BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Sastra (karya sastra) adalah sebuah hasil kreasi manusia dengan objeknya
yaitu manusia dan kehidupannya, dengan bahasa sebagai medianya. Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium dan bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial (Damono, 1984:1). Karya sastra merupakan bentuk penceritaan kehidupan manusia yang bersifat fragmentif atau penggalan cerita (Nurgiyantoro, 2009:30). Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, karya sastra merupakan tampilan gambaran kehidupan tentang suatu kenyataan sosial yang mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmanusia dan antarperistiwa yang terjadi di dalam batin seorang pengarang. Melalui karya sastra seorang pengarang bisa mengajak pembaca untuk masuk ke dalam dunianya tanpa disadari oleh pembaca. Sastra dapat dipandang sebagai suatu cerminan gejala sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. Sastra yang ditulis oleh pengarang pada suatu kurun waktu tertentu pada umumnya langsung berkaitan dengan norma dan adat istiadat pada jaman itu (Damono, 1984:23). Seperti yang diungkapkan juga oleh Teeuw,
1
2
(Damono, 1984:11-12) bahwa karya sastra tidak hadir dalam konteks sejarah dan sosial budaya suatu bangsa yang di dalamnya sastrawan merupakan bagian dari masyarakat. Sebuah karya sastra pasti diciptakan oleh pengarang sebagai individu yang berasal dari masyarakat pada zaman tertentu. Kehidupan manusia sesungguhnya memang tidak pernah lepas dari masalah. Masalah yang terjadi di dalam masyarakat terkadang membawa ketertarikan bagi seseorang untuk menciptakan karya sastra. Dalam membuat karya sastra, seseorang terkadang mengambil latar belakang daerahnya sebagai latar cerita. Kenyataan sosial yang disajikan dalam karya sastra merupakan gambaran jelas mengenai kondisi dalam suatu masyarakat. Adanya konflik dalam masyarakat tersebut menjadi sebuah ketertarikan dan minat untuk menyajikannya dalam suatu karya sastra (Lutfiyah, 2013:1). Sebuah karya sastra memiliki bermacam-macam bentuk, mulai dari prosa, drama, puisi atau novel dan lain sebagainya. Akan tetapi, ada juga perubahan bentuk karya sastra menjadi sebuah bentuk karya seni lainnya. Perubahan bentuk yang paling banyak adalah perubahan bentuk sebuah skenario menjadi sebuah film. Film merupakan produk karya seni dan budaya yang memiliki nilai guna karena bertujuan memberikan hiburan dan kepuasan batin bagi penonton. Film menjadi suatu karya sastra yang populer karena melibatkan perasaan manusia yang dalam sehingga membuatnya menjadi dapat sangat berkembang dan sangat diminati masyarakat.
3
Dengan semakin menyebarnya kebudayaan Korea termasuk dari segi perfilman ke dunia internasional, film-film Korea menjadi banyak dinikmati masyarakat dunia. Kualitas dan totalitas para staf dan pemain membuat film-film Korea banyak menerima penghargaan internasional. Beberapa film yang berhasil memenangkan penghargaan tingkat internasional adalah Pieta (Best Film at 69th Venesua Festival Film 2012), The Man from Nowhere (아저씨) (Korean Film Awards 2010), The Front Line (고지전) (Best Film at 48th Grand Bell Awards 2011) (Permata Sari, Ophilia 2015:2). Salah satu film yang menarik perhatian masyarakat Korea dan dunia adalah film Don’t Cry Mommy (돈 크라이 마미) karya perdana Kim Yonghan. Kim Yonghan merubah skenario cerita yang ditulis bersama rekan-rekannya menjadi sebuah film yang berdasarkan dari kisah nyata. Film Don’t Cry Mommy bercerita tentang kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi dalam kehidupan remaja. Film lain yang mengangkat tema tentang kekerasan dan pelecehan seksual adalah Silenced (도가니) dan Hope (소원). Silenced adalah sebuah film yang diangkat dari novel berjudul sama yaitu Silenced (도가니) yang menceritakan kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak-anak difabel yang terjadi di sekolah luar biasa Inhwa dan Hope adalah film yang menceritakan kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak yang berumur 8 tahun bernama Nayoung. Ketiga film tersebut merupakan film kekerasan dan pelecehan seksual yang berdasarkan dari kisah nyata dan ketiga film tersebut merupakan film yang mendapat reaksi dan tanggapan yang cukup besar dari masyarakat.
