BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Permasalahan 1.1 Potret Sejarah Gereja Methodist Indonesia Pada tahun 1905 pelayanan badan misi Board of Foreign Mission dari Methodist Episcopal Church (MEC) Amerika memulai pelayanannya di Indonesia. Sejarah ini menjadi awal kehadiran misi Methodist di Indonesia. Pada awalnya sasaran misi Methodist di Indonesia adalah orang-orang Tionghoa, kemudian sejak tahun 1921 mulai melayani orang-orang non-Tionghoa di pulau Sumatera. Setelah sekian lama di bawah koordinasi pelayanan misi MEC maka pada tanggal 09 Agustus 1964 terbentuklah sebuah gereja yang otonom dengan nama Gereja Methodist Indonesia (GMI). 1 Dalam konstitusinya disebutkan bahwa GMI adalah gereja yang universal, sebab itu dapat menerima segala bangsa tanpa memandang warna kulit, kedudukan atau martabat kehidupan menjadi anggota penuh dan mengambil bagian dalam pekerjaan gereja sesuai dengan Disiplin GMI. Sebagai gereja yang universal GMI menjadi gereja multi etnis yang dalam kenyataannya didominasi oleh etnis Batak Toba dan etnis Tionghoa. Tujuan kehadiran GMI adalah untuk memasyurkan Yesus Kristus melalui pemberitaan injil ke seluruh dunia, menghimpun mereka dalam persekutuan Sidang Kristus dan mendalami kehidupan kerohanian mereka sehingga Kristus dan pengajaranNya menjadi sumber persekutuan tersebut.2 Sebagai buah misi MEC maka secara struktur organisasi GMI menganut sistem episkopal (episkopos) yang dipahami sebagai suatu sistem organisasi gereja yang dipimpin oleh Bishop. Bishop adalah seorang pendeta yang dipilih menjadi pemimpin 1 2
Richard Daulay, Mengenal Gereja Methodist Indonesia, Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 2004, hl. 4-6. Josuama dkk, Disiplin GMI , 2005, Medan:Gereja Methodist Indonesia, hl. 21-22.
1
organisasi dan kerohanian dalam GMI. Bishop dipilih oleh pendeta dan warga gereja peserta Konferensi Agung (selanjutnya disebut KONAG) yang diadakan 1 x 4 tahun.3 Itu artinya seorang Bishop mempunyai masa kepemimpinan dalam satu periode selama empat tahun. Peserta KONAG dipilih dalam Konferensi Tahunan (selanjutnya disebut KONTA) yang terakhir sebelum KONAG dilaksanakan. Dalam menjalankan tugasnya, seorang Bishop dibantu oleh Pimpinan Distrik. Pimpinan Distrik adalah seorang pendeta yang ditetapkan berdasarkan hak prerogative Bishop dan ditempatkan oleh Bishop untuk menggembalakan jemaat yang terletak dalam satu distrik. Bishop dan para Pimpinan Distrik bergabung dalam satu wadah yang disebut kabinet. Tugas kabinet adalah memberikan pertimbangan dan saran kepada Bishop mengenai penempatan pendeta dalam GMI. Dalam melaksanakan tugasnya kabinet dipimpin oleh Bishop yang bertindak sebagai ketua kabinet.4 Dalam sistem pemerintahan organisasai gereja yang episkopal salah satu permasalahan yang dihadapi
GMI adalah menyangkut kekuasaan seorang Bishop.
