BAB I PENDAHULUAN “It’s not the mountain we conquer, but ourselves.” ~Edmund Hillary
1.1.
Latar Belakang Pada suatu sore saat cuaca tidak begitu bersahabat di gunung Argapura
oleh karena terjangan hujan disertai angin kencang, tampak empat orang yang tengah dalam pendakian gunung berlindung dibawah jas hujan—yang dibentang di antara pohon. Tempat yang hanya lapang sepengal petak tidak terlalu luas, dilingkari pohon-pohon besar disekitarnya menjadi salahsatu pilihan pendaki tersebut beristirahat sementara. Ditengah badai itu, datang dua orang pendaki gunung ikut berlindung di tempat yang sama. Tidak lama setelah bertegur sapa dengan beberapa orang yang lebih dulu di tempat itu, dua orang tersebut mulai mendirikan sebuah tenda dome guna berlindung dari angin dan hujan. Melihat orang-orang di luar tendanya mulai menggigil kedinginan, salahsatu dari dua orang tersebut berinisiatif mengajak orang yang ada diluar tendanya untuk bergabung menikmati minuman hangat dan makanan kecil. Tenda yang mustinya berkapasitas normal empat orang, saat itu telah diisi enam orang dengan sedikit berdesakan di dalamnya. Sembari menikmati makanan yang juga disajikan, suasana nan hangat pun terbangun sederhana dengan mulai berkenalan satu sama lain hingga dibarengi tawa lepas menikmati kebersamaan. Hingga larut malam badai tidak kunjung mereda, akhirnya mereka beristirahat bersama di satu tenda—karena empat orang pendaki sebelumnya ternyata tidak membawa tenda
1
dan tengah dalam keterbatasan logistik (bekal makanan) dalam perjalanan pendakian. Hingga keesokan pagi, mereka memutuskan melanjutkan perjalanan pendakian bersama. Tidak tampak lagi ada sekat untuk berbincang, tidak tampak pula dominasi simbolisme pakaian yang dikenakan diantara mereka; yang pada umumnya mengenakan kaos, beberapa diantara mereka mengenakan jaket dan membawa barang bawaannya dengan tas besar dibalik punggungnya. Seperti pada pemaparan di atas, fenomena interaksi sosial antara pendaki gunung dalam sebuah perjalanan pendakian masih dapat dijumpai hingga saat ini di beberapa tempat—pendakian gunung di Indonesia. Sebagaimana dapat diketahui bersama, pendakian gunung atau dikenal juga dengan istilah mountaineering1 dapat dikategorikan dalam sebuah profesi, rekreasi dan salah satu olahraga alam bebas. Kegiatan outdoor ini seakan memiliki tawaran akan sensasi petualangan dan pemandangan alam bebas hingga pada akhirnya digemari oleh sebagian orang (belantaraindonesia.org). Kegiatan pendakian gunung agaknya sudah cukup lama dikenal oleh kalangan luas masyarakat di Indonesia. Pertama, melalui kegiatan kepanduan atau pandu yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1923-an2, yang kini lebih dikenal dengan Praja Muda Karana (Pramuka). Dalam salahsatu kegiatannya, berbekal keterampilanketerampilan individu bertahan hidup di alam bebas, kegiatan Pramuka sering dilakukan pada aktivitas perjalanan pendakian gunung. Kedua, melalui organisasi
1
Dalam situs belantaraindonesia.org menyebutkan bahwa pendakian gunung atau mountaineering di Eropa dikenal dengan istilah ‘alpinism’ yang didalamnya termasuk olahraga panjat tebing. 2 Ditandai dengan berdirinya Nationale Padvinderij Organisatie (NPO) pada tahun 1923 di Bandung, yang dalam kegiatannya berorientasi pada kegiatan alam bebas.
2
atau komunitas, yang diantaranya mengatasnamakan “pencinta alam”3. Istilah pencinta alam awalnya diperkenalkan oleh mahasiswa Universitas Indonesia tahun 1970-an. Sebelum pencinta alam resmi menjadi organisasi, pada tahun 1964 seorang bernama Su Fu-yi (dalam bahasa Mandarin) atau lebih dikenal dengan nama Soe Hok Gie menjadi pionir terbentuknya komunitas pencinta alam di Universitas Indonesia.4 Berdampingan dengan pemaparan terkait pencinta alam, di Indonesia yang namanya juga dikenal kalangan luas masyarakat ialah Wanadri. Berdiri di tahun yang sama, sekelompok pemuda bekas pandu yang gemar dalam melakukan kegiatan kegiatan alam bebas pendakian gunung memproklamirkan nama kelompoknya sebagai Wanadri: Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung (Wanadri, 2013). Dari sudut pandang tertentu, kegiatan pendakian gunung termasuk gaya hidup glamor, hedonisme dan konsumtif yang sudah menjadi tren di tengah masyarakat modern. Meningkatnya minat kegiatan pendakian gunung belakangan ini ditengarahi mendapatkan pengaruh dari beberapa faktor, seperti film, karya sastra yang tersirat kisah petualangan pendakian gunung dan bahkan lingkungan sosial. Sebut saja: film Eiger Sanction, Vertical Limit, 127 Hours, Seven Years in Tibet, The Wildest Dream, Into Thin Air. Pengaruh yang diberikan melalui karya sastra Donny Dhirgantoro yang sudah diangkat ke layar lebar film Indonesia berjudul 5cm, kisah perjalanan Norman Edwin mengarungi gunung-gunung dalam 3
Istilah “pencinta alam” secara resmi digunakan oleh organisasi Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia tahun 1970-an saat kegiatan politik praktis mahasiswa dibatasi oleh pemerintah. Ditandai dengan keluarnya SK 028/3/1978 tentang pembekuan total kegiatan Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa yang melahirkan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). 4 Informasi ini diperoleh dari Aji pada 27 Agustus 2014. Ajoe (panggilan akrabnya) adalah anggota aktif MAPAGAMA (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gadjah Mada).
