah berfungsi sosial dan mempunyai asas kekeluargaan. Tanah adat dipergunakan untuk kepentingan kaumnya, dengan dijualnya tanah adat tersebut membuat fungsi sosial dari tanah tersebut menjadi hilang, padahal tanah adat dahulunya diperoleh dengan cara pembukaan dan penunjukan dari nenek moyang karena telah lamanya mereka menikmati dan mengolah tanah tersebut atau diperoleh dari pemberian karena sesuatu yang telah dilakukan. Ini semua diperoleh tanpa surat-menyurat atau secara tertulis. Kepastian hak atas tanah adat yang berlaku secara turun-temurun berpegang pada ranji (silsilah keturunan)16 suatu kaum.17 Adanya perkembangan mengenai pengaturan tentang tanah ulayat, yaitu berdasarkan Pasal 8 Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, yang menyatakan bahwa “untuk menjamin kepastian hukum dan keperluan penyediaan data/informasi pertanahan, tanah ulayat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 dapat didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota”. Berlakunya ketentuan mengenai dapat didaftarkannya tanah ulayat kaum ini adalah sejalan dengan tujuan UUPA, yang menginginkan unifikasi hukum tanah di Indonesia salah satunya yaitu melalui proses pendaftaran tanah. Didaftarkannya tanah ulayat di Sumatera Barat (termasuk di Kecamatan Koto Baru Kabupaten Dharmasraya yang sebagian tanah yang ada merupakan tanah adat) berarti membuka peluang baru bagi perkembangan transaksi-transaksi terhadap tanah,
15
Ibid, hlm. 273. Ranji (silsilah keturunan) akan disampaikan oleh mamak (semua saudara laki-laki dari ibu) kepada kemenakan yang dianggap berperan sebagai pimpinan suatu kaum. 17 Amir M.S, 2005, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, PT. Mutiara Sumber Widya, Jakarta, hlm. 48. 16
tidak terkecuali didalamnya adalah transaksi jual beli, padahal sifat hukum dari tanah ulayat kaum itu sendiri adalah tidak boleh dijual atau dipindahtangankan. Jual beli hak atas tanah yang telah didaftarkan atau telah bersertipikat memiliki risiko hukum yang rendah, karena hak kepemilikan dan subyek hukum penjual telah jelas dan terang. Begitu juga dengan tanah ulayat di Minangkabau, dewasa ini telah banyak diantara anggota masyarakat yang mensertipikatkan tanah ulayat tersebut. Sertipikat tersebut tercatat atas nama salah seorang anggota kaum yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan anggota kaum. Sebaliknya, bagi tanah yang belum didaftarkan hak kepemilikannya atau tidak ada sertipikatnya, memiliki risiko hukum dan kerawanan yang lebih tinggi. Terhadap obyek jual beli hak atas tanah yang tidak memiliki sertipikat lebih menekankan pada kepercayaan, dan atas dasar bukti secukupnya bahwa seseorang sebagai pemiliknya sekalipun tanpa bukti kepemilikan tanah yang sah sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Hal ini dapat dicermati dari persyaratanpersyaratan formal yang melekat sebagai alas hak.18 Bilamana dikaji secara mendalam ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA, maka hak ulayat dari masyarakat hukum adat tidak mendapatkan perlindungan sehingga makin lama makin melemah. Setiap transaksi tanah tidak memerlukan izin lagi dari Ninik Mamak/Pemangku Adat, cukup diselesaikan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) hanya bila dibutuhkan Ninik Mamak/Pemangku Adat dilibatkan sebagai saksi. Dari akibat melemahnya hak ulayat masyarakat hukum ini terasa hubungan antara pemerintah dengan masyarakat hukum adat semakin melemah/merenggang dan kehilangan landasan yang kuat.19 Di samping itu, Pemerintah Sumatera Barat telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 21 tahun 2012 tentang Pedoman dan Tatacara 18
J. Andi Hartanto, 2009, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum Bersertipikat, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hlm. 3. 19 Sjahmunir, Op. Cit, hlm. 97.