Permasalahan tersebut akan muncul dalam operasionalisasi hak dan wewenang; Bishop dapat menentukan mutasi seorang pendeta, hak kekuasaan veto dalam konteks penahbisan dan membuat keputusan yang mengatasnamakan gereja secara keseluruhan. Konteks demikian bisa membuat kuasa Bishop menjadi sangat luas dan tidak terbatas.5 Secara khusus kekuasaan seorang Bishop sangat dapat dirasakan dalam menentukan mutasi para pendeta. Sebab walaupun ada konsultasi dengan Pimpinan Distrik yang bersama-sama dengan Bishop dalam kabinet tetapi pada kenyataannya Bishoplah yang menetapkan. Hal itu dapat dimaklumi karena semua Pimpinan Distrik diangkat dan ditetapkan berdasarkan
hak prerogative Bishop. Besarnya kuasa Bishop dalam
menetapkan mutasi pendeta sering menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi 3
Richard Daulay, Kekristenan Dan Kesukubangsaan, Yogyakarta-TPK, 1996, hl. 77. Josuama dkk, Disiplin GMI..... hl. 26-72. 5 Sahat Martua Lumbantobing, Model Kepemimpinan Episkopal, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003, hl. 4. 4
2
seseorang untuk mendukung dan memilih Bishop. Tujuannya untuk memperoleh penempatan yang lebih baik dari Bishop yang terpilih.6 Dalam kondisi seperti inilah kekuasaan menjadi sangat rentan disalahpahami dan disalahgunakan (abuse of power). Sehingga mutasi dapat dilaksanakan karena faktor subyektifitas atau like or dislike yang akhirnya sering menjadi permasalahan dan ketegangan bahkan potensial menimbulkan terjadinya konflik. Persoalan penyalahgunaan kekuasaan semakin dimungkinkan karena lemahnya fungsi kontrol terhadap kekuasaan Bishop. Meskipun ada BPA7 dan Badan Episkopal
8
yang berfungsi untuk mengkontrol kekuasaan Bishop tetapi dalam
kenyataannya tidak bisa efektif. Penyebabnya karena semua pendeta yang menjadi anggota badan itu tidak lepas dari intervensi kekuasaan Bishop. Sebab status penempatan mereka setiap tahun ditetapkan oleh Bishop. Konteks seperti ini sangat rentan menyuburkan terjadinya praktek-praktek penyalahgunaan wewenang dan membuat kekuasaan cenderung menjadi corrupt, arogan, mendominasi orang lain yang akhirnya membuat kekuasaan menjadi sumber permasalahan.9 Dalam konteks GMI KONTA Wilayah 1 yang multi etnis permasalahan kekuasaan ini sering membuat terjadinya ketegangan dan menjadi salah satu potensi konflik. Etnis Batak Toba yang dalam batas-batas tertentu dipengaruhi pemahaman tentang hamoraon (kekayaan), hagabeon (keturunan) dan hasangapon (kehormatan) memahami kekuasaan sebagai yang penting. Oleh karena itu berbagai upaya mau
6
Alan K Waltz, A Tension In The Connection, Nashville: Abingdon Press,1983, hl. 4. BPA (Badan Pertimbangan Agung) semacam Mahkamah Agung (MA) kalau di Indonesia. Badan ini terdiri dari lima orang pendeta dan empat orang warga gereja yang dipilih pada pelaksanaan KONAG dan mempunyai tugas untuk mengoreksi atau memeriksa Bishop apabila membuat keputusan yang bertentangan dengan Disiplin GMI. Lihat Josuama dkk, Disiplin....hl. 54 8 Badan Episkopal Badan ini terdiri dari delapan orang pendeta dan tujuh orang warga gereja yang dipilih pada KONAG dan bertugas sebagai alat kontrol sekaligus mitra kerja Bishop dalam melaksanakan tugasnya. Bishop adalah ketua Badan Episkopal Lihat Josuama dkk, Disiplin.........hl.114-116. 9 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat Dan Kekuasaan, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2001, hl. 104-105. 7
3
dilakukan untuk dapat memiliki kekuasaan dan jabatan. 10 Dalam pemahaman ini kedudukan Bishop sering dipahami sebagai jabatan untuk mendapatkan kekuasaan dan secara defakto selama ini yang menjadi Bishop dalam GMI KONTA Wilayah 1 berasal dari etnis Batak Toba. Di sisi lain kalangan etnis Tionghoa kurang dapat menerima pemahaman yang menempatkan seorang Bishop dengan kecenderungan kekuasaan yang besar khususnya dalam hal menetapkan mutasi para pendeta. Orang Tionghoa yang mempunyai sifat bebas cenderung melakukan sesuatu atas dasar kerelaan dan hasrat mereka sendiri. Mereka tidak suka dipaksa oleh pihak yang lain untuk melakukan sesuatu. Dalam sifat dan sikap yang demikian mereka tidak mau diperintah atau dikuasai oleh pihak lain. Hal seperti inilah yang sering menimbulkan keinginan di antara orang Tionghoa di tengah jemaat campuran untuk berdiri sendiri.11 Dalam sejarah GMI keadaan demikian sudah terjadi, buktinya tahun 1977 sudah pernah ada kalangan etnis Tionghoa yang mengusulkan supaya etnis Tionghoa diorganisir menjadi satu daerah KONTA, akan tetapi usulan tersebut ditolak pada KONTA GMI tahun 1983.12 Permasalahan di atas “nampaknya” disadari warga GMI hingga akhirnya direspon dengan keputusan membagi daerah keBishopan dalam GMI menjadi dua wilayah. Upaya ini resmi menjadi keputusan pada KONAG IX GMI tahun 2001 yang dilaksanakan tanggal 09-14 Oktober 2001 di Hotel Patra Jasa Parapat. Dengan keputusan ini setiap Bishop memimpin satu wilayah KONTA, KONTA Wilayah 1 ada di pulau Sumatera dan KONTA Wilayah 2 berada di pulau Jawa. 13 Salah satu yang menarik dalam peristiwa ini adalah Bishop yang dipilih selalu satu dari etnis Tionghoa
10
Bungaran Anthonius Simandjuntak, Konflik Status & Kekuasaan Orang Batak Toba, Yogyakarta: Jendela, 2002, hl. 305 11 Chris Hartono, Gereja Di Jawa Barat, Suatu Study Historis, Sosiologis Dan Teologis Tentang Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Di Jawa Barat, Tesis, STT-Jakarta, 1979, hl. 211. 12 Richard Daulay, Kekristenan....…. hl. 311. 13 Josuama dkk, Disiplin GMI...... hl. 7.