3
sebuah buku berjudul Jejak Sang Beruang Gunung, Soe Hok Gie sebelumnya juga menuliskan beberapa kisah petualangannya di gunung melalui catatan harian yang diterbitkan anumerta dengan judul Catatan Seorang Demonstran. Begitupun, karya Agustinus Wibowo yang menuliskan pengalaman perjalanan menuju puncak Everest dalam bentuk sebuah novel berjudul Titik Nol. Hingga minat dalam melakukan kegiatan pendaki gunung seseorang terpengaruh oleh lingkungan sosial, mulai dari ajakan teman, keluarga, maupun pengaruh dari gaya hidup ke-kini-an dimana kegiatan pendakian gunung menjadi budaya populer dikalangan tertentu di masyarakat. Penelitian dalam rangka memahami fenomena interaksi sosial pendaki gunung agaknya menjadi hal baru dalam kajian ilmiah yang sistematis dan komprehensif baik dari disiplin ilmu psikologi, antropologi dan juga sosiologi. Adapun salahsatu tematik yang ingin dimunculkan dari kegiatan pendakian gunung untuk dijadikan kajian sosiologi adalah dimensi tindakan altruisme yang dilakukan oleh pendaki gunung dalam kegiatan pendakian gunung. Dalam artian, kajian ini coba menelaah fenomena interaksi sosial pada subyek individu dalam komunitas pendaki gunung. Penelitian ini difokuskan pada fenomena interaksi seorang pendaki gunung dengan orang lain sesama pendaki gunung, yang dapat menonjolkan rasa simpati atau empati terhadap orang lain. Dalam bentuk tindakan misalnya, sedianya saling melengkapi kekurangan (baca: saling membantu atau menolong) dalam situasi tertentu dalam kegiatan pendakian gunung. Dirasa kegiatan outdoor ini memiliki sebuah tradisi yang mengadopsi norma nilai luhur dari kehidupan manusia. Adapun pada kenyataannya seseorang
4
dalam kesehariannya dapat kembali pada hakikat manusia seperti yang pernah dipaparkan seorang filsuf pra-klasik Plato bahwa, “hakikatnya manusia adalah makhluk sosial”. Bapak sosiologi bernama Auguste Comte pernah menyatakan hampir senada bahwa, “manusia dalam sosiologi belum sepenuhnya makhluk yang utuh dan mandiri”. Dalam artian, manusia adalah bagian dari sosial (masyarakat) yang perlu untuk bersosialisasi (Husni Mubarak, 2005: 5). Dari argumen lampau tersebut agaknya para pendaki gunung mengilhami sebuah hakikat manusia—yang dominannya diamini oleh sebagian besar orang hingga saat ini. Sebuah anggapan wajar dan umum ialah saling membantu atau tolong menolong dengan sesama manusia. Di asumsikan, knowledge yang dibangun oleh para pendaki gunung adalah tentang diri manusia yang utuh yang memerlukan manusia lain dalam kehidupan. Hingga pada kemudian, dapat terbentuklah sebuah interaksi sosial yang mengusung nilai dan norma antar sesama pendaki gunung. Sosiologi interpretatif Weberian bisa menjadi langkah awal dalam memahami kegiatan para pendaki gunung. Kendati demikian, sosiologi tidak cukup hanya memahami tindakan sosial yang dilakukan, lebih jauh sosiologi juga diharapkan mampu menelisik dimensi kognitif dan kehidupan sehari-harinya. Pada titik ini, tugas sosiologi jadi lebih berat, bahkan penjelasan dengan hanya memakai konsep rasionalitas Weber pun tidak cukup memadai. Sehingga, dalam studi ini dirasa perlu dilengkapi pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakikat atau esensi dibalik segala macam bentuk tindakan altruisme dalam kehidupan keseharian para pendaki gunung. Melalui cara pandang Durkheim, dimana dalam idenya masyarakat bisa
5
dipelajari secara ilmiah, bahasan sosiologi haruslah berupa studi atas fakta sosial. Secara singkat, fakta sosial terdiri dari struktur sosial, norma budaya dan nilai (Ritzer, 2010: 80-81). Studi empiris tersebut pun masih dianggap belum bisa menjadi pendekatan yang tajam jika hanya melihat fakta yang ada dipermukaan sehingga perlu menggunakan pendekatan fenomenologi guna menelisik lebih dalam terkait fenomena tindakan altruisme para pendaki gunung. Alfred Schutz (1899-1959) adalah seorang filsuf yang menggunakan pendekatan fenomenologi dalam tradisi sosiologi. Fenomenologi Schutz, berusaha menelisik kontruksi kesadaran individu pada dunia kehidupan sehari-hari yang bersifat intersubjektif. Bagi Schutz, dalam kehidupan sehari-hari kesadaran seorang individu terbagi dengan individu lain, sehingga kesadaran seorang individu tidak bersifat pribadi sepenuhnya, melainkan telah terbagi dan menjadi bagian kesadaran orang lain (Zeitlin, 1995: 259). Beberapa anggota komunitas pendaki gunung menjadi perhatian utama dalam kajian ini, sehingga asumsinya beberapa pendaki gunung dalam komunitas dianggap lebih cocok dalam kajian ini dibandingkan seseorang dalam organisasi pendaki gunung karena sifatnya lebih pada ke keanggotaan formal, agenda rutin kegiatan yang pada dasarnya memiliki visi-misi yang telah menjadi acuan dalam agenda kegiatan
organisasi
yang tersetruktur. Dengan demikian
dapat
diketengahkan dalam tema penelitian ini bahwa komunitas dianggap lebih cair dalam informasi berikut norma dan nilai yang ada dalam komunitas. Komunitas dalam penelitian ini diperkirakan tidak memiliki ikatan formal dalam kegiatan pendakian gunung. Beberapa bentuk komunitas diantaranya, seperti: forum,
6
paguyuban, maupun kelompok-kelompok yang dapat dijadikan rujukan terkait tematik penelitian. Benang merah yang ingin ditekankan dalam studi ini berupaya menelisik fenomena tindakan altruisme pada kegiatan pendakian gunung. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, kesadaran berikut pemaknaan tindakan altruisme dari beberapa pendaki
gunung dalam komunitas diharapkan
mengungkapkan kebenaran dibalik keterlibatan seorang pendaki gunung dalam kegiatan pendakian gunung. Bagaimanapun juga, fenomena pendakian gunung menyisakan pertanyaan yang menuntut jawaban. Masih belum ditemukan suatu hasil studi yang berupaya mengungkapkan kontruksi pemaknaan individu (pendaki gunung) melakukan tindakan altruisme serta memotret sikap dan perilaku keseharian mereka. Pendaki gunung tentu memiliki kontruksi pemaknaan otentik terhadap kegiatan pendakian gunung. Kendati demikian, studi yang lebih menekankan pada sisi kontruksi pemaknaan subjektif pelaku dengan sudut pandang orang dalam, masih terbilang langka atau bahkan belum ditemukan seputar tematik penelitian—tentang tindakan altruisme pada subyek komunitas pendaki gunung. Jikapun terdapat studi yang sama atas tindakan altruisme pada kegiatan pendakian gunung, itupun dengan menggunakan pendekatan metode yang berbeda. Sehingga, studi sosiologi dengan pendekatan fenomenologi Schutz dirasa masih mendapat tempat untuk mengkaji fenomena sosial tindakan altruisme pada kegiatan pendakian gunung. Maka dari itu, studi fenomenologi menggunakan pendekatan Schutz ini bertujuan (tujuan studi ini) memandang proses kontruksi pemaknaan subjektif
7
dengan memotret perilaku dan pilihan sikap pendaki gunung dalam kehidupan kesehariannya. Pada konteks ini, akhirnya persoalan meaning atau pemaknaan, persepsi, nilai-norma, alasan, motif, argumentasi, maksud dan harapan, harus dikembalikan kepada para pendaki gunung yang mengalaminya akan lebih terwakili secara langsung. Pengalaman subjektif pendaki gunung tentunya menjadi penting untuk ditelusuri, dikaji ulang dan diceritakan kembali dengan memiliki kontruksi pemaknaan subjektif para pendaki gunung terhadap tindakan altruisme pada kegiatan pendakian gunung dengan memakai jarak pandang, sudut pandang, dan cara pandang mereka yang terlibat langsung dalam kegiatan pendakian gunung. Berdekatan dengan pemaparan sebelumnya, sejumlah asumsi awal dari kegiatan pendakian gunung atau mountaineering yang mengandung pertanyaan untuk dimunculkan dalam penelitian ini yakni, pertama, ditengah masyarakat modern yang kian rasional, nilai dan norma sosial terkadang dilakukan atas dasar kepentingan yang rasional atau dengan kata lain mempertimbangkan untung rugi atau lebih masuk akal dalam melakukan sebuah tindakan. Boleh jadi, suatu bentuk tindakan para pendaki gunung bukan atas dasar pilihan sadar yang berangkat dari pemahaman nilai dan norma sosial, tetapi lebih karena dogmatisasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menawarkan pesona dunia untuk menggantikan peranan interaksi sosial secara langsung (dari individu ke individu lain atau individu dengan kelompok) dalam kehidupan masyarakat modern. Namun hari ini, semangat mempertahankan nilai dan norma sosial dirasa sudah mulai muncul kembali di tengah masyarakat. Apakah ini semacam titik balik
8
kepercayaan masyarakat modern pada nilai dan norma sosial setelah sekian lama digerogoti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apakah gejala yang tampak dalam kegiatan pendakian gunung merupakan bagian titik balik tersebut. Lalu, apakah ekspresi tindakan altruisme pada pendaki gunung dalam komunitas pendaki gunung merupakan wujud resistensi (perlawanan) atas modernitas, atau justru bentuk lain subordinasi interaksi sosial (tindakan altruisme) di tengah masyarakat modern. Atau, apakah semua ini hanya semacam ekspresi bentuk “kekalahan” seseorang (para pendaki gunung) di tengah dominasi masyarakat modern. Kedua, bagaimanapun juga, tindakan altruisme yang dilakukan oleh seorang pendaki gunung dalam komunitas pendaki gunung di Indonesia, sedikit banyak tetap menunjukkan gejala sosial berbeda. Meski kegiatan ini terlihat “biasa”, pendakian gunung merupakan fenomena sosial kontemporer. Apa yang membuat seseorang dalam komunitas pendaki gunung begitu antusias dalam kegiatan pendakian gunung. Tidakkah mereka memiliki pertimbangan tertentu sehingga mereka memutuskan untuk melibatkan diri pada kegiatan pendakian gunung. Tentu, tidak dengan serta merta dan begitu saja mereka memutuskan terlibat dalam kegiatan pendakian gunung. Pendaki gunung diasumsikan mempunyai berbagai alasan atau motif dan makna yang tidak tunggal dalam kegiatan pendakian gunung. Penelitian ini berusaha mencari jawaban atas sebuah interaksi sosial dari tindakan altuisme dalam pendakian gunung. Munculnya sebuah kebiasaan yang ada dalam pendakian gunung disadari bukan muncul tiba-tiba di dalam komunitas pendaki gunung, oleh karena itu penjelasan tentang tindakan altruisme perlu dikaji
9
lebih mendalam untuk mendapatkan penjelasan melalui kerangka kajian ilmiah yang sistematis dan komperhensif. Diharapkan hasil penelitian terkait informasi berasal dari tokoh-tokoh kunci penggiat kegiatan ini yang tergabung dalam salahsatu komunitas pendaki gunung di Indonesia.