4
Tema film tentang kekerasan dan pelecehan seksual di industri perfilman Korea jumlahnya meningkat dalam beberapa tahun terakhir hal ini terkait dengan adanya peningkatkan jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di Korea. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kekerasan dapat diartikan sebagai perihal bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, atau ada paksaan. Kemudian pelecehan adalah bentuk pembendaan dari kata kerja melecehkan yang berarti menghinakan, memandang rendah, dan mengabaikan. Sedangkan seksual berarti hal yang berkenaan dengan seks atau jenis kelamin, hal yang berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan perilaku kekerasan dan pelecehan seksual adalah suatu tindakan berupa paksaan atau penghinaan yang berkaitan dengan seks, jenis kelamin atau aktivitas seksual lainnya antara laki-laki dan perempuan yang dapat mengakibatkan cedera atau kerugian pada orang lain. Menurut Incheon Metropolitan City Office of Education, kekerasan seksual dibagi menjadi beberapa bentuk, antara lain sebagai berikut. a. Kekerasan seksual fisik yaitu setiap tindakan seksual dengan paksaan yang tidak diinginkan oleh pihak lain seperti pemerkosaan, penganiayaan untuk mendapatkan tindakan seksual, serta tindakan kekerasan fisik lainnya yang berkaitan dengan seks. b. Pelecehan seksual adalah tindakan menghina, melecehkan yang berkaitan dengan seksual kepada pihak lain seperti memberikan
5
lelucon, foto dan gambar cabul yang mengakibatkan perasaan malu, marah dan tidak nyaman bagi orang lain. Selanjutnya dalam buku World Report on Violence and Health dijelaskan bahwa kekerasan atau pelecehan seksual adalah setiap tindakan seksual, mencoba untuk mendapatkan tindakan seksual, komentar ataupun perkataan seksual yang tidak diinginkan, tindakan seksualitas kepada orang lain dengan paksaan tanpa memandang hubungan dengan korban atau dalam aturan apapun. Selain paksaan secara fisik, tindakan seksual ini dapat berupa intimidasi secara psikologi, ancaman, misalnya ancaman pemecatan atau tidak mendapat pekerjaan, dan ancaman lainnya. Perilaku kekerasan dan pelecehan seksual ini juga dapat terjadi ketika seseorang memberikan persetujuan dengan keadaan yang tidak sadar seperti mabuk, dibius, tidur atau secara mental tidak mampu memahami situasi. (World Report on Violence and Health 2002:149) Dengan banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di banyak negara, khususnya di Korea, membuat banyak perusahaan film mengangkat peristiwa tersebut menjadi sebuah film. Film sebagai sebuah aspresisasi karya sastra memiliki unsur-unsur sastra di dalamnya yang menarik untuk diteliti. Film dalam hubungannya dengan sosiologi sastra, dapat dibuat sebagai gambaran atau cerminan kehidupan masyarakat yang sebenarnya yang kemudian dikemas dengan imajinasi sehingga menjadi sebuah film utuh yang terinspirasi dari kehidupan masyarakat.