4
dan satu lagi dari etnis non-Tionghoa. Keadaan seperti ini sudah berlangsung selama dua periode kepemimpinan dalam GMI (2001-2005 dan 2005-2009). Akan tetapi keadaan ini tidak hanya memberi kesan bahwa kepelbagaian etnis yang ada dalam GMI harus tetap dipelihara tetapi juga menjadi gambaran potensi konflik yang ada dalam tubuh GMI. Apakah upaya pemekaran wilayah kebishopan ini dapat mengatasi persoalan yang ada selama ini atau tidak, sejarah dan waktu yang akan menguji dan membuktikannya.
1.2. Konflik GMI KONTA Wilayah 1 sebagai gambaran permasalahan Setelah seratus tahun melayani di Indonesia (1905-2005) dan satu periode masa kepemimpinan dua Bishop berlalu, pada tahun 2005 GMI diperhadapkan dengan masa yang kritis khususnya GMI KONTA Wilayah 1. Sejak saat itu GMI KONTA Wilayah 1 menghadapi konflik internal. Peristiwa ini bisa menimbulkan pertanyaan kembali tentang relefansi pemekaran wilayah kebishopan dalam GMI yang dilakukan sebelumnya. Suasana konflik sudah mulai terlihat ketika KONTA GMI Wilayah 1 dilaksanakan pada tanggal 6-10 Juli 2005 di Wisma GMI Bangun Dolok, Parapat Sumatera Utara. Pada konferensi ini salah satu agenda penting yang akan dilaksanakan adalah memilih utusan KONAG yang akan dilaksanakan kemudian. Pada KONAG tersebut akan ditentukan siapa Bishop yang terpilih untuk memimpin GMI selama periode 2005-2009. Untuk dapat menjadi utusan ke KONAG setiap orang harus memperoleh suara dengan syarat ½ n + 1. 14Syarat ini membuat setiap orang melakukan berbagai upaya supaya dapat terpilih menjadi utusan ke KONAG. Dalam konteks demikian suburlah praktek-praktek tidak gerejawi seperti kampanye, lobi, intrik dan pengelompokan yang selalu membuat suasana gereja tidak kondusif. Pada KONTA
14
Lihat Notulen, KONTA GMI Wilayah 1 Ke-60/XXXV/2005, hl. iv.
5
GMI Wilayah 1 tahun 2005 suasana demikian terjadi bahkan satu hari sebelum KONTA dua pertemuan sudah dilaksanakan oleh dua pihak yang berbeda di Parapat-Sumatera Utara. Satu pihak dilakukan oleh kelompok Bishop. Dr. H. Doloksaribu M.Th dan pihak lainnya dilakukan oleh kelompok Pdt. Fajar Lim M.Th. Permasalahan muncul ketika hasil pemilihan utusan ke KONAG lebih didominasi oleh satu kelompok yaitu pihak Bishop Dr. H. Doloksaribu M. Th. Hasil ini membuat kelompok yang lainnya tidak puas dan menilai bahwa dalam pemilihan utusan KONAG di KONTA GMI Wilayah 1 tahun 2005 telah terjadi banyak kecurangan dan ketidakjujuran.