1.2.
Rumusan Penelitian Melalui uraian di latar belakang penelitian yang telah di jabarkan
sebelumnya, kiranya rumusan masalah dari pengkajian terkait adalah: 1. Bagaimana para pendaki gunung memaknai tindakan altruisme dalam kegiatan pendakian gunung? 2. Bagaimana pemaknaan tindakan altruisme dipahami kembali para pendaki gunung dalam konteks kehidupan sosial sehari-hari?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian dalam
pengkajian ini adalah: 1. Mengetahui bagaimana para pendaki gunung memaknai tindakan altruisme dalam kegiatan pendakian gunung. 2. Mengetahui bagaimana pemaknaan tindakan altruisme dipahami kembali para pendaki gunung dalam konteks kehidupan sosial sehari-hari.
10
1.4.
Kegunaan Penelitian Kosep penelitian kualitatif yang menggunakan paradigma fenomenologi
ini berupaya menelisik fenomena dan nomena altruisme yang sedianya ada dalam interaksi sosial komunitas pendaki gunung. Istilah “altruisme” coba ditawarkan dalam penelitian ini oleh karena cara pandang tentang perilaku diri dari seorang pendaki gunung sedianya merupakan perilaku yang ada dalam produk kebudayaan manusia. Penelitian ini dibuat dengan beberapa maksud dan tujuan tertentu. Tujuan awal adalah memberikan informasi dan pengetahuan kepada pembaca tentang fenomena tindakan altruisme pada subyek komunitas pendaki gunung. Lebih umum, penelitian ini ditujukan kepada para pendaki gunung agar penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai pengetahuan tambahan baik dalam komunitas maupun organisasi pendaki gunung perihal tindakan altruisme yang menjadi bagian dari kegiatan pendakian gunung. Diharapkan melalui penelitian ini, selain bertujuan memberikan peluang bagi terciptanya penelitian lebih lanjut terkait tematik yang di usung dalam penelitian, para akademisi yang tertarik mengkaji salah satu jenis varian interaksi sosial ini dapat menggunakan penelitian ini sebagai informasi tambahan dalam pembuatan penelitian dengan tema dan permasalahan yang lebih mendalam. Sehingga, proses redefinisi dan penyempurnaan ilmu pengetahuan melalui penelitian yang hampir serupa akan terus bergulir.
11
1.5.
Istilah dalam Penelitian Dalam studi ini, istilah-istilah penting yang ada dalam permulaan analisis
dapat dijabarkan terlebih dahulu. Hal ini dapat digunakan untuk menunjukkan celah-celah kosong yang ada dalam literatur. Selain untuk mengetahui celah kosong dalam penelitian, pemahaman mendasar dapat dijadikan posisi tinjauan yang akan dikaji dalam penelitian.
1.5.1. Interaksi Sosial “Interaksi Sosial” merupakan pondasi dari hubungan yang berupa suatu tindakan yang berdasarkan norma dan nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Hubungan sosial yang dilakukan menyangkut hubungan antar individu (seseorang) dengan seseorang, seseorang dengan kelompok, kelompok dengan kelompok. Di dalam interaksi sosial terbentuk sebuah proses interaksi hubungan timbal balik atau saling mempengaruhi antar manusia di dalam masyarakat. Bagi Soerjono Soekanto, cara-cara berhubungan dapat dilihat jika individu dan kelompok saling bertemu serta membentuk sebuah sistem dalam hubungan sosial. Homans mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian atau aktivitas yang dilakukan seseorang terhadap individu lain mendapatkan ganjaran suatu tindakan oleh individu lain. Konsep yang ditawarkan Homans memiliki pengertian bahwa interaksi adalah suatu tindakan yang dilakukan seseorang dalam memberikan stimulus bagi tindakan individu lain (Ali, 2004: 87). Interaksi sosial yang ada pada komunitas pendaki gunung dirasa memiliki sebuah tradisi berbeda ditengah masyarakat modern. Salahsatu perbedaan yang ada dalam interaksi
12
diantaranya adalah tindakan altruisme yang dilakukan seseorang (individu) dengan orang lain, saat orang lain memerlukan sebuah bantuan atau pertolongan.
1.5.2. Altruisme “Altruisme” adalah sebuah konsep yang biasanya dibedakan dari egoisme dan individualisme. Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi seseorang untuk membantu orang lain. Keinginan seseorang untuk melakukan kebaikan atau perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa mengharap sebuah ganjaran pun memperhatikan diri sendiri adalah bentuk sikap altruisme yang murni; dimana perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam kebudayaan manusia. Dengan demikian, altruisme adalah sikap yang mementingkan kebutuhan dan kepentingan orang lain (Abercrombie et.al, 2010: 23). Secara garis besar, altruisme adalah sikap mementingkan kepentingan orang
lain.
Dengan
kata
lain,
sikap
altruisme
mengandung
prinsip
mempertimbangkan kesejahteraan berikut kebahagiaan orang lain dimana kepentingan diri coba dikesampingkan demi orang lain. Rasa simpati atau empati kepada nasib orang lain tanpa mengharapkan timbal balik adalah real dari tindakan altruisme. Menilik contoh dari tindakan seorang pendaki gunung yang melakukan tindakan altruisme dalam pendakian gunung; seorang pendaki tatkala melintasi jalur pendakian bertemu dengan orang lain atau pendaki lain yang terlihat kelelahan. Melihat orang lain yang kehlelahan ia pun sesegera memberi dorongan “semangat” yang diberikan kepada orang yang kelelahan itu. Diberikannya sapaan semangat pun tidak mengharapkan timbal balik terlebih
13
mengharap sesuatu untuk dipertukarkan. Hal tersebut murni empati ingin membantu orang lain yang kelelahan tanpa mempertimbangkan kesenangan atau kondisinya sendiri. Dengan niatan untuk membantu tanpa mengharap timbal balik dari orang lain tersebut adalah wujud dari tindakan altruisme.