6
Berdasarkan uraian di atas, alasan pemilihan film Don’t Cry Mommy sebagai objek penelitian yaitu, film Don’t Cry Mommy ini merupakan film yang dibuat berdasarkan kisah nyata tentang kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak yang memang cukup banyak terjadi sejak tahun 2000-an sehingga diharapkan film ini dapat menyuarakan kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat Korea. Isu-isu kenyataan sosial yang termuat dalam film Don’t Cry Mommy menjadikan teori sosiologi sastra sebagai kajian yang tepat untuk meneliti hubungan antara film ini dengan masyarakat. Kemudian, cerita tentang kehidupan pergaulan remaja sekolah di Korea memberikan gambaran tentang keadaan remaja di Korea pada saat film dibuat, dan adanya twist pada alur cerita memberikan reaksi yang tidak terduga terhadap alur cerita sehingga film ini menjadi menarik untuk diteliti.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan pada subbab di atas,
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Bagaimanakah perilaku kekerasan dan pelecehan seksual yang terdapat dalam film Don’t Cry Mommy? b. Bagaimanakah film Don’t Cry Mommy merepresentasikan dan mengkritik perilaku kekerasan dan pelecehan seksual dalam masyarakat Korea?
7
1.3
Tujuan Penelitian terhadap film Don’t Cry Mommy ini memiliki dua tujuan, yaitu
tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis dalam penelitian ini adalah menerapkan teori sosiologi sastra untuk memahami dan menafsirkan film Don’t Cry Mommy. Dengan menggunakan teori sosiologi sastra, maka dalam penelitian ini dapat diungkapkan hasil penelitian yaitu berupa bentuk perilaku kekerasan dan pelecehan seksual dalam film Don’t Cry Mommy, serta dapat mengetahui bentuk representasi dan kritik perilaku kekerasan dan pelecehan seksual dalam masyarakat Korea melalui film Don’t Cry Mommy. Tujuan praktis dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan pemikiran yang akan membantu pembaca untuk memahami Don’t Cry Mommy secara lebih mendalam. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra Korea serta dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap perilaku pelecehan seksual yang terjadi di Korea.
1.4
Tinjauan Pustaka Sebagai sebuah film yang mengangkat realitas kehidupan sosial yang
terjadi dalam masyarakat Korea, Don’t Cry Mommy menjadi salah satu film yang cukup menarik untuk dijadikan sebagai objek penelitian. Penelitian terhadap objek penelitian film yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Diponegoro, Rina Mariyana, dalam jurnal skripsi yang berjudul “Pesan Moral Dalam Film Petualangan Sherina Karya Riri Riza (2013): Tinjauan Sosiologi Sastra”
8
membantu penelitian ini dalam tahap-tahap mengkaji film sebagai objek penelitian. Kemudian, penelitian terhadap film tentang kekerasan seksual pernah dibuat sebelumnya oleh Arum Mayang Sari (2013) dengan judul “Representasi Kekerasan Terhadap Anak Dalam Film Dogani (도가니): Kajian Sosiologi Sastra”. Dalam skripsi ini dijelaskan kejadian nyata kekerasan seksual pada anak yang ada di Korea menjadi sebuah latar belakang dibuatnya film Dogani. Skripsi Arum Mayang Sari ini memiliki tema yang sama dengan penelitian ini yaitu tentang pelecehan seksual dan teori yang sama yaitu sosiologi sastra. Akan tetapi, meskipun kedua penelitian ini merupakan penelitian film dengan kajian teori yang sama, perbedaan objek film dan tahun pembuatannya memberikan dampak pada representasi dan kritik yang berbeda. Selanjutnya, penelitian dengan pendekatan sosiologi sastra pernah beberapa kali dilakukan antara lain dalam skripsi “Representasi Kehidupan Masyarakat Korea Pada Masa Perang Korea (1950-1953) Dalam Sajak-Sajak Karya Park In Hwan : Kajian Sosiologi Sastra
oleh Umi Naianti (2012).