15
Permasalahan ini akhirnya berdampak luas dan membuat keadaan
GMI KONTA Wilayah 1 semakin tidak kondusif. Suasana semakin tidak kondusif karena tidak berapa lama setelah KONTA GMI
Wilayah 1 tahun 2005 selesai
dilaksanakan beberapa pendeta dan warga jemaat dari kalangan etnis Tionghoa mendeklarasikan pembentukan KONTA Tionghoa GMI di Medan. Deklarasi tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Juli 2005 di Medan 16 Di tengah kondisi yang demikian tanggal 13-16 Oktober 2005 KONAG GMI X dilaksanakan di Bumi Makmur Indah-Lembang-Bandung. Pada konferensi ini Bishop Dr. H. Doloksaribu M.Th terpilih menjadi Bishop GMI KONTAWIL-1 untuk periode 2005 -2009. Selain menetapkan kepemimpinan Bishop yang sudah terpilih dalam konferensi ini diputuskan untuk menolak pembentukan KONTA Tionghoa GMI karena dianggap tidak sesuai dengan disiplin dan konstitusi GMI. Keputusan yang lain adalah menetapkan pelaksanaan KONTA Istimewa GMI Wilayah 1.17 Meskipun dalam KONAG X GMI sudah diputuskan untuk menolak pembentukan KONTA Tionghoa GMI tetapi keputusan itu tidak serta merta membubarkannya. Pada tanggal 07-09 15
M. Silaban dkk, Quo Vadis GMI, Mengungkap Fakta Lahirnya Konferensi Tahunan Wilayah Sementara Gereja Methodist Indonesia, Medan: Konferensi Tahunan Wilayah Sementara Gereja Methodist Indonesia, 2006, hl. 3. 16 Lihat Buku Penjelasan Gereja Methodist Indonesia KONTA Tionghoa, Medan, 2005, hl. 6. 17 Lihat Notulen, KONAG /GMI-X/2005, hl. xii-xvii
6
November 2005 bebrapa pendeta dan warga yang mendeklarasikan KONTA Tionghoa GMI sebelumnya berkumpul di Hotel Mieke Holiday Berastagi-Sumatera Utara untuk melaksanakan pertemuan yang disebut sebagai Rapat Kerja Yayasan Methodist Tionghoa di Indonesia. Salah satu produk pertemuan ini adalah memutuskan untuk mengubah nama KONTA GMI Tionghoa menjadi GMI KONTA Pengembangan.18 Kemudian atas dasar keputusan KONAG X GMI tahun 2005 pada tanggal 05-06 Desember 2005 KONTA Istimewa GMI Wilayah 1 dilaksanakan di Wisma GMI Bangun Dolok, Parapat-Sumatera Utara. Dalam konferensi ini sebanyak 47 orang pendeta GMI KONTA Wilayah 1 baik di tingkat pusat, distrik, jemaat dan pimpinan di perguruan dimutasikan.19 Permasalahan kemudian timbul karena beberapa dari antara mereka menolak keputusan KONTA Istimewa GMI Wilayah 1 tahun 2005 dan tidak mau dimutasikan. Mereka yang menolak untuk dimutasikan tetap bertahan di tempat pelayanannya, sementara mereka yang sudah diputuskan untuk menempati pelayanan tersebut berusaha untuk dapat menempatinya. Keadaan ini akhirnya menimbulkan terjadinya perebutan tempat pelayanan di antara dua pihak yang berbeda. Tidak jarang upaya perebutan tempat pelayanan disertai dengan bentrokan antar pendeta bahkan melibatkan warga gereja. Contoh, persoalan mutasi di Perguruan Kristen Methodist Indonesia 2 Medan. Akibatnya konflik tidak lagi hanya terjadi di kalangan pendeta saja tetapi sudah sampai ke tingkat jemaat. Bahkan di beberapa tempat, jemaat sudah mengalami perpecahan dan semua ini membuat situasi GMI KONTA Wilayah 1 semakin tidak kondusif. Untuk mengkritisi ketidak kondusifan situasi saat itu maka pada tanggal 08 Pebruari 2006 beberapa pendeta dan warga jemaat mendeklarasikan Forum Bersama Keprihatinan Dan Pemurnian GMI. Forum ini dideklarasikan oleh para pendeta dan warga gereja yang sebelumnya mendeklarasikan KONTA Tionghoa dengan 18 19
Lihat Notulen, Sidang Rapat Kerja Yayasan Methodist Tionghoa di Indonesia, Medan, 2005, hl. 14. Lihat Notulen, KONTA-GMI/IST/2005, hl. 1.