1.5.3. Norma dan Nilai Sosial “Norma sosial” adalah kebiasaan umum yang menjadi aturan yang berlaku dalam masyarakat dalam berperilaku. Norma sosial berlaku mengatur seseorang dalam bertindak di dalam masyarakat berikut sangsi sosial yang ada di masyarakat tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan sosial masyarakat. Norma menyangkut perihal perilaku yang pantas dilakukan dalam interaksi sosial. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau kelompok agar berperilaku sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Hingga pada dasarnya norma terbentuk agar hubungan antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sesuai yang diharapkan lingkungan masyarakat tertentu. Sedang “Nilai sosial” dalam Kamus Sosiologi yang disusun Soerjono Soekanto menerangkan bahwa nilai (value) adalah konsepsi abstrak di dalam diri manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Berikutnya Horton dan Hunt menyatakan bahwa nilai adalah gagasan mengenai suatu pengalaman. Nilai merupakan anggapan terhadap suatu hal yang dianggap pantas dan tidak pantas, penting atau tidak penting dari suatu tindakan atau pengalaman seseorang.
14
1.5.4. Komunitas dan Organisasi “Komunitas” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan dengan kelompok organisme (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling berinteraksi di suatu daerah tertentu; masyarakat; paguyuban (KBBI, 2014: 260). Sedang dalam Kamus Sosiologi menyebutkan, Komunitas adalah salah satu istilah yang kabur dalam sosiologi sehingga sampai saat ini tidak memiliki makna yang jelas. Secara minimum, istilah ini adalah kumpulan orang dalam satu wilayah geografis. Tiga elemen yang dapat diketengahkan diantaranya, (1) komunitas dapat dianggap sebagai sekumpulan orang dengan struktur sosial tertentu, (2) rasa kepemilikan atau semangat komunitas, (3) semua kegiatan sehari-hari komunitas terjadi dalam wilayah geografis (Abercrombie et.al, 2010: 98). “Organisasi” dapat didefinisikan sebagai susunan dan aturan dari berbagai bagian organ dan sebagainya sehingga merupakan kesatuan yang teratur (KBBI, 2014: 346). Dalam sumber yang lain menyebutkan, definisi dari James D. Mooney bahwa organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama (Wilis, 1996: 56).
1.5.5. Pendakian Gunung dan Gunung Dalam situs belantaraindonesia.org menerangkan, “pendaki gunung” atau mountaineering pada awalnya—di Eropa—dikenal dengan istilah „alpinism‟, yang didalamnya termasuk olahraga panjat tebing. Mountaineering atau akrab di kenal di Indonesia dengan istilah pendakian gunung adalah profesi, rekreasi dan salahsatu kegiatan olahraga. Kegiatan outdoor ini digemari hampir setiap belahan
15
dunia karena mengandung tawaran akan pemandangan alam yang masih liar serta tantangan melewati medan alam bebas. Agaknya kata “gunung” terdengar familyar di telinga masyarakat pada umumnya. Perlu dijabarkan pula bahwa terminus gunung dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat didefinisikan sebagai berikut: bukit yang sangat besar dan tinggi (biasanya tingginya lebih dari 600 m); pegunungan memiliki definisi: tempat bergunung-gunung atau terdiri atas gunung-gunung (KBBI, 1997: 330).
1.5.6. Pencinta Alam Istilah “pencinta alam” yang awalnya diperkenalkan oleh mahasiswa Universitas Indonesia pada tahun 1964, kemudian mulai berkembang menjadi kelompok-kelompok yang mengatas namakan pencinta alam. Jika menelisik arti kata dari “Pencinta Alam”, pencinta dapat diartikan orang yang mencintai, dan alam dapat diartikan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yakni lingkungan kehidupan. Dapat diperjelas kembali bahwa manusia memiliki andil dalam lingkungan kehidupan yang bersanding dengan alam, seorang pencinta alam musti menghargai alam sebagai bagian hidupnya, dimana ia dituntut untuk peduli terhadap lingkungan (baca: alam).
16
1.6.
Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Dalam penelitian kali ini, metode penelitian yang digunakan adalah
metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi fenomenologi, studi tersebut menitik beratkan analisis pada realita yang sesungguhnya terjadi di lapangan, serta kaitannya dengan konteks sejarah masa lalu yang melatar belakangi terjadinya fenomenon (gejala) yang saat ini sedang terjadi. Phenomenological sociology berasal dari filsafat fenomenologi yang tujuan utamanya adalah analisis dan penjelasan mengenai kehidupan sehari-hari—dunia-kehidupan dan kondisi kesadaran
yang
diasosiasikan
dengannya.
Studi
ini
dilakukan
dengan
mengabaikan penilaian tentang struktur sosial. Para ahli fenomenologi berargumen bahwa, meskipun orang secara umum tidak pernah mengekspresiasi kehidupan sehari-hari, analisis fenomenologi harus menunjukkan bagaimana semua itu terjadi (Turner, 2010: 412-413). Pendekatan fenomenologi mencoba menemukan dan memahami secara lebih mendalam makna tindakan altruisme yang dilakukan oleh pendaki gunung. Fenomenologi sebagaimana diungkapkan Bogdan dan Tylor (1992), memandang sikap dan tindakan individu—yaitu apa yang dikatakan dan dilakukan orang— sebagai produk dari cara orang tersebut menafsirkan dunianya (Bogdan dan Tylor, 1992: 35-36). Fenomenologi sebagai suatu pendekatan, dipercaya dapat menangkap proses penafsiran itu. Proses penafsiran dalam pendekatan fenomenologi, sejalan dengan apa yang pernah disampaikan Berger dan Kellner (1985), bahwa kerja penafsiran membutuhkan penyesuaian antara struktur
17
relevansi pengamat dengan struktur relevansi orang lain dan kelompok di mana ia termasuk (Berger dan Kellner, 1985: 26).
1.6.2. Metode Fenomenologi Fenomenologi berusaha membimbing peneliti agar dapat masuk ke dalam dunia pemikiran informan, dan kemudian berfikir sebagaimana mereka berfikir. Pendekatan fenomenologi menempatkan suasana dan atmosfer penelitian sebagai pertama kali bagi pengamat, kemudian membantunya agar dapat konsisten layaknya pemula abadi (Kees Bertens, 2002: 110-101). Apa yang dilakukan oleh seseorang yang mengalami sesuatu sebagai pengalaman pertama kali— dianalogikan seperti seseorang yang pertama kali berada di tempat baru. Tentunya orang ini akan menganggap pengalamannya itu sebagai suatu yang bernilai dan berusaha menyerap makna dari pengalaman itu sebagaimana adanya. Dengan demikian setiap jawaban informann dan gejala yang nampak akan dipandang sebagai penuh makna. Fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi guna memberi penjelasan tentang realitas sosial yang tampak maupun yang belum tampak di permukaan. Fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak berdiri sendiri, karena memiliki makna yang memerlukan penjelasan lebih lanjut terkait lingkungan (environmentalism). Istilah environmentalism ini merujuk kepada kondisi lingkungan seseorang dalam pengertian kondisi fisik secara kasar. (Zeitlin, 1995: 211). Fenomenologi berusaha menjelaskan serta mengetahui makna (hakikat) yang terdapat dari fenomena tersebut.