Pemanfatan Tanah Ulayat untuk Penanaman Modal. Ketua Badan Pengurus Wilayah (BPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Barat Sukardi Bendang mengatakan, Peraturan gubernur ini adalah turunan dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan dibuat dengan semangat mengundang investasi baik asing maupun nasional untuk berinvestasi di Sumatera Barat sebagai bentuk keterbukaan terhadap liberalisasi ekonomi, Sehingga mungkin saja nantinya peraturan gubernur ini semakin membuka peluang dalam peralihan tanah ulayat kepada pihak lain nantinya.20 B. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat mengambil rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, di antaranya : 1. Bagaimana fungsi tanah ulayat kaum sebagai harta pusaka tinggi ? 2. Bagaimana kajian yuridis praktek jual beli tanah ulayat kaum yang belum bersertipikat di Kecamatan Koto Baru Kabupaten Dharmasraya? 3. Bagaimanakah hak kaum sebagai pemilik harta pusaka tinggi terhadap harta pusaka tinggi yang telah diperjualbelikan? C. Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan dan penelusuran kepustakaan yang telah penulis lakukan pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tidak ditemukan adanya karya tulis apapun yang meneliti tentang kajian yuridis jual beli tanah ulayat kaum yang belum bersertipikat. Karya-karya tulis yang
20
http://www.spi.or.id/?p=5661, diakses tanggal 28 Januari 2013 Jam 11.45
ditemukan pada umumnya hanya meneliti tentang pelaksanaan gadai tanah ulayat dan penyelesaian sengketa tanah adat. Adapun karya tulis yang terkait dengan ruang lingkup atau tema penelitian yang akan penulis lakukan ini adalah, sebagai berikut : 1. Penelitian oleh Irwan Rais, 2011, Pelaksanaan Gadai Tanah Ulayat di Kabupaten Padang Pariaman. Peneliti memfokuskan penelitiannya pada pelaksanaan gadai tanah ulayat bukan perbuatan hukum jual belinya. Adapun rumusan masalah dalam penelitian tersebut adalah (1) mengenai pelaksanaan transaksi gadai tanah ulayat di Kabupaten Padang Pariaman, (2) mengenai penyelesaian sengketa gadai di kabupaten Padang Pariaman dan (3) mengenai penyebab masyarakat adat Kabupaten Padang Pariaman sampai saat sekarang masih melaksanakan transaksi gadai terhadap tanah ulayat. 2. Penelitian oleh Alita Rosdianti, 2009, Kajian Hukum Terhadap Jual Beli Tanah Pusako Tinggi (Studi Kasus di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang), dengan rumusan masalah (1) mengenai alasan-alasan terjadinya jual beli tanah pusako tinggi pada masyarakat di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang, (2) mengenai proses pelaksanaan jual beli tanah pusako tinggi pada masyarakat di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang dan (3) mengenai kendala-kendala yang timbul dalam proses jual beli tanah pusako tinggi pada masyarakat di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang dan upaya mengatasinya.
Dilihat dari rumusan masalah dan lokasi penelitian, dapat diketahui bahwa penelitian yang akan penulis lakukan ini berbeda sekali dengan penelitan tersebut. Penelitian yang akan penulis lakukan ini tidak membahas tentang alasan dan kendala-kendala yang timbul dalam jual beli tanah pusako tinggi serta tidak membahas solusi terhadap permasalahan yang timbul. Rumusan masalah yang hampir sama adalah tentang proses pelaksanaan jual belinya, perbedaannya adalah dalam hal objek jual belinya. Penelitian saudari Alita Rosdianti tersebut membahas tentang proses jual beli tanah dengan objek tanah pusaka tinggi yang sudah dan yang belum bersertipikat, sedangkan dalam penelitian ini penulis hanya akan membahas tentang jual beli tanah dengan objek tanah ulayat kaum yang belum bersertipikat saja, karena menurut penulis jika tanah pusaka tersebut telah bersertipikat maka proses jual belinya hampir sama dengan proses jual beli tanah hak milik pada umumnya. D. Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini, penulis memiliki dua tujuan antara lain : 1. Tujuan obyektif. Tujuan obyektif yang ingin dicapai penulis adalah : a. Untuk mengetahui fungsi tanah ulayat kaum sebagai harta pusaka tinggi. b. Untuk mengetahui bagaimana kajian yuridis praktek jual beli tanah ulayat kaum yang belum bersertipikat di Kecamatan Koto Baru Kabupaten Dharmasraya.
c. Untuk mengetahui bagaimana hak kaum sebagai pemilik harta pusaka tinggi terhadap harta pusaka tinggi yang telah diperjualbelikan. 2. Tujuan Subyektif. Secara subyektif penelitian ini disusun penulis dengan tujuan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MK.n) pada Program Pascasarjana Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini secara umum diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yaitu : 1. Manfaat untuk ilmu pengetahuan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu pengetahuan hukum pada khususnya terutama bagi perkembangan ilmu hukum kenotariatan yang berkaitan dengan pelaksanaan jual beli tanah ulayat kaum. 2. Manfaat untuk pembangunan bangsa dan negara. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan pihak-pihak lain yang bersentuhan langsung dengan perbuatan hukum jual beli tanah ulayat kaum.