7
pendeta dan warga gereja dari kalangan etnis non Tionghoa yang menolak keputusan KONTA Istimewa GMI Wilayah 1 tahun 2005.20 Di tengah suasana yang semakin tidak kondusif dan untuk menjaga ketertiban masyarakat, Kepolisian Daerah Sumatera Utara (KAPOLDASU) dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Wilayah Sumatera Utara (PGIWSUMUT) memfasilitasi upaya penyelesaian konflik GMI secara damai. Tanggal 04 April 2006 dibentuk team rekonsiliasi damai dengan melibatkan kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik. Selanjutnya pertemuan yang intensif dilaksanakan, akan tetapi setelah beberapa kali pertemuan dilaksanakan penyelesaian konflik secara damai tidak ditemukan dan akhirnya menimbulkan terjadinya disintegrasi dalam GMI KONTA Wilayah 1. Keadaan ini semakin jelas, setelah tanggal 06 s/d 09 Juli 2006 sebanyak enampuluh satu orang pendeta, delapan belas guru injil (calon pendeta) dan beberapa warga GMI mengadakan pertemuan di Mutiara Hotel - Berastagi. Pertemuan ini dikenal dengan KONTA Wilayah Sementara GMI. Dalam pertemuan ini Pdt. Fajar Lim M.Th dipilih sebagai ketua (bukan Bishop).21 Tiga hari kemudian, tanggal 12 s/d 16 Juli 2006 KONTA GMI Wilayah 1 dilaksanakan di Wisma GMI Bangundolok-Parapat. Dalam konferensi ini diputuskan bahwa KONTA Wilayah Sementara GMI di Berastagi adalah bentuk penyimpangan dari konstitusi GMI. Oleh karena itu semua peserta yang mengikuti KONTA Wilayah Sementara GMI di Berastagi dianggap telah menyatakan diri keluar dan tidak lagi menjadi anggota KONTA GMI Wilayah 1.22 Sejak saat itu terjadi dua versi kepemimpinan dan daerah pelayanan yang berbeda. Versi yang pertama adalah KONTA GMI Wilayah 1, berada di Jl. Kartini Medan di bawah kepemimpinan Bishop Dr. H. Doloksaribu M.Th. Versi kedua adalah KONTA Wilayah Sementara GMI yang berada di Jl. Sei Sikambing Medan dan diketuai oleh Pdt. Fajar Lim M.Th. 20
M. Silaban dkk, Quo Vadis GMI,................ hl. 4-53. M. Silaban dkk, Quo Vadis GMI................. hl. 113-117. 22 Lihat Notulen, KONTA GMI/61/XXXVI/2006, hl. ii. 21
8
2. Permasalahan dan Fokus Penelitian Pada dasarnya setiap konflik tidak terjadi dengan begitu saja tetapi terkait dengan berbagai sumber. Konflik selalu terkait dengan informasi, sumberdaya, kepentingan, hubungan, struktur dan nilai. 23 Itu artinya konflik adalah sesuatu yang kompleks. Demikian juga halnya dengan konflik yang terjadi dalam GMI KONTA Wilayah 1. Akan tetapi dalam penulisan tesis ini penulis akan fokus terhadap salah satu sumber konflik sehingga terfokus dan dapat membantu penulis selanjutnya. Jika melihat uraian yang dijelaskan pada bagian latarbelakang sebelumnya dengan mengamati sejarah, praktek-praktek, tindakan-tindakan dan kenyataan yang terjadi dalam GMI maka dapat dilihat bahwa salah satu pergumulan yang dihadapi selama ini ini adalah persoalan yang terkait dengan kekuasaan. Di depan sudah dijelaskan bahwa struktur organisasi GMI yang episkopal telah membuat kekuasaan seorang Bishop menjadi sangat luas yang sangat rentan mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Persoalan itu semakin dimungkinkan karena lemahnya pengawasan dan kontrol terhadap operasionalisasi kekuasaan Bishop. Kemudian permasalahan semakin besar karena adanya pengaruh persepsi etnis warga GMI terhadap kekuasaan. Konteks yang demikian menjadi menyuburkan kekuasaan menjadi corrupt yang akhirnya dapat mengakibatkan kekuasaan menjadi permasalahan. Di tengah sejarah yang demikian pada tahun 2005 konflik internal menimpa GMI KONTA Wilayah 1. Jika dilihat dengan latar belakang sebelumnya konflik ini dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kekuasaan. Itu bisa muncul atas pemahaman tentang konflik yang tidak terjadi secara tiba-tiba tetapi lewat proses yang terkait dengan potensi konflik yang ada. Sehubungan dengan itu beberapa pertanyaan yang bisa muncul dalam konflik GMI KONTA Wilayah 1, misalnya 23
Lihat materi pelatihan, Local Capacity For Peace, Mediasi Dan Transformasi Konflik, Yogyakarta: PSPP-UKDW, 2006, hl. 1-3.
9
bagaimanakah kekuasaan dipahami dan dimaknai dalam GMI KONTA Wilayah 1? Bagaimana kekuasaan difungsikan dan apa dampaknya dalam GMI KONTA Wilayah 1? Persoalan kekuasaan bagaimana yang terjadi dalam GMI KONTA Wilayah 1? Apa persoalan teologis dalam pemahaman dan operasionalisai teologi kekuasaan dalam GMI KONTA Wilayah 1? Permasalahan inilah yang meresahkan penulis dan mendorong penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut melalui tulisan ini. Oleh karena itu fokus penelitian tesis ini adalah permasalahan teologi kekuasaan.
3. Rumusan Masalah Agar penulisan ini lebih terarah, penulis mencoba merumuskan permasalahan di atas dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini: 1. Teologi kekuasaan seperti apakah yang ada/dimiliki dalam GMI KONTA Wilayah 1? 2. Bagaimana pengaruh teologi kekuasaan tersebut terhadap konflik GMI KONTA Wilayah 1? 3. Teologi kekuasaan bagaimanakah yang perlu ditumbuhkembangkan dalam GMI KONTA Wilayah 1?