18
Edmund Hursserl (1859-1938) merupakan tokoh terpenting dalam fenomenologi mengingat ialah yang mempopulerkan nama fenomenologi sebagai metode atau cara berfikir baru dalam ranah keilmuan sosial-humaniora (Hadiwijono, 1995: 140). Menurut Husserl, fenomenologi lahir atas reaksi terhadap kelemahan positivisme August Comte yang menawarkan reduksi, yaitu penundaan kesimpulan atas fenomena yang diteliti, antara lain menentukan: Pertama, reduksi (refleksi) edris, yaitu menentukan struktur dasar untuk sampai pada yang hakiki. Kedua, reduksi fenomenologi, yaitu obyek dipandang sebagai gejala agar mengetahui subyektifitas - transenden. Ketiga, reduksi transenden, yaitu menghilangkan background yang terdiri dari pengetahuan obyek hingga menemukan kesadaran murni obyek (Zeitlin, 1995: 216-222). Bagi Husserl fenomenologi adalah suatu metode yang memadai dan ilmiah yang mengikuti kondisi alam dari segala sesuatu yang bisa diselidiki dan tidak disertai dengan praduga-praduga dan konsepsi-konsepsi sebelumnya. Menurut Alferd Shutz, tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakan, dan manusia. Selain itu juga, berusaha memahami tindakan sebagai sesuatu yang berpengaruh terhadap kelangsungan proses interaksi sosial, baik sebagai aktor yang memberikan arti terhadap tindakan sendiri maupun bagi pihak lain yang akan menerjemahkan dan memahaminya serta yang akan bereaksi atau bertindak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh aktor (Zeitlin, 1995: 211). Alfred Shutz menekankan adanya hubungan antara pengetahuan dengan perilaku manusia sehari-hari agar manusia menjadi mahluk sosial. Menurut Shutz,
19
dalam dunia ini saya selalu berbagi dengan teman saya dan dengan yang lainnya yang juga menjalani dan menafsirkannya. Oleh karenanya dunia saya secara keseluruhan tidak bersifat pribadi sepenuhnya, bahkan di dalam kesadaran saya, selalu menemukan bukti adanya kesadaran orang lain (Zeitlin, 1995: 259).
1.6.3. Teknik Analisis Data: Clark Moustakas Analisis data pada studi ini dilakukan secara dinamis, sebagaimana Bogdan dan Tylor menyatakan bahwa dalam penelitian pengamatan, analisis data merupakan proses yang berkelanjutan: saat pengumpulan data dan setelah pengumpulan data (Bogdan dan Tylor, 1992: 139). Seorang peneliti memiliki asumsi awal, sudut pandang dan perspektif tertentu mengenai yang diteliti. Peneliti dianalogikan bukan sebagai gelas kosong, melainkan terisi asumsi teoritik tertentu sebagai mesin analisi dalam reduksi data, sistematisasi data, hingga kesimpulan sementara. Hanya saja, pendekatan fenomenologi menuntut agar piawai meletakkan asumsi-asumsi teoritik yang dimiliki pada saat sebelum pengumpulan data. Adapun tahapan atau langkah-langkah analisis data mengacu pada Clark Moustakas dapat melalui empat tahapan. Pertama, penangguhan klaim/epoché, memosisikan peneliti layaknya pemula, sehingga mampu menerima segala fenomena (gejala yang tampak) tanpa prasangka. Kedua, reduksi fenomenologi, bentuk upaya melihat fenomena dalam tekstur dan makna aslinya. Ketiga, variasi imajinatif, coba menemukan makna esensial fenomena dan juga pengalaman. Keempat, perpaduan antara deskripsi tekstual dan deskripsi struktural, melakukan
20
pengembaraan hakikat fenomena secara keseluruhan (Clark E. Moustakas, 1998: 180-181). Berikut adalah urut-urutan lengkap proses tahapan analisis data Clark Moustakas yang diadopsi dari bukunya: Phenomenological Research Method. Pertama, penangguhan klaim/epoché: menjauhkan diri dari konsepsikonsepsi pengetahuan, kemudian membuka diri bagi kehadiran fenomena. Epoché membantu seorang peneliti supaya mampu menangguhkan asumsi-asumsi, penilaian, klaim, dan pertimbangan awal yang dimilikinya mengenai sesuatu yang memutuskan hubungan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Kedua, reduksi fenomenologi: menyusun klasifikasi temuan tekstual dari fenomena yang menampakkan diri yang meliputi: a. Horizonalisasi: membuka diri terhadap kesemestaan makna, karena pada dasarnya setiap makna bernilai. b. Pembatasan skala pemaknaan guna mendapatkan makna yang tetap konstan dari pengalaman. c. Penentuan kesamaan bobot dan tema peneltian: mengelompokkan makna yang sesuai dengan tema penelitian, supaya tidak terjadi pengulangan. d. Deskripsi tekstual tiap individu: memaparkan kesamaan unit makna tiap informan sesuai tema penelitian. e. Penggabungan deskripsi tekstual: menggabungkan deskripsi tekstual tiaptiap informan kedalam (menjadi) deskripsi tekstual universal. Ketiga, variasi imajinatif: memikirkan kemungkinan-kemungkinan makna lain atas deskripsi tekstual guna menemukan deskripsi struktural dari pengalaman
21
(ini akan bermuara pada sebagaimana pengalaman berbicara mengenai dirinya). Berikut tahapannya: a. Memperkaya perspektif atas fenomena dengan memanfaatkan perbedaan situasi, posisi dan peran yang tidak tunggal. b. Fantasi selingan-bebas: memastikan kemungkinan perubahan tipe-tipe struktural, yang menimbulkan tipikal tekstual. c. Menyusun daftar kualitas struktural pengalaman. d. Mengembangkan
tema-tema
struktural,
yakni
dengan
cara
mengelompokkan kualitas struktural sesuai tema penelitian. e. Menggunakan struktur universal sebagai tema penelitian, meliputi: waktu, ruang, relasi dengan diri dan dengan orang lain, perhatian, kausalitas atau struktur intensional. f. Deskripsi struktural tiap individu: menyatu-padukan kualitas struktural dan tema penelitian kedalam deskripsi struktural tiap individu. g. Penggabungan deskripsi struktural: menggabungkan deskripsi struktural tiap-tiap individu, kedalam bentuk (menjadi) deskripsi struktural universal. Keempat, perpaduan antara deskripsi tekstual dan deskripsi struktural, secara intuitif dan reflektif, menyatu-padukan keseluruhan deskripsi tekstual dan keseluruhan deskripsi struktural, guna membangun perpaduan makna dan esensi dari fenomena dan pengalaman secara keseluruhan.
22
1.6.4. Teknis Analisis Data dan Penyajian Data: Clark Moustakas Mengacu pada Moustakas, maka tahapan analisis dan penyajian data pada studi ini dilakukan dengan urutan sebagai berikut: Pertama, menerapkan konsep penangguhan klaim/epoché terhadap tindakan altruisme yang dilakukan subyek penelitian (pendaki gunung) sebagai suatu fenomena. Kedua, melakukan reduksi fenomenologi. (1) Melakukan horizonalisasi terhadap masing-masing informan (pendaki gunung) mengenai tindakan altruisme serta pemaknaan subjektifnya. (2) Melakukan pembatasan makna dengan menentukan kriteria makna yang muncul dari informan. (3) Mengelompokkan unit-unit makna tiap informan sesuai tema penelitian, agar tidak terjadi pengulangan dan tumpang tindih. (4) Memaparkan kesamaan unit makna tiap informan secara tekstual. (5) Menggabungkan paparan tekstual tiap informan menjadi deskripsi tekstual universal. Ketiga, melakukan variasi imajinatif. (1) Memperkaya sudut pandang dalam membaca makna deskripsi tekstual, dengan memakai posisi, situasi dan peran berbeda. (2) memunculkan makna deskripsi tekstual. (3) Menyusun daftar kualitas struktural pengalaman tiap informan. (4) Mengembangkan tema-tema struktural dengan mengelompokkan kualitas struktural sesuai tema penelitian. (5) menjadikan struktural universal sebagai tema: ruang dan waktu, kausalitas atau struktur intensional. (6) Mendeskripsikan tiap informan. (7) Menggabungkan struktural tiap informan menjadi deskripsi struktural universal. Keempat, deskripsi sintesis tekstual universal dan struktural universal, guna mengontruksi perpaduan makna dan esensi dari fenomena dan pengalaman.