Penelitian dalam skripsi Umi ini menggunakan puisi sebagai objek penelitiannya. Meskipun begitu, pendekatan sosiologis yang menggambarkan kondisi sosial masyarakat Korea pada masa perang Korea memberikan bantuan bagi penelitian ini dalam mengkaji kehidupan masyarakat Korea. Kemudian terdapat penelitian dari Ophilia Permata Sari pada tahun 2015 dalam skripsi yang berjudul “Pro dan Kontra Operasi Plastik di Korea dalam Film 200 Pounds Beauty (미녀는 괴로워): Kajian Sosiologi Sastra”. Meskipun dengan
9
tema yang berbeda, kajian sosiologis yang menjelaskan pendapat masyarakat Korea tentang suatu peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Korea memberikan bantuan yang besar dalam penelitian ini. Dalam situs modernkoreancinema/revenge week: don’t cry mommy, seorang pengamat film Pierce Conran berpendapat bahwa Don’t Cry Mommy adalah film yang memiliki motif yang baik dengan menceritakan masalah nasional terpendam yang ada di Korea. Salah satu masalah paling besar dalam setiap negara memang adalah tentang pelecehan terhadap wanita. Salah satu sejarah traumatik di Korea memunculkan minat pengarang untuk mengangkatnya menjadi sebuah film. Perlindungan hukum yang buruk, kebiasaan minum, pelecehan seksual, korupsi terlihat dalam film ini. Banyaknya kasus pemerkosaan yang terjadi memberikan keterkejutan yang luar biasa. Film ini pun mendapat respon yang tinggi dari masyarakat. Bersamaan dengan itu, film ini juga membuat kemarahan masyarakat di tahun film tersebut ditayangkan dan meskipun banyak kekurangan, film ini tetaplah menarik. Melalui tinjauan pustaka di atas, penelitian ini mendapatkan berbagai referensi dan bahan penelitian. Perbedaan penelitian pada film Don’t Cry Mommy ini dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah pada objeknya. Penelitian ini menggunakan film sebagai objek penelitian dan teori sosiologi sebagai kajian penelitiaannya dengan pembahasan dan pemahaman yang akan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
10
1.5
Landasan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian naskah film Don’t Cry Mommy ini
adalah sosiologi sastra. Pada dasarnya, sosiologi merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari perilaku masyarakat; mempelajari kebiasaan dan proses sosial, bagaimana ia bekerja; kenapa berlangsung (Swingewood, 1972:11). Kemudian Damono (dalam Aji, Bayu Rachmad 2009:11) juga menyatakan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, dan telaah tentang lembaga-lembaga dan proses sosial. Sosiologi dan sastra bukanlah dua bidang yang sama sekali berbeda karena dalam penerapannya keduanya dapat dikatakan saling melengkapi, tetapi selama ini keduanya cenderung terpisah-pisah (Damono, 1984:8). Sosiologi sastra merupakan gabungan dari dua jenis ilmu, yaitu ilmu sastra dan sosiologi, yang kemudian membentuk suatu teori baru. Kedua ilmu yang berbeda kajiannya dalam hal objek ini kemudian digabungkan sehingga mendapatkan sebuah pemahaman baru dalam menganalisis karya sastra. Wellek dan Warren (dalam Aji, Bayu Rachmad 2009:12) mengatakan bahwa karya sastra merupakan gambaran kehidupan masyarakat, terutama pada zamannya. Pada dasarnya setiap karya sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat sebenarnya. Jadi, karya sastra menggambarkan keadaan suatu kelompok masyarakat pada waktu tertentu, baik itu ketika karya tersebut diciptakan atau waktu sebelum karya tersebut diciptakan.