4. Judul Dari rumusan permasalahan yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka penulis membuat judul tesis ini demikian: GEREJA METHODIST INDONESIA KONFERENSI TAHUNAN WILAYAH 1 DAN KEKUASAAN Studi Terhadap Pemahaman dan Operasionalisasi Teologi Kekuasaan Dalam Gereja Methodist Indonesia Konferensi Tahunan Wilayah 1 .
10
5. Tujuan dan Pentingnya Penelitian Dilaksanakan 5.1 Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini dilaksanakan adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui teologi kekuasaan seperti apa yang ada/dimiliki dalam GMI KONTA Wilayah 1. 2. Untuk menjelaskan bagaimana pengaruh teologi kekuasaan tersebut terhadap konflik GMI KONTA Wilayah 1. 3. Untuk mengetahui teologi kekuasaan seperti apa yang perlu ditumbuh kembangkan dalam GMI KONTA Wilayah 1.
5.2. Pentingnya penelitian ini dilaksanakan karena mencakup beberapa hal. 1. Dapat memberi penjelasan tentang teologi kekuasaan seperti apa yang ada/dimiliki dalam GMI KONTA Wilayah 1. 2. Dapat mengetahui pengaruh teologi kekuasaan tersebut terhadap konflik GMI KONTA Wilayah 1. 3. Dapat memberi masukan tentang teologi kekuasaan seperti apa yang perlu ditumbuhkembangkan dalam GMI KONTA Wilayah 1.
6. Hipotesis Berdasarkan permasalahan yang sudah disebutkan di atas maka yang menjadi hipotesis dalam penulisan ini adalah: 1. Teologi kekuasaan dalam GMI KONTA Wilayah 1 adalah teologi kekuasaan yang bermasalah. Sebab kekuasaan yang berasal dari Tuhan sudah dimaknai sebagai kekuasaan yang membuat manusia tidak hanya mempunyai wewenang untuk memimpin dan menentukan sesuatu bagi orang lain tetapi juga membuat mereka mempunyai hak untuk ditaati dan dipatuhi oleh orang lain.
11
2. Pemahaman teologi kekuasaan yang demikian mengakibatkan terjadinya praktek dominasi kekuasaan dalam GMI KONTA Wilayah 1. Sehingga pihak yang berkuasa
mendominasi
pihak
yang
lain,
tidak
mengabsahkan
kritik,
memfungsikan kekuasaan untuk kepentingan sendiri, mengakibatkan ketakutan dan relasi menjadi bersifat hirarkis-kontraktual. Persoalan ini akhirnya mempengaruhi terjadinya konflik dalam GMI KONTA Wilayah 1. 3. Ada spirit demonic atau jahat yang mempengaruhi pemahaman dan operasionalisasi teologi kekuasaan dalam GMI KONTA Wilayah 1.
7. Kerangka Teori Untuk menganalisis permasalahan ini, penulis akan mempergunakan pemikiran Walter Wink mengenai kekuasaan. Salah satu yang khas menurut penulis
dari
pemikiran Walter Wink tentang kekuasaan adalah tidak melihat kekuasaan hanya sebagai dimensi material saja tetapi juga melihatnya sebagai dimensi spiritual. Menurut Walter Wink, kekuasaan tidak dapat dilihat hanya dalam bentuk institusi, jabatan, struktur, atau kedudukan yang dapat dilihat dari luar saja. Sebab setiap kekuasaan memiliki dimensi spiritual yaitu roh, semangat, kekuatan yang mempengaruhi dari dalam institusi, struktur, jabatan atau sistem yang ada. Dimensi spiritual tersebut merupakan suatu aspek yang real dari setiap bentuk dan wujud kekuasaan bukan sesuatu yang melayang-layang di ruang angkasa. Dimensi spiritual itu adalah bagian yang paling dalam dari suatu organisasi kekuasaan yang dapat menentukan bentuk organisasi, relasi antara satu sama lain, tujuan yang mau diperoleh, keyakinan dan nilai-nilai yang mau dikembangkan. 24 Kenyataan tersebut dapat ditemukan dalam semua bentuk dan wujud kekuasaan; apakah dalam sistem perekonomian, militer, pendidikan, bahasa, 24
Walter Wink, Naming the Powers The Language The Powers In The New Testament, Philadelphia: Fortress Press, 1984, hl.103- 110.