23
1.6.5. Teknik Pengambilan Data a. Observasi Dalam penelitian kualitatif, observasi adalah senjata utama dalam menyusun dan mengumpulkan data penelitian. Dengan melakukan pengamatan di lapangan secara intensif, validitas data akan bisa diperoleh. b. Wawancara Mendalam Selain observasi, dalam penelitian ini digunakan pula teknik pengumpulan data malalui wawancara mendalam (in depth interview) terhadap objek penelitian, dalam hal ini wawancara mengambil informasi dari anggota komunitas Sobat Bumi Indonesia, Komunitas Pripalasa Malang, Komunitas Pendaki Gunung Tegal. Tujuannya, agar penelitian memperoleh data valid melalui sumber pertama (sumber primer). c. Teknis Pengambilan Data Teknis pengambilan data dalam penelitian ini adalah complete observer, serta interview wawancara. Observasi merupakan teknik pengumpulan data bersifat eksploratif dalam penelitian kualitatif. Teknik tersebut digunakan untuk mengamati tingkah laku aktual subyek penelitian. Dalam observasi berbentuk complete observer, peneliti menempatkan diri sebagai orang luar, sehingga pertemuan antara peneliti dengan subyek penelitian seolah terjadi secara insidental. Teknik ini dapat bersifat non-partisipan, artinya peneliti tidak berlaku layaknya subyek penelitian, melainkan sekedar turut menemani di sela-sela aktivitas subyek penelitiannya (Ritzer, 2009: 63; Kuswarno, 2009: 133).
24
1.6.6. Subyek Penelitian Subyek penelitian5 dalam studi ini adalah individu (seorang pendaki gunung) anggota komunitas yang aktif-intensif dan berpengalaman mengikuti kegiatan pendakian gunung. Seorang individu dalam komunitas pendaki gunung dipilih menjadi rujukan studi, sembari mempersempit fokus kajian studi fenomenologi, seorang individu dalam komunitas pendaki gunung diasumsikan memiliki kebiasaan berikut pengalaman terkait tindakan altruisme. Dengan demikian,
data
yang
diperoleh
akan
menjadi
data
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Mengingat penelitian ini mengarah pada komunitas pendaki gunung, penentuan kriteria informan dilakukan dengan kembali mempertimbangkan tujuan penelitian. Tujuan studi ini adalah menemukan makna dari tindakan altruisme yang dilakukan pendaki gunung. Maka dari itu, kriteria informan melingkupi ketentuan sebagai berikut. Pertama, seorang pendaki gunung yang melibatkan diri secara aktif-intensif dalam kegiatan yang dilakukan komunitas pendaki gunung (kelompoknya). Kedua, tentu saja pendaki gunung yang dimaksud sebagai salahsatu kriteria informan dalam penelitian, merupakan seorang yang menyadari perannya sebagai bagian dari anggota komunitas pendaki gunung yang diikuti atau dijalaninya. Ketiga, pendaki gunung yang aktif-intensif dan berpengalaman memiliki kemampuan artikulatif dalam menceritakan pengalaman subjektifnya.
5
Istilah “subyek penelitian”—dan bukannya obyek penelitian—digunakan mengingat dalam fenomenologi peneliti berupaya memahami dunia melalui sudut pandang aktor (orang yang diteliti).
25
1.7. Kerangka Teoritik Mengingat studi ini cenderung mempertimbangkan tindakan altruisme sebagai tematik penelitian, kerangka teoritik atau juga kerangka konseptual untuk menganalisis data secara keseluruhan adalah menggunakan perspektif dalam fenomenologi yang coba menggabungkan dengan teori yang hampir sealiran guna menjelaskan lebih mendalam, yakni: teori fenomenologi Alfred Schutz, teori interaksi simbolik Herbert Blumer dan teori pertukaran Peter M. Blau. Sehingga, argumen yang disertai persepsi berikut tindakan altruisme dari informan dapat menjadi pertimbangan dalam analisis.
1.7.1. Teori Fenomenologi Alfred Schutz Schutz adalah orang pertama yang secara serius berupaya menerapkan cara kerja filsafat fenomenologi ke dalam ranah ilmu sosial, sehingga fenomenologi yang semula sangat filosofis menjadi lebih aplikatif dalam teori sosiologi. Jauh sebelumnya, istilah fenomenologi telah diperkenalkan lebih dulu secara filosofis pada tahun 1764 oleh J. H. Lambert, dalam penjelasannya mengenai “teori penampakan.” Kemudian, Immanuel Kant (1786) menggunakan istilah yang sama untuk membedakan antara nomena dan fenomena, antara hakikat dan tampakan. Berikutnya, Georg W. F. Hegel (1807) memakai istilah fenomenologi untuk menjelaskan “pengalaman kesadaran.” Setelah Hegel, masih terdapat sejumlah filsuf lain yang menggunakan istilah fenomenologi. Namun fenomenologi sebagai sebuah arah baru dalam metode filsafat, dimulai oleh Edmund Husserl (1859-1938). Dia dikenal banyak kalangan sebagai bapak
26
fenomenologi karena atas jasa besarnya dalam mengembangkan fenomenologi sebagai metode filsafat (Bagus, 2010: 234-236). Semangat
filsafat
fenomenologi
transedental
Husserl
cukup
mempengaruhi fenomenologi sosial Schutz. Dalam salahsatu bukunya, The Phenomenology of
the Social
World,
Schutz
menghubungkan
analisis
fenomenologi atas dunia kehidupan konsep yang dipinjam Husserl, dengan metodologi ilmu sosial yang dipelajari dari Max Weber (1864-1920). Dalam karyanya tersebut, Schutz mempersenyawakan „konsep filsafat fenomenologi‟ Husserlian dengan „konsep pemahaman‟ Weberian. Schutz berkepentingan menyelami dan memahami makna tindakan individu dengan menyelidiki konstruksi kesadarannya. Dia percaya bahwa kesadaran pada diri individu terbentuk melalui pengetahuannya, yang kemudian melahirkan tindakannya. Kontribusi Schutz dalam tradisi Sosiologi, salah satunya adalah pemberian arah baru bagi perkembangan Sosiologi Pengetahuan secara lebih luas. Pondasi metodologis di dalam ilmu sosial berdasarkan pemikiran Schutz dikenal dengan studi tentang fenomenologi yang sebenarnya tiada lain merupakan kritikan Schutz tentang pemikiran Weber, selain Husserl tentang sosiologi. Schutz setuju dengan pemikiran Weber tentang pengalaman dan perilaku manusia (human being) dalam dunia sosial keseharian sebagai realitas yang bermakna secara sosial (meaningful reality). Schutz menyebut manusia yang berperilaku tersebut sebagai “aktor”. Ketika seseorang melihat atau mendengar apa yang dikatakan atau diperbuat aktor, dia akan memahami (understand) makna dari
27
tindakan tersebut. Dalam dunia sosial hal demikian disebut sebagai sebuah “realitas interpretatif” (Kuswarno, 2009: 109-110). Bagi Schutz, tugas utama analisis fenomenologi adalah mengkontruksi dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang mereka sendiri alami. Realitas dunia tersebut bersifat intersubyektif dalam arti bahwa anggota masyarakat berbagi persepsi dasar mengenai dunia yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan mereka melakukan interaksi atau komunikasi. Selain makna “intersubyektif”, dunia sosial, menurut Schutz harus dilihat secara historis. Oleh karenanya Schutz menyimpulkan bahwa tindakan sosial adalah tindakan yang berorientasi pada perilaku orang atau orang lain pada masa lalu, sekarang dan akan datang (Kuswarno, 2009: 110). Fenomena tindakan altruisme di mana melibatkan interaksi sosial, pada pendakian gunung dapat dipahami melalui fenomenologi sosial Schutz. Ide-ide Schutz mengenai motif tindakan (agar dan karena), intensional (hubungan langsung), dan intersubjektif (saling bertukar sudut pandang), dapat membantu memahami makna tindakan altruisme pada kegiatan pendakian gunung. Seorang pendaki gunung dalam komunitas memiliki pengalaman subjektif tertentu, sebelum, selama dan sesudah terlibat di dalamnya. Mereka dapat saja datang dari latar belakang sosial budaya berbeda, dan pemikirannya juga dibentuk oleh kultur dan pengalaman yang tidak sama. Pengalaman-pengalaman pendaki gunung, yang bisa saja dalam bentuk pemahaman terhadap simbol-simbol budaya, atau berupa konstruksi pemikiran, telah membentuk kesadaran mereka. Pemahaman terhadap
28
proses pembentukan kesadaran para pendaki gunung, melalui ide-ide Schutz makna keterlibatan mereka coba ditelusuri lebih seksama.