11
Dalam membicarakan sosiologi sastra, banyak sekali pendapat mengenai pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli. Wellek dan Warren misalnya, membagi pendekatan sosiologis menjadi tiga klasifikasi,yaitu: Klasisfikasi pertama, sosiologi pengarang yang mencakup masalah tentang status sosial, ideologi sosial, dan hal lain-lain yang menyangkut diri pengarang sebagai penghasil karya sastra. Klasisifikasi ini berfokus pada sosiologi pengarang, biografi pengarang menjadi sumber utama, baik itu dari latar belakang sosial, latar belakang keluarga, dan posisi ekonomi pengarang. Klasifikasi kedua, sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri. Pokok pembahasan dalam sosiologi karya sastra adalah apa yang terkandung dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Dalam hal ini penelitian adalah pada jumlah novel yang ditulis oleh seorang pengarang, dan kemudian diajukan pertanyaan mengenai tujuan penulisannya,yaitu apa yang tertulis pada karya itu dan kaitannya dengan lingkungan sosial dan budaya yang telah menghasilkan karya sastra tersebut. Klasifikasi yang ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra terhadap masyarakat. Dalam klasifikasi ini yang menjadi inti penelitian adalah bagaimana pengaruh sosial karya sastra tersebut terhadap pembaca. Ian Watt (1946) dalam esainya yang berjudul “Literature and Society” juga mengklasifikasian sosiologi karya sastra dalam 3 pendekatan, pendekatan ini hampir sama dengan klasifikasi Wellek dan Warren. (dalam Armaya, Rosa Witha 2010:14)
12
Pertama, konteks sosial pengarang, yaitu berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat sebagai pembaca. Pokok penelitian adalah bagaimana pengarang mendapatkan mata pencaharian, profesionalisme dalam keperngarangan, dan masyarakat apa yang dituju oleh pengarang. Kedua, fungsi sosial sastra. Dalam fungsi sosial masyarakat yang harus diperhatikan adalah sastra sebagai pembaharuan atau perombak, sastra sebagai penghibur, dan sejarah masa sastra sebagai pembaharuan dan penghibur. Ketiga, adalah sastra sebagai cermin masyarakat. Konsep perncerminan masyarakat yang dimaksud adalah mengacu pada kemungkinan sastra dianggap mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu sastra ditulis, sifat pribadi pengarang yang mempengaruhi fakta-fakta sosial dalam karyanya, genre sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili sikap sosial seluruh masyarakat, serta pandangan sosial pengarang. Swingewood dalam bukunya Sosiology of Literature (1972) juga menyatakan hubungan antara masyarakat dan sastra dalam tiga pendapat, yaitu : a. Karya sastra sebagai cerminan zaman. The most popular perspective adopts the documentary aspect of literature, arguing that it provides a mirror the age, yang berarti melihat karya sastra melalui dokumen sosial budaya yang dapat menghasilkan cerminan zaman. Swingewood (1972:15) mengungkapkan sosiologi sastra dapat digunakan untuk melihat cermin masyarakat, seperti dalam kutipannya, the conception of the mirror, then must be treated with great care in
13
the sociological analysist of literature, yaitu konsep cerminan dalam sosiologi sastra dapat dilihat sebagai tiruan manyarakat. b. Situasi sosial pengarang, yaitu pendekatan yang memperhatikan posisi pengarang dalam masyarakat, seperti dalam kutipan Swingewood (1972:17), the second approach to a literary sociology moves away from the emphasis on the work of literature itself to production side, and especially to the social situation of the writer. Hal ini penting karena kehidupan sosial pengarang dapat mempengaruhi proses kreatif pengarang dalam mebuat karya sastra. c. Karya sastra sebagai gambaran peristiwa sejarah. Hal ini diungkapkan Swingewood melalui kutipannya, a third perpective, one demanding a high level of skills, attempts to trace the ways in which a work of literature is actually received by particular society at a specific history moment, yaitu karya sastra dapat diterima oleh masyarakat tertentu apabila cerita pada karyanya yang berhubungan dengan sejarah pada masa tertentu. Berdasarkan teori-teori di atas, dalam penelitian ini akan menggunakan teori Swingewood dengan pendekatan karya sastra sebagai cermin masyarakat. Adapun alasan pemilihan teori sosiologi sastra Swingewood sebagai kajian penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Film Don’t Cry Mommy diduga memuat isu-isu sosial tentang pelecehan seksual terhadap anak yang terjadi dalam masyarakat Korea. Oleh karena itu, kajian sosiologi sastra yang mempelajari kehidupan
14
sosial manusia merupakan pendekatan yang tepat untuk meneliti isuisu sosial tersebut. b. Kemudian, karena film Don’t Cry Mommy merupakan film yang bersumber dasi kisah nyata, dalam kajiannya melalui teori sosiologi sastra, penelitian ini akan menggunakan pendekatan sastra sebagai cermin masyarakat yang berfokus pada peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi dalam masyarakat.