12
ideologi, peraturan, hukum, peran yang dijalankan, nilai-nilai, politik, agama dan realitas sosial yang lainnya. 25 Oleh karena itu semua institusi, sistem dan jabatan kekuasaan yang ditempati tidak boleh dilihat hanya semata-mata bentukan manusia. Mereka memiliki roh, kekuatan, suatu sifat atau makna yang terkandung dari dalam.26 Berdasarkan pemikiran ini maka permasalahan kekuasaan tidak dapat dilihat hanya berhubungan dengan dimensi luarnya saja, tetapi juga berhubungan dengan aspek spiritual. Persoalan kekuasaan tidak hanya struktural, tetapi personal dan spiritual. 27 Bagi penulis, pemikiran ini memberi pesan penting untuk menganalisis permasalahan kekuasaan yang ada dalam GMI KONTA Wilayah 1. Sebab pemikiran ini mendorong penulis untuk memeriksa dimensi spiritual kekuasaan dalam GMI KONTA Wilayah 1. Dari sana akan dapat diketahui spirit apa yang mempengaruhi teologi kekuasaan yang ada dalam GMI KONTA Wilayah 1. Setelah itu penulis akan memberikan penilaian teologis untuk mengetahui persoalan teologi kekuasaan tersebut. Sebagai parameter dalam membuat penilaian teologis ini penulis akan mempergunakan pemikiran Hans Ruedi Weber dan Max L. Stackhouse mengenai teologi kekuasaan. Pemikiran Hans Ruedi Weber mengenai teologi kekuasaan berpijak pada tradisitradisi iman yang ada dalam Alkitab. Bagi Dia refleksi Alkitab tentang kekuasaan Allah harus dijadikan sebagai dasar untuk memahami kekuasaan. Untuk mengembangkan pemikirannya Hans Ruedi Weber menjelaskan lima tradisi iman di dalam Alkitab yang berhubungan dengan teologi kekuasaan. Dari lima tradisi yang ada penulis akan memilih dua, yaitu tradisi rajani dan tradisi anawim.28 Sedangkan Max L. Stackhouse menekankan bahwa kekuasaan tidak hanya permasalahan material tetapi juga sesuatu yang mempunyai spirit atau kekuatan dari dalam. Spirit ini akan mempengaruhi apakah 25
Walter Wink,Unmasking the Powers: The Invisible Forces That Determine Human Existence, Philadelphia: Fortres Press, 1986, hl. 5-7. 26 Walter Wink, Naming the Powers…………....hl.135-136. 27 Walter Wink, Unmasking the Powers………..hl. 88. 28 Hans Ruedi Weber, Kuasa: Sebuah Studi Teologi Alkitab, Jakarta; Bpk-Gunung Mulia, 1993, hl. 38-39.
13
kekuasaan itu akan menjadi baik atau jahat. Oleh karena itu pembaharuan kekuasaan harus
melibatkan
pembaharun
dimensi
spiritual.
Sehubungan
dengan
itu
Max L. Stackhouse menjelaskan lima tema yang berhubungan dengan spirit kekuasaan. Tiga di antaranya akan dipilih penulis sebagai parameter untuk menilai persoalan teologi kekuasaan dalam GMI KONTA Wilayah 1. Ketiganya adalah panggilan, pembebasan dan perjanjian.29 Setelah membuat analisis dan memberikan penilaian teologis terhadap permasalahan teologi kekuasaan yang ada dalam GMI KONTA Wilayah 1, selanjutnya penulis akan membuat refleksi teologis yang diharapkan dapat menjadi kontribusi tesis ini untuk menumbuhkembangkan teologi kekuasaan dalam GMI KONTA Wilayah 1. Dalam refleksi teologis ini penulis akan menjelaskan beberapa poin sebagai jawaban terhadap pertanyaan teologi kekuasaan seperti apa yang perlu ditumbuhkembangkan dalam GMI KONTA Wilayah 1.
8. Metodologi Penelitian 8.1. Jenis penelitian Penelitian ini dapat digolongkan ke dalam penelitian studi kasus. Studi kasus merupakan penelitian empiris untuk menyelidiki suatu fenomena di dalam konteks kehidupan nyata melalui pengumpulan data dan memanfaatkan berbagai sumber yang ada.30 Peneliti akan mengunakan pendekatan penelitian kualitatif. Metode ini digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena yang ada.31 Dalam studi ini, adapun yang akan menjadi sasaran atau fokus penelitian adalah permasalahan teologi kekuasaan dalam GMI KONTA Wilayah 1. 29
Max L, Stackhouse, Public Theology And Political Economy, Christian Stewardship In Modern Society, Eermand Publishing Co: Grand Rapids, 1987, 133-136. 30 Robert K Yin, Studi Kasus (Desain dan Metode), Jakarta: PT.Grafindo Persada, 1996, hl. 18. 31 Anselm Strauss & Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Tata Langkah Dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hl. 4-5.
14
Dalam rangka penelitian ini, penulis akan melakukan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan diharapkan dapat membantu penulis memperoleh sumber tertulis yang memberikan penjelasan berhubungan dengan topik yang dibicarakan dalam tesis ini. Untuk penelitian ini, penulis akan memanfaatkan sumber-sumber tertulis baik teologi maupun non teologi yang relevan dengan pokok kajian ini. Sedangkan penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk dapat memperoleh informasi yang menjadi data primer dari berbagai para nara sumber, baik berupa tertulis, pemahaman lisan, pengalaman atau praktek-praktek yang dilihat dan relevan dengan kebutuhan studi ini.
8.2. Metode pengumpulan data Untuk menemukan data primer, penulis akan melakukan studi lapangan (field research). Penelitian ini akan ditempuh dengan menggunakan metode wawancara secara langsung. Wawancara akan dilakukan secara kreatif dengan menggunakan panduan pertanyaan yang sudah disediakan dan menjadi pegangan penulis dalam melakukan penelitian. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diajukan secara langsung (tatap muka) kepada subyek penelitian. Karena sifat penelitian ini adalah untuk menggali pemahaman para nara sumber atas masalah atau pokok tertentu, maka pengumpulan data akan ditempuh dengan cara melakukan wawancara yang mendalam (deep interview).
32
Oleh karena itu, peneliti akan memilih secara cermat subyek
penelitian yang akan diwawancarai sesuai dengan kepentingan penelitian dan pertimbangan dari peneliti. Mereka adalah informan yang dikategorikan sebagai “rich information” yang diharapkan tidak hanya bisa memberi keterangan tentang sesuatu
32
Andreas B Subagyo, Pengantar Riset Kuanitatif & Kualitatif, Bandung: Kalam Hidup, 2004, hl. 228232.
15
kepada peneliti tetapi juga bisa memberi saran tentang sumber bukti-bukti lain yang mendukung serta menciptakan akses terhadap sumber yang bersangkutan.
8.3. Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini akan dilakukan di kota Medan. Tempat ini dipilih dengan beberapa pertimbangan; Pertama, di tempat ini kedua lembaga yaitu KONTA GMI Wilayah 1 dan KONTA Wilayah Sementara GMI berada. Ini akan membantu peneliti untuk memperoleh data-data yang diperlukan baik dalam bentuk dokumen, notulen atau arsip yang berhubungan dengan topik penelitian. Kedua, responden yang akan diwawancarai seluruhnya ada di kota ini. Keadaan ini akan membantu penulis melaksanakan wawancara kepada setiap responden secara langsung. Ketiga, di tempat ini konflik yang terjadi lebih eskalatif jika dibandingkan dengan tempat yang lainnya. Keempat, secara praktis di tempat ini peneliti mempunyai keluarga yang dapat membantu peneliti selama melaksanakan penelitian. Waktu yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah satu bulan atau selama 30 hari. Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 04 Pebruari 2008 s/d 04 Maret 2008.
16
9. Sistematika Penulisan
I. PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang masalah, permasalahan, rumusan permasalahan, judul, tujuan dan pentingnya penelitian dilaksanakan, hipotesis, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.
II. KONFLIK GEREJA METHODIST INDONESIA KONTA WILAYAH I Bab ini merupakan deskripsi dan informasi mengenai GMI dan konflik yang terjadi dalam GMI KONTA Wilayah 1. Deskripsi dan informasi tersebut dimaksudkan untuk menolong pembaca mengenal GMI dan memahami konflik yang terjadi dalam GMI KONTA Wilayah 1.
III. DESKRIPSI DAN ANALISA UNTUK KEKUASAAN DALAM GEREJA METHODIST INDONESIA KONTA WILAYAH 1. Bab ini akan mendeskripsikan hasil penelitian yang dilakukan penulis dalam GMI KONTA Wilayah 1. Hasil penelitian itu akan dianalisa penulis dengan mempergunakan pemikiran Walter Wink.
IV. REFLEKSI TEOLOGIS Bab ini merupakan bagian penilaian teologis terhadap teologi kekuasaan dalam GMI KONTA Wilayah 1. Untuk memberikan penilaian teologis ini penulis akan mempergunakan pemikiran Hans Ruedi Weber dan Max L. Stackhouse mengenai teologi kekuasaan. Dari penilaian teologis ini penulis akan membuat
17
refleksi teologis untuk menjelaskan teologi kekuasaan seperti apa yang perlu ditumbuhkembangkan dalam GMI KONTA Wilayah 1.
V. KESIMPULAN & SARAN Bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran yang didapat dari hasil pembahasan bab-bab yang sebelumnya dan menjadi bagian penutup dari penulisan tesis ini.
18