1.7.1.a. Pemahaman Intersubjektif Schutz menyatakan bahwa dunia sosial keseharian selalu merupakan suatu yang intersubjektif (Zeitlin, 1995: 259). Setiap individu mengalami suatu dunia yang sama dengan individu lain. Dunia yang ditempati seorang individu, dimana dia dilahirkan dan menjalani kehidupannya, adalah juga dunia bagi individu yang lain. Tindakan kesehariannya hampir selalu memiliki hubungan dengan orang lain. Apa yang dia lakukan, bagaimana dirinya bersikap, dengan sendirinya akan berdampak pada sikap orang lain atas dirinya. Sehingga kesadaran pada dirinya mau tidak mau, selalu telah terbagi pada orang lain. Sebaliknya, kesadaran orang lain juga menjadi bagian dalam kesadaran dirinya. Orang lain dapat mengerti dan memahami tindakannya, tentu dengan mengandaikan orang lain itu memiliki tingkat kesadaran tertentu atas apa yang diperbuatnya. Subjektifitas pada dirinya mendapat pendakuan pada diri orang lain bersangkutan. Pada titik ini subjektifitas dunia pribadinya mengalami silang subjektifitas dengan dunia pribadi orang lain. Pada proses inilah intersubjektifitas berlaku, dunia sosial keseharian dirinya ternyata selalu bersifat intersubjektif dengan dunia sosial keseharian orang lain. Kesadaran subjektif seorang individu memang tidak begitu saja dengan mudah dapat dipahami pihak lain. Karena obyek dari kesadaran tidak hanya fenomena empiris yang bersifat fisik dan lahiriah, tapi juga berupa unsur suatu kenyataan subjektif bathiniah. Pada kenyataannya bukan kesadaran individu itu
29
sendiri yang menampakkan diri pada pihak lain, tetapi kesadarannya akan sesuatu, atau
gejala
kesadarannya—yang
itu
berupa
persepsinya
atas
realitas,
tindakantindakannya, dan tindakan orang lain atasnya—itulah yang bisa dipahami. Kesemuanya itu oleh Schutz disebut sebagai sistem tanda yang merepresentasikan kesadaran individu. Sistem tanda dapat ditemukan serta dipahami salah satunya pada dan dengan bahasa (Zeitlin, 1995: 261). Dengan demikian, keberadaan orang lain atau lawan bicara, bukanlah semata objek materi, tapi juga mewakili semangat nilai tertentu, sebagaimana itu terdapat pada benda peninggalan budaya purbakala. Sehingga dalam suatu interaksi langsung, bukan hanya penampakan benda atau suara pembicara yang mesti dimaknai, tapi juga pesan nilai pada yang tampak dan terdengar itu harus juga dipahami. Karena pada yang tampak dan terdengar itu, juga menyiratkan makna tertentu untuk dapat dipahami. Kendatipun setiap individu hidup pada satu dunia kehidupan yang sama, namun realitas kehidupan itu sendiri bersifat tidak tunggal. Realitas terbentuk secara subjektif mengikuti kesan dan minat setiap individu. Realitas kehidupan sesuai dengan perspektif seorang individu terhadapnya, ia bersesuaian dengan konstruksi kesadaran yang terbangun pada diri individu. Setiap individu memiliki kesan dan minat masing-masing, sehingga realitas yang bersumber dari satu dunia yang sama, dimaknai secara berbeda oleh kehidupan di dalamnya—realitas itu berganda. Dalam realitas ganda, setiap individu mempunyai ekspektasi, harapan, dan keinginan. Ini artinya, ada yang diprioritaskan dalam kehidupan pribadinya. Apakah itu dinamakan cita-cita, harapan atau rintangan untuk mencapainya, semuanya mengendap menjadi tumpang tindih dalam kesadaran individu.
30
Semuanya itu merupakan sumbangan pengalaman yang didapatkan dari orang sebelumnya. Sifat ganda realitas ini, memberi kesadaran pada individu bahwa ada cita-cita dan harapan subjektif lain di luar cita-citanya. Mungkin ini yang dimaksud Schutz sebagai ”makna khusus lainnya” dalam kesadaran intersubjektif (Zeitlin, 1995: 261). Bagaimana berbagai pengalaman bermakna pada seorang individu, dapat dipahami dan dimengerti oleh individu lain. Ini bisa mungkin terjadi karena di antara mereka memiliki arus kesadaran yang sama, dan itu bisa dikomunikasikan lewat media bahasa dan juga melalui tindakan.
1.7.2. Teori Interaksi Simbolik Gagasan utama tentang teori interaksi simbolik awalnya dikemukakan oleh George Herbert Mead, dia menempatkan masyarakat pada kedudukan sangat penting. Dalam artian, bahwa kehidupan kelompok manusia merupakan kondisi yang esensil bagi lahirnya “kesadaran” dan “pikiran” dari dunia obyek-obyek manusia sebagai organisma yang memiliki selves dan kelakuan manusia dalam bentuk “tindakan” yang dibuat. Mead mengembangkan suatu kerangka yang menekankan arti penting perilaku terbuka (overt) atau obyektif, dan tutup (covert) atau subyektif, atau dalam artian interaksi simbolis coba mengetengahkan dimensi-dimensi yang terabaikan kedalam analisis sosiologis, yaitu analisa aspekaspek perilaku manusia yang “subyektif dan interpretatif”. Manusia bukan dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif, tetapi setidaknya merupakan aktor-aktor yang bebas. Kendati demikian, interaksionisme simbolis menekankan perlunya memperhatikan definisi atau interpretasi subyektif,
31
bukannya melihat aksi sebagai tanggapan langsung terhadap stimulus sosial. Pada hakikatnya dapat dikerucutkan bahwa pemikiran interaksi simbolis mencangkup tiga premis (Poloma, 2010: 254-255); 1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. 2. Makna-makna berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain (self concept). 3. Makna-makna tersebut disempurnakan saat proses interaksi sosial berlangsung. Interaksionisme simbolis merupakan sisi lain dari pandangan yang melihat individu sebagai produk yang ditentukan oleh masyarakat. Konseptualisasi “diri” dianggap sedang mengalami proses dan tidak benar-benar menyesuaikan diri dengan apa yang dicitrakan. Tindakan-tindakan bersama yang mampu membentuk struktur sosial hanya mungkin disebabkan oleh interaksi simbolis, yang dalam menyampaikan makna menggunakan isyarat dan bahasa melalui proses interaksi makna-makna yang disampaikan pada pihak lain.
1.7.2.a. Interaksionis Simbolis: Herbert Blumer Sebagaimana pendekatan George Herbert Mead, Herbert Blumer coba mengembangkan penafsiran pada interaksionisme simbolis. Blumer coba mengetengahkan pendekatan yang tepat bagi penelitian interaksionisme simbolis. Premis-premis teoritis interaksionisme simbolis Blumer merujuk garis besar tindakan sosial harus dilihat sebagai suatu proses dan sehubungan dengan
32
bagaimana tindakan itu terbentuk. Ambilah sebagi contoh sebagai benang merah dalam studi ini, seorang pendaki gunung yang melakukan pendakian gunung dengan kelompoknya. Dalam proses pendakian gunung tersebut tindakan yang dilakukan atau hubungan antara para pendaki gunung bisa sangat berbeda melihat kebiasaan yang dilakukan didalam kelompoknya. Demikian juga, pendaki gunung diluar kelompoknya yang mungkin berbeda kebiasaan dari pengalamannya. Tidak ada definisi tunggal pendaki dalam melakukan sebuah tindakan sosial tertentu, mereka berkembang dalam konteks struktur yang berubah-ubah pada interaksi sosial pada kegiatan pendakian gunung. Dalam proses sosial dalam kelompok masing-masing dapat menciptakan norma-nilai dari kebiasaan. Dengan kata lain, perilaku individu dalam bertindak selaras dari tindakan yang dimaknainya. Makna-makna tersebut berasal dari interaksi dengan orang lain, terutama orang yang dianggap “cukup berarti”. Sebagaimana dinyatakan Blumer, “bagi seseorang, makna dari sesuatu berasal dari cara-cara orang lain bertindak terhadapnya dalam kaitannya dengan sesuatu itu. Tindakan yang mereka lakukan akan melahirkan batasan sesuatu bagi orang lain.” Aktor atau seseorang dapat memilih, memeriksa, berfikir, mengelompokkan dan mentransformir makna dalam hubungan dengan situasi di mana dia ditempatkan dari arah tindakannya. Sebenarnya, interpretasi seharusnya tidak dianggap hanya sebagai penerapan makna yang telah ditetapkan, tetapi sebagai suatu proses pembentukan makna yang dipakai dan disempurnakan sebagai instrumen pembentukan tindakan. Dengan demikian manusia merupakan aktor yang sadar dan refektif, yang menentukan obyek-obyek yang diketahuinya
33
melalui apa yang disebut Blumer sebagai proses self-indication6. Bagi Blumer keistimewaan pendekatan kaum interaksionis simbolis ialah “manusia dilihat saling menafsirkan atau membatasi masing-masing tindakan mereka dan bukan bereaksi kepada setiap tindakan itu menurut mode stimulus-respon. Seseorang tidak langsung memberi respon kepada tindakan orang lain, tetapi disadari oleh pengertian yang diberikan oleh tindakan itu. Interaksionisme simbolis yang diketengahkan Blumer mengandung sejumlah “root images” atau ide-ide dasar, yang diringkas sebagai berikut (Poloma, 2010: 259-266); 1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal struktur sosial. 2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi non-simbolis mencangkup stimulus-respon yang sederhana mencangkup “penafsiran tindakan”. 3. Obyek-obyek tidak mempunyai makna yang intrinsik; makna lebih merupakan produk interaksi-simbolis. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yang luas: (a) obyek fisik, (b) obyek sosial, (c) obyek abstrak seperti nilai-nilai, hak dan peraturan. 4. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek. Jadi seorang dapat melihat dirinya sebagai diri sendiri sebagaimana obyek yang lahir dari interaksi simbolis.
6
Self-indication adalah proses komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mencoba “mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagai dia menafsirkan tindakan itu”.
34
5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri. 6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok; hal ini disebut sebagai tindakan bersama. Sebagian besar tindakan bersama tersebut berulang-ulang dan stabil, melahirkan “kebudayaan” dan “aturan sosial”
1.7.3. Teori Pertukaran Sosial Dalam teori pertukaran (exchange theory) sebuah perspektif berkembang berdasarkan fenomena-fenomena pengharapan timbal balik, yang berakar dari asumsi-asumsi yang sedikit berbeda tentang hakikat manusia, masyarakat, dan ilmu sosial. Meski terdapat perbedaan pandangan, teori pertukaran sosial memiliki beberapa asumsi yang sama mengenai interaksi sosial. Perilaku individu juga dapat menjelaskan seluruh perilaku kelompok. Walaupun struktur mikro dan makro memiliki berbagai kesamaan tetapi disana terdapat beberapa perbedaan yang mendasar (Poloma, 2010: 80).
1.7.3.a. Teori Pertukaran – Perilaku: Peter M. Blau Blau dalam buah karyanya Exchange and Power in Social Life, memanfaatkan konsep kekuasaan yang merupakan usaha makro teoritis. Blau memulai tesisnya dengan menerima prinsip pertukaran sosial dari B.F. Skinner yang kemudian dibahas oleh George C. Homans. Fenomena daya tarik individu terhadap satu sama lain serta keinginan mereka akan berbagai ganjaran sosial
35
merupakan fenomena suatu yang bersifat given di dalam teori Blau. Dalam menjawab pertanyaan “apakah yang menarik individu dalam asosiasi?”, jawaban Blau aialah “mereka tertarik pada pertukaran karena mengharapkan ganjaran yang intrinsik maupun ekstrinsik”. Semua perilaku manusia dibimbing oleh pertimbangan pertukaran sosial, namun memiliki prasyarat yang harus dipenuhi bagi perilaku yang menjurus pada pertukaran sosial: (1) perilaku tersebut “harus berorientasi pada tujuan-tujuan hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain, dan (2) perilaku “harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan tersebut”. Tujuan yang diinginkan dapat berupa ganjaran ekstrintik (seperti uang, barang, atau jasa), atau ganjaran intrintik (kasih sayang, kehormatan) sehingga prinsip pertukaran sosial itu mendasari pembentukan struktur sosial (Poloma, 2010: 81-82). Perhatian
yang
pada
mulanya
menarik
individu-individu,
coba
menunjukkan “nilai” mereka sebagai kelompok. Misalnya, tindakan altruisme dilakukan oleh seorang pendaki gunung, namun dalam prinsipnya tindakan tersebut merupakan tindakan yang berdampak pada orang lain atau kelompok lain. Dalam pertukaran sosial yang terjadi, ganjaran dapat diperoleh dari interaksi yang dilakukan antara individu dengan individu lain atau kelompok. Dalam proses pertukaran sosial, ikatan persahabatan dapat dimasukkan dalam timbal-balik (ganjaran). Kohesi yang demikian dapat menjelaskan sistem tersebut, maka dia akan diabadikan melalui “hubungan kekuasaan” dalam pertukaran sosial. Blau mengakui tidak semua pertukaran sosial simbang berupa timbal-balik, dapat pula hubungan tersebut sepihak dimana tidak ada yang merasa dirugikan. Dengan
36
demikian kekuasaan merupakan fenomena yang bersifat emergent yang belum memperoleh penjelasan sebagai mestinya dalam proses pertukaran-psikologis. Walaupun persetujuan masuk dalam ganjaran, sembari terhindar dai penolakan hal itu tetaplah merupakan pertukaran sosial. Untuk menjelaskan hubungan ketergantungan-kekuasaan (power-dependence), Blau memberikan alternatif berikut ini (Poloma, 2010: 82-85): 1. Mereka dapat memberi pelayanan yang sangat ia butuhkan sehingga cukup untuk membuat orang tersebut memberikan jasanya sebagai imbalan, walau hanya memiliki sumber daya yang terbatas. 2. Mereka dapat memperoleh pelayanan yang dibutuhkan dengan asumsi bahwa ada penyedia alternatif, yang menjurus pada pertukaran timbalbalik, sekalipun dalam bentuk hubungan yang berbeda. 3. Mereka dapat memaksa seseorang menyediakan pelayanan dengan asumsi orang tersebut mampu melakukannya. Bilamana pemaksaan terjadi, maka mereka yang mampu memperoleh pelayanan menciptakan dominasi. Mereka dapat menarik diri tanpa mengharap pelayanan atau menemukan beberapa pengganti pelayanan yang serupa.
37