1.6
Metode Penelitian Metode penelitian terdiri dari dua aspek pendekatan yaitu, metode
merupakan cara atau kerangka kerja yang digunakan untuk memudahkan pelaksanaan suatu penelitian dan penelitian yang merupakan suatu kegiatan atau proses sistematis untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu metode penelitian merupakan cara atau kerangka keja yang berfungsi untuk menyederhanakan masalah sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami. Dalam penelitian ini terdapat metode penelitian yang dilaksanakan yaiu, antara lain: 1.6.1 Metode Pengumpulan Data Metode Pengumpulan Data dilakukan dengan mengumpulkan datadata yang ada kaitannya dengan objek analisis penelitian yaitu bentuk perilaku pelecehan seksual. Proses pengumpulan data dilakukan dengan membaca artikel baik di media cetak maupun elektronik seperti internet dan televisi atau film yang membahas
15
masalah pelecehan seksual di Korea khususnya yang berhubungan dengan film Don’t Cry Mommy yang menjadi objek penelitian. 1.6.2 Metode Analisis Data Menganalisis teks film Don’t Cry Mommy dan film Don’t Cry Mommy karya Kim Young-han dengan teori sosiologi sastra. Film Don’t Cry Mommy dianalisis dengan teori sosiologi sastra yaitu yang menghubungkan karya sastra dengan konteks sosial-budaya, dalam film ini yaitu perilaku pelecehan seksual di Korea. Langkah awal penelitian adalah menganalisis perilaku pelecehan seksual di Korea dalam karya sastra (film). Selanjutnya, penelitian dilanjutkan dengan mencari konteks sosial buaya yang berkaitan dengan karya sastra ini, yaitu perkembangan perilaku pelecehan seksual di Korea. 1.6.3 Langkah Kerja Penelitian Penelitian ini dilakukan secara urut dari langkah pertama penelitian melalui tahap-tahap pada bagan sebagai berikut.
16
Menentukan objek, yaitu film Don't Cry Mommy
Menyimak film dan mengumpulkan datadata yang berkaitan dengan film
Mengklasifikasikan data-data yang berkaitan dengan film
Menganalisis perilaku kekerasan pelecehan seksual dalam film Don't Cry Mommy
Menganalisis perilaku kekerasan dan pelecehan seksual dalam film Don't Cry Mommy serta hubungannya dengan kehidupan masyarakat Korea
Menarik kesimpulan
Menyajikan hasil penelitian
Bagan 1 Langkah Penelitian (disederhanakan revisi paktri)
17
1.7
Sistematika Penyajian Sistematika penyajian dalam penelitian ini terdiri atas empat bab. Bab I
merupakan pengantar. Pengantar merupakan gambaran umum mengenai penelitian yang dilakukan. Pengantar berfungsi untuk memberikan pemahaman awal mengenai rencana penelitian sehingga dapat mengantarkan pada bab selanjutnya, yaitu analisis. Bab I berisi latar belakang peneitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II dan Bab III merupakan inti penelitian, yaitu Bab II berisi analisis perilaku kekerasan dan pelecehan seksual yang ada dalam film Don’t Cry Mommy berserta kritik sosial yang ada, dan Bab III yang berisi analisis representasi film Don’t Cry Mommy terhadap kehidupan di Korea dan analisis kritik pengarang yang ada dalam film Don’t Cry Mommy dan perilaku kekerasan dan pelecehan seksual di Korea. Kemudian bